Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Pada Pemasangan Kateter Urin di Rumah Sakit Pulo Brayan Medan Tahun 2014

 

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Nosokomial
2.1.1 Pengertian Infeksi Nosokomial
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya
penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk
merawat/Rumah Sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi
yang diperoleh atau terjadi di Rumah Sakit (Darmadi, 2008).
Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan, dan
juga setiap orang yang datang ke Rumah Sakit. Infeksi yang ada di pusat
pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas
kesehatan, orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi
Rumah Sakit (Betty, 2012).
Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka
kesakitan, dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi
nosokomial. Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh
dunia (Betty, 2012).
2.1.2 Macam-macam Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial dibagi 3, yaitu infeksi silang (cross infection) infeksi
yang disebabkan kuman didapat dari orang atau pasien lain secara langsung atau
tidak langsung. Infeksi lingkungan (environtmental infection), infeksi yang
disebabkan kuman yang diadapat dari benda atau bahan tak bernyawa di

11
Universitas Sumatera Utara

12

lingkungan rumah sakit. Infeksi sendiri yaitu infeksi yang disebabkan kuman yang
didapat dari pasien sendiri, karena perpindahan kuman dari jaringan lain ke
jaringan lainnya (Jhonkarto, 2009).
2.1.3 Dampak infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial menambahkan ketidakberdayaan fungsional, tekanan
emosional, dan kadang-kadang pada beberapa kasus akan menyebabkan kondisi
kecacatan shingga menurunkan kualitas hidup. Sebagai tambahan, infeksi
nosokomial sekarang juga merupakan salah satu penyebab kematian (Ponce-deLeon 1991).
Dampak infeksi nosokomial lebih jelas di Negara miskin, terutama yang
dilanda HIV/AIDS, karena temuan terakhir membuktikan bahwa pelayanan medis

yang tidak aman merupakan faktor penting dalam transmisi HIV (Gisselquist dkk
2002).
Menurut Betty (2012), infeksi nosokomial dapat memberikan dampak
sebagai berikut :
1. Menyebabkan cacat fungsional, serta stress emosional, dan dapat
menyebabkan cacat yang permanen serta kematian.
2. Dampak tertinggi pada Negara berkembang dengan prevalensi HIV/AIDS
yang tinggi.

 

 
Universitas Sumatera Utara

13

3. Meningkatkan biaya kesehatan di berbagai Negara yang tidak mampu,
dengan mengingkatkan lama perawatan di Rumah Sakit, pengobatan
dengan obat-obat mahal, dan penggunaan pelayanan lainnya.
4. Morbiditas, dan mortalitas semakin tinggi.

5. Adanya tuntutan secara hukum.
6. Penurunan citra Rumah Sakit.
2.1.4 Penyebab Infeksi Nosokomial
1. Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di
rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme
ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain
yang

dapat

menyebabkan

terjadinya

mikroorganisme termasuk bakteri,

infeksi

nosokomial.


Semua

virus, jamur, dan parasit dapat

menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau
disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous
infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih
disebabkan karena faktor eksternal, yaitu melalui makanan dan udara dan
benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari
rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang
umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang
menyebabkan penyakit pada orang normal (Ducel, 2001).

 

 
Universitas Sumatera Utara


14

2. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang
sehat. Keberadaan bakteri sangat penting dalam melindungi tubuh dari
datangnya bakteri pathogen. Tetapi dalam beberapa kasus dapat
menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang
rendah terhadap mikroorganisme.
3. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai virus,
termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfuse,
dialysis, suntikan dan endoskopi. Virus lain yang sering menyebabkan
infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes
simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan (Wenzel,
2002).
4. Parasit dan Jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke
orang dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul
selama pemberian obat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan.
5. Faktor alat

Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi
kulit, infeksi dari luka operasi dan septicemia. Pemakaian infus dan kateter
urin yang tidak terganti-ganti.di ruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25

 

 
Universitas Sumatera Utara

15

% pasien memerlukan terapi infuse. Komplikasi kanulasi intravena ini
dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi.
2.1.5 Batasan Infeksi Nosokomial
Batasan infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita,
ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit. Siregar (2004)
mengatakan bahwa, suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai
infeksi nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria/batasan tentu diantaranya:
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapatkan

tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam
masa inkubasi dari infeksi tersebut.
3. Tanda tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah
3x24 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.
5. Bila saat mulai dirawat di Rumah Sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan
terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit
yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai
infeksi nosokomial.

 

 
Universitas Sumatera Utara

16

2.1.6 Cara Penularan Infeksi Nosokomial
Betty (2012) mengatakan bahwa, cara penularan infeksi nosokomial yaitu :

1. Penularan secara kontak
Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak
langsung, dan droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber berhubungan
langsung dengan penjamu. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan
membutuhkan objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena
benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya kontaminasi
peralatan medis oleh mikroorganime.
2. Penularan melalui common vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman,
dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari suatu penjamu. Adapun
jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intravena, obatobatan, dan sebagainya.
3. Penularan melalui udara, dan inhalasi
Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme mempunyai ukuran yang
sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh,
dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat
dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus), dan tuberculosis.
4. Penularan dengan cara perantara vector
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut
penularan secara eksternal apabila hanya terjadi pemindahan secara mekanis


 

 
Universitas Sumatera Utara

17

dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vector, misalnya shigella,
dan salmonella oleh lalat.
Penularan secara internal apabila mikroorganisme masuk kedalam tubuh
vector, dan dapat terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria
dalam nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologis.
2.1.7 Pengelolaan Infeksi Nosokomial
Betty

(2012)

mengatakan

bahwa,


terjadinya

infeksi

nosokomial

dipengaruhi oleh :
1. Banyaknya pasien yang dirawat dapat menjadi sumber infeksi bagi lingkungan,
dan pasien lainnya.
2. Kontak langsung antara pasin yang menjadi sumber infeksi dengan pasien
lainnya.
3. Kontak langsung antara petugas Rumah sakit yanmg tercemar kuman dengan
pasien.
4. Penggunaan alat/peralatan medis yang tercemar oleh kuman.
5. Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang dideritanya
Seperti yang diketahui, klien yang terindikasi harus menjalani proses
asuhan keperawatan, yaitu klien harus menjalani observasi, tindakan medis akut,
atau pengobatan yang berkesinambungan. Daya tahan tubuh yang lemah sangat
rentan terhadap penyakit infeksi. Masuknya mikroba atau transmisi mikroba ke

klien tentunya berasal dari sekitar klien, dimana klien menjalani proses asuhan

 

 
Universitas Sumatera Utara

18

keperawatan. Untuk dapat mengendalikannya diperlukan adanya mekanisme kerja
atau system yang bersifat lintas sektoral/bagian, dan diperlukan adanya sebuah
wadah/organisasi di luar struktur organisasi rumah sakit yang telah ada. Dengan
demikian diharapkan adanya kemudahan berkomunikasi, dan berkonsultasi
langsung dengan petugas pelaksana disetiap bagian/ruang/bangsal yang
terindikasi adanya infeksi nosokomial. Wadah atau organisasi ini adalah panitia
medic pengendali infeksi (Betty, 2012).
2.1.8 Pengendalian, dan Pencegahan Infeksi Nosokomial
Betty

(2012)

mengatakan

bahwa,

dalam

mengendalikan

infeksi

nosokomial di rumah sakit, ada tiga hal yang perlu ada dalam program
pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit, diantaranya :
1. Adanya sistem surveilan yang mantap
Surveilan suatu penyakit adalah tindakan pengamatan yang sitemik, dan
dilakukan terus menerus terhadap penyakit tersebut yang terjadi pada suatu
populasi tertentu dengan tujuan untuk dapat melakukan pencegahan, dan
pengendalian. Jadi tujuan dari surveilain adalah untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.

Peralatan

ditegaskan disini bahwa

keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh
canggihnya peralatan yang ada, tetapi ditentukan oleh kesempurnaan perilaku
petugas dalam melaksanakan perawatan penderita secara benar. Dalam
pelaksanaan surveilan ini perawat sebagai petugas lapangan di garis paling
depan mempunyai peran yang sangat menentukan.

 

 
Universitas Sumatera Utara

19

2. Adanya peraturan yang jelas, dan tegas serta dapat dilaksanakan dengan
tujuan untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi. Adanya peraturan yang
jelas, dan tegas serta dapat dilaksanakan merupakan hal yang sangat penting.
Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan setelah
dimengerti semua petugas. Standar ini meliputi standar diagnosis ataupun
standar pelaksanaan tugas. Dalam pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan
peraturan ini, peran perawat sangat besar sekali.
3. Adanya program pendidikan yang terus menerus bagi semua petugas rumah
sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam merawat
penderita.
Keberhasilan

program

ini

ditentukan

oleh

perilaku

petugas

dalam

melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita. Perubahan
perilaku inilah yang memerlukan proses belajar, dan mengajar yang terus
menerus. Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan pada aspek
perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juga aspek epidemiologi dari infeksi
nosokomial.
Betty (2012) mengatakan bahwa, pencegahan dari infeksi nosokomial ini
diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring, dan program. Program
yang termasuk diantaranya :
1.

Membatasi transmisi organism dari atau antar pasien dengan cara mencuci
tangan, dan penggunaan sarung tangan, tindakan dan aseptic, sterilisasi dan
disinfeksi.

2.

 

Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.

 
Universitas Sumatera Utara

20

3.

Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang
cukup, dan vaksinasi.

4.

Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.

5.

Pengawasan infeksi, identifikasi, dan mengontrol penyebarannya.

6.

Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit.

7.

Mengecek dengan menginspeksi bahwa prosedur pengendalian infeksi, dan
aseptic telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan rumah sakit.

8.

Menghubungkan antara laboratorium dan staf ruang dengan member
informasi pada kepala bagian dan memberikan nasihat tentang masalah
pengendalian infeksi.

9.

Melakukan kerjasama dengan staf kesehatan okupasi (occupational health
staf) dalam pemeliharaan rekaman infeksi staf medis, perawat, catering,
domestic, dan berbagai golongan staf lainnya yang terinfeksi.

10. Melakukan kerjasama dengan, dan member petunjuk kepeda perawat
komunitas tentang berbagai masalah infeksi.
11. Member informasi segera melelui telepon tentang penyakit yang harus
diberitahukan kepada petugas kesehatan masyarakat.
12. Memberitahu berbagai rumah sakit lain dan praktisi lain yang berkepentingan
ketika pasien yang terinfeksi dibebaskan dari rumah sakit atau di pindahkan
ke tempat lain.
13. Melakukan partisipasi dalam edukasi dan demonstrasi praktik tentang teknik
pengendalian infeksi kepada staf medis, perawat domestic, catering,
pembantu, dan staf lainnya.

 

 
Universitas Sumatera Utara

21

14. Memberitahu perawat tentang masalah dan kesulitan praktis dalam
melaksanakanprosedur rutin yang berkaitan dengan aspek perawatan
pengendalian infeksi.
15. Menghadiri berbagai komite relavan yang biasanya mengendalikan infeksi
dari berbagai komite prosedur perawatan.
16. Melakukan perundingan dengan pimpinan pelayanan steril tentang infeksi
tertentu dalam rumah sakit.
2.2 Pemasangan Kateter Urin
2.2.1 Defenisi
Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara
memasukkan kateter kedalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan
membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan
pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan
dengan memasukkan selang plastic atay karet melalui uretra kedalam kandung
kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien
yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obtruksi.
Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji pengeluaran urin per jam pada klien
yang status hemodinamikanya tidak stabil (Potter dan Perry, 2002)
Kateter urin membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan
kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Penggunaan
kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien mengalami
ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig, 2000).

 

 
Universitas Sumatera Utara

22

Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan pada
saluran kemih bagian bawah dengan menyumbat saluran di sekeliling uretra,
mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur masuknya kuman ke
dalam kandung kemih. Pada pasien yang menggunakan kateter, mikroorganisme
dapat menjangkau saluran kemih melalui tiga lintasan utama: (1) dari uretra ke
dalam kandung kemih pada saat kateterisasi; (2) melalui jalur dalam lapisan tipis
cairan uretra yang berada di luar kateter ketika kateter dan membran mukosa
bersentuhan; dan (3) cara yang paling sering melalui migrasi ke dalam kandung
kemih di sepanjang lumen internal kateter setelah kateter terkontaminasi (Brunner
& Suddarth, 2000).
Rasyid (2000) menguraikan bahwa penderita yang mengalami infeksi
nosokomial yang salah satunya adalah akibat pemasangan kateter akan
mendapatkan perawatan yang lebih lama sehingga penderitaan klien mejadi
bertambah biaya, selain itu pihak rumah sakit juga akan menanggung kerugian
karena kondisi tersebut yaitu: lama hari perawatan bertambah panjang dan biaya
menjadi meningkat. Furqan (2003) menegaskan bahwa infeksi saluran kemih
pasca kateterisasi ini dapat membahayakan hidup karena dapat berlanjut pada
septikemia dan berakhir pada kematian.
Sejauh ini tindakan kateterisasi sering dianggap sebagai prosedur yang
sederhana, yang bila dilakukan secara hati-hati infeksi dapat dicegah. Praktisi
kesehatan (medis dan paramedis) harus menyadari sepenuhnya akan resiko infeksi
dari tindakan invasif ini yang tidak terlepas dari teknik dan peralatan medis yang
digunakan serta perawatan setelah pemasangan (Glynn, 2000). Karena tindakan

 

 
Universitas Sumatera Utara

23

ini merupakan salah satu otonomi perawat yang lazim dilakukan oleh perawat di
rumah sakit, maka perawat mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya
pencegahan infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter urin (Bouwhuizen,
1996).
2.2.2 Infeksi Saluran Kemih (ISK) Pasca Kateterisasi
Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi ini merupakan salah satu bentuk
infeksi nosokomial. Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi merupakan porsi
terbesar dari infeksi nosokomial (Furqan, 2003). Sekitar 40% dari infeksi
nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan penggunaan kateter urin
(Utama, 2006). Tingginya infeksi setelah pemasangan kateter juga sebagai akibat
sulitnya pengontrolan dan perawatan serta penggantian kateter pada penderita
yang memerlukan pemasangan kateter yang lama (Furqan, 2003).
Organisme yang menyerang bagian tertentu system urin menyebabkan
infeksi pada saluran kencing yaitu ginjal, kandung kemih, prostat, uretra, atau
urin. Setiap kali bakteri menginfeksi bagian tertentu, seluruh bagian akan beresiko
terkena infeksi. Apabila gejalanya muncul, biasanya berupa demam ringan, panas,
ingin kencing terus, dan nyeri. Gejala serupa mungkin terjadi pada pasien yang
menggunakan kateter dalam jangka waktu lama, tapi pasien tersebut juga akan
mengalami obstuksi batu saluran kencing, gagal ginjal (Waren, 2000).
2.2.3 Indikasi Kateterisasi
Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang
klien yang mengalami cidera medulla spinalis, degenerasi neuromuscular, atau

 

 
Universitas Sumatera Utara

24

kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril,
pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa
tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2005). Menurut
Hidayat (2006), kateterisasi sementara di indikasikan pada klien yang tidak
mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi, retensi akut setelah trauma uretra,
tidah mampu berkemih akibat obat sedative atau analgesic, cidera pada tulang
belakang, degerasi neuromuscular secara progresifdan pengeluaran urin residual.
2.3Tindakan
2.3.1 Defenisi
Menurut Notoadmodjo (2007), defenisi tindakan adalah mekanisme dari
suatu pengamatan yang muncul dari persepsi sehingga ada respon untuk
mewujudkan suatu tindakan. Tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu :
1. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek yang akan
dilakukan.
2. Respon terpimpin yaitu melakukan segala sesuatu sesuai dengan urutan yang
benar.
3. Mekanisme yaitu melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis.
4. Adaptasi yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dan
dilakukan dengan baik.
2.3.2 Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Tindakan Pencegahan Infeksi
Taylor (2005) mengatakan bahwa, prinsip-prinsip pelaksanaan tindakan
pencegahan infeksi meliputi :

 

 
Universitas Sumatera Utara

25

1. Setiap orang, baik ibu, bayi baru lahir, dan penolong persalinan harus
dianggap dapat menularkan penyakit, karena infeksi yang terjadi bersifat
asimptomatik atau tanpa gejala.
2. Setiap orang harus dianggap beresiko terkena infeksi.
3. Permukaan tempat pemeriksaan, peralatan dan benda-benda lain yang akan
dan telah bersentuhan dengan kulit tak utuh seperti selaput mukosa atau darah,
harus dianggap terkontaminasi sehingga setelah selesai digunakan harus
dilakukan proses pencegahan infeksi secara benar.
4. Jika tidak diketahui apakah permukaan, peralatan atau benda lainnya telah
diproses denngan benar, harus dianggap telah terkontaminasi.
5. Resiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total, tetapi dapat dikurangi
hingga sekecil mungkin kejadiannya dengan melaksanakan prosedur tindakan
pencegahan infeksi yang benar dan konsisten.
2.3.3Pelaksanaan Tindakan Pencegahan Infeksi
Pencegahan dan pengendalian infeksi adalah suatu sistem pengukuran
dengan diagnosis epidemiologi yang ditujukan pada pencegahan, penyebaran dan
penularan penyakit infeksi di fasilitas kesehatan (Palmer, 1984). Strategi
pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial menurut darmono, 2008 yaitu
cara yang pertama dengan cara meningkatkan daya tahan penjamu melalui
pemberian imunisasi aktif maupun imunisasi pasif serta melalui promosi
kesehatan. Cara kedua dengan menginaktivasi agen penyebab infeksi melalui
metode fisik seperti pemanasan (Pasteurisasi atau sterilisasi). Cara yang ketiga
dengan memutus mata rantai penularan. Cara ini merupakan cara yang paling

 

 
Universitas Sumatera Utara

26

mudah tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam
melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. 
Melalui pemikiran kritis, perawat dapat mencegah terjadinya atau
menyebarnya infeksi dengan meminimalkan jumlah dan jenis organisme yang
ditularkan kedaerah yang berpotensi mengalami infeksi. Menghancurkan reservoir
infeksi, mengontrol portal keluar dan masuk serta menghindari tindakan yang
dapat menularkan mikroorganisme, mencegah bakteri menemukan tempat untuk
bertumbuh. Penggunaan dengan tepat alat-alat steril, barrier pelindung, dan
mencuci tangan dengan tepat merupakan contoh-contoh metoda yang dapat
digunakan perawat untuk mengontrol penyebaran mikroorganisme. Tindakan
pencegahan akhir adalah untuk menguatkan hospes petensial bertahan terhadap
infeksi. Dukungan nutrisi, istirahat, mekanisme perlindungan, pemeliharaan
fisiologis, dan immunisasi melindungi klien terhadap invasi patogen. Berbekal
control infeksi dalam diri membantu perawat melaksanakan praktik aseptik medis
bedah pada waktu dan situasi klinis yang tepat. Bila terjadi infeksi pada klien,
perawat melanjutkan kewaspadaan sehingga pekerja kesehatan dan klien lainnya
tidak terpapar infeksi. Klien dengan penyakit menular membutuhkan tindakan
pencegahan isolasi yang mengontrol lingkungan dengan membuat halangan
terhadap penularan infeksi (Potter&Perry, 2005).Perawat memiliki peran dalam
mencegah terjadinya resiko infeksi nosokomial ini melalui pengontrolan infeksi
dengan cara yang tepat dan penggunaan teknologi modern (Pittet, dkk 2006).

 

 
Universitas Sumatera Utara

27

Menurut Depkes RI (2004), Ada berbagai yang dilaksanakan untuk
mencegah terjadinya infeksi atau mencegah mikroorganisme berpindah dari suatu
individu ke individu yang lain yang dapat menyebarkan infeksi, yaitu pelaksanaan
tindakan pencegahan infeksi dengan cara melakukan tindakan-tindakan esensial
sebagai berikut :
1. Cuci tangan
Cuci tangan adalah prosedur yang paling penting dari pencegahan timbulnya
infeksi yang menyebabkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir.
Prosedur cuci tangan :
1. melepaskan perhiasan di tangann dan pergelangan.
2. Membasahi tangan dengan air bersih dan air mengalir
3. Menggosok dengan kuat kedua tangan dengan menggunakan sabun biasa
atau yang mengandung anti mikroba selama 15 sampai 30 detik dan telah
dipastikan sudah menggosok sela-sela jari. Tangan yang terlihat kotor
harus dicuci lebih lama.
4. Membilas tangan dengan air bersih dan mengalir
5. Membiarkan tangan kering dengan diangin-anginkan atau dikeringkan
dengan kertas tisu yang bersih dan kering atau handuk pribadi yang bersih
dan kering.
6. Bila menggunakan sabun padat misalnya sabun batangan, gunakan dalam
potongan-potongan kecil dan tempatkan sabun dalam wadah yang
berlubang-lubang untuk mencegah air menggenangi sabun tersebut.

 

 
Universitas Sumatera Utara

28

7. Jangan mencuci tangan dengan mencelupkan kedalam wadah berisi air
meskipun air tersebut sudah ditambah larutan aseptik,

karena

mikroorganisme dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam larutan
tersebut.
8. Bila tidak tersedia air mengalir : menggunakan ember tertutup dengan kran
yang bisa ditutup pada saat mencuci tangan dan dibuka kembali jika ingin
membilas, menggunakan botol yang sudah diberi lubang agar bisa
mengalir, minta orang lain menyiramkan air ketangan.
9. Mengeringkan tangan dengan handuk bersih dan kering. Jangan
menggunakan handuk yang juga digunakan orang lain. Handuk basah atau
lembab adalah tempat yang baik untuk mikroorganisme berkembangbiak.
10. Bila tidak ada saluran air untuk membuang air yang sudah digunakan,
kumpulkan air di baskom dan buang kesaluran limbah atau jamban
dikamar mandi.
2. Pemakaian sarung tangan.
Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah baik kulit tak
utuh, selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya maupun peralatan.
Sarung tangan sekali pakai lebih dianjurkan.
3. Pemakaian masker
4. Pengelolaan cairan antiseptik
5. Pemrosesan alat bekas pakai
Pemrosesan alat telah bekas pakai, baik terbuat dari logam, maupun plastic,
maupun benda-benda lainnya, dalam upaya pencegahan infeksi.

 

 
Universitas Sumatera Utara

29

6. Pengelolaan sampah medik
2.3.4 Kontrol Atau Eliminasi Agens Infeksius
Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap objek yang
terkontaminasi secara signifikan mengurangi dan sering kali memusnahkan
mikroorganisme. Di pusat perawatan kesehatan departemen suplai sentral
mendesinfeksi dan menyucihamakan barang-barang yang dapat digunakan
kembali. Namun, perawat dapat mengatasi situasi yang memerlukan penggunaan
teknik-teknik tersebut. Banyak prinsip pembersihan dan desinfeksi juga dilakukan
dirumah (Potter&Perry, 2005).
Pembersihan adalah membuang semua material asing seperti kotoran dan
materi organic dari suatu objek (Rutala, 1990). Biasanya, pembersihan termasuk
menggunakan air dan kerja mekanis dengan atau tanpa deterjen. Pada saat objek
kontak dengan material infeksius atau berpotensi infeksius, objek menjadi
terkontaminasi. Jika objek sekali pakai, objek tersebut dibuang. Objek yang dapat
digunakan kembali harus dibersihkan seluruhnya bahkan di desinfeksi atau
disterilisasi sebelum digunakan kembali (Potter&Perry, 2005).
Potter&Perry (2005) menyatakan bahwa, langkah yang menjamin bahwa
suatu objek disebut bersih yaitu :
1. Cuci objek atau benda yang terkontaminasi dengan air dingin yang
mengalir untuk membuang materi organic. Air panas menyebabkan

 

 
Universitas Sumatera Utara

30

protein pada materi organic berkoagulasi dan menempel pada objek,
sehingga sulit untuk dibuang.
2. Setelah pembilasan, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun atau
deterjen mengurangi area tagangan air dan mengemulsi materi yang kotor
atau sisa. Namun, beberapa deterjen rumah tangga memiliki kandungan
desinfektan. Membilas objek sepenuhnya untuk membuang kotoran yang
teremulsi.
3. Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi pada lekukan atau
lipatan. Gesekan mengeluarkan materi yang mengontaminasi sehingga
mudah dibuang. Buka engsel dari alat-alat.
4. Bilas objek di air hangat.
5. Keringkan objek dan persiapkan untuk desinfeksi dan sterilisasi.
6. Sikat, sarung tangan dan bak tempat objek dibersihkan harus dianggap
juga terkontaminasi dan harus dibersihkan.
Desinfeksi menggambarkan proses yang memusnahkan banyak atau
semua mikroorganisme, dengan pengecualian spora bakteri, dari objek yang mati
(Rutala, 1995). Biasanya dilakukan dengan menggunakan desinfektan kimia atau
pasteurisasi basah (digunakan untuk peralatan terapi pernapasan). Contoh
desinfektan adalah alcohol, klorin, glutaraldehid, dan fenol. Zat-zat kimia ini
dapat membakar dan toksik terhadap jarringan (Potter&Perry, 2005).
Sterlisasi adalah penghancuran atau pemusnahan seluruh mikroorganisme,
termasuk spora. Penguapan dengan tekanan, gas etilen oksida (ETO), dan kimia
merupakan agens sterilisasi yang paling umum (Potter&Perry, 2005).

 

 
Universitas Sumatera Utara

31

2.3.5 Pengendalian Penularan Infeksi
Pengendalian efektif terhadap infeksi mengharuskan perawat untuk tetap
waspada tentang jenis penularan dan cara untuk mengontrolya. Di rumah sakit, di
rumah, maupun di fasilitas perawatan yang lebih luas, klien harus memiliki set
peralatan perawatan pribadi. Menggunakan bedpan, urinal, Waskom mandi dan
alat-alat makan secara bersama dapat dengan mudah menularkan infeksi.
Thermometer gelas, sekalipun digunakan secara individu, memerlukan perawatan
yang khusus. Karena mucus klien sendiri dapat menjadi tempat pertumbuhan
mikroorganisme, setelah setiap kali digunakan thermometer gelas dicuci dalam air
sabun dan dikeringkan (Potter & Perry, 2005).
Tietjen (2004) mengatakan bahwa, sebagian besar infeksi ini dapat
dicegah dengan strategi yang telah tersedia, secara relatif murah, yaitu :
1. Mentaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kebersihan dan
kesehatan tangan serta pemakaian sarung tangan,
2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk
dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikiuti
dengan sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi: dan
3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi lainnya
dimana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada agen
penyebab infeksi sering terjadi.
Untuk mencegah penularan mikroorganisme melalui kontak tidak
langsung, peralatan dan bahan yang kotor harus dijaga supaya tidak bersentuhan

 

 
Universitas Sumatera Utara

32

dengan baju perawat. Tindakan salah yang sering dilakukan adalah mengengkat
linen yang kotor langsung dengan tangan mengenai seragam. Harus menggunakan
kantung linen yang tahan cairan atau linen yang kotor harus diangkat dengan
posisi tangan jauh dari tubuh. Kerangjang cuci tidak boleh dibiarkan sampai
sangat penuh (Potter&Perry, 2005).
Teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan poengontrolan
penularan infeksi adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok
dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan
ringkas yang kemudian dibilas dibawah aliran air (Larson, 1995). Tujuannya
adalah untuk membuang kotoran dan organism yang menempel dari tangan dan
untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu. Tangan yang
terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan infeksi (Potter&Perry,
2005)
Menurut Potter&Perry (2005), langkah-langkah mencuci tangan yang
benar yaitu :
1. Gunakan wastafel yang mudah digapai dengan air mengalir yang hangat,
sabun biasa atau sabun antimicrobial, lap tangan kertas atau pengering.
2. Lepaskan jam tanan dan gulung lengan panjang keatas pergelangan
tangan. Hindari memakai cincin. Jika memakai cincin, lepaskan selama
mencuci tangan.
3. Jaga supaya kuku tetap pendek dan datar.

 

 
Universitas Sumatera Utara

33

4. Inspeksi permukaan tangan dan jari akan adanya luka atau sayatan pada
kulit dan kutikula. Laporkan adanya lesi pada saat merawat klien yang
sangat rentan.
5. Berdiri didepan wastafe. Jaga agar tangan dan seragam tidak menyentuh
wastafel. (jika tangan menyentuh permukaan wastafel selama mencuci
tangan, ulangi)
6. Alirkan air. Tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran dan suhu atau
dorong pedal lutut secara lateral untuk mengatur aliran dan suhu.
7. Hindari percikan air mengenai seragam.
8. Atur aliran air sehingga suhu hangat.
9. Basahi tangan dan lengan bawah dengan seksama sebelum mengalirkan air
hangat. Pertahankan supaya tangan dan lengan bawah lebih rendah
daripada siku selama mencuci tangan.
10. Taruh sedikit sabun biasa atau sabun antimicrobial cair pada tanga, sabuni
dengan seksama. Dapat digunakan butiran sabun siap pakai.
11. Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10-15 detik. Jalin jari-jari
tangan dan gosok telapak dan bagian punggung tangan dengan gerakan
sirkular paling sedikit masing-masing lima kali. Pertahankan supaya ujung
jari berada dibawah untuk memungkinkan pemusnahan mikroorganisme.
12. Jika daerah bawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan yang
satunya dan tambah sabun atau stik orangewood yang bersih.
13. Bilas tangan dan pergelangan tangan dengan seksama, pertahankan supaya
letak tangan dibawah siku.

 

 
Universitas Sumatera Utara

34

14. Ulangi langkah 10 sampai 12 namun tambah periode mencuci tangannya
1,2 dan 3 detik.
15. Keringkan tangan dengan seksama dari jari tangan ke pergelangan tangan
dan lengan bawah dengan handuk kertas atau pengering.
16. Jika digunakan, buang handuk kertas pada tempat yang tepat.
17. Tutup air dengan kaki dan pedal lutut. Untuk menutup keran yang
menggunakan tangan, pakai handuk kertas yang kering.
Larson (1995) merekomendasikan bahwa perawat mencuci tangan dalam
situasi seperti berikut ini :
1. Jika tampak kotor
2. Sebelum dan setelah kontak dengan klien
3. Setelah kontak dengan sumber mikroorganisme (darah atau cairan tubuh,
membrane mukosa, kulit yang tidak utuh, atau objek mati yang mungkin
terkontaminasi)
4. Sebelum melakukan prosedur invasive seperti pemesangan kateter
intravascular atau kateter menetap (dianjurkan menggunakan sabun
antimikroba)
5. Setelah melepaskan sarung tangan.
Sabun biasa dengan air dapat digunakan untuk mencuci tangan biasa,
tetapi bila diperlukan untuk membunuh atau menghambat mikroorganisme seperti
prosedur bedah, agen aseptic harus digunakan (Larson, 1995).

 

 
Universitas Sumatera Utara

35

2.3.6 Perlindungan Bagi Pekerja
Potter&Perry (2005) mengatakan bahwa perlindungan barier harus sudah
tersedia bagi pekerja yang memasuki kamar isolasi. Kadang-kadang anteroom
atau rak dorong khusus di gang menjadi tempat barang seperti gown, masker dan
sarung tangan.
1. Gown
Alasan utama menggunakan gown adalah untuk mencegah pakaian menjadi
kotor selama kontak dengan klien. Gown melindungi pekerja pelayanan
kesehatan dan pengunjung dari kontak dengan bahan dan darah atau cairan
tubuh yang terinfeksi. Gown diwajibkan bila kontak dalam ruang isolasi.
Terdapat gown yang dapat digunakan kembali dan ada yang sekali pakai.
2. Masker
Masker harus dikenakan bila diperkirakan ada percikan atau semprotan dari
darah atau cairan tubuh ke wajah. Selain itu, masker menghindarkan perawat
menghirup mikroorganisme dari saluran pernapasan klien dan mencegah
penularan patogen dari saluran pernapasan perawat ke klien.
3. Sarung tangan
Sarung tangan mencegah penularan patogen melalui cara kontak langsung
maupun tidak langsung.
4. Kacamata pelindung
Bila ikut serta dalam prosedur invasive yang dapat menimbulkan adanya
droplet atau percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh lainnya,

 

 
Universitas Sumatera Utara

36

perawat harus mengenakan kacamata pelindung, masker atau pelindung wajah
(Garner, 1996).
5. Membungkus barang atau linen
Perawat menggunakan prosedur membungkus yang khusus untuk membuang
barang-barang yang terkontaminasi disekitar klien. Membungkus barangbarang mencegah terpaparnya individu tanpa sengaja pada barang yang
terkontaminasi dan mencegah kontaminasi terhadap lingkungan sekitar.
6. Memindahkan klien
Klien terinfeksi organisme yang menyebar melalui udara harus meninggalkan
kamarnya hanya untuk tujuan yang esensial seperti prosedur diagnostic atau
pembedahan. Sebelum memindahkan klien ke kursi roda atau brankar,
perawat memberikan klien gown yang berfungsi sebagai jubah. Klien yang
terinfeksi oleh organism yang ditularkan melalui saluran pernapasan harus
juga memakai masker. Petugas yang memindahkan klien-klien ini harus juga
memakai perlindungan barier yang diperlukan.
2.3.7 Prosedur Pemasangan Kateter Uretra Rumah Sakit Marta Friska
Sesuai SK Direktur Utama No. 011/SK/MP/III/2008 tentang kebijakan
keperawatan dengan tujuan sebagai acuan bagi perawat untuk pemasangan
kateter uretra pada pasien sesuai prosedur/standar.
1. Persiapan alat folcy cateter sesuai ukuran , urin bag, sarung tangan,
lubricant/jelly, cairan antiseptik steril, nierbeken, pinset anatomis, plester
fiksasi/fixoaral, kapas atau kasa diberi yodium, selimut mandi.

 

 
Universitas Sumatera Utara

37

2. Persiapan pasien: Perawat menjelaskan tindakan yang akan dilakukan
kepada pasien dan keluarga.
3. Perawat mengatur posisi pasien wanita dorsal rekumben, pria posisi supine
dan beri selimut mandi.
4. Perawat mencuci tangan dan kenakan sarung tangan steril.
5. Untuk wanita, dengan tangan noa dominan membuka labia minora sampai
meatus uretra tampak, pria meregangkan meatus uretra dengan ibu jari dan
telunjuk dan tangan dominan membersihkan meatus uretra dengan larutan
yodium-povidin.
6. Perawat memberi pelumas pada ujung kateter (wanita), masukkan pelumas
5 cc dengan menggunakan spuit 5 cc, tunggu 3-5 menit.
7. Masukkan ujung kateter ke meatus uretra dengan tehnik aseptik; wanita 5
cm dan pria masukkan kateter sampai 20 cm (dewasa) dan 7,5 cm (anak).
8. Bila urin sudah keluar pertanda kateter sudah mencapai kandung kemih,
pegang kateter dengan kuat dan masukkan kateter 2-3 cm.
9. Isi balon kateter dengan cairan steril sesuai dengan kebutuhan yang tertera
pada kateter tersebut (20-25 cc).
10. Hubungkan ujung kateter dengan urinary bag steril dan plester kateter
pada paha bagian depan.
11. Lepaskan sarung tangan dan buang sampah dan urin ke wadah yang
tersedia.
12. Bantu pasien ke posisi semula dengan nyaman dan bersihkan area perineal
sesuai kebutuhan.

 

 
Universitas Sumatera Utara

38

13. Periksa kandung kemih untuk memastikan tidak ada distensi.
14. Cuci tangan setelah selesai melakukan tindakan.
15. Catat warna, kejernihan, jumlah, dan prosedur tindakan dalam catatan
perawat. 

 

 
Universitas Sumatera Utara