Hubungan Setting Lingkungan Fisik Terhadap Perseptual Calon Imam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TEORI PERSEPSI
2.1.1. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan proses terintegrasi dari individu terhadap
stimulus yang diterimanya, yaitu sebagai proses pengorganisasian dan
penginterpretasian terhadap stimulus

yang diterima oleh individu

(Moskowitz dan Orgel 1969).
Begitu juga menurut Atkinson, Rita, L, dkk 1983, menyatakan
bahwa persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penafsiran
terhadap stimulus yang diberikan lingkungan. Lebih lanjut Sarwono (1995),
menerangkan bahwa stimulus yang berupa rangsangan dari luar diri
manusia diterima melalui sel-sel saraf reseptor (pengindraaan) kemudian
disatukan dikoordinasikan didalam syaraf pusat (otak) sehungga manusia
dapat mengenali dan menilai untuk memberikan makna terhadap obyek
atau lingkungan fisik.
Menurut Sarwono, Sarlito Wirawan (1992), prilaku manusia

merupakan pusat perhatian dalam hubungan antara manusia dengan
lingkungannya. Manusia mengindrakan obyek dilingkungannya, hasil
pengindraanya akan diproses hingga timbul makna tentang obyek tersebut,
ini dinamakan persepsi, yang selanjutnya menibulkan reaksi, Proses
hubungan manusia dengan lingkungannya sejak individu berinteraksi

8
Universitas Sumatera Utara

melalui pengindaraanya sampai terjadi reaksi digambarkan dalam skema
persepsi berikut ini.

Gambar 2.1 Skema Persepsi
Sumber: Psikologi Lingkungan, 1992

Dalam skema terlihat bahwa tahap paling awal dari hubungan
manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara individu obyekobyek di lingkungannya. Obyek tampil dengan kemanfaatannya masingmasing, sedangkan individu tampil dengan sifat-sifat individunya,
pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap dan berbagai ciri
kepribadiannya masing-masing.
Lebih lanjut Atkinson, Rita, L. dkk (1993) menuturkan individual

sebagai faktor internal dapat ditunjukan dengan adanya minat, respon dan
harapan dari individu tersebut Hasil interaksi individu dengan obyek
menghasilkan persepsi, persepsi individu tentang obyek itu. Jika persepsi itu
dalam batas-batas optimal, maka individu dikatakan dalam keadaan
homeostatis,

yaitu

keadaan

serba

seimbang,

keadaan

ini

sering


dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaanperasaan yang

9
Universitas Sumatera Utara

menyenangkan, tidak merasa tertekan (stress). Sebaliknya , jika obyek
dipersepsikan sebagai diluar optimal, diluar kemampuan individu, misal
terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh dan
sebagainya, maka individu tersebut akan mengalami stres dalam dirinya,
perasaannya tidak enak, tidak nyaman, tekanan energi dalam dirinya
meningkat sehingga orang perlu melakukan coping untuk menyesusikan
dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya, penyesuaian
diri individu terhadap lingkungannya didebut sebagai adaptasi, sedangkan
penyesuaian lingkungan terhadap individu disebut adjustment. Bila individu
tidak dapat menyesuaikan dirinya maka stres akan tetap berlanjut.

2.1.2. Teori Persepsi Lingkungan
Setiawan B. Haryadi (1995), menyatakan enviromental perception
atau persepsi lingkungan adalah interpersepsi tentang suatu seting oleh
individu, berdasarkan latar belakang budaya, nalar dan pengalaman individu

tersebut. Setiap individu mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda,
karena latar belakang budaya yang berbeda, namun dimungkinkan beberapa
kelompok individu tertentu, mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan
yang sama atau mirip karena kemiripan latar belakang budaya , nalar dan
pengalamanannya. Tujuan utama kajian arsitektur lingkungan dan prilaku
sebenarnya adalah untuk memahami keragaman persepsi lingkungan agar
perbendahaaran tentang persepsi lingkungan semakin bertambah.
Menurut

Rapoport

(1986),

dalam

konteks

kajian

arsitektur


perancangan lingkungan menyatakan bahwa peran persepsi lingkungan

10
Universitas Sumatera Utara

sangat penting karena keputuasan-keputusan atau pilihan perancangan akan
ditentukan persepsi lingkungan perancang.
Didalam konteks studi Antropologi lingkungan, yang dimaksud
mengenai persepsi lingkungan akan menyangkut dua hal aspek yaitu aspek
emic dan aspek etic. Aspek Emic, menggambarkan bagaimana suatu
lingkungan

dipersepsikan

oleh

kelompok,

sedangkan


Apek

Etic,

menggambarkan tentang bagaimana pengamat atau outsider (misalnya
perancang) mempersepsikan lingkungan yang sama. Dengan demikian
apabila perancang kurang memahami persepsi lingkungan, yang dia
rencanakan

lingkungannya,

dimungkinkan

akan

terjadi

kualitas


pereancanagan lingkungan yang kurang optimal. Lebih lanjut B. Setiawan
Haryadi (1995), menyatakan perceived enviromental atau lingkungan yang
terpersepsikan merupakan produk atau bentuk dari persepsi lingkungan
seseorang atau sekelompok orang. Mempelajari persepsi lingkungan berati
mepelajari tentang proses kognitif (cognitive), afeksi (affecitive), serta
kognisi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungannya. Proses
kognisi adalah proses yang meliputi penerimaan (perceiving), pemahaman
(understanding) dan pemikiran (thinking) tentang suatu lingkungan. Proses
afeksi, adalah meliputi proses perasaan (feeling) dan emosi (emotions),
keinginan (desires), serta nilai-nilai (values) tentang lingkungan Proses
kognisi, adalah meliputi muncul tindakan, perlakuan terhadap lingkungan
sebagai respon dari proses kognisi dan afeksi. Keseluruhan proses ini
menghasilkan lingkungan yang terpersepsikan (perceived enviromental),
setiap orang atau sekelompok orang dapat mempunyai gambaran atau

11
Universitas Sumatera Utara

bentuk lingkungan yang berbeda sesuai dengan proses persepsinya masingmasing.


2.1.3. Perseptual Calon Imam
2.1.3.1. Pengantar Calon Imam
Calon imam merupakan calon pemimpin umat katolik dimasa
mendatang. Pada hakikatnya seorang imam bertugas memimpin umat
katolik, lebih dari pada itu imam menjadi pemimpin masyarakat pada
umumnya. Untuk itu model pendidikan para calon imam harus dapat
membentuk pribadi menjadi calon imam yang kemudian menjadi imam
atau pemimpin masyarakat yang mempunyai visi. Pemimpin yang
visioner merupakan pemimpin yang mempunyai tujuan yang jelas,
strategi, taktik, dan penerapan yang sesuai dengan kondisi. Untuk
mewujudkan idealisme ini, maka calon imam harus ditempa sejak ia
masuk tempat pembinaannya yaitu hidup membiara. Dalam hal ini
postulat menjadi biara bagi para calon imam.
Postulat menjadi tempat dimana seseorang dididik menjadi pribadi
yang berintelek dan beriman serta memiliki raga yang kuat. Selain itu
juga dituntut untuk peka dengan situasi sosial masyarakat.
Untuk menghadirkan kerajaan Allah di tengah masyarakat,
seorang calon imam harus membuka diri dengan apa yang ada di luarnya
dan mempunyai kemampuan intelektual yang baik serta memiliki
kehidupan rohani yang matang. Untuk itu pada lembaga pembinaan calon

imam, para calon imam ditempa baik dari sisi kerohanian, kepribadian
atau intelektual, maka ia dapat menjadi imam masa depan yang
12
Universitas Sumatera Utara

berkompeten dan dapat mengayomi umat yang dipimpinnya. Maka
dengan

itu calon

imam dapat

menghadirkan

kerajaan

Allah di

tengah umat.
2.1.3.2. Aspek Pembinaan Calon Imam

Berdasarkan pedoman pembinaan dan pendidikan seminari Lalian
pada 2010, disampaikan bahwa calon imam harus memiliki aspek-aspek
yang mendukung kehidupan seorang imam, yaitu:
1.

Sanctitas (kekudusan)
Kekudusan merupakan suatu yang mutlak dan harus ada

dalam diri seorang calon imam. Sehingga dalam pembinaan bagi para
calon imam di lingkungan seminari, calon imam diajarkan, dituntun dan
dikembangkan untuk menghayati kekudusan. Pada dasarnya kekudusan
dalam diri seseorang itu ada karena ia membiarkan Allah menjiwai
hidupnya, orang menjadi transparan bagi Allah dan dengan demikian
membantu orang lain untuk menyadari akan kesalahannya dari dan
keterarahannya kepada Allah. Kekudusan ini diperoleh dari satu
pembinaan relasi yang mendalam dan jujur dengan Allah.
Relasi yang mendalam dengan Allah dapat terjalin dengan
baik dengan cara membiarakan Allah berkarya dalam diri kita dan kita
selalu mendekatkan diri kepada-Nya baik dengan doa atau pun meditasi
dan kegitan rohani lainnya. Sehingga pembinaan kerohanaan bagi seorang

calon imam sangat mutlak dilakukan karena nantinya ia menjadi contoh
bagi umatnya. Apalah jadinya umat bila pemimpin mereka dalam hal ini

13
Universitas Sumatera Utara

imam tidak dapat menuntun mereka pada hidup rohani yang baik. Untuk
itu seorang siswa seminari ditempa agar ia dapat menghayatinya.
Para calon imam dibimbing untuk beriman dan mengikuti
Kristus serta meneladan Bunda Maria dalam menghayati panggilan hidup.
Lewat pembinaan sanctitas, calon imam didampingi agar berkembang
dalam hidup rohani dan panggilan serta dalam hidup menggereja dan
memasyarakat.
a. Pembinaan hidup rohani

1) Calon imam diperkenalkan dengan tradisi doa dan devosi
antara lain melalui kegiatan sadhana, meditasi, pujian,
ziarah.
2) Calon imam terlibat dalam liturgi dengan mempersiapkan,
menyelenggarakan, dan menghayati ekaristi, tobat, ibadat
sabda, completorium (ibadat malam), dan renungan.
3) Calon imam didampingi untuk berkembang dalam iman,
harapan, dan kasih melalui bimbingan rohani, retret,
rekoleksi, Legio Mariae, refleksi, konferensi, instruksi,
bacaan rohani, KKS, puncta, dan fraterna correctio (koreksi
persaudaraan dan sumbangan rohani).

b. Pembinaan hidup panggilan

1) Calon imam didampingi agar tumbuh dan berkembang ke
arah kedewasaan sesuai dengan usianya sehingga mereka

14
Universitas Sumatera Utara

semakin mampu mengambil keputusan hidup sesuai dengan
panggilannya.
2) Calon imam didampingi agar mengenali panggilan Tuhan
dengan menelusuri sejarah hidupnya. Oleh karena itu,
mereka diminta menulis sejarah hidup dan panggilan.
Mereka juga harus menggali motivasi panggilannya.
Motivasi panggilan yang masih berorientasi fungsi dan status
dimurnikan ke arah motivasi rohani dan apostolik.
3) Calon imam didampingi untuk mengenal corak hidup imam
diosesan dan religius, antara lain dengan membaca dan
mendalami dokumen Gereja serta mendengarkan ceramah
sehingga pada waktunya mampu membuat keputusan yang
tepat sesuai dengan panggilannya. Mereka juga didampingi
agar mengenal, dan mulai menghidupi tiga nasihat injili yang
merupakan tuntutan radikal kehidupan kristiani dan imam.
4) Calon imam perlu menyelenggarakan "Aksi Panggilan"
untuk memberikan kesaksian panggilannya sebagai calon
imam,

mengenal

Gereja

dan

jemaat

setempat,

dan

menumbuhkan semangat merasul.
5) Orang tua dan keluarga dilibatkan dalam pembinaan
panggilan calon imam. Keterlibatan itu dilaksanakan pada
saat calon imam berlibur, pada Hari Orang Tua, pada hari
kunjungan orang tua, dan melalui surat-menyurat.
c. Pembinaan hidup menggereja dan memasyarakat

15
Universitas Sumatera Utara

1) Sebagai calon imam dan bagian dari Gereja dan masyarakat,
calon imam perlu diberi pembinaan ke arah kehidupan
menggereja dan memasyarakat.
2) Calon imam didampingi agar berkembang dalam semangat
pelayanan dan kerasulan. Sarananya antara lain:

a) menjadi petugas liturgi (kor, lektor) dalam Ekaristi di
paroki sekitar Seminari Mertoyudan,
b) terlibat dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) di
lingkungan-lingkungan

paroki

Santo

Yusup

Mertoyudan.
c) mengikuti ceramah yang diselenggarakan oleh Seminari
Mertoyudan atau pihak luar sejauh oleh staf dilihat
bermanfaat.
3) Calon imam didorong untuk membangun kerjasama dengan
pemeluk agama, kepercayaan, dan kelompok lain. Bentuk
kerjasama itu diwujudkan antara lain dengan: sarasehan,
ceramah, kunjungan, diskusi, dan dialog.
4) Calon imam didampingi agar rasa sosial dan kepekaannya
akan keadilan berkembang. Mereka juga dididik untuk
memiliki

pandangan

yang

sehat

dan

benar

tentang

masyarakat. Maka, calon imam didorong untuk mengamati
dan membaca situasi masyarakat dan asrama; tekun, analitiskritis, dan reflektif dalam menyerap informasi melalui multi
media.

16
Universitas Sumatera Utara

5) Calon imam berlatih memimpin dan berorganisasi dengan
dijiwai oleh semangat melayani dan rela berkorban. Untuk
itu, setiap calon imam diberi tugas kebidelan dan tugas lain
dalam asrama atau kuliah
6) Calon imam dibimbing agar memiliki ketrampilan menjalin
hubungan antar pribadi yang baik dan dewasa, dengan pria dan
wanita. Mereka dibina agar mampu mengembangkan empati,
mengungkapkan emosi secara benar, menghargai kebaikan
orang lain, memperhatikan sopan santun dalam menggunakan
telepon, mengirim dan menerima surat, serta bertamu dan
menerima tamu.

2. Socialitas
Socialitas merupakan sesuatu keterarahan kepada orang lain dan
kesedian untuk dibentuk oleh orang lain. Diamasa mendatang, calon
imam pasti hidup dengan orang lain. Itu artinya bahwa ia akan dan selalu
bersosialisasi dengan orang lain. Socialitas ini juga mengugkapkan dua
nilai dasar yaitu kerterbukaan dengan orang lain baik dalam kesusahan,
kegembiraan dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Lebih dari pada itu socialias bertujuan untuk menumbuhkan kepekaan
seminari dengan lingkuannya. Kepekaan ini menumbuhkan rasa peduli
terhadap sesama dan lingkungan tempat dimana ia berada

17
Universitas Sumatera Utara

3. Sanitas (kesehatan)
Menjadi seorang imam bukanlah suatu tugas ringan. Dalam
melaksanakan tugasnya, seorang calon imam harus memiliki kondisi fisik
dan psikis yang baik. Kehatan fisik menunjukan daya tahan untuk
melaksanakan tugas, sementara kesehatan psikis adalah kematangan psikoemosional dalam penghayatan panggilan. Kematangan ini memungkinkan
seseorang untuk menghadapi secara dewasa dan jujur kekuatan dan
kelemahan dirinya dan berhadapan dengan orang sebagai rekan kerja yang
bermartabat. Tanpa kematang psiko-emosional seseorang akan mudah
kehilangan kepercayaan diri, dan gampang mencari perlingdungan pada
orang lain, tempat dan kebiasaan yang tidak semestinya. Salah satu nilai
dari sanitas adalah kepercayaan diri yang sehat. Kepercyaan diri yang
sehat ini memungkinkan seseorang menghargai panggilannya dan
menyadari sumbangan yang patut diberikan dalam perkembangan hidup
umat dan dunia. Namun kepercayaan diri ini tidak mengarah kepada sikap
merendahkan dan menyepelekan peran dan sumbangan orang lain.
Dalam menghadapi tugas dan pelayanan bagai orang lain di masa
mendatang maka pembinaan sanitas dalam lingkup seminari terutama
seminari menegah sangat ditekankan. Memiliki kesehatan fisik dan mental
yang baik merupakan modal yang penting dalam karya pewartaan. Apalah
jadinya jika seorang imam memiliki kesehatan fisik dan mental yang
kurang baik. Karya pewartaan tentunya akan terhambat.
Demi keseimbangan kepribadian dan demi imamat, calon imam
dituntut berbadan sehat dan berkepribadian dewasa.

18
Universitas Sumatera Utara

a. Pembinaan kesehatan badan
1) Calon imam yang diterima di Seminari harus dinyatakan
sehat oleh dokter. Untuk menjaga kesehatan, diadakan
tindakan pencegahan berupa vaksinasi hepatitis B. Bagi
calon imam yang sakit, disediakan kamar sakit dengan
pengawasan Suster Perawat. Bila sakit cukup berat, calon
imam dibawa ke rumah sakit supaya mendapatkan
pemeriksaan

dan

perawatan.

Biaya

perawatan

dan

pengobatan ditanggung orang tua calon imam.
2) Seminari menyediakan makanan dan minuman yang sehat
dan memenuhi standar gizi agar pertumbuhan dan kesehatan
badan calon imam terdukung. Selain itu, kesempatan makan
minum merupakan sarana untuk berlatih hidup bersama,
berlatih mengendalikan diri, serta mengatur selera dan
kenikmatan.
3) Seminari menyediakan sarana dan kesempatan berolahraga,
antara lain: sepak bola, basket, volley, bulutangkis, tenis
meja, dan bela diri.
4) Setiap hari, pada opera (kerja tangan) pagi dan sore, calon
imam membersihkan rumah dan lingkungan. Pada waktuwaktu tertentu, diadakan opera magna (kerja besar).
5) Untuk menjaga kesegaran badan dan jiwa, calon imam perlu
berekreasi dan beristirahat secukupnya. Calon imam dilatih
mengatur waktu untuk berekreasi dan dilatih memanfaatkan

19
Universitas Sumatera Utara

waktu tidur, serta diberi kesempatan untuk ambulatio (jalanjalan).
6) Liburan diberikan kepada calon imam secara berkala agar
dipakai untuk menjalin relasi dengan keluarga, kenalan, dan
masyarakat serta untuk mendapatkan kesegaran baru.

b.Pembinaan kedewasaan manusiawi
1) Calon imam dibimbing agar mengenal diri, menerima
keadaan

diri,

serta

keluarga

dan

lingkungan

yang

membesarkannya. Maka, mereka diminta menulis sejarah
hidup yang kemudian diolah bersama pembimbing rohani
dan staf kepamongan.
2) Setiap calon imam wajib memiliki seorang pembimbing
rohani, yaitu seorang imam yang dipilih sendiri dan disetujui
oleh Rektor. Hendaklah ia rajin mengadakan bimbingan
rohani.
3) Calon imam dibimbing agar mempunyai kemampuan
berelasi secara sehat. Usaha itu ditempuh antara lain melalui
Basis Wilayah, Basis Karya, Basis Vertikal, dan pergaulan
dengan staf (Rama/Frater/Suster, guru), karyawan, dan
teman-teman.

Melalui

mengembangkan

sarana

keterbukaan,

tersebut,

calon

kemampuan

imam

berdialog,

solidaritas, kerja sama, rasa menghargai, perhatian kepada
yang sakit, belas kasih, kerelaan bergaul dengan semua
orang, dan ketrampilan menyelesaikan konflik.

20
Universitas Sumatera Utara

4) Calon imam dibimbing dalam menghayati seksualitasnya,
antara lain dengan ceramah tentang seksualitas yang
diberikan di KPP dan KPA. Pembinaan itu dimaksudkan
untuk membantu penghayatan seksualitas dan pergaulan
yang sehat.
5) Calon imam dibimbing dalam mengembangkan kemerdekaan
hati dan tanggungjawab. Oleh karena itu, perlu ditanamkan
sikap-sikap disiplin dalam segala hal, tekun dan kerja keras,
jujur dan terbuka dalam membawakan diri, dan siap sedia
menjalankan tugas.

4. Scientia/ intelektual
Aspek yang tidak kalah penting dalam proses pembinaan bagi
para calon imam adalah aspek intelektual. Seorang calon imam harus
memiliki kemampuan intektual yang baik. Para calon imam harus dibekali
oleh pengetahuan yang mendasar agar ia memiliki pegangaan dalam tugas
pewartaanya.
Pembinaan scientia berupa pengembangan terbimbing bagi calon
imam dalam bidang pengetahuan, ketrampilan, dan organisasi. Pembinaan
ini dimaksudkan agar calon imam memiliki kedisiplinan berpikir, tradisi
membaca dan studi yang kuat, serta semangat untuk mengembangkan
potensi-potensinya.
a. Pengembangan pengetahuan

21
Universitas Sumatera Utara

1) Calon imam mengikuti program pendidikan Seminari yang
terbagi menjadi tiga, yakni:
a) Kelas Persiapan Pertama (KPP) yaitu kelas untuk calon
imam lulusan SLTP. Kelas ini dimaksudkan sebagai
tahun penyesuaian dan persiapan masuk SMU Seminari.
Lamanya satu tahun, dan sistemnya gugur.
b) SMU Seminari yaitu tingkatan pendidikan formal SMU.
Tingkat SMU Seminari meliputi kelas I, II, dan III.
Tingkatan

ini

mengikuti

kurikulum

Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, serta ditambah dengan
kurikulum Seminari (bahasa Latin, Kitab Suci, bahasa
Daerah).
c) Kelas Persiapan Atas (KPA) yaitu kelas untuk calon
imam lulusan SLTA. Kelas ini dimaksudkan sebagai
tahun persiapan ke jenjang pendidikan lebih tinggi ke
arah imamat. Lamanya satu tahun.
2) Calon imam diberi waktu studi setiap hari pada sore dan
malam hari. Diharapkan, para calon imam berinisiatif
memanfaatkan waktu-waktu luang untuk mengembangkan
pengetahuan, bakat, minat, dan ketrampilan.
3) Diharapkan, calon imam memiliki minat baca yang tinggi.
Untuk mencapai tujuan itu, Seminari menyediakan antara
lain buku sekolah dan perpustakaan, majalah, dan koran
yang mendukung.

22
Universitas Sumatera Utara

4) Calon imam diberi kesempatan mengikuti ceramah atau
seminar

agar

terdukung

usahanya

mengembangkan

pengetahuan dan manajemen acara resmi.
b.Pengembangan ketrampilan
1) Untuk mengembangkan kemampuan calon imam dalam
mengarang,

Seminari

menyediakan

guru

mengarang,

mengadakan pelatihan jurnalistik dan karang-mengarang,
serta memberi wadah berlatih mengarang dalam DKM
(Dewan Koordinasi Majalah). Kecuali itu, calon imam
didorong untuk ikut serta dalam lomba mengarang yang
diselenggarakan instansi lain.
2) Calon imam dilatih agar mempunyai ketrampilan berbicara
di depan umum secara logis, runtut, tajam, dan terpola;
antara lain melalui forum Sidang Akademi dan konferensi
medan.
3) Untuk mencapai penguasaan bahasa Inggris, beberapa
langkah ditempuh antara lain dengan mengefektifkan
pelajaran bahasa Inggris, Sidang Akademi, Misa, dan
rekreasi dalam bahasa Inggris.
4) Calon

imam

diberi

wadah

untuk

mengembangkan

ketrampilan dan olah seni drama, tari, podium (tata
panggung), dan estetika.

23
Universitas Sumatera Utara

5) Calon imam juga diberi wadah pengembangan seni musik
melalui pelajaran cantus di kelas, olah vokal (kor), orkes
gesek, orkes besar, musik tiup, dan karawitan.
6) Calon imam dilatih mengetik secara betul dan berirama
dengan sistem buta dan sepuluh jari. Di samping itu, calon
imam dilatih supaya trampil menggunakan komputer.
c. Pengembangan kemampuan berorganisasi
Calon imam dilatih memimpin dan berorganisasi antara lain
melalui kebidelan, Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD),
kepengurusan Sidang Akademi, dan kepanitiaan dalam acara-acara
tertentu.

24
Universitas Sumatera Utara

2.2. SETTING LINGKUNGAN
2.2.1. Pengertian Setting Lingkungan
Rapoport (1976) menjelaskan bahwa Setting adalah tata letak dari
suatu interaksi antar manusia dengan lingkungannya dimana manusia dapat
mengetahui tempat dan situasi dengan apa mereka berhubungan.
Komponen kelompok Setting meliputi semua skala pelataran mulai dari
skala kamar sampai skala dunia.
Secara umum setiap individu pemakai bangunan tidak begitu
peduli dan tidak berniat untuk merubah struktur setting lingkungannya. Jika
suatu setting telah dibuat dalam rangka pemenuhan keinginan secara
optimal namun ketidaknyamanan person terhadap setting tersebut tetap
tinggi maka hal akan menimbulkan penyimpangan. Penyimpangan terhadap
pemakaian bangunan oleh pengguna bangunan dipengaruhi oleh dua hal,
yakni persepsi lingkungan dan kognisi. Hariyadi dan Setiawan (1996)
menjelaskan bahwa persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu
setting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, dan
pengalaman individu tersebut. Jadi setiap individu akan mempunyai
persepsi lingkungan yang berbeda yang disebabkan oleh latar belakang
budaya, nalar, serta pengalamannya. Sedangkan kognisi meliputi proses
penerimaan, pemahaman, dan pemikiran tentang suatu lingkungan. Proses
kognisi meliputi munculnya tindakan, perlakuan terhadap lingkungan
sebagai respon dari proses kognisi.
Disisi lain Windley & Scheidt (1980) menyebutkan, terdapat
sebelas (11) atribut lingkungan buatan (bangunan) yang mempengaruhi

25
Universitas Sumatera Utara

perilaku pemakai bangunan. Sebelas atribut
sensorik,

legibilitas,

kenyamanan,

tersebut yakni: stimulasi

privasi,

sosialitas,

fisibilitas,

aksesibilitas, adaptabilitas, kontrol, kesesakan, serta makna.
2.2.2. Teori Setting
Penggunaan

istilah

seting

dipakai

dalam

kajian

arsitektur

lingkungan (fisik) dan perilaku, yang menunjuk pada hubungan integrasi
antara ruan ( lingkungan fisik secara spasial ) dengan segala aktivitas
individu/ sekelompok individu dalam kurun waktu tertentu. Setiawan ,
1995.
Menurut Schoggen dalam Sarwono, 2001, pengertian seting
diartikan sebagai tatanan suatu lingkungan yang dapat mempengaruhi
prilaku manusia, artinya ditempat yang sama, perilaku manusia dapat
berbeda kalau setingnya (tatanannya) berbeda.
2.2.3. Elemen- Elemen Pada Setting Lingkungan Fisik
Berdasarkan elemen pembentuknya, setting dapat dibedakan atas :
(Rapoport, 1982).
1. Elemen fixed, merupakan elemen yang pada dasarnya tetap atau
perubahannya jarang. Secara spasial elemen-elemen ini dapat di
organisasikan ke dalam ukuran, lokasi, urutan dan susunan. Tetapi
dalam suatu kasus fenomena, elemen-elemen ini bisa dilengkapi oleh
elemn-elemen yang lain
2. Elemen semi fixed, merupakan elemen-elemen agak tetap tapi tetap
berkisar dari susunan dan tipe elemen, seperti elemen jalan, tanda

26
Universitas Sumatera Utara

iklan, etalase toko dan elemen-elemen urban lainnya. Perubahannya
cukup cepat dan mudah.
3. Elemen non Fixed, merupakan elemen yang berhubungan langsung
dengan tingkah laku atau perilaku yang di tujukan oleh manusia itu
sendiri yang selalu tidak tetap, seperti posisi tubuh dan postur tubuh
serta gerak anggota tubuh.

2.3. PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN (ENVIRONMENT
PERCEPTION)
Persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu seting oleh
individo, didasarkan latar belakang budaya, nalar dan pengalaman individu
tersebut. Setiap individu dengan demikian akan mempunyai persepsi
lingkungan yang berda, karena latar belakang budaya, nalar serta
pengalamannya berbeda. Akan tetapi, dimungkinkan pula beberapa
kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang
sama atau mirip, karena kemiripan latar belakang budaya, nalar serta
pengalamannya. Di dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku,
konsep ini menjadi sangat dominan oleh karena kajian atsitektur
lingkungan dan perlikahu justru menekankan padaragam dan kesamaan
environmental perception beberapa individu atau beberapa kelompok
individu.
Dalam konteks perancangan lingkungan, dikatakan oleh Rapoport
(1977) bahwa peran persepsi lingkungan sangat penting, oleh karena
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan perancangan akan ditentukan oleh

27
Universitas Sumatera Utara

persepsi perancang. Dengan kata lain, apabila perancang tidak mencoba
memahami

persepsi

lingkungannya.,

lingkungan

dimungkinkan

masyarakat

tidak

akan

yang

terjadi

ia

rancang

suatu

kualitas

perancangan lingkungan yang baik. Di dalam konteks studi antropologi
lingkungan, isi mengenai persepsi lingkungan ini akan menyangkut apa
yang disebut sebagai aspek emic dan etic. Emic menggambarkan bagaimana
suatu lingkungan dipersepsikan oleh kelompok di dalam sistem tersebut
(bagaimana suatu kelompok mempersepsikan lingkungannya), sedangkan
etic adalah bagaimana pengamat atau outsider

(misalnya perancang)

mempersepsikan lingkungan yang sama.
2.3.1. Pandangan dalam Tatanan lingkungan Nasrani
Tatanan lingkungan Nasrani berkembang setelah keruntuhan
Kekaisaran Romawi dan dikembangkan oleh biarawan pada awal masa abad
kegelapan (5 M). Tatanan lingkungan Nasrani sendiri tidak berkembang di
kawasan Timur Tengah (Israel, Jordania) karena saat itu kebudayaan Yahudi
masih mendominasi.
Pada Masa Kegelapan itu yang bermain peranan adalah biarawan
karena biara-biara Kristen yang muncul pada abad ke-4 M menjadi penting
karena

sebagai

sumber

kebudayaan

dan

pembelajaran.

Tatanan

lingkungan/taman Kristiani sendiri berkembang karena biara harus
menghidupi dirinya sendiri sehingga pertanian dan hortikultur menjadi
sangat penting. Biarawan tidak saja harus mengetahui ilmu-ilmu agama
tetapi juga harus menguasai ilmu tumbuhan dan obat-obatan herbal.
Interaksi pengetahuan dan budaya mengenai pembuatan taman ini didapat

28
Universitas Sumatera Utara

dari pertukaran pengetahuan dan tanaman dari para musafir dan peziarah
yang singgah di biara.
Taman pertama yang muncul memang berada di dalam lingkungan
dinding biara dengan tanaman berupa sayuran, anggur dan buah-buahan lain.
Bunga ditanam sebagai dekorasi gereja. Pada perkembangannya, bungabunga menjadi elemen penting dalam taman gereja bahkan dipaki dalam
dekorasi altar. Bunga selanjutnya menjadi simbolisme yang diasosiasikan
dengan Bunda Maria dan putranya Jesus. Bunga yang terkenal adalah Lilium
candidum yang kemudian dikenal dengan Lili Madonna sebagai symbol
kesuciannya. Sedangkan mawar sebagai symbol atribut dari Ratu Surga yang
melekat pada Maria. Selanjutnya, mawar disimbolisasikan sebagai darah
Kristus.
Pada sebuah biara selalu terdapat ruang terbuka yang berpagar, dan
biasanya menempel di sebelah selatan gereja. Pada ruang terbuka ini
biasanya para biarawan bercengkerama dan menikmati sinar matahari dan
udara segar. Ruang terbuka ini disebut cloistered garthbiasanya berbentuk
segi empat dan dibagi kembali menjadi 4 bagian oleh persilangan jalan
setapak. Pada pertemuan persilangan biasanya terdapat sumur, air mancur
atau kolam kecil tempat sumber air untuk mengairi taman ini. Pada 4 bagian
ruang terbukaini, ditanami oleh tanaman-tanaman yang diperlukan untuk
kehidupan sehari-hari biara atau tanaman hias dan herbal.
Sebenarnya tidak ada kaidah khusus dari tatanan lingkungan
Nasrani ini. Yang ada sebatas tipikal taman-taman yang ada dalam
lingkungan biara dan ini tidak dapat dipastikan bahwa perencanaannya

29
Universitas Sumatera Utara

menggunakan kaidah-kaidah yang ada dalam kitab suci. Kebebasan desain
tetap berlaku, bahkan ada beberapa yang mencoba mengasimilasikan desain
lay-out taman biara tersebut dengan tanaman-tanaman yang ada disebutkan
di kitab Injil. Dan pola penanamannya menggunakan pola segi empat yang
dihasilkan dari membagi cloistered garth tersebut menjadi 4 bagian.
2.3.2. Persepsi dan Pemaknaan dalam Arsitektur Gereja Katolik
Hershberger (2004), mengatakan bahwa ada dua kategori makna
dalam arsitektur, yaitu makan respresentasi (representational meanings)
dan makna responsif (responsive meanings).

Kedua makna ini

(representational dan responsive) penting dalam membuat prediksi
perilaku. Arsitek harus mempunyai pengertian yang baik mengenai
representasi yang dipakai pengguna bangunannya. Kemudian, belajar
mengenal reaksi apa yang akan muncul (perasaan, emosi, valuasi,
preskripsi) terhadap representasi yang dilihatnya itu.

MAKNA ARSITEKTURAL

Stimulasi
Objek

Representasi

Respon

(sebuah pintu
persegi empat)

(image sebuah pintu)
(ide uentuk
melewatinya)

(perasaan terundang)
(penilaian keindahan)
(keputusan untuk
memakai)

Respon
Perilaku

(membuka pintu
dan melewatinya)

Gambar 2.2. Skema Makna Arsitektural
Sumber: Arsitektur Dan Perilaku Manusia, 2004

30
Universitas Sumatera Utara

Dalam kajian teori arsitektur, Capon dan Salura (1999; 2010, 2012)
menempatkan bentuk, fungsi dan makna sebagai tiga aspek utama yang
selalu ada dalam komposisi arsitektur. Pengertian makna (meaning) dalam
Merriam-Webster (1999) menunjukkan bahwa makna selalu terkait dengan
perasaan/emosi manusia dan pertumbuhan pengalaman manusia. Meaning “The layers of emotional feelings that one has experienced and the
significance they attach to it. Implication of a hidden or special
significance.” Menurut Cassirer (1953) manusia tidak pernah mendapatkan
dalam kesadarannya sesuatu yang tidak bermakna dan dirujuk di luar
dirinya. Pikiran manusia selalu membubuhkan makna pada apapun yang
diberikan kepadanya; menjadikan makna sebagai kebutuhannya, sehingga
makna menjadi bagian fundamental dan imanen bagi perkembangan
kemanusiaannya. Arsitektur gereja sebagai arsitektur sakral memiliki
makna yang dibentuk dan membentuk komunitasnya 3.
Dalam arsitektur, makna diekspresikan melalui media spasial,
temporal dan fisikal. Makna berhubungan dengan interpretasi terhadap
fungsi dan bentuk arsitektur, namun hubungan makna dan bentuk arsitektur
juga dipengaruhi oleh berbagai aspek yang berada di luar arsitektur.
Meskipun manusia adalah mahluk yang mempunyai kemampuan adaptasi
sangat tinggi, tetapi persepsinya mengenai lingkungan fisik juga
3

Rapoport (1982) berpendapat bahwa tempat-tempat sakral mendukung terjadinya makna, dan
menyediakan konteks untuk aktivitas religius. Sedangkan untuk memahami mengapa sebuah tempat
menjadi sakral, Levi & Kocher (1977) menggunakan pendekatan perilaku, emosional, atau
kelekatan pada tempat. Makna tempat ini muncul karena unsur penggunaan, sedangkan keberadaan
tempat itu sendiri membantu menstrukturkan hubungan sosial dan aktivitas religius. J.Z.Smith,
(1987) mengembangkan gagasan mengenai tempat sakral sebagai konstruksi sosiologis, sedangkan
Eliade, M. (1986) menjelaskan kesakralan sebuah tempat sebagai akibat dari kehadiran kekuatan
Ilahi di tempat itu, yang menggerakkan masyarakat setempat untuk mengorientasikan dirinya pada
tempat tersebut.

31
Universitas Sumatera Utara

dipengaruhi oleh hal-hal yang sudah dikenalnya (Lang, 1997), termasuk
nilai-nilai agama yang diyakininya. Persepsi seseorang terhadap lingkungan
arsitektur gereja dapat diartikan sebagai proses memperoleh informasi dari
lingkungan tersebut, melalui proses penginderaan dan interpretasi
pengalamannya. Respons emosional yang diberikan pengamat atas
persepsinya, mempengaruhi apa yang dirasakan, dipikirkannya, dan juga
mempengaruhi pemaknaan yang dibentuk dan dikenalinya dari kualitas
tatanan arsitektur gereja tersebut. Makna dalam arsitektur seakan adalah
segenap pesan yang terkandung di dalam tatanannya. Dalam tatanan
arsitektur tersebut terdapat sejumlah makna yang dapat diklasifkasikan ke
dalam dua kelompok. Pertama, adalah makna yang melekat pada bentuk
arsitekturnya tanpa perlu interpretasi dari manusia pengamat atau
penggunanya (makna konkrit). Kelompok kedua adalah sejumlah makna
yang terkait erat dengan pemikiran manusia, baik yang dibubuhkan pada
tatanan arsitektur oleh perancangnya maupun makna yang lahir dari
pengalaman penggunanya. Makna yang dibubuhkan perancang pada
arsitektur gereja atau makna yang dimunculkan oleh pemerhati arsitektur
gereja, merupakan makna teoritis yang terbentuk melalui perencanaan
sesuai prinsip-prinsip tatanan dan teori arsitektur religi. Sedangkan makna
yang lahir dari pengguna adalah makna aktual yang terbentuk melalui
pengalaman langsungnya baik melalui proses penginderaan maupun
interpretasi pengalamannya.
Makna fungsional arsitektur Gereja Katolik dapat dirasakan seseorang
karena tatanan ruang yang memungkinkan dirinya mengikuti upacara liturgi

32
Universitas Sumatera Utara

dengan baik. Demikian pula makna simbolik yang selalu menjadi bagian
pada arsitektur Gereja dapat dirasakan seseorang melalui persepsi
sensorinya dan keterkaitan dengan simpanan pengetahuannya.

2.4. LINGKUNGAN DAN RELIGIOSITAS (KEROHANIAN)
Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion
(Inggris), religie (Belanda), religio (latin) dan Dien (Arab). Menurut
Drikarya (1987) kata “religi” berasal dari bahasa latin religio yang akar
katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu
kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang
kesemuan yaitu berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri
seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau
sesama manusia, serta alam sekitarnya. Selanjutnya Adisubroto (1987)
menjelaskan bahwa manusia religius adalah manusia yang struktur mental
keseluruhannya secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak,
memuaskan dan tertinggi yaitu Tuhan.
Menurut penelitian Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup
(1987) dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Glock dan Stark (dalam
Poloutzian, 1996), ada lima dimensi religiusitas yaitu:
a)

Religious practice (the ritualistic dimension)/ Tingkatan sejauh
mana

seseorang

mengerjakan

kewajiban

ritual

di

dalam

vagamanya.

33
Universitas Sumatera Utara

b)

Religious belief (the ideological dimension)/Aspek Iman Sejauh
mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran
agamanya.

c)

Religious knowledge (the intellectual dimension)/Aspek ilmu
Seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Hal
ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui
ajaran-ajaran dalam agamanya.

d)

Religious feeling (the experiental dimension)/Aspek Ikhsan
Dimensi yang terdiri dari perasaanperasaan dan pengalamanpengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan

dialami.

Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa
takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan,
dan sebagainya.
e)

Religious effect (the consequential dimension)/Aspek Amal
Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang
dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya.
Misalnya ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut
melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.
Religiusitas seseorang tidak hanya ditampakkan dengan sikap yang

tampak, namun juga sikap yang tidak tampak yang terjadi dalam hati
seseorang. Oleh sebab itu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
religiusitas seseorang. Faktor-faktor yang sudah diakui bisa menghasilkan
sikap keagamaan, faktor-faktor itu terdiri dari empat kelompok utama:

34
Universitas Sumatera Utara

pengaruh-pengaruh sosial, berbagai pengalaman, kebutuhan dan proses
pemikiran.
Thouless (1997), menyebutkan beberapa faktor yang mungkin ada
dalam perkembangan sikap keagamaan akan dibahas secara lebih rinci,
yaitu:
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial
(faktor sosial). Faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai
pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dari
pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai
pendapat dan sikap orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi
yang kita terima dari masa lampau.
b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan, terutama
pengalaman-pengalaman mengenai:
1)

Keindahan, keselarasan, dan kebaikan di dunia lain (faktor
alami). Pada pengalaman ini yang dimaksud faktor alami
adalah seseorang mampu menyadari bahwa segala sesuatu
yang ada di dunia ini adalah karena Tuhan, misalnya
seseorang sedang mengagumi keindahan laut, hutan dan
sebagainya.

2)

Konflik moral (faktor moral), pada pengalaman ini
seseorang

akan

cenderung

mengembangkan

perasaan

bersalahnya ketika dia berperilaku yang dianggap salah oleh
pendidikan sosial yang diterimanya, misalnya ketika
seseorang telah mencuri dia akan terus menyalahkan dirinya

35
Universitas Sumatera Utara

atas perbuatan mencurinya tersebut karena jelas bahwa
mencuri adalah perbuatan yang dilarang.
3)

Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif), dalam
hal ini misalnya ditunjukkan dengan mendengarkan khutbah
di masjid pada hari minggu, mendengarkan khotbah dan
ceramah-ceramah agama.

c. Faktor-faktor

yang

seluruhnya

atau

sebagian

timbul

dari

kebutuhankebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhankebutuhan terhadap: 1) keamanan, 2) cinta kasih, 3) harga diri, dan
4) ancaman kematian. Pada faktor ini, untuk mendukung ke empat
kebutuhan yang tidak terpenuhi yang telah disebutkan, maka
seseorang akan menggunakan kekuatan spiritual untuk mendukung.
Misal dalam ajaran agama Katolik dengan berdoa meminta
keselamatan dari Tuhan.
Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual). Dalam hal
ini

berfikir

dalam

bentuk

kata-kata

sangat

berpengaruh

untuk

mengembangkan sikap keagamaannya, misalnya ketika seseorang mampu
mengeluarkan pendapatnya tentang yang benar dan yang salah menurut
ajaran agamanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa religiusitas atau
keberagamaan seseorang ditentukan oleh banyak faktor, tidak hanya
keluarga yang mempengaruhi keberagamaan seseorang yang sejak kecil
mengenalkan atau tidak mengenalkan tentang agama, namun juga banyak
faktor yang ada di luar sana yang mampu mempengaruhi keberagamaan

36
Universitas Sumatera Utara

seseorang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang
itu sendiri.

37
Universitas Sumatera Utara