Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Pada Pemasangan Kateter Urin di Rumah Sakit Pulo Brayan Medan Tahun 2014

 

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Rumah sakit merupakan salah salah satu tempat yang paling mungkin
mendapat infeksi karena mengandung populasi mikroorganisme yang tinggi
dengan jenis virulen yang mungkin resisten terhadap antibiotika. Masyarakat yang
menerima pelayanan medis dan kesehatan, baik diruangan rumah sakit atau klinik,
dihadapkan kepada resiko terinfeksi. Selain itu, petugas kesehatan yang melayani
mereka dihadapkan kepada resiko. Infeksi rumah sakit (infeksi nosokomial) dan
infeksi dari pekerjaan merupakan masalah yang penting di seluruh dunia dan terus
meningkat. Infeksi nosokomial ini berasal dari dalam tubuh penderita maupun
luar tubuh, infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula
memang sudah ada didalam dan berpindah ketempat baru yang kita dengan self
infection, sementara infeksi eksogen disebabkan oleh mikroorganisme yang
berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien yang lainnya (Yasmin,
2006). Infeksi nosokomial bukan hanya terjadi pada pasien yang di rawat di
rumah sakit tersebut. Sebagai salah satu contoh adalah perawat yang dalam sehariharinya kontak langsung dengan pasien.
Petugas pelayanan kesehatan termasuk staf penunjang (misalnya petugas

rumah tangga, peralatan dan laboratorium), yang bekerja di fasilitas kesehatan
beresiko

terpapar pada infeksi yang secara potensial membahayakan jiwa.

Misalnya di Amerika Serikat, lebih dari 800.000 luka karena tertusuk jarum suntik

1
Universitas Sumatera Utara

2

terjadi setiap tahun walaupun telah dilakukan pendidikan berkelanjutan dan upaya
pencegahan kecelakaan tersebut (Rogers, 1997).
Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial tidak akan lepas dari
upaya mengeliminasi mikroba pathogen. Klien yang sedang dalam proses asuhan
keperawatan diruangan/bangsal perawatan berada dalam posisi rentan, dan mudah
terinvasi oleh berbagai mikroba pathogen yang ada di sekitarnya. Penderita akan
selalu terancam oleh adanya mikroba pathogen yang bersarang pada benda-benda
disekitarnya, sebut saja berbagai peralatan medis dan non medis yang ada

diruangan/bangsal pun dapat member kontribusi terjadinya infeksi nosokomial,
termasuk pula halnya dengan petugas (Betty, 2012)
Perawat sangat berperan penting dalam pencegahan infeksi nosokomial,
sebab perawat merupakan praktisi kesehatan yang berhubungan langsung dengan
pasien dan bahan infeksi di ruang perawatan. Perawat mampu untuk mencegah
penularan infeksi nosokomial dengan prosedur dan cara yang tepat. Contoh
tindakan yang salah yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial
adalah mengangkat lien yang kotor dan bersentuhan langsung dengan seragam,
ada juga dikarenakan perawat yang menggunakan sarung tangan dan lupa
menggantinya sewaktu memeriksa pasien ke pasien lainnya, atau dari satu bagian
ke bagian lainnya. Dengan kejadian seperti diatas maka tindakan pencegahan
infeksi harus diketahui oleh petugas rumah sakit dan dilaksanakan (Potter, 2005).
Center of Desease and Prevention (CDP, 1995) menetapkan dua bentuk
pencegahan yaitu : pencegahan standar, didesain untuk semua perawatan pasien
dirumah sakit tanpa memperhatikan diagnosa pasien atau status infeksi

 

 
Universitas Sumatera Utara


3

sebelumnya. Tindakan pencegahan transmisi yang dibagi dalam kategori udara,
droplet dan kontak yang digunakan pada pasien yang diketahui atau dicurigai
terinfeksi dapat ditularkan melalui udara dan kontak. Di beberapa bagian,
terutama bagian penyakit dalam terdapat banyak prosedur dan tindakan yang
dilakukan baik untuk membantu diagnosa maupun monitor perjalanan penyakit
dan terapi yang dapat menyebabkan pasien cukup rentan terkena infeksi
nosokomial (Swearing, 2002).
Infeksi nosokomial dikenal pertama kali pada tahun 1847 oleh
Semmelweis, dan hingga saat ini tetap menjadi masalah yang cukup menyita
perhatian. Sejak tahun 1950 infeksi nosokomial mulai diteliti dengan sungguhsungguh di berbagai Negara, terutama Amerika Serikat dan Eropa.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi dirumah sakit atau dalam
sistem pelayanan kesehatan yang berasal dari proses penyebaran disumber
pelayanan kesehatan, baik melalui pasien, petugas kesehatan, pengunjung,
maupun sumber lain (Azis, 2008)
Infeksi nosokomial adalah pasien yang masuk rumah sakit dan
menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa
inkubasi penyakit yang telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit (Saryono,

2011). Infeksi nosokomial dibagi 3 yaitu infeksi silang (cross infection) yaitu
infeksi yang disebabkan kuman didapat dari orang atau pasien lain secara
langsung atau tidak langsung. Infeksi lingkungan (environmental infection) yaitu
infeksi yang disebabkan kuman yang didapat dari benda atau bahan tak bernyawa
dilingkungan rumah sakit, infeksi sendiri yaitu infeksi yang disebabkan kuman

 

 
Universitas Sumatera Utara

4

yang didapat dari pasien sendiri, karena perpindahan kuman dari jaringan lain ke
jaringan lainnya.(Jhonkarto,2009). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi
atau tidak dalam masa inkubasi pada saat pasien masuk dirumah sakit. (Linda,
2004)
Infeksi nosokomial menambahkan ketidakberdayaan fungsional, tekanan
emosional, dan kadang-kadang pada beberapa kasus akan menyebabkan kondisi
kecacatan sehingga menurunkan kualitas hidup. Sebagai tambahan, infeksi

nosokomial sekarang juga merupakan salah satu penyebab kematian (Ponce-deLeon 1991).
Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi
nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria/batasan tertentu diantaranya
adalah pada waktu penderita mulai dirawat dirumah sakit tidak didapatkan tanda
klinik dari infeksi tersebut, pada waktu penderita mulai dirawat dirumah
sakit/tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut, tanda-tanda klinik
infeksi sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan, infeksi
tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya, bila saat mulai dirawat di
rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi tersebut didapat
penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta
belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial (Siregar, 2004).
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan jenis infeksi nosokomial yang
paling sering terjadi sekitar 40% dari seluruh infeksi pada rumah sakit setiap
tahunnya (Burke dkk, 1999). Selain itu, dari beberapa penelitian dilaporkan
sekitar 80% ISK nosokokomial terjadi sesudah penggunaan instrument, terutama

 

 
Universitas Sumatera Utara


5

kateterisasi (Asher dkk,1986). Kerena hampir 10% dari seluruh pasien rawat inap
menggunakan kateter, pencegahan infeksi ISK merupakan faktor utama dalam
mengurangi infeksi nosokomial.
Kozier (2010) menyebutkan kontra indikasi pemasangan kateter yaitu:
adanya penyakit infeksi di dalam vulva seperti uretritis gonorhoe dan pendarahan
pada uretra.Kateter urin adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih
untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui uretra ke
dalam kandung kemih, namun metode lain yang disebut pendekatan suprapubik,
dapat digunakan (Marrelli, 2007).
Kateterisasi perkemihan adalah tindakan memasukkan selang karet atau
plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air kemih
yang terdapat di dalamnya (Perry & Potter, 2000). Kateterisasi kandung kemih
merupakan prosedur perawatan yang sering dilakukan di rumah sakit dimana lebih
dari 12% pasien yang ada di rumah sakit akan terpasang kateter (Rahmawati,
2008). Kateterisasi dilakukan pada seorang pasien jika diperlukan mengingat
tindakan ini sering menimbulkan infeksi pada saluran kemih (Brunner &
Suddarth, 2000).

Gejala yang timbul pada infeksi saluran kemih akibat pemakaian kateter
urin beragam tergantung kuman penyebab infeksi tersebut. Gejala yang umum
terjadi adalah nyeri atau rasa terbakar saat berkemih dan frekuensi berkemih yang
meningkat, rasa nyeri atau terbakar pada perut bagian bawah, dan demam.
Risiko infeksi saluran kemih dapat diturunkan bila kateter urin digunakan
hanya bila diperlukan dan dilepas sesegera mungkin. Pemasangan kateter urin

 

 
Universitas Sumatera Utara

6

harus didahului dengan tindakan aseptik (mematikan kuman utnuk mencegah
infeksi) dan menjaga alat yang digunakan tetap steril (bebas dari kuman).
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap

menjadi suatu


perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulasi
dalam bentuk nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulasi tersebut sudah jelas
dalam bentuk tindakan yang dengan mudah atau dilihat oleh orang lain
(Notoatmodjo, 2003).
Tingkatan dalam tindakan adalah persepsi (perception) yaitu mengenal
dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil dan
merupakan tindakan tingkat pertama, Respon terpimpin (quided response) yaitu
dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh
dan merupakan indikator tindakan tingkat kedua, Mekanisme (mechanism) yaitu
telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu
sudah menjadi kebiasaan, maka sudah mencapai tingkat 3, Adaptasi (adaptation)
yaitu suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Pengukuran tindakan dapat secara tidak langsung, yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari
atau bulan yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni
dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoadmodjo, 2003).
Infeksi nosokomial merupakan suatu masalah yang nyata diseluruh dunia
dan terus meningkat. Kejadian infeksi nosokomial berkisar antara 1% di beberapa
Negara Eropa


dan Amerika hingga 40% di beberapa tempat di Asia. Suatu

penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55

 

 
Universitas Sumatera Utara

7

rumah sakit di 14 negara yang berasal dari eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara,
dan Pasifik menunjukkan adanya infeksi nosokomial dimana 10% diantaranya
terjadi di Asia Tenggara. Semakin meningkatnya pasien dengan kasus
immunocompromised merupakan penyebab banyaknya kematian akibat infeksi
nosokomial hingga 88.000 kasus setiap tahunnya. Selama 10-20 tahun belakangan
ini telah banyak perkembangan yang dilakukan untuk mencari masalah utama
terhadap meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial di banyak Negara dan
di beberapa Negara. Kondisi meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial
justru sangat memprihatinkan. Akibat dari terjadinya infeksi nosokomial justru

memperpanjang waktu perawatan dan perubahan pengobatan dengan obat-obatan
mahal, serta penggunaan jasa di rumah sakit. Karena itulah di beberapa Negaranegara miskin dan berkembang, pencegahan infeksi nosokomial lebih
diutakmakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien di rumah sakit
dan fasilitas lainnya (Linda dkk, 2004).
Sementara itu data infeksi nosokomial di Indonesia sendiri dapat dilihat
dari data surveilans yang dilakukan oleh departemen kesehatan RI tahun 2004
diperoleh data proporsi kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit pemerintah
dan jumlah pasien 1.527 orang dari jumlah pasien beresiko 160.417 (55,1%),
sedangkan untuk rumah sakit swasta dengan jumlah pasien 991 pasien dari jumlah
pasien beresiko 130.047 (35,7%). Untuk rumah sakit ABRI dengan jumlah pasien
254 pasien dari jumlah pasien beresiko 1.672 (9,1%).
Di Propinsi Sumatera Utara sendiri angka kejadian infeksi di ambil dari
rumah sakit umum dan rumah sakit swasta. Diperoleh dari rumah sakit umum

 

 
Universitas Sumatera Utara

8


angka kejadian infeksi nosokomial sebanyak 2590 pasien dari 282.388 (0,9%)
pasien beresiko dan di rumah sakit swasta jumlah 182 pasien dari 18470 (1%)
paien beresiko terkena infeksi nosokomial (Vandir, 2008).
Infeksi Saluran Kencing (ISK) merupakan jenis infeksi nosokomial yang
paling sering terjadi sekitar 40% dari seluruh infeksi pada rumah sakit setiap
tahunnya (Burke dan Zavasky 1999). Selain itu, dari beberapa penelitian
dilaporkan sekitar 80% ISK nosokomial terjadi sesudah penggunaan instrument,
terutama kateterisasi. Karena hampir 10% dari seluruh pasien rawat inap
menggunakan kateter, pencegahan infeksi ISK merupakan faktor utama dalam
mengurangi infeksi nosokomial (Betty, 2012).
Dalam meningkatkan upaya pencegahan infeksi nosokomial maka
diperlukan tindakan perawat yang mendukung menuju perubahan yang lebih baik.
Salah satunya adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan,
perawat merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap
pencegahan infeksi nosokomial. Indikasi tentang pencegahan infeksi nosokomial
sudah dipahami, tetapi untuk prakteknya sulit untuk dilakukan. Hal ini
kemungkinan karena kurangnya tindakan dalam pemberian asuhan keperawatan
yang sesuai dengan prosedur. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik
untuk mengetahui tindakan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pada
pemasangan kateter urin di ruang inap rumah sakit Marta Friska Pulo Brayan
Medan.

 

 
Universitas Sumatera Utara

9

1.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian adalah bagaimanakah tindakan perawat dalam pencegahan infeksi
nosokomial pada pemasangan kateter urin di rumah sakit umum Marta Friska P.
Brayan Medan
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tindakan perawat dalam
pencegahan infeksi nosokomial pada pemasangan kateter urin di rumah sakit
umum Marta Friska P. Brayan Medan.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Rumah sakit
Agar dapat dipakai sebagai bahan informasi dan bahan masukan bagi Rumah
sakit umum Marta Friska Pulo Brayan Medan sebagai bahan pertimbangan
dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya perawat agar
tidak terjadi kesalahan praktek yang menimbulkan terjadinya infeksi
nosokomial.
2. Bagi perawat
Sebagai masukan dan tolak ukur dalam merubah tindakan agar infeksi
nosokomial dapat ditekan/ditanggulangi.
3. Bagi pasien
Sebagai sumber informasi agar pasien dapat berkolaborasi dengan perawat
dalam penanggulangan infeksi nosokomial.

 

 
Universitas Sumatera Utara

10

4. Bagi institusi pendidikan
Dapat dijadikan sebagai bahan kepustakaan atau refrensi di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara fakultas Keperawatan.
5. Bagi peneliti
Dapat menambah wawasan dan kesempatan untuk penerapan ilmu yang telah
diperoleh penulis selama kuliah di Universitas Sumatera Utara fakultas
Keperawatan dan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam
melakukan penelitian tentang infeksi nosokomial.

 

 
Universitas Sumatera Utara