Prisonisasi Dan Masalahnya Dalam Sistem Pemasyarakatan (Studi Kasus Pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan)

(1)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR TERBENTUKNYA PRISONISASI DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN

A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan merupakan wadah untuk menampung narapidana dan tahanan laki-laki dewasa dididik dan dibina berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan kebijaksanaan pemasyarakatan yaitu Pohon Beringin Pengayoman, dan berbagai kebijakan pemasyarakatan yang dikeluarkan Dirjen Pemasyarakatan Depkumham, dan terakhir adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995,

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, menempati areal tanah seluas 10 Ha, yang berasal dari pertukaran tanah milik lembaga pemasyarakatan dengan Kodam II Bukit Barisan. Pembangunan gedung Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, dilakukan secara bertahap yaitu :

1. Tahap I, pada tahun 1982, pembangunan 1 (satu) unit gedung perkantoran seluas 6000 m persegi di tambah dengan 1 (satu) unit gedung instalasi fasilitas penunjang lainnya.

2. Tahap II, pada tahun 1982 – 1984, melalui daftar proyek tahun 1982 – 1984 sarana dan prasarana lembaga pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan semakin disempurnakan dengan menambah antara lain :


(2)

a. 4 (empat) buah blok narapidana b. 1 (satu) buah bengkel kerja narapidana c. 1 (satu) buah gedung / ruang cuci gosok d. 1 (satu) buah koperasi serba guna e. 1 (satu) buah garasi.

3. Tahap III, pada tahun 1991 – 1998, pada tahap ini dibangun : a. Gereja

b. Mesjid c. Vihara

d. Ruang melati / ruang pelayanan HAM e. 2 (dua) buah sel pengasingan.

f. ruang tamu.

4. Tahap IV, pada tahun 2006 – 2007, pembangunan fisik blok narapidana di lembaga pemasyarakatan, yaitu bangunan fisik T-7 dan T-5. yang masing-masing terdiri dari T-7 lantai I, II, III. dan bangunan fisik T-5 lantai I, II, III, bangunan tersebut siap pakai bulan Januari tahun 2007 yang lalu.

Lembaga pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan terletak di Jalan Pemasyarakatan Desa Tanjung Gusta Medan, yang berbatasan dengan : Sebelah Utara : Rumah penduduk

Sebelah Selatan : Lembaga Pemasyarakatan Anak Sebelah Timur : Komplek Perumahan Dinas Pegawai Sebelah Barat : Lembaga Pemasyarakatan Wanita.


(3)

Adapun daya tampung lembaga pemasyarakatan sebanyak 1.050 orang, sementara jumlah penghuninya pada saat penulis melakukan penelitian berjumlah 1705 orang, yang terdiri dari 37 (tiga puluh tujuh) orang tahanan dan 1668 (seribu enam ratus enam puluh delapan) orang narapidana. Untuk mengetahui lamanya masa pidana yang dijalani oleh narapidana dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.

Keadaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Menurut Lamanya Hukuman

No. Lamanya Hukuman Jumlah

1 B I 1615 orang

2 B II A 1 orang

3 B II B -

4 B III S 36 orang

5 Seumur hidup 12 orang

6 Hukuman mati 4 orang

Jumlah 1.668 orang

Sumber : Seksi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009.

Tabel diatas menunjukkan bahwa narapidana yang mendapat hukuman BI (lebih dari satu tahun) merupakan yang terbanyak yakni 1615 orang, dan yang menjalani hukuman BII A (3 bulan sampai dengan satu tahun) hanya 1 orang, sedangkan yang menjalani hukuman BIII S (Subsider) 36 orang. Untuk hukuman seumur hidup 12 orang, dan hukuman mati 4 orang.

Dari jumlah narapidana tersebut, maka lembaga pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan mengalami over kapasitas hampir 70%. Hal ini dapat


(4)

menimbulkan terjadinya perkelahian antar narapidana karena ruangan yang seharusnya dihuni 7 (tujuh) orang menjadi 17 (tujuh belas) atau bahkan 25 (dua puluh lima) orang. Kelebihan daya tampung ini terjadi hampir di seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Untuk mengetahui jenis kejahatan yang dilakukan narapidana dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.

Jenis Kejahatan Yang Dilakukan Narapidana

No. Jenis Kejahatan Jumlah

1. Narkotika 960 orang

2. Psikotropika 174 orang

3. Perlindungan anak 231 orang

4. Perampokan 45 orang

5. Pembunuhan 196 orang

6. Pencurian 14 orang

7. Penganiayaan 5 orang

8. Penipuan 3 orang

9. Penggelapan 2 orang

10. Pemalsuan 1 orang

11. Pencabulan 9 orang

12. Pemerkosaan 6 orang

13. Trafficking 3 orang

14. KDRT 6 orang

15. Korupsi 1 orang

16. Lakalantas 1 orang

17. Kesusilaan 6 orang

18. Uang Palsu 5 orang

Jumlah 1668 Orang

Sumber : Seksi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009.


(5)

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa narapidana yang dibina di Lembaga Pemasyarakatan Klas I ini banyak yang terlibat kasus narkotika. Hal ini merupakan suatu fenomena nyata bahwa kebanyakan penghuni lembaga pemasyarakatan di kota-kota besar mayoritas terlibat kasus narkotika.

Melihat dari jumlah pegawai yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas I tersebut sebanyak 184 orang yang terdiri dari 164 orang pegawai laki-laki dan 20 orang pegawai perempuan. Dari jumlah tersebut jelas tidak seimbang dengan jumlah narapidana (1668 orang), sehingga perbandingan antara petugas dengan jumlah narapidana kurang lebih 1 : 9. Kita ketahui tidak semua petugas yang bertugas sebagai pembina, karena dari jumlah 184 orang tersebut dibagi lagi kedalam beberapa sub bagian, seperti petugas jaga, administrasi, dan petugas lainnya. Menurut salah seorang petugas pembina bahwa sebenarnya jumlah petugas pembina hanya 6 orang63 (mereka adalah tamatan AKIP yang dianggap mampu dan memiliki keahlian dalam membina narapidana), namun keenam orang tersebut tidak mampu membina narapidana yang berjumlah 1668 orang, karena berarti 1 orang pembina harus membina 278 orang narapidana. Hal ini tidak mungkin dilakukan mengingat orang yang akan dibina adalah orang-orang yang melanggar hukum. Untuk itu petugas yang memiliki pendidikan sarjana diperbantukan untuk membina narapidana, walaupun jumlahnya juga tidak seimbang, namun hal tersebut merupakan satu-satunya cara untuk

63

Wawancara dengan Petugas Pembina di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.


(6)

mengatasi kekurangan petugas dalam melakukan pembinaan. Hal ini diakui oleh Kepala KPLP Klas I Tanjung Gusta Medan, bahwa sumber daya manusia sebagai pegawai dan pembina di lembaga pemasyarakatan tersebut masih kurang.64 Sudah semestinya lembaga pemasyarakatan ini memperoleh tambahan pegawai, terutama yang mempunyai pendidikan ilmu pemasyarakatan (AKIP) sehingga dapat menunjang pekerjaan dan tugas lembaga pemasyarakatan dalam membina para narapidana dan disesuaikan dengan sistem pemasyarakatan yang ada pada saat ini.

Ini berarti para petugas yang tamatan AKIP lebih memahami dan memiliki keahlian dalam membina narapidana, dibandingkan dengan petugas yang tamatan non AKIP. Hanya mengandalkan pendidikan umum yang diterima di sekolah lanjutan atas maupun di perguruan tinggi, tidaklah cukup untuk membina narapidana yang diketahui adalah orang yang melanggar hukum. Ditinjau dari keadaan fisik, pengelolaan lembaga pemasyarakatan Klas I tersebut sebenarnya dapat dikatakan cukup memadai, terdiri dari perkantoran, ruang tempat tinggal narapidana, ruang kegiatan kerja, musholla, dan pos-pos penjagaan. Bangunan depan untuk perkantoran yang terdiri dari ruangan Kepala lembaga pemasyarakatan, ruang sidang, ruang Tata Usaha, dan Keuangan, ruangan kasi pembinaan, ruangan kepegawaian, ruang registrasi, ruangan administrasi keamanan dan ketertiban, ruang tamu, ruangan KPLP, ruangan penerima tamu untuk besukan dan kantin. Bagian belakang terdapat ruang T3, T5, T7, yang masing-masing terdiri dari tiga lantai. Lantai dua dan

64


(7)

tiga dijadikan kamar hunian narapidana, seperti halnya ruang T3 yang masing-masing kamar memiliki luas  3 x 4 m persegi dan tiap kamar seharusnya dihuni oleh 3 (tiga) orang narapidana, namun kenyataannya dihuni oleh 5 (lima) orang narapidana. Sedangkan ruang T5 masing-masing kamar memiliki luas  4 x 6 m persegi dan tiap kamar seharusnya dihuni oleh 5 (lima) orang narapidana, namun kenyataannya dihuni oleh 17 (tujuh belas) orang narapidana. Demikian juga halnya dengan ruang T7 yang

masing-masing kamar memiliki luas  5 x 6 m persegi dan tiap-tiap kamar seharusnya dihuni oleh 7 (tujuh) orang narapidana, namun kenyataannya dihuni oleh 25 (dua puluh lima) orang narapidana . Sedangkan di lantai satu T7 terdapat mesjid, dan gereja di lantai satu T5. Kemudian terdapat juga aula bersama, Poliklinik, perpustakaan, ruang latihan kerja, dapur, dan ruang isolasi. Ruang tempat tinggal narapidana masing-masing terdiri dari kamar-kamar yang mempunyai kapasitas yang berbeda-beda, misalnya Blok A, B, C, dan blok D masing-masing terdiri dari 24 kamar, Blok F, G, dan H masing-masing terdiri dari 10 kamar, sedangkan blok I, J, K, L, M, dan N, masing-masing terdiri dari 18 kamar.

Mengenai tenaga dokter yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan Klas I tersebut terdiri dari 3 orang dokter umum, 2 orang dokter gigi, 2 orang

perawat, dan tenaga psikolog 1 orang.

Upaya pelayanan kesehatan merupakan bagian dari pembinaan narapidana dalam rangka mempersiapkan narapidana kembali ke masyarakat. Dalam hal ini di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, tenaga dokter maupun


(8)

perawat serta psikolog, tidak seimbang dengan jumlah narapidana. Apalagi tenaga psikolog hanya 1 orang, sedangkan kita ketahui bahwa narapidana dengan berbagai latar belakang dalam melakukan kejahatan sering mengalami stres atau depresi, sehingga membutuhkan tenaga psikolog untuk menyembuhkannya. Pada umumnya seseorang yang telah melakukan kejahatan dan masuk ke lembaga pemasyarakatan mengalami tekanan, untuk itu ia membutuhkan teman atau orang yang dapat mendegarkan keluh kesahnya, agar ia merasa puas dan nyaman setelah menceritakannya kepada orang lain. Dalam hal inilah diperlukan tenaga psikolog agar narapidana dapat berkomunikasi secara langsung, sehingga tekanan yang dialaminya berangsur-angsur pulih. Dengan demikian ia dapat menerima keberadaannya di dalam lembaga pemasyarakatan dan dapat mengikuti kegiatan pembinaan dengan baik dan sungguh-sungguh, sehingga tujuan pembinaan dapat tercapai.

Sehubungan dengan kurangnya tenaga psikolog yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan, maka narapidana berkomunikasi antar sesama narapidana lainnya, untuk mengatasi ketegangan ataupun tekanan yang dialaminya sejak masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan, namun komunikasi yang berlangsung membuat narapidana bertambah tertekan dengan aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan.

Kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan ini membuat narapidana terpaksa mengikuti aturan-aturan, nilai-nilai, maupun kebiasaan-kebiasaan yang berlaku agar narapidana merasa nyaman berada di dalam lembaga


(9)

pemasyarakatan. Hal ini merupakan gambaran umum kehidupan masyarakat narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan.

B. Interaksi Antar Narapidana

Salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya prisonisasi, yakni adanya interaksi antar narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Sebagaimana diketahui bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan tempat berkumpulnya para narapidana yang satu sama lain saling berinteraksi dan akhirnya membentuk sub kebudayaan tertentu.

Kebudayaan ini lama kelamaan mempengaruhi kehidupan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, dan secara terus menerus diwariskan kepada narapidana yang baru masuk. Hal ini akan berpengaruh terhadap tata cara kehidupan, kebiasaan, dan moral narapidana, karena bagaimanapun besar kecilnya pengaruh tersebut akan tetap melekat dalam diri narapidana.

Manusia adalah makhluk sosial, sehingga dalam kehidupannya manusia cenderung untuk hidup bersama-sama dengan manusia lain. Di dalam kehidupannya manusia membentuk kelompok-kelompok tertentu, yang didasarkan atas kesamaan ras, agama, suku bangsa, daerah, kepentingan yang sama, dan lain-lain. Hal ini disebabkan manusia ingin hidup bermasyarakat dan membuat aturan-aturan di dalam kelompoknya agar setiap anggota kelompok dapat memahami aturan-aturan tersebut. Oleh karena itu setiap individu harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru, dengan tatacara atau kebiasaaan-kebiasaan yang berlaku di dalamnya. Kemampuannya untuk


(10)

menempatkan diri sesuai dengan fungsi dan kedudukannya dalam masyarakat, akan menumbuhkan rasa aman dan percaya diri. Demikian juga halnya dengan narapidana yang menginginkan rasa aman selama berada di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga ia harus mengikuti kebiasaan dan kultur umum yang ada di dalam lembaga.

Seseorang narapidana dengan kasus pencurian tidak hanya dipandang bahwa ia telah melanggar hukum, tetapi juga harus dilihat mengapa narapidana itu mengambil keputusan untuk mencuri. Apakah ia tinggal di lingkungan yang masyarakatnya pencuri, perampok, penjudi, atau karena ekonomi keluarganya yang tidak maupun menopang kehidupan keluarga, atau karena memiliki kebiasaan untuk mencuri, pengaruh atau diajak teman, dan lain sebagainya. Sebab mengambil keputusan untuk mencuri itu bukanlah hal yang mudah, karena dipengaruhi oleh berbagai unsur sosial, budaya, hukum, agama, pendidikan, dan lingkungan yang kita miliki.

Sehubungan dengan itu pengaruh masyarakat sangat besar dalam kehidupan manusia, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Demikian juga dengan kehidupan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Masyarakat narapidana merupakan sekelompok masyarakat kecil yang tinggal di dalam lembaga yang bertembok tinggi dan terbatas kebebasannya. Di dalamnya terdapat tata cara kehidupan yang khusus berlaku bagi narapidana. Tata cara kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan berpengaruh terhadap narapidana melalui proses belajar dalam berinteraksi antar sesama narapidana. Besar kecilnya pengaruh tata


(11)

cara kehidupan, moral serta kebiasaan yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana, ditentukan oleh kontak yang berlangsung antar narapidana. Melalui kontak inilah narapidana mempelajari budaya atau tradisi yang terdapat di dalam lembaga pemasyarakatan. Proses penyerapan budaya ini berlangsung setiap hari melalui interaksi antar narapidana. Hal inilah yang menimbulkan prisonisasi di dalam lembaga pemasyarakatan,

Sehubungan dengan itu interaksi yang berlangsung antara sesama narapidana juga dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap narapidana, karena melalui interaksi tersebut narapidana mempelajari tata cara kehidupan yang tidak baik atau hal-hal yang lebih buruk dari pada sebelum ia masuk lembaga pemasyarakatan, misalnya saja seseorang narapidana yang masuk ke lembaga pemasyarakatan karena mencuri ayam, maka di dalam lembaga pemasyarakatan ia mempelajari dari sesama narapidana lainnya bagaimana cara mencuri mobil, sepeda motor atau membuat sabu-sabu, dan lain sebagainya. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi narapidana untuk mengulangi perbuatan pidana setelah ia keluar dari lembaga pemasyarakatan, karena ia telah mendapat pengetahuan dan berbagai informasi tentang kejahatan.

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara seorang individu dengan individu lainnya di dalam suatu kelompok atau masyarakat.65 Dengan kata lain interaksi sosial sebagai suatu

65


(12)

proses pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, sehingga tanpa adanya interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama.

Dalam berlangsungnya interaksi sosial, harus didukung oleh adanya kontak sosial dan komunikasi. Melalui kontak dan komunikasi akan diketahui perasaan seseorang atau kelompok, dan selanjutnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan sikap dan reaksi apa yang akan dilakukan. Dengan demikian berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, indentifikasi dan simpati.66

Faktor-faktor tersebut cukup relevan untuk membahas dan mempelajari masyarakat narapidana, mengingat bahwa dalam masyarakat narapidana banyak terdapat perbedaan antara lain, suku, agama, kehidupan ekonomi, dan pendidikan, sehingga menimbulkan perbedaan latar belakang dilakukannya tindak pidana dan jenis tindak pidana.

Istilah prisonisasi yang digunakan oleh Clemmer menunjuk pada serangkaian interaksi sosial dalam memahami dan menyerap pola perilaku, yang merupakan cara-cara bertindak atau berkelakuan yang diikuti semua anggota. Tinggi rendahnya penyerapan norma-norma tersebut akan sangat berpengaruh kepada narapidana.

Faktor imitasi mempunyai peranan yang cukup penting dalam proses interaksi. Faktor ini akan menjadi positif jika dapat mendorong seseorang untuk

66


(13)

berbuat sesuai dengan norma-norma yang baik, dan dapat pula menjadi negatif jika yang ditiru adalah tindakan yang menyimpang. Dalam hal ini penyerapan norma-norma masyarakat narapidana selain melalui proses belajar (learning process), dapat pula dilakukan dengan proses imitasi atau peniruan.

Faktor sugesti berlangsung jika seseorang yang memberikan pandangan adalah orang yang cukup berwibawa dan berpengaruh ataupun yang berasal dari kelompok terbesar yang selanjutnya diterima oleh pihak lain. Dalam hal ini di Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Tanjung Gusta Medan terdapat dua kelompok terbesar yakni kelompok Aceh dan Batak Karo, kedua kelompok yang berdasarkan suku ini mendominasi kelompok lain di dalam lembaga pemasyarakatan sehingga pengaruhnya cukup besar terhadap masyarakat narapidana.

Faktor identifikasi sebenarnya merupakan keinginan seseorang untuk dipersamakan dengan orang lain, sehingga identifikasi sifatnya lebih mendalam dari imitasi. Proses identifikasi yang berlangsung dalam suatu keadaan dimana seseorang mengenal benar pihak lain, sehingga pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku pada pihak lain dapat melembaga bahkan dijiwai.

Faktor simpati merupakan proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Dorongan utama pada proses ini adalah keinginan untuk memahami dan bekerja sama. Untuk memahami proses prisonisasi di dalam lembaga pemasyarakatan, maka langkah yang harus ditempuh adalah mengetahui apakah kontak sosial dan komunikasi antar narapidana dapat berlangsung dalam suatu


(14)

kesempatan. Dalam lingkup yang kecil, kontak sosial berlangsung diantara sesama narapidana dalam blok-blok yang telah ditentukan yang terdiri dari para narapidana dengan tindak pidana dan jenis hukuman yang berbeda, kecuali bagi mereka diisolasi. Sedangkan dalam lingkup yang lebih luas, kontak sosial dan komunikasi terjadi pada saat mereka menjalankan ibadah menurut agamanya masing-masing, dan pada saat mereka melakukan pembinaan keterampilan serta pada saat menerima kunjungan dari pihak keluarga maupun teman sejawat.

Adapun topik pembicaraan di antara sesama narapidana pada saat melakukan kontak sosial dan berkomunikasi dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.

Pendapat Narapidana Mengenai Hal-hal Yang Sering Dibicarakan Sesama Narapidana

No. Topik / Bahan Pembicaraan Jumlah Persentase (%)

1. Tentang pengalaman hidup 11 44

2. Rencana masa depan setelah bebas 6 24

3. Lain-lain 8 32

Jumlah 25 100

Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009.

Dari tabel di atas menunjukkan 11 (sebelas) orang narapidana membicarakan tentang pengalaman hidup, dan 6 (enam) orang narapidana membicarakan rencana masa depan, sedangkan 8 (delapan) orang narapidana membicarakan hal-hal lain. Dari pembicaraan antar narapidana ini terjadi proses


(15)

belajar sesama narapidana menyangkut kehidupan narapidana sebelum masuk ke lembaga pemasyarakatan.

Masyarakat narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan sangat hetorogen, dan memiliki berbagai macam sub kebudayaan yang mencerminkan kehidupan masyarakat ditiap daerah. Proses penyerapan sub kultur kebudayaan yang dilakukan melalui proses belajar, menyebabkan timbulnya pengelompokan narapidana. Bagi narapidana memilih untuk menjadi anggota dari salah satu kelompok merupakan pilihan untuk mencari keamanan bagi dirinya, sebab bagaimanapun setiap narapidana baru yang masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan harus dapat menyesuaikan dirinya dengan kehidupan di dalam lembaga. Sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang narapidana, bahwa faktor keamanan yang membuatnya harus memilih menjadi anggota salah satu kelompok.67

Pengelompokan dan pengklasifikasian narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan tergantung dari kemampuan dan keterlibatan mereka di dalam kehidupan sehari-hari, seperti kelompok Aceh dan Batak Karo merupakan kelompok yang dominan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, sedangkan kelompok-kelompok lainnya didasarkan atas jenis kejahatan atau lamanya hukuman, serta berasal dari daerah yang sama.

Interaksi sosial dapat berlangsung secara lebih intim antara narapidana yang berasal dari suku atau daerah yang sama, walaupun mereka menempati blok yang berbeda. Adanya kelompok-kelompok dalam kehidupan narapidana di

67

Wawancara dengan salah seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.


(16)

dalam lembaga pemasyarakatan merupakan wadah bagi narapidana untuk mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok tersebut. Dengan demikian berlangsunglah proses identifikasi sesama narapidana sehingga dapat mempengaruhi seseorang narapidana yang dalam hal ini perasaan simpati akan lebih menonjol.

Suatu hal yang menunjukkan segi positif di dalam masyarakat narapidana, yaitu tidak adanya kelompok-kelompok yang didasarkan pada perbedaan agama. Meskipun pada kenyataannya seluruh narapidana menganut agama berbeda, namun hal tersebut tidak dijadikan alasan ataupun sebagai upaya memancing keributan diantara sesama narapidana.

Kontak sosial yang berlangsung sesama anggota kelompok sangat tertutup, sehingga terbentuk kelompok sentimen dan membangun serta membentuk kekompakan sosial yang disertai dengan sikap loyalitas terhadap kelompoknya. Kelompok lain dianggap sebagai outgroup yang dapat membahayakan solidaritas kelompoknya, sehingga timbul sikap curiga antar anggota kelompok yang selalu muncul kepermukaan, yang diakhiri dengan perkelahian antar sesama narapidana. Dengan demikian sikap kriminalitas dan anti sosial semakin mendalam di dalam diri narapidana sehingga menghambat proses pemasyarakatan narapidana.

C. Kurangnya Kunjungan Keluarga

Masyarakat narapidana mempunyai aturan serta tata kehidupan yang sangat berpengaruh terhadap penghuni lembaga pemasyarakatan. Proses penyesuaian dengan kehidupan di dalam lembaga akan diserap oleh narapidana


(17)

meskipun penyerapan terhadap nilai-nilai tersebut tidak selalu sempurna dan bukan berarti merupakan nilai yang baik.

Bagi narapidana yang baru pertama kali masuk ke lembaga pemasyarakatan, pada umumnya merasa takut dengan kondisi dan gambaran negatif tentang lembaga pemasyarakatan serta penghuni yang ada di dalamnya. Dalam hal ini narapidana harus melakukan orientasi atau pengenalan dengan masyarakat yang ada di dalam lembaga. Pada masa orientasi ini narapidana berada dibawah pengawasan yang ketat, dan biasanya dilakukan juga semacam perpeloncoan oleh narapidana senior, sehingga narapidana merasakan bahwa lembaga pemasyarakatan sebagai tempat pembalasan dan ia selalu dicekam oleh rasa ketakutan. Adanya sikap dari narapidana senior yang tidak simpati terhadap narapidana baru, dengan memancing keributan dan melontarkan berbagai pertanyaan sehubungan dengan jenis pidana yang dilakukan oleh narapidana baru sehingga ia dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan.

Berdasarkan pendapat petugas lembaga pemasyarakatan, bahwa narapidana yang melakukan tindak pidana pembunuhan biasanya lebih ditakuti oleh narapidana lain.68 Sedangkan bagi narapidana yang melakukan tindak pidana susila seperti perkosaan dianggap sebagai pengecut. Pada umumnya keributan yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan selalu dipancing oleh sikap/perilaku narapidana senior, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

68


(18)

Tabel 4.

Pendapat Petugas Tentang Keributan yang Terjadi Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan

No. Terjadi Keributan Jumlah Persentase (%)

1. Sering - -

2. Kadang-kadang 4 40

3. Tidak pernah 6 60

Jumlah 10 100

Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009.

Tabel diatas menunjukkan bahwa 4 (empat) orang petugas mengatakan kadang-kadang terjadi keributan di dalam lembaga pemasyarakatan, sedangkan 6 (enam) orang petugas mengatakan tidak pernah. Dalam hal ini terkesan bahwa petugas berusaha menutup-nutupi hal-hal yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sikap/perilaku narapidana senior yang menunjukkan kekuasaannya sebagai penyebab terjadinya keributan diantara narapidana, sehingga narapidana baru tidak simpati terhadap sikap/ perilaku narapidana senior. Hal ini dikemukakan narapidana dalam tabel berikut :


(19)

Tabel 5.

Pendapat Narapidana Terhadap Sikap Narapidana Senior

No. Sikap Narapidana Senior Jumlah Persentase (%)

1. Simpati 3 12

2. Tidak simpati 18 72

3. Tidak tahu 4 16

Jumlah 25 100

Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009.

Tabel diatas menunjukkan bahwa 18 (delapan belas) orang narapidana mengatakan tidak simpati terhadap sikap/ perilaku narapidana senior, dan 3 (tiga) orang narapidana mengatakan simpati, serta 4 (empat) orang narapidana mengatakan tidak tahu. Hal ini disebabkan narapidana tidak mau tau terhadap sikap narapidana senior, dan ada juga narapidana yang berpura-pura tidak tahu, untuk keamanan dirinya.

Masyarakat pada umumnya menganggap lembaga pemasyarakatan sebagai tempat untuk menjalani hukuman bagi seseorang yang telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Rasa cemas dan takut yang dirasakan oleh narapidana muncul bersamaan di tengah-tengah rasa penyesalannya. Pada saat seperti ini narapidana sangat memerlukan perhatian dari anggota keluarganya, karena keluarga adalah orang yang paling dekat dengan narapidana. Namun banyak keluarga yang tidak tahu apa yang harus dilakukannya jika salah satu anggota


(20)

keluarganya menjadi narapidana. Pihak lembaga pemasyarakatan juga tidak memberi bimbingan atau petunjuk tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh keluarga narapidana. Keluarga biasanya hanya tahu bahwa ia mempunyai hak untuk bertemu dengan anggota keluarganya yang menjadi narapidana. Namun tidak jarang pula pihak keluarga enggan bertemu dengan anggota keluarganya yang telah menjadi narapidana, sehingga pihak keluarga jarang berkunjung ke lembaga pemasyarakatan. Mengenai kunjungan keluarga ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.

Pendapat Narapidana Tentang Pernah/Tidaknya Mendapat Kunjungan Keluarga

No. Mendapat Kunjungan Keluarga Jumlah Persentase

(%)

1. Pernah 8 32

2. Tidak pernah 6 24

3. Sering 5 20

4. Kadang-kadang 6 24

Jumlah 25 100

Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009.

Tabel di atas menunjukkan 8 (delapan) orang narapidana mengatakan pernah mendapat kunjungan keluarga, dan 5 (lima) orang narapidana mengatakan sering dikunjungi oleh keluarganya, serta 6 (enam) orang narapidana mengatakan kadang-kadang dikunjungi keluarga. Namun ada juga yang sama sekali tidak pernah dikunjungi keluarganya (enam orang narapidana).


(21)

Kunjungan keluarga ini penting sekali untuk memberi motivasi bagi narapidana, sekaligus tanda bahwa ia tidak disisihkan dari keluarganya. Namun ada di antara narapidana yang hanya beberapa kali dikunjungi oleh keluarga karena tempat tinggalnya di luar kota, dan ada juga yang sama sekali tidak pernah dikunjungi keluarganya. Menurut narapidana, baginya tidak masalah dikunjungi atau tidak karena selama ini ia juga tidak pernah diperhatikan oleh keluarga.69 Tetapi ada juga narapidana yang menjadi pemurung dan frustasi karena tidak pernah dikunjungi keluarganya.

Menurut penulis kemungkinan pihak keluarga merasa malu atas perilaku salah seorang anggota keluarganya ataupun pihak keluarga sudah merasa bosan melihat tingkah lakunya karena perbuatan tersebut sudah berulangkali

dilakukannya sehingga pihak keluarga tidak mau mengunjunginya.

Menurut petugas, fungsi keluarga sangat penting dalam menyadarkan narapidana, dengan memberi motivasi, dan memberikan pengertian akan kenyataan hidup yang sebenarnya.70

Dengan demikian, kurangnya kunjungan keluarga membuat narapidana merasa tertekan dan terasing dari keluarganya. Hal ini disebabkan sebagian besar narapidana berasal dari keluarga yang tidak mampu, dan jauh tinggal di pedesaan atau di luar kota, sehingga kunjungan keluarga merupakan problem tersendiri,

69

Wawancara dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan. . 70


(22)

artinya pihak keluarga tidak bisa berkunjung ke lembaga pemasyarakatan setiap saat, setiap minggu, atau bahkan setiap bulan.

Adapun jadwal kunjungan keluarga ke lembaga pemasyarakatan berlangsung 2 (dua) kali dalam seminggu, dan waktu yang diberikan 15 (lima belas) menit. Untuk mengetahui pendapat petugas tentang hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7.

Pendapat Petugas Tentang Cukup Tidaknya Waktu Kunjungan Keluarga 2 kali Seminggu

No. Cukup / Tidak Waktu Yang Diberikan Jumlah Persentase (%) 1. Sudah mencukupi untuk memberi

kepuasan batin bagi narapidana dan keluarga.

7 70

2. Tidak mencukupi, perlu diberi jam kunjungan lebih banyak.

3 30

Jumlah 10 100

Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009.

Tabel tersebut menunjukkan, 7 (tujuh) orang petugas mengatakan bahwa kunjungan 2 kali seminggu dengan lama kunjungan 15 menit cukup memberi kepuasan batin bagi narapidana dan keluarga; sedangkan 3 (tiga) orang petugas mengatakan tidak mencukupi dan perlu diberi waktu lebih banyak. Pentingnya arti pertemuan keluarga dengan narapidana tidak bisa dibantah oleh siapapun karena pengaruhnya besar sekali untuk memotivasi narapidana agar menjadi lebih baik.


(23)

Kunjungan keluarga dapat memulihkan rasa percaya diri narapidana sebagai manusia yang mandiri. Dengan adanya kunjungan tersebut, narapidana tidak merasa dilupakan oleh keluarganya, dan secara psikologis hal tersebut akan membawa dampak positif pada diri narapidana. Kurangnya perhatian keluarga dapat mengakibatkan narapidana frustasi, dan hal itu akan menghambat pembinaan narapidana.

Dalam hal ini ada juga narapidana yang tidak pernah dikunjungi keluarganya, sehingga berpengaruh terhadap narapidana, sebagaimana dikemukakan pada tabel berikut.

Tabel 8.

Pendapat Petugas Tentang Pengaruh Narapidana Yang Tidak Pernah Dikunjungi Keluarga

No Pengaruhnya Terhadap Narapidana Jumlah Persentase (%)

1. Tidak berpengaruh 1 10

2. Menjadi penyendiri dan pemurung 4 40

3. Menjadi frustasi 5 50

Jumlah 10 100

Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009.

Tabel di atas menunjukkan bahwa 4 (empat) orang petugas mengatakan narapidana menjadi penyendiri dan pemurung; sedangkan 1 (satu) orang petugas mengatakan tidak berpengaruh, dan 5 (lima) orang petugas mengatakan narapidana menjadi frustasi. Menurut penulis secara psikologis narapidana


(24)

merasa tersisih/terasing dari keluarganya apabila keluarga tidak pernah mengunjunginya, sehingga membawa dampak terhadap sikap mental narapidana.

Kunjungan keluarga kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan merupakan kegiatan rutin yang berlangsung dua kali dalam satu minggu. Sebagaimana yang dikemukakan petugas71, bahwa kunjungan keluarga berlangsung pada hari Senin dan Kamis, yakni pagi hari dari jam 9.00 Wib sampai dengan jam 12.00 Wib, dan sore hari dari jam 14.00 sampai dengan jam 16.00 Wib, dan waktu yang diberikan lima belas menit, tetapi bagi keluarga narapidana yang datang dari luar kota waktu yang diberikan satu jam.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kurangnya kunjungan keluarga membuat narapidana frustasi, sehingga narapidana merasa gelisah, takut, dan kesepian jauh dari keluarga. Untuk menghindari perasaan cemas dan ketakutan maka narapidana berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan atau kultur yang terdapat di dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini dilakukan untuk kepentingan keamanan dirinya sendiri, sehingga narapidana harus mematuhi semua aturan-aturan yang terdapat di dalam lembaga. Dengan demikian terjadilah proses penyerapan terhadap norma-norma atau kultur yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa interaksi yang berlangsung antar sesama narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan menyebabkan terbentuknya kelompok-kelompok narapidana, baik kelompok yang

71

Wawancara dengan Kabid Kegiatan Kerja di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.


(25)

90

didasarkan atas jenis kejahatan, lamanya hukuman yang dijatuhkan, atau kelompok yang didasarkan atas suku maupun daerah tempat tinggal asalnya.

Menurut pengamatan penulis sebagian besar narapidana bertingkah laku semu dan berkepribadian menyimpang, dalam arti bahwa dengan bertingkah laku semu narapidana seolah-olah bersikap baik, penurut, dan tidak banyak membuat masalah. Hal ini dilakukan agar narapidana dipercaya oleh petugas sehingga ia mendapat jabatan di dalam lembaga pemasyarakatan seperti tamping, palkam, dan lain-lain sebagainya, juga agar narapidana mudah mendapatkan remisi.

Dengan demikian narapidana merasa dirinya nyaman berada di dalam lembaga pemasyarakatan walaupun tidak pernah mendapat kunjungan keluarga. Kurangnya kunjungan keluarga membuat narapidana harus belajar menyesuaikan diri dengan tata cara kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan dan secara tidak langsung membentuk prisonisasi.


(26)

(Studi Kasus Pada Lembaga Pemasyarakatan

Klas I Tanjung Gusta Medan)

TESIS

Oleh

DIAN PERMANA

067005087/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(27)

(Studi Kasus Pada Lembaga Pemasyarakatan

Klas I Tanjung Gusta Medan)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAN PERMANA

067005087/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(28)

JUDUL TESIS : PRISONISASI DAN MASALAHNYA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN (STUDI KASUS PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I TANJUNG GUSTA MEDAN)

NAMA MAHASISWA : Dian Permana NOMOR POKOK : 067005087 PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum

Menyetujui ; Komisi Pembimbing

(Prof. Chainur Arrasyid, SH) K e t u a

(Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum.) (Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan


(29)

Tanggal Lulus : 08 Mei 2010

Telah diuji pada

Tanggal 08 Mei 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Chainur Arrasyid, SH


(30)

2. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum.

4. Dr. Marlina, SH, M.Hum

ABSTRAK

Prisonisasi merupakan proses penyerapan tatacara kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan. Proses penyerapan ini dilakukan melalui proses belajar (learning process) dalam berinteraksi dengan sesama narapidana. Besar kecilnya pengaruh tata cara kehidupan narapidana, moral, kebiasaan, dan kultur umum di dalam lembaga pemasyarakatan dapat mengubah sikap/prilaku narapidana. Hal ini disebabkan interaksi yang berlangsung sesama narapidana menimbulkan kelompok-kelompok narapidana seperti kelompok yang didasarkan atas suku bangsa ataupun daerah asalnya, jenis kejahatan serta lamanya hukuman yang dijalani. Di samping itu kurangnya kunjungan keluarga membuat narapidana merasa frustasi, cemas dan ketakutan berada di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga untuk keamanan dirinya narapidana mematuhi semua aturan-aturan dan kultur yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan sekalipun aturan-aturan bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat menghambat proses pembinaan narapidana sehingga tujuan pembinaan tidak tercapai. Untuk itu dilakukan upaya pemindahan narapidana ke lembaga pemasyarakatan lain, ataupun ke lembaga pemasyarakatan terbuka, serta adanya individualisasi pemidanaan yang sesuai dengan karakteristik narapidana.

Dengan demikian diharapkan agar penempatan narapidana di lembaga pemasyarakatan dapat dipisah-pisahkan berdasarkan karakteristiknya, dan bagi narapidana yang dijatuhi hukuman dibawah 1 (satu) tahun dapat ditempatkan di lembaga pemasyarakatan terbuka, serta perlunya dibangun lembaga pemasyarakatan terbuka ditiap-tiap provinsi, dan bagi narapidana dengan kasus narapidana dapat ditempatkan di lembaga pemasyarakatan khusus narapidana. Di samping itu perlu peningkatan kuantias dan kualitas petugas pemasyarakatan, yang diikuti dengan peningkatan fasilitas di lembaga pemasyarakatan.

Kata Kunci : - Prisonisasi


(31)

ABSTRACT

Prisonization is an accomodating process of life procedure in socizalization Institution System. This accomodative process is accomplished through learning process by interaction among inmates. The quality of life procedure effect of inmates, moral, habit, and general culture in the socialization system can change both attitude and behaviour of inmates. This is caused by interaction among inmates resulting in intame group such as group based on ethnic group or original, type of crime and the length of punishment to take. In addition, the lack of familial visit can make inmates frustrated, anxieity, and fear of being stayed in socialization system, thus for their own safety they must comply with all rules, regulations and culture applicable in the socialization system although they are controversial to values held by community in general. This can disturb the counselling process for inmates, thus failure of goal in counselling, For the reason, some attempts have been taken to remove the inmates to another socialization system, or to open socialization system, and there should be individualized punishment relevant or specific to characteristic of the inmate.

Thus, it is expected to place the inmate in socialization system separately according to the characteristic, and for inmates for whom the punishment has been imposed under one (1) year can be placed in open socialization system, and open socialization system should be built in each province, and for inmates with criminal matter they should be placed in special socialization system. In addition, there is a need to improve both quantity and quality of socialization staffs followed by better facility in the institution.

Keywords : - Prisonization


(32)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul

Prisonisasi Dan Masalahnya Dalam Sistem Pemasyarakatan

(Studi

Kasus Pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan).

Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat guna mencapai gelar Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh bahan masukan, baik bimbingan maupun arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih ini ditujukan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum dan Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai penguji yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis.

3. Bapak Prof. Chainur Arrasyid, S.H., selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., serta Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, D.FM., selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.


(33)

4. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis.

5. Ayahanda dan Ibunda yang penulis cintai, serta Abang/Kakak/Adik-adik yang penulis sayangi, atas doa, perhatian, dorongan serta bantuan yang mereka berikan, penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

6. Seluruh Dosen dan segenap Civitas Akademika Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan membantu penulis dalam perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

7. Seluruh rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis berharap kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2010 Penulis


(34)

RIWAYAT HIDUP

Nama : DIAN PERMANA

Tempat/ Tgl Lahir : Medan, 31 Juli 1983

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : POM-AD Pangdam IV Diponegoro Semarang.

Pendidikan : Sekolah Dasar Negeri No. 060805 Medan, (Lulus

Tahun 1995).

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Josua I Medan, (Lulus Tahun 1998).

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Josua Medan, (Lulus Tahun 2001).

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, (Lulus Tahun 2005).

Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, (Lulus Tahun 2010).


(35)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v DAFTAR ISI ... vi DAFTAR TABEL ... viii BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1 B. Perumusan Masalah ... 22 C. Tujuan Penelitian ... 22 D. Manfaat Penelitian ... 22 E. Keaslian Penelitian ... 23 F. Kerangka Teori dan Konsepsional... 23 G. Metode Penelitian ... 49

BAB II FAKTOR-FAKTOR TERBENTUKNYA

PRISONISASI DI DALAM LEMBAGA

PEMASYARAKATAN ... 53

A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Tanjung Gusta Medan ... 53 B. Interaksi Antar Narapidana ... 61 C. Kurangnya Kunjungan Keluarga ... 68


(36)

BAB III AKIBAT PRISONISASI TERHADAP NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA

PEMASYARAKATAN ... 78

A. Terbentuknya Kelompok-Kelompok Narapidana ... 78 B. Tujuan Pembinaan Tidak Tercapai ... 87

BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK

MENGATASI PRISONISASI ... 103

A. Pemindahan Narapidana ke Lembaga Pemasyarakatan

Lain ... 103 B. Lembaga Pemasyarakatan Terbuka ... 110 C. Individualisasi Pemidanaan... 120

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... . 126

A. Kesimpulan... . 126 B. Saran-saran ... . 128


(37)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Keadaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Tanjung Gusta Medan Menurut Lamanya Hukuman ... 55 Tabel 2. Jenis Kejahatan Yang Dilakukan Narapidana ... 56 Tabel 3. Pendapat Narapidana Mengenai Hal-hal Yang Sering

Dibicarakan Sesama Narapidana ... 66 Tabel 4. Pendapat Petugas Tentang Keributan yang Terjadi Di Dalam

Lembaga Pemasyarakatan ... 70 Tabel 5. Pendapat Narapidana Terhadap Sikap Narapidana Senior... 71 Tabel 6. Pendapat Narapidana Tentang Pernah/Tidaknya Mendapat

Kunjungan Keluarga ... 72

Tabel 7. Pendapat Petugas Tentang Cukup Tidaknya Waktu

Kunjungan Keluarga 2 kali Seminggu ... 74 Tabel 8. Pendapat Petugas Tentang Pengaruh Narapidana Yang

Tidak Pernah Dikunjungi Keluarga ... 75

Tabel 9. Pendapat Narapidana Tentang Adanya

Kelompok-kelompok Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan ... 82 Tabel 10. Pendapat Narapidana Tentang Keributan Di Dalam

Lembaga Pemasyarakatan ... 83 Tabel 11. Pendapat narapidana tentang sikap petugas yang kasar dan

pilih kasih ... 84 Tabel 12. Pendapat Narapidana Tentang Adanya Kegiatan

Pembinaan Kepribadian dan Kemandirian ... 93 Tabel 13. Pendapat Narapidana Tentang Sarana/Peralatan Yang


(38)

Tabel 14. Tindakan Petugas Terhadap Narapidana Yang Berkelahi,

Melanggar Aturan Lembaga Pemasyarakatan ... 97 Tabel 15. Syarat-syarat bagi Narapidana Untuk Menjadi Penghuni

Lembaga Pemasyarakatan Terbuka... 113 Tabel 16. Pandangan Petugas terhadap perlunya dikembangkan


(39)

2. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum.

4. Dr. Marlina, SH, M.Hum

ABSTRAK

Prisonisasi merupakan proses penyerapan tatacara kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan. Proses penyerapan ini dilakukan melalui proses belajar (learning process) dalam berinteraksi dengan sesama narapidana. Besar kecilnya pengaruh tata cara kehidupan narapidana, moral, kebiasaan, dan kultur umum di dalam lembaga pemasyarakatan dapat mengubah sikap/prilaku narapidana. Hal ini disebabkan interaksi yang berlangsung sesama narapidana menimbulkan kelompok-kelompok narapidana seperti kelompok yang didasarkan atas suku bangsa ataupun daerah asalnya, jenis kejahatan serta lamanya hukuman yang dijalani. Di samping itu kurangnya kunjungan keluarga membuat narapidana merasa frustasi, cemas dan ketakutan berada di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga untuk keamanan dirinya narapidana mematuhi semua aturan-aturan dan kultur yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan sekalipun aturan-aturan bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat menghambat proses pembinaan narapidana sehingga tujuan pembinaan tidak tercapai. Untuk itu dilakukan upaya pemindahan narapidana ke lembaga pemasyarakatan lain, ataupun ke lembaga pemasyarakatan terbuka, serta adanya individualisasi pemidanaan yang sesuai dengan karakteristik narapidana.

Dengan demikian diharapkan agar penempatan narapidana di lembaga pemasyarakatan dapat dipisah-pisahkan berdasarkan karakteristiknya, dan bagi narapidana yang dijatuhi hukuman dibawah 1 (satu) tahun dapat ditempatkan di lembaga pemasyarakatan terbuka, serta perlunya dibangun lembaga pemasyarakatan terbuka ditiap-tiap provinsi, dan bagi narapidana dengan kasus narapidana dapat ditempatkan di lembaga pemasyarakatan khusus narapidana. Di samping itu perlu peningkatan kuantias dan kualitas petugas pemasyarakatan, yang diikuti dengan peningkatan fasilitas di lembaga pemasyarakatan.

Kata Kunci : - Prisonisasi


(40)

ABSTRACT

Prisonization is an accomodating process of life procedure in socizalization Institution System. This accomodative process is accomplished through learning process by interaction among inmates. The quality of life procedure effect of inmates, moral, habit, and general culture in the socialization system can change both attitude and behaviour of inmates. This is caused by interaction among inmates resulting in intame group such as group based on ethnic group or original, type of crime and the length of punishment to take. In addition, the lack of familial visit can make inmates frustrated, anxieity, and fear of being stayed in socialization system, thus for their own safety they must comply with all rules, regulations and culture applicable in the socialization system although they are controversial to values held by community in general. This can disturb the counselling process for inmates, thus failure of goal in counselling, For the reason, some attempts have been taken to remove the inmates to another socialization system, or to open socialization system, and there should be individualized punishment relevant or specific to characteristic of the inmate.

Thus, it is expected to place the inmate in socialization system separately according to the characteristic, and for inmates for whom the punishment has been imposed under one (1) year can be placed in open socialization system, and open socialization system should be built in each province, and for inmates with criminal matter they should be placed in special socialization system. In addition, there is a need to improve both quantity and quality of socialization staffs followed by better facility in the institution.

Keywords : - Prisonization


(41)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diikuti dengan meningkatnya pola hidup masyarakat yang semakin maju berupa peningkatan taraf hidup, tingkat pendidikan, serta wawasan ilmu pengetahuan yang luas. Kehidupan baru yang terjadi di daerah perkotaan, ditandai dengan adanya ketegangan dan benturan norma dan nilai yang lebih luas, perubahan sosial yang demikian cepat, mobilitas penduduk yang meningkat, serta adanya penekanan yang lebih besar kepada kepentingan individu dibandingkan kepentingan bersama, dan penghargaan yang lebih tinggi kepada hal-hal yang bersifat materi.

Sehubungan dengan itu masyarakat memerlukan aturan-aturan yang mengatur hubungan antar warganya, dan adanya penyimpangan dari aturan-aturan tersebut dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dari perilaku masyarakat berupa penyimpangan sosial yang menyebabkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Reksodiputro bahwa penyimpangan sosial merupakan salah satu akibat yang harus diterima oleh masyarakat yang sedang membangun.1 Disatu pihak, masyarakat sedang mengalami transformasi kearah masyarakat modren,

1

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Univeristas Indonesia, 1994), hal. 39.


(42)

sedangkan di lain pihak masyarakat tidak mudah menerima perilaku apa yang dianggap sebagai penyimpangan sosial.

Mengenai penyimpangan sosial ini Sadli berpendapat bahwa penyimpangan sosial atau disebut juga sebagai penyimpangan perilaku merupakan salah satu bentuk kejahatan. 2 Kejahatan sebagai salah satu masalah sosial yang menarik perhatian masyarakat, cenderung meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana.3 Di dalam hukum pidana kejahatan merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dalam aturan-aturan lain di luar KUHP. Dalam konteks sosial kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap tempat dan waktu.4 Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan sehingga dapat dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat.

Salah satu aspek dalam upaya merealisasikan pencegahan kejahatan adalah dengan meningkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab timbulnya kejahatan. Sehubungan dengan sebab timbulnya kejahatan, Topo Santoso mengemukakan bahwa “kejahatan bukan merupakan warisan biologis, namun disebabkan oleh faktor sosiologis”.5

2

Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 6.

3

W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: Pembangunan Ghalia Indonesia, 1981), hal. 21.

4

Andi Matalata, Santunan Bagi Korban, dalam J.E. Sahetapy, Viktimilogi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 55.

5

Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Krimonologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12.


(43)

Besarnya pengaruh lingkungan sosial terhadap pikiran dan kepribadian individu sangat menentukan, sehingga perilaku manusia merupakan ciptaan dari masyarakat itu sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Sutherland bahwa perilaku jahat dapat dipelajari sebagaimana perilaku lainnya. Beliau juga mengemukakan faktor lingkungan sosial ikut menentukan. dan dengan sendirinya faktor komunikasi memegang peranan.6 Dengan demikian perilaku jahat bisa terwujud apabila tidak terdapat keseimbangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Masalah kriminalitas merupakan suatu kenyataan sosial yang tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, sebagai fenomena yang ada dalam masyarakat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda, namun di dalamnya terdapat bagian-bagian tertentu yang memiliki pola yang sama. Hal ini disebabkan adanya sistem kaedah dalam masyarakat.

Dalam arti kriminologis kejahatan adalah perilaku yang bersifat tidak susila dan merugikan, menimbulkan banyak ketidak tenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. 7

Salah satu jenis pemidanaan yang banyak diterapkan sebagai sanksi yang dianggap mampu untuk mencegah berbagai jenis kejahatan adalah pidana

6

J.E. Sahetapy, Pisau Analisis Kriminologi, (Bandung : Ctra Aditya Bakti, 2005), hal. 63. 7

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 17.


(44)

penjara. Dibutuhkannya pidana penjara secara nyata dapat dilihat saat bekerjanya hukum pidana di dalam masyarakat. Hukum pidana yang berisi kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapat sanksi pidana atau hukuman apabila dilanggar. Oleh karena itu fungsi hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana merupakan sarana dalam menanggulangi kejahatan. Sehubungan dengan itu menurut G. Piter Hofnagels, bahwa upaya penanggulangan kejahatan dalam konsep kebijakan penanggulangan kejahatan secara geris besar dapat dibagi dua, yaitu melalui jalur penal (hukum pidana) dan non penal. Upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “represif” (penindasan pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “prevensi” (pencegahan / pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. 8

Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus dilihat dalam tiga hal, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Hal ini penting agar pihak yang berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak oleh kebijakan yang bersifat pragmatis, berupa suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang, dan dapat merugikan masyarakat itu sendiri.

Upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan

8

Sunarto, D.M., Kebijakan Penanggulangan Penyerobotan Tanah, oleh Masyarakat di Propinsi Lampung, Ringkasan Disertasi, U.I. Fak. Hukum, Program Pascasarjana, 2003, hal. 9.


(45)

utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Ada tiga syarat untuk tegaknya hukum dan keadilan di masyarakat : Pertama; adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kedua; adanya aparat penegak hukum yang profesional dan bermental tangguh atau memiliki integritas moral terpuji. Ketiga; adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum.9

Untuk merealisasikan tujuan-tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari komponen-komponen yang ada dalam sistem hukum dan faktor-faktor sosial di luar sistem hukum. Adapun komponen-komponen sistem hukum yang berpengaruh terhadap bekerjanya hukum adalah, komponen yang bersifat struktural (kelembagaan), komponen kultural dan komponen substantif. Komponen kultural adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang mengikat sistem itu.

Namun dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana, dalam arti kebijakan menggunakan/memfungsikan hukum pidana, masalah sentral atau masalah pokok sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauh kewenangan/kekuasaan mengatur dan membatasi tingkah laku manusia (warga masyarakat/pejabat) dengan hukum pidana. Ini berarti masalah dasarnya terletak di luar bidang hukum pidana itu sendiri, yaitu pada masalah hubungan kekuasaan/hak antara negara dan warga masyarakat. Jadi berhubungan dengan konsep nilai (pandangan/idiologi) sosiofilosofis, sosiopolitik dan sosiokultural dari suatu masyarakat, bangsa/negara.

9

Baharudin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 3 - 4.


(46)

Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan dilakukan melalui proses sistematik, yaitu melalui apa yang disebut sebagai penegakan hukum pidana dalam arti luas, yaitu penegakan hukum pidana dilihat sebagai suatu proses kebijakan, yang pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan yang melewati beberapa tahapan sebagai berikut:10

a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum inabstrakto oleh badan pembuat undang-undang, disebut juga sebagai tahap kebijakan legislatif. b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak

hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan, disebut juga sebagai tahap kebijakan yudikatif.

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukuman pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.

Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap ini menjadi dasar atau landasan dan pedoman bagi tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Pada dasarnya terdapat dua masalah pokok yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi yaitu masalah penentuan perbuatan

10

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : UNDIP, 1995), hal. 13. Lihat juga Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 115.


(47)

apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.11

Dalam arti yang sempit, maka tahap kebijakan kedua dan ketiga biasanya disebut sebagai kegiatan penegakan hukum (Law Enforcement). Menyangkut pilihan pidana yang digunakan dalam kebijakan formulasi, dari berbagai jenis sanksi pidana yang dikenal dalam hukum pidana, pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak digunakan dalam perumusan hukum pidana di Indonesia selama ini. Untuk itu di dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, dibutuhkan proses panjang dan selektif serta adil, karena harus menjunjung tinggi hak-hak setiap warga negara. Dengan demikian sanksi berupa pidana merupakan sarana penting yang dimiliki oleh masyarakat maupun negara. Akan tetapi dalam perkembangannya banyak kalangan yang mempersoalkan kembali jenis pidana ini. Hal tersebut terutama berkenaan dengan masalah efektifitas serta dampak negatif dari penggunaan pidana penjara itu.12

Sebagai akibat banyaknya penggunaan pidana penjara pada tahap kebijakan formulatif, maka dalam tahap kebijakan aplikatif pidana penjara menjadi jenis pidana yang dominan dalam penerapannya, yang pada tahap berikutnya bermuara pada persoalan pelaksanaan (eksekusi) terpidana penjara.

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, dalam implementasinya pada tahap kebijakan aplikatif dan eksekutif, dilaksanakan melalui mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu suatu sistem yang melibatkan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan dari sistem ini adalah berupa: 1) resosialisasi (jangka pendek); 2) penanggulangan kejahatan (jangka menengah), dan 3) kesejahteraan

11

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 24.

12

Barda Nawawi Arief, Op. cit, hal. 4, 46. Sehubungan dengan hal tersebut Muladi berpendapat, masalah pidana adalah suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicari pemecahannya. Masalah tersebut adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam berbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat. Muladi, “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang”, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP, Semarang, 24 Pebruari 1990.


(48)

sosial (jangka panjang). Sistem ini mendapat input berupa kejahatan dari masyarakat, dan nantinya setelah melalui proses peradilan pidana akan dikembalikan lagi pada masyarakat (out put).13 Dengan demikian peran masyarakat menjadi penting di sini. Karena kejahatan itu muncul (diproduksi) oleh masyarakat, maka masyarakat juga harus ikut bertanggung jawab dalam pengembaliannya pada lingkungan masyarakatnya.

Norma hukum sebagai salah satu sistem norma yang bekerja secara berbarengan dengan sistem norma yang lainnya (norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan) dalam masyarakat, menempatkan hukum pidana, sekaligus peradilan pidana pada kedudukan yang strategis sebagai sarana ketertiban, dan ketenteraman bagi berlangsungnya interaksi fungsional di antara sistem sosial yang ada. Dalam kerangka sistem ini, bekerjanya sistem peradilan pidana sangat dipengaruhi oleh sistem sosial lainnya, seperti sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem pendidikan, sistem politik, dan sebagainya. Mengenai kedudukan sistem peradilan pidana dalam struktur pelapisan sistem-sistem sosial seperti yang dikemukakan oleh La Patra sebagaimana dikutip Reksodiputro14.

13

Muladi, Op cit, hal. 1. 14


(49)

Gambar Lapisan-lapisan dalam Sistem Peradilan Pidana

Ekonomi Teknologi Pendidikan Politik

Kepolisian Kejaksaan Pengadilan Pemasyarakatan Lapisan 3 :

Sub sistem SPP Lapisan 2 :

Lapisan 1 : Masyarakat

Gambar di atas memperlihatkan proses kerja sistem peradilan pidana yang selalu dipengaruhi dan tergantung dari lapisan sistem sosial yang lebih luas, yang secara keseluruhan juga merupakan satu kesatuan sistem yang utuh.

Jika diamati dari segi hubungan fungsional antara tiap sub-sistem peradilan pidana dalam menjalankan tugasnya akan terlihat adanya suatu tata aliran kerja sistem yang berawal dari masyarakat dan berakhir pula di dalam masyarakat itu sendiri. Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sub sistem ini adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini bekerja sama secara terpadu untuk menanggulangi kejahatan.

Sistem peradilan pidana disebut juga criminal justice system, dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Hal ini merupakan salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana secara universal, sehingga cakupan tugas sistem peradilan pidana memang demikian


(50)

luas. Hal ini dikemukakan oleh Reksodiputro bahwa peradilan pidana sebagai suatu sistem mempunyai tugas yang meliputi:


(51)

a.

Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b.

Menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah

dipidana.

c.

Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi perbuatannya.

15

Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, ke-empat komponen

(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan) tersebut,

saling terkait dan diharapkan adanya suatu kerja sama yang

terintegrasi. Jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja

komponennya, maka akan mempengaruhi komponennya lainnya dalam

sistem yang terintegrasi itu. Bahkan ada suatu kecenderungan yang

kuat di Indonesia untuk memperluas komponen sistem peradilan

pidana ini dalam pengertian

Law Enforcement Officer

, yaitu para

pengacara/advokat.

16

15

Mardjono, Op. cit, hal. 140. Menurut Mardjono dalam Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku ke I, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminilogi), Universitas Indonesia, 1994, hal. 85. Sistem peradilan pidana ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana. Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini adalah terutama instansi atau badan yang kita kenal dengan nama Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama Suatu Integrated Criminal Justice System.

16

Ibid, hal 85. Usaha memperluas makna law enforcement officer yang kuat di Indonesia sehingga mencakup profesi pengacara/advokat ini adalah dalam kaitan menunjuk istilah yang berbeda antar profesi hukum dengan penegak hukum. Profesi hukum menurut Mardjono hanya dapat ditunjuk pada lulusan pendidikan tinggi (Fakultas Hukum) yang menjalankan profesi (jabatan; profession; occupations; beroep) dalam masyarakat, dalam hal ini dapat dikatakan adalah kumpulan orang-orang selaku pengacara (advokat) ataupun jaksa dan hakim dan tidak termasuk di dalamnya dosen maupun polisi. Sedangkan istilah penegak hukum dalam artis sempit adalah Polisi yang juga mencakup Jaksa, dan pekembangan terakhi di Indonesia adalah kecenderungan untuk memasukkan profesi pengacara/advokat sebagai law enforcement officer, berdasarkan suatu alasan bahwa keberadaan profesi advokat/pengacara/penasehat hukum telah mendapat pengakuan legistlatif dalam suatu sistem peradilan pidana Indonesia sebagai tertuang dalam aturan normatif KUHAP.


(52)

Keberhasilan sistem peradilan pidana dalam menjalankan tugas

seperti tersebut di atas, ditentukan pula oleh sikap saling menunjang

dalam suatu keterpaduan gerak langkah dari masing-masing

sub-sistem yang ada. Sebab jika tidak demikian maka secara keseluruhan

akan mengalami kesulitan dalam upaya mencapai tujuan bersama.

Pembahasan mengenai proses masukan (narapidana) di lembaga

pemasyarakatan sangat kurang, apabila dibandingkan dengan pembicaraan mengenai ketiga subsistem lainnya. Demikian pula dalam kebijakan

penegakan hukum pidana (politik kriminal) secara terpadu kurang melibatkan petugas lembaga pemasyarakatan dan narapidana. Hal itu antara lain terlihat dari adanya peraturan perundang-undangan tentang kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan.

Peraturan Penjara (Gestichten Reglement 1917) sebagai aplikasi Pasal 10 KUHP yang dirumuskan tentang “stelsel pidana” Indonesia, mempunyai falsafah yang sama dengan falsafah hakekat, fungsi, dan tujuan pemidanaan yang terdapat dalam KUHP, yaitu lebih berorientasi kepada “pengimbalan”. Oleh karena Peraturan Penjara tersebut sampai sekarang masih berlaku, meskipun pada saat ini tidak diterapkan lagi sistem kepenjaraan, melainkan sistem pemasyarakatan, falsafah pembalasan itu masih melekat pada sebagian besar petugas lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Peraturan Penjara sebagai produk masyarakat individualis/liberalis (Belanda) menitikberatkan perlakuan terhadap narapidana terletak pada posisi individu itu sendiri. Hal demikian sesuai dengan pemidanaan yang berorientasi pula pada individu, sehingga timbullah pidana perampasan kemerdekaan, yang


(53)

menggantikan pidana badan dan pidana mati. Sasaran pokok pidana itu agar individu bertobat dan tidak melanggar hukum lagi. Selain itu merupakan contoh bagi orang lain, agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum.

Oleh karena pandangan individualis/liberalis tidak sesuai dengan pandangan masyarakat Indonesia yang bersifat sosialis-religius, maka berbagai usaha dilakukan untuk memperbaharui sistem pemidanaan dan pelaksanaan pidana tersebut.

Mengenai pelaksanaan pidana penjara, semula diatur dalam “Gestichten Reglemen” atau Reglemen Penjara, Stb tahun 1971, no. 708, tanggal 10 Desember 1917. Namun sejak keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU No. 12/1995), maka reglemen penjara sudah tidak berlaku lagi. Dalam rangka pembaharuan sistem pelaksanaan pidana penjara maka pada tahun 1964, istilah sistem kepenjaraan telah diubah menjadi sistem pemasyarakatan, dan istilah penjara diganti menjadi lembaga pemasyarakatan.

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung


(54)

jawab (UU No. 12/1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ke – 2). Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU No. 12/1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ke – 3).

Perubahan dan penggantian ini dimulai atas usul mantan Menteri Kehakiman RI, almarhum Sahardjo yang mengemukakan, bahwa penghukuman bukanlah hanya untuk melindungi masyarakat semata-mata, melainkan harus pula berusaha membina si pelanggar hukum Pelanggar hukum tidak lagi disebut “penjahat”, melainkan ia adalah orang yang “tersesat”. Seseorang yang tersesat akan selalu dapat bertobat dan ada harapan dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari sistem pembinaan yang diterapkan kepadanya. Pandangan Sahardjo tersebut memperoleh tanggapan positif dan diterima oleh Direktorat Pemasyarakatan waktu itu. Dan telah diadakan suatu Konferensi Dinas Direktur-Direktur Penjara seluruh Indonesia yang diadakan di Lembang, “Treatment System of Offenders” yang di dalamnya memuat sepuluh prinsip umum pemasyarakatan.17 Dari prinsip-prinsip pemasyarakatan ini jelas terlihat bahwa Sahardjo menginginkan adanya pengintegrasian narapidana, petugas, dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat berupa penerimaan kembali bekas narapidana di dalam masyarakat.

17

A. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal. 15.


(55)

Sejak saat itulah perlakuan terhadap narapidana mengalami perubahan fundamental, yaitu dari “pembalasan” berubah menjadi “pembinaan”. Demikian pula terdapat pembahasan atau perhatian terhadap narapidana dalam rangka keikutsertaannya dalam kebijakan integral penegakan hukum pidana yang diselenggarakan oleh sistem peradilan pidana.

Di dalam Naskah Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU) tahun 2005, telah dirumuskan ketentuan tentang : Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan, dan Pedoman Penerapan Pidana Penjara. Tentang Tujuan Pemidanaan antara lain dirumuskan tentang perlunya “…, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna”, dan bahwa “…. pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”. Sedangkan dalam pedoman pemidanaan dirumuskan tentang hal yang wajib dipertimbangkan hakim adalah “… pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat. 18

Selanjutnya dalam undang-undang harus ada ketentuan yang jelas tentang tugas-tugas dan kewenangan petugas pembina kemasyarakatan, serta kewajiban dan tanggung jawab mereka. Di samping itu pemerintah bertanggung jawab untuk mendidik tenaga-tenaga pembina ini, sehingga mereka benar-benar dapat menguasai bidangnya masing-masing. Dengan demikian mereka dapat memberikan saran atau masukan-masukan kepada Hakim tentang metode

18

Mardjono Reksodiputro, “Strategi Pembinaan Narapidana Dalam Konteks Tujuan Pemidanaan,” Seminar Nasional Pemasyarakatan, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 24 Juli 1995, hal. 6.


(56)

pembinaan yang sesuai dengan latar belakang narapidana dan kondisi lembaga pemasyarakatan (lembaga pemasyarakatan tempat mereka bertugas sebagai pembina).

Pemidanaan pada hakikatnya adalah mengasingkan narapidana dari

lingkungan masyarakat serta sebagai salah satu upaya penjeraan. Oleh sebab itu, sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, “menjalani pidana bukan untuk mencabut hak-hak asasi yang melekat pada dirinya sebagai manusia. Karena itu perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), terhadap harkat dan martabat manusia, tetap mengikat terpidana juga ke dalam penjara”.19

Perlindungan terhadap hak-hak narapidana di Indonesia, dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU No. 39/1999) yang memberi jaminan akan perlindungan ini seperti pada Pasal 29 ayat (a): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya.” Sedangkan ayat (a) menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.”. Memahami Pasal 29 UU No. 39/1999, jelas bahwa narapidana sebagai ciptaan Tuhan

19

Mardjono Reksodiputro, Hak Tersangka dan Terdakwa Dalam KUHAP Sebagai Dari Hak-Hak Warga Negara (Civil Rights), tentang KUHAP, (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 1990), hal. 2.


(57)

walaupun menjadi terpidana, hak-hak yang melekat pada dirinya harus dilindungi walaupun di dalam penjara.

Upaya pembaharuan sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, telah dirintis sejak tahun 1951. Setelah melalui berbagai pengkajian, pada tahun 1964 berhasil dirumuskan sistem baru dalam pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, yang disebut dengan “Sistem Pemasyarakatan”, untuk

menggantikan “Sistem Kepenjaraan” yang berlaku sebelumnya.

Meskipun sistem pemasyarakatan telah dicetuskan dan diaplikasikan sejak tahun 1964, namun pengaturan mengenai sistem tersebut secara sistematis dalam bentuk undang-undang dan perangkat aturan pendukungnya baru dapat diwujudkan pada tahun 1995, melalui UU No. 12/ 1995. Mengenai tujuan sistem pemasyarakatan, dalam Pasal 2 UU No. 12 / 1995 disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Adapun fungsi dari sistem pemasyarakatan seperti disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 12 / 1995 adalah, “. . . menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat bebas dan bertanggung jawab”.


(58)

Menyangkut tentang asas dari sistem pemasyarakatan, dalam Pasal 5 UU No. 12 / 1995 dirumuskan sebagai berikut :

Sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : a. pengayoman;

b. persamaan perlakuan dan pelayanan; c. pendidikan;

d. pembimbingan;

e. penghormatan harkat dan martabat manusia;

f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan;

g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Dalam penjelasan Pasal 5 UU No. 12 / 1995 ini disebutkan, bahwa asas tersebut merupakan pencerminan dari 10 prinsip dasar pemasyarakatan.

Hal di atas secara lebih tegas lagi terlihat dari penjelasan umum undang-undang ini. Di situ antara lain disebutkan, bahwa : . . . pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintagrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan. Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.


(59)

Lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu wadah pembinaan narapidana, pada hakekatnya harus mampu berperan di dalam pembangunan manusia seutuhnya, di samping sebagai wadah untuk mendidik manusia terpidana agar menjadi manusia yang berkualitas. Lembaga pemasyarakatan juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan harus mampu meningkatkan nilai tambah bagi narapidana, dengan memberikan program pembinaan berupa keterampilan, pelatihan kemandirian, dan bimbingan kerohanian, yang kesemuanya untuk pembekalan diri baik mental, spiritual, bagi narapidana kembali ke masyarakat.

Program pembinaan terhadap narapidana yang menunjang ke arah integrasi dengan masyarakat sangat diperlukan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Saroso, bahwa : Seluruh proses pembinaan narapidana selama proses pemasyarakatan merupakan suatu kesatuan yang integral menuju ke tujuan mengembalikan narapidana ke masyarakat bebas dengan bekal kemampuan (mental, fisik, keahlian, keterampilan, sedapat mungkin juga finansial dan materil) yang dibutuhkan untuk menjadi warga yang baik dan berguna.20

Namun kenyataannya lembaga pemasyarakatan bukan lagi sebagai wadah pembinaan, karena buruknya kondisi penjara seiring dengan kelebihan kapasitas penghuni lembaga pemasyarakatan. Kelebihan kapasitas ini terjadi hampir diseluruh lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia. Dengan kelebihan kapasitas ini maka akan menimbulkan persoalan baru di dalam kehidupan narapidana di lembaga pemasyarakatan, seperti halnya kamar untuk narapidana yang seharusnya dihuni 7

20

Saroso, “Sistem Pemasyarakatan”, Ceramah pada Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan tanggal 20-22 Maret 1975, (Bandung: Bina Cipta), hal. 67.


(1)

B. Saran

1. Penempatan narapidana di lembaga pemasyarakatan hendaknya dapat dipisah-pisahkan berdasarkan jenis kejahatan dan lamanya pidana yang dijalani oleh narapidana, serta antara narapidana residivis dengan non residivis, sehingga dapat mengurangi pengaruh kepada narapidana lainnya.

2. Untuk menekan dampak negatif dari prisonisasi, maka perlu dibangun Lembaga Pemasyarakatan Terbuka di Sumatera Utara, sehingga bagi narapidana yang telah memenuhi syarat dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Di samping itu perlu peningkatan kuantitas dan kualitas petugas pemasyarakatan yang diikuti dengan peningkatan fasilitas di lembaga pemasyarakatan.

3. Diharapkan agar narapidana yang dijatuhi hukuman dibawah 1 (satu) tahun dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka, dan bagi narapidana yang terlibat kasus narkoba dapat ditempatkan di lembaga pemasyarakatan khusus narkoba atau di panti rehabilitasi sebagai alternatif untuk mengatasi over kapasitas di lembaga pemasyarakatan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

__________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Revisi. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002.

Arief, Barda Nawawi, dan Muladi, Teori-Teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Alumi, 1992.

Atmasasmita, Romli. Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 1982.

__________. Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: Armico, 1983.

__________. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Edisi Revisi, Bandung : Refika Aditama, 2007.

__________, dan Achmad Soemadipradja. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Bandung: Bina Cipta, 1979.

Badudu, J.S. Membina Bahasa Indonesia Baku, Seri Ke-2, Bandung: Pustaka Prima, 1980.

Bemmelen, Van. Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian Umum. Bandung: Bina Cipta, 1984.

Bonger, W.A, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1981.

Bungin Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Ed.), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

__________, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Clemmer, Donald, Prisonization Dalam The Sociology of Punishment Correction, Edited by Norman Johnsons, Jhon Wiley and Sons, Inc. New York: 1970. __________, Dalam S. Leon and Marvin E. Wolfgang, Crime and Justice, New

York: Basic Books, Inc. Publisher.

Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006.


(3)

Gross Hyman, A Theory of Criminal Justice, New York: Oxford University Press, 1979.

Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.

Harsono, H.S. C. I. Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1995.

Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Lamintang, PAF. Hukum Panintentier Indonesia, Bandung: Armico, 1988

Lopa, Baharudin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.

Matalata, Andi, Santunan Bagi Korban, dalam J.E. Sahetapy. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Undip, 1995.

Prakoso dan Nurwachid. Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Priyatno, Dwidja, Sistim Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2006.

Ramelan, Rahardi, Cipinang Desa Tertinggal, Jakarta: Republika, 2008.

Rony, Hanitejo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.

Reading, Hugo F., Dictionary of Social Sciences, Terjemahan Sahat Simamora, Jakarta: CV Rajawali, 1986.

Reksodiputro, Mardjono. Hak Tersangka Dan Terdakwa Dalam KUHAP Sebagai Hak-hak Warga Negara (Civil Right) Tentang KUHAP, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 1990.

__________, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1994.

__________, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1994.


(4)

Sadli, Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983.

Sahetapy, J.E. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Bandung: Alumni, 1979.

__________, Pisau Analisis Kriminologi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di

Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1992.

Santoso, Topo, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Sanusi Has, Dasar-Dasar Penologi, Medan: Monora, 1977.

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Simorangkir, JCT. Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1983.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian, Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. __________, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Soekanto, Soerjono dan Puji, Santoso, Kamus Kriminologi, Jakarta: Ghalia, 1985. Soebroto, Soetandyo Wingnyo, Peranan Kriminologi Dalam Hukum Pidana,

Surabaya: Universitas Air Langga, 1976.

Sunarto D.M., Kebijakan Penanggulangan Penyerobotan Tanah oleh Masyarakat di Propinsi Lampung, Ringkasan Disertasi, Program Pasca Sarjana, UI, 2003.

Soesilo. R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1996

Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2001.

Utrecht, E. Hukum Pidana I. Jakarta: Universitas Jakarta, 1958.


(5)

Allagan, LS. Faktor-Faktor Yang Berdampak Terhadap Kegagalan Reintegrasi Sosial Terpidana, Tesis, PPs Ilmu Sosial, Jakarta: UI, 1999.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman, Fungsi dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Dan Bimbingan Narapidana, tanpa tahun.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Dari Sangkar Ke Sangkar, Suatu Komitment Pengayoman, Jakarta: 1979.

Muladi. Pengaruh Proses Sistem Peradilan Pidana Terhadap Pembinaan Residivis, Makalah, Mabes Polri, PTIK, Jakarta: 1992.

__________, Proyeksi Hukum Pidana Materil Indonesia Di Masa Datang, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990.

Reksodiputro, Mardjono Strategi Pembinaan Narapidana dalam Konteks Tujuan Pemidanaan. Seminar Nasional Pemasyarakatan, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1995.

Saroso. Sistem Pemasyarakatan, Ceramah pada Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan. Bandung: Bina Cipta, 1975.

Suyatno Adi. Upaya Menuju Pelaksanaan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Suka Miskin Bandung. Makalah, Seminar Nasional Pemasyarakatan Terpidana II, Jakarta: Universitas Indonesia, 1993.


(6)

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan. UU Nomor 12 Tahun 1995. LNRI Tahun 1995 Nomor 77, TLN RI Nomor 3614.

__________. Peraturan Pemerintah RI Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. PP Nomor 31 Tahun 1999. LNRI Tahun 1999 Nomor 68, TLNRI Nomor 3845.

__________. Peraturan Pemerintah RI Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP Nomor 32 Tahun 1999. LNRI Tahun 1999 Nomor 69, TLNRI Nomor 3846.

__________. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat

Jenderal, Peraturan Perundang-Undangan, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor ... Tahun 2005, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: 2005

__________. Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan. Jakarta, 1990.

D. Majalah/Koran/Internet

Harkristuti, Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan, Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Majalah KHN News Letter, Edisi April 2003.

Sahetapy, J.E., “Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, Majalah Hukum, Pro Justitia, Tahun VII, No. 3, Juli 1989.

Harian Kompas, 21 April 2007.

Harian Sinar Indonesia Baru, 14 Januari 2010.

http://www.Women-in–prison.org.hk.

http://defairy, word press.com http://www.ditjenpas.go.id