Studi Komperatif Antara Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism Dengan Kultur Jamur Dalam Pemeriksaan Spesies Jamur Pada Penderita Tinea Kruris
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinea Kruris
Tinea kruris adalah dermatofitosis yang dijumpai pada kulit daerah sela
paha, genitalia, daerah pubis, perineal, dan perianal.3,27
2.1.1
Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial diseluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% populasi dunia, dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit
tersering.Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat menyerang semua ras
dan kelompok umur, dan infeksi jamur superfisial ini relatif sering pada negara
tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi eksaserbasi.28
Diantara infeksi jamur superfisial, tinea kruris merupakan dermatofitosis
paling sering kedua di seluruh dunia dan merupakan dermatofitosis terbanyak di
Indonesia termasuk di Medan.3,5-12 Pada pria 3 kali lebih sering dijumpai dari pada
wanita dan lebih sering dijumpai pada dewasa dibandingkan dengan anakanak.3,5,6,8,10,27
2.1.2
Etiologi
Penyebab dermatofitosis dibagi atas 3 genus yaitu Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton.3,4,6,29Terdapat sekitar 100.000 spesies jamur
terdistribusi diseluruh dunia, dan sekitar 40 spesies berbeda yang dapat
menginfeksi manusia.3,4,29Jamur dermatofita mempunyai kemampuan untuk
mendegradasi dan menggunakan keratin.3,4,6,29
Tinea kruris secara umum disebabkan olehT. rubrum dan Epidermophyton
floccosum (E. floccosum),namun dapat juga disebabkan oleh T. mentagrophytes
dan Trichophyton verrucosum (T. verrucosum).3,6 Pada negara yang berbeda maka
spesies penyebab tinea kruris pun akan berbeda, seperti di New Zealand, T.
rubrum dan E. floccosum merupakan penyebab tersering, sedangkan di Amerika
Serikat adalah T. rubrum danT. interdigitale.5,6Penelitian oleh Hajar (1999),
penyebab tinea kruris terbanyak di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan
adalah T. rubrum dan T. mentagrophytes.10
Berdasarkan tempat hidupnya jamur superfisial dibagi atas antropofilik,
zoofilik dan geofilik.2-4,7,30Spesies geofilik merupakan organisme yang terdapat
pada tanah dan secara sporadik menginfeksi manusia biasa dengan cara kontak
langsung dengan tanah. Infeksi oleh organisme ini dapat menyebabkan inflamasi.
Strain Microsporum gypseum (M.gypseum)yang lebih virulen dibanding strain
lain yang terdapat pada tanah, merupakan jenis patogen geofilik yang paling
sering dijumpai menginfeksi manusia.3
Spesies zoofilik biasanya terdapat pada hewan namun dapat menginfeksi
manusia. Hewan domestik dan peliharaan merupakan sumber infeksi pada daerah
perkotaan. Penularan dapat melalui kontak langsung dengan hewan atau kontak
tidak langsung yaitu melalui bulu hewan yang terbawa ke pakaian, bangunan atau
makanan. Daerah yang paling sering terpapar seperti pada kepala, daerah janggot,
wajah dan lengan. Walaupun infeksi pada manusia dengan spesies zoofilik sering
bersifat lebih meradang namun pada hewan dapat tidak kelihatan karena telah
teradaptasi.3
Spesies antrofofilik terdapat pada manusia. Penularan dari manusia ke
manusia melalui kontak langsung atau benda-benda yang telah digunakan oleh
orang yang terinfeksi. Infeksi dengan spesies ini dapat asimtomatik atau
inflamasi.3
2.1.3
Patogenesis
Dermatofita dapat bertahan hidup pada stratum korneum manusia yang
mengandung keratin dan ini merupakan nutrisi yang dibutuhkan oleh dermatofita
tersebut untuk pertumbuhan miselia jamur.3
Elemen terkecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filamen
yang terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding.Dinding sel jamur merupakan
karateristik utama yang membedakan jamur dengan bakteri karena banyak
mengandung substrat nitrogen yang disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam
(organela) terdiri dari nukleus berisi materi genetik, mitokondria, ribosom,
retikulum endoplasmik, lisosom, golgi aparatus dan sentriol dengan fungsi dan
peranannya masing-masing. Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk
anyaman disebut miselium.28
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk
spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang
dibentuk hifa, besarnya antara 1-3µ, biasanya bentuknya bulat, segi empat,
kerucut, atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan
memanjang membentuk satu hifa. Terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual
(gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa
penggabungan).2
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah yaitu perlekatan jamur ke
keratinosit,
penetrasi
diantara
sel,
dan
perkembangan
respon
imun
pejamu.Langkah pertama infeksi dermatofita adalah inokulasi jamur atau
beberapa elemen jamur di kulit. Jamur superfisial harus melewati beberapa
rintangan agar artrokonidia (struktur yang dihasilkan dari fragmentasi sebuah hifa
menjadi sel-sel tersendiri) yang merupakan elemen infeksius, dapat melekat ke
jaringan keratinosit. Jamur harus bertahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi
temperatur dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan spingosin (suatu
amino alkohol yang merupakan bahan utama spingolipid pada mamalia) yang
dihasilkan oleh keratinosit. Selain itu, asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar
sebaseus juga bersifat fungistatik.3,30
Kemudian jamur menjalani fase germinasi dan pembentukan hifa yang
menyebar secara sentrifugal terutama dilapisan bawah stratum korneum. Setelah
miselium melekat, spora akan bertambah banyak di kulit dan berpenetrasi ke
stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dibandingkan dengan proses
deskuamasi. Sejalan dengan penetrasi,jamur akan mensekresikan sejumlah
enzimnya yaitu proteinase, lipase dan musinolitik yang dapat mencerna keratin,
sehingga nutrisi untuk jamur tersedia. Kerusakan stratum korneum, oklusi, trauma
dan maserasi juga memudahkan penetrasi. Mannan jamur pada dinding sel
dermatofita dapat juga menurunkan proliferasi keratinosit. Mekanisme pertahanan
baru muncul apabila lapisan lebih dalam dari epidermis telah dicapai oleh jamur,
mencakup kompetisi terhadap zat besi oleh transferin yang tidak tersaturasi dan
kemungkinan inhibisi pertumbuhan jamur oleh hormon progesteron.3,30
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang
terlibat.3
Keratinosit berperan langsung dalam respon terhadap infeksi dermatofita.
Keratinosit mengekspresikan toll-like receptor (TLR) terutama TLR-2 yang dapat
mengenali patogen (pattern recognation receptor) dan ligand-ligandnya pada
permukaan jamur (seperti pathogen-associated mollecular pattern (PAMPS)).
Interaksi keratinosit dengan dermatofita selanjutnya menghasilkan proliferasi
keratinosit, terjadi gangguan pembentukan keratinosit yang normal dan perubahan
cornified envelope yang menyebabkan perubahan fungsi barier epidermal seperti
meningkatkan transepidermal water loss (TEWL). Selain itu keratinosit (dan
infiltrat mononuklear) melepaskan sejumlah sitokin inflamasi seperti tumor
necrosing factors (TNF)-α, interleukin (IL)-1β, IL-8 dan IL-16 sebagai reaksi
jaringan terhadap inflamasi.30
Pertahanan nonspesifik juga berperan pada infeksi dermatofita. Permukaan
kulit tidak pernah steril, terdapat dermatofita dan bakteri. Interaksi antara bakteri
dan dermatofita belum sepenuhnya diketahui. Beberapa bakteri seperti
Pseudomonas aeruginosa dapat menginhibisi pertumbuhan T. rubrum dan T.
mentagrophytes, mencegah perkembangan tinea dan kemudian berperan dalam
respon imun nonspesifik. Peningkatan proliferasi keratinosit juga dapat
mempercepat deskuamasi elemen jamur. Selain itu transferin dapat menginhibisi
pertumbuhan jamur. Sel-sel pertahanan nonspesifik diperankan oleh neutrofil dan
makrofag yang dapat membunuh atau merusak dermatofita. Kemudian dapat
menarik
komplemen
ke
tempat
infeksi
sebagai
lowmollecular
weight
chemotacticfactors.30-32
Setelah jamur masuk ke kulit, hal ini akan merangsang pembentukan
sistem imun dan sel-sel inflamasi dengan sejumlah mekanisme. Ikatan antara
komponen dermatofita dengan sel dendritik ini dapat merangsang respon imun
spesifik.Respon imun ini tergantung pada spesies dermatofita dan imunitas
pejamu. Spesies dermatofita zoofilik dan geofilik menimbulkan reaksi peradangan
yang lebih kuat dibandingkan dengan spesies antropofilik. Sementara respon imun
pada pejamu tergantung usia, jenis kelamin, status imun dan faktor genetik.
Respon imun seluler dimulai dari sel dendritik epidermal mengenali antigen jamur
kemudian terjadi maturasi sel dendritik, dan dihasilkan IL-12. IL-12 akan
menginduksi sel T dan sel natural killer (NK) untuk memproduksi interferon
(IFN)-γ.Selanjutnya IFN-γ dapat merangsang migrasi, proses fagositosis dan
oxidative killing oleh sel neutrofil dan makrofag. Respon imun humoral juga dapat
ditemukan pada penderita infeksi dermatofita, namun respon imun humoral ini
tidak memiliki efek protektif. Bagaimana peranan imunitas humoral pada infeksi
dermatofita belum diketahui dengan jelas sampai sekarang karenaterbentuknya
antibodi tampaknya tidak melindungi terhadap infeksi dermatofita.3,30-32
2.1.4
Gambaran klinis
Gambaran klinisdijumpai pada kulit daerah sela paha, genitalia, daerah
pubis, perineal dan perianal; dimulai dengan lesi bulat atau lonjong,disertai rasa
gatal. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif ditandai dengan eritema,
adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih
tenang.Lesi bisa melebar dan menyatu dan akhirnya memberi gambaran yang
polisiklis, arsinar atau sirsiner.2-4,6,27,33
Apabila E. floccosum dijumpai sebagai penyebab maka sering terlihat
bersih pada daerah tengah dan terbatas pada lipatan genitokrural dan bagian
medial atas paha. Namun sebaliknya apabila spesies yang dijumpai adalah T.
rubrum maka infeksi sering bergabung meluas ke daerah pubis, perianal, bokong
dan perut bagian bawah dan daerah genital biasanya tidak terlibat.3
2.1.5
Diagnosis banding
Tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan eritrasma,dermatitis
seboroik, prosiasis inversa dan kandidiasis kutis intertriginosa.3,27
2.1.6
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu menegakkan diagnosis
tinea kruris adalah pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit dengan KOH 10%,
kultur
jamur,
histopatologi
danpemeriksaanyang
terbaru
adalah
dengan
menggunakan Polymerase Chain Reaction.2,3,6
Sampel kulit diambil dari kerokan dengan menggunakan skalpel pada tepi
lesi aktif ke arah luar.3 Pada pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit dengan KOH
10%, keratin akan segera dicerna oleh KOH.34 Dermatofita akan tampak bersepta
dan memiliki hifa yang bercabang, namun dengan pemeriksaan mikroskopis ini,
spesiesnya tidak dapat diidentifikasi.3,17,18
Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hemaktosilin dan eosin
(H&E), PAS atau methenamine silver akan memperlihatkan spora dan hifa yang
bercabang.6,14,28 Diagnosis spesifik dengan menemukan adanya neutrofil pada
stratum korneum dan tanda sandwich yaitu terdapatnya elemen jamur yang
tersusun berselang-seling di dalam lapisan stratum korneum.6 Pemeriksaan
histopatologi ini, lebih bermanfaat untuk onikomikosis dan deep mycosis.34
2.2
Pemeriksaan Kultur Jamur
Kultur
jamur
jamur.14,15Pemeriksaan
merupakan
dengan
baku
kultur
emas
jamur
untuk
diagnosis
spesifikasinya
infeksi
dilihat
dari
makroskopis, mikroskopis dan karakteristik metaboliknya. Sabouraud’s dextrose
agar (SDA) merupakan media isolasi yang paling sering digunakan untuk kultur
jamur. Pada media ini dapat juga tumbuh saprofit kontaminan yang dapat
menyamarkan
bentuk
patogen
sebenarnya,
sehingga perlu
ditambahkan
sikloheksamid (0,5 g/l) dan kloramfenikol (0,05 g/l) agar media tersebut dapat
lebih selektif terhadap dermatofita. Media uji dermatofita mengandung indikator
pH merah fenol, dimana akanmenjadi merah apabila terdapat aktivitas proteolitik
dermatofita yang akan meningkatkan pH menjadi 8 atau lebih tinggi namun akan
menjadi merah lembayung bila tumbuh saprofit. Pada nondermatofitamedia akan
berubah menjadi kuning dikarenakan keasaman yang dihasilkannya. Kultur jamur
diinkubasi pada temperatur ruangan (26 0C),kemudian satu minggu dilihat dan
dinilai apakah ada pertumbuhan jamur, ditunggu hingga 4 minggu sebelum
disimpulkan tidak ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan
melalui bentuk koloni, bentuk hifa, dan bentuk spora.2-4,34,35
Gambar 2.1 Karakteristik dermatofita pada media kultur
Dikutip dari kepustakaan 3 sesuai aslinya
Lanjutan gambar 2.1*
*Dikutip dari kepustakaan 3 sesuai aslinya
2.3
Pemeriksaan PCR
PCR adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi doexyribonucleic acid
(DNA) secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis
pada tahun 1985.19,20
Beberapa tahun yang lalu metode molekular ini telah dilakukan untuk
mendeteksi dan mengidentifikasi dermatofita.17,24 Metode ini berkembang
dikarenakan metode konvensional dikatakan lambat dan kurang spesifik.
Penelitian sebelumnya telah dilakukan dengan mengevaluasi penggunaan PCR
pada infeksi jamur dan didapatkan spesifikasi yang cepat dan langsung.
Penggunaan PCR ini tidak bergantung kepada karakteristik morfologi dan
biokemikal dermatofitosis, dikarenakan teknik ini adalah untuk melihat hasil
amplifikasi DNA daridermatofita.24
Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam
jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. PCR merupakan suatu teknik yang
melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi
duplikasi jumlah target DNA double stranded.19
Komponen-komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah cetakan
DNA; sepasang primer yaitu suatu oligonukleotida pendek (potongan pendek)
yang mempunyai urutan nukleotida yang sesuai dengan urutan nukleotida DNA
cetakan; deoxynucleotide triphosphates (dNTPs); buffer PCR; magnesium klorida
(MgCl2) dan enzim DNA polymerase.19,20
Di dalam mesin PCR terjadi sintesis dan amplifikasi yang terdiri dari 3
tahap yaitu (1) denaturasi DNA cetakan; (2) penempelan primer pada cetakan
(annealing) dan (3) pemanjangan primer (extention). Tahap ini merupakan tahap
berulang (siklus), dimana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA.19,20
Pada tahap denaturasi, reaksi PCR terjadi pada suhu tinggi (+ 94 0C)
selama 30-60 detik sehingga DNA double stranded terdenaturasi atau terpisah
menjadi dua single stranded kemudian didinginkan hingga mencapai suhu tertentu
untuk memberikan waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah
tertentu dari target DNA.19,20
Tahap awal sintesis sekuen spesifik DNA secara in vitro dimulai pada
tahap annealing, dimana primer akan menempel pada sekuen komplementer
single stranded DNA cetakan. Hal ini dilakukan pada suhu 45-60 oC selama 60120 detik. Sintesis DNA ini berlangsung dari arah 5’ ke 3’.20 Agar sintesis DNA
dapat berlangsung dengan baik maka reaksi tersebut memerlukan adanya enzim
DNA polymerase, misalnya thermus aquaticus(tag)polymerase dan MgCl2,
sementara kebutuhan energi dan nukleotida terpenuhi dari dNTPs (terdiri dari:
deoxythymin
triphosphates
(dTTP),
deoxyguanin
triphosphates
(dGTP),
deoxyadenin triphosphates (dATP) dan deoxycystein triphosphates (dCTP)).19,20
Aksi sintesis DNA pada tahap ini tergantung pada suhu annealing dari primer
yang digunakan. Suhu annealing primer tersebut ditentukan diantaranya dari
ukuran panjang primer dan kandungan basa (G+C) dari primer yang digunakan.20
Pada tahap extention, umumnya terjadi pada suhu 72 0C selama 60-120
detik, proses sintesis yang telah dimulai dari tempat penempelan primer, terus
berlanjut sampai bertemu dengan sintesis DNA yang dilakukan oleh primer
lainnya dengan arah yang berlawanan pada komplemen stranded DNA template,
sehingga terbentuklah DNA double stranded yang baru.20
Sintesis DNA tersebut akan terus berlanjut melalui tiga tahapan tersebut di
atas secara berulang. Pada akhirnya maka akan diperoleh produk PCR, berupa
sekuen DNA yang diinginkan dalam jumlah yang berlipat ganda. Selanjutnya
produk PCR yang diperoleh dapat disimpan pada suhu 4 0C, sampai saatnya tiba
untuk dianalisis lebih lanjut.20
Untuk melihat hasil amplifikasi DNA tersebut, maka produk PCR yang
diperoleh, dimigrasikan pada gel agarose (elektroforesis). Umumnya hasil
amplifikasi DNA dengan PCR ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kualitas
dan kuantitas DNA, temperatur annealing primer, kualitas dan konsentrasi
primer, konsentrasi MgCl2, dNTP, enzim DNA polymerase, dan jumlah siklus
PCR yang dilakukan.20
Terdapat beberapa metode yang sering dibutuhkan sebagai tindakan
tambahan pada PCR salah satunya adalah restriction endonuclease digestion.13
Metode restriction endonuclease digestion atau restriction fragment length
polymorphism (RFLP) merupakan metode PCR dengan penambahan enzim
setelah amplifikasi sehingga memungkinkan hasil yang lebih spesifik. Pada salah
satu penelitian, yang menggunakan metode PCR-RFLP untuk identifikasi spesies
dermatofita, didapati hasil yang cukup baik dan konsisten untuk beberapa
spesies.21
2.4
Kerangka Teori
Elemen jamur patogen
(artrokonidia)
Perlekatan ke keratinosit, penetrasi diantara sel-sel
dan tergantung perkembangan respon imun pejamu
Gejala klinis tinea kruris
-
-
Lesi bulat/lonjong, eritema, disertai rasa gatal
Bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif ditandai
dengan adanya papul atau vesikel, bagian tengah
lesi relatif lebih tenang
Membentuk gambaran polisiklis, arsinar atau
sirsiner
Lokasi: pada daerah sela paha, genitalia, daerah
pubis, perineal, dan perianal.
Pemeriksaan laboratorium
Mikroskop langsung
dgn KOH 10%
Histopatologi
Elemen jamur
Kultur jamur
PCR-RFLP
Spesies jamur
Gambar 2.2Diagram kerangka teori
2.5
Kerangka Konsep
Kultur jamur
Spesies jamur
PCR-RFLP
Spesies jamur
Dugaan tinea
kruris
Gambar 2.3Diagram kerangka konsep
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinea Kruris
Tinea kruris adalah dermatofitosis yang dijumpai pada kulit daerah sela
paha, genitalia, daerah pubis, perineal, dan perianal.3,27
2.1.1
Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial diseluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% populasi dunia, dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit
tersering.Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat menyerang semua ras
dan kelompok umur, dan infeksi jamur superfisial ini relatif sering pada negara
tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi eksaserbasi.28
Diantara infeksi jamur superfisial, tinea kruris merupakan dermatofitosis
paling sering kedua di seluruh dunia dan merupakan dermatofitosis terbanyak di
Indonesia termasuk di Medan.3,5-12 Pada pria 3 kali lebih sering dijumpai dari pada
wanita dan lebih sering dijumpai pada dewasa dibandingkan dengan anakanak.3,5,6,8,10,27
2.1.2
Etiologi
Penyebab dermatofitosis dibagi atas 3 genus yaitu Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton.3,4,6,29Terdapat sekitar 100.000 spesies jamur
terdistribusi diseluruh dunia, dan sekitar 40 spesies berbeda yang dapat
menginfeksi manusia.3,4,29Jamur dermatofita mempunyai kemampuan untuk
mendegradasi dan menggunakan keratin.3,4,6,29
Tinea kruris secara umum disebabkan olehT. rubrum dan Epidermophyton
floccosum (E. floccosum),namun dapat juga disebabkan oleh T. mentagrophytes
dan Trichophyton verrucosum (T. verrucosum).3,6 Pada negara yang berbeda maka
spesies penyebab tinea kruris pun akan berbeda, seperti di New Zealand, T.
rubrum dan E. floccosum merupakan penyebab tersering, sedangkan di Amerika
Serikat adalah T. rubrum danT. interdigitale.5,6Penelitian oleh Hajar (1999),
penyebab tinea kruris terbanyak di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan
adalah T. rubrum dan T. mentagrophytes.10
Berdasarkan tempat hidupnya jamur superfisial dibagi atas antropofilik,
zoofilik dan geofilik.2-4,7,30Spesies geofilik merupakan organisme yang terdapat
pada tanah dan secara sporadik menginfeksi manusia biasa dengan cara kontak
langsung dengan tanah. Infeksi oleh organisme ini dapat menyebabkan inflamasi.
Strain Microsporum gypseum (M.gypseum)yang lebih virulen dibanding strain
lain yang terdapat pada tanah, merupakan jenis patogen geofilik yang paling
sering dijumpai menginfeksi manusia.3
Spesies zoofilik biasanya terdapat pada hewan namun dapat menginfeksi
manusia. Hewan domestik dan peliharaan merupakan sumber infeksi pada daerah
perkotaan. Penularan dapat melalui kontak langsung dengan hewan atau kontak
tidak langsung yaitu melalui bulu hewan yang terbawa ke pakaian, bangunan atau
makanan. Daerah yang paling sering terpapar seperti pada kepala, daerah janggot,
wajah dan lengan. Walaupun infeksi pada manusia dengan spesies zoofilik sering
bersifat lebih meradang namun pada hewan dapat tidak kelihatan karena telah
teradaptasi.3
Spesies antrofofilik terdapat pada manusia. Penularan dari manusia ke
manusia melalui kontak langsung atau benda-benda yang telah digunakan oleh
orang yang terinfeksi. Infeksi dengan spesies ini dapat asimtomatik atau
inflamasi.3
2.1.3
Patogenesis
Dermatofita dapat bertahan hidup pada stratum korneum manusia yang
mengandung keratin dan ini merupakan nutrisi yang dibutuhkan oleh dermatofita
tersebut untuk pertumbuhan miselia jamur.3
Elemen terkecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filamen
yang terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding.Dinding sel jamur merupakan
karateristik utama yang membedakan jamur dengan bakteri karena banyak
mengandung substrat nitrogen yang disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam
(organela) terdiri dari nukleus berisi materi genetik, mitokondria, ribosom,
retikulum endoplasmik, lisosom, golgi aparatus dan sentriol dengan fungsi dan
peranannya masing-masing. Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk
anyaman disebut miselium.28
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk
spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang
dibentuk hifa, besarnya antara 1-3µ, biasanya bentuknya bulat, segi empat,
kerucut, atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan
memanjang membentuk satu hifa. Terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual
(gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa
penggabungan).2
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah yaitu perlekatan jamur ke
keratinosit,
penetrasi
diantara
sel,
dan
perkembangan
respon
imun
pejamu.Langkah pertama infeksi dermatofita adalah inokulasi jamur atau
beberapa elemen jamur di kulit. Jamur superfisial harus melewati beberapa
rintangan agar artrokonidia (struktur yang dihasilkan dari fragmentasi sebuah hifa
menjadi sel-sel tersendiri) yang merupakan elemen infeksius, dapat melekat ke
jaringan keratinosit. Jamur harus bertahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi
temperatur dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan spingosin (suatu
amino alkohol yang merupakan bahan utama spingolipid pada mamalia) yang
dihasilkan oleh keratinosit. Selain itu, asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar
sebaseus juga bersifat fungistatik.3,30
Kemudian jamur menjalani fase germinasi dan pembentukan hifa yang
menyebar secara sentrifugal terutama dilapisan bawah stratum korneum. Setelah
miselium melekat, spora akan bertambah banyak di kulit dan berpenetrasi ke
stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dibandingkan dengan proses
deskuamasi. Sejalan dengan penetrasi,jamur akan mensekresikan sejumlah
enzimnya yaitu proteinase, lipase dan musinolitik yang dapat mencerna keratin,
sehingga nutrisi untuk jamur tersedia. Kerusakan stratum korneum, oklusi, trauma
dan maserasi juga memudahkan penetrasi. Mannan jamur pada dinding sel
dermatofita dapat juga menurunkan proliferasi keratinosit. Mekanisme pertahanan
baru muncul apabila lapisan lebih dalam dari epidermis telah dicapai oleh jamur,
mencakup kompetisi terhadap zat besi oleh transferin yang tidak tersaturasi dan
kemungkinan inhibisi pertumbuhan jamur oleh hormon progesteron.3,30
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang
terlibat.3
Keratinosit berperan langsung dalam respon terhadap infeksi dermatofita.
Keratinosit mengekspresikan toll-like receptor (TLR) terutama TLR-2 yang dapat
mengenali patogen (pattern recognation receptor) dan ligand-ligandnya pada
permukaan jamur (seperti pathogen-associated mollecular pattern (PAMPS)).
Interaksi keratinosit dengan dermatofita selanjutnya menghasilkan proliferasi
keratinosit, terjadi gangguan pembentukan keratinosit yang normal dan perubahan
cornified envelope yang menyebabkan perubahan fungsi barier epidermal seperti
meningkatkan transepidermal water loss (TEWL). Selain itu keratinosit (dan
infiltrat mononuklear) melepaskan sejumlah sitokin inflamasi seperti tumor
necrosing factors (TNF)-α, interleukin (IL)-1β, IL-8 dan IL-16 sebagai reaksi
jaringan terhadap inflamasi.30
Pertahanan nonspesifik juga berperan pada infeksi dermatofita. Permukaan
kulit tidak pernah steril, terdapat dermatofita dan bakteri. Interaksi antara bakteri
dan dermatofita belum sepenuhnya diketahui. Beberapa bakteri seperti
Pseudomonas aeruginosa dapat menginhibisi pertumbuhan T. rubrum dan T.
mentagrophytes, mencegah perkembangan tinea dan kemudian berperan dalam
respon imun nonspesifik. Peningkatan proliferasi keratinosit juga dapat
mempercepat deskuamasi elemen jamur. Selain itu transferin dapat menginhibisi
pertumbuhan jamur. Sel-sel pertahanan nonspesifik diperankan oleh neutrofil dan
makrofag yang dapat membunuh atau merusak dermatofita. Kemudian dapat
menarik
komplemen
ke
tempat
infeksi
sebagai
lowmollecular
weight
chemotacticfactors.30-32
Setelah jamur masuk ke kulit, hal ini akan merangsang pembentukan
sistem imun dan sel-sel inflamasi dengan sejumlah mekanisme. Ikatan antara
komponen dermatofita dengan sel dendritik ini dapat merangsang respon imun
spesifik.Respon imun ini tergantung pada spesies dermatofita dan imunitas
pejamu. Spesies dermatofita zoofilik dan geofilik menimbulkan reaksi peradangan
yang lebih kuat dibandingkan dengan spesies antropofilik. Sementara respon imun
pada pejamu tergantung usia, jenis kelamin, status imun dan faktor genetik.
Respon imun seluler dimulai dari sel dendritik epidermal mengenali antigen jamur
kemudian terjadi maturasi sel dendritik, dan dihasilkan IL-12. IL-12 akan
menginduksi sel T dan sel natural killer (NK) untuk memproduksi interferon
(IFN)-γ.Selanjutnya IFN-γ dapat merangsang migrasi, proses fagositosis dan
oxidative killing oleh sel neutrofil dan makrofag. Respon imun humoral juga dapat
ditemukan pada penderita infeksi dermatofita, namun respon imun humoral ini
tidak memiliki efek protektif. Bagaimana peranan imunitas humoral pada infeksi
dermatofita belum diketahui dengan jelas sampai sekarang karenaterbentuknya
antibodi tampaknya tidak melindungi terhadap infeksi dermatofita.3,30-32
2.1.4
Gambaran klinis
Gambaran klinisdijumpai pada kulit daerah sela paha, genitalia, daerah
pubis, perineal dan perianal; dimulai dengan lesi bulat atau lonjong,disertai rasa
gatal. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif ditandai dengan eritema,
adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih
tenang.Lesi bisa melebar dan menyatu dan akhirnya memberi gambaran yang
polisiklis, arsinar atau sirsiner.2-4,6,27,33
Apabila E. floccosum dijumpai sebagai penyebab maka sering terlihat
bersih pada daerah tengah dan terbatas pada lipatan genitokrural dan bagian
medial atas paha. Namun sebaliknya apabila spesies yang dijumpai adalah T.
rubrum maka infeksi sering bergabung meluas ke daerah pubis, perianal, bokong
dan perut bagian bawah dan daerah genital biasanya tidak terlibat.3
2.1.5
Diagnosis banding
Tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan eritrasma,dermatitis
seboroik, prosiasis inversa dan kandidiasis kutis intertriginosa.3,27
2.1.6
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu menegakkan diagnosis
tinea kruris adalah pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit dengan KOH 10%,
kultur
jamur,
histopatologi
danpemeriksaanyang
terbaru
adalah
dengan
menggunakan Polymerase Chain Reaction.2,3,6
Sampel kulit diambil dari kerokan dengan menggunakan skalpel pada tepi
lesi aktif ke arah luar.3 Pada pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit dengan KOH
10%, keratin akan segera dicerna oleh KOH.34 Dermatofita akan tampak bersepta
dan memiliki hifa yang bercabang, namun dengan pemeriksaan mikroskopis ini,
spesiesnya tidak dapat diidentifikasi.3,17,18
Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hemaktosilin dan eosin
(H&E), PAS atau methenamine silver akan memperlihatkan spora dan hifa yang
bercabang.6,14,28 Diagnosis spesifik dengan menemukan adanya neutrofil pada
stratum korneum dan tanda sandwich yaitu terdapatnya elemen jamur yang
tersusun berselang-seling di dalam lapisan stratum korneum.6 Pemeriksaan
histopatologi ini, lebih bermanfaat untuk onikomikosis dan deep mycosis.34
2.2
Pemeriksaan Kultur Jamur
Kultur
jamur
jamur.14,15Pemeriksaan
merupakan
dengan
baku
kultur
emas
jamur
untuk
diagnosis
spesifikasinya
infeksi
dilihat
dari
makroskopis, mikroskopis dan karakteristik metaboliknya. Sabouraud’s dextrose
agar (SDA) merupakan media isolasi yang paling sering digunakan untuk kultur
jamur. Pada media ini dapat juga tumbuh saprofit kontaminan yang dapat
menyamarkan
bentuk
patogen
sebenarnya,
sehingga perlu
ditambahkan
sikloheksamid (0,5 g/l) dan kloramfenikol (0,05 g/l) agar media tersebut dapat
lebih selektif terhadap dermatofita. Media uji dermatofita mengandung indikator
pH merah fenol, dimana akanmenjadi merah apabila terdapat aktivitas proteolitik
dermatofita yang akan meningkatkan pH menjadi 8 atau lebih tinggi namun akan
menjadi merah lembayung bila tumbuh saprofit. Pada nondermatofitamedia akan
berubah menjadi kuning dikarenakan keasaman yang dihasilkannya. Kultur jamur
diinkubasi pada temperatur ruangan (26 0C),kemudian satu minggu dilihat dan
dinilai apakah ada pertumbuhan jamur, ditunggu hingga 4 minggu sebelum
disimpulkan tidak ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan
melalui bentuk koloni, bentuk hifa, dan bentuk spora.2-4,34,35
Gambar 2.1 Karakteristik dermatofita pada media kultur
Dikutip dari kepustakaan 3 sesuai aslinya
Lanjutan gambar 2.1*
*Dikutip dari kepustakaan 3 sesuai aslinya
2.3
Pemeriksaan PCR
PCR adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi doexyribonucleic acid
(DNA) secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis
pada tahun 1985.19,20
Beberapa tahun yang lalu metode molekular ini telah dilakukan untuk
mendeteksi dan mengidentifikasi dermatofita.17,24 Metode ini berkembang
dikarenakan metode konvensional dikatakan lambat dan kurang spesifik.
Penelitian sebelumnya telah dilakukan dengan mengevaluasi penggunaan PCR
pada infeksi jamur dan didapatkan spesifikasi yang cepat dan langsung.
Penggunaan PCR ini tidak bergantung kepada karakteristik morfologi dan
biokemikal dermatofitosis, dikarenakan teknik ini adalah untuk melihat hasil
amplifikasi DNA daridermatofita.24
Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam
jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. PCR merupakan suatu teknik yang
melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi
duplikasi jumlah target DNA double stranded.19
Komponen-komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah cetakan
DNA; sepasang primer yaitu suatu oligonukleotida pendek (potongan pendek)
yang mempunyai urutan nukleotida yang sesuai dengan urutan nukleotida DNA
cetakan; deoxynucleotide triphosphates (dNTPs); buffer PCR; magnesium klorida
(MgCl2) dan enzim DNA polymerase.19,20
Di dalam mesin PCR terjadi sintesis dan amplifikasi yang terdiri dari 3
tahap yaitu (1) denaturasi DNA cetakan; (2) penempelan primer pada cetakan
(annealing) dan (3) pemanjangan primer (extention). Tahap ini merupakan tahap
berulang (siklus), dimana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA.19,20
Pada tahap denaturasi, reaksi PCR terjadi pada suhu tinggi (+ 94 0C)
selama 30-60 detik sehingga DNA double stranded terdenaturasi atau terpisah
menjadi dua single stranded kemudian didinginkan hingga mencapai suhu tertentu
untuk memberikan waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah
tertentu dari target DNA.19,20
Tahap awal sintesis sekuen spesifik DNA secara in vitro dimulai pada
tahap annealing, dimana primer akan menempel pada sekuen komplementer
single stranded DNA cetakan. Hal ini dilakukan pada suhu 45-60 oC selama 60120 detik. Sintesis DNA ini berlangsung dari arah 5’ ke 3’.20 Agar sintesis DNA
dapat berlangsung dengan baik maka reaksi tersebut memerlukan adanya enzim
DNA polymerase, misalnya thermus aquaticus(tag)polymerase dan MgCl2,
sementara kebutuhan energi dan nukleotida terpenuhi dari dNTPs (terdiri dari:
deoxythymin
triphosphates
(dTTP),
deoxyguanin
triphosphates
(dGTP),
deoxyadenin triphosphates (dATP) dan deoxycystein triphosphates (dCTP)).19,20
Aksi sintesis DNA pada tahap ini tergantung pada suhu annealing dari primer
yang digunakan. Suhu annealing primer tersebut ditentukan diantaranya dari
ukuran panjang primer dan kandungan basa (G+C) dari primer yang digunakan.20
Pada tahap extention, umumnya terjadi pada suhu 72 0C selama 60-120
detik, proses sintesis yang telah dimulai dari tempat penempelan primer, terus
berlanjut sampai bertemu dengan sintesis DNA yang dilakukan oleh primer
lainnya dengan arah yang berlawanan pada komplemen stranded DNA template,
sehingga terbentuklah DNA double stranded yang baru.20
Sintesis DNA tersebut akan terus berlanjut melalui tiga tahapan tersebut di
atas secara berulang. Pada akhirnya maka akan diperoleh produk PCR, berupa
sekuen DNA yang diinginkan dalam jumlah yang berlipat ganda. Selanjutnya
produk PCR yang diperoleh dapat disimpan pada suhu 4 0C, sampai saatnya tiba
untuk dianalisis lebih lanjut.20
Untuk melihat hasil amplifikasi DNA tersebut, maka produk PCR yang
diperoleh, dimigrasikan pada gel agarose (elektroforesis). Umumnya hasil
amplifikasi DNA dengan PCR ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kualitas
dan kuantitas DNA, temperatur annealing primer, kualitas dan konsentrasi
primer, konsentrasi MgCl2, dNTP, enzim DNA polymerase, dan jumlah siklus
PCR yang dilakukan.20
Terdapat beberapa metode yang sering dibutuhkan sebagai tindakan
tambahan pada PCR salah satunya adalah restriction endonuclease digestion.13
Metode restriction endonuclease digestion atau restriction fragment length
polymorphism (RFLP) merupakan metode PCR dengan penambahan enzim
setelah amplifikasi sehingga memungkinkan hasil yang lebih spesifik. Pada salah
satu penelitian, yang menggunakan metode PCR-RFLP untuk identifikasi spesies
dermatofita, didapati hasil yang cukup baik dan konsisten untuk beberapa
spesies.21
2.4
Kerangka Teori
Elemen jamur patogen
(artrokonidia)
Perlekatan ke keratinosit, penetrasi diantara sel-sel
dan tergantung perkembangan respon imun pejamu
Gejala klinis tinea kruris
-
-
Lesi bulat/lonjong, eritema, disertai rasa gatal
Bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif ditandai
dengan adanya papul atau vesikel, bagian tengah
lesi relatif lebih tenang
Membentuk gambaran polisiklis, arsinar atau
sirsiner
Lokasi: pada daerah sela paha, genitalia, daerah
pubis, perineal, dan perianal.
Pemeriksaan laboratorium
Mikroskop langsung
dgn KOH 10%
Histopatologi
Elemen jamur
Kultur jamur
PCR-RFLP
Spesies jamur
Gambar 2.2Diagram kerangka teori
2.5
Kerangka Konsep
Kultur jamur
Spesies jamur
PCR-RFLP
Spesies jamur
Dugaan tinea
kruris
Gambar 2.3Diagram kerangka konsep