Gambaran Karakteristik Tuberkulosis Paru pada Pasien Rawat Inap Diabetes Mellitus Tipe 2 di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2014
21
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Diabetes Melitus Tipe 2
2.1.1. Definisi Diabetes Melitus tipe 2
Menurut International Diabetes Federation-6 (IDF-6) tahun 2013,
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik tubuh tidak dapat menghasilkan cukup dari hormon insulin atau tidak
dapat menggunakan insulin secara efektif. Insulin bertindak sebagai kunci yang
memungkinkan sel-sel tubuh mengambil glukosa dan menggunakannya sebagai
energi (IDF-6, 2013). Diabetes Melitus tipe 2 merupakan kelompok kelainan
dengan karakteristik seperti resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan
meningkatnya produksi glukosa. DM tipe 2 didahului dengan suatu periode
homeostasis glukosa yang abnormal yaitu impaired fasting glucose (IFG) atau
impaired glucose tolerance (IGT) (Powers, 2005).
2.1.2. Patogenesis
Diabetes Melitus tipe 2, lebih sering terjadi daripada tipe 1. Pada
kebanyakan kasus, onset Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di atas umur 30 tahun,
seringkali di antara umur 50 dan 60 tahun. Akan tetapi, akhir-akhir ini dijumpai
peningkatan kasus yang terjadi pada individu yang lebih muda. Organ tubuh
berperan penting dalam mengatur konsentrasi glukosa darah yaitu: sel beta
pankreas, hati, dan otot. Dalam keadaan normal insulin senantiasa bekerja
mempertahankan konsentrasi glukosa plasma agar selalu dalam batas normal pada
saat puasa maupun sesudah puasa (Daily, 2009). Obesitas, resistensi insulin, dan
sindroma metabolik biasanya mengawali perkembangan Diabetes Melitus tipe 2.
Hiperinsulinemia merupakan karakteristik bagi penderita DM tipe 2, hal ini terjadi
sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas
jaringan terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal
sebagai resistensi insulin (Guyton & Hall, 2012).
Universitas Sumatera Utara
22
Resistensi insulin merupakan bagian dari serangkaian kelainan yang
disebut metabolic syndrome. Beberapa gambaran sindrom metabolik meliputi: (1)
obesitas; (2) resistensi insulin; (3) hiperglikemia; (4) abnormalitas lipid; dan (5)
hipertensi.
Penurunan
sensitivitas
insulin
menganggu
penggunaan
dan
penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan
merangsang
peningkatan
sekresi
insulin
sebagai
upaya
kompensasi.
Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa biasanya
terjadi secara bertahap, yang dimulai dengan peningkatan berat badan dan
obesitas. Akan tetapi, mekanisme antara obesitas dan resistensi insulin belum
pasti. Kemungkinan lain terjadinya Diabetes Melitus tipe 2 adalah sel jaringan
tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin, sehingga
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran
darah. Keadaan ini umumnya terjadi pada pasien yang gemuk atau mengalami
obesitas (Putri, 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa reseptor insulin pada orang
obesitas lebih sedikit. Selain obesitas, masih banyak faktor yang dapat
menimbulkan resistensi insulin ( Tabel 2.1.).
Tabel 2.1. Faktor Penyebab Resistensi Insulin
No. Penyebab
1.
Obesitas/overweight (terutama akumulasi jaringan adiposa di abdomen)
2.
Kelebihan glukokortikoid (Cushing Syndrome atau terapi dengan
steroid)
3.
Kelebihan hormon pertumbuhan (akromegali)
4.
Kehamilan (diabetes gestasional)
5.
Penyakit ovarium polikistik
6.
Lipodistrofi ( genetic, acquired, akumulasi lemak di hati)
7.
Auto antibodi terhadap reseptor insulin
8.
Mutasi reseptor insulin
9.
Mutasi peroxisome proliferators’s activator reseptor γ (PPAR )
10. Mutasi yang menyebabkan obesitas genetik (misalnya mutasi reseptor
melanokortin)
11. Hemokromatosis (akumulasi zat besi di jaringan)
Sumber: Guyton & Hall, 2012.
Universitas Sumatera Utara
23
2.1.3. Faktor Risiko
Faktor risiko merupakan informasi yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi penyakit Diabetes Melitus. Departemen Kesehatan RI membagi
faktor risiko DM menjadi 2, yaitu :
1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Berat badan yang berlebihan (BB>120% BB ideal atau IMT 23 kg/m3)
b. Ratio lingkar pinggul
c. Aktifitas fisik yang kurang
d. Hipertensi dan dislipidemia
e. Riwayat penyakit kardiovaskular
f. Konsumsi makanan
2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Riwayat keluarga DM
b. Umur
c. Riwayat ibu menderita diabetes gestasional
d. Riwayat berat badan lahir rendah (200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥1β6 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat
dilihat pada gambar 1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat
dilihat pada Tabel 2.3. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal
atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
Universitas Sumatera Utara
27
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gulah darah 2 jam 2 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak napas
d. Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
(Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2006).
2) Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
3) Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
(Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2006).
2.2.5. Klasifikasi Tuberkulosis
Di
dalam
Pedoman
Nasional
Pengendalian
Tuberkulosis
2014,
Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit, riwayat
pengobatan sebelumya, hasil pemeriksaan uji kepekaan obat, dan status HIV.
Universitas Sumatera Utara
35
A. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena/lokasi anatomi dari
penyakit:
1) Tuberkulosis Paru.
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Pasien yang
menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan
sebagai pasien TB paru (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
2) Tuberkulosis ekstra paru.
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar
limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang. Diagnosis
TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
B. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari
1 bulan (< dari 28 dosis) (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari β8 dosis) (Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh : adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati, namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Universitas Sumatera Utara
36
C.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien di sini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
1) Mono resistant (TB MR): resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,2014).
2) Poli resistant (TB PR): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan (Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
3) Multi drug resistant (TB MDR): resisten terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
2014).
4) Extensive drug resistant (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resisten terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
5) Resistan Rifampisin (TB RR): resisten terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip
(tes cepat) atau metode fenotip (konvensional) (Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, 2014).
2.2.6. Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi – sewaktu (SPS).
2) Diagnosis
TB
Paru
pada
orang
dewasa
ditegakkan
dengan
ditemukannya kuman TB (bakteri Tahan Asam). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Universitas Sumatera Utara
37
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru pada
gambar berikut
Gambar 2.2. Alur Diagnostik Tuberkulosis Paru
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2007.
2.2.7. Penatalaksanaan
Pengobatan TB meliputi 2 tahap, yaitu:
1. Tahap awal : pengobatan diberikan setiap hari pada semua pasien baru.
Minimal 2 bulan dan bertujuan untuk mengurangi jumlah kuman secara efektif.
Universitas Sumatera Utara
38
2. Tahap lanjut : tahap ini penting untuk membunuh sisa kuman dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia (Tabel 3.1) diberikan minimal 6 bulan dengan
kombinasi tertentu sesuai indikasi:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : TB paru terkonfirmasi
bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis, dan TB ekstra paru.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Paduan OAT ini untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya : pasien kambuh, pasien gagal pengobatan, dan pasien yang
putus berobat.
c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR.
d. Obat yang digunakan untuk pasien TB resisten di Indonesia adalah OAT
lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etiomide,
Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid
dan etambutol.
Tabel 2.6. Daftar Obat Anti Tuberkulosis dan Efek Samping
Jenis
Isoniazid (H)
Sifat
Bakterisidal
Efek Samping
Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang
Rifampisin (R)
Bakterisidal
Flu Syndrome, gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak
nafas,anemia hemolitik
Pirazinamid (Z)
Bakterisidal
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati, gout artritis
Streptomisin (S) Bakterisidal
Nyeri di tempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopenia
Etambutol (E)
Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis
perifer.
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014.
Universitas Sumatera Utara
39
2.3.
Hubungan Kejadian Tuberkulosis pada Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan salah satu faktor risiko meningkatnya
kejadian Tuberkulosis Paru. Peningkatan prevalensi DM di Indonesia disertai
dengan peningkatan prevalensi Tuberkulosis Paru. Peningkatan prevalensi ini
cenderung lebih tinggi seiring dengan bertambahnya usia. Dalam hal manifestasi
klinis, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara pasien TB paru
yang juga menderita DM dengan yang tidak DM, hanya saja gejala yang muncul
cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk pada yang menderita
DM. Namun dari gambaran radiologi dan bakteriologi, kedua jenis pasien dengan
TB ini tidak ada yang lebih buruk dibandingkan satu sama lain. Prinsip
pengobatan DM pada TB atau non TB tidak berbeda, tetapi harus diperhatikan
adanya efek samping dan interaksi antara antituberkulosis dan obat oral untuk
DM. Pengontrolan gula darah yang baik merupakan hal terpenting dan utama
yang harus diperhatikan demi keberhasilan pengobatan TB paru pada pasien DM
(Cahyadi & Venty, 2011).
Diabetes Melitus tipe 2 dengan kadar gula darah yang tidak terkendali
memiliki risiko mengalami komplikasi lebih besar daripada pasien Diabetes
Melitus tipe 2 dengan kadar gula darah yang terkendali. Ada berbagai komplikasi
yang mungkin terjadi pada pasien diabetes, salah satunya komplikasi pada sistem
pernapasan. Pasien DM tipe 2 lebih mudah terserang infeksi Tuberkulosis Paru
dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara
sosioekonomi cukup. Diabetes tipe 2 memperberat infeksi paru, demikian pula
sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014).
Screening merupakan salah satu cara efektif yang digunakan untuk
mengidentifikasi pasien Diabetes Melitus dengan penyakit Tuberkulosis Paru.
Skrining proaktif untuk TB sangat dianjurkan dilakukan di daerah yang angka
kejadian Diabetes Melitus dan penyakit imunosupresif lainnya. Hal ini karena
tuberkulosis subklinis sering terjadi pada pasien dengan infeksi HIV atau penyakit
yang tidak menular (misalnya, Diabetes Melitus dan penyakit paru kronis yang
berhubungan dengan merokok), namun sering tidak teridentifikasi dengan baik
(Zumla et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara
40
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Radboud University Nijmegen
Medical Center, ditemukan bahwa 40 % komplikasi tuberkulosis disebabkan oleh
penyakit Diabetes Melitus. Kondisi ini terjadi diduga terkait kondisi imunitas
yang menurun akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan juga
menyebabkan produksi interferon-gamma yang penting untuk pertahanan tubuh
menjadi menurun. Pada penelitian hewan coba dengan menggunakan tikus, tikus
mengalami diabetes yang kemudian mengalami infeksi TB memiliki penurunan
fungsi makrofag alveolar (Alisjahbana et al., 2006).
Penelitian cohort yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat tahun
1930 juga mendukung hipotesis bahwa penderita diabetes memiliki risiko 3-4 kali
lebih besar mengalami komplikasi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Sebuah
studi case-control yang dilakukan di Mexico melaporkan bahwa daerah yang
endemik diabetes memiliki risiko mengalami penyakit tuberkulosis 6,8 kali
dibandingkan dengan daerah yang tidak endemik tuberkulosis. Dan suatu studi
prospektif yang dilakukan di Korea, Eropa, dan Amerika Serikat menunjukkan
bahwa pasien yang mengalami Diabetes Melitus disertai tuberkulosis memiliki
umur yang relatif muda dan kondisi tubuh yang tidak gemuk (Alisjahbana et al.,
2006).
Mekanisme terjadinya komplikasi Tuberkulosis Paru pada pasien Diabetes
Melitus sampai saat ini belum teridentifikasi pasti. Namun, beberapa penelitian
telah dilakukan mengenai kondisi hiperglikemia pada pasien Diabetes Melitus
dengan produksi sitokin dan aktivasi makrofag alveolar. Dalam penelitian
Radboud University Medical Centre, ditemukan bahwa kondisi hiperglikemia
mempengaruhi monosit tetapi tidak sel T. Produksi sitokin juga dipengaruhi oleh
kadar gula darah yang tinggi dan tidak terkontrol. Terjadi peningkatan produksi
TNF-α, IL-1 , dan IL-6, namun produksi IFN- , IL-17A, dan IL-22 tidak berubah.
Hasil
penelitian
menunjukkan
kondisi
hiperglikemia
tidak
signifikan
mempengaruhi produksi sitokin, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan jenis
dari sampel yang diteliti dan masih ada variabel yang memiliki peran yang lebih
besar untuk menjelaskan mekanisme ini namun belum diteliti (Lachmandas et al.,
2015).
Universitas Sumatera Utara
41
Suatu studi eksperimental dengan menggunakan hewan coba, tikus dengan
kondisi hiperglikemik kronik memiliki produksi interferon-c (IFN-c) dan
interleukin-12 (IL-12) yang rendah dan peningkatan kadar insulin darah akan
menyebabkan penurunan fungsi sel T helper 1 (Th1). Penurunan kadar IFN-c dan
Th 1 memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan risiko infeksi
tuberkulosis pada pasien Diabetes Melitus. Kondisi hiperglikemia juga
menyebabkan penurunan kemampuan kemotaksis dan oxidative killing potential
dari neutrofil. Kondisi gula darah yang tidak terkontrol juga menurunkan
kemampuan bakterisida dari leukosit. Secara keseluruhan, hal ini mendukung
hipotesis bahwa Diabetes Melitus menurunkan sistem imunitas yang berfungsi
untuk melawan infeksi Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke tubuh (Jeon &
Murray, 2008).
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Diabetes Melitus Tipe 2
2.1.1. Definisi Diabetes Melitus tipe 2
Menurut International Diabetes Federation-6 (IDF-6) tahun 2013,
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik tubuh tidak dapat menghasilkan cukup dari hormon insulin atau tidak
dapat menggunakan insulin secara efektif. Insulin bertindak sebagai kunci yang
memungkinkan sel-sel tubuh mengambil glukosa dan menggunakannya sebagai
energi (IDF-6, 2013). Diabetes Melitus tipe 2 merupakan kelompok kelainan
dengan karakteristik seperti resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan
meningkatnya produksi glukosa. DM tipe 2 didahului dengan suatu periode
homeostasis glukosa yang abnormal yaitu impaired fasting glucose (IFG) atau
impaired glucose tolerance (IGT) (Powers, 2005).
2.1.2. Patogenesis
Diabetes Melitus tipe 2, lebih sering terjadi daripada tipe 1. Pada
kebanyakan kasus, onset Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di atas umur 30 tahun,
seringkali di antara umur 50 dan 60 tahun. Akan tetapi, akhir-akhir ini dijumpai
peningkatan kasus yang terjadi pada individu yang lebih muda. Organ tubuh
berperan penting dalam mengatur konsentrasi glukosa darah yaitu: sel beta
pankreas, hati, dan otot. Dalam keadaan normal insulin senantiasa bekerja
mempertahankan konsentrasi glukosa plasma agar selalu dalam batas normal pada
saat puasa maupun sesudah puasa (Daily, 2009). Obesitas, resistensi insulin, dan
sindroma metabolik biasanya mengawali perkembangan Diabetes Melitus tipe 2.
Hiperinsulinemia merupakan karakteristik bagi penderita DM tipe 2, hal ini terjadi
sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas
jaringan terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal
sebagai resistensi insulin (Guyton & Hall, 2012).
Universitas Sumatera Utara
22
Resistensi insulin merupakan bagian dari serangkaian kelainan yang
disebut metabolic syndrome. Beberapa gambaran sindrom metabolik meliputi: (1)
obesitas; (2) resistensi insulin; (3) hiperglikemia; (4) abnormalitas lipid; dan (5)
hipertensi.
Penurunan
sensitivitas
insulin
menganggu
penggunaan
dan
penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan
merangsang
peningkatan
sekresi
insulin
sebagai
upaya
kompensasi.
Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa biasanya
terjadi secara bertahap, yang dimulai dengan peningkatan berat badan dan
obesitas. Akan tetapi, mekanisme antara obesitas dan resistensi insulin belum
pasti. Kemungkinan lain terjadinya Diabetes Melitus tipe 2 adalah sel jaringan
tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin, sehingga
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran
darah. Keadaan ini umumnya terjadi pada pasien yang gemuk atau mengalami
obesitas (Putri, 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa reseptor insulin pada orang
obesitas lebih sedikit. Selain obesitas, masih banyak faktor yang dapat
menimbulkan resistensi insulin ( Tabel 2.1.).
Tabel 2.1. Faktor Penyebab Resistensi Insulin
No. Penyebab
1.
Obesitas/overweight (terutama akumulasi jaringan adiposa di abdomen)
2.
Kelebihan glukokortikoid (Cushing Syndrome atau terapi dengan
steroid)
3.
Kelebihan hormon pertumbuhan (akromegali)
4.
Kehamilan (diabetes gestasional)
5.
Penyakit ovarium polikistik
6.
Lipodistrofi ( genetic, acquired, akumulasi lemak di hati)
7.
Auto antibodi terhadap reseptor insulin
8.
Mutasi reseptor insulin
9.
Mutasi peroxisome proliferators’s activator reseptor γ (PPAR )
10. Mutasi yang menyebabkan obesitas genetik (misalnya mutasi reseptor
melanokortin)
11. Hemokromatosis (akumulasi zat besi di jaringan)
Sumber: Guyton & Hall, 2012.
Universitas Sumatera Utara
23
2.1.3. Faktor Risiko
Faktor risiko merupakan informasi yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi penyakit Diabetes Melitus. Departemen Kesehatan RI membagi
faktor risiko DM menjadi 2, yaitu :
1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Berat badan yang berlebihan (BB>120% BB ideal atau IMT 23 kg/m3)
b. Ratio lingkar pinggul
c. Aktifitas fisik yang kurang
d. Hipertensi dan dislipidemia
e. Riwayat penyakit kardiovaskular
f. Konsumsi makanan
2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Riwayat keluarga DM
b. Umur
c. Riwayat ibu menderita diabetes gestasional
d. Riwayat berat badan lahir rendah (200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥1β6 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat
dilihat pada gambar 1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat
dilihat pada Tabel 2.3. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal
atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
Universitas Sumatera Utara
27
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gulah darah 2 jam 2 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak napas
d. Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
(Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2006).
2) Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
3) Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
(Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2006).
2.2.5. Klasifikasi Tuberkulosis
Di
dalam
Pedoman
Nasional
Pengendalian
Tuberkulosis
2014,
Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit, riwayat
pengobatan sebelumya, hasil pemeriksaan uji kepekaan obat, dan status HIV.
Universitas Sumatera Utara
35
A. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena/lokasi anatomi dari
penyakit:
1) Tuberkulosis Paru.
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Pasien yang
menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan
sebagai pasien TB paru (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
2) Tuberkulosis ekstra paru.
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar
limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang. Diagnosis
TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
B. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari
1 bulan (< dari 28 dosis) (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari β8 dosis) (Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh : adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati, namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Universitas Sumatera Utara
36
C.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien di sini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
1) Mono resistant (TB MR): resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,2014).
2) Poli resistant (TB PR): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan (Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
3) Multi drug resistant (TB MDR): resisten terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
2014).
4) Extensive drug resistant (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resisten terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
5) Resistan Rifampisin (TB RR): resisten terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip
(tes cepat) atau metode fenotip (konvensional) (Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, 2014).
2.2.6. Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi – sewaktu (SPS).
2) Diagnosis
TB
Paru
pada
orang
dewasa
ditegakkan
dengan
ditemukannya kuman TB (bakteri Tahan Asam). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Universitas Sumatera Utara
37
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru pada
gambar berikut
Gambar 2.2. Alur Diagnostik Tuberkulosis Paru
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2007.
2.2.7. Penatalaksanaan
Pengobatan TB meliputi 2 tahap, yaitu:
1. Tahap awal : pengobatan diberikan setiap hari pada semua pasien baru.
Minimal 2 bulan dan bertujuan untuk mengurangi jumlah kuman secara efektif.
Universitas Sumatera Utara
38
2. Tahap lanjut : tahap ini penting untuk membunuh sisa kuman dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia (Tabel 3.1) diberikan minimal 6 bulan dengan
kombinasi tertentu sesuai indikasi:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : TB paru terkonfirmasi
bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis, dan TB ekstra paru.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Paduan OAT ini untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya : pasien kambuh, pasien gagal pengobatan, dan pasien yang
putus berobat.
c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR.
d. Obat yang digunakan untuk pasien TB resisten di Indonesia adalah OAT
lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etiomide,
Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid
dan etambutol.
Tabel 2.6. Daftar Obat Anti Tuberkulosis dan Efek Samping
Jenis
Isoniazid (H)
Sifat
Bakterisidal
Efek Samping
Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang
Rifampisin (R)
Bakterisidal
Flu Syndrome, gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak
nafas,anemia hemolitik
Pirazinamid (Z)
Bakterisidal
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati, gout artritis
Streptomisin (S) Bakterisidal
Nyeri di tempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopenia
Etambutol (E)
Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis
perifer.
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014.
Universitas Sumatera Utara
39
2.3.
Hubungan Kejadian Tuberkulosis pada Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan salah satu faktor risiko meningkatnya
kejadian Tuberkulosis Paru. Peningkatan prevalensi DM di Indonesia disertai
dengan peningkatan prevalensi Tuberkulosis Paru. Peningkatan prevalensi ini
cenderung lebih tinggi seiring dengan bertambahnya usia. Dalam hal manifestasi
klinis, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara pasien TB paru
yang juga menderita DM dengan yang tidak DM, hanya saja gejala yang muncul
cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk pada yang menderita
DM. Namun dari gambaran radiologi dan bakteriologi, kedua jenis pasien dengan
TB ini tidak ada yang lebih buruk dibandingkan satu sama lain. Prinsip
pengobatan DM pada TB atau non TB tidak berbeda, tetapi harus diperhatikan
adanya efek samping dan interaksi antara antituberkulosis dan obat oral untuk
DM. Pengontrolan gula darah yang baik merupakan hal terpenting dan utama
yang harus diperhatikan demi keberhasilan pengobatan TB paru pada pasien DM
(Cahyadi & Venty, 2011).
Diabetes Melitus tipe 2 dengan kadar gula darah yang tidak terkendali
memiliki risiko mengalami komplikasi lebih besar daripada pasien Diabetes
Melitus tipe 2 dengan kadar gula darah yang terkendali. Ada berbagai komplikasi
yang mungkin terjadi pada pasien diabetes, salah satunya komplikasi pada sistem
pernapasan. Pasien DM tipe 2 lebih mudah terserang infeksi Tuberkulosis Paru
dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara
sosioekonomi cukup. Diabetes tipe 2 memperberat infeksi paru, demikian pula
sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014).
Screening merupakan salah satu cara efektif yang digunakan untuk
mengidentifikasi pasien Diabetes Melitus dengan penyakit Tuberkulosis Paru.
Skrining proaktif untuk TB sangat dianjurkan dilakukan di daerah yang angka
kejadian Diabetes Melitus dan penyakit imunosupresif lainnya. Hal ini karena
tuberkulosis subklinis sering terjadi pada pasien dengan infeksi HIV atau penyakit
yang tidak menular (misalnya, Diabetes Melitus dan penyakit paru kronis yang
berhubungan dengan merokok), namun sering tidak teridentifikasi dengan baik
(Zumla et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara
40
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Radboud University Nijmegen
Medical Center, ditemukan bahwa 40 % komplikasi tuberkulosis disebabkan oleh
penyakit Diabetes Melitus. Kondisi ini terjadi diduga terkait kondisi imunitas
yang menurun akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan juga
menyebabkan produksi interferon-gamma yang penting untuk pertahanan tubuh
menjadi menurun. Pada penelitian hewan coba dengan menggunakan tikus, tikus
mengalami diabetes yang kemudian mengalami infeksi TB memiliki penurunan
fungsi makrofag alveolar (Alisjahbana et al., 2006).
Penelitian cohort yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat tahun
1930 juga mendukung hipotesis bahwa penderita diabetes memiliki risiko 3-4 kali
lebih besar mengalami komplikasi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Sebuah
studi case-control yang dilakukan di Mexico melaporkan bahwa daerah yang
endemik diabetes memiliki risiko mengalami penyakit tuberkulosis 6,8 kali
dibandingkan dengan daerah yang tidak endemik tuberkulosis. Dan suatu studi
prospektif yang dilakukan di Korea, Eropa, dan Amerika Serikat menunjukkan
bahwa pasien yang mengalami Diabetes Melitus disertai tuberkulosis memiliki
umur yang relatif muda dan kondisi tubuh yang tidak gemuk (Alisjahbana et al.,
2006).
Mekanisme terjadinya komplikasi Tuberkulosis Paru pada pasien Diabetes
Melitus sampai saat ini belum teridentifikasi pasti. Namun, beberapa penelitian
telah dilakukan mengenai kondisi hiperglikemia pada pasien Diabetes Melitus
dengan produksi sitokin dan aktivasi makrofag alveolar. Dalam penelitian
Radboud University Medical Centre, ditemukan bahwa kondisi hiperglikemia
mempengaruhi monosit tetapi tidak sel T. Produksi sitokin juga dipengaruhi oleh
kadar gula darah yang tinggi dan tidak terkontrol. Terjadi peningkatan produksi
TNF-α, IL-1 , dan IL-6, namun produksi IFN- , IL-17A, dan IL-22 tidak berubah.
Hasil
penelitian
menunjukkan
kondisi
hiperglikemia
tidak
signifikan
mempengaruhi produksi sitokin, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan jenis
dari sampel yang diteliti dan masih ada variabel yang memiliki peran yang lebih
besar untuk menjelaskan mekanisme ini namun belum diteliti (Lachmandas et al.,
2015).
Universitas Sumatera Utara
41
Suatu studi eksperimental dengan menggunakan hewan coba, tikus dengan
kondisi hiperglikemik kronik memiliki produksi interferon-c (IFN-c) dan
interleukin-12 (IL-12) yang rendah dan peningkatan kadar insulin darah akan
menyebabkan penurunan fungsi sel T helper 1 (Th1). Penurunan kadar IFN-c dan
Th 1 memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan risiko infeksi
tuberkulosis pada pasien Diabetes Melitus. Kondisi hiperglikemia juga
menyebabkan penurunan kemampuan kemotaksis dan oxidative killing potential
dari neutrofil. Kondisi gula darah yang tidak terkontrol juga menurunkan
kemampuan bakterisida dari leukosit. Secara keseluruhan, hal ini mendukung
hipotesis bahwa Diabetes Melitus menurunkan sistem imunitas yang berfungsi
untuk melawan infeksi Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke tubuh (Jeon &
Murray, 2008).
Universitas Sumatera Utara