Formulasi dan Evaluasi Emulgel Tabir Surya dari Oksibenzon dan Oktilmetoksisinamat Menggunakan Kombinasi Tween 80 dan Span 80

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Kulit
Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki

fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan
luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti
pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinasi dan pelepasan selsel yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan
keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya
sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap
tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono dan Latifah, 2007).
Kulit terbagi atas dua lapisan utama, yaitu :
1. Epidermis (kulit ari), sebagai lapisan yang paling kuat
2. Dermis (korium, kutis, kulit jangat)
Dibawah dermis terdapat subkutis atau jaringan lemak di bawah kulit (Tranggono
dan Latifah, 2007).
2.2

Tabir surya

Kosmetik tabir surya dianjurkan di negara-negara yang penuh sinar

matahari. Fungsi tabir surya adalah untuk melindungi kulit dari radiasi ultraviolet
dalam sinar matahari yang dapat menimbulkan berbagai kerusakan pada kulit,
seperti penuaan dini, kekeringan, hiperpigmentasi, sampai kanker kulit
(Tranggono dan Latifah, 2007).
Sediaan tabir surya adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk
maksud membaurkan atau menyerap secara efektif cahaya matahari, terutama

54
Universitas Sumatera Utara

daerah panjang gelombang ultraviolet sehingga dapat mencegah terjadinya
gangguan kulit karena cahaya matahari (Ditjen, POM., 1985).
2.2.1 Sinar ultraviolet
Adapun pembagian sinar ultraviolet berdasarkan panjang gelombang
adalah :
1. Ultraviolet A
Ultraviolet A adalah sinar dengan panjang gelombang antara 320 - 400
nm, dapat menyebabkan warna coklat pada kulit tanpa menimbulkan

kemerahan sebelumnya disebabkan oleh adanya oksidasi melanin.
2. Ultarviolet B
Ultraviolet B adalah sinar dengan panjang gelombang antara 280 - 320 nm,
dapat menimbulkan sengatan surya dan terjadi reaksi pembentukan
melanin.
3. Ultraviolet C
Ultraviolet C adalah sinar dengan panjang gelombang di bawah 280 nm,
dapat merusak jaringan kulit, tetapi sebagian besar telah tersaring lapisan
ozon dalam atmosfer (Ditjen, POM., 1985).
2.2.2 Jenis tabir surya
Adapun jenis tabir surya meliputi :
1. Tabir surya kimia, misalnya PABA, PABA ester, benzofenon, salisilat dan
antranilat, yang dapat mengabsorbsi energi radiasi sinar ultraviolet. Tabir
surya kimia mengabsorbsi hampir 95% radiasi sinar UVB yang dapat
menyebabkan sunburn (eritema dan kerut) namun hampir tidak dapat

55
Universitas Sumatera Utara

menghalangi UVA penyebab direct tanning, kerusakan sel elastin, dan

timbulnya kanker.
2. Tabir surya fisik, misalnya titanium dioksida, Mg silikat, seng oksida, dan
kaolin, yang dapat memantulkan sinar ultraviolet. Tabir surya fisik dapat
menahan UVA maupun UVB (Wasitaatmadja, 1997).
Tabel 2.1 Bahan aktif tabir surya yang diizinkan untuk digunakan
Konsentrasi
Maksimum %
(Amerika Serikat)

Konsentrasi Maksimum
% (Komunitas Ekonomi
Eropa)

Asam aminobenzoat

15

5

Avobenzon


3

5

Sinosat

3

10

Dioksibenzon

3

10

Homosalat

15


10

5

-

10

10

7,5

10

5

5

Oksibenzon


6

10

Padimat O

8

8

Ensulizol
(Asam sulfonat
fenilbenzimidazol)

4

8

Sulisobenzon


10

-

Titanium dioksida

25

-

Trolamin salisilat
(trietanolamin salisilat)

12

-

Zink Oksida


25

-

Bahan aktif tabir surya

Maradimat
(Mentil antranilat)
Oktotrilen (2-etilheksil 2siano-3,3-difenilakrilat)
Oktinosat
(Oktilmetoksisinamat)
Oktisalat (Oktil salisilat)

(Sumber : Rieger, 2000).

56
Universitas Sumatera Utara

Untuk mengoptimalkan kemampuan dari tabir surya sering dilakukan
kombinasi antara tabir surya kimia dan tabir surya fisik, bahkan ada yang

menggunakan beberapa macam tabir surya dalam satu sediaan kosmetika
(Wasitaatmadja, 1997).
Kemampuan menahan sinar ultraviolet dari tabir surya dinilai dalam faktor
proteksi sinar (Sun Protecting Factor/SPF) yaitu perbandingan antara dosis
minimal yang diperlukan untuk menimbulkan eritema pada kulit yang diolesi oleh
tabir surya dengan yang tidak. Nilai SPF ini berkisar antara 0 sampai 100. Pathak
membagi tingkat kemampuan tabir surya sebagai berikut :
1. Minimal, bila SPF antara 2-4, contoh salisilat, antranilat
2. Sedang, bila SPF antara 4-6, contoh sinamat, benzofenon
3. Ekstra, bila SPF antara 6-8, contoh derivate PABA
4. Maksimal, bila SPF antara 8-15, contoh PABA
5. Ultra, bila SPF lebih dari 15, contoh kombinasi PABA, non-PABA,
dan fisik (Wasitaatmadja, 1997).
2.3

SPF (Sun Protecting Factor)
Efektivitas dari suatu sediaan tabir surya dapat ditunjukkan salah satunya

adalah dengan nilai Sun Protecting Factor (SPF), yang didefenisikan sebagai
jumlah energi UVB yang dibutuhkan untuk mencapai minimal erythema dose

(MED) pada kulit yang dilindungi oleh suatu tabir surya, dibagi dengan jumlah
energi UVB yang dibutuhkan untuk mencapai MED pada kulit yang tidak
diberikan perlindungan (Dutra, et al., 2004).
Secara sederhana SPF dapat dirumuskan sebagai berikut :
SPF

dosis minimal erythema pada kulit dengan tabir surya
dosis minimal erythema pada kulit tanpa tabir surya

57
Universitas Sumatera Utara

Minimal erythema dose (MED) didefenisikan sebagai jangka waktu
terendah atau dosis radiasi sinar UV yang dibutuhkan untuk menyebabkan
terjadinya erythema pada kulit yang tidak diberikan perlindungan (Dutra, et al.,
2004).
Mansur et al (1986), mengembangkan suatu persamaan matematis untuk
mengukur nilai SPF secara in vitro dengan menggunakan spektrofotometer.
Persamaannya adalah sebagai berikut :


Dimana :

EE

= Spektrum efek eritemal

I

= Intensitas spektrum sinar

Abs

= Serapan produk tabir surya

CF

= Faktor koreksi

Tabel 2.2 Ketetapan nilai EE x I (Sayre, et al., 1979)
Panjang gelombang Nilai EE x I
(nm)
290
0,0150
295
0,0817
300
0,2874
305
0,3278
310
0,1864
315
0,0839
320
0,0180

2.4

Efek Sinar Matahari Terhadap Kulit
Penyinaran matahari mempunyai dua efek, baik yang menguntungkan

maupun yang merugikan, tergantung dari frekuensi dan lamanya sinar matahari
mengenai kulit, intensitas sinar matahari, serta aktivitas seseorang. Efek nyata
penyinaran matahari, pertama-tama adalah erythema kulit yang diikuti oleh warna

58
Universitas Sumatera Utara

cokelat kemerahan. Pada dasarnya timbulnya warna cokelat kemerahan
merupakan reaksi perlindungan terhadap kerusakan akibat sinar matahari (Ditjen,
POM., 1985).
Penyinaran matahari yang sedang, secara psikologi dan fisiologi akan
menimbulkan rasa nyaman dan sehat, dapat merangsang peredaran darah serta
meningkatkan pembentukan hemoglobin (Ditjen, POM., 1985).
Penyinaran matahari mempunyai efek yang merugikan, baik yang singkat
maupun yang lanjut. Penyinaran matahari yang singkat pada kulit dapat
menyebabkan kerusakan epidermis sementara, gejalanya biasa disebut sengatan
surya. Sinar matahari dapat menyebabkan erythema ringan hingga luka bakar
yang nyeri pada kasus yang lebih parah. Umumnya, erythema tersebut terjadi 2-3
jam setelah sengatan surya. Penyinaran yang lama akan mengakibatkan perubahan
degeneratif pada jaringan pengikat dalam korium. Keadaan tersebut menyebabkan
kulit akan menebal, kehilangan kekenyalan sehingga kulit terlihat keriput
disebabkan karena kulit kehilangan kapasitas ikat-air (Ditjen, POM., 1985).
2.5

Oksibenzon

Gambar 2.1 Rumus bangun Oksibenzon (Sumber : USP 26-NF 21, 2003).
Rumus Molekul

: C14H12O3

Berat Molekul

: 228,25 g/mol

Kelarutan

: Larut dalam minyak (lipofilik) (Barel, et al., 2001).

59
Universitas Sumatera Utara

Oksibenzon merupakan turunan dari benzofenon. Tabir surya benzofenon
memiliki absorbansi pada panjang gelombang lebih besar dari 320 nm dan
digolongkan sebagai tabir surya UVA. Oksibenzon ini banyak digunakan dengan
konsentrasi mencapai 10% dengan dikombinasi dengan tabir surya UVB untuk
memberikan spektrum perlindungan (Butler, 2000). Menurut FDA (American
Standard) penggunaan oksibenzon mencapai konsentrasi maksimal hanya 6%
(Barel, et al., 2001).
2.6

Oktilmetoksisinamat

Gambar 2.2 Rumus bangun Oktilmetoksisinamat (Sumber : Budavari,
2001).
Rumus Molekul

: C18H26O3

Berat Molekul

: 290,40 g/mol

Kelarutan

: Larut dalam minyak (lipofilik) (Barel, et al., 2001).

Oktilmetokisinamat adalah bahan yang paling banyak digunakan dalam
sediaan tabir surya. Oktilmetoksisinamat tergolong dalam tabir surya kimia yang
melindungi kulit dengan cara menyerap energi dari radiasi UVB (Barel, et al.,
2001).
2.7

HPMC (Hydroxy Propyl Methyl Cellulose)
Dalam suatu formula HPMC digunakan sekitar 0,25 – 5%. Selain sebagai

pembuat gel, HPMC juga digunakan sebagai emulsifier, suspending agent, bahan
pengental, dan bahan penstabil untuk sediaan topikal gel. Sebagai pelindung

60
Universitas Sumatera Utara

koloid, HPMC dapat mencegah droplet dan partikel dari koalesensi dan
aglomerasi, dan juga menghambat terjadinya sedimentasi (Rowe, et al., 2009).
2.8

Tween 80

Gambar 2.3 Rumus bangun Tween 80 (Sumber : Rowe, et al., 2009).
Rumus Molekul

: C64H124O26

Berat Molekul

: 1310

Nama Lain

: Polioksietilen (20) sorbitan monooleat

pH

: 6,0 – 8,0

Nilai HLB

: 15,0

Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan agak pahit.
Konsentrasi Tween 80 yang digunakan untuk emulsi minyak dalam air jika
dikombinasikan dengan emulsifier hidrofobik adalah 1-10%. Tween 80 larut
dalam air dan etanol (95%), namun tidak larut dalam mineral oil dan vegetable oil
(Rowe, et al., 2009).
2.9

Span 80

Gambar 2.4 Rumus bangun Span 80 (Rowe, et al., 2009).
Rumus Molekul

: C24H44O6

61
Universitas Sumatera Utara

Berat Molekul

: 429

Nama lain

: Sorbitan monooleat

pH

: < 8,0

Nilai HLB

: 4,3

Span 80 merupakan ester sorbitan yang secara luas digunakan dalam
kosmetik, produk makanan, dan formulasi sebagai surfaktan nonionik lipofilik.
Ester sorbitan secara umum dalam formulasi berfungsi sebagai emulsifying agent
dalam pembuatan krim, emulsi, dan salep untuk penggunaan topikal. Ketika
digunakan sebagai emulsifying tunggal, ester sorbitan menghasilkan emulsi air
dalam minyak yang stabil dan mikroemulsi, namun ester sorbitan lebih sering
digunakan dalam kombinasi bersama bermacam-macam proporsi polisorbate
untuk menghasilkan emulsi atau krim, baik tipe m/a atau a/m. Konsentrasi Span
80 yang digunakan untuk emulsi minyak dalam air jika dikombinasikan dengan
emulsifier hidrofilik adalah 1-10% (Rowe, et al., 2009).
2.10

Emulgel
Emulgel merupakan campuran emulsi dan gel. Pada kenyataannya

keberadaan bahan pembentuk gel pada fase air mengubah emulsi sederhana
menjadi emulgel. Sistem minyak dalam air dalam emulgel digunakan untuk
menjerat obat lipofilik sedangkan obat hidrofilik dikemas pada sistem air dalam
minyak (Haneefa, et al., 2013).
Suatu emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik
yang mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, dimana satu
diantaranya didispersikan sebagai bola-bola dalam fase cair lain. Sistem dibuat
stabil dengan adanya suatu zat pengemulsi. Baik fase terdispers atau fase kontinyu

62
Universitas Sumatera Utara

bisa berkisar dalam konsistensi dari suatu cairan sampai suatu massa setengah
padat (semisolid). Diameter partikel dari fase terdispersi umumnya berkisar dari
0,1-10 µm, walaupun partikel sekecil 0,01 µm dan sebesar 100 µm bukan tidak
biasa dalam beberapa sediaan (Martin, dkk., 1993).
Dibandingkan sediaan lain, emulgel memiliki beberapa kelebihan, yaitu :
1. Obat yang bersifat hidrofobik dapat dengan mudah digabungkan ke dalam
gel dengan adanya emulsi tipe m/a. Kebanyakan obat yang bersifat
hidrofobik tidak dapat menyatu secara langsung ke dalam basis gel karena
kelarutannya yang bertindak sebagai penghalang. Obat hidrofobik
dilarutkan dalam fase minyak dan kemudian globul minyak didispersikan
ke dalam fase air sehingga membentuk emulsi m/a yang kemudian emulsi
ini akan dicampurkan ke dalam basis gel.
2. Stabilitas yang lebih baik. Sediaan transdermal/topikal lain memiliki
stabilitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan emulgel. Misalnya
salep dapat menjadi tengik karena menggunakan basis berminyak.
3. Kapasitas penyerapan obat lebih baik bila dibandingkan dengan sistem
partikulat seperti niosom dan liposom. Niosom dan liposom yang
berukuran nano dan merupakan struktur vesikular dapat menyebabkan
kebocoran dan menyebabkan efisiensi penyerapan obat yang lebih rendah.
Sedangkan gel yang merupakan konstituen dengan jaringan yang lebih
luas dapat menyerap obat lebih baik.
4. Memungkinkan biaya produksi yang lebih rendah. Pembuatan emulgel
terdiri dari tahapan yang pendek dan sederhana sehingga memungkinkan
untuk diproduksi. Tidak ada alat khusus yang dibutuhkan untuk

63
Universitas Sumatera Utara

memproduksi emulgel. Selain itu, bahan yang digunakan merupakan
bahan yang mudah didapat dan ekonomis.
5. Tidak memerlukan proses sonikasi yang intensif. Dalam membuat molekul
vesikular memerlukan sonikasi yang dapat menyebabkan kebocoran atau
degradasi obat. Namun, permasalahan ini tidak ditemui ketika membuat
emulgel karena tidak memerlukan sonikasi (Haneefa, et al., 2013).
2.11

HLB (Hydrophile-Lipophile Balance)
HLB pada emulsifier merupakan pernyataan keseimbangan ukuran dan

kekuatan dari gugus hidrofilik (polar) dan gugus lipofilik (nonpolar) dari
emulsifier. Seluruh emulsifier terdiri dari molekul yang terdapat kombinasi
keduanya yaitu gugus hidrofil dan lipofil. Emulsifier yang bersifat lipofilik
ditandai dengan angka HLB yang rendah (dibawah 9) dan emulsifier yang bersifat
hidrofilik ditandai dengan angka HLB yang tinggi (diatas 11) (ICI Americas,
1976).
Adapun

fungsi

surfaktan

yang

ditetapkan

berdasarkan

HLB

dikelompokkan menjadi :
Tabel 2.3 Aktivitas dan harga HLB surfaktan
Aktivitas
Antibusa
Pengemulsi (a/m)
Zat pembasah
Pengemulsi (m/a)
Pelarut
Detergen
(Sumber : Ansel, 2008).

HLB
1 sampai 3
3 sampai 6
7 sampai 9
8 sampai 18
15 sampai 20
13 sampai 15

Dalam suatu sistem HLB, harga HLB juga ditetapkan untuk minyakminyak dari zat-zat yang seperti minyak. Dengan menggunakan dasar HLB dalam

64
Universitas Sumatera Utara

penyiapan suatu emulsi, seseorang dapat memilih zat pengemulsi yang
mempunyai harga HLB sama atau hampir sama sebagai fase minyak dari emulsi
yang dimaksud.
2.12

Teori Emulsifkasi
Tidak ada teori emulsifikasi yang umum, karena emulsi dapat dibuat

dengan menggunakan beberapa tipe zat pengemulsi yang masing-masing berbeda
bergantung pada cara kerjanya dengan prinsip yang berbeda untuk mencapai suatu
produk yang stabil (Martin, dkk., 1993).
Zat pengemulsi bisa dibagi menjadi 3 golongan sebagai berikut :
1. Zat-zat yang aktif pada permukaan yang teradsorpsi pada antarmuka
minyak/air membentuk lapisan monomolekuler dan mengurangi
tegangan antarmuka.
2. Koloida hidrofilik, yang mempunyai suatu lapisan multimolekuler
sekitar tetesan-tetesan terdispers dari minyak dalam suatu emulsi o/w.
3. Partikel-partikel padat yang terbagi halus, yang diadsorpsi pada batas
antarmuka dua fase cair yang tidak bercampur dan membentuk suatu
lapisan partikel di sekitar bola-bola terdispers (Martin, dkk., 1993).
2.12.1 Adsorpsi monomolekular
Zat yang aktif pada permukaan, mengurangi tegangan antarmuka karena
adsorpsinya pada batas minyak/air membentuk lapisan-lapisan monomolekular.
Pengurangan energi bebas permukaan kemungkinan bukan merupakan faktor
yang termasuk utama. Faktor yang lebih bermakna adalah kenyataan bahwa
tetesan-tetesan terdispers dikelilingi oleh suatu lapisan monolayer yang saling
melekat yang membantu mencegah terjadinya pengelompokan antara dua tetesan

65
Universitas Sumatera Utara

ketika kedua tetesan tersebut saling mendekat. Idealnya, lapisan seperti itu harus
fleksibel, sehingga ia sanggup terbentuk kembali dengan cepat jika pecah atau
diganggu. Suatu efek tambahan yang mendorong terjadinya kestabilan adalah
adanya suatu muatan permukaan yang akan menyebabkan tolak-menolak antar
partikel yang berdekatan (Martin, dkk., 1993).
Tipe emulsi yang dihasilkan, o/w atau w/o, terutama bergantung pada sifat
zat pengemulsi. Karakteristik ini dikenal sebagai keseimbangan hidrofil-lipofil
(Hydrophile-Lipophile Balance) yakni sifat polar – nonpolar dari pengemulsi.
Kenyataannya surfaktan adalah suatu pengemulsi, zat pembasah, detergen atau zat
penstabil (Martin, dkk., 1993).

Gambar 2.5 Gambaran skematis dari tetesan minyak dalam suatu emulsi minyakair menunjukkan orientasi molekul Tween dan Span pada antarmuka
(Martin, dkk., 1993).
Dalam praktek, penggunaan pengemulsi kombinasi dalam pembuatan
emulsi saat ini lebih sering dibandingkan dengan penggunaan zat tunggal. AtlasICI merekomendasikan bahwa Tween hidrofilik dikombinasi dengan suatu Span
lipofilik, dan memvariasikan perbandingan-perbandingan tersebut sedemikian

66
Universitas Sumatera Utara

rupa sehingga menghasilkan emulsi o/w atau w/o yang diinginkan. Boyd et al
membicarakan gabungan molekular dari Tween 40 dan Span 80 dalam
menghasilkan emulsi. Dalam gambar 2.5, bagian hidrokarbon dari molekul Span
80 (sorbitan mono-oleat) berada dalam bola minyak dan radikal sorbitan berada
dalam fase air. Bagian kepala sorbitan dari molekul-molekul Span mencegah ekor
hidrokarbon dari penggabungan yang erat dalam fase minyak. Bila Tween 40
(polioksietilen (20) sorbitan monopalmitat) ditambahkan, ia mengarah pada batas
sedemikian rupa sehingga sebagian dari ekor hidrokarbon ada dalam fase minyak.,
dan dari rantai tersebut bersama-sama dengan cincin sorbitan dan rantai
hidrokarbon dari molekul Tween 40 berada dalam bola minyak antara rantairantai Span 80, dan penyusunan ini menghasilkan atraksi (gaya tarik-menarik)
Van Der Waals yang efektif (Martin, dkk., 1993).
2.12.2 Adsorpsi molekular
Koloida liofilik berhidrat telah digunakan sejak bertahun-tahun sebagai zat
pengemulsi, walaupun penggunaannya menurun dikarenakan banyaknya surfaktan
sintetik yang ada sekarang. Artinya koloid liofilik ini bisa dianggap seperti zat
aktif permukaan karena tampak pada batas antarmuka minyak/air. Tetapi zat ini
berbeda dari zat aktif permukaan sintetis dalam hal (a) tidak menyebabkan
menurunnya tegangan antarmuka yang bermakna dan (b) membentuk suatu
lapisan multimolekular. Bekerjanya sebagai zat pengemulsi terutama karena efek
yang kedua ini, karena lapisan-lapisan yang terbentuk tersebut kuat dan
menghambat terjadinya penggabungan. Karena zat pengemulsi yang membentuk
lapisan multilayer di sekitar tetesan selalu hidrofilik, maka zat ini cenderung
untuk membentuk emulsi o/w (Sinko, 2002).

67
Universitas Sumatera Utara

2.12.3 Adsorpsi partikel padat
Partikel-partikel padat yang terbagi halus yang dibasahi sampai derajat
tertentu oleh minyak dan air, dapat bekerja sebagai zat pengemulsi. Hal ini
disebabkan partikel padat tersebut terkonsentrasi pada antarmuka tempat partikel
tersebut menghasilkan suatu selaput partikulat di sekitar tetesan terdispersi
sehingga dapat mencegah terjadinya penggabungan. Serbuk yang mudah dibasahi
oleh air akan membentuk emulsi tipe o/w, sedangkan serbuk yang mudah dibasahi
oleh minyak akan membentuk emulsi w/o (Martin, dkk., 1993).
2.13

Stabilitas Emulsi
Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase

dalam, tidak adanya creaming, dan memberikan penampilan, bau, warna dan sifatsifat fisik lainnya yang baik (Martin, dkk., 1993).
Menurut persamaan Stokes, laju pemisahan dari fase terdispers dari suatu
emulsi dapat dihubungkan dengan faktor-faktor seperti, ukuran partikel dari fase
terdipers, perbedaan dalam kerapatan antarfase, dan viskositas fase luar. Perlu
diingat bahwa laju pemisahan ditingkatkan oleh makin besarnya ukuran partikel
fase dalam, makin besarnya perbedaan kerapatan antara kedua fase, dan
berkurangnya viskositas dari fase luar, oleh karena itu untuk meningkatkan
stabilitas suatu emulsi, bulatan atau ukuran partikel harus dibuat sehalus mungkin,
perbedaan fase terdispers dan fase luar harus sekecil mungkin, dan viskositas fase
luar harus cukup tinggi (Ansel, 2008).
2.14

Ketidakstabilan Emulsi
Beberapa peneliti mendefenisikan ketidakstabilan suatu emulsi hanya

dalam hal terbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya dari

68
Universitas Sumatera Utara

produk. Creaming yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase
dalam, kadang tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda kestabilan. Dalam
pertimbangan ini, ketidakstabilan dari emulsi farmasi digolongkan sebagai
berikut:
a.

Flokulasi dan creaming
Jika fase terdispersi kurang rapat dibandingkan fase kontinu, yang

merupakan hal umum pada emulsi o/w, kecepatan sedimentasi menjadi negatif,
yakni dihasilkannya creaming yang mengarah ke atas. Jika fase dalam lebih berat
dari fase luar, bola-bola akan mengendap, fenomena ini sering terdapat pada
emulsi tipe w/o dimana fase dalamnya lebih rapat dari pada fase kontinu minyak.
Efek ini dikenal sebagai creaming yang mengarah ke bawah. Makin besar
perbedaan antara kerapatan dari kedua fase tersebut, makin besar bola-bola
minyak dan makin menurun viskositas dari fase luar, sehingga laju creaming
makin besar (Martin, dkk., 1993).
b.

Penggabungan dan Pemecahan
Creaming harus dilihat secara terpisah dari pemecahan, karena creaming

merupakan suatu proses bolak-balik, sedangkan pemecahan merupakan proses
searah. Krim yang sudah menggumpal bisa didispersikan kembali dengan mudah,
dan dapat terbentuk kembali suatu campuran yang homogen dari suatu emulsi
yang membentuk krim dengan pengocokan, karena bola-bola minyak masih
dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi. Jika terjadi
pemecahan, pencampuran biasa tidak bisa mensuspensikan kembali bola-bola
tersebut dalam suatu bentuk emulsi yang stabil, karena lapisan yang mengelilingi

69
Universitas Sumatera Utara

partikel-partikel tersebut telah dirusak dan minyak cenderung untuk bergabung
(Martin, dkk., 1993).
c.

Inversi fase
Jika dikontrol dengan baik selama pembuatan emulsi, inversi fase sering

menghasilkan produk yang lebih bagus, tetapi jika tidak dapat dikontrol selama
pembuatan atau karena faktor lain setelah emulsi terbentuk, inversi fase dapat
menyebabkan masalah yang besar (Sinko, 2002).
Apabila konsentrasi fase terdispersi terletak antara 30 – 60% maka fase
terdispersi terletak pada range stabil emulsi yang tidak menyebabkan inversi. Jika
jumlah fase terdispersi meningkat sampai 74% dari total volume maka dapat
terjadi inversi fase (Aulton, et al., 1990).
2.15

Analisa Ukuran Partikel
Mikromimetik adalah ilmu dan teknologi tentang partikel kecil, salah

satunya adalah partikel. Dalam bidang kefarmasian terdapat beberapa informasi
yang perlu diperoleh dari partikel, yaitu bentuk dan luas permukaan partikel serta
ukuran partikel. Data tentang ukuran partikel diperoleh dalam diameter partikel
dan distribusi diameter partikel, sedangkan bentuk partikel memberi gambaran
tentang luas permukaan spesifik partikel dan teksturnya (Martin, dkk., 1993).
Metode

mikroskopik

merupakan

metode

sederhana

yang

hanya

menggunakan satu alat yaitu mikroskop yang bukan merupakan alat yang rumit
dan memerlukan penanganan khusus. Kerugian dari metode mikroskopik ini
adalah bahwa garis tengah yang diperoleh hanya dua dimensi dari partikel
tersebut, yaitu diameter. Selain itu jumlah partikel yang harus dihitung 300-500

70
Universitas Sumatera Utara

partikel agar mendapatkan suatu perkiraan yang baik dari distribusi, sehingga
metode ini membutuhkan waktu dan ketelitian (Martin, dkk., 1993).
Menurut metode mikroskopik, suatu emulsi atau suspensi, diencerkan atau
tidak diencerkan, diletakkan pada suatu kaca objek dan ditempatkan pada plat
mekanik. Lensa mata mikroskop diatur sedemikian rupa dengan mikrometer
sehingga ukuran partikel dapat diperkirakan. Medan pandang dapat diproyeksikan
ke sebuah layar sehingga partikel-partikel dapat lebih mudah diukur, atau gambar
dapat diambil dari kaca objek yang telah disiapkan dan diproyeksikan pada layar
untuk pengukuran (Sinko, 2002).
Setiap kumpulan partikel biasanya berupa polidispersi. Oleh sebab itu,
perlu untuk mengetahui tidak hanya ukuran suatu partikel tertentu, tetapi juga
jumlah partikel berukuran sama yang terdapat dalam sampel. Jadi, kita
membutuhkan suatu perkiraan kisaran ukuran yang ada dan banyaknya atau berat
fraksi setiap ukuran partikel atau disebut juga dengan distribusi ukuran partikel.
Berdasarkan distribusi partikel ini kita dapat menghitung ukuran partikel rerata
untuk sampel tersebut (Sinko, 2002).

71
Universitas Sumatera Utara