Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Pencapaian Eliminasi Malaria di Kabupaten Aceh Besar

(1)

PERANAN PENYEDIA PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DALAM PENCAPAIAN ELIMINASI MALARIA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Oleh HERDIANA 127032259 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE ROLE OF PRIVATE HEALTH CARE PROVIDERS IN ACHIEVING MALARIA ELIMINATION IN ACEH BESAR DISTRICT

THESIS

By HERDIANA 127032259 / IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PERANAN PENYEDIA PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DALAM PENCAPAIAN ELIMINASI MALARIA

DI KABUPATENACEH BESAR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh HERDIANA 127032259 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PERANAN PENYEDIA PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DALAM

PENCAPAIAN ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN ACEH BESAR

Nama Mahasiswa : Herdiana Nomor Induk Mahasiswa : 127032259

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Juanita, S.E, M.Kes) (Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 29 Oktober 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes

Anggota : 1. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes 2. Drs. Amru Nasution, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PERANAN PENYEDIA PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DALAM PENCAPAIAN ELIMINASI MALARIA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

Herdiana 127032259/IKM


(7)

ABSTRAK

Eliminasi malaria merupakan komitmen global dan Pemerintah Indonesia. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar melalui Peraturan Bupati No. 23/2013 menargetkan eliminasi malaria tahun 2015. Peranan pelayanan kesehatan swasta dalam konteks eliminasi malaria belum diketahui. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta dalam hal diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pencatatan pelaporan dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Jenis penelitian adalah potong lintang. Sampel menggunakan metode pencuplikan acak sederhana, jumlah 153 dibagi secara proporsional keenam jenis pelayanan kesehatan swasta. Data dari data primer dan sekunder. Analisis menggunakan uji Chi-Square dan logistik regresi ganda dengan aplikasi Epi Info versi 7.

Hasil penelitian: tingkat pendidikan (p = 0,045), pelatihan malaria (p = 0,004), karakteristik pekerjaan (p = 0,004), tingkat pengetahuan (p < 0,001) berpengaruh terhadap peran. Berpengetahuan baik berpengaruh 8 kali (OR 8,1; 95% CI 3,8 – 17,5) dan pelatihan berpengaruh 2,7 kali (OR 2,7; 95% CI 1,2 – 6,3). Kontribusi pelayanan kesehatan swasta, proporsi kasus suspek dikonfirmasi laboratorium 13,5%, proporsi kasus malaria diobati sesuai protokol 7,4%, proporsi kasus malaria terlapor ke pemerintah 5,6%. Pada apotek dan toko obat, mean pembeli suspek malaria per hari 4 orang, mean Klorokuin terjual perbulan 38 tablet.

Penyedia pelayanan kesehatan swasta masih berperan dalam pencapaian eliminasi malaria pada daerah endemis rendah menuju eliminasi. Perlu dibentuk jejaring kerjasama pemerintah-swasta formal untuk mengefektifkan komunikasi, koordinasi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, menjamin ketersediaan alat dan bahan, pembinaan dan pengawasan.


(8)

ABSTRACT

Malaria elimination is a global commitment and a goal of the Government of Indonesia. The District of Aceh Besar has promulgated Regent’s Regulation No. 23/2013 which formally commits to achieve elimination by 2015. However, the role of private health care providers in progressing towards malaria elimination has not been identified. This study describes and quantifies the role of private health care in the malaria elimination effort in Aceh Besar.

A survey of six types of private health care providers through a simple random sampling method has been conducted. Primary and secondary data were collected from 153 providers. Data analysis was done using Chi-Square test and logictic regression with EPI Info version 7.

The result showed that educational background (p=0,045), participation in malaria training (p=0,004), occupational characteristics (p=0,004) and knowledge of malaria (p<0,001) were associated with involvement in malaria elimination program. Additionally, roles of private health care providers in malaria elimination were predominantly influenced by having good knowledge of malaria (OR 8.1; 95% CI 3.8–17.5) and participation in malaria training (OR 2.7; 95% CI 1.2–6.3). The contribution private providers to officially reported data for 2013 showed that, 13.5% of suspected malaria cases were laboratory-confirmed, 7.4% of malaria cases were treated by ACT, and 5.6% malaria cases treated were reported to government. At pharmacies and drug stores, an average of 4 people sought medication for malaria malaria daily, with pharmacies selling a mean of 38 chloroquine tablets monthly

Private health care providers play a pivotal role in low endemic area moving toward malaria elimination. This survey shows that the private sector in Aceh Besar falls far short of standards for diagnosis, treatment and reporting set by the public section. This highlights the need for established of an effective public-private network to ensure adherence to standards, effective monitoring, and good communication.


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, atas rahmat serta karuniaNYa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Pencapaian Eliminasi Malaria di Kabupaten Aceh Besar”.

Penyelesaian tesis ini sudah tentu melibatkan banyak pihak, baik yang telah ikut memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Juanita, S.E, M.Kes dan Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes selaku komisi pembimbing atassegala ketulusan dalam menyediakan waktu untukmemberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis selesai. Semoga Allah SWT senantiasa selalu memberikan rahmat dan taufik-Nya kepada ibu berdua.

5. Drs. Amru Nasution, M.Kes dan dr. Mhd. Arifin Siregar, M.Kes selaku komisi penguji yang telah meluangkan waktu menjadi penguji dalam penelitian ini dan


(10)

memberikan masukan dan saran yang berharga dalam penyempurnaan penyusunan tesis ini.

6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar dr Wahyu Zulfansyah M.Kes yang telah memberikan izin untuk pelaksanaan penelitian ini, serta dukungan dari Bidang P2P, Bidang Pelayanan Kesehatan dan Seksi Data Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar beserta jajaran Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan swasta yang telah memberikan masukan, data dan kerjasamanya dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Seluruh para dosen pengajar dan staf di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Administrasi Kebijakan dan Kesehatan, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dalam menjalani proses kuliah hingga penyelesaian tesis di kampus tercinta.

8. Teristimewa buat ayahanda Hasan Basri dan Ibunda Husna RM terhormat yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta rasa cinta yang ikhlas membesarkan penulis, memotivasi dan memberikan dukungan moril dan material sehingga penulis bisa mencapai pendidikan ini. Begitupula kepada kakak-kakak, seorang putri tersayang Alifa Wazhifatul Hakim, keponakan-keponakan, dan cucu-cucu yang telah mengisi warna kehidupan. Semoga pencapaian ini menjadi pembelajaran berharga dalam mencapai pendidikan tinggi dalam suka dan duka. 9. Kepada Hari Setiadi, Iqbal Elyazar, Lenny L Ekawati, Agus Rachmat, Yenni

Oktaviza, Roni Gunawan, Rahmat Cut dan Juliana Deski yang selalu memotivasi dan menjadi teman diskusi mengenai materi tesis ini.


(11)

10.Seluruh teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuannya dan memberikan semangat dalam penyusunan tesis.

Akhirnya penulis menyadari segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, untuk itu diharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Oktober 2014 Penulis

Herdiana 127032259/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Herdiana, lahir pada tanggal 12 Desember 1978 di Teluk Betung, Bandar Lampung, anak terakhir dengan jumlah 5 (lima) bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Hasan Basri dan Ibunda Hj. Husna RM. Tempat tinggal di Jln. T. Iskandar Villa Gading Mas No. 12, Ceurih, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri 1 Panjang Utara, Bandar Lampung selesai tahun 1991, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Yogyakarta selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Yogyakarta selesai Tahun 1997, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta selesai Tahun 2004. Penulis menikah pada 13 Juli 2003 dengan Lukman Hakim dan telah dikaruniai seorang putri Alifa Wazhifatul Hakim.

Bekerja sebagai tanaga medis di klinik 24 jam Kabupaten Karawang, Jawa Barat dari bulan Mei – Agustus tahun 2004, tenaga medis PTT di RSUD Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar dari Juli – Desember 2005, konsultan UNICEF Aceh unit malaria dari tahun 2006, staf UNICEF Aceh seksi kesehatan dan gizi dari tahun 2007 sampai sekarang. Tahun 2012 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di S‐2 Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Hipotesis ... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Malaria ... 12

2.1.1. Etiologi dan Sejarah ... 12

2.1.2. Epidemiologi ... 12

2.1.3. Endemisitas dan Daerah Fokus Malaria ... 13

2.1.4. Diagnosis ... 15

2.1.5. Pengobatan ... 17

2.1.6. Pencegahan ... 19

2.1.7. Pengumpulan Data dan Pelaporan ... 20

2.1.8. Eliminasi Malaria ... 21

2.1.9. Intervensi Program Malaria ... 25

2.2. Pelayanan Kesehatan ... 25

2.3. Pelaku Penyedia Pelayanan Kesehatan ... 26

2.4. Peran Sektor Swasta dalam Program Malaria ... 30

2.5. Pendekatan Sistem Kesehatan dalam Program Malaria ... 37

2.6. Landasan Teori ... 39

2.7. Kerangka Konsep ... 41

BAB 3. METODE PENELITIAN... 42

3.1. Jenis Penelitian ... 42

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 42


(14)

3.3. Populasi dan Sampel ... 43

3.3.1. Populasi ... 43

3.3.2. Sampel ... 43

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 46

3.4.1. Data Primer ... 46

3.4.2. Data Sekunder ... 46

3.5. Definisi Operasional ... 47

3.6. Metode Pengukuran ... 51

3.7. Metode Analisa Data ... 54

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 55

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 55

4.1.1. Keadaan Geografis ... 55

4.1.2. Keadaan Demografis ... 57

4.1.3. Sarana dan Tenaga Kesehatan ... 57

4.1.4. Situasi Program Malaria ... 59

4.2. Analisis Univariat ... 61

4.2.1. Karakteristik Petugas ... 62

4.2.2. Karakteristik Pekerjaan ... 63

4.2.3. Ketersediaan Alat dan Obat ... 65

4.2.4. Pengetahuan ... 66

4.2.5. Peran ... 75

4.3. Analisis Bivariat ... 81

4.3.1. Pengaruh Karakteristik Petugas dengan Peran ... 81

4.3.2. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan dengan Peran ... 82

4.3.3. Pengaruh Ketersediaan Alat dan Bahan dengan Peran ... 84

4.3.4. Pengaruh Pengetahuan dengan Peran ... 84

4.4. Analisis Multivariat ... 85

BAB 5. PEMBAHASAN ... 87

5.1. Peranan Pemberi Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Mencapai Eliminasi Malaria... 87

5.2. Variabel-variabel yang Berpengaruh terhadap Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Mencapai Eliminasi Malaria ... 94

5.2.1. Karakteristik Petugas ... 95

5.2.2. Karakteristik Pekerjaan ... 97

5.2.3. Ketersediaan Alat dan Bahan ... 99

5.2.4. Pengetahuan ... 106

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

6.1. Kesimpulan ... 109

6.2. Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Monitoring Respon Pengobatan, Hasil, Kriteria dan Tindakan yang

Diambil ... 19

2.2. Pembagian Sasaran Puskesmas Per Target Tahun Pencapaian Eliminasi Malaria ... 24

3.1. Pengambilan Sampel Penelitian ... 45

3.2. Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 52

4.1. Jenis Sarana Kesehatan Pemerintah dan Swasta ... 57

4.2. Jenis Tenaga Kesehatan ... 58

4.3. Angka Insidensi Malaria Per Puskesmas di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009 – 2013 ... 60

4.4. Distribusi Frekuensi Karakterisik Responden ... 62

4.5. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pekerjaan ... 64

4.6. Distribusi Frekuensi Ketersediaan Alat dan Obat ... 65

4.7. Distribusi Frekuensi Ketersediaan Alat dan Bahan per Kelompok Responden ... 66

4.8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan pada Seluruh Responden ... 66

4.9. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Per Komponen pada Kelompok Responden ... 67

4.10. Distribusi Alasan Komponen Pengetahuan Kelompok Klinik dan Praktik Perseorangan ... 69

4.11. Distribusi Alasan Komponen Pengetahuan Kelompok Apotek dan Toko Obat ... 73

4.12. Distribusi Frekuensi Peran dalam Pencapaian Eliminasi Malaria untuk Seluruh Responden ... 75


(16)

4.13. Beberapa Alasan Responden Kelompok Klinik dan Praktik Perseorangan

pada Komponen Perilaku ... 76

4.14. Beberapa Alasan Responden Kelompok Apotek dan Toko Obat pada Komponen Perilaku ... 77

4.15. Indikator Potensi dan Kehilangan Kontribusi Pelayanan Kesehatan Swasta Menuju Eliminasi Malaria ... 78

4.16. Potensi Klinik dan Praktik Perseorangan pada Program Malaria ... 79

4.17. Potensi Apotek dan Toko Obat pada Program Malaria ... 80

4.18. Pengaruh Karakterisk Petugas dengan Peran ... 81

4.19. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan dengan Peran ... 82

4.20. Tabulasi Silang Karakteristik Pekerjaan dengan Peran ... 83

4.21. Pengaruh Ketersediaan Alat dan Bahan dengan Peran... 84

4.22. Pengaruh Pengetahuan dengan Peran ... 84


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Kerangka Teori ... 40 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 41 4.1. Peta Endemisitas Malaria Per Kecamatan Tahun 2013 dan Lokasi

Penelitian di Kabupaten Aceh Besar ... 56 4.2. Jumlah Kasus Malaria dan Insidensi Malaria Kabupaten Aceh Besar


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Permintaan Menjadi Responden ... 125

2. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden Penelitian ... 127

3. Pedoman Umum Wawancara ... 128

4. Hasil Uji Statistik ... 151

5. Surat Izin Penelitian ... 173

6. Surat Izin Survei Pendahuluan ... 174


(19)

ABSTRAK

Eliminasi malaria merupakan komitmen global dan Pemerintah Indonesia. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar melalui Peraturan Bupati No. 23/2013 menargetkan eliminasi malaria tahun 2015. Peranan pelayanan kesehatan swasta dalam konteks eliminasi malaria belum diketahui. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta dalam hal diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pencatatan pelaporan dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Jenis penelitian adalah potong lintang. Sampel menggunakan metode pencuplikan acak sederhana, jumlah 153 dibagi secara proporsional keenam jenis pelayanan kesehatan swasta. Data dari data primer dan sekunder. Analisis menggunakan uji Chi-Square dan logistik regresi ganda dengan aplikasi Epi Info versi 7.

Hasil penelitian: tingkat pendidikan (p = 0,045), pelatihan malaria (p = 0,004), karakteristik pekerjaan (p = 0,004), tingkat pengetahuan (p < 0,001) berpengaruh terhadap peran. Berpengetahuan baik berpengaruh 8 kali (OR 8,1; 95% CI 3,8 – 17,5) dan pelatihan berpengaruh 2,7 kali (OR 2,7; 95% CI 1,2 – 6,3). Kontribusi pelayanan kesehatan swasta, proporsi kasus suspek dikonfirmasi laboratorium 13,5%, proporsi kasus malaria diobati sesuai protokol 7,4%, proporsi kasus malaria terlapor ke pemerintah 5,6%. Pada apotek dan toko obat, mean pembeli suspek malaria per hari 4 orang, mean Klorokuin terjual perbulan 38 tablet.

Penyedia pelayanan kesehatan swasta masih berperan dalam pencapaian eliminasi malaria pada daerah endemis rendah menuju eliminasi. Perlu dibentuk jejaring kerjasama pemerintah-swasta formal untuk mengefektifkan komunikasi, koordinasi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, menjamin ketersediaan alat dan bahan, pembinaan dan pengawasan.


(20)

ABSTRACT

Malaria elimination is a global commitment and a goal of the Government of Indonesia. The District of Aceh Besar has promulgated Regent’s Regulation No. 23/2013 which formally commits to achieve elimination by 2015. However, the role of private health care providers in progressing towards malaria elimination has not been identified. This study describes and quantifies the role of private health care in the malaria elimination effort in Aceh Besar.

A survey of six types of private health care providers through a simple random sampling method has been conducted. Primary and secondary data were collected from 153 providers. Data analysis was done using Chi-Square test and logictic regression with EPI Info version 7.

The result showed that educational background (p=0,045), participation in malaria training (p=0,004), occupational characteristics (p=0,004) and knowledge of malaria (p<0,001) were associated with involvement in malaria elimination program. Additionally, roles of private health care providers in malaria elimination were predominantly influenced by having good knowledge of malaria (OR 8.1; 95% CI 3.8–17.5) and participation in malaria training (OR 2.7; 95% CI 1.2–6.3). The contribution private providers to officially reported data for 2013 showed that, 13.5% of suspected malaria cases were laboratory-confirmed, 7.4% of malaria cases were treated by ACT, and 5.6% malaria cases treated were reported to government. At pharmacies and drug stores, an average of 4 people sought medication for malaria malaria daily, with pharmacies selling a mean of 38 chloroquine tablets monthly

Private health care providers play a pivotal role in low endemic area moving toward malaria elimination. This survey shows that the private sector in Aceh Besar falls far short of standards for diagnosis, treatment and reporting set by the public section. This highlights the need for established of an effective public-private network to ensure adherence to standards, effective monitoring, and good communication.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu komponen penting dalam indeks pembangunan manusia (IPM). Masyarakat yang sehat merupakan investasi bagi suatu negara, dimana produktivitas pada masyarakat yang sehat menjadi lebih tinggi dan berdampak secara makro pada perekonomian suatu bangsa.

Malaria sebagai penyakit menular yang berbasis lingkungan terbukti dapat menurunkan produktivitas penderitanya dan terbukti berhubungan erat dengan kemiskinan (Worral et al, 2005), sehingga Menteri Kesehatan dalam Surat Keputusannya bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang hidup sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030 (Kepmenkes No.293/MENKES/SK/IV/2009). Keputusan ini sejalan dengan isu global, dimana pada World Health Assambly (WHA) ke-60 Tahun 2007 disepakati komitmen global bahwa setiap negara akan mencapai eliminasi malaria (WHO, 2007a).

Menurut laporan World Health Organization (WHO) (2011a), pada tahun 2010 di seluruh dunia diperkirakan terdapat 219 juta kasus malaria (interval antara 154-289 juta) dan 660.000 orang meninggal karena malaria (interval antara 610.000-971.000). Angka ini berasal dari laporan surveilans negara-negara yang diperkirakan baru mencakup 10% saja dari total kasus malaria yang sebenarnya di lapangan (WHO, 2013). Disisi lain, pemetaan yang dilakukan oleh kelompok kesehatan global


(22)

(Global Health Group) Universitas California San Fransisco (UCSF) menyatakan bahwa sampai tahun 2010, ada 109 negara dengan kategori bebas malaria, 67 negara masih dalam tahap pemberantasan malaria, dan 32 negara sedang proses mengeliminasi malaria. Indonesia termasuk negara yang masih dalam tahap pemberantasan malaria (Feachem et al, 2009).

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), di Indonesia terdapat 417.819 kasus malaria positif terkonfirmasi laboratorium dimana 70% kasus tersebut berasal dari Indonesia Timur. Kawasan Timur Indonesia yang walaupun hanya memiliki sekitar 16 juta penduduk tersebar pada 84 kabupaten/kota, tetapi menyumbangkan paling banyak kasus malaria di Indonesia. Lebih lanjut, Kemenkes RI menyatakan ada 133 kabupaten/kota yang sudah bebas malaria, 204 kabupaten/kota sebagai daerah dengan insidensi malaria rendah (API < 1 per 1.000 penduduk), dan 85 kabupaten/kota dengan insidensi malaria sedang (API 1 - 5 per 1.000 penduduk) (Surya, 2013). Menurut laporan WHO (2011a), kematian karena malaria di Indonesia sebanyak 1.023 orang, tetapi angka ini lebih kecil dari model matematika menurut Murray et al (2012) yang memperkirakan angka kematian karena malaria di Indonesia sekitar 10.925 (interval antara 5.420–17.211, CI 95%).

Di Provinsi Aceh, jumlah kasus malaria pada tahun 2012 sebanyak 2.943 kasus positif terkonfirmasi laboratorium (Fatah, 2013). Dari angka ini, Kabupaten Aceh Besar menyumbang sebanyak 171 kasus malaria. Di Kabupaten Aceh Besar dari 28 puskesmas, hanya satu puskesmas dengan angka insidensi parasit malaria (API) >5 ‰, yaitu Puskesmas Kuta Cot Glie. Puskesmas ini menyumbangkan jumlah


(23)

kasus malaria terbesar di Kabupaten Aceh Besar yaitu sebanyak 64 kasus. Tiga puskesmas lain mempunyai insidensi parasit malaria (API) antara 1 – 5 ‰, yaitu Puskesmas Lhoong, Lembah Seulawah dan Kota Jantho. Sembilan puskesmas melaporkan tidak ditemukan kasus malaria pada tahun 2012, dan 15 puskesmas sisanya mempunyai angka insidensi malaria kurang dari 1‰ (Dinkes Aceh Besar, 2013).

Bila melihat situasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan angka insidensi malaria, dimana tahun 2006 insidensi malaria tercatat 2.6 per 1.000 penduduk dan tahun 2012 menjadi 0.5 per 1.000 penduduk. Penurunan ini membuat para pemangku kebijakan di Kabupaten Aceh Besar berkeyakinan untuk memasuki tahap eliminasi malaria pada tahun 2015 yang tertuang pada Peraturan Bupati Aceh Besar No. 23/2013.

Selain itu, Kabupaten Aceh Besar dalam tiga tahun terakhir (data 2011-2013) telah mencapai angka insidensi parasit malaria kurang dari satu per 1.000 penduduk berisiko. Bila merujuk pada indikator perpindahan tahapan program malaria menurut WHO (2007b) dari tahap pra-eliminasi ke eliminasi, yaitu API kurang dari satu per 1.000 penduduk berisiko, maka Kabupaten Aceh Besar dapat diasumsikan telah memasuki tahap eliminasi. Tetapi, bila merujuk pada indikator proporsi penderita malaria positif terkonfirmasi laboratorium diantara semua penderita suspek malaria atau lebih dikenal sebagai Slide Positivity Rate (SPR) dan proporsi jumlah sediaan darah malaria yang diperiksa dalam satu tahun (Anuual Blood Examination Rate/ABER), dimana Kabupaten Aceh Besar memiliki SPR 5% dan ABER hanya


(24)

1%. Angka ini menunjukkan rendahnya penemuan kasus malaria karena angka ini masih berasal dari laporan Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah, sementara kegiatan penemuan kasus malaria dari penyedia pelayanan kesehatan swasta belum terlaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar. Menurut kunjungan lapangan awal, hal ini disebabkan belum adanya jejaring kerjasama antara fasilitas kesehatan pemerintah dengan penyedia pelayanan kesehatan untuk program malaria di Kabupaten ini.

Berdasarkan data laporan program malaria dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar didapatkan bahwa lebih dari 70% penderita malaria yang terlaporkan adalah pria dengan usia diatas 15 tahun (Dinkes Aceh Besar, 2013). Hal ini sesuai dengan karakteristik penderita malaria di kawasan Asia dan Amerika Selatan yang dihubungkan dengan resiko pekerjaan atau migrasi (Hsiang et al, 2009).

Data vektor penular malaria di Kabupaten Aceh Besar berdasar penelitian sebelumnya, teridentifikasi beberapa spesies Anopheles yaitu: Anopheles vagus, Anopheles aconitus, Anopheles hyrcanus group, Anopheles sinensis, Anopheles tesselatus dan Anopheles kochi (Syafruddin et al, 2006; Rinidar, 2010). Data vektor tersebut ditemukan di perkampungan sekitar perbukitan dan hutan, sementara Dinas Kesehatan Aceh Besar tidak memiliki data vektor didataran rendah dan pinggir pantai. Hal ini sejalan dengan data kasus malaria yang dilaporkan oleh puskesmas yang secara geografis memiliki wilayah perbukitan atau hutan (Dinkes Aceh Besar, 2013).


(25)

Berdasarkan data diatas dan adanya komitmen Pemerintah Kabupaten Aceh Besar yang menargetkan mencapai eliminasi malaria pada tahun 2015, maka diperlukan suatu intervensi yang efektif dan terpadu.

Eliminasi malaria diartikan sebagai upaya masif untuk menghilangkan penularan malaria lokal/setempat, hal ini tidak berarti suatu daerah tidak melaporkan adanya kasus malaria, tetapi kasus malaria yang ditemukan telah diverifikasi sebagai kasus malaria impor dan daerah tersebut menjamin tidak ada kasus malaria yang ditularkan di wilayah kerjanya (WHO, 2007b). Disini diperlukan kecepatan diagnosis penyakit malaria pada penderita suspek sehingga apabila terbukti positif malaria yang terkonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium, maka penderita tersebut dapat diobati segera untuk memutus mata rantai penularan malaria.

Selain kecepatan diagnosis dan pengobatan, perlunya investigasi kasus segera untuk memverifikasi sumber penularan kasus malaria tersebut, dan dilakukannya survei kontak untuk mengetahui apakah kasus malaria ini telah menularkan ke lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Sistem surveilans yang cepat tanggap dan dapat dipercaya menjadi keharusan dalam mencapai eliminasi suatu penyakit, untuk itu jejaring kerjasama antar fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta perlu dibentuk (Feachem et al, 2009; Moonen et al, 2010). Kerjasama tersebut dapat berupa penemuan segera penderita suspek malaria untuk dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium, terapi antimalaria radikal sesuai standar dan kegiatan yang bersifat promotif dan preventif (WHO, 2006).


(26)

Sektor pelayanan kesehatan swasta merupakan salah satu unsur penting dalam sistem kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Menurut AusAID (2012), di kawasan Asia Selatan sekitar 80 persen pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin disediakan oleh sektor swasta. Beberapa negara melaporkan pelayanan kesehatan swasta banyak dimanfaatkan bagi kelompok miskin pada negara-negara miskin dan berkembang, terutama pada daerah dengan sarana infrastruktur dan transportasi yang sulit. Di Guatemala sekitar 40-45% populasi pada kelompok kedua kuantil terendah mencari pelayanan pada sektor swasta (Makinen et.al., 2000).

Sementara pemanfaatan unit pemeriksaan malaria oleh masyarakat di Indonesia paling banyak di Puskesmas 40,4 %, RS pemerintah 16,5 %, sementara untuk fasilitas pelayanan swasta yang tercakup pada RS, balai pengobatan/klinik, praktik dokter, praktik perawat/bidan sebanyak 35,9% (Badan Litbangkes, 2010). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan negara Kamboja yang 90% kasus demam di daerah terpencil mencari pengobatan di penyedia pelayanan swasta (Yeung et.al, 2008). Di Uganda, dari seluruh yang mencari pengobatan diluar rumah, 62.7% yang memilih mencari pengobatan pertama ke toko obat atau klinik swasta, dan hanya 33.1% yang memilih pelayanan kesehatan pemerintah (Rutebemberwa et al, 2009). Fenomena hampir serupa terjadi di Provinsi Aceh, dimana pemanfaatan fasilitas pemeriksaan darah malaria tertinggi di Puskesmas/pustu 17,2%, diikuti dengan RS 16,9% dan polindes serta poskesdes digabungkan sekitar 7,9%. Sementara praktik dokter dan bidan hanya dimanfaatkan sebanyak 12,1% rumah tangga (Badan Litbangkes, 2010).


(27)

Lebih lanjut pemanfaatan pemeriksaan malaria pada praktik dokter untuk daerah perdesaan sedikit lebih tinggi dibanding daerah perkotaan, yaitu 6,7% dengan 5,9%. Sementara praktik bidan tidak berbeda, baik diperkotaan maupun diperdesaan 1,9% rumah tangga yang memanfaatkannya. (Badan Litbangkes, 2010). Ditambah lagi dengan fenomena perilaku pencarian pengobatan masyarakat di Indonesia, Chee et al (2009) menyatakan sekitar 45% dari episode sakit terakhir pengobatan awal dilakukan pada pelayanan kesehatan rawat jalan dengan membeli obat sendiri pada toko obat atau apotek.

Fakta lain yang menarik berdasarkan kunjungan lapangan pendahuluan, bahwa pada Puskesmas Kuta Cot Glie, walaupun mempunyai jumlah kasus paling banyak, kesemua penderitanya adalah laki-laki diatas 15 tahun. Lebih lanjut menurut petugas puskesmas setempat, penderita malaria yang ada adalah orang-orang yang bekerja ke hutan, dimana mereka akan mengunjungi puskesmas bila sudah sakit berat. Fenomena lain terjadi pada puskesmas-puskesmas yang memiliki angka insidensi parasit malaria rendah, kebanyakan penderita malarianya dikategorikan sebagai kasus impor. Bahkan petugas malaria dari Puskesmas Krueng Barona Jaya menyatakan bahwa dua kasus malaria impor yang dilaporkan pada tahun 2012 ditemukan berobat pada penyedia layanan kesehatan swasta.

Petugas malaria Puskesmas Sukamakmur dan Indrapuri menyatakan bahwa klinik swasta yang berada didaerah kerjanya telah pro-aktif untuk berkonsultasi bila ditemukan pasien malaria, sementara untuk pelaporan bulanan, petugas malaria yang harus pro-aktif mengambil data ke klinik setempat. Hal ini berbeda dengan praktik


(28)

doktek, perawat atau bidan perseorangan, dimana belum ada komunikasi yang baik antara puskesmas dengan penyedia layanan kesehatan swasta ini.

Mempertimbangkan peluang kerjasama yang baik dengan fasilitas kesehatan

swasta, maka sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Pedoman Eliminasi Malaria di Indonesia menyatakan pihak swasta harus mulai diperkuat peranannya untuk mendukung eliminasi malaria baik dari segi diagnosis, pengobatan dan pelaporan (Depkes, 2009). Selama ini untuk program yang bersifat vertikal seperti malaria dan TB, pemerintah menyediakan obat program secara gratis dan dapat digunakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta, namun pada studi lapangan awal, obat program hanya tersedia di puskesmas/pustu saja, rumah sakit pemerintah hanya tersedia bila ada permintaan ke Dinas Kesehatan kab/kota atau provinsi setempat, serta kurangnya komunikasi dan koordinasi diyakini sebagai salah satu tantangan (Kusriastuti dan Surya, 2012).

Berdasar data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar, terdapat 249 penyedia pelayanan kesehatan swasta yang terdiri dari 27 Balai Pengobatan atau Klinik, 35 praktik dokter, 77 praktik bidan dan 42 praktik perawat, apotek 7 dan toko obat 61 yang kesemuanya tersebar di wilayah puskesmas (Anonim, 2013). Berdasarkan kunjungan awal, Puskesmas Kuta Cot Glie mempunyai pelayanan kesehatan swasta yang terdiri dari dua dokter praktik, tiga praktik perawat/mantri dan tiga toko obat (Anonim, 2012a). Sementara profil Puskesmas Indrapuri tahun 2011 memiliki dua klinik, dua toko obat, dua dokter praktik dan enam praktik bidan


(29)

(Anonim, 2012b). Di wilayah kerja Puskesmas Sukamakmur terdapat tiga klinik, empat praktik dokter, lima praktik bidan, praktik perawat dua, toko obat delapan (Anonim, 2012c). Jumlah ini merupakan potensi bagi peningkatan cakupan penemuan kasus malaria yang belum teridentifikasi secara jelas.

Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh swasta banyak diteliti telah memberikan manfaat pada perluasan akses dengan harga yang terkadang lebih murah dari pelayanan di fasilitas pemerintah serta lebih tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan penggunanya (Smith et.al., 2001). Tetapi, perkembangan pelayanan kesehatan swasta yang berkembang pesat dalam beberapa dekade sering menunjukkan rendahnya kualitas teknis dari petugas. Beberapa penelitian menyebutkan kualitas yang rendah pada penegakan diagnosis dan pengobatan tuberkulosis (Bustreo, 2003, Probandari et al, 2010), malaria (Brugha, 1998, Dinkes Kota Batam, 2002). Lebih lanjut Dinkes Kota Batam melaporkan bahwa masih banyak klinik atau balai pengobatan swasta yang memberikan pengobatan malaria tidak sesuai dengan pedoman Kementerian Kesehatan RI. Hal ini juga sesuai dengan studi lapangan pendahuluan di Aceh Besar, bahwa masih banyak penyedia pelayanan kesehatan swasta yang memberikan obat malaria kepada penderita suspek malaria tanpa konfirmasi laboratorium dan obat yang tidak sesuai protokol Kemenkes RI.

Fakta peranan pelayanan kesehatan swasta yang besar dalam kesehatan masyarakat tidak bisa dipungkiri, namun masih terbatasnya data mengenai peranan pelayanan kesehatan swasta dalam pengendalian malaria di Indonesia. Kurangnya koordinasi, pembinaan dan pengawasan dari Dinas Kesehatan setempat membuat


(30)

kasus malaria yang ditemukan difasilitas swasta jarang sekali yang terlaporkan ke Dinas Kesehatan.

Berdasarkan uraian diatas, menarik penulis untuk mengkaji sejauhmana peranan pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria dengan konteks eliminasi malaria, dan bagaimana desain jejaring kerjasama antara fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk mencapai target eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.2. Permasalahan

Bagaimana peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar dan faktor–faktor yang mempengaruhinya.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh karakteristik petugas, karakteristik pekerjaan, ketersediaan alat dan bahan, pengetahuan terhadap peranan pelayanan kesehatan swasta berperan


(31)

dalam diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam pencapaian eliminasi malaria di daerah penelitian.

1.5. Manfaat Penelitian a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Bagi pengembangan ilmu pengetahuan akan diketahuinya peranan pelayanan kesehatan swasta dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Aceh Besar.

b. Bagi Pemerintah Aceh

Hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan bagi peranan pelayanan kesehatan swasta bagi kabupaten/kota yang menuju eliminasi malaria.

c. Bagi Masyarakat dan Petugas Pelaksana

Sebagai masukkan terhadap perbaikan akses dan kualitas pelayanan khusus penyakit malaria yang diberikan oleh pihak swasta, dimana masyarakat sebagai penerima manfaat dapat mengawasi pelaksanaan program kesehatan, serta dapat menjadi masukan bagi petugas penyedia pelayanan kesehatan di sektor swasta mengenai pentingnya peran mereka dalam menuju eliminasi malaria.


(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Malaria

2.1.1. Etiologi dan Sejarah

Malaria berasal dari kata bahasa Italia yang telah diketahui lebih dari 4.000 tahun yang lalu, terdiri dari “mal” dan “aria” yang berarti udara yang jelek, Demam dan gejala–gejala klasik malaria diidentifikasi oleh Hippocrates. Parasit malaria dalam darah manusia pertama kali ditemukan oleh Charles Louis Alphonse Laveran pada tahun 1880. (CDC, 2010a).

2.1.2. Epidemiologi 2.1.2.1. Penjamu/Host

Manusia merupakan penjamu utama dalam penularan malaria. Selain manusia, hewan golongan primata juga merupakan penjamu penyakit ini, seperti lutung, simpanse, monyet, gorila (Coatney et al, 1971). Pada penyakit malaria memerlukan penjamu perantara (intermediatary host) yang dikenal sebagai vektor. Vektor malaria adalah nyamuk Anopheles sp betina (CDC, 2010b).

Saat ini lebih dari 70 spesies Nyamuk Anopheles betina yang telah terkonfirmasi sebagai vektor penular malaria pada manusia, (Feachem et al, 2009). Di Indonesia, berdasar database Kemenkes RI ada 20 spesies Anopheles yang terkonfirmasi sebagai vektor utama maupun vektor sekunder. Penyebaran Anopheles tidak merata di wilayah Indonesia (Elyazar et al, 2013).


(33)

2.1.2.2. Agen

Agen penyebab penyakit malaria adalah parasit plasmodium. Di dunia lebih dari 100 spesies plasmodium yang dapat menginfeksi hewan seperti burung, reptil dan mamalia. Ada empat spesies plasmodium yang telah lama diketahui menginfeksi manusia yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Saat ini Plasmodium knowlesi telah dikonfirmasi dapat menginfeksi malaria dan monyet jenis macaca (Coatney, 1971; CDC, 2010c).

2.1.2.3. Lingkungan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyakit malaria dibagi menjadi lingkungan fisik, biologi, kimia dan sosial budaya (WHO, 1975). Lingkungan fisik dibagi menjadi suhu, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin, ketinggian, topografi, jenis genangan air, tanah, dan penggunaan peptisida. Lingkungan biologi tergantung pada faktor hewan predator, jenis parasit yang menyerang larva nyamuk, penyakit patogen pada larva, dan perubahan genetik pada nyamuk Anopheles. Lingkungan kimia termasuk kadar garam (Surendran et al, 2011), tingkat keasaman air (Rao, 1984), dan penyerapan oksigen (dissolved oxygent) (Dejenie et al 2011). 2.1.3. Endemisitas dan Daerah Fokus Malaria

Tingkat endemisitas malaria menurut WHO dibedakan menjadi empat yaitu: hipoendemik, mesoendemik, hiperendemik, holoendemik berdasar prevalensi parasit/spleen rate anak usia 2-9 tahun, tipe epidemik, rasio inokulasi entomologi (EIR), dan stabilitas (Mendis et al, 2009).


(34)

275/MENKES/SK/III/2007 tentang Pedoman Surveilans Malaria mengklasifikasikan wilayah sampai tingkat desa berdasarkan angka insidensi parasit malaria per tahun menjadi: 1) daerah insidensi kasus malaria tinggi (HCI: High Case Incidence) dengan angka insiden parasit malaria per tahun (API: Annual Parasite Incidence) > 5 ‰; 2) daerah insidensi kasus malaria sedang (MCI: Moderate Case Incidence) dengan API 1-5 ‰; 3) daerah insidensi kasus malaria rendah (LCI: Low Case Incidence) dengan API < 1‰ (Depkes, 2007).

Pembagian daerah fokus menurut WHO (2007c) didefinisikan sebagai suatu daerah terbatas yang pernah ataupun masih ada kasus malaria serta memiliki faktor-faktor epidemiologi yang menunjang terjadinya penularan malaria baik secara terus menerus maupun intermiten.

Pembagian daerah fokus menurut Peraturan Gubernur Aceh No.40 tahun 2010 menjadi empat kriteria fokus yang bersifat operasional, dan perubahan klasifikasi desa fokus dilakukan setiap tahun menggunakan data program malaria dalam waktu tiga tahun terakhir dan berturut-turut. Klasifikasi desa fokus seperti dibawah ini: 1) Fokus A: masih terjadi penularan setempat dengan masih terlaporkannya kasus lokal dalam 3 tahun berturut-turut; kegiatan kontrol kurang efektif; 2) Fokus B: Masih terjadi penularan setempat dalam 3 tahun berturut-turut; kegiatan kontrol efektif; 3) Fokus C: tidak terjadi penularan setempat yang dibuktikan dengan tidak ada kasus malaria lokal/indigenous terlaporkan dalam 3 tahun berturut-turut; masih terdapat kasus impor terlaporkan dalam 3 tahun berturut-turut; 4) Fokus D: tidak terjadi penularan setempat dan tidak ada kasus impor dalam 3 tahun berturut-turut


(35)

(Rahmadyani et al, 2012). 2.1.4. Diagnosis

Gejala malaria tanpa komplikasi atau gejala awal sering tidak spesifik dan di diagnosis sebagai penyakit infeksi sistemik virus maupun bakteri lainnya. Gejala – gejalanya berupa sakit kepala, lemas, letih lesu, nyeri perut, nyeri sendi dan otot, yang diikuti dengan demam, menggigil, berkeringat, mual, dan muntah (WHO, 2010a).

Pada fase eliminasi menurut WHO (2012) yang diadaptasi oleh Pemerintah Aceh (Rahmadyani et al, 2012), diagnosis kasus malaria pada fasilitas kesehatan memiliki kriteria sebagai berikut:

Kriteria umum:

a. Penderita demam atau yang memiliki riwayat demam dalam 24 jam dan anemia yang berasal dari daerah endemis malaria tinggi dan sedang dan dari daerah fokus A dan B.

b. Penderita demam yang memiliki riwayat perjalanan dari daerah endemis malaria tinggi dan sedang dan dari daerah fokus A dan B.

Kriteria tambahan:

a. Penderita demam dan yang memiliki riwayat malaria dalam 3 tahun terakhir. b. Penderita demam yang memiliki riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria

dalam 1 tahun terakhir, apabila P.vivax dalam 3 tahun terakhir. c. Penderita demam, menggigil, beringat, dan lemas.


(36)

e. Penderita pembesaran hati dan atau limpa (hepatomegali dan atau splenomegali). f. Penderita demam yang menerima transfusi darah dalam 3 bulan terakhir.

Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Hasil anamnesis saja belum bisa digunakan untuk keputusan pemberian pengobatan anti malaria. Menurut kebijakan Kemenkes RI, diagnosis pasti malaria apabila ditemukan parasit didalam darah penderita (Ditjen PPPL, 2011). Metode diagnosis malaria saat ini sudah sangat berkembang pesat, antara lain (WHO, 2010a, WHO, 2010b; Ditjen PPPL, 2011; Feachem et al, 2009) : 1. Diagnosis klinis: disebut sebagai diagnosis awal untuk menentukan penderita

suspek malaria, dengan kriteria gejala utama dan tambahan yang telah dijelaskan diatas.

2. Diagnosis mikroskopis: metode ini merupakan baku emas (gold standard) yang memerlukan teknik pengambilan apusan darah tebal dan tipis serta pewarnaan. 3. Diagnosis antigen: metode ini menggunakan teknis imunokromatografi yang

mendeteksi antigen parasit dalam darah. Ada tiga antigen yang dapat dideteksi oleh metode ini yaitu HRPII (Histidine Rich Protein II), pLDH (Plasmodium lactate dehydrogenase), dan pan-aldolase. Metode ini dikenal sebagai alat diagnosis cepat (Rapid Diagnosis Test disingkat RDT).

4. Diagnosis molekuler: metode ini menggunakan teknik reaksi penggandaan asam nukleat (polymerase chain reaction disingkat PCR) dari parasit.

5. Diagnosis antibodi (serologi): metode ini mendeteksi antibodi penjamu terhadap parasit malaria, menggunakan teknik immunoflorensensi tidak langsung (indirect


(37)

immunoflourescence disingkat IFA) atau enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

2.1.5. Pengobatan

Pengobatan malaria mengacu pada protokol Kemenkes RI tahun 2011 yang membagi jenis obat dan dosis berdasarkan jenis spesies plasmodium, umur penderita, berat badan penderita, derajat kesakitan (tanpa komplikasi dan dengan komplikasi), status kehamilan dan menyusui, serta adanya resistensi obat menurut hasil monitoring pengobatan (Ditjen PPPL, 2011).

WHO (2010a) menganjurkan kepada semua negara untuk menerapkan kebijakan kombinasi obat malaria berbasis artemisinin atau dikenal sebagai Artemisinin Combined Therapy (ACT). Di Indonesia, ACT yang direkomendasikan adalah Dihydroartemisinin Piperaquin (DHP) dan Artesunate Amodiakuin. Selain kedua jenis ACT, obat malaria lain yang digunakan di Indonesia adalah Primakuin, Kina, Klindamisin, Tetrasiklin, Doksisiklin. Pemberian obat malaria tersebut dikombinasikan dua atau lebih jenis obat untuk mencegah munculnya resistensi. Pada semua jenis Plasmodium, ACT diberikan selama 3 hari, sementara Primakuin diberikan hanya pada hari pertama untuk P.falsiparum, untuk P.vivaks dan P.ovale diberikan selama 14 hari (Ditjen PPPL, 2011).

Khusus untuk penderita malaria yang memiliki defisiensi enzim G6PD yang dicurigai melalui anamnesis ada keluhan atau riwayat warna urin coklat kehitaman setelah minum obat (golongan sulfa, primakuin, kina, klorokuin dan lain-lain), maka pengobatan diberikan secara mingguan selama 8-12 minggu dengan dosis mingguan


(38)

0,75mg/kgBB. Pengobatan malaria pada penderita dengan defisiensi G6PD segera rujuk ke Rumah Sakit (WHO, 2010a; Ditjen PPPL, 2011).

Penatalaksanaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi: 1) Pemberian obat anti malaria, 2) Penanganan komplikasi, 3) Tindakan penunjang atau pengobatan simptomatik. Pengobatan malaria dengan komplikasi dibedakan pada tahap pra-rujukan, artinya masih dilakukan di puskesmas yang bertujuan penyelamatan hidup (life saving). Selanjutnya tahap rujukan yang penatalaksanaannya dilakukan di Rumah Sakit oleh dokter ahli.

Berdasarkan kebijakan Kemenkes RI (Ditjen PPPL, 2011) pilihan pertama obat tetap berbasis Artemisinin. Di puskesmas digunakan injeksi Artemeter, sementara di Rumah Sakit menggunakan injeksi Artesunate.

Di Indonesia, pengawasan pengobatan atau strategi DOTs (Direct Observed Treatments) pada penyakit malaria dilakukan oleh petugas atau kader dengan cara pendampingan minum obat selama hari pertama sampai ketiga untuk P.falsiparum atau P.malariae, dan hari pertama sampai ke-14 untuk jenis P.vivaks atau P.ovale (Pemerintah Aceh, 2010; Dinkes Kota Sabang, 2010).

Monitoring respon pengobatan menurut kebijakan Kemenkes RI (Ditjen PPPL, 2011) dilakukan pada hari ke-4, hari ke-14 dan hari ke-28 untuk semua jenis plasmodium. Sementara untuk P.vivaks ditambahkan hari ke-90. Kegiatan yang dilakukan pada monitoring pengobatan ini melalui pemeriksaan keadaan klinis penderita malaria, periksa keberadaan parasit dengan mikroskop, hitung kepadatan parasit dalam darah, dan pemeriksaan suhu badan dengan termometer. Apabila terjadi


(39)

demam setelah hari ke-3 sampai hari ke-28 penderita juga diharuskan kembali ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan evaluasi klinis. Kegiatan ini bertujuan untuk menyatakan apakah penderita malaria telah sembuh, atau gagal pengobatan. Rangkuman monitoring pengobatan, hasil pengobatan dan tindakan yang diambil dijelaskan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Monitoring Respon Pengobatan, Hasil, Kriteria dan Tindakan yang Diambil

No. Hari Ke Hasil Pengobatan Kriteria Keterangan Klinis Parasit

1. 4 Negatif Negatif Sembuh

2. 4 Negatif Berkurang Monitoring

sampai hari ke-14

3. 4 Positif Tetap atau

bertambah

Gagal pengobatan

Pindah lini 2

4. 4 Memburuk Berkurang

atau bertambah

Malaria Berat Rujuk ke RS

5. 5 – 13 Positif Berkurang atau bertambah

Gagal pengobatan

Pindah lini 2

6. 14 Negatif Berkurang Sembuh

7. 14 Negatif Tetap atau

bertambah

Monitoring sampai hari ke-28

8. 14 Positif Berkurang

atau bertambah

Gagal pengobatan

Pindah lini 2

9. 14 Memburuk Berkurang Malaria Berat Rujuk ke RS

10. 15 – 27 Memburuk Berkurang Malaria Berat Rujuk ke RS

11. 28 Negatif Berkurang Sembuh

12. 28 Negatif Tetap atau

bertambah

Gagal pengobatan


(40)

2.1.6. Pencegahan

Pencegahan penyakit malaria secara epidemiologi dapat dilihat dari sisi agen atau parasit Plasmodium melalui pengobatan malaria secara radikal dan pemberian obat profilaksis untuk orang dari daerah non-endemis yang akan memasuki daerah endemis malaria, 2) sisi vektor atau nyamuk Anopheles melalui pencegahan gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu berinsektisida (LLINs), repelan atau obat nyamuk oles, pemasangan kasa nyamuk pada ventilasi jendela rumah; dan membunuh nyamuk melalui penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (Indoor Residual Spray atau disingkat IRS), 3) sisi lingkungan melalui penanganan tempat perkembangbiakan nyamuk seperti mengalirkan genangan air, menyemprotkan larvasida, memberikan ikan predator atau pemakan jentik (WHO, 2003).

2.1.7. Pengumpulan Data dan Pelaporan

Menurut Depkes RI (2007), pengumpulan data dilakukan mulai dari jenjang Puskesmas, Kabupaten, Provinsi dan Pusat yang berisi data situasi malaria secara umum, seperti:

a. Data kasus, yang meliputi data kematian, kasus klinis/suspek, kasus positif, data diagnosis, data pengobatan.

b. Data vektor dan intervensi pemberantasan vektor, yang meliputi pengamatan jentik, penyemprotan rumah, pembagian kelambu, penaburan larvasida pada tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles.

c. Data logistik, meliputi stok obat, alat diagnosis cepat (RDTs), alat dan bahan laboratorium, stok kelambu.


(41)

d. Data demografi, meliputi jumlah penduduk per desa, per golongan umur, pekerjaan, dll.

e. Data lingkungan, meliputi stratifikasi desa fokus/endemis malaria, pemetaan tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles potensial, dll.

Sumber data dapat diperoleh dari buku registrasi Puskesmas Pembantu (Pustu), buku registrasi puskesmas, Laporan Juru Malaria Desa (JMD) atau kader, bidan desa, penyedia pelayanan kesehatan swasta, RS, dan lintas sektor terkait.

Data tersebut dianalisis paling rendah di tingkat puskesmas yang divisualisasikan ke dalam bentuk tabel, grafik, peta dan sebagainya. Selanjutnya data dilaporkan ke jenjang diatasnya dengan periode pengiriman sesuai pedoman dan kebutuhan, misalnya pada saat terjadi bencana maupun kejadian luar biasa (KLB). Secara umum, pelaporan rutin bersifat bulanan.

2.1.8. Eliminasi Malaria

Eliminasi malaria diartikan sebagai suatu upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat dalam satu wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali (Depkes, 2009).

Menurut WHO (2007b), eliminasi malaria merupakan salah satu dari empat tahapan program malaria. Adapun situasi masing – masing keempat tahapan program malaria menurut Kepmenkes No 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia adalah sebagai berikut:


(42)

a) Tahap Pemberantasan (Control)

Pada tahap ini belum semua unit pelayanan kesehatan mampu memeriksa kasus secara laboratorium (Mikroskopis); cakupan pelayanan dan sumber daya terbatas; bila semua penderita demam di unit pelayanan kesehatan sudah dilakukan pemeriksaan sediaan darah, maka SPR masih > 5%; adanya upaya pengendalian malaria secara intensif untuk mencapai SPR < 5 %.

b) Tahap Pra-Eliminasi

Disini semua unit pelayanan kesehatan sudah mampu memeriksa kasus secara laboratorium (mikroskopis); semua penderita malaria klinis di unit pelayanan kesehatan sudah dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan SPR mencapai < 5%; adanya peningkatan kualitas dan cakupan upaya pengendalian malaria (surveilans, penemuan dan pengobatan, pemberantasan vektor) untuk mencapai API < 1/1000 penduduk berisiko; adanya peningkatan keterlibatan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, LSM, organisasi profesi, lembaga internasional, lembaga donor dan lain-lain (Tim Gebrak Malaria atau forum kerja sama lain yang sudah ada di Provinsi dan Kabupaten/Kota); tersedianya peraturan perundangan di tingkat Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang mendukung kebijakan dan sumber daya untuk pelaksanaan eliminasi malaria.

c) Tahap Eliminasi

API sudah mencapai < 1/1000 penduduk berisiko dalam satuan wilayah minimal setara dengan Kabupaten / Kota; surveilans sudah berjalan dengan baik termasuk penemuan kasus malaria secara aktif (Active Case Detection /ACD); re-orientasi program menuju Tahap Eliminasi kepada semua petugas kesehatan


(43)

pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam eliminasi sudah dicapai dengan baik; lintas sektor terkait telah berperan secara penuh dan sinergis mulai dari pemerintah, pemerintah daerah, LSM, organisasi profesi, lembaga internasional, lembaga donor dan lain-lain dalam eliminasi malaria yang tertuang didalam Peraturan Perundangan daerah; upaya penanggulangan malaria dilakukan secara intensif sehingga kasus dengan penularan setempat (indigenous) tidak ditemukan dalam periode waktu satu tahun terakhir.

d) Tahap Pemeliharaan

Mempertahankan kasus indigenous tetap nol; kegiatan surveilans yang baik masih dipertahankan; re-orientasi program menuju tahap pemeliharaan kepada semua petugas kesehatan, pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam eliminasi sudah dicapai dengan baik; adanya konsistensi tanggung jawab pemerintah daerah dalam tahap pemeliharaan secara berkesinambungan dalam kebijaksanaan, penyediaan sumber daya baik sarana dan prasarana serta sumber daya lainnya yang tertuang dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Perundangan yang diperlukan di Provinsi/ Kabupaten/ Kota.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menargetkan eliminasi malaria secara bertahap selama beberapa dekade. Seluruh provinsi di Indonesia diharapkan dapat mencapai tahap ini pada tahun 2030. Adapun sasaran pencapaian eliminasi malaria per provinsi yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan No 293/SK/MENKES/IV/2009 dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1) Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta), Pulau Bali dan Pulau Batam ditargetkan pada tahun 2010; 2) Pulau Jawa, Provinsi Aceh dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015; 3) Pulau Sumatera (kecuali Provinsi NAD dan Provinsi Kepulauan Riau), Provinsi


(44)

NTB, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020; dan 4) Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi NTT, Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara pada tahun 2030. (Depkes RI, 2009).

Pemerintah Provinsi Aceh menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat tersebut dengan mengesahkan Peraturan Gubernur No. 40 tahun 2010 tentang Pedoman Eliminasi Malaria di Provinsi Aceh yang menargetkan rencana eliminasi malaria dalam tiga tahun yang berbeda berdasarkan beban malaria dan infrastruktur kesehatan. Pada tahun 2013, ada tujuh kabupaten/kota yang ditargetkan memasuki tahap eliminasi malaria, 10 kabupaten/kota lainnya ditetapkan mencapai eliminasi malaria tahun 2014, dan sisa enam kabupaten/kota terakhir diharapkan mencapai eliminasi malaria tahun 2015 bersamaan dengan target Provinsi Aceh. Kabupaten Aceh termasuk kabupaten dalam kelompok tahun 2015.

Tabel 2.2. Pembagian Sasaran Puskesmas Per Target Tahun Pencapaian Eliminasi Malaria Puskesmas Sasaran Eliminasi Malaria Tahun 2013 Puskesmas Sasaran Eliminasi Malaria Tahun 2014 Puskesmas Sasaran Eliminasi Malaria Tahun 2015 1. Peukan Bada;

2. Simpang Tiga; 3. Lampisang; 4. Baitussalam; 5. Darul Kamal; 6. Darul Imarah; dan 7. Ingin Jaya;

1. Sukamakmur; 2. Kuta Baro; 3. Darussalam; 4. Montasik; 5. Piyeung; 6. Lampupok; 7. Indrapuri; 8. Kuta Malaka; 9. Blang Bintang; 10.Krueng Barona Jaya; 11.Ie Alang;

12.Lhoknga; 13.Leupung;

1. Lhoong; 2. Kuta Cot Glie; 3. Seulimum; 4. Lamteuba; 5. Kota Jantho; 6. Saree;

7. Mesjid Raya;dan 8. Pulo Aceh;


(45)

Lebih lanjut Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mengeluarkan Peraturan Bupati No. 26 tahun 2013 tentang Pedoman Eliminasi Malaria dalam Kabupaten Aceh Besar, yang pada bagian kedua pasal 6 membagi sasaran eliminasi malaria dalam tiga kelompok seperti tabel 2.2.

2.1.9. Intervensi Program Malaria

Menurut WHO (2007b) dan Kepmenkes RI No.293 tahun 2009 bahwa intervensi program malaria berbeda untuk setiap tahapan program. Dimana ada lima jenis kelompok intervensi besar bagi setiap tahap yaitu: 1) Penemuan dan tata laksana penderita malaria; 2) Pencegahan dan penanggulangan resiko; 3) Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah; 4) Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); 5) Peningkatan sumber daya manusia.

Penyedia pelayanan kesehatan swasta mulai dilibatkan secara intensif pada tahap pra-eliminasi pada hampir semua kelompok intervensi besar, kecuali pada kegiatan pencegahan dan penanggulangan resiko (Depkes, 2009).

2.2. Pelayanan Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu komponen penentu pada indeks pembangunan manusia (IPM). Indonesia memiliki nilai IPM 0,629 dan berada pada posisi 121 (UNDP, 2013). Pelayanan kesehatan menurut Levey dan Loomba (1973) dalam Azwar (1996), adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan


(46)

perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.

Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, pelayanan kesehatan terdiri dari pelayanan kesehatan perseorangan, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pembagian ini ditujukan pada perbedaan sasaran penerima pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Sementara pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Selain kedua jenis pelayanan kesehatan tersebut, Undang-undang ini juga mengatur tentang pelayanan kesehatan tradisional yang diartikan sebagai pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Lebih lanjut pelayanan kesehatan meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (anonim, 2009).

2.3. Pelaku Penyedia Pelayanan Kesehatan

Penyedia pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai seorang individu atau sebuah institusi yang menyediakan pelayanan kesehatan preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif secara sistematik kepada individu, keluarga atau masyarakat. Lebih lanjut penyedia pelayanan kesehatan perseorangan atau individu dikenal dengan tenaga kesehatan. Selain itu, penyedia pelayanan kesehatan sebagai sebuah institusi lebih dikenal sebagai fasilitas pelayanan kesehatan (anonim, 2013b).


(47)

Menurut Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, pengertian tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sementara fasilitas pelayanan kesehatan diartikan sebagai suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (anonim, 2009).

Pada Peraturan Presiden RI No 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional mengatur keterlibatan penyedia pelayanan kesehatan swasta pada sub sistem upaya kesehatan meliputi unsur pemberian pelayanan kesehatan perseorangan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan pada tingkat pertama/primer, pelayanan kesehatan tingkat kedua/sekunder dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga/tersier.

WHO (2006) membagi penyedia pelayanan kesehatan secara garis besar menjadi dua, yaitu:

a) Pelayanan Kesehatan Pemerintah

Seluruh penyedia pelayanan kesehatan yang bekerja di sektor publik atau pemerintah, yang menerima gaji atau remunerasi untuk pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan dari pemerintah.

b) Pelayanan Kesehatan Swasta

Dimaksudkan sebagai seluruh penyedia pelayanan kesehatan yang bekerja diluar sektor publik, dimana ada yang bersifat komersial atau sosial (non-profit). Mills


(48)

et al (2002) memasukkan perusahaan komersial berskala besar atau kecil, kelompok-kelompok profesional seperti asosiasi dokter, lembaga swadaya masyarakat tingkat nasional maupun internasional, penyedia layanan individu maupun penjaga toko obat.

Jenis pelayanan kesehatan yang diberikan bervariasi dari rumah sakit, klinik bersalin, klinik rawat inap, klinik rawat jalan yang diberikan oleh dokter, perawat, bidan dan paramedis lainnya, serta fasilitas diagnosis seperti laboratorium dan unit radiologi, ditambah lagi dengan apotek, dan depot obat maupun toko umum yang sering juga menjual obat – obatan (Mills et al, 2002). Sementara Bulsara et al (2012) membagi empat kategori penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria sebagai berikut:

1. Penyedia pelayanan kesehatan swasta formal

Kelompok ini termasuk perusahaan komersial berskala besar atau kecil, kelompok – kelompok profesional kesehatan. Biasanya berlokasi di daerah perkotaan (urban) atau pinggiran kota (peri-urban).

2. Penyedia pelayanan kesehatan swasta informal

Kelompok ini termasuk penjual obat yang bersifat statis atau keliling, toko/depot obat, pengobatan alternatif/tradisional. Biasanya berlokasi di daerah pinggiran kota (peri-urban), dan perdesaan. Jangkauannya lebih luas dibanding penyedia pelayanan kesehatan swasta formal.

3. Organisasi kemasyarakatan


(49)

perantara antara penyedia pelayanan pemerintah dan swasta. Kelompok ini termasuk LSM (NGO: non-government organisation) tingkat nasional dan internasional. Kelompok ini sering lebih luas menjangkau daerah secara geografis.

4. Perusahaan-perusahaan swasta

Kelompok ini termasuk perusahaan besar yang berinvestasi dalam program kesehatan, khususnya perusahaan yang bergerak di industri energi, sumber daya alam dan pertanian. Kegiatan yang dilakukan mencakupi wilayah kerja baik pagi karyawananya sendiri maupun masyarakat yang tinggal di lingkungan kerja perusahaan.

Menurut Permenkes RI No. 920/Men.Kes/Per/XII/86 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik pada Bab II dan III pasal 2, 3 dan 4 membagi pelayanan kesehatan swasta medik menjadi dua yaitu pelayanan medik dasar dan pelayanan medik spesialistik.

Bentuk pelayanan medik dasar adalah: Praktik Perorangan Dokter Umum; Praktik Perorangan Dokter Gigi; Praktik Berkelompok Dokter Umum; Praktik Berkelompok Dokter Gigi; Balai pengobatan; Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak; Rumah Bersalin; Pelayanan Medik Dasar lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Sementara bentuk pelayanan medik spesialistik adalah: Praktik Perorangan Dokter Spesialis; Praktik Berkelompok Dokter Spesialis; Rumah Sakit Umum; Rumah Sakit Khusus; Pelayanan Medik Spesialis lain yang ditetapkan oleh Menteri


(50)

Kesehatan.

Peraturan diatas diubah ke dalam Permenkes No.028/MENKES/PER/2011 tentang Klinik yang membagi berdasarkan jenis pelayanannya menjadi klinik pratama dan klinik utama. Klinik disini diartikan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis. Klinik dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun masyarakat, sehingga peraturan ini tidak khusus mengatur pelayanan kesehatan swasta.

Secara umum, batasan antara penyedia layanan kesehatan publik dan swasta terkadang tidak jelas, karena banyak tenaga kesehatan pemerintah yang juga bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan swasta atau menjalanknan praktik pribadi diluar jam kerja atau istilah ini dikenal sebagai dual practice (Bulsara et al, 2012).

2.4. Peran Sektor Swasta dalam Program Malaria

Sektor swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Kemasyarakatan (Community Based Organization/CBO), Organisasi Keagamaan (Faith Based Organization/FBO), lembaga donor, dan Organisasi Profesi berperan aktif sebagai mitra sejajar pemerintah melalui forum Gebrak Malaria atau tim eliminasi malaria baik dari tingkat kabupaten/kota/provinsi atau pusat (Depkes RI, 2009a).


(51)

Berdasarkan kegiatan pada setiap tahapan program malaria, penyedia pelayanan kesehatan swasta terlibat aktif dalam pencapaian eliminasi malaria, dari kelompok intervensi penemuan dan tatalaksana penderita malaria, pencegahan dan penanggulangan resiko, surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah, peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), dan peningkatan sumber daya manusia (Depkes RI, 2009).

Menurut Bulsara et al (2012) peran penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk mencapai spesifik kelompok sasaran telah terbukti efektif. Lebih lanjut analisis peran sektor swasta dalam program malaria dibagi menjadi empat strategi utama sebagai berikut:

1. Pendekatan berbasis pasar (market-based approaches)

Disini termasuk insentif berbasis pasar, mekanisme pasar, dan kerjasama secara organisasi. Organisasi kemasyarakatan (CSO) biasanya memainkan peranan penting dalam pemasaran sosial yang menjadi penengah antara sektor publik dan swasta dengan memanfaatkan kapasitas retail sektor swasta. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk memastikan cakupan, kualitas dan harga. Ada empat komponen yang harus diperhatikan pada pendekatan ini:

a. Mekanisme keuangan

Tujuannya adalah memfasilitasi fungsi pasar yang adil dan berbasis ekuitas. Adapun yang termasuk kedalam strategi sektor kesehatan swasta disini sebagai berikut:


(52)

yang telah ditetapkan.

2. Insentif keuangan: penggunaan hibah, subsidi, insentif pajak dan dukungan yang ditujukan untuk mempengaruhi penyediaan pelayanan swasta, termasuk juga subsidi produk-produk yang berbasis manufaktur. 3. Kontrak: pembelian jasa dari penyedia layanan swasta melalui sistem

kontrak, dengan menerapkan tolok ukur untuk jenis pelayanan, kualitas pelayanan, hasil kesehatan yang diharapkan.

4. Pembelian: membeli barang dan jasa dari penyedia pelayanan kesehatan

swasta untuk waktu yang terbatas, metode ini dianggap memilki risiko dan komitmen lebih rendah dari kontrak.

b. Mekanisme pasar

Tujuan mekanisme pasar adalah untuk menciptakan sumber – sumber penawaran dan permintaan baru. Adapaun jenis kegiatan yang termasuk di kelompok mekanisme pasar ini sebagai berikut:

1. Pemasaran sosial: menggunakan saluran, teknik dan komunikasi komersial untuk memasarkan produk dengan manfaat kesehatan masyarakat, biasanya LSM nasional atau internasional yang mengelola operasional kegiatan ini.

2. Waralaba sosial: menggunakan saluran, teknik dan pendekatan komunikasi komersial untuk mendekati jejaringan pasar penyedian pelayananan swasta, biasanya juga dikelola oleh LSM nasional dan internasional.


(53)

3. Pengembangan pasar strategis: analisis terperinci mengenai keseluruhan pasar komoditas ritel yang ada dan keunggulan komparatif dari semua pemangku kepentingan. Mengaktifkan/mendanai pertumbuhan pasar misalnya melalui peraturan, alih teknologi, meningkatkan rantai pasokan dll. Membuat sebuah mekanisme pasar yang mandiri dan berkelanjutan untuk peningkatan pasokan produk – produk kesehatan yang penting seperti kelambu berinsektisida (ITN/LLIN), dll sebagai tujuan dari metode.

4. Program kewirausahaan sosial: membangun pelatihan dan dukungan jaringan individu untuk menyediakan barang dan jasa.

c. Kerjasama secara organisasi

Tujuan utama kerjasama ini mengubah kondisi pasar untuk meningkatkan partisipasi penyedia pelayanan kesehatan pada program malaria. Kegiatan – kegiatan yang termasuk disini adalah:

1. Aliansi antara penyedia layanan: membangun dan mendorong hubungan formal dan kolaborasi antara penyedia.

2. Koordinasi/aliansi antara sektor publik dan swasta: membentuk dan mendorong hubungan formal dan kolaborasi antara sektor publik – swasta. Tindakan jangka pendek oleh sektor swasta yang mempromosikan tujuan kesehatan dan peningkatan partisipasi sektor swasta misalnya pelayanan kesehatan kerja pada korporasi besar.


(54)

d. Dialog kebijakan

Dialog kebijakan: melibatkan sektor swasta dalam diskusi – dapat memperluas konsultasi dalam pengembangan legislasi, standar, regulasi dan sistem fasilitasi.

2. Pendekatan bersifat legal dan administrasi

Regulasi dan pelatihan termasuk kedalam pendekatan ini. Keterlibatan sektor swasta dapat memperkuat pelayanan kesehatan yang ada. Jaringan penyedia pelayanan kesehatan swasta yang sering mengadakan pelatihan standar kualitas dan terapi melalui warabala sosial (social franchising). Hal ini sering dipicu karena lemahnya regulasi pemerintah untuk mengatur pelayanan kesehatan swasta.

a. Regulasi

1. Akreditas/sertifikasi: menyusunan dan menegakkan standar antar organisasi. Tujuannya untuk meningkatkan standar pelayanan, hasil – hasil kesehatan, dan efisiensi dengan memungkinkan dasar empiris untuk menilai kualitas.

2. Lisensi: menyusun dan menegakkan standar bagi penyedia pelayanan secara individu. Tujuannya untuk meningkatkan standar penyedia pelayanan kesehatan individu dengan menyusun dan mengatur kriteria untuk praktik pribadi.

3. Mekanisme harga: menyusun, memantau dan mengatur harga obat- obatan, alat kesehatan dan jasa konsultasi. Tujuannya untuk menegaskan


(55)

monitoring dan mengatur harga obat – obat penting dan teknologi lainnya. 4. Regulasi teknologi: menegaskan persetujuan resmi dan struktur

penggantian, proses dan pelaksanaan. Tujuannya untuk menegaskan pengendalian keamanan, efikasi dan biaya pelayanan kesehatan dengan mengatur ketersediaan/ penjualan bahan-bahan farmasi dan kelambu berinsektisida (LLIN).

5. Regulasi pasar: termasuk anti monopoli/peraturan kompetisi, mekanisme perlindungan konsumen dan pelaksanaan. Tujuannya untuk menegaskan perlidungan masyarakat dari tingginya harga akibat monopoli.

b. Pelatihan

Pelatihan bagi penyedia pelayanan kesehatan: pendidikan dan dukungan bagi penyedia pelayanan kesehatan swasta. Tujuan pelatihan disini untuk meningkatkan standar pelayanan dari penyedia pelayanan kesehatan swasta. 3. Pendekatan pemberdayaan masyarakat

Penyebaran informasi dan partisipasi menjadi bagian dari pendekatan ini. Komunikasi perubahan perilaku (Behaviour Change Communication/BCC) biasanya dikelola oleh sektor swasta melalui iklan produk. Sektor swasta juga dapat mendorong kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan untuk kampanye BCC. Tujuan dari pendekatan ini untuk menjamin cakupan dan kualitas. Ada tiga kelompok kegiatan yang menjadi bagian dari pendekatan ini:

a. Penyebaran informasi: kampanye komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) untuk mempromosikan perilaku sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan


(56)

dapat dilaksanakan LSM dan organisasi-organisasi pemasaran sosial. Tujuannya untuk memdidik dan berkomunikasi dengan masyarakat mengenai pencegahan, diagnosis, pengobatan dini malaria.

b. Partisipasi: membentuk kesempatan dan peluang resmi bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan pendapat mereka mengenai pelayanan kesehatan yang diperoleh dan penyedia pelayanan kesehatan itu sendiri.

c. Komunikasi resmi/umpan balik: pembentukan jabatan yang dibayar resmi yang bertugas mensupervisi/memastikan kepatuhan penyedia pelayanan kesehatan swasta, seperti badan Ombudsman dalam rangka menginisiasi hubungan publik-swasta yang mempunyai kapasitas untuk merekomendasikan dan menjatuhkan sanksi.

4. Pendekatan inovasi produk

Disini kerjasama mengembangkan produk (product development partnerships/ PDPs) seperti inovasi pengembangan obat malaria dan insektisida, yang hasilnya dapat dipasarkan dengan menggunakan insentif keuangan yang lebih besar seperti dalam bentuk dana hibah, subsidi, insentif pajak, subsidi berbasis perusahaan dan dukungan dari dalam untuk mempengaruhi penyedia pelayanan kesehatan swasta.

2.5. Pendekatan Sistem Kesehatan dalam Program Malaria

Menurut WHO (2007d) ada enam blok pembangun sistem kesehatan dengan manusia sebagai pusatnya, yang terdiri dari 1) Governance (tata kelola) disini termasuk leadership (kepemimpinan) yang memastikan kerangka kebijakan strategis yang dikombinasikan dengan pandangan efektifitas, membangun koalisi,


(57)

akuntabilitas, transparansi, regulasi, insentif, dan desain sistem, 2) Tenaga kesehatan diartikan sebagai responsif, adil, efisien dalam penyediaan sumber daya dan kondisi yang mendukung, dan tersedia dengan jumlah yang memadai, 3) Pembiayaan, meningkatkan anggaran yang adekuat untuk kesehatan dengan menjamin masyarakat dapat menggunakan layanan yang dibutuhkan dan terlindungi dari katastropi biaya dan pemiskinan akibat membayar biaya kesehatan, 4) Obat – obatan dan teknologi, menjamin produk obat, vaksin, diagnosis, dan teknologi lain yang terjamin kualitas, keamanan, efikasi, biaya-efektif, 5). Informasi, menjamin produksi, analisis, diseminasi dan penggunaan informasi yang realibel dan tepat waktu mengenai determinan kesehatan, kinerja sistem kesehatan, dan status kesehatan, 6) Pelayanan kesehatan, termasuk intervensi kesehatan individu dan masyarakat yang efektif, aman dan berkualitas yang tersedia bagi yang membutuhkan (termasuk infrastruktur), dengan meminimalisir pembuangan sumber daya.

Menurut the MalERA Consultative Group on Health System and Operational Research (2011) yang mengadaptasi system thinking untuk mengetahui eradikasi malaria dalam sistem kesehatan, dibentuk suatu matriks 6 x 5 yang terdiri dari tingkatan sistem kesehatan yang terdiri dari tingkat komunitas, tingkat fasilitas, tingkat kabupaten, tingkat nasional, tingkat regional dan global, dan terakhir tingkat intersektor di setiap keenam blok pembangun sistem kesehatan. Secara khusus model pada tingkat kabupaten dapat diterapkan yaitu, pada 1) blok governance tentang model apa yang dapat digunakan oleh pemerintah kabupaten untuk mencapai dan


(58)

memelihara eliminasi malaria?, 2) blok tenaga kesehatan tentang apa organisasi dan manajemen yang tepat, keterampilan, struktur sumber daya manusia dan faktor-faktor pendukung efektifitas pelayanan kesehatan?, 3) blok pembiayaan tentang alat-alat untuk pengembangan administrasi dan pengambilan keputusan terdesentralisasi yang efisien?, 4) blok informasi tentang bagaimana melibatkan penyedia pelayanan kesehatan swasta dan mendapatkan data dari mereka, 5) gabungan blok pelayanan kesehatan dan obat –obat dan teknologi, yang membahas bagaimana keterlibatan penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam tatalaksana kasus, surveilans dan pengendalian vektor malaria dapat dimanfaatkan?.

Lebih lanjut, the MalERA Consultative Group on Health System and Operational Research (2011) dan WHO (2006; 2007d) pada tingkat fasilitas pelayanan kesehatan dan komunitas juga mendukung keterlibatan pelayanan kesehatan swasta. Pada tingkat fasilitas, karakteristik petugas sektor swasta, ketersediaan alat dan obat, karakteristik pekerjaan, pengetahuan, dan perilaku atau keterampilan teknis (WHO, 2007d; WHO, 2007e; Lonnorth et al., 2004). Perilaku komunitas masyarakat dalam pemilihan penyedia pelayanan kesehatan dan pengobatan malaria dipengaruhi oleh banyak faktor seperti : 1) biaya, 2) kenyamanan, 3) ketersediaan fasilitas, 4) persepsi kualitas pelayanan, 5) tingkat keparahan penyakit, 6) jenis kelamin, 7) umur, 8) budaya, 9) status ekonomi dan faktor-faktor intra-rumah tangga (WHO, 2007d).


(59)

2.6. Landasan Teori

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peranan penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria, seperti faktor penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah dan pasien (the MalERA Consultative Group on Health System and Operational Research, 2011; WHO, 2006; WHO 2007d; WHO, 2007e; Lonnorth et al., 2004). Faktor penyedia pelayanan kesehatan dibedakan berdasarkan karakteristik petugas, ketersediaan alat dan obat, pengetahuan, dan perilaku (WHO, 2007d; WHO, 2007e; Lonnorth et al., 2004). Faktor pemerintah dibagi menjadi kebijakan/regulasi, koalisi/kerjasama, transparansi, insentif, desain sistem (WHO, 2006; WHO, 2007d). Sementara faktor masyarakat atau perilaku pasien dipengaruhi oleh: 1) biaya, 2) kenyamanan, 3) ketersediaan fasilitas, 4) persepsi kualitas pelayanan, 5) tingkat keparahan penyakit, 6) jenis kelamin, 7) umur, 8) budaya, 9) status ekonomi dan faktor-faktor intra-rumah tangga (WHO, 2007d).


(60)

Gambar 2.1. Kerangka Teori Faktor Petugas: • Karakteristik Petugas • Karakteristik pekerjaan

• Ketersediaan alat dan obat • Pengetahuan • Perilaku Peran dalam mencapai eliminasi malaria: • Diagnosis • Pengobatan • Pencegahan • Pencatatan dan

Pelaporan Berperan Tidak berperan Faktor Pemerintah: • Kebijakan/regulasi • Koalisi/kerjasama • Transparansi • Insentif • Desain sistem

Faktor Pasien:

• Biaya

• Kenyamanan

• Ketersediaan

fasilitas

• Persepsi kualitas pelayanan

• Tingkat

keparahan penyakit

• Jenis kelamin

• Umur

• Budaya


(61)

• Karakteristik Petugas • Karakteristik

pekerjaan

• Ketersediaan alat dan obat

• Pengetahuan

Peran dalam mencapai eliminasi

malaria: • Diagnosis • Pengobatan • Pencegahan • Pencatatan dan

Pelaporan

Berperan

Tidak berperan 2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan kepustakaan dan landasan teori, maka fokus penelitian ini adalah sebagai berikut:


(62)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian potong lintang yang berjenis eksploratif analitik. Jenis penelitian ini dipilih berdasarkan tujuan penelitian yang hendak menggambarkan situasi awal pada gejala atau fenomena yang belum diketahui atau masih baru (Prasetyo dan Jannah, 2005), dimana peranan pelayanan kesehatan swasta dalam konteks menuju eliminasi malaria belum pernah digali dalam penelitian sebelumnya.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diseluruh wilayah kerja Kabupaten Aceh Besar dengan alasan Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten/kota yang memiliki jumlah penyedia pelayanan swasta cukup banyak dengan kasus malaria yang terus turun setiap tahunnya, sehingga Pemerintah Kabupaten Aceh Besar berkomitmen untuk mencapai eliminasi malaria pada tahun 2015.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian membutuhkan waktu selama 10 (sepuluh) bulan untuk melakukan penelusuran kepustakaan, penyusunan proposal, seminar proposal, penelitian


(1)

Model Summary Step

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 151.150a .328 .437

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test peran = Tidak Berperan peran = Berperan

Observed Expected Observed Expected Total

Step 1 1 8 8.527 1 .473 9

2 19 19.601 4 3.399 23

3 11 11.645 3 2.355 14

4 8 7.181 3 3.819 11

5 13 13.006 7 6.994 20

6 10 7.930 7 9.070 17

7 6 4.791 7 8.209 13

8 0 1.600 9 7.400 9

9 3 3.522 17 16.478 20

10 1 1.199 16 15.801 17

Classification Tablea

Observed

Predicted peran

Tidak Berperan Berperan Percentage Correct

Step 1 peran Tidak Berperan 63 16 79.7

Berperan 19 55 74.3

Overall Percentage 77.1

a. The cut value is .500

Hosmer and Lemeshow Test Step Chi-square df Sig.


(2)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a didik(1) .975 .580 2.826 1 .093 2.652

latih(1) 1.120 .446 6.315 1 .012 3.066

sediatotal(1) -2.076 .839 6.121 1 .013 .125

krkterpkrjaan(1) -1.132 .419 7.305 1 .007 .322

totpeng(1) 2.163 .413 27.400 1 .000 8.700

Constant -1.596 .567 7.932 1 .005 .203

a. Variable(s) entered on step 1: didik, latih, sediatotal, krkterpkrjaan, totpeng. Variables in the Equation

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper

Step 1a didik(1) .851 8.269

latih(1) 1.280 7.348

sediatotal(1) .024 .650 krkterpkrjaan(1) .142 .733 totpeng(1) 3.870 19.557 a. Variable(s) entered on step 1: didik, latih, sediatotal, krkterpkrjaan, totpeng.

Step number: 1

Observed Groups and Predicted Probabilities

32 + B + | B B | | B B | F | B B | R 24 + B B B + E | B T B | Q | T T B | U | T T B | E 16 + T T B B + N | T T B B | C | T B T B B B | Y | T T T B B B | 8 + B T T T B B B + | T T T T T BB B B | | T T T T T T TB T B |


(3)

Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 Group:

TTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTBBBBBBBBBBBBBBBB BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBB

Predicted Probability is of Membership for Berperan The Cut Value is .50

Symbols: T - Tidak Berperan B - Berperan

Each Symbol Represents 2 Cases.

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 153 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 153 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 153 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value

Tidak Berperan 0

Berperan 1

Categorical Variables Codings

Parameter coding

Frequency (1)

totpeng Kurang Baik 83 .000

Baik 70 1.000

krkterpkrjaan Kurang MEndukung 84 .000

Mendukung 69 1.000

latih Tidak Terlatih 101 .000


(4)

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted peran

Tidak Berperan Berperan Percentage Correct

Step 0 peran Tidak Berperan 79 0 100.0

Berperan 74 0 .0

Overall Percentage 51.6

a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -.065 .162 .163 1 .686 .937

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables latih(1) 9.136 1 .003

krkterpkrjaan(1) 9.285 1 .002

totpeng(1) 38.645 1 .000

Overall Statistics 46.967 3 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 51.753 3 .000

Block 51.753 3 .000

Model 51.753 3 .000

Model Summary Step

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 160.187a .287 .383

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.


(5)

Hosmer and Lemeshow Test Step Chi-square df Sig.

1 2.778 6 .836

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test peran = Tidak Berperan peran = Berperan

Observed Expected Observed Expected Total

Step 1 1 26 26.952 5 4.048 31

2 21 21.526 9 8.474 30

3 10 9.201 3 3.799 13

4 5 4.322 4 4.678 9

5 8 6.316 6 7.684 14

6 6 6.207 20 19.793 26

7 1 2.532 10 8.468 11

8 2 1.945 17 17.055 19

Classification Tablea

Observed

Predicted peran

Tidak Berperan Berperan Percentage Correct

Step 1 peran Tidak Berperan 57 22 72.2

Berperan 17 57 77.0

Overall Percentage 74.5

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a latih(1) 1.011 .419 5.825 1 .016 2.749

krkterpkrjaan(1) -.964 .396 5.925 1 .015 .382

totpeng(1) 2.092 .391 28.557 1 .000 8.100

Constant -.932 .333 7.829 1 .005 .394


(6)

Variables in the Equation

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a latih(1) 1.209 6.250

krkterpkrjaan(1) .176 .829 totpeng(1) 3.761 17.445 a. Variable(s) entered on step 1: latih, krkterpkrjaan, totpeng.

Step number: 1

Observed Groups and Predicted Probabilities

40 + + | B | | B | F | B | R 30 + B B B + E | B B B | Q | T B B | U | T B B | E 20 + T T B B + N | T T B B | C | T T B B B | Y | T TB B B B | 10 + T TT B B B B + | T TT B T T B | | T TT T T T B | | T TT T T T T |

Predicted ---+---+---+---+---+---+---+---+---+--- Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1

Group:

TTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTBBBBBBBBBBBBBBBB BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBB

Predicted Probability is of Membership for Berperan The Cut Value is .50

Symbols: T - Tidak Berperan B - Berperan