Studi Komperatif Antara Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism Dengan Kultur Jamur Dalam Pemeriksaan Spesies Jamur Pada Penderita Tinea Kruris

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Dermatofita merupakan kelompok jamur keratinofilik yang dapat

mengenai jaringan keratin manusia dan hewan seperti pada kulit, rambut, dan
kuku yang menyebabkan dermatofitosis.Penyebab dermatofitosis terdiri dari 3
genus yaitu Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton, sedangkan dari
spesiesnya terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita yang berbeda, yang dapat
menginfeksi kulit. Dermatofitosis ini dibagi berdasarkan lokasi infeksi di tubuh
yaitu tinea kapitis, tinea fasialis, tinea barbae,tinea korporis, tinea kruris,
tineamanus,tinea pedis dan tinea unguium.1-4
Tinea kruris adalah dermatofitosis yang dijumpai pada kulit daerah sela
paha, genitalia, daerah pubis, perineal, dan perianal yang merupakan
dermatofitosis paling sering kedua di seluruh dunia dan merupakan dermatofitosis
terbanyak di Indonesia.3,5-9Penelitian oleh Hajar (1999), didapati tinea kruris
merupakan dermatofitosis terbanyak yang didapati di Rumah Sakit Umum
Pirngadi Medan.10 Penelitian oleh Bilkes (2005) dan Nasution (2005), sebaran

diagnosis penderita dermatofitosis di beberapa Puskesmas wilayah kota Medan
juga dijumpai tinea kruris merupakan yang terbanyak yaitu sekitar 40%.11,12
Pemeriksaan laboratorium konvensional yang dilakukan untuk infeksi
dermatofita adalah pemeriksaan mikroskop langsung dengan kalium hidroksida
(KOH) 10% dan kultur jamur.Identifikasi secara mikroskopis kerokan kulit
dengan KOH 10% dijumpai elemen jamur yang merupakan metode diagnostik

yang cepat dan murah namun kurang spesifik dan sensitif dengan false negative
lebih dari 15% kasus,sehingga memerlukan kultur jamur yang merupakan
pemeriksaan yang lebih spesifik.1,3,13
Kultur jamur merupakan baku emas untuk diagnosis spesies penyebab
infeksi jamur.14,15 Pemeriksaan kultur jamur dikatakan spesifik tetapi kurang
sensitif karena teknik ini lambat dan memerlukan waktu sekitar 2-4 minggu untuk
mendapatkan hasil; namun terdapat beberapa isolasi yang tidak biasa dan atipikal,
sehingga identifikasi memerlukan media kultur jamur yang lain.13,16,17Kultur
jamur ini tidak hanya mahal dan memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi juga
memerlukan keahlian khusus.13
Prosedur laboratorium konvensional untuk identifikasi dermatofita lambat,
sehingga diperlukan metode diagnostik yang lebih cepat dan tepat. Aplikasi
teknologi amplifikasi asam nukleat dapat dengan cepat dan tepat untuk

mengidentifikasi

kemungkinan

dermatofita.13,18Telah

ditemukan

teknologi

molekuler seperti polymerase chain reaction (PCR) yang merupakan tes sangat
sensitif

dan

spesifik,

dan

dapat


digunakan

untuk

diagnosisberbagai

mikroorganisme termasuk jamur patogen.1,16,18Metode molekular ini sangat baik
untuk mendeteksi dermatofita secara langsung dari spesimen, baik dari kulit
maupun rambut.1 PCR ini dapat lebih cepat, lebih sensitif, lebih stabil dan
pengaruh faktor eksternal lebih sedikitdibandingkan dengan kultur jamur dalam
mendeteksi dermatofita serta spesiesnya.1,16,18
PCR merupakan suatu teknik sintesis dan amplifikasi doexyribonucleic
acid (DNA) dermatofita secara in vitro.19,20 Produk PCR ini akan dimigrasikan

pada gel agarose (elektroforesis) sehingga hasil amplifikasi DNA dermatofita
tersebut dapat dilihat.20
Beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan PCR untuk
mendiagnosis dermatofitosis. Gutzmer, et al.(2004), meneliti dan didapatkan
hasilnya adalah bahwa LightCycler PCR merupakan alat diagnostik yang cepat

untuk mengidentifikasi jamur dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis
langsung dan kultur.16Pada penelitian oleh Garg,et al.(2009) dikatakan bahwa
PCR dapat dipertimbangkan sebagai baku emas untuk diagnosis dermatofitosis
dan dapat membantu klinisi untuk memberikan obat antijamur yang tepat. Pada
penelitiannya, dibandingkan KOH secara mikroskopis dan kultur jamur dengan
nested PCR, didapati bahwa nested PCR lebih baik.1 Lizt, et al(2010), meneliti
tentang pemeriksaan PCR untuk mendiagnosis onikomikosis. Hasil dari penelitian
tersebut didapati bahwa PCR merupakan uji yang spesifik dan relatif sensitif
untuk onikomikosis, dimana apabila digunakan secara bersamaan antara KOH dan
PCR, maka akan memberikan rentang nilai kepositifan yang serupa hanya dengan
Periodic Acid Schiff (PAS) saja.21Pada penelitian Brasch, et al. (2010), didapati
bahwa pemeriksaan PCR secara langsung untuk mendeteksi Trichophyton
rubrum(T. rubrum) pada mikosis superfisial dan onikomikosis lebih cepat dan
sensitif dibandingkan dengan metode konvensional.22 Pada penelitian oleh Irimie,
et al(2011) didapati bahwa real time PCR secara signifikan meningkatkan angka
deteksi terhadap dermatofita dibandingkan dengan kultur jamur.17Penelitian oleh
Kim, et al. (2011), menggunakan multipleks PCR berhasil mengidentifikasi
infeksi jamur.23

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism

(PCR-RFLP) merupakan metode PCR dengan penambahan enzim setelah
amplifikasi sehingga memungkinkan hasil yang lebih spesifik.24 Pada penelitian
oleh Dobrowolska, et al. (2008) didapati dengan metode PCR-RFLP dengan
penggunaan primer chitin synthase 1 (CHS1) sangat baik digunakan untuk
mengidentifikasidua spesiesTrichophyton yaitu T. rubrum dan Trichophyton
mentagrophytes (T. mentagrophytes).25Pada penelitian oleh Mirzahoseini,et al.
(2009) didapati bahwa penggunaan PCR-RFLP sangat cepat dan dapat dipercaya
untuk identifikasi dermatofita.24Pada penelitian oleh Elavarashi, et al. (2013)
didapati bahwa penggunaan PCR-RFLP dengan primer Internal Transcribed
Spacer (ITS), enzim MvaI dan DdeI memiliki hasil yang baik.15
Terdapat perbedaan spesies antara hasil pemeriksaan PCR dan kultur. Pada
penelitian oleh Irime, et al (2011), didapati perbedaan spesies hasil pemeriksaan
kultur danreal time PCR pada 4 sampel. Dua sampel oleh kultur diidentifikasi
sebagai T. rubrum namun oleh PCR diidentifikasi sebagai Trichophyton
interdigitale(T. interdigitale). Dua sampel lagi oleh kultur diidentifikasi sebagai T.
interdigitale namun oleh PCR diidentifikasi sebagai T. rubrum.17
Pemeriksaan spesies ini penting, oleh karena dari penelitian oleh
Paramata, et al. di Makassar, didapati bahwa 28% agen penyebab dermatofitosis
pada kulit glabrous, resisten terhadap itrakonazol.26 Terapi akan lebih sesuai
apabila obat diberikan berdasarkan jamur penyebabnya, sebagai contoh

griseofulvin efektif hanya untuk infeksi dermatofita serta tidak efektif terhadap
kandida dan nondermatofita; terbinafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita
dan bersifat fungistatik terhadap kandida.1,24

Dari paparan diatas, terlihat bahwa pemeriksaan dengan PCR-RFLP dapat
dipertimbangkan untuk mengetahui spesies dermatofitosis dengan hasil yang
cepat dan tepat,namun juga terdapat perbedaan hasil dengan kultur, sehingga
peneliti tertarik untuk melakukan studi komperatif antara PCR-RFLP dengan
kultur jamur dalam pemeriksaan spesies jamur pada penderita tinea kruris.

1.2

Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan spesies hasil pemeriksaan PCR-RFLP dengan
kultur jamur pada pasien tinea kruris?

1.3

Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan umum:
Untuk membandingkan spesies terbanyak hasil pemeriksaan PCR-RFLP
dengan kultur jamur pada pasien tinea kruris.
1.3.2. Tujuan khusus:
1. Untuk mengetahui spesies terbanyak hasil pemeriksaan kultur jamur
pada pasien tinea kruris.
2. Untuk mengetahui spesies terbanyak hasil pemeriksaan PCR-RFLP
pada pasien tinea kruris.
3. Untuk mengetahui presentase perbedaan dan persamaan spesies hasil
pemeriksaan antara PCR-RFLPdengan kultur jamur.

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1

Untuk bidang akademik/ilmiah:
Membuka wawasan mengenaipemeriksaanPCR-RFLP pada pasien tinea
kruris.


1.4.2

Untuk pelayanan masyarakat:
Sebagai alternatif diagnostik untuk identifikasi spesies dermatofita
penyebab tinea kruris.

1.4.3

Untuk pengembangan penelitian:
Menjadi landasan teori dan data bagi penelitian selanjutnya dalam hal
pemeriksaan laboratorium pasien tinea kruris.

Dokumen yang terkait

Uji Diagnostik Polymerase Chain Reaction –Restriction Fragment Length Polymorphism Dalam Menegakkan Diagnosis Onikomikosis.

1 95 82

Pig Species Identification in Meatballs Using Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism

0 8 7

Metoda Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism Pada Deteksi Genotip Polimorfisme C-509t Gen Transforming Growth Factor Beta 1 Penderita Thalassemia Beta Mayor.

0 0 10

Studi Komperatif Antara Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism Dengan Kultur Jamur Dalam Pemeriksaan Spesies Jamur Pada Penderita Tinea Kruris

0 0 15

Studi Komperatif Antara Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism Dengan Kultur Jamur Dalam Pemeriksaan Spesies Jamur Pada Penderita Tinea Kruris

0 0 2

Studi Komperatif Antara Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism Dengan Kultur Jamur Dalam Pemeriksaan Spesies Jamur Pada Penderita Tinea Kruris

0 0 15

Studi Komperatif Antara Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism Dengan Kultur Jamur Dalam Pemeriksaan Spesies Jamur Pada Penderita Tinea Kruris

0 0 3

Studi Komperatif Antara Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism Dengan Kultur Jamur Dalam Pemeriksaan Spesies Jamur Pada Penderita Tinea Kruris

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Onikomikosis - Uji Diagnostik Polymerase Chain Reaction –Restriction Fragment Length Polymorphism Dalam Menegakkan Diagnosis Onikomikosis.

0 0 18

Uji Diagnostik Polymerase Chain Reaction –Restriction Fragment Length Polymorphism Dalam Menegakkan Diagnosis Onikomikosis.

0 0 15