Pelaksanaan Hibah Kepada Anak Dibawah Umur Dan Akibat Hukumnya Setelah Anak Menjadi Dewasa Ditinjau Dari Hukum Perdata

BAB II
PENGATURAN HIBAH MENURUT HUKUM DI INDONESIA

A. Hibah Menurut Hukum Perdata
1. Pengertian dan dasar Hukum Hibah
Hibah di Indonesia dalam hukum perdata diatur dalam pasal Pasal 1666
KUHPerdata, Penghibahan adalah suatu persetujuan, dengan mana seorang
penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya
kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.
Didalam masyarakat hukum adat, hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah
menikah dan diipisahkan dengan membuatkan rumah, memberikan pekarangan untuk
pertanian, ini harus dibedakan dengan hal yang bersifat semacam wasiat sebelum
seseorang meninggal, maka pemberi wasiat mengadakan ketetapan-ketetapan yang
ditujukan kepada ahli warisnya atau keluarganya. Pemberi wasiat semasa hidupnya
memberi petunjuk -petunjuk bagaimana harta bendanya akan dibagi waris kalau ia
meninggal. Jadi barang –barang atau harta itu belum dibagi – bagikan kepada ahli
warisnya, melainkan masih berada dibawah kekuasaanya, sehingga hanya kalau
pemberi hibah meninggal maka pembagian harta peninggalannya harus dilakukan
menurut petunjuk petunjuk tersebut.

28

Universitas Sumatera Utara

29

2. Subjek dan Objek Hibah
Subyek Hibah Dalam Hukum Perdata bisa siapa saja, namun ada beberapa
pengecualian tertentu, misalnya saja anak-anak dibawah umur. Anak dibawah umur
diangap tidak kuasa menerima maupun memberi hibah. Meraka dilarang membuat
persetujuan hibah atau sesuatu barang apapun. Hibah yang mereka perbuat dapat
diminta pembatalanya (vernietingbaar) namun bukan batal dengan sendirinya.
Antara suami istri tidak boleh menjadi subyek persetujuan hibah. Karena itu
pemberian hibah antara suami istri yang terikat dalam perkawinan adalah terlarang.
Maksud pelaranggan hibah semacam ini jelas, untuk memperlindunggi pihak ketiga
yang mempunyai tagihan kepada salah seorang diantara suami istri tersebut. Menurut
pasal 1679 KUH Perdata supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang di
hibahkan, ketentuan lainnya adalah orang yang diberi hibah harus sudah ada di dunia
atau dengan memperhatikan aturan pasal 2 (anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan, diangap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan ssianak
menghendakinya), sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat pengibahan
dilakukan. Menurut pasal 1680 KUH Perdata hibah-hibah kepada lembaga umum

atau lembaga keagamaan tidak berakibat hukum, kecuali jika presiden atau pembesar
yang di tunjuknya telah memberikan kuasa kepada para pengurus lembaga-lembaga
tersebut untuk menerimanya.
Pada Objek hibah Benda dan barang yang dapat di hibahkan menurut pasal
1667 KUH Perdata menyatakan, hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang
sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari,
29
Universitas Sumatera Utara

30

maka sekedar mengenai ketentuan itu hibahnya adalah batal dan selanjutnya
dinyatakan pula dalam Pasal 1672 KUH Perdata menyatakan si penghibah dapat
memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil kembali benda-benda yang telah
di berikannya, baik dalam halnya si penerima hibah sendiri, maupun dalam halnya
sipenerima hibah beserta turunan-turunannya akan meninggal lebih dahulu daripada
si penghibah; tetapi ini tidak dapat di perjanjikan selainnya hanya untuk kepentingan
si penghibah sendiri.
Mengenai apa itu barang tetap tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU
Perkawinan, oleh karena itu kita merujuk kepada ketentuan dalam KUHPer. Tentang

benda tetap atau dalam KUHPer disebut dengan benda tidak bergerak, diatur dalam
Pasal 506 – Pasal 508 KUHPer. KUHPer sendiri tidak memberikan penjelasan
mengenai apa yang dimaksud dengan benda tetap/benda tidak bergerak. Mengenai hal
ini, Subekti, mengatakan bahwa suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda
yang tak bergerak;
a.

Karena sifatnya. Adapun benda yang tak bergerak karena sifatnya adalah tanah,
termasuk segala sesuatu yang secara lansung atau tidak langsung, karena
perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu
dengan tanah itu.

b.

Karena tujuan pemakaiannya. Benda tak bergerak karena tujuan pemakaiannya,
ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan
dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah dan bangunan
itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam pabrik.
30
Universitas Sumatera Utara


31

c.

Karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang. Benda tak bergerak
yang ditentukan oleh undang-undang adalah segala hak atau penagihan yang
mengenai suatu benda yang tak bergerak.

3.

Proses Hibah
Menurut hukum undang-undang telah menetapkan cara penghibahan.

Penghibahan ini diatur dalam pasal 1882 KUH Perdata yang menyebutkan antara lain
bahwa penghibahan itu harus dilakukan dengan akte notaris terutama untuk barang
tak bergerak sedangkan untuk barabng yang bergerak dapat di hibahkan begitu saja,
maka suatu peng hibahan yang dilakukan diluar dari itu adalah batal.
Akte notaris merupakan suatu syarat mutlak dari sahnya suatu hibah, dengan
sendirinya kalau hibah dibuat dengan cara dibawah tanggan adalah batal. Demikian

juga hibah itu tidak adapat dibuat suatu pembaruan, biarpun hal ini dibuat dengan
akte notaris yang artinya bahwa pembaruan tentang hibah atau dengan mengadakan
perubahan

atau

penambahan

sejak

semula

hibah

itu

dibuat

tidak


di

perbolehkan.Tentang penerimaan, hibahpun harus dilakukan dengan akte notaris. Hal
ini diatur didalam pasal 1683 KUH Perdata yang menyebutkan tiada suatu hibah
mengingkat si penghibah, atau menerbitkan bagai manapun, selain mulai hari
penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah di terima oleh sipenerima hibah
sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akte autentik si penerima hibah yang
telah dikuasai untuk menerima peng hibahan-penghibahan yang telah diberikan
kepadanya.Jika penerima tersebut tidak melakukannya didalam surat hibah sendiri,
maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akte autentik terkemudian, yang aslinya
31
Universitas Sumatera Utara

32

harus disimpan asal yang demikian itu dilakukan diwaktu si penghibah masih hidup
dalam hal mana peng hibah, terhadap orang yang belakangan tersebut ini, hanya akan
berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.
Syarat - syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :
1.


Syarat-syarat bagi penghibah
a.

Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah
sah menghibahkan barang milik orang lain.

b.

Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.

c.

Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan
tidak kurang akal).

d.

Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.
Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit,


yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut
sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli
waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang
tidak sah.
2.

Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu

hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang
tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak,
kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau

32
Universitas Sumatera Utara

33

bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi

hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
3. Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a. Benda tersebut benar-benar ada.
b. Benda tersebut mempunyai nilai.
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya
dapat dialihkan.
d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima
hibah.
4. Ijab Kabul
Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat
saja dalam bentuk lisan atau tulisan. Menurut beberapa ahli hukum bahwa ijab
tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku
hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima
hibahmu".
5. Pelaksanaan Hibah
Sekaitan pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a.

Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang

yang dihibahkan.

b.

Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.

33
Universitas Sumatera Utara

34

c.

Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali
oleh si pemberi hibah.

d.

Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi
(hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa

dibelakang hari.

B. Hibah Menurut Hukum Islam
1. Ketentuan Hibah
Selain hukum perdata, terdapat beberapa ketentuan hukum lainnya mengenai
hibah, misalnya saja dari sudut pandang hukum islam. Sebagai mana pada umumnya
peraturan dalam ajaran Islam, peraturan menyangkut perpindahan harta dari
seseorang kepada seseorang lainnya atau yang yang berkenaan dengan transaksi,
hibah pun tidak hanya memilki pengertian dan definisi saja, akan tetapi memiliki pula
apa yang di sebut dengan rukun dan syarat, dimana kedua hal inilah yang menjadi
tolak ukur sah atau tidaknya suatu transaksi. Hal ini lah, yang menjadi pembeda
antara hukum Islam dengan hukum-hukum lainya.
Berkatan dengan rukun dan syarat sah dari pada hibah menurut kalangan
ulama mujtahid fiqih walaupun sebenaranya dalam beberapa buku fiqih ataupun buku
il’mu waris sebagai contoh dalam buku “Ilmu-l-faoidh” yang memberikan rukun dan
syarat yang sama, walau ada perbedaan istilah atau bahasa, mengenai hibah dan
wasiat ini. Dibawah ini adalah penjelasan mengenai syarat dan rukun hibah.

34
Universitas Sumatera Utara

35

Ibn Rusyd dalam mengatakan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu: 31
a. Orang yang menghibahkan
b. Orang yang menerima hibah
c. Pemberiannya
Sedangkan, Sayyid Sabiq dalam mengatakan Hibah dilakukan dengan ijab dan
qabul, dengan perkataan yang menunjukan adanya proses pemberian suatu barang
tanpa penukar. 32 Syarat-syaratnya:
1. Orang yang menghibahkan
Menurut Sayyid, orang yang menghibahkan memiliki beberapa ketentuan
sebagai berikut:
a. Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan.
b. Dalam keadaan sehat
c. Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu. Apabila orang yang
menghibahkan dalam keadaan sakit, hibahnya dibatasi 1/3 saja dari bendanya
itu
2. Benda yang dihibahkan
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 210 ayat (2) menyatakan
bahwa “harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah”. Jadi
menghibahkan yang dimiliki orang lain, tida sah hukumnya. Dalm hal ini dapat
dibedakan kepada dua hal, jika hubah itu diberikan kpada orang lain atau suatu

31
32

. Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, juz 2 Semarang: Usaha Keluarga.2008
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 4, Pena Pundi Aksara, Jakarta Pusat, 2009.

35
Universitas Sumatera Utara

36

badan, maka mayoritas ulam sepakat tidak adanya batasan. Namun apabila hibah
itu anak-anak pemberi hibah, menurut malik, boleh membedakan pemberian hibah
kepada anak-anaknya.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam syarat barang yang dihibahkan
adalah sabegai berikut: 33
a. Barangnya benar-benar ada
b. Merupakan harta yang memiliki nilai
c. Bisa dimiliki
d. Tidak menempel dengan harta orang yang berhibah secara tetap, seperti
tanaman, pohon, dan bangunan tanpa tanah.
e. Merupakan milik pribadi.
3.

Orang yang menerima hibah
Pada dasarnya setiap orang yang memilii kecakapan melakukan perbuatan

hukum daapat menerima hibah. Bhkan dapat ditambahkan disini, anak-anak atau
mereka yang berada dibawah kuratele (pengmpuan) dapat menerima hibah melalui
kuasa (wali)nya.
Adapun syarat-syarat hibah , selain yang mengikiuti ketentuan hibah tersebut
Sayyid Sabiq mengatakan orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada ketika
hibah diberikan. Kemudian didalam hukum islam hibah menjadi sah apabila telah
memenuhi beberapa syarat yakni: ijab, qabul, dan qabda.Pengertian secara jelasnya

33

Sayyid Sabiq, Op Cit

36
Universitas Sumatera Utara

37

mengenai ketiga syarat sahnya hiibah tersebut akan lebih jelas apabila diberi
penjelasan singkat, yakni: 34
a.

Ijab ialah pernyataan yang dilakukan oleh pihak yang memberi hibah mengenai
pemberian tersebut.

b.

Qabul ialah penerimaan pemberian oleh pihak yang dihibahi baik penerimaan
tersebut dilakukan secara jelas tegas maupun secara samar-samar.

c.

Qabda ialah penyerahan milik yang dilakukan oleh penghibah kepada yang
dihibahi.

2. Perbedaan Hibah, Warisan dan Wasiat
Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa
yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sederhana apabila dilihat dari perbuatan
hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya sederhana tetapi apabila
pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan
atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi Hukum Islam (KHI) kata wasiat disebut
lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum
hibah lebih dahulu. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau
dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan
terhadap materi tersebut dalam tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai
membahas hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi
34

Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, cetakan pertama, Hlm 373

37
Universitas Sumatera Utara

38

wasiat. 35
Hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam dalam konteks kompetensi
absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama
(pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman
bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah
berkenan bidang hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990).
Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau
yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise)
dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap
haknya Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan
menghibahkan

atau

mewasiatkan

hartanya,

maka

tidak

seorangpun

dapat

menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih
dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak
dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari
harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi
hak anak.
Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat
fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan
perbuatan hukum dan peristiwa hukum pelaksanaan hibah dan wasiat yang tampak
sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan
akta sebagai alat bukti. Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah
35

Kompilasi Hukum Islam. Nuansa Aulia, Bandung, 2008

38
Universitas Sumatera Utara

39

hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada
seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila
wasiat berhubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.
Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu
tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3
tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang
sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama
dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara
perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta
perkara kewarisan. Hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan
baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat
tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan
hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun
terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama.
Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi
(stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini
untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam. Hibah
dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat Pasal 194-209) dan
Bab VI (hibah Pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut
mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan
tidakboleh dalam wasiat.
Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal.
39
Universitas Sumatera Utara

40

Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene
merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi
sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya
belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI.
kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat
diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi.
Hibah yang diatur dalam Pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyakbanyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak penghibah, malah
Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim menganjurkan
sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta, yaitu pemberian benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.
Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi
milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa
hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). Definisi yang diatur dalam
KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun
dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan
pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang
yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi (tahaaduu
tahaabuu).
Dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa
40
Universitas Sumatera Utara

41

anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul
ada’al-kamilah)

dan

bagi

wali

karena

benda

yang

dihibahkan

bukan

miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan
hadiah tidak disyaratkan ijab kabul. Dalam Pasal 211 KHI disebutkan hibah orang
tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat
diperhitungkan berarti harta yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang
bagian waris sendiri dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah.
Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan,
yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah kepada anak
dapat ditarik kembali. Ketentuan ini merupakan garis hukum islam berdasarkan
hadits Rasulullah yang diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada
intinya dapat dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan
apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain. Oleh karena itu
Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih
bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur
dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut
kembali.
Pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan sakit
yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli warisnya.
Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya
dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap
berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh
41
Universitas Sumatera Utara

42

menghibahkan hartanya. Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194
pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat,
bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam
wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat
(pasal 194 ayat (3) KHI).
Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada
walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah
ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan
dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian
hukum. Dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat AlBaqoroh ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin
Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-Zhahiri,Ibu
jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat
tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak
mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat
muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris.
Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm
Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya
masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24).
Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur
posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau
ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan
42
Universitas Sumatera Utara

43

pendapat lain yang tidak mu’tamad, tetapi mencerminkan rasa keadilan berpendapat
seseorang yang meninggalkan anak tidak putus hak kewarisan anak atas hak orang
tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang tuannya, tetapi tetap
tersambung meneruskan juarinnya (keturunannya).
Tetapi berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris
pengganti (plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3
bagian berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon’ani
pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun
akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli
waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum.
Masalahnya belum ada peraturan perundang-undangan atau setidak-tidaknya
perlu SKB antara Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan
peradilan (UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman) dengan lembaga
atau instansi pemerintah untuk menindaklanjuti putusan-putusan Pengadilan Agama.
Putusan pengadilan deklarator, konstitutif maupun kondemnator pada asasnya
melahirkan hukum baru terhadap peristiwa hukum yang diputuskan. Oleh karena itu
mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara yang terkait dengan
hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang bersangkutan atau pejabat yang
menangani harta kekayaan, misalnya Notaris, PPAT atau BPN terikat isi putusan
pengadilan in casu Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan mengikat kepada
para pihak dan pihak lain. Apabila putusan Pengadilan Agama dalam perkara hibah
43
Universitas Sumatera Utara

44

ini tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain, maka
dapat saja yang bersangkutan mempersulit atau mengingkari putusan tersebut, bahkan
mengesampingkan putusan.

44
Universitas Sumatera Utara