Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja Pada Guru Kelas Autis di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Tahun 2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan anggota lebih dari satu kelompok sosial. Dalam
melakukan kegiatan di setiap kelompok, manusia dapat mengalami stres
(Munandar, 2008). Menurut Sopiah (2008), stres merupakan suatu respon adaptif
terhadap suatu situasi yang dirasakan menantang atau mengancam kesehatan
seseorang. Apabila seseorang kurang mampu mengadaptasikan keinginankeinginan dengan kenyataan-kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya,
maka manusia tersebut akan cenderung mengalami stres (Anoraga, 2001).
Tingkah laku manusia tidak luput dari pengaruh alam sekelilingnya. Sedangkan
alam sekitar itu bermacam-macam adanya. Tingkah laku manusia, berubah-ubah
menurut situasi dan ruang serta keadaaan psikis manusia itu sendiri (Fudyartanta,
2011).
Menurut Tarigan (2015) yang mengutip pendapat Mangungsong, Sekolah
Luar Biasa adalah suatu lembaga pendidikan untuk anak dengan karakteristik
khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya. Adapun satuan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus terdiri dari jenjang TKLB, SDLB, SMPLB,
SMALB. Jenis pendidikan Luar Biasa tersebut meliputi: SLB-A bagi peserta didik
Tunanetra, SLB-B bagi peserta didik Tunarungu, SLB-C bagi peserta didik
Tunagrahita, SLB-D bagi peserta didik Tunadaksa, SLB-E bagi peserta didik Tuna

Laras, dan SLB-G bagi peserta didik Tuna Ganda. Seorang Guru SLB dalam

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan kinerjanya perlu memahami dan memiliki kompetensi dasar
sehingga tujuan pendidikan yang diharapkan dapat dicapai sekolah. Kompetensi
yang harus dimiliki oleh guru pendidikan khusus didasari oleh tiga kemampuan,
yaitu; (1) kemampuan umum (general ability), (2) kemampuan dasar (basic
ability), dan (3) kemampuan khusus (specific ability). Kemampuan umum adalah

kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik pada umumnya (anak
normal), kemampuan dasar adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik
peserta didik berkebutuhan khusus, sedangkan kemampuan khusus adalah
kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik berkebutuhan khusus
jenis tertentu.
Masalah-masalah tentang stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan
pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi
antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Masalah stres adalah
masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan dan posisinya sangat penting
dalam kaitannya dengan produktivitas kerja karyawan. Selain dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi, stres juga banyak dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam organisasi. Oleh karenanya perlu
disadari dan dipahami keberadaannya (Sucipto, 2014).
Jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui
kemampuan individu, maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut mengalami
stres kerja (Samosir dan Syahfitri, 2008).
Menurut Situngkir (2010), menyatakan bahwa stres dalam suatu lingkungan
pekerjaan sampai batas yang dapat ditolerir bisa memberikan suatu rangsangan

Universitas Sumatera Utara

sehat guna mendorong individu-individu dalam suatu organisasi untuk
memberikan tanggapan positif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi. Pada
kondisi sebaliknya, stres yang berlebihan sudah tidak mampu lagi ditolerir oleh
seorang individu akan menimbulkan dampak yang tidak sehat, karena individu
tersebut kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara utuh.
Akibatnya ia tidak dapat lagi mengambil keputusan-keputusan yang tepat dan
kadang perilakunya ikut terganggu. Dampak lain yang mungkin terjadi adalah
sakit secara fisik, putus asa, sering absen, dan lain-lain. Akhirnya selama stres ini
belum teratasi, maka tingkat produktivitas/prestasi kerja cenderung dan terus

menurun. Kondisi yang sama, dapat terjadi bila dalam lingkungan pekerjaan
tersebut tidak ada stres sama sekali. Karena tantangan-tantangan kerja tidak ada
sehingga pekerjaan menjadi suatu hal yang membosankan dan menjemukan.
Stres yang berlangsung setiap hari dapat membebani pikiran dan melemahkan
daya tahan tubuh terhadap stres. Jika stres telah mengganggu fungsi dan
keberadaan diri seseorang, maka dinamakan distress. Distress dirasakan orang
jika situasi yang menekan berlangsung terus menerus. Stres kebanyakan tidak
disadari oleh orang yang bersangkutan, banyak dari mereka yang pergi
mengunjungi dokter karena mengalami berbagai macam keluhan fisik. Biasanya
mereka tidak memperlihatkan problem emosional. Hal ini disebabkan karena
mereka tidak dapat mengkaitkan problem emosional dengan keluhan fisik yang
diderita (Wangsa, 2010).
Diperkirakan setidaknya 75 persen penyakit yang dilaporkan kepada badanbadan kesehatan masyarakat berhubungan dengan stres. Sebagian dokter bahkan

Universitas Sumatera Utara

menyatakan hampir semua penyakit dan kematian dini dapat dihubungkan dengan
distress. Tidaklah sulit untuk percaya ketika anda mempertimbangkan bahwa stres

memengaruhi semua sistem tubuh termasuk pertahanan dan mekanisme kekebalan

tubuh kita (Looker dan Gregson, 2005).
Berdasarkan pendapat Azmi (2014) yang mengutip hasil penelitian Paul dan
Tobias, didapatkan hasil bahwa stres pada guru autis berkurang setelah diberikan
training selama penelitian. Ia menjelaskan bahwa ada 80% guru autis yang

melaporkan bahwa mereka memiliki stressor yang tinggi dalam mengajar anak
autis.
Menurut Azmi (2014) yang mengutip pendapat Ervasti dalam jurnal
penelitiannya yang dilakukan antara guru biasa dengan guru yang mengajari anakanak dengan kebutuhan khusus didapatkan hasil bahwa guru anak dengan
kebutuhan khusus meiliki tingkat stres yang tinggi terutama fisik dan emosional.
Segala

macam

kekurangmengertian

bentuk

“stres”


manusia

akan

pada

dasarnya

disebabkan

keterbatasan-keterbatasannya

oleh
sendiri.

Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang akan menimbulkan
frustasi, konflik, gelisah dan rasa bersalah yang merupakan tipe-tipe dasar stres
(Anoraga 2001).
Stres juga bisa berakibat pada perubahan perilaku pekerja, seperti:
menurunnya produktivitas, tingkat kehadiran dan komitmen terhadap organisasi.

Selain itu juga menghasilkan perilaku seperti merokok atau mengkonsumsi
minuman keras secara berlebihan, agresivitas dalam berbicara atau bertindak,
melakukan hal-hal yang mengganggu di tempat kerja, atau sering ditemukan tidur

Universitas Sumatera Utara

di tempat kerja. Stres yang dialami secara terus-menerus dan tidak terkendali, bisa
menyebabkan terjadinya burn-out yaitu kombinasi kelelahan secara fisik, psikis
dan emosi (Saragih, 2010).
Hal ini juga terjadi pada guru kelas autis, salah satu sekolah yang diteliti
adalah Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi yang
terletak di jalan Karya Ujung – Helvetia Timur, Medan Helvetia.
Survei pendahuluan yang dilakukan di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri
Pembina Tingkat Provinsi dengan metode wawancara pada guru kelas autis,
diketahui bahwa para guru sering diserang secara tiba-tiba oleh anak-anak yang
berperilaku autistik. Saat saya melakukan observasi, pernah juga anak autis
tersebut mengamuk ketika dipaksa oleh Gurunya untuk mengerjakan tugas
sekolahnya. Individu autistik itu langsung mengangkat kursi yang tak jauh darinya
dan melemparnya, hingga Guru tersebut terlihat kewalahan dan cemas dalam
menghadapi individu autistik. Hingga pada akhirnya salah satu guru masuk ke

ruang kelas dan mengatakan bahwa sebaiknya anak tersebut tidak dipaksa ketika
ia tidak mau melakukan kegiatan belajar. Perilaku autistik berbeda dengan
perilaku normal, anak yang berperilaku autistik tidak dapat mengungkapkan apa
yang mereka rasakan, maka dari itu mereka sering melakukan suatu tindakan yang
bahkan mereka tidak tahu apakah itu baik atau buruk.
Guru pendidikan luar biasa berbeda dengan guru pada umumnya, disini guruguru tersebut harus jauh lebih sabar dan telaten dalam menghadapi anak didiknya.
SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi memiliki 3 guru yang mengajari
individu autistik pada tingkat Sekolah Dasar. Namun disini individu autistik

Universitas Sumatera Utara

tersebut dibagi dalam 3 kelas di mana kelas pertama terdapat 4 siswa yang berusia
sekitar 10 hingga 11 tahun. Di kelas kedua terdapat 4 siswa yang berusia 12
hingga 15 tahun, dan di kelas ketiga terdapat 4 siswa yang berusia sekitar 18
hingga 22 tahun.
Guru yang mengajari individu autistik pada tingkat SD kelas pertama yaitu
siswa yang berusia 10 hingga 11 tahun, mengeluh bahwa salah satu siswanya
pernah BAB (Buang Air Besar) dikelas dan itu bukan hanya sekali bahkan
berkali-kali dan guru tersebut harus membersihkannya sendiri, apalagi ruang kelas
untuk mengajar tidak begitu luas (ruang kelas memiliki panjang 2 meter x 2.5

meter yang di isi dengan 4 siswa dan satu orang guru, dengan satu lemari, 2 meja
belajar, 4 kursi siswa dan satu kursi guru) dan sirkulasi udara yang kurang,
menyebabkan suasana menjadi pengap. Kotoran udara disekitar kita dapat
dirasakan dengan sesaknya pernapasan, ini tidak boleh dibiarkan, karena akan
berpengaruh terhadap kesehatan tubuh (tubuh menjadi cepat lelah). Kondisi
tersebut juga dapat memicu timbulnya stres. Berdasarkan survei pendahuluan
penulis melalui wawancara dengan guru kelas autis, mengenai perilaku individu
autistik disekolah mengenai peristiwa mengamuk, menjerit, menyepak, dan
menggigit dikelas, guru tersebut mengatakan bahwa peristiwa tersebut pernah
terjadi, namun selama ini masih bisa diatasi oleh guru.
Guru yang mengajari anak autis yang berada ditingkat SD kelas kedua
memberi penjelasan yang berbeda dengan guru pertama, karena pada kelas kedua
yang di hadapi adalah siswa dengan usia 12 hingga 15 tahun, dimana masa-masa
tesebut adalah masa-masa pubertas. Dimana mereka juga mengalami perubahan

Universitas Sumatera Utara

emosional, fisik dan sosial. Perubahan fisik tersebut diantaranya mulai tumbuh
rambut di wajah, ketiak dan didaerah kemaluan, perubahan suara pada pria dan
wanita juga mulai menstruasi. Meski demikian, perubahan emosional bagi anak

kebutuhan khusus prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka terhadap
lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan. Ketika individu autistik
mendapatkan pertentangan terhadap apa yang mereka inginkan, maka individu
tersebut cenderung berperilaku tantrum. Guru yang mengajari individu autistik
dikelas kedua, harus lebih ekstra dalam mendampingi mereka, karena individu
autistik tidak dapat menyalurkan apa yang mereka inginkan individu autistik
tersebut lebih agresif dan terkadang suka mencakar dan memukul.
Berbeda halnya dengan siswa kelas pertama dan kelas kedua, individu autistik
dikelas ketiga yaitu siswa yang berusia sekitar 18 hingga 22 tahun lebih agresif
lagi, mereka akan mengamuk ketika apa yang mereka inginkan tidak dapat
dipenuhi, kekuatan mereka pun juga bertambah besar. Guru kelas autis tersebut,
terlihat jauh lebih cemas dari pada guru kelas autis di kelas pertama dan kelas
kedua. Hal ini dilihat dari usia individu autistik yang dihadapi. Guru tersebut
pernah mengeluh, kalau beliau pernah ditolak dari lantai dua saat salah seorang
siswanya tiba-tiba mengamuk dan menyerangnya, jika beliau tidak berpegangan
dengan pagar pembatas mungkin guru tersebut sudah jatuh. Guru tersebut juga
cemas jika hal tersebut terulang kembali. Keluhan-keluhan ini memperlihatkan
perbedaan-perbedaan stres kerja yang dialami oleh guru-guru kelas autis.
Berdasarkan uraian diatas telah dijelaskan bahwa menjadi guru kelas autis
tidaklah mudah, dengan kata lain keterbatasan individu autistik menjadi stressor


Universitas Sumatera Utara

tersendiri bagi guru yang akan berdampak pada psikologis guru dan akan
mempengaruhi kesehatannya. Maka peneliti tertarik ingin mengetahui faktorfaktor apa saja yang menyebabkan stres kerja pada guru kelas autis di Unit
Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Tahun 2016.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah apa saja faktor - faktor penyebab stres kerja pada guru kelas
autis di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Tahun
2016.

1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui faktor - faktor penyebab stres kerja pada guru kelas autis
di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Tahun 2016.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menjadi bahan atau dasar

yang dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi
kepada guru kelas autis mengenai stres yang mereka hadapi dalam
melakukan pengajaran terhadap individu autistik.

Universitas Sumatera Utara

2. Dapat dijadikan bahan acuan untuk mengambil langkah preventif bagi
pihak Sekolah (UPT. SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi) dalam
mengatasi stres yang dialami pekerja, dan juga bisa digunakan untuk
individu yang berkepentingan lainnya.

Universitas Sumatera Utara