citra perempuan dalam perspektif sosial

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perdebatan tentang isu perempuan telah memunculkan tanggapan yang
sangat beragam. Fakih (2008: 145) mengatakan bahwa tanggapan pertama
memandang bahwa sesungguhnya tidak ada masalah bagi kaum perempuan
sehingga sistem hubungan antara laki-laki dan perempuan saat ini adalah yang
terbaik dan karena itu kondisi dan posisi kaum perempuan tidak perlu
dipersoalkan. Pada umumnya, kelompok ini berasal dari mereka yang tengah
menikmati dan diuntungkan oleh sistem dan struktur hubungan laki-laki dan
perempuan yang ada, maka berusaha melanggengkannya.
Fakih (2008: 146) juga menambahkan bahwa responsi kedua datang dari
mereka yang menganggap bahwa saat ini kaum perempuan berada dalam kondisi
dan posisi yang ditindas dan dieksploitasi. Narwoko dan Suyanto (2004: 318)
berpendapat bahwa pembedaan laki-laki dan perempuan sebenarnya bukan
menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat. Pembedaan tersebut menjadi
masalah ketika melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan, karena jenis kelamin
tertentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari jenis kelamin yang lain. Oleh
karena itu, untuk menghapus ketidakadilan gender tidak mungkin dilakukan tanpa

melihat akar permasalahannya, yaitu pembedaan atas dasar jenis kelamin.
Murniati (2004: 4) mengatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat,
biologis dan sosiologis saling mempengaruhi. Pada awalnya, perbedaan memang
lebih bersifat alamiah, nature, fitrah. Kemudian melalui kebudayaan, kehidupan

2

manusia dikembangkan, direkayasa, dipaksa, dicegah, atau bahkan diberlakukan
secara berlawanan (kontradiksi) dengan dasar alamiah tadi. Kehidupan manusia
direkayasa oleh lingkungan, baik alam maupun tangan serta pikiran manusia.
Murniati juga menambahkan bahwa dalam kehidupan berbudaya, manusia
menciptakan berbagai aturan untuk mengatur hubungan antarmanusia dan
hubungan dengan Tuhan. Agama merupakan salah satu wujud dari kebudayaan
manusia. Manusia secara pribadi berhubungan dengan Tuhan. Namun, cara-cara
itu menjadi tradisi yang berkembang menjadi aturan atau prosesi ritual bersama.
Nugroho (2008: 33) mengatakan bahwa gender bukanlah kodrat Tuhan,
oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata
lain, gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran,

fungsi, hak, perilaku, yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat.
Fakih (2008: 8) mengatakan bahwa konsep gender, yakni suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan.Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan
perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada
perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat
terjadi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain.
Narwoko dan Suyanto (2004: 320) mengatakan bahwa masyarakat sebagai
suatu kelompok, menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan apa

3

yang mereka anggap sebagai suatu keharusan, untuk membedakan laki-laki dan
perempuan. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan
keindahan rumah tangga, atau urusan domestik, seperti memasak, mencuci dan
merawat anak acapkali dianggap kodrat wanita. Padahal peran gender seperti itu
adalah hasil konstruksi sosial dan kultural dalam masyarakat.
Patel (2005: 5) mengatakan bahwa dalam peradaban masyarakat Arab,

kebiasaan mengubur hidup-hidup bayi perempuan bukanlah suatu hal yang
mengherankan. Muslikhati (2004: 22) mengatakan seorang laki-laki berhak
mengawini perempuan sebanyak-banyaknya yang kemudian dijadikan sebagai
budaknya yang bisa diwariskan jika suaminya telah meninggal. Para istri tidak
memiliki hak sedikitpun untuk mengeluarkan pendapat, mereka harus tunduk
sepenuhnya kepada suami, dan jika tidak dapat memiliki keturunan, sering kali
hukuman mati adalah sebagai akhir hidupnya. Diskriminasi laki-laki dan
perempuan ini seperti telah disampaikan sebelumnya terjadi hampir di seluruh
belahan dunia, termasuk juga pada bangsa Eropa
Pada zaman itu, terjadilah kebiasaan manusia bertingkah laku sesuai
dengan ketentuan yang telah dibuat bersama. Murniati (2004: XIX) mengatakan
bahwa perbedaan seks antara perempuan dan laki-laki yang berproses melalui
budaya dan menciptakan perbedaan gender tidak menjadi masalah, apabila dasar
pikiran dan pandangan dua jenis manusia ini dalam kesetaraan. Namun,
persoalannya bahwa pembedaan ini harus diikuti dengan ketidakadilan gender.
Kemudian diwarnai oleh pandangan bahwa kedudukan laki-laki di atas
perempuan.

4


Pandangan itu kemudian lebih dikukuhkan lagi melalui agama dan tradisi.
Dengan demikian laki-laki diakui dan dikukuhkan untuk menguasai perempuan.
Kemudian hubungan laki-laki dan perempuan ini dianggap sudah benar. Menurut
Murniati (2004: XIX-XX) situasi tersebut merupakan hasil belajar manusia dari
budaya patriarkhi. Dalam budaya ini, berbagai ketidakadilan muncul di berbagai
bidang dan bentuk. Ketidakadilan gender tersebut terdapat dalam berbagai
wilayah kehidupan, yaitu wilayah Negara, masyarakat, organisasi, atau tempat
bekerja, keluarga, dan diri pribadi. Bentuk dari berbagai ketidakadilan gender ini,
bisa berupa marginalisasi, streotip, subordinasi, beban ganda, dan kekerasan
terhadap perempuan.
Seperti yang dikatakan juga oleh Fakih (2008: 13) bahwa untuk
memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender,
dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan
gender

termanifestasikan

dalam

berbagai


bentuk

ketidakadilan,

yakni:

marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan
negatif, kekerasan (violence) beban kerja lebih panjang dan lebih banyak
(burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Handayani dan Sugiarti (2005: 10) mengatakan bahwa faktor yang
menyebabkan ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya
gender yang dikontruksikan secara sosial dan budaya. Fakih (2008: 80)
mengatakan bahwa semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkait
dan secara dialektis saling memengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu
“tersosialisasi” kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap, yang lambat

5


laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya
memercayai bahwa peran gender itu seolah-olah kodrat.
Murniati (2004: 141) mengatakan bahwa perilaku kehidupan tersebut,
diturunkan melalui tradisi. Dalam proses perkembangan zaman akhirnya perilaku
tersebut menjadi sistem dari berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik
(kekuasaan), keamanan, dan kepercayaan (agama). Semakin lama aspek-aspek
kehidupan tersebut saling mempengaruhi. Perkembangan manusia secara pribadi
dan kelompok tidak homogen lagi. Oleh karena itu, terjadilah struktur sosial
tertentu yang membuat manusia semakin bersifat melembaga. Sifat ini yang
menyebabkan struktur sosial menjadi terkunci mati, seolah tak tergoyahkan. Inilah
yang membuat sengsara kelompok masyarakat tertentu, khususnya yang berada di
pinggiran, kaum miskin, kaum perempuan, kaum buruh, dan sebagainya.
Maka dari pengalaman-pengalaman berbagai ketidakadilan gender yang
dirasakan kaum perempuan inilah pada masa selanjutnya perempuan melakukan
pemberontakan dengan membentuk gerakan-gerakan yang bertujuan untuk
memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia, serta menuntut kesetaraan
gender.

Gerakan


ini

mengajak

kaum

perempuan

untuk

bangkit

dari

keterpurukannya dan meyakinkan mereka bahwa sebagai manusia, mereka juga
memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki. Gerakan inilah yang pada
akhirnya dikenal sebagai gerakan feminisme.
Ratna (2004: 184) mengatakan pengertian secara umum, feminisme adalah
suatu ideologi yang menggerakkan kaum perempuan untuk menolak budaya
patriarkhi yang memarginalisasi, mensubordinasi, dan merendahkan posisi

perempuan di bidang politik, ekonomi, dan kehidupan sosial pada umumnya.

6

Dalam pengertian yang khusus, yaitu dalam sastra, feminisme dikaitkan dengan
cara-cara memahami karya sastra dalam kaitannya dengan proses produksi
maupun resepsi. Berhubungan dengan emansipasi wanita dan persamaan hak,
dalam ilmu sosial kontemporer dikenal sebagai gerakan kesetaran gender.
Karya sastra merupakan ekspresi dari masyarakat dan mengandung
kerangka sosial historis. Dengan demikian, karya sastra dapat berfungsi sebagai
dokumen sosial seperti dinyatakan oleh Wellek dan Warren (dalam Budianta,
1990:

20) bahwa karya sastra dapat

menjadi

dokumen sosial

yang


mengungkapkan sejarah dan peradaban suatu masyarakat pada waktu tertentu dan
karya sastra selalu menggambarkan fenomena sosial pada zamannya.
Dalam karya sastra Arab terdapat fenomena sosial yang tergambar pada
zamannya, di antaranya adalah novel-novel yang ditulis oleh Nawal el-Saadawi .
Ia adalah seorang sastrawan feminis dari Kairo, Mesir. Ia lahir di KafrTahla, 27
Oktober 1931 dan banyak menulis tentang perempuan. Penulis Mesir yang paling
dikenal karena novelnya yang berjudul Perempuan di Titik Nol,
Saadawi,

akan

melangkah

lebih

jauh

untuk


melanjutkan

Nawal El
perjuangan

kemanusiaannya, terutama yang berhubungan dengan kaum perempuan Arab. El
Saadawi lulus dari jurusan kedokteran Universitas Kairo pada 1955. Melalui
praktik medisnya, dia melakukan observasi permasalahan fisik dan psikologis
perempuan lalu menghubungkannya dengan tekanan praktik kebudayaan,
dominasi patriarkhi, tekanan kelas, dan imperialis. El Saadawi terkenal sebagai
tokoh feminisme. Ia menulis permasalahanperempuan melalui praktik medisnya.
Dengan latar belakang seorang dokter, mengungkap pemasalahan fisik dan

7

psikologis perempuan lalu menghubungkannya dengan kebudayaan, gender, dan
patriarki.
Penulis menetapkan dua novel Nawal El-Saadawi yang dianalisis dalam
penelitian ini yaitu Memoar Seorang Dokter Perempuan (1988) dan Perempuan
di Titik Nol (1989). Kedua novel ini dianggap dapat mewakili isu ketidakadilan

gender yang dialami perempuan di negeri-negeri Arab. Menurut Mochtar Lubis
dalam kata pengantar yang ditulisnya dalam novel Perempuan di Titik Nol karya
Nawal El-Saadawi, bahwa negeri-negeri Arab terkenal sebagai masyarakat yang
kedudukan perempuannya dianggap amat terbelakang jika dibandingkan dengan
hasil-hasil perjuangan persamaan kedudukan dan hak antara perempuan dan lelaki
yang telah tercapai.
Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol
dipilih karena menggambarkan potret perempuan dan proses menuju kemandirian
untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Tokoh perempuan dalam
novel ini mengalami dominasi dalam keluarganya, ia kehilangan hak-hak
fundamental seperti mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Mereka juga
terperangkap di ranah domestik sehingga kehilangan kesempatan untuk
meningkatkan kualitas diri.
Sesuai dengan rumusan masalah penelitian, kedua novel sangat relevan
untuk diteliti karena banyak mengungkapkan ketidakadilan yang dirasakan oleh
perempuan. Secara umum novel ini bertema feminisme, menurut Mochtar Lubis
dalam kata pengantar yang ditulisnya dalam novel tersebut menunjukkan bahwa
perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama,

8

dan lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai dan sikap kaum lelaki
Mesir terhadap perempuan, masih belum sepenuhnya tercapai.
Kedua novel karya Nawal El Saadawi yang disebutkan di atas perlu untuk
diteliti, karena perjuangannya melawan ketidakadilan gender memiliki relevansi
dengan pemahaman feminisme. Gagasan dan ide disampaikan melalui tokohtokoh utama dalam novel dan pengalamannya sendiri dalam keluarganya dan saat
bersama suaminya. Tokoh utama ini dapat digolongkan ke dalam perempuan
korban laki-laki berbudaya patriarkhi. Dia mengungkapkan penderitaannya di
balik lembaga perkawinan yang tidak harmonis. Pilihan tokoh “Aku” dalam novel
Memoar Seorang Dokter Perempuan dan tokoh “Firdaus” dalam novel
Perempuan di Titik Nol yang sama-sama memilih jalan hidup untuk menikah
dengan laki-laki dan akhirnya meninggalkannya merupakan hal yang menarik
untuk dikaji sebagai suatu gerakan pertentangan bagi kaum perempuan.
Penggunaan ekspresi ketidakadilan gender yang dialami tokoh utama
perempuan dalam novel tersebut tentu berkaitan erat dengan latar belakang sosial
budayanya. Permasalahan sosial dan budaya yang kompleks dalam kedua novel
tersebut menurut pandangan peneliti memiliki latar belakang yang berkaitan
dengan konteks sosial tokoh “Aku” dalam novel Memoar Seorang Dokter
Perempuan dan tokoh “Firdaus” dalam novel Perempuan di Titik Nol sebagai
seorang perempuan Mesir. Aspek sosial budaya tersebut sangat penting untuk
dianalisis sebagai bagian untuk mengungkapkan hubungan karya sastra tersebut
dengan masyarakat. Peneliti menilai bahwa hal tersebut akan bermanfaat apabila
dikaji dan dianalisis secara mendalam dengan pendekatan feminisme dan
sosiologi sastra.

9

Masalah-masalah perempuan ini perlu dibicarakan karena masih banyak
perempuan yang “terperangkap” dalam lembaga perkawinan yang berubah
menjadi tempat penyiksaan yang tersembunyi. Banyak di antara mereka yang
memilih untuk tidak bersuara karena hal ini dianggap tabu mengungkapkan aib
keluarga. Dominasi di ranah domestik juga termasuk dalam perjuangan ideologi
feminisme untuk membebaskan perempuan dari berbagai opresi.
Tokoh perempuan dalam kedua novel tersebut beragam latar belakang
sosial budayanya. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh tokoh
perempun, cara mereka mengatasi persoalan yang dihadapi dapat menampilkan
citra perempuan tokoh tersebut. Konsep citra perempuan diartikan sebagai kesan
mental, bayangan visual atau yang mewakili sesuatu yang tidak tampak, atau
gambaran mengenai perempuan yang dijadikan tokoh dalam cerita novel. Hal ini
berpadanan dengan konsep citra perempuan Effendi dkk (1995: 25) yang
mengatakan bahwa citra perempuan merupakan gambaran angan atau imaji yang
timbul dalam proses pembacaan. Citra perempuan adalah gambaran yang dimiliki
setiap individu mengenai pribadi perempuan.
Citra perempuan yang terlihat dari novel Memoar Seorang Dokter Perempuan
dan Perempuan di Titik Nol dapat menunjukkan gambaran kehidupan perempuan
sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Ganelli, dkk (2010: 5)
mengatakan citra perempuan merupakan segala bentuk tingkah laku individu yang
terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap
segala rangsangan, baik datang dari luar dirinya atau lingkungannya maupun dalam
dirinya sendiri, sehingga tingkah laku individu adalah menifestasi dan kepribadian yang
dimilikinya sebagai perpaduan yang timbul dari dalam lingkungan.

10

Menurut Sugihastuti (2000: 14) citra perempuan itu merupakan tanda dalam karya
sastra, maka unsur itu berelevansi kuat dalam hubungannya dengan struktur karya,
pencipta, pembaca, dan semestaannya. Tegangan unsur citra perempuan dengan keempat
komponen itu dapat diungkapkan untuk memahaminya secara lebih memadai, terutama
hasil pengungkapan pembaca perempuan. Sugihastuti menambahkan bahwa wujud dari
citra perempuan itu dibatasi pada masalah pikiran dan perasaan perempuan dalam tingkah
laku keseharian sebagai pribadi (individu), sebagai anggota keluarga, dan sebagai anggota
masyarakat. Wujud citra perempuan dapat dihubungkan dengan aspek fisis, psikis, dan
sosial budaya dalam kehidupan perempuan yang melatarbelakangi terbentuknya citra
perempuan.
Dengan demikian, perbedaan keadaan sosial dan kondisi budaya dapat memberi
gambaran citra perempuan yang tidak sama. Seperti diungkapkan oleh Fakih (2001: 8)
bahwa konsep yang melekat pada perempuan yang dikenal lemah lembut, cantik,
emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan
perkasa merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan berdasarkan perubahan waktu
dan tempat.
Berkaitan dengan masalah yang akan dikaji, teori sosiologi sastra dan
feminisme dapat diterapkan untuk mencapai tujuan pemecahan masalah.
Swingewood (dalam Yasa, 2012 : 21) mengatakan bahwa novel sebagai jenis
karya sastra utama dalam masyarakat, dilihat sebagai usaha setia untuk
menciptakan

kembali

kehidupan

masyarakat

itu

berhubungan

dengan

keluarganya, politiknya, negaranya, peraturan, konflik dan tegangan konflik antar
kelompok dan kelas sosial. Sebagai sebuah dokumen murni, satu hal yang dapat
dilihat bahwa novel banyak memiliki kesamaan sosial, ekonomi, dan politik

11

selayaknya ilmu sosiologi. Akan tetapi, dokumen dalam sastra itu lebih dari itu ;
sebagai sebuah karya seni, sastra bukan hanya sebuah deskripsi dan objektif
semata, atau memasukkan kehidupan masyarakat secara permukaan saja, namun
juga memperlihatkan cara-cara pengalaman dan perasaan masyarakat.
Teori feminis Marxis dan sosialis percaya bahwa opresi terhadap
perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk
dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup. Pekerjaan
perempuan yang tidak diperhitungkan secara ekonomis, merupakan fokus
perjuangan kaum feminis Marxis. Tong (1998 : 141) mengatakan bahwa feminis
Marxis percaya bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran. Komentar
bahwa “pekerjaan perempuan tidak pernah selesai” bagi feminis Marxis adalah
lebih dari sekedar aforisme; komentar itu merupakan gambaran dari sifat
pekerjaan perempuan. Dengan selalu siap bertugas, seorang perempuan
membentuk konsepsi dirinya yang tidak akan dimilikinya jika perannya di dalam
keluarga dan di tempat kerja tidak menahannya untuk tetap subordinat terhadap
laki-laki, baik secara sosial maupun ekonomi. Karena itu feminis Marxis percaya
bahwa untuk memahami mengapa perempuan teropresi, sementara laki-laki tidak,
kita perlu menganalisis hubungan antara status pekerjaan perempuan dan citra
perempuan.

12

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan di atas, masalah
yang akan dianalisis dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah ketidakadilan gender

yang

dialami

tokoh

perempuan dalam novel MSDP dan PDTN karya Nawal ElSaadawi dan apakah pesan-pesan yang ingin disampaikan
pengarang dalam kedua novel tersebut?
2. Bagaimanakah citra perempuan dalam novel MSDP dan PDTN

karya Nawal El-Saadawi ditinjau dari perspektif sosial budaya?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Menggambarkan

ketidakadilan

gender yang dialami tokoh

perempuan dalam novel MSDP dan PDTN karya Nawal ElSaadawi dan menggali pesan-pesan yang ingin disampaikan
pengarang dalam kedua novel tersebut.
2. Mengungkapkan citra perempuan dalam novel MSDP dan PDTN

karya Nawal El-Saadawi berdasarkan perspektif sosial budaya.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Dapat memperkaya kajian sastra, khususnya dalam kajian gender,
feminisme dan sosiologi sastra.
2. Dengan menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini
diharapkan pemakaian teori feminisme dan sosiologi sastra dapat

13

membantu bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan
masalah-masalah perempuan dalam karya sastra.
3. Untuk memberikan sumbangan pemikiran pada mahasiswa agar lebih
banyak memahami mengenai novel Memoar Seorang Dokter
Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi
khususnya tentang citra perempuan yang terdapat di dalamnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat

untuk mengubah cara pandang dan sikap agar tercapai hubungan yang
harmonis antara laki-laki dan perempuan, sebagai mitra yang sejajar,
yang satu tidak lebih dominan dari yang lain.
2. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh penentu kebijakan

untuk membuat peraturan yang dapat melindungi kepentingan
perempuan di ranah publik dan domestik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Yang Relavan
Penelitian terhadap sosok perempuan dalam novel Nawal El Saadawi sudah
banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Akan tetapi, beberapa dilakukan hanya
terhadap satu karya Nawal El Saadawi saja atau dengan pendekatan yang

14

berbeda. Dalam penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian yang
relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang citra perempuan dalam
perspektif sosial budaya dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan
Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi. Penelitian yang relavan dan
dapat dijadikan acuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
Miyatul Ummah tahun 2009 melakukan penelitian dengan judul Kritik Sastra
Feminis Dalam Novel Imra’ah Indha Nuqthah Al-Shifr Karya Nawal A-Saadawi.
Penelitian ini melihat karakteristik dan pikiran yang dituangkan Nawal El-Saadawi
dalam karyanya serta kontroversi masyarakat dalam menanggapi pikiran-pikiran
pengarang. Penelitian yang dilakukkan oleh Ummah ini juga mengemukakan pokokpokok pemikiran feminisme yang terdapat dalam novel tersebut. Perbedaan penelitian
yang dilakukan Ummah ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah
metode pendekatannya. Ummah memakai pendekatan kritik sastra feminis untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan yang ditemukan dalam penelitiannya.
Sedangkan penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dan feminisme.
Penelitian tersebut dapat memberi konstribusi yang akan dilakukan penulis karena
novel yang dipilih Ummah sebagai objek penelitian merupakan salah satu novel yang
akan diteliti oleh penulis. Karena Ummah mengungkapkan pikiran-pikiran pengarang
dalam penelitiannya sedangkan penulis mengungkapkan pesan-pesan yang ingin
disampaikan pengarang maka untuk membantu menemukan tujuan penelitian tersebut
dapat dilihat dari hasil penelitian Ummah.
Dalam jurnal online Universitas Negeri Malang terdapat jurnal dengan judul
Pencitraan Wanita Dalam Novel “Imro’ah Inda Nuqthah Ash-Shifr” Karya Nawal ElSa’dawi (Kritik Sastra Feminis). Penelitian tersebut dilakukan oleh Esti Rohana

15

dkk.Tujuan penelitian tersebut untuk mendeskripsikan citra wanita dalam novel
“Imro’ah Inda Nuqthah Ash-Shifr karya Nawal El-Sa’dawi.Penelitian ini
menggunakan teori kritik sastra feminis. Dalam penelitian ini citra wanita terdiri dari
citra wanita mesir dalam segi fisik, psikis, dan sosial dalam pandangan feminisme.
Ada beberapa perbedaan dan persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini.
Salah satunya adalah teori yang dipakai. Penelitian tersebut menggunakan teori kritik
sastra feminis. Sedangkan penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dan
feminisme. Salah satu novel yang dijadikan objek penelitian dalam penelitian tersebut
sama dengan novel yang digunakan sebagai objek penelitian yang sekarang ini. Dalam
penelitian yang sekarang ini juga mengungkapkan ketidakadilan gender yang terjadi
pada tokoh perempuan dalam novel untuk dapat menunjukkan citra perempuan dalam
perspektif sosial dan budayanya.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Cinta Raga Suci Prestiyono (2013)
Penelitiannya yang berjudul Ketidakadilan Gender Novel Perempuan di Titik Nol
Karya Nawal El-Saadawi ini menunjukkan adanya konflik fisik dan konflik batin
yang dialami oleh tokoh perempuan dalam novel PDTN. Penelitian tersebut
relevan dengan penelitian yang akan dilakukan sekarang ini karena pada
penelitian ini pada rumusan masalah pertama membahas ketidakadilan gender
yang dialami tokoh perempuan dalam novel. Perbedaannya yaitu pada penelitian
ini melakukan analisis pragmatik yang dititik beratkan pada ketidakadilan gender
meliputi: marginalisasi, subordinasi, strotipe, dan kekarasan. Sementara penelitian
ini menunjukkan citra perempuan dalam novel yang tergambar dari ketidakadilan
gender yang dialami tokoh perempuan dalam novel tersebut.
Indiyah Prana Amertawengrum melakukan penelitian terhadap tokoh

16

“Aku” dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan karya Nawal El-Saadawi.
Judul jurnal tersebut adalah Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan : Tinjauan
Psikologis Tokoh. Penelitian tersebut mengkaji aspek psikologi tokoh yang muncul
dalam novel tersebut antara lain kekecewaan, kemarahan, kebencian, kemunafikan,
ketidakpuasan, kegagalan, perlawanan, kesunyian, dan kerinduan tokoh “Aku”.
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu pendekatan yang
digunakan. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan psikologi sementara
penelitian yang sekarang ini dengan pendekatan sosiologi. Dengan adanya
penelitian tersebut yang mangkaji psikologi tokoh maka dapat membantu
penelitian ini untuk melihat bagaimana tokoh tersebut dalam aspek fisis, psikis,
sosial dan budaya.
Maria Theresia Ratih Pramuditha (2014) mengkaji novel Perempuan di
Titik Nol Karya Nawal El-Saadawi. Penelitian dalam jurnal Universitas Jember
yang berjudul Kehidupan Perempuan Yang Digambarkan Dalam Novel
Perempuan Di titik Nol Karya Nawal El-Saadawi dianalisis secara sosiologis
dengan metode pemahaman teks hermeneutic Gadamer. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan perempuan Mesir,
terutama mencakup kuasa tubuh perempuan, penomorduaan, dan tradisi yang
melekat pada kehidupan mereka. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian
ini yaitu metode yang dipakai untuk menganalisis. Namun penelitian tersebut
juga menganalisis secara sosiologis dan menunjukkan gambaran kehidupan
wanita Mesir sehingga dapat bermanfaat bagi peneliti dalam penelitian ini untuk
melihat realita sosial yang ada di dalam masyarakat Mesir.

17

2.2

Landasan Teori
Teori dan metode jelas sangat penting sebab di satu pihak, melalui teorilah

objek penelitian dapat dipahami sebaik-baiknya.Teori merupakan jendela yang
melalui objek dapat dilihat secara jelas.Teori juga membatasi skop penelitian
sebab besar kecilnya jendela menentukan luas dan sempitnya objek yang harus
dikaji.Teori merupupakan akumulasi konseptual sepanjang sejarahnya, baik yang
diperoleh secara evolusi maupun revolusi.Teori pulalah yang dapat menjawab
keseluruhan problematika yang timbul dalam penelitian. Tanpa teori suatu
penelitian ilmiah hamper tidak dapat dilakukan. Meskipun demikian, dalam
penelitian teori bukan segala-galanya.Teori tetap alat sehingga yang lebih penting
tetap objek itu sendiri. Objeklah yang menentukan teori apa yang harus
digunakan, bukan sebaliknya.
Teori terdiri atas konsep utama dan konsep-konsep lain sebagai pelengkap.
Sosiologi sastra, dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda, sosiologi dan
sastra, secara harfiah mesti ditopang oleh dua teori yang berbeda, yaitu teori-teori
sosiologi dan teori-teori sastra. Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah
dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat tercapai
secara maksimal. Dalam sosiologi sastra yang mendominasi jelas teori-teori yang
berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkitan dengan sosiologi
berfungsi sebagai komplementer.
Teori-teori yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teori-teori
yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem
komunikasi, khususnya dalam kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti:
kelompok sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial,
interaksi sosial, konflik sosial, kesadaran sosial, mobilitas sosial dan sebagainya.

18

Dalam penelitian ini tentu dibutuhkan landasan teori yang berguna untuk
mengupas permasalahan yang akan dikaji. Landasan teori dalam penelitian
merupakan kerangka dasar dalam penelitian.Dengan tampilnya sosiologi sastra
sebagai disiplin yang otonom, khususnya sesudah timbulnya kesadaran bahwa
analisis

strukturalisme

memiliki

keterbatasan,

sebagai

metode

yang

mengaliensikan karya terhadap struktur sosial yang menghasilkannya, lahirlah
teori-teori yang secara spesifik, yang secara konseptual paradigmatis ditunjukkan
dalam analisis sosiologi sastra.Teori yang relavan dengan objek penelitian ini
untuk memecahkan rumusan masalah mengenai citra perempuan dalam aspek
sosial dan budaya adalah teori sosiologi sastra dan teori feminisme marxis dan
sosialis.
2.2.1 Teori Sosiologi Sastra
Laurenseon dan Swingewood (dalam Endraswara, 2013: 78) mengatakan
bahwa sosiologi sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat
memberikan penjelasan terhadap makna dan teks sastra. Hal ini dapat dipahami,
karena sosiologi obyek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra
adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya.
Dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda
namun dapat saling melengkapi. Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah
refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara
pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan
suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.

19

Novel dan karya sastra lainnya berasal dari gejala sosial dan sangat terikat
dengan waktu tertentu dalam sejarah sosial. The form and content of the novel
derive more closely from social phenomena and often seem bound up with
particular moments in the history of society, (Zeraffa dalam Elizabeth, 1973: 35).
Para

pengarang

menganalisis

“data”

dari

kehidupan

sosial,

menginterprestasikannya, memberinya bentuk dan menuangkannya dalam bentuk
tulisan. Sastra lahir dari hasil observasi rasional dan merupakan pengalaman dari
realitas yang dirancang dengan baik.
Levin (dalam Elizabeth, 1973: 66) mengatakan bahwa sastra dengan isinya
yang asli adalah seni yang dengan berani mengekspresikan kedalaman jiwa dan
keseluruhan realitas sisial, dapat merupakan ekspresi dari individu dan juga
ekspresi kolektif dari masyarakat. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa “a novel is a
kind of portable mirror which can be conveyed everywhere and which is most
convenient for reflecting all aspects of nature and life”. Novel itu seperti cermin
kecil yang dapat dibawa ke mana-mana dan merefleksikan dengan jelas apa pun
yang ada di depannya alam dan kehidupan manusia.
Seperti yang dikatakan oleh Levin, Endraswara (2013: 78) juga
mengatakan bahwa sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan
ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra
tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu
sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan
sekadar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah di tafsirkan. Kenyataan
tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.
Pengarang berusaha mengungkapkan kekacauan yang terjadi pada orang per orang

20

atau sekelompok orang dengan demikian sastra tidak hanya “To make sense of our
lives but also to make nonsense of our lives” (Zeraffa dalam Elizabeth, 1973: 31).
Persamaan dunia fiktif dengan dunia nyata membuat karya sastra seperti asli dan
bermakna yang membuat kita memahami dunia nyata dengan lebih baik.
Swingewood (dalam Yasa 2012: 21) mengatakan bahwa novel sebagai
jenis karya sastra utama dalam karya masyarakat, dilihat sebagai usaha setia untuk
menciptakan

kembali

kehidupan

masyarakat

itu

berhubungan

dengan

keluarganya, politiknya, negaranya, peraturan, konflik, dan tegangan konflik antar
kelompok dan kelas sosial. Sebagai sebuah dokumen murni, satu hal yang dapat
dilihat bahwa novel banyak memiliki kesamaan sosial, ekonomi, dan politik
selayaknya ilmu sosiologi. Akan tetapi, dokumen dalam sastra lebih dari itu;
sebagai sebuah karya seni, sastra bukan hanya sebuah deskripsi dan objektif
semata, atau memasukkan kehidupan masyarakat secara permukaan saja, namun
juga memperlihatkan cara-cara pengalaman dan perasaan masyarakat.
Swingewood (dalam Yasa 2012: 22) membuat tiga perspektif dalam
melihat fenomena sosial dalam karya satra. Pertama, perspektif yang paling
populer mengambil aspek dokumenter sastra yang memberikan perhatian pada
cermin zaman. Perspektif ini memfokuskan perhatian pada teks sastra sebagai
objek kajian dengan asumsi dasarnya adalah bahwa karya merupakan cermin
zaman.
Kedua, perspektif kedua tentang sosiologi sastra mengambil cara lain
dengan memberikan penekanan pada bagian produksi dan lebih khusus pada
situasi sosial penulis. Pada perspektif kedua ini, fokus perhatian penelitian

21

diarahkan pada pengarang sebagai pencipta karya sastra. Perspektif kedua ini
bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra merupakan cermin situasi sosial
penulis.
Ketiga, perspektif ketiga menuntut satu keahlian yang lebih tinggi,
mencoba melacak bagaimana suatu karya sastra benar-benar diterima oleh
masyarakat tertentu dan pada suatu momen sejarah tertentu. Perspektif ketiga ini
memfokuskan perhatian pada penerimaan masyarakat terhadap karya sastra terkait
dengan momen sejarah. Asumsi dasarnya adalah karya sastra sebagai refleksi
peristiwa sejarah.
Pada kutipan di bawah dapat dilihat bahwa novel adalah karya sastra yang
dapat mewakili manusia secara eksplisit dari perspektif sejarah dan sosial.
Keberadaan novel seolah menegaskan bahwa tidak ada masyarakat tanpa sejarah
dan juga tidak ada sejarah tanpa masyarakat. Dengan adanya novel, masyarakat
masuk ke dalam sejarah dan sejarah masuk ke dalam masyarakat.
Implicit in the text of the novel are the propositions that man have
lives by himself and above all, that he has a past, a present and a
future. The novels emergence as an art form affirms, essentially, that
there was no society without history, nor history without society. With
the novel, society enters history and history enters into society (Zeraffa
dalam Elizabeth, 1973: 39).
Selanjutnya Goldmann (dalam Elizabeth, 1973: 109) menegaskan bahwa
tidak ada penelitian sosial yang realistis jika tidak bersifat historis dan tidak ada
penelitian historis yang bersifat ilmiah dan realistis jika tidak mengandung unsurunsur sosiologis. Jadi, dalam mempelajari fakta-fakta kemanusian dalam struktur
dan realitas konkretnya diperlukan metode yang sekaligus sosiologis dan historis.

22

Swingewood (dalam Yasa, 2012: 22) menyampaikan bahwa pengarang
besar tidak sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah, tetapi ia
mengemban tugas yang mendesak, yaitu memainkan tokoh-tokoh ciptaannya
dalam satu situasi rekaan untuk mengungkapkan nilai dan makna dalam dunia
sosial. Dalam masyarakat, sesungguhnya, manusia berhadapan dengan norma dan
nilai. Dalam sastra, juga dicerminkan nilai dan norma yang secara sadar
difokuskan dan yang diusahakan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Sastra
juga melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu,
kemungkinan sastra tersebut bisa merupakan salah satu ukuran sosiologis yang
paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial.
Swingewood (dalam Yasa, 2012: 23) juga mengatakan bahwa sastra
merefleksikan langsung berbagai segi sosial, hubungan keluarga, konflik kelas,
dan mungkin kecenderungan pemisahan susunan masyarakat. Dalam konteks ini,
seorang sosiolog sastra berusaha menghubungkan karakter tokoh-tokoh dan
situasi yang ada dalam cerita dengan situasi sejarah yang melingkupi kehidupan
penulis. Dia harus mengubah arti tema dan gaya dalam karya sastra yang sifatnya
pribadi menjadi bersifat sosial.
Swingewood (dalam Yasa, 2012: 23) menyatakan bahwa dalam penelitian
sosiologi sastra, konsep cermin harus diperlakukan dengan teliti, karena jika tidak,
konsep ini akan mengarah pada pengabaian penulis, kesadaran, dan niatnya. Yang
penting diperhatikan di sini adalah bahwa pengarang-pengarang besar tidak hanya
menggambarkan dunia sosial dalam bentuk deskriptif. Akan tetapi, lebih dari itu,
pengarang memiliki tugas yang kritis, yaitu menentukan gerakan karakter tokoh-

23

tokoh ciptaannya dalam situasi yang dihadapinyauntuk mengetahui nasib mereka
sendiri dan kemudian menunjukkan nilai dan arti dalam dunia sosial.
Swingewood (dalam, Yasa 2012: 23-24) menambahkan bahwa sastra
sebagai sebuah cermin, merefleksikan situasi zamannya. Setiap zaman mengenal
pertentangan kelas dan hasil sastra mengarah pada suara kelas tertentu sehingga ia
merupakan alat perjuangan kelas.

Ia menambahkan bahwa kompromi kelas

menggarisbawahi perkembangan masyarakat Inggris. Ia menyampaikan bahwa
seperti halnya pendekatan sosiologi sastra yang lain, Marxisme merumuskan,
antara lain, sastra sebagai refleksi sosial. Keadaan sosial selalu ditandai dengan
pertentangan kelasdan seorang penulis akan menyuarakan kelasnya. Kesan
pertentangan kelas ini akan ditemui dalam karya sastra sehingga tokoh-tokoh di
dalamnya merupakan tokoh yang representatif (representatif figure) yang
mewakili kelas sosial tertentu. Swingewood menegaskan pula bahwa karya sastra
adalah suatu jagat yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi
manusia karena di samping sebagai makhluk individu, manusia adalah makhluk
sosial, maka dinamika sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra.
Ia menyampaikan bahwa sinkronisasi antara fakta imajiner dengan fakta realitas
sebagai bukti bahwa sastra adalah refleksi sosial.
Menurut Ratna (2004: 339) sosiologi sastra adalah analisis karya sastra
dalam kaitannya dengan masyarakat maka model analisis yang paling tepat adalah
dengan menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra,
kemudian dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada di dunia nyata.
Anasir-anasir dalam struktur saling berhubungan dan mencapai totalitas dan
memiliki makna, hubungannya bersifat dialektika.

24

2.2.2 Teori Feminisme
Feminis, dari kata femme, berarti perempuan. Feminisme adalah bidang
teori dan politik yang plural, dengan perspektif dan rumusan aksi yang saling
bersaing. Secara umum biasa dikatakan bahwa feminisme melihat seks/kelamin
sebagai sumbu organisasi sosial yang fundamental dan tidak bisa direduksi yang
sampai saat ini, telah menempatkan perempuan di bawah lelaki. Dengan
demikian, perhatian utama feminisme adalah pada jenis kelamin sebagai prinsip
pengaturan sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan.Para feminis melihat bahwa
subordinasi perempuan terjadi di berbagai lembaga dan praktik, atau, dengan kata
lain, bahwa subordinasi tersebut bersifat struktural. Subordinasi struktural inilah
yang disebut sebagai patriarkhi, bersama dengan makna-makna turunannya
tentang keluarga yang dipimpin lelaki, penguasaan, dan superioritas.
Groos (dalam Ollenburger dan Moore, 1996) mengatakan bahwa tujuantujuan politik feminis pada tahun 1960-an terfokus pada penentuan wanita agar
sederajat dengan laki-laki. Setelah berabad-abad diabaikan, disingkirkan dan
diremehkan oleh disiplin-disiplin patriarkhi, wanita berusaha masuk menjadi
objek penyelidikan. Teori-teori tradisional kerap dimodifikasi oleh kaum feminis
untuk menerangkan penindasan wanita. Dengan memusatkan pada pencantuman
persamaan wanita ke dalam kerangka teoritis masa lalu itu, kesamaan-kesamaan
wanita dengan laki-laki ditekankan.
2.2.2.1 Feminisme Marxis dan Sosialis
Tong (1998: 139) mengatakan bahwa memang dimungkinkan untuk
membedakan, pemikiran feminis Marxis dan sosialis, namun tidaklah mudah
melakukannya. Ia juga mengatakan bahwa telah bertahun-tahun menjadi yakin

25

bahwa perbedaan antara dua kelompok pemikiran ini lebih merupakan masalah
penekanan daripada masalah substansi. Feminis Marxis cenderung untuk
menunjukkan penghargaan mereka langsung kepada Marx, Engels, dan pemikir
abad 19 lain. Mereka juga cenderung untuk mengidentifikasi kelasisme (classism)
dan bukan seksisme sebagai penyebab utama opresi terhadap perempuan.
Sebaliknya, Tong mengatakan bahwa feminis sosialis tampaknya dipengaruhi oleh
pemikir abad 20, seperti Louis Althusser dan Jurgen Habermas. Lebih dari itu,
feminis sosialis juga menegaskan bahwa penyebab fundamental opresi terhadap
perempuan bukanlah “kelasisme” atau “seksisme” melainkan suatu keterkaitan
yang sangat rumit antara kapitalisme dan patriarki.
Menurut Nugroho (2008: 69) pemikiran tentang feminis ini muncul
dilatarbelakangi keprihatinan para pencetusnya (Karl Marx dan Friedrich Engels)
yang melihat bahwa kaum perempuan kedudukannya identik dengan kaum
proletar

pada

masyarakat

kapitalis

Barat.

Mereka

dalam

teorinya

mempermasalahkan konsep kepemilikan pribadi, dan menganalogikan perkawinan
sebagai lembaga lembaga yang melegitimasikan pria memiliki istri secara pribadi.
Gejala inilah yang dipandang kedua tokoh ini merupakan bentuk penindasan
perempuan.
Wanita hanya dapat dibebaskan dari penindasan ini, apabila sistem
ekonomi kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis, yaitu masyarakat egaliter
tanpa kelas-kelas. Untuk mencapai tujuan masyarakat sosialis, ini harus dimulai
juga dari keluarga, di mana para istri harus dibebaskan dahulu agar dia dapat
menjadi dirinya sendiri, bukan milik suaminya. Kalau sistem egaliter dalam
keluarga dapat tercipta, maka ini akan tercermin pula pada kehidupan sosial.

26

Menurut Marx (dalam, Nugroho: 2008: 70), perubahan lingkungan sosial
akan memengaruhi perubahan diri individu, sehingga keadilam sosial dapat
tercipta. Teori Marxis menganalisis pola relasi antara laki-laki dan perempuan
yang dianalogikan dengan perkembangan masyarakat modern industrial
kapitalisme, seperti yang diformulasikan oleh Friedrich Engels. Dikatakan bahwa
pada bentuk masyarakat awal, yaitu masyarakat berburu yang berpindah-pindah
(hunting and gathering) pola relasi sosial adalah egaliter. Hal ini diseabkan tidak
adanya kepemilikan pribadi. Harta milik dapat menjadi beban, karena merek harus
berburu dan berpindah-pindah. Para perempuan dalam masyarakat ini, walaupun
harus berperan sebagai pengasuh anak, mempunyai kekuasaan dan menjadi tuan
di wilayahnya (rumah).
Tong (1998: 141), mengatakan bahwa feminis ini percaya bahwa
pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan, karena itu,
membentuk juga sifat-sifat alamiah perempuan, mereka juga percaya bahwa
kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan dan juga hubungan
pertukaran. Jika kapitalisme dipandang sebagai suatu sistem hubungan pertukaran,
kapitalisme juga digambarkan sebagai suatu masyarakat komoditi atau pasar yang
di dalamnya segala sesuatu, termasuk kekuatan kerja seseorang, mempunyai
harga, dan semua transaksi pada dasarnya merupakan transaksi pertukaran. Jika
kapitalisme dipandang sebagai suatu sistem hubungan kekuasaan, maka
kapitalisme digambarkan sebagai suatu masyarakat yang di dalamnya setiap
hubungan transaksional, pada dasarnya, adalah eksploitatif. Karena itu,
bergantung cara pandang masing-masing, hubungan pekerja dan majikan dapat

27

dilihat sebagai hubungan pertukaran yang, dalam hubungan ini, segala sesuatu
yang bernilai setara secara diperjualbelikan.
Tong (1998: 148), mengatakan bahwa feminis ini juga menawarkan suatu
analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari
kekuatan yang mengoperasinya. Bahkan, sebagian besar pemikiran Marxis
terhadap feminis ini ditujukan untuk membuat cetak biru agar membimbing
pekerja, laki-laki atau perempuan, bersamaan dengan usaha mereka untuk
membentuk diri sebagai suatu kelas, untuk kemudian memberikan sumbangan
terhadap transisi dari kapitalisme ke sosialisme, dan akhirnya untuk mencapai
komunisme-komunitas yang utuh dan kebebasan penuh.
Menurut Marx (dalam Tong, 1998: 148), di bawah kapitalisme, manusia
sebagian besar bebas untuk melakukan apa yang ingin dilakukan di dalam batasan
sistem, tetapi mereka tidak dapat banyak bersuara dalam penentuan batasanbatasan itu, yang membuat mereka bertingkah laku seperti seorang egois yang
hanya memikirkan dirinya sendiri. Menurut Marx kepribadian dikondisikan dan
ditentukan oleh hubungan kelas yang cukup jelas. Sebaliknya, bagi orang-orang
yang hidup di dalam kapitalisme, orang-orang yang hidup di dalam komunisme
adalah bebas, bukan saja untuk melakukan, tetapi juga untuk menjadi apa yang
mereka inginkan, karena mereka mempunyai kekuatan sistem struktur yang
membentuk mereka.
Nugroho (2008: 70), mengatakan bahwa wilayah perempuan berada di
rumah, dan sektor di luar rumah adalah domain para suami. Keadaan ini telah
memberi peluang bagi para suami untuk merasa memiliki materi yang diperoleh

28

dari wilayah di luar rumah. Pekerjaan perempuan di wilayah domestic menjadi
tidak bernilai dibandingkan materi yang dikumpulkan suami. Hal yang seperti ini
menurut Engels sebagai cikal bakal timbulnya struktur patriarkhi di dalam
keluarga. Suami dengan segala materi yang dimilikinya, menjadi seorang kepala
keluarga, dan member nafkah kepada anak dan istrinya, sehingga terjadilah
keluarga nuklir dan monogamy, di mana seorang istri menjadi milik pribadi
suaminya.
Nugroho (2008: 71) mengatakan, bahwa sektor publik selalu memberikan
nilai materi (uang), sedangkan pekerjaan rumah tangga tidak. Suami dengan
sendirinya mempunyai posisi yang lebih kuat dan istri serta anak-anaknya menjadi
pihak yang lemah karena ketergantungan ekonomi mereka kepada kepala
keluarga. Bahkan, istri dianggap sebagai budak seperti yang dikatakan Engels
(dalam Nugroho, 2008: 72):
“…the wife became the head servant, excluded from all
participation in social production. The individual family is founded
on the open or concealed domestic slavery of the wife… (… istri
menjadi kepala pembantu, tidak diikutsertakan dalam partisipasi
produksi. Keluarga nuklir didirikan di atas perbudakan domestic
dari istri, terbuka atau tersembunyi.)
Menurut Nugroho (2008: 72), Engels mengatakan hal tersebut untuk
mengelaborasi pendapat Marx tentang konsep slavery dalam keluarga yang
dituangkan dalam dua tulisan Marx yang berjudul The German Ideology and
Capital pada tahun 1867. Menurutnya, Marx menyesalkan terjadinya division of
labor atau deferensi peran dalam masyarakat pada adanya diferensiasi peran
dalam keluarga berdasarkan umur dan jenis kelamin. Diferensiasi atau perbedaan
ini telah menciptakan bentuk kepemilikan seseorang oleh orang lain, dan Marx

29

melihat bahwa perbudakan istri dan anak-anak oleh suami adalah bentuk pertama
dari dampak kepemilikan pribadi (privat property). Diferensi peran keluarga
dalam masyarakat kapitalis dianggap telah menciptakan pekerjaan-pekerjaan yang
membuat seseorang merasa teralienasi. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan
oleh wanita dianggap pekerjaan teralienasi karena perempuan terpisah dari dunia
luar (terisolasi), dan pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang tidak kreatif.
Karl Marx (dalam Nugroho, 2008: 72-73), membuat teori yang disebut
materialist determinism, yang mengatakan bahwa budaya dan masyarakat berakar
dari atau mempunyai basis material atau ekonomi. Ia mengatakan bahwa basis
kehidupan masyarakat berdasarkan pola relasi material dan ekonomi yang selalu
menimbulkan konflik. Di sini terlihat bahwa paham materialism yang
dikembangkan Marx dan Engels telah menentukan nilai eksistensi seseorang, di
mana kepemilikan materi dapat memberikan kekuasaan kepada seseorang.
Pekerjaan domestik yang dilakukan oleh wanita memang tidak menghasilkan
uang atau materi. Oleh karena itu, wanita dianggap inferior, sebagai budak yang
tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam institusi keluarga, karena kkekuasaan
berada pada suami yang dijadikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah.
Engels

(dalam

Nugroho,

2008:

74),

memberikan

solusi

untuk

membebaskan perempuan dari penindasan dalam keluarga dengan mengajak
perempuan untuk masuk ke sektor publik. Partisipasi wanita dalam sektor publik
dapat membuat wanita produktif (menghasilkan materi/uang), sehingga konsep
pekerjaan domestik perempuan tidak ada lagi. Di sini terlihat bahwa standar yang
dipakai sebagai hal yang berharga dan produktif, adalah standar materi, yang
analoginya sama dengan keberhasilan standar maskulin seperti yang beberapa kali

30

disebutkan sebelumnya. Bahkan, usaha menghapuskan keberadaan institusi
keluarga perlu dilakukan; karena keluarga dianggap sebagai institusi yang
melahirkan kapitalisme. Ini mengingat sistem patriarkatnya yang menurut kaum
feminis mengeksploitasi para wanita di rumah. Sebagai gantinya, dapat diciptakan
suatu keluarga kolektif di mana pekerjaan rumah tangga dilakukan secara kolektif,
termasuk pengasuhan dan pendidikan anak yang dapat dilakukan misalnya di
tempat pengasuh anak. Dengan cara ini wanita dapat bebas berkiprah di sektor
publik yang dapat meningkatkan kepemilikan materi dan kekuasaan para wanita.
Penerapan ideologi Marx-Engels (dalam Nugroho, 2008: 75), telah
dilakukan oleh para feminis yang berorientasi sosialisme. Feminisme sosialis
bergerak untuk membebaskan wanita melalui struktur patriarkat. Perubahan
struktur patriarkat bertujuan agar kesetaraan gender dapat terwujud. Menurut para
feminis sosialis, perwujudan kesetaraan gender adalah salah satu syarat penting
untuk terciptanya masyarakat tanpa kelas, egaliter, atau tanpa hierarki horizontal.
Dalam kiprahnya, feminisme sosialis adalah feminisme yang mengadopsi teori
Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar para wanita
sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran
ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi (emotional arousal) pada para
wanita agar mereka bangkit untuk mengubah keadaanya. Timbulnya kesadaran
bahwa para wanita adalah kaum tertindas, akan membuat para wanita bangkit
emosinya, dan secara kelompok diharapkan dapat mengadakan konflik langsung
dengan kelompok dominan (pria). Semakin tinggi tingkat konflik antara kelas
wanita dan kelas dominan, diharapkan dapat meruntuhkan sistem patrairkat.

31

Tong (1998: 2) mengatakan, bahwa feminisme marxis dan feminism
sosialis agak berbeda dalam konteks cara pandang kedua kelompok penganut
mengenai penyebab tertindasnya perempuan. Feminism marxis lebih melihat
kepada kapitalisme daripada seksisme, sementara feminisme sosialis lebih melihat
kepada kapitalisme dan patriarki. Pada analisis akhir, perbedaan antara feminis
Marxis dan sosialis tidaklah sepenting yang mereka yakini bersama. Feminis
Marxis