Strategi Komunikasi Menantu Perempuan Dengan Mertua Perempuan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Konteks Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial tidak jarang sering mengalami konflik

dengan sesamanya. Konflik muncul disebabkan oleh adanya pertentangan maupun
perselisihan antara pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau
kerjasama. Tidak dapat dipungkiri konflik bisa terjadi di mana saja, baik konflik
anak dengan orang tua, saudara, teman, pacar, mahasiswa dengan dosen atau
murid dengan guru, dan bahkan konflik menantu dengan mertua.
Sesuai dengan penelitian ini, maka peneliti mengambil sebuah topik
mengenai strategi komunikasi menantu perempuan dengan mertua perempuan
dalam menghadapi konflik di kota Medan. Fenomena konflik menantu perempuan
dengan mertua perempuan bisa kita lihat secara nyata di berbagai kisah
kehidupan. Bahkan di media cetak dan televisi juga sering muncul masalah
tersebut

seperti


dalam

kasus

dibawah

ini

yang

dikutip

dari

(http://news.okezone.com):
Ating Wu (31), warga Jalan Cemara Asri, Desa Medan Estate, Kecamatan
Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, harus
dilarikan ke Rumah Sakit Murni Teguh di Jalan Jawa Kecamatan Medan
Timur, Kota Medan, Senin 16 Maret 2015. Bagian kepala perempuan ini

luka serius setelah dikepruk vas bunga oleh mertuanya, Yeti (55). Insiden
penganiayaan itu terjadi saat Ating baru saja pulang dari toko besi milik
keluarga di Jalan Surabaya, Medan. Setibanya di pelataran rumah,
korban lalu mengetuk pintu berulang kali, namun tak kunjung dibuka oleh
sang mertua. Kesal dengan situasi tersebut, Ating kemudian berteriakteriak kencang dari luar rumah, hingga mertuanya keluar. Teriakanteriakan dengan nada tinggi terus diarahkan Ating kepada Yeti, padahal
sang mertua sudah membukakan pintu. Tak senang dengan perilaku
menantunya yang kurang ajar, Yeti naik darah dan langsung mengambil
vas bunga di ruang tamu kemudian diarahkan tepat di kepala sang
menantu. Darah segar mengucur dari kepala Ating. Pihak kepolisian
segera memanggil sang mertua Yeti untuk dimintai keterangan terkait
kasus tersebut.
Kasus yang di atas menggambarkan bahwa pentingnya memahami ketika
menikah ternyata proses adaptasi bukan hanya kita lakukan terhadap suami, tetapi

Universitas Sumatera Utara

juga kepada ibu, ayah, dan saudara-saudaranya. Seperti artikel yang peneliti kutip
dari salah satu media online Tentang Pernikahan. Berikut petikan tersebut:
Setiap pernikahan melahirkan hubungan kekerabatan yang disebut
mushaharah, yaitu hubungan dengan besan, mertua, menantu, ipar, dsb.

Diantara persiapan penting yang dibutuhkan untuk menjalani pernikahan
adalah kesiapan diri untuk menerima dengan ikhlas keadaan calon
pasangan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Selain itu, yang
tidak bisa dianggap remeh adalah kesiapan untuk menerima keadaan
keluarganya terutama kedua orang tuanya dengan apa adanya karena harus
disadari suka maupun tidak ketika kita menikah dengan pasangan kita, itu
artinya kita membawa serta semua keluarganya untuk masuk ke dalam
kehidupan kita (http://tentang-pernikahan.com).
Pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius antarpasangan dan
dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial diakui bahwa saat itu
pasangan telah resmi menjadi suami istri (Sarwono & Meinarno, 2009: 73).
Terbentuknya keluarga yang harmonis, bahagia, dan penuh kasih adalah
harapan yang ingin dicapai dalam sebuah pernikahan. Namun, itu tidaklah
mudah. Bersatunya dua individu yang berbeda latar belakang serta
kebiasaan bisa menimbulkan berbagai masalah, apalagi jika harus tinggal
bersama dengan mertua perempuan. Ketika orang tua berada dalam satu
atap dengan anak-anaknya yang telah berumah tangga, kemungkinan
terjadinya konflik akan semakin besar (http://www.suaramerdeka.com).
Fenomena konflik mertua perempuan dengan menantu perempuan yang
tinggal bersama memang lebih sering terjadi dibandingkan konflik mertua

perempuan dengan menantu laki-lakinya.
Secara psikologis, dua perempuan yang mempunyai peran sama sebagai
ibu rumah tangga dalam satu rumah akan sulit menghindari konflik. Ibarat
kapal ada dua nakhoda, masing-masing merasa punya kekuatan dan peran.
Selain itu, kasus ketidakharmonisan ini pada dasarnya juga disebabkan
oleh pola pikir perempuan yang sangat sensitif, sedangkan fase kehidupan
yang paling berharga baginya adalah keluarga (http://www.intisarionline.com).
Ketidakharmonisan hubungan antara mertua perempuan dengan menantu
perempuan akan berakibat terjadinya pemutusan hubungan interpersonal yang
dipicu oleh masing-masing pihak

yang berkompetisi, keinginan untuk

mendominasi, saling menyalahkan apabila terjadi kegagalan, dan salah satu pihak
berbuat sesuatu yang dapat menyinggung perasaan pihak lain. Hubungan yang
tidak harmonis antara mertua perempuan dengan menantu perempuan bisa saja

Universitas Sumatera Utara

terjadi karena dipicu oleh salah satu dari mereka. Bisa saja dari mertua perempuan

atau bisa juga dari menantu perempuan. Salah satu pemicu ketidakharmonisan
menantu perempuan dengan mertua perempuan adalah karena adanya perbedaan
cara pandang, perbedaan latar belakang ekonomi, perbedaan pendidikan, dan
perbedaan status sosial diantara mertua perempuan dengan menantu perempuan.
Indri Savitri, S.Psi., Kepala Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat,
Lembaga

Psikologi

(http://www.kompas.com)

Terapan
menyebutkan

(LPT)
ada

Universitas
beberapa


faktor

Indonesia
penyebab

ketidakharmonisnya hubungan antara mertua perempuan dengan menantu
perempuan:
1.

2.

3.

4.

Adanya Perbedaan Peran
Masing-masing pihak memiliki cara pandang sendiri berdasarkan peran
mereka masing-masing. Mertua merasa memiliki anak laki-lakinya karena
ia berperan sebagai ibu, sementara si istri juga merasa sepenuhnya
memiliki suaminya.

Berkaitan dengan Persepsi dan Budaya Keluarga
Nilai, pendidikan, kebiasaan, dan aturan yang berlaku di masing-masing
keluarga berbeda, dan ini bisa menimbulkan konflik.
Perkawinan yang Tidak Disetujui
Jika perkawinan tidak disetujui, tentu sejak awal hubungan dengan mertua
akan berjarak dan tidak nyaman. Apalagi kalau tinggal serumah dengan
mertua konflik bisa sering terjadi.
Perbedaan Cara Berpikir (Level Of Thinking)
Biasanya menantu perempuan melakukan penolakan awal terhadap mertua
perempuan karena sering merasa tidak satu level pemikiran. Tipe mertua
yang identik dengan ibu rumah tangga konservatif berbeda jauh dengan
anak jaman sekarang yang metropolis dan dinamis.
Ketidakharmonisan antara menantu perempuan dengan mertua perempuan

seringkali juga menjadi pemicu timbulnya konflik antara suami dengan istri atau
sebaliknya. Bahkan, tidak jarang perceraian terjadi karena permasalahan ini.
Perceraian suami istri disebabkan oleh faktor intern dan faktor ekstern.
Perceraian yang disebabkan oleh faktor intern biasanya terjadi karena
selingkuh, masalah ekonomi, istri tidak lagi patuh kepada suami, istri tidak
lagi memperhatikan urusan rumah tangganya, kecemburuan, dan tidak

adanya rasa cinta kasih antara suami dengan istri. Sedangkan faktor
ekstern dari perceraian antara lain campur tangan orang tua atau keluarga
dalam menentukan kebijakan-kebijakan keluarga. Namun, ancaman
perceraian yang disebabkan oleh faktor ini lebih mudah untuk di atasi,
karena antara suami dan istri masih ada kecocokan selama pihak luar tidak
ikut campur tangan yang terlalu dalam terhadap masalah yang terjadi dan

Universitas Sumatera Utara

tidak mempressure (memberi tekanan) pada pihak-pihak yang bertikai
(http://muhtarom007.multiply.com/journal/item/32).
Secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai perselisihan atau
persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok
yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan atau
menyingkirkan atau mengalahkan atau menyisihkan (Setiadi &Kolip, 2011: 348).
Konflik mengenal istilah “Communication Breakdown” yangartinya dalam
konflik salah satu pihak ada yang tidak melakukan komunikasi. Komunikasi juga
dapat diartikan sebagai aspek terpenting dan kompleks bagi kehidupan manusia
(Morissan, 2013: 1). Ketidakharmonisan antara menantu perempuan dengan
mertua perempuan yang tinggal bersama dalam satu rumah, tidak jarang sering

mengalami adanya sebuah konflik yang mengakibatkan adanya hambatan dalam
berkomunikasi.Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah strategi yang dianggap penting
sebagai sebuah kelancaran dalam proses komunikasi dan upaya mengatasi
hambatan tersebut baik secara sosiologis, psikologis, dan lain sebagainya.
Strategi komunikasi dianggap penting dikarenakan strategi komunikasi
merupakan sebuah seni yang melibatkan perencanaan, tujuan atausasaran, pesan,
serta evaluasi untuk memastikan apakah sebuah komunikasi efektif untuk
dilakukan. Selain itu, strategi komunikasi tidak hanya berfungsi sebagai peta jalan
yang hanya menunjukkan arah saja, tetapi strategi komunikasi juga harus
menunjukkan taktik operasionalnya. Untuk mencapai operasionalnya secara taktis
harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda
sewaktu-waktu, bergantung kepada situasi dan kondisi.Terkait dengan strategi
komunikasi, strategi komunikasi memiliki fungsi dalam hal menyebarluaskan
pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara
sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal, menjembatani
“Cultural Gap”, yaitu kondisi yang terjadi akibat kemudahan diperolehnya dan
kemudahan dioperasionalkannya media yang begitu ampuh, yang jika dibiarkan
akan merusak nilai-nilai yang dibangun.
Selain itu, menurut R.Wayne Pace, Brent D. Peterson, dan M. Dallas
Burnett dalam bukunya Techniques for Effective Communication, menyatakan

bahwa strategi komunikasi juga memiliki tujuan sentral yakni: (1) to secure

Universitas Sumatera Utara

understanding atau memastikan bahwa komunikan menerima pesan yang
diterimanya, (2) to establish acceptance atau ada proses pembinaan ketika sudah
menerima pesan, dan (3) to motivate action atau untuk mendorong komunikan
melakukan sesuatu atau kegiatan dimotivasikan (Effendy, 2005: 32). Melalui
pendapat ini, tentu saja terlihat jelas bagaimana strategi komunikasi berperan
penting dalam keberlangsungan keefektifan komunikasi yang dilakukan.
Dalam strategi komunikasi segala sesuatunya harus dipertautkan dengan
komponen-komponen yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang
dirumuskan oleh Harold D. Lasswell atau dikenal luas sebagai formula Lasswell
yaitu: who, says what, in which channel, to whom, with what effect (dalam
Effendy, 1993: 301). Rumus tersebut tampaknya sederhana, tetapi jika dikaji lebih
jauh pertanyaan “efek apa yang diharapkan” secara implisit mengandung
pertanyaan lain yang perlu dijawab dengan saksama, yaitu When atau kapan
dilaksanakannya, How atau bagaimana melaksanakannya, Why atau mengapa
dilaksanakan demikian.
Melalui penjelasan di atas tentu saja keterampilan komunikasi juga wajib

diperhatikan seorang komunikator kepada komunikan sebagai upaya pelaksanaan
strategi komunikasi yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan kata lain,
bahwa seorang komunikator harus mampu mengenali siapa komunikannya baik
secara fisik, kepribadian,norma-norma, dan keadaan lingkungan di mana
komunikan berada. Hal ini juga termasuk kedalam bagaimana sebuah strategi
komunikasi dilibatkan dalam sebuah penyusunan pesan, metode komunikasi oleh
komunikator kepada komunikan.
Penelitian ini dilakukan pada menantu perempuan yang sudah tinggal
bersama dengan mertua perempuan di Kota Medan mulai dari satu tahun hingga
lima tahun karena bersatunya dua individu yang berbeda latar belakang serta
kebiasaan bisa menimbulkan berbagai masalah, apalagi jika harus tinggal bersama
dengan mertua perempuan. Ketika orang tua berada dalam satu atap dengan anakanaknya yang telah berumah tangga, kemungkinan terjadinya konflik akan
semakin

besar.

Seperti

artikel

yang

peneliti

kutip

di

(http://www.suaramerdeka.com/hubungan-mertua-anak). Penelitian ini difokuskan
kepada menantu perempuan karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah

Universitas Sumatera Utara

menantu perempuan biasanya lebih banyak mengalami konflik dengan mertua
perempuannya karena mempunyai peran yang sama sebagai ibu rumah tangga
dalam satu rumah yang mengakibatkan sulitnya menghindari konflik. Seperti
artikel yang peneliti kutip di salah satu media online (http://www.intisarionline.com/majalah.asp?tahun=2004&edisi=497&file=warna0702&page=02).
Alasan kedua adalah untuk mengetahui strategi komunikasi menantu perempuan
dalam menghadapi konflik dengan mertua perempuan.
Berkaitan dengan tempat penelitian, peneliti memilih Kota Medan sebagai
tempat dalam penelitian ini. Alasan mengapa peneliti memilih Kota Medan
sebagai tempat dalam penelitian ini karena memudahkan peneliti untuk
mendapatkan informan, mengingat peneliti juga berdomisili di Kota Medan.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti bagaimana strategi komunikasi menantu perempuan dengan mertua
perempuan dalam menghadapi konflik, serta untuk mengetahui penyebab konflik
menantu perempuan dengan mertua perempuan di Kota Medan.

1.2.

Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang

menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Strategi
Komunikasi Menantu Perempuan Dengan Mertua Perempuan Dalam Menghadapi
Konflik di Kota Medan?”

1.3.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui strategi komunikasi menantu perempuan dengan
mertua perempuan dalam menghadapi konflik di Kota Medan.
2. Untuk mengetahui penyebab konflik menantu perempuan dengan mertua
perempuan di Kota Medan.

1.4.

Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat mampu menambah
wawasan pengetahuan dan memperluas penelitian komunikasi serta

Universitas Sumatera Utara

pengalaman khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi
mengenai strategi komunikasi menantu perempuan dengan mertua
perempuan dalam menghadapi konflik.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat
memberikan pandangan serta masukan kepada pihak-pihak yang
membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan strategi komunikasi dalam
menghadapi konflik.

Universitas Sumatera Utara