Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Pencapaian Eliminasi Malaria di Kabupaten Aceh Besar

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu komponen penting dalam indeks pembangunan manusia (IPM). Masyarakat yang sehat merupakan investasi bagi suatu negara, dimana produktivitas pada masyarakat yang sehat menjadi lebih tinggi dan berdampak secara makro pada perekonomian suatu bangsa.

Malaria sebagai penyakit menular yang berbasis lingkungan terbukti dapat menurunkan produktivitas penderitanya dan terbukti berhubungan erat dengan kemiskinan (Worral et al, 2005), sehingga Menteri Kesehatan dalam Surat Keputusannya bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang hidup sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030 (Kepmenkes No.293/MENKES/SK/IV/2009). Keputusan ini sejalan dengan isu global, dimana pada World Health Assambly (WHA) ke-60 Tahun 2007 disepakati komitmen global bahwa setiap negara akan mencapai eliminasi malaria (WHO, 2007a).

Menurut laporan World Health Organization (WHO) (2011a), pada tahun 2010 di seluruh dunia diperkirakan terdapat 219 juta kasus malaria (interval antara 154-289 juta) dan 660.000 orang meninggal karena malaria (interval antara 610.000-971.000). Angka ini berasal dari laporan surveilans negara-negara yang diperkirakan baru mencakup 10% saja dari total kasus malaria yang sebenarnya di lapangan (WHO, 2013). Disisi lain, pemetaan yang dilakukan oleh kelompok kesehatan global


(2)

(Global Health Group) Universitas California San Fransisco (UCSF) menyatakan bahwa sampai tahun 2010, ada 109 negara dengan kategori bebas malaria, 67 negara masih dalam tahap pemberantasan malaria, dan 32 negara sedang proses mengeliminasi malaria. Indonesia termasuk negara yang masih dalam tahap pemberantasan malaria (Feachem et al, 2009).

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), di Indonesia terdapat 417.819 kasus malaria positif terkonfirmasi laboratorium dimana 70% kasus tersebut berasal dari Indonesia Timur. Kawasan Timur Indonesia yang walaupun hanya memiliki sekitar 16 juta penduduk tersebar pada 84 kabupaten/kota, tetapi menyumbangkan paling banyak kasus malaria di Indonesia. Lebih lanjut, Kemenkes RI menyatakan ada 133 kabupaten/kota yang sudah bebas malaria, 204 kabupaten/kota sebagai daerah dengan insidensi malaria rendah (API < 1 per 1.000 penduduk), dan 85 kabupaten/kota dengan insidensi malaria sedang (API 1 - 5 per 1.000 penduduk) (Surya, 2013). Menurut laporan WHO (2011a), kematian karena malaria di Indonesia sebanyak 1.023 orang, tetapi angka ini lebih kecil dari model matematika menurut Murray et al (2012) yang memperkirakan angka kematian karena malaria di Indonesia sekitar 10.925 (interval antara 5.420–17.211, CI 95%).

Di Provinsi Aceh, jumlah kasus malaria pada tahun 2012 sebanyak 2.943 kasus positif terkonfirmasi laboratorium (Fatah, 2013). Dari angka ini, Kabupaten Aceh Besar menyumbang sebanyak 171 kasus malaria. Di Kabupaten Aceh Besar dari 28 puskesmas, hanya satu puskesmas dengan angka insidensi parasit malaria (API) >5 ‰, yaitu Puskesmas Kuta Cot Glie. Puskesmas ini menyumbangkan jumlah


(3)

kasus malaria terbesar di Kabupaten Aceh Besar yaitu sebanyak 64 kasus. Tiga puskesmas lain mempunyai insidensi parasit malaria (API) antara 1 – 5 ‰, yaitu Puskesmas Lhoong, Lembah Seulawah dan Kota Jantho. Sembilan puskesmas melaporkan tidak ditemukan kasus malaria pada tahun 2012, dan 15 puskesmas sisanya mempunyai angka insidensi malaria kurang dari 1‰ (Dinkes Aceh Besar, 2013).

Bila melihat situasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan angka insidensi malaria, dimana tahun 2006 insidensi malaria tercatat 2.6 per 1.000 penduduk dan tahun 2012 menjadi 0.5 per 1.000 penduduk. Penurunan ini membuat para pemangku kebijakan di Kabupaten Aceh Besar berkeyakinan untuk memasuki tahap eliminasi malaria pada tahun 2015 yang tertuang pada Peraturan Bupati Aceh Besar No. 23/2013.

Selain itu, Kabupaten Aceh Besar dalam tiga tahun terakhir (data 2011-2013) telah mencapai angka insidensi parasit malaria kurang dari satu per 1.000 penduduk berisiko. Bila merujuk pada indikator perpindahan tahapan program malaria menurut WHO (2007b) dari tahap pra-eliminasi ke eliminasi, yaitu API kurang dari satu per 1.000 penduduk berisiko, maka Kabupaten Aceh Besar dapat diasumsikan telah memasuki tahap eliminasi. Tetapi, bila merujuk pada indikator proporsi penderita malaria positif terkonfirmasi laboratorium diantara semua penderita suspek malaria atau lebih dikenal sebagai Slide Positivity Rate (SPR) dan proporsi jumlah sediaan darah malaria yang diperiksa dalam satu tahun (Anuual Blood Examination


(4)

1%. Angka ini menunjukkan rendahnya penemuan kasus malaria karena angka ini masih berasal dari laporan Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah, sementara kegiatan penemuan kasus malaria dari penyedia pelayanan kesehatan swasta belum terlaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar. Menurut kunjungan lapangan awal, hal ini disebabkan belum adanya jejaring kerjasama antara fasilitas kesehatan pemerintah dengan penyedia pelayanan kesehatan untuk program malaria di Kabupaten ini.

Berdasarkan data laporan program malaria dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar didapatkan bahwa lebih dari 70% penderita malaria yang terlaporkan adalah pria dengan usia diatas 15 tahun (Dinkes Aceh Besar, 2013). Hal ini sesuai dengan karakteristik penderita malaria di kawasan Asia dan Amerika Selatan yang dihubungkan dengan resiko pekerjaan atau migrasi (Hsiang et al, 2009).

Data vektor penular malaria di Kabupaten Aceh Besar berdasar penelitian sebelumnya, teridentifikasi beberapa spesies Anopheles yaitu: Anopheles vagus,

Anopheles aconitus, Anopheles hyrcanus group, Anopheles sinensis, Anopheles tesselatus dan Anopheles kochi (Syafruddin et al, 2006; Rinidar, 2010). Data vektor

tersebut ditemukan di perkampungan sekitar perbukitan dan hutan, sementara Dinas Kesehatan Aceh Besar tidak memiliki data vektor didataran rendah dan pinggir pantai. Hal ini sejalan dengan data kasus malaria yang dilaporkan oleh puskesmas yang secara geografis memiliki wilayah perbukitan atau hutan (Dinkes Aceh Besar, 2013).


(5)

Berdasarkan data diatas dan adanya komitmen Pemerintah Kabupaten Aceh Besar yang menargetkan mencapai eliminasi malaria pada tahun 2015, maka diperlukan suatu intervensi yang efektif dan terpadu.

Eliminasi malaria diartikan sebagai upaya masif untuk menghilangkan penularan malaria lokal/setempat, hal ini tidak berarti suatu daerah tidak melaporkan adanya kasus malaria, tetapi kasus malaria yang ditemukan telah diverifikasi sebagai kasus malaria impor dan daerah tersebut menjamin tidak ada kasus malaria yang ditularkan di wilayah kerjanya (WHO, 2007b). Disini diperlukan kecepatan diagnosis penyakit malaria pada penderita suspek sehingga apabila terbukti positif malaria yang terkonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium, maka penderita tersebut dapat diobati segera untuk memutus mata rantai penularan malaria.

Selain kecepatan diagnosis dan pengobatan, perlunya investigasi kasus segera untuk memverifikasi sumber penularan kasus malaria tersebut, dan dilakukannya survei kontak untuk mengetahui apakah kasus malaria ini telah menularkan ke lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Sistem surveilans yang cepat tanggap dan dapat dipercaya menjadi keharusan dalam mencapai eliminasi suatu penyakit, untuk itu jejaring kerjasama antar fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta perlu dibentuk (Feachem et al, 2009; Moonen et al, 2010). Kerjasama tersebut dapat berupa penemuan segera penderita suspek malaria untuk dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium, terapi antimalaria radikal sesuai standar dan kegiatan yang bersifat promotif dan preventif (WHO, 2006).


(6)

Sektor pelayanan kesehatan swasta merupakan salah satu unsur penting dalam sistem kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Menurut AusAID (2012), di kawasan Asia Selatan sekitar 80 persen pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin disediakan oleh sektor swasta. Beberapa negara melaporkan pelayanan kesehatan swasta banyak dimanfaatkan bagi kelompok miskin pada negara-negara miskin dan berkembang, terutama pada daerah dengan sarana infrastruktur dan transportasi yang sulit. Di Guatemala sekitar 40-45% populasi pada kelompok kedua kuantil terendah mencari pelayanan pada sektor swasta (Makinen et.al., 2000).

Sementara pemanfaatan unit pemeriksaan malaria oleh masyarakat di Indonesia paling banyak di Puskesmas 40,4 %, RS pemerintah 16,5 %, sementara untuk fasilitas pelayanan swasta yang tercakup pada RS, balai pengobatan/klinik, praktik dokter, praktik perawat/bidan sebanyak 35,9% (Badan Litbangkes, 2010). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan negara Kamboja yang 90% kasus demam di daerah terpencil mencari pengobatan di penyedia pelayanan swasta (Yeung et.al, 2008). Di Uganda, dari seluruh yang mencari pengobatan diluar rumah, 62.7% yang memilih mencari pengobatan pertama ke toko obat atau klinik swasta, dan hanya 33.1% yang memilih pelayanan kesehatan pemerintah (Rutebemberwa et al, 2009). Fenomena hampir serupa terjadi di Provinsi Aceh, dimana pemanfaatan fasilitas pemeriksaan darah malaria tertinggi di Puskesmas/pustu 17,2%, diikuti dengan RS 16,9% dan polindes serta poskesdes digabungkan sekitar 7,9%. Sementara praktik dokter dan bidan hanya dimanfaatkan sebanyak 12,1% rumah tangga (Badan Litbangkes, 2010).


(7)

Lebih lanjut pemanfaatan pemeriksaan malaria pada praktik dokter untuk daerah perdesaan sedikit lebih tinggi dibanding daerah perkotaan, yaitu 6,7% dengan 5,9%. Sementara praktik bidan tidak berbeda, baik diperkotaan maupun diperdesaan 1,9% rumah tangga yang memanfaatkannya. (Badan Litbangkes, 2010). Ditambah lagi dengan fenomena perilaku pencarian pengobatan masyarakat di Indonesia, Chee et al (2009) menyatakan sekitar 45% dari episode sakit terakhir pengobatan awal dilakukan pada pelayanan kesehatan rawat jalan dengan membeli obat sendiri pada toko obat atau apotek.

Fakta lain yang menarik berdasarkan kunjungan lapangan pendahuluan, bahwa pada Puskesmas Kuta Cot Glie, walaupun mempunyai jumlah kasus paling banyak, kesemua penderitanya adalah laki-laki diatas 15 tahun. Lebih lanjut menurut petugas puskesmas setempat, penderita malaria yang ada adalah orang-orang yang bekerja ke hutan, dimana mereka akan mengunjungi puskesmas bila sudah sakit berat. Fenomena lain terjadi pada puskesmas-puskesmas yang memiliki angka insidensi parasit malaria rendah, kebanyakan penderita malarianya dikategorikan sebagai kasus impor. Bahkan petugas malaria dari Puskesmas Krueng Barona Jaya menyatakan bahwa dua kasus malaria impor yang dilaporkan pada tahun 2012 ditemukan berobat pada penyedia layanan kesehatan swasta.

Petugas malaria Puskesmas Sukamakmur dan Indrapuri menyatakan bahwa klinik swasta yang berada didaerah kerjanya telah pro-aktif untuk berkonsultasi bila ditemukan pasien malaria, sementara untuk pelaporan bulanan, petugas malaria yang harus pro-aktif mengambil data ke klinik setempat. Hal ini berbeda dengan praktik


(8)

doktek, perawat atau bidan perseorangan, dimana belum ada komunikasi yang baik antara puskesmas dengan penyedia layanan kesehatan swasta ini.

Mempertimbangkan peluang kerjasama yang baik dengan fasilitas kesehatan swasta, maka sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Pedoman Eliminasi Malaria di Indonesia menyatakan pihak swasta harus mulai diperkuat peranannya untuk mendukung eliminasi malaria baik dari segi diagnosis, pengobatan dan pelaporan (Depkes, 2009). Selama ini untuk program yang bersifat vertikal seperti malaria dan TB, pemerintah menyediakan obat program secara gratis dan dapat digunakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta, namun pada studi lapangan awal, obat program hanya tersedia di puskesmas/pustu saja, rumah sakit pemerintah hanya tersedia bila ada permintaan ke Dinas Kesehatan kab/kota atau provinsi setempat, serta kurangnya komunikasi dan koordinasi diyakini sebagai salah satu tantangan (Kusriastuti dan Surya, 2012).

Berdasar data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar, terdapat 249 penyedia pelayanan kesehatan swasta yang terdiri dari 27 Balai Pengobatan atau Klinik, 35 praktik dokter, 77 praktik bidan dan 42 praktik perawat, apotek 7 dan toko obat 61 yang kesemuanya tersebar di wilayah puskesmas (Anonim, 2013). Berdasarkan kunjungan awal, Puskesmas Kuta Cot Glie mempunyai pelayanan kesehatan swasta yang terdiri dari dua dokter praktik, tiga praktik perawat/mantri dan tiga toko obat (Anonim, 2012a). Sementara profil Puskesmas Indrapuri tahun 2011 memiliki dua klinik, dua toko obat, dua dokter praktik dan enam praktik bidan


(9)

(Anonim, 2012b). Di wilayah kerja Puskesmas Sukamakmur terdapat tiga klinik, empat praktik dokter, lima praktik bidan, praktik perawat dua, toko obat delapan (Anonim, 2012c). Jumlah ini merupakan potensi bagi peningkatan cakupan penemuan kasus malaria yang belum teridentifikasi secara jelas.

Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh swasta banyak diteliti telah memberikan manfaat pada perluasan akses dengan harga yang terkadang lebih murah dari pelayanan di fasilitas pemerintah serta lebih tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan penggunanya (Smith et.al., 2001). Tetapi, perkembangan pelayanan kesehatan swasta yang berkembang pesat dalam beberapa dekade sering menunjukkan rendahnya kualitas teknis dari petugas. Beberapa penelitian menyebutkan kualitas yang rendah pada penegakan diagnosis dan pengobatan tuberkulosis (Bustreo, 2003, Probandari et al, 2010), malaria (Brugha, 1998, Dinkes Kota Batam, 2002). Lebih lanjut Dinkes Kota Batam melaporkan bahwa masih banyak klinik atau balai pengobatan swasta yang memberikan pengobatan malaria tidak sesuai dengan pedoman Kementerian Kesehatan RI. Hal ini juga sesuai dengan studi lapangan pendahuluan di Aceh Besar, bahwa masih banyak penyedia pelayanan kesehatan swasta yang memberikan obat malaria kepada penderita suspek malaria tanpa konfirmasi laboratorium dan obat yang tidak sesuai protokol Kemenkes RI.

Fakta peranan pelayanan kesehatan swasta yang besar dalam kesehatan masyarakat tidak bisa dipungkiri, namun masih terbatasnya data mengenai peranan pelayanan kesehatan swasta dalam pengendalian malaria di Indonesia. Kurangnya koordinasi, pembinaan dan pengawasan dari Dinas Kesehatan setempat membuat


(10)

kasus malaria yang ditemukan difasilitas swasta jarang sekali yang terlaporkan ke Dinas Kesehatan.

Berdasarkan uraian diatas, menarik penulis untuk mengkaji sejauhmana peranan pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria dengan konteks eliminasi malaria, dan bagaimana desain jejaring kerjasama antara fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk mencapai target eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.2.Permasalahan

Bagaimana peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.3.Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dan faktor–faktor yang mempengaruhinya.

1.4.Hipotesis

Ada pengaruh karakteristik petugas, karakteristik pekerjaan, ketersediaan alat dan bahan, pengetahuan terhadap peranan pelayanan kesehatan swasta berperan


(11)

dalam diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di daerah penelitian.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Bagi pengembangan ilmu pengetahuan akan diketahuinya peranan pelayanan kesehatan swasta dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Aceh Besar.

b. Bagi Pemerintah Aceh

Hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan bagi peranan pelayanan kesehatan swasta bagi kabupaten/kota yang menuju eliminasi malaria.

c. Bagi Masyarakat dan Petugas Pelaksana

Sebagai masukkan terhadap perbaikan akses dan kualitas pelayanan khusus penyakit malaria yang diberikan oleh pihak swasta, dimana masyarakat sebagai penerima manfaat dapat mengawasi pelaksanaan program kesehatan, serta dapat menjadi masukan bagi petugas penyedia pelayanan kesehatan di sektor swasta mengenai pentingnya peran mereka dalam menuju eliminasi malaria.


(1)

Sektor pelayanan kesehatan swasta merupakan salah satu unsur penting dalam sistem kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Menurut AusAID (2012), di kawasan Asia Selatan sekitar 80 persen pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin disediakan oleh sektor swasta. Beberapa negara melaporkan pelayanan kesehatan swasta banyak dimanfaatkan bagi kelompok miskin pada negara-negara miskin dan berkembang, terutama pada daerah dengan sarana infrastruktur dan transportasi yang sulit. Di Guatemala sekitar 40-45% populasi pada kelompok kedua kuantil terendah mencari pelayanan pada sektor swasta (Makinen et.al., 2000).

Sementara pemanfaatan unit pemeriksaan malaria oleh masyarakat di Indonesia paling banyak di Puskesmas 40,4 %, RS pemerintah 16,5 %, sementara untuk fasilitas pelayanan swasta yang tercakup pada RS, balai pengobatan/klinik, praktik dokter, praktik perawat/bidan sebanyak 35,9% (Badan Litbangkes, 2010). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan negara Kamboja yang 90% kasus demam di daerah terpencil mencari pengobatan di penyedia pelayanan swasta (Yeung et.al, 2008). Di Uganda, dari seluruh yang mencari pengobatan diluar rumah, 62.7% yang memilih mencari pengobatan pertama ke toko obat atau klinik swasta, dan hanya 33.1% yang memilih pelayanan kesehatan pemerintah (Rutebemberwa et al, 2009). Fenomena hampir serupa terjadi di Provinsi Aceh, dimana pemanfaatan fasilitas pemeriksaan darah malaria tertinggi di Puskesmas/pustu 17,2%, diikuti dengan RS 16,9% dan polindes serta poskesdes digabungkan sekitar 7,9%. Sementara praktik dokter dan bidan hanya dimanfaatkan sebanyak 12,1% rumah tangga (Badan Litbangkes, 2010).


(2)

Lebih lanjut pemanfaatan pemeriksaan malaria pada praktik dokter untuk daerah perdesaan sedikit lebih tinggi dibanding daerah perkotaan, yaitu 6,7% dengan 5,9%. Sementara praktik bidan tidak berbeda, baik diperkotaan maupun diperdesaan 1,9% rumah tangga yang memanfaatkannya. (Badan Litbangkes, 2010). Ditambah lagi dengan fenomena perilaku pencarian pengobatan masyarakat di Indonesia, Chee et al (2009) menyatakan sekitar 45% dari episode sakit terakhir pengobatan awal dilakukan pada pelayanan kesehatan rawat jalan dengan membeli obat sendiri pada toko obat atau apotek.

Fakta lain yang menarik berdasarkan kunjungan lapangan pendahuluan, bahwa pada Puskesmas Kuta Cot Glie, walaupun mempunyai jumlah kasus paling banyak, kesemua penderitanya adalah laki-laki diatas 15 tahun. Lebih lanjut menurut petugas puskesmas setempat, penderita malaria yang ada adalah orang-orang yang bekerja ke hutan, dimana mereka akan mengunjungi puskesmas bila sudah sakit berat. Fenomena lain terjadi pada puskesmas-puskesmas yang memiliki angka insidensi parasit malaria rendah, kebanyakan penderita malarianya dikategorikan sebagai kasus impor. Bahkan petugas malaria dari Puskesmas Krueng Barona Jaya menyatakan bahwa dua kasus malaria impor yang dilaporkan pada tahun 2012 ditemukan berobat pada penyedia layanan kesehatan swasta.

Petugas malaria Puskesmas Sukamakmur dan Indrapuri menyatakan bahwa klinik swasta yang berada didaerah kerjanya telah pro-aktif untuk berkonsultasi bila ditemukan pasien malaria, sementara untuk pelaporan bulanan, petugas malaria yang harus pro-aktif mengambil data ke klinik setempat. Hal ini berbeda dengan praktik


(3)

doktek, perawat atau bidan perseorangan, dimana belum ada komunikasi yang baik antara puskesmas dengan penyedia layanan kesehatan swasta ini.

Mempertimbangkan peluang kerjasama yang baik dengan fasilitas kesehatan swasta, maka sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Pedoman Eliminasi Malaria di Indonesia menyatakan pihak swasta harus mulai diperkuat peranannya untuk mendukung eliminasi malaria baik dari segi diagnosis, pengobatan dan pelaporan (Depkes, 2009). Selama ini untuk program yang bersifat vertikal seperti malaria dan TB, pemerintah menyediakan obat program secara gratis dan dapat digunakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta, namun pada studi lapangan awal, obat program hanya tersedia di puskesmas/pustu saja, rumah sakit pemerintah hanya tersedia bila ada permintaan ke Dinas Kesehatan kab/kota atau provinsi setempat, serta kurangnya komunikasi dan koordinasi diyakini sebagai salah satu tantangan (Kusriastuti dan Surya, 2012).

Berdasar data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar, terdapat 249 penyedia pelayanan kesehatan swasta yang terdiri dari 27 Balai Pengobatan atau Klinik, 35 praktik dokter, 77 praktik bidan dan 42 praktik perawat, apotek 7 dan toko obat 61 yang kesemuanya tersebar di wilayah puskesmas (Anonim, 2013). Berdasarkan kunjungan awal, Puskesmas Kuta Cot Glie mempunyai pelayanan kesehatan swasta yang terdiri dari dua dokter praktik, tiga praktik perawat/mantri dan tiga toko obat (Anonim, 2012a). Sementara profil Puskesmas Indrapuri tahun 2011 memiliki dua klinik, dua toko obat, dua dokter praktik dan enam praktik bidan


(4)

(Anonim, 2012b). Di wilayah kerja Puskesmas Sukamakmur terdapat tiga klinik, empat praktik dokter, lima praktik bidan, praktik perawat dua, toko obat delapan (Anonim, 2012c). Jumlah ini merupakan potensi bagi peningkatan cakupan penemuan kasus malaria yang belum teridentifikasi secara jelas.

Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh swasta banyak diteliti telah memberikan manfaat pada perluasan akses dengan harga yang terkadang lebih murah dari pelayanan di fasilitas pemerintah serta lebih tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan penggunanya (Smith et.al., 2001). Tetapi, perkembangan pelayanan kesehatan swasta yang berkembang pesat dalam beberapa dekade sering menunjukkan rendahnya kualitas teknis dari petugas. Beberapa penelitian menyebutkan kualitas yang rendah pada penegakan diagnosis dan pengobatan tuberkulosis (Bustreo, 2003, Probandari et al, 2010), malaria (Brugha, 1998, Dinkes Kota Batam, 2002). Lebih lanjut Dinkes Kota Batam melaporkan bahwa masih banyak klinik atau balai pengobatan swasta yang memberikan pengobatan malaria tidak sesuai dengan pedoman Kementerian Kesehatan RI. Hal ini juga sesuai dengan studi lapangan pendahuluan di Aceh Besar, bahwa masih banyak penyedia pelayanan kesehatan swasta yang memberikan obat malaria kepada penderita suspek malaria tanpa konfirmasi laboratorium dan obat yang tidak sesuai protokol Kemenkes RI.

Fakta peranan pelayanan kesehatan swasta yang besar dalam kesehatan masyarakat tidak bisa dipungkiri, namun masih terbatasnya data mengenai peranan pelayanan kesehatan swasta dalam pengendalian malaria di Indonesia. Kurangnya koordinasi, pembinaan dan pengawasan dari Dinas Kesehatan setempat membuat


(5)

kasus malaria yang ditemukan difasilitas swasta jarang sekali yang terlaporkan ke Dinas Kesehatan.

Berdasarkan uraian diatas, menarik penulis untuk mengkaji sejauhmana peranan pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria dengan konteks eliminasi malaria, dan bagaimana desain jejaring kerjasama antara fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk mencapai target eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.2.Permasalahan

Bagaimana peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.3.Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dan faktor–faktor yang mempengaruhinya.

1.4.Hipotesis

Ada pengaruh karakteristik petugas, karakteristik pekerjaan, ketersediaan alat dan bahan, pengetahuan terhadap peranan pelayanan kesehatan swasta berperan


(6)

dalam diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di daerah penelitian.

1.5. Manfaat Penelitian a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Bagi pengembangan ilmu pengetahuan akan diketahuinya peranan pelayanan kesehatan swasta dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Aceh Besar.

b. Bagi Pemerintah Aceh

Hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan bagi peranan pelayanan kesehatan swasta bagi kabupaten/kota yang menuju eliminasi malaria.

c. Bagi Masyarakat dan Petugas Pelaksana

Sebagai masukkan terhadap perbaikan akses dan kualitas pelayanan khusus penyakit malaria yang diberikan oleh pihak swasta, dimana masyarakat sebagai penerima manfaat dapat mengawasi pelaksanaan program kesehatan, serta dapat menjadi masukan bagi petugas penyedia pelayanan kesehatan di sektor swasta mengenai pentingnya peran mereka dalam menuju eliminasi malaria.