Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

(1)

HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN

ORANGTUA

(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

RURIN TIOPANI TAMBUN NIM : 110200086

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN

ORANGTUA

(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

RURIN TIOPANI TAMBUN NIM : 110200086

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985091001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Edy Ikhsan,S.H,M.A. Syamsul Rizal,S.H.,M.Hum NIP. 196302161988031002 NIP. 196402161989111001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA : RURIN TIOPANI TAMBUN

NIM : 110200086

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI : HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA (Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 2015

RURIN TIOPANI TAMBUN 110200086


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat, karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Menjadi suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, dan untuk itu penulis menyusun suatu skripsi yang berjudul “Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua (Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di

Indonesia)”.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum, selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H. M.H. D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, S.H. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan.


(5)

6. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H. M.A selaku Dosen Pembimbing I yang telah memeriksa dan memperbaiki kesalahan-kesalahan pada skripsi ini dan kemudian memberikan pengetahuan serta arahan dan nasehat kepada penulis dalam proses awal hingga akhir skripsi ini.

7. Bapak Syamsul Rizal, S.H. M.Hum selaku Ketua Jurusan Hukum Perdata BW Fakultas Hukum USU dan Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan serta memberi saran dan nasehat kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

8. Ibu Afrita, S.H. M.Hum selaku dosen Pembimbing Akademik saya

yang membantu saya menyelesaikan studi dan menyusun rencana studi sejak semester pertama sampai pada saat akhir semester saya ini.

9. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika FH USU yang telah mendidik dan membantu selama penulis menuntut ilmu dikampus ini.

10. Orangtua tercinta S.H. Tambun, S.H. dan S. br Lubis yang telah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta memberikan semangat, motivasi, dan dukungan materi kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

11. Abang Bernhard Parmonangan Siregar yang selalu mengingatkan, memberikan motivasi, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

12. Teman-teman terdekat penulis : Intan Elisabeth Pasaribu, Emma Yosephine Sinaga, Imelda Rosari Sinurat, Kartika Pebriyanti Manurung, Octaviana Fransiska, dan Novia Utami yang selalu ada


(6)

dalam suka maupun duka dan memberikan semangat dan bantuan kepada penulis selama ini.

13. Teman-teman lainnya Grup “Pom-Pom”, Angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Jurusan Perdata BW, dan Grup P3MI Glory Menteng 7.

Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna dan dimanfaatkan baik secara teori maupun praktek ilmu hukum. Penulis juga mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berminat dengan topik skripsi ini guna pendidikan dan penelitian ilmu hukum dimasa mendatang.

Medan, 2015 Penulis

RURIN TIOPANI TAMBUN


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Metode Penelitian... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Definisi dan Dasar Hukum Perceraian ... 13

B. Jenis-Jenis Perceraian ... 16

C. Alasan-Alasan Terjadinya Perceraian ... 18

D. Akibat Hukum Perceraian ... 21

E. Tata Cara Perceraian Dalam Undang-Undang Perkawinan ... 25

F. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tua ... 30

BAB III HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR

A. Anak


(8)

1. Pengertian Anak ... 37 2. Anak Sah Dan Anak Luar Kawin ... 40 B. Hak Asuh Anak Dibawah Umur

1. Pengertian Hak Asuh Anak ... 49 2. Batasan Usia Kedewasaan Anak ... 50 3. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak

Dibawah Umur ... 52

BAB IV HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN

ORANGTUA

A. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan,

Undang-Undang Perlindungan Anak, dan

Kompilasi Hukum Islam ... 62 B. Pertimbangan Hakim Mengabulkan Tuntutan

Hak Asuh Anak yang Diajukan Ayah ... 68 C. Pembatalan Putusan Pengadilan Negeri Sehingga

Hak Asuh Anak Kembali Kepada Ibu ... 87

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 94 B. Saran ... 95 DAFTAR PUSTAKA ... 96 LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

Rurin Tiopani Tambun*

Dr. Edy Ikhsan,S.H.,M.A**

Syamsul Rizal,S.H.,M.Hum***

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dengan putusnya suatu perkawinan karena perceraian, maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, yaitu mengenai hak asuh atas anak yang lahir dari perkawinan tersebut dan kekuasaan orang tua yang berubah menjadi perwalian. Yang ingin penulis analisis adalah apa yang menjadi pertimbangan seorang hakim dalam memberikan hak asuh dan tanggung jawab kepada ayah, karena pada kenyataan yang sering terjadi hak asuh anak di bawah umur diberikan kepada ibu sampai anak tersebut dewasa dan memilih sendiri apakah ia akan ikut dengan ibunya atau dengan ayahnya, apa pertimbangan hakim menetapkan sang ayah yang berhak mengasuh anak tersebut, serta apakah putusan yang telah diberikan oleh hakim dapat dibatalkan dan hak asuh terhadap anak tersebut dikembalikan kepada ibunya.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang ditujukan dan dilakukan dengan menggunakan kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Jenis data yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui penelitian putusan hakim serta penelitian kepustakaan, baik buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data yang digunakan teknik analisis data sekunder.

Hasil penelitian putusan didapati bahwa Hakim dalam memutus suatu perkara melihat keadaan dari si pemelihara itu serta anak yang akan dipelihara. Antara lain faktor ekonomi, faktor lingkungan, kelakuan dari ibu atau ayah tersebut, umur anak, jenis kelamin anak, serta kepastiannya akan pendidikan dan kehidupan yang layak. Tetapi atas orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh, tidak dapat dihalangi untuk bertemu dengan anaknya asal tidak menimbulkan kerusakan moral pada si anak nantinya. Maka atas pertimbangan tersebut Hakim memutuskan bahwa Bapaklah sebagai pemegang hak asuh anak atas Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 246/PDT.G/2012/PN.MDN, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 13/Pdt.G/2012/PN.LP, dan No.102/Pdt.G/2013/PN.LP dimana si Ibu dinilai Hakim kurang baik apabila diberikan kuasa asuh atas anak Penggugat dan Tergugat. Hak asuh tersebut juga dapat kembali kepada ibu melalui putusan banding seperti perkara banding No. 66/PDT/2012/PT.DPS yang telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Denpasar.

Kata Kunci: Hak Asuh Anak, Perceraian, Pertimbangan Hakim

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II


(10)

ABSTRAK

Rurin Tiopani Tambun*

Dr. Edy Ikhsan,S.H.,M.A**

Syamsul Rizal,S.H.,M.Hum***

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dengan putusnya suatu perkawinan karena perceraian, maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, yaitu mengenai hak asuh atas anak yang lahir dari perkawinan tersebut dan kekuasaan orang tua yang berubah menjadi perwalian. Yang ingin penulis analisis adalah apa yang menjadi pertimbangan seorang hakim dalam memberikan hak asuh dan tanggung jawab kepada ayah, karena pada kenyataan yang sering terjadi hak asuh anak di bawah umur diberikan kepada ibu sampai anak tersebut dewasa dan memilih sendiri apakah ia akan ikut dengan ibunya atau dengan ayahnya, apa pertimbangan hakim menetapkan sang ayah yang berhak mengasuh anak tersebut, serta apakah putusan yang telah diberikan oleh hakim dapat dibatalkan dan hak asuh terhadap anak tersebut dikembalikan kepada ibunya.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang ditujukan dan dilakukan dengan menggunakan kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Jenis data yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui penelitian putusan hakim serta penelitian kepustakaan, baik buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data yang digunakan teknik analisis data sekunder.

Hasil penelitian putusan didapati bahwa Hakim dalam memutus suatu perkara melihat keadaan dari si pemelihara itu serta anak yang akan dipelihara. Antara lain faktor ekonomi, faktor lingkungan, kelakuan dari ibu atau ayah tersebut, umur anak, jenis kelamin anak, serta kepastiannya akan pendidikan dan kehidupan yang layak. Tetapi atas orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh, tidak dapat dihalangi untuk bertemu dengan anaknya asal tidak menimbulkan kerusakan moral pada si anak nantinya. Maka atas pertimbangan tersebut Hakim memutuskan bahwa Bapaklah sebagai pemegang hak asuh anak atas Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 246/PDT.G/2012/PN.MDN, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 13/Pdt.G/2012/PN.LP, dan No.102/Pdt.G/2013/PN.LP dimana si Ibu dinilai Hakim kurang baik apabila diberikan kuasa asuh atas anak Penggugat dan Tergugat. Hak asuh tersebut juga dapat kembali kepada ibu melalui putusan banding seperti perkara banding No. 66/PDT/2012/PT.DPS yang telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Denpasar.

Kata Kunci: Hak Asuh Anak, Perceraian, Pertimbangan Hakim

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II


(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.1 Dalam Pasal 38 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa perkawinan dapat putus jika disebabkan oleh :

1. Kematian; 2. Perceraian;

3. Atas putusan pengadilan;

Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebab-sebab putusnya perkawinan ialah :2

1. Kematian;

2. Kepergian suami atau istri selama sepuluh tahun; 3. Akibat perpisahan meja makan dan tempat tidur; 4. Perceraian;

Undang-Undang tidak memperbolehkan perceraian dengan cara mufakat antara suami dan istri saja, tetapi harus ada alasan yang sah menurut Undang-Undang. Proses perceraian di Indonesia dapat dilakukan di Pengadilan Agama dan

1

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Internusa, Jakarta, 2003, hlm.42. 2


(12)

Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama untuk masyarakat yang beragama muslim, sedangkan Pengadilan Negeri untuk masyarakat yang beragama non-muslim.3

Putusnya perkawinan karena kematian adalah suatu hal yang wajar karena merupakan takdir yang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Lain halnya dengan putusnya perkawinan karena perceraian yang merupakan kehendak dari masing-masing pihak dan dapat diatasi atau dihindari agar tidak terjadi.

Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, yaitu mengenai hak asuh atas anak yang lahir dari perkawinan tersebut dan kekuasaan orang tua yang berubah menjadi perwalian. Penetapan wali oleh hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun pihak ibu yang erat hubungannya dengan anak tersebut.4

Dari hubungan antara orang tua dan anak yang masih dibawah umur timbul hak dan kewajiban. Hak-hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan judul Kekuasaan Orang Tua. Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua, dalam hal ini meliputi masalah ekonomi, pendidikan dan segala hal mengenai kebutuhan pokok.5

Suatu perceraian dapat terjadi karena kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis atau dengan kata lain sudah tidak dapat diharapkan untuk hidup rukun dan damai lagi. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah segala usaha dan upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki

3Ibid,

hlm.127 4Ibid,

hlm.130 5Ibid,


(13)

kehidupan perkawinannya tidak membuahkan hasil kecuali hanya dengan dilakukan perceraian antara suami dan istri.6

Hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhananYang Maha Esa.

Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Sedangkan bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami-istri atau anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus-menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak.

Akan tetapi pada kenyataannya, tujuan dari perkawinan itu banyak yang tidak tercapai secara utuh. Hal yang baru tercapai hanya mengenai pembentukan rumah tangga, sedangkan bahagia dan kekal belum tercapai sehingga banyak terjadi perceraian.

Dengan terjadinya perceraian maka akan berakibat bahwa kekusaan orang tua berakhir dan berubah menjadi hak asuh. Oleh karena itu jika perkawinan diputus oleh hakim maka perlu diatur tentang hak asuh terhadap anak-anak yang masih di bawah umur. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hanya mengatur kuasa asuh dan hal tersebut dapat dicabut bila

6


(14)

diketahui orang tua menelantarkan anak-anak atau tidak dapat menjamin kehidupan si anak.

Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan mengenai hal-hal yang harus dilakukan pihak istri maupun pihak suami setelah perceraian sebagai berikut:7

1. Baik ibu maupun bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi putusan. 2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan anak, bilamana dalam kenyatannya bapak tidak dapat memberikan kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan untuk menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Sesuai dengan hal tersebut diatas, jika suami istri telah bercerai, maka kewajiban untuk mengasuh dan merawat anak-anak tetap menjadi kewajiban mereka, dengan kata lain bukan hanya merupakan kewajiban dari suami saja atau istri saja. Majelis hakim bebas untuk menetapkan ayah atau ibu yang berhak memelihara anak tersebut, tergantung dari siapa yang paling cakap atau yang paling baik mengingat kepentingan anak-anak tersebut.

Selain itu, dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa: “Dalam hal terjadinya perceraian:

7


(15)

1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; 3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Meskipun telah diatur dengan jelas dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa hakim memutuskan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ayahnya.

Karena tidak adanya aturan yang jelas, maka pada umumnya hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi.8

Hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan yang berlanjut sampai ke tingkat Pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan salah satu pihak merasa tidak puas terhadap putusan tersebut. Ibunya merasa ia yang berhak atas hak asuh anak tersebut karena ia yang mengandung dan melahirkan anaknya.

Pada umumnya dalam praktek di pengadilan, anak yang berumur di ba wah sepuluh tahun, pengasuhannya atau perwaliannya diserahkan kepada ibu nya, sedangkan bagi anak yang berumur di atas sepuluh tahun perwaliannya terserah kepada pilihan si anak sendiri, apakah dia akan ikut kepada ibunya atau memilih ikut pada ayahnya dalam hal perwalian bagi si anak.

8

Subekti, dan Tjitrosudibio, Hukum Perdata Dengan Tambahan UUPA dan Undang-Undang Pokok Perkawinan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 45


(16)

Berkaitan dengan apa yang akan penulis kemukakan dalam skripsi ini, maka penulis memasukkan 3 (tiga) contoh putusan Pengadilan Negeri dan 1 (satu) contoh putusan Pengadilan Tinggi dimana salah satu amar putusan dari Pengadilan Negeri menetapkan bahwa pengasuhan seorang anak yang masih berusia di bawah umur berada dalam pengasuhan ayahnya, dan salah satu amar putusan dari Pengadilan Tinggi mengembalikan hak asuh tersebut kepada ibunya. Putusan tersebut antara lain putusan dari Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Perkara : 246/PDT.G/2012/PN.MDN, putusan dari Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dengan Nomor Perkara : 13/Pdt.G/2012/PN.LP dan 102/Pdt.G/2013/PN.LP, serta putusan banding dari Pengadilan Tinggi Denpasar dengan Nomor Perkara : 66/PDT/2012/PT.DPS.

Seorang hakim memutuskan bahwa sang ayah yang berhak mendapatkan hak asuh anak tersebut walaupun usia si anak masih di bawah umur. Jika dilihat dari Undang-Undang Perlindungan Anak, antara suami dan istri mempunyai kedudukan untuk mengasuh anak tersebut tergantung kepada hakim yang memutuskan perkara tersebut.

Yang ingin penulis analisis adalah apa yang menjadi pertimbangan seorang hakim dalam memberikan hak asuh dan tanggung jawab kepada ayah, karena pada kenyataan yang sering terjadi hak asuh anak di bawah umur diberikan kepada ibu sampai anak tersebut dewasa dan memilih sendiri apakah ia akan ikut dengan ibunya atau dengan ayahnya. Dan apa pertimbangan hakim menetapkan sang ayah yang berhak mengasuh anak tersebut, serta apakah putusan yang telah diberikan oleh hakim dapat dibatalkan dan hak asuh terhadap anak tersebut dikembalikan kepada ibunya.


(17)

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji kasus ini dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Orangtua” (Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia).

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian singkat diatas Penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tentang hak asuh anak dibawah umur setelah perceraian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Kompilasi Hukum Islam?

2. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan tuntutan hak asuh anak yang diajukan oleh suami?

3. Apakah putusan yang telah diberikan oleh hakim dapat dibatalkan dan hak asuh terhadap anak tersebut kembali kepada ibunya?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulis dalam menulis skripsi ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian orangtuanya menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.


(18)

2. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara Pengadilan Negeri yang berhubungan dengan hak asuh anak.

3. Untuk mengetahui apakah putusan yang telah diberikan oleh hakim dapat dibatalkan dan hak asuh anak tersebut kembali kepada ibunya.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis :

a. Diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya pembaharuan hukum khususnya mengenai tuntutan hak asuh anak oleh seorang suami. b. Sebagai bahan masukan dan landasan bagi penelitian serupa yang akan

dilakukan untuk pengembangan ilmu hukum. 2. Manfaat Praktis :

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi khusunya bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana hak asuh anak akibat perceraian sehingga orangtua harus berpikir dengan jernih bahwa anak akan menjadi korban apabila terjadi perceraian.

E. Keaslian Penulisan

Keaslian dari penulisan skripsi ini adalah benar merupakan hasil dari penelitian penulis. Penelitian ini dilakukan penulis dengan mengambil panduan dari beberapa buku-buku dan sumber lainnya yang terdapat hubungan dengan judul skripsi.

Setelah penulis melihat pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara jurusan Hukum Perdata BW, penulis tidak menemukan adanya


(19)

judul yang sama dengan skripsi ini, tetapi ada beberapa judul yang memiliki kemiripan dengan judul saya, yaitu :

1. Hak pemeliharaan dan kewajiban memberi nafkah terhadap anak dibawah umur akibat perceraian berdasarkan putusan Pengadilan Agama di Kota Binjai (studi putusan pada wilayah hukum Pengadilan Agama Binjai)

2. Tinjauan Yuridis tentang pemeliharaan anak setelah perceraian menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 (studi putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Medan)

3. Analisis yuridis tentang perwalian anak dibawah umur akibat perceraian (studi kasus Putusan PA No.01/Pdt.G/2010/PA/Klg)

Maka judul yang penulis angkat adalah “Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua (Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)”.

Penulis menyusun skripsi ini karena penulis ingin mengetahui alasan-alasan apakah yang menyebabkan hak asuh anak dibawah umur diberikan kepada ayah, sementara didalam praktik yang terjadi sehari-hari hak asuh anak yang masih berada dibawah umur diberikan kepada ibunya. Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan hukum perdata,serta peraturan perUndang-Undangan yang membahas mengenai perkawinan dan perlindungan anak.

F. Metode Penelitian


(20)

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang ditujukan dan dilakukan dengan menggunakan kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.9

2. Sumber Data a. Data Primer

Data Primer merupakan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Medan No.246/PDT.G/2012/PN.MDN, Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.13/Pdt.G/2012/PN.LP dan No.102/Pdt.G/2013/PN.LP, Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.66/PDT/2012/PT.DPS serta Peraturan Perundang-Undangan No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Data ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

c. Teknik Pengumpulan Data

9


(21)

Teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui interview atau wawancara dengan hakim yang memutus perkara tersebut, catatan salinan putusan perkara tersebut, dan lain-lain.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, terdiri dari 5 (lima) bab, dimana tiap-tiap bab dibagi dalam beberapa sub-bab.

Bab pertama merupakan Pendahuluan yang akan mengawali rangkaian pembahasan skripsi ini. Di awal pembahasan ini akan berisikan mengenai gambaran umum dari permasalahan yang akan digunakan sebagai landasan dalam penyusunan bab berikutnya. Pada pendahuluan ini terdapat sub-bab yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan yang telah disusun secara teratur dan dipikirkan dengan baik dengan tujuan agara penulisan skripsi ini sesuai dengan penulisan karya ilmiah sebagaimana dikehendaki berdasarkan ilmu pengetahuan.

Bab kedua membahas tentang tinjauan umum mengenai perceraian, yang terdiri dari beberapa sub-bab antara lain definisi dan dasar hukum perceraian, jenis-jenis perceraian, alasan-alasan terjadinya perceraian, akibat hukum perceraian, tata cara perceraian dalam undang-undang perkawinan, hak dan kedudukan anak setelah perceraian orang tua.

Bab ketiga membahas tentang tinjauan umum tentang hak asuh anak dibawah umur, yang terdiri dari beberapa sub-bab antara lain pengertian anak,


(22)

anak sah dan anak luar kawin, pengertian hak asuh anak, batasan usia kedewasaan anak, dan kekuasaan orang tua terhadap anak dibawah umur.

Bab keempat membahas mengenai permasalahan yang diangkat penulis dalam skripsi ini, yaitu membahas tentang bagaimana pengaturan mengenai hak asuh anak dibawah umur berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam, apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan tuntutan hak asuh anak yang diajukan oleh ayah, dan pembatalan putusan Pengadilan Negeri sehingga hak asuh anak tersebut kembali kepada ibunya.

Bab kelima merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari penulisan skripsi ini. Sekaligus memberikan saran yang mungkin dapat membantu dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.


(23)

13

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A. Defenisi Perceraian

Perkawinan hapus jika salah satu pihak meninggal dunia. Selanjutnya ia juga hapus jika salah satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin dari hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya, dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.10

Mengenai putusnya perkawinan beserta akibatnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan didalam Bab VIII dengan judul Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya. Pengaturan perceraian menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ini terdapat dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 jo. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang diberlakukan secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.11 Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan dapat putus jika disebabkan oleh :

1. Kematian; 2. Perceraian atau; 3. Putusan pengadilan.

10

Subekti, op.cit., hlm.42. 11


(24)

Jadi secara yuridis perceraian berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkkan putusnya hubungan sebagai suami istri.12

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai putusnya perkawinan karena kematian dan akibat hukumnya karena kematian merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Undang-Undang ini hanya menyinggung mengenai putusnya perkawinan disebabkan karena kematian pada Pasal 38. Yang dimaksud dengan perkawinan antara suami istri putus ialah “apabila perkawinan tersebut berakhir”, dan berakhirnya perkawinan itu bisa karena perceraian, demikian pula bisa karena kematian salah seorang suami atau isteri, atau karena keputusan pengadilan.13

Putusnya perkawinan karena perceraian ini merupakan kehendak dari manusianya sendiri, apakah dari pihak istri atau dari pihak suami yang berkeinginan untuk melakukan perceraian. Dengan adanya perceraian, berarti mereka tidak mengingat akan tujuan perkawinan itu pada mulanya atau apakah memang perkawinan mereka itu dilakukan hanya sekedar untuk syarat saja untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu lainnya yang mungkin terpuji atau mungkin juga tidak terpuji. Kehendak manusia yang sekarang kadang-kadang berlainan dengan yang akan datang, bahkan kadang-kadang bertentangan. Apalagi dengan pesatnya perkembangan zaman, manusia semakin banyak kehendaknya dan semakin susah menentukan pilihan, sehingga semakin susah pula menentukan apa yang lebih baik baginya, bahkan terkadang hal yang dipilih itu sebenarnya bertentangan

12

Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian, Sinar Gravika, Palembang , 2012, hlm.15 13

Wahyono Darmabrata, dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, FH UI, Jakarta, 2004, hlm.103


(25)

dengan hati nuraninya, karena sangat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangannya.

Keluarga yang bahagia dan kekal tidak dapat dengan mudah dicapai oleh pasangan suami istri, sehingga kerap berakhir dengan perceraian. Perceraian sering dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah di dalam rumah tangga. Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.14 Oleh karena itu dapat dipahami bahwa perceraian dapat dilakukan bila mempunyai alasan yang tepat dan keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi. Sedangkan tanpa adanya alasan untuk bercerai pengadilan berkeharusan menolaknya apabila ada gugatan atau tuntutan untuk bercerai tersebut.15

Dalam agama Islam, perceraian walau diperbolehkan, namun itu adalah salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah. Hal tersebut memberikan isyarat kepada kita, bahwa perceraian itu suatu hal yang diperbolehkan, dan hal tersebut menjadi norma agama yang menjadi dasar atau patokan bagi manusia dalam pembentukan hukum positif dalam hal perceraian. Dengan demikian tidak mungkin manusia membentuk hukum yang berlawanan dengan norma agama, misalnya norma agama memperbolehkan, maka norma hukum yang dibentuk oleh manusia harus memperbolehkannya juga, bukan sebaliknya.

Oleh karena perceraian termasuk kaedah hukum yang berisikan kebolehan, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak berani mencantumkan pasal yang melarang perceraian dalam perkawinan. Paling tinggi usaha yang telah dilakukan oleh Pembentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun

14

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 12

15


(26)

1974 ialah Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.16

Mengingat perkawinan adalah perjanjian dan kaedah hukum perceraian berisikan kebolehan, maka terjadi atau tidak terjadinya perceraian itu sangat tergantung dari kehendak suami atau istri. Dengan demikian menurut Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 peranan pengadilan hanyalah menyaksikan perceraian dan setelah itu membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.

B. Jenis-Jenis Perceraian

Perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan hanya mungkin dilakukan apabila dipenuhi salah satu alasan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan harus dilakukan di muka sidang Pengadilan. Alasan-alasan tersebut tercantum dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta Peraturan Pelaksanaannya dapat dibedakan dalam 2 (dua) macam perceraian, yaitu Cerai Talak dan Cerai Gugat yang mana kedua-duanya harus memenuhi salah satu alasan yang telah tersebut di atas.

1. Cerai Talak

Cerai Talak adalah perceraian yang terjadi sebagai akibat dijatuhkannya talak oleh seorang suami terhadap isterinya, dimuka sidang Pengadilan.17

16

Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2010, hlm. 89


(27)

Merupakan suatu tindakan suami secara sepihak untuk memutuskan atau menghentikan perkawinan yang sedang berjalan. Cerai talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 “seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang hendak menceraikan atau menalak isterinya, hendaknya memberitahukan maksudnya atau mengajukan surat kepada Pengadilan Agama ditempat dimana ia bertempat tinggal, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud untuk menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan tersebut.”

2. Cerai Gugat

Cerai gugat adalah perceraian yang terjadi akibat adanya gugatan salah satu pihak kepada Pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Jika cerai talak hanya dapat dilakukan oleh seorang suami yang melangsungkan pernikahan menurut agama Islam, maka gugatan perceraian (Cerai Gugat) dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dan oleh seorang suami atau istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama/kepercayaannya selain agama Islam, sebagaimana dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

17


(28)

C. Alasan-Alasan Terjadinya Perceraian

Perceraian adalah suatu hal yang sangat tidak disenangi oleh pasangan suami istri. Perceraian bagaikan pintu darurat di pesawat udara yang tidak perlu digunakan kecuali dalam keadaan darurat demi untuk mengatasi suatu krisis. Penggunaan cerai tanpa kendali akan merugikan bukan saja kedua belah pihak tetapi terutama anak-anak dan masyarakat pada umumnya. Banyaknya broken home membawa akibat langsung timbulnya dan tambahnya problema anak-anak nakal. Hingga kini angka perceraian masih tinggi, hal ini disebabkan karena penggunaan hak cerai secara sewenang-wenang dengan dalil hak suami. Oleh karena itu kepincangan masyarakat ini harus diperbaiki. Untuk itu Undang-Undang menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan. Itupun setelah Pengadilan berusaha tapi tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.18

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.19 Oleh karenanya dapat dipahami bahwa perceraian dapat dilakukan bila mempunyai alasan-alasan yang tepat dan keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi. Sedangkan tanpa adanya alasan untuk bercerai pengadilan berkeharusan menolaknya apabila ada pemberitahuan atau gugatan atau tuntutan untuk bercerai tersebut.

Mengenai alasan perceraian, Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan hanya mengatakan, bahwa untuk bercerai harus ada cukup alasan, bahwa antara suami

18

H. Arso Sasroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia,

Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hlm.32-33 19


(29)

isteri itu tidak akan dapat saling hidup rukun sebagai suami isteri. Pasal tersebut hanya menyebutkan harus adanya alasan untuk menuntut perceraian, tetapi tidak menentukan lebih lanjut alasan-alasan apa yang ditentukan oleh Undang-Undang yang dapat dipergunakan untuk menuntut perceraian. Selanjutnya Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk menuntut perceraian. Alasan-alasan yang secara limitif ditentukan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan ditentukan kembali di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Pasal 19, dengan alasan-alasan sebagai berikut:20

1. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Alasan ini dapat digunakan untuk mengajukan gugatan perceraian, karena bila seseorang telah berbuat zina berarti dia telah melakukan pengkhianatan terhadap kesucian dan kesakralan suatu perkawinan, termasuk perbuatan menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi, yang merupakan perbuatan melanggar hukum agama dan hukum positif.

2. Salah satu pihak (suami/isteri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Hal ini terkait dengan kewajiban memberikan nafkah baik lahir maupun batin, yang bila kemudian salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam waktu lama tanpa seijin pasangannya tersebut, maka akan berakibat pada tidak dilakukannya pemenuhan kewajibannya yang harus diberikan kepada pasangannya.

20


(30)

Sehingga bila pasangannya kemudian tidak rela, maka dapat mengajukan alasan tersebut untuk menjadi dasar diajukannya gugatan perceraian di pengadilan.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah pekawinan berlangsung. Hampir sama dengan poin b, poin ini juga dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu pihak untuk mengajukan gugatan perceraian. Sebab, jika salah satu pihak sedang menjalani hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih, itu artinya yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat, yang

dapatmembahayakan pihak lain. Poin ini menitikberatkan pada keselamatan individu/salah satu pihak. Bila suatu perkawinan tetap dipertahankan namun akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik jika perkawinan itu diputus dengan perceraian. Dalam hal ini harus benar-benar bisa dibuktikan, mengenai tindakan atau ancaman yang membahayakan keselamatan seseorang/salah satu pihak.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. Tidak dapat dipungkiri bila ikatan perkawinan dipengaruhi faktor-faktor, terutama masalah kebutuhan biologis. Ketika salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri dikarenakan cacat badan atau penyakit yang dimilikinya, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu pihak untuk mengajukan gugatan perceraian.


(31)

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Tidak ada kehidupan rumah tangga yang rukun, tenteram dan nyaman, apabila terjadi perselisihan secara terus-menerus. Apalagi, bila pertengkaran tersebut tidak dapat terelakkan dan tidak dapat terselesaikan. Jika hal itu berlangsung terus-menerus, dan dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar ke depan, maka diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan.

Jika tidak terdapat alasan-alasan yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, maka tidak dapat dilakukan perceraian. Bahkan walaupun alasan-alasan tersebut dipenuhi apabila masih mungkin antara suami-isteri itu untuk hidup rukun kembali maka perceraian tidak dapat dilakukan.21 Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan peristiwa-peristiwa yang disebut dalam alasan-alasan perceraian di atas, baik dalam Penjelasan Resmi terhadap Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Penjelasan Resmi terhadap Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 karena dianggap sudah cukup jelas.

D. Akibat Hukum Perceraian

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan karena perceraian akan berakibat sebagai berikut:

21


(32)

1. Mengenai Hubungan Suami Istri

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Meskipun hak dan kewajiban sebagai suami isteri menjadi hapus, namun menurut Pasal 225 jo Pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pihak yang tidak mempunyai penghasilan yang cukup wajib diberikan tunjangan nafkah sampai salah satu pihak meninggal.

b. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban di antara suami isteri itu sendiri. Tetapi ada hak dan kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan seperti pada Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa suami isteri harus hidup bersama dalam rumah yang tetap. Ketentuan tersebut tidak perlu lagi dilakukan ketika mereka bercerai, karena tidak mungkin dua orang yang sudah merasa tidak cocok kembali hidup bersama. Oleh karena itu jika terjadi perceraian tidak ada kewajiban untuk hidup bersama lagi. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hal ini tidak diatur, tetapi kita dapat melihat ketentuannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu pada pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Tujuannya untuk mencegah agar tidak terjadi bahaya yang mungkin timbul apabila suami isteri sama-sama tinggal satu rumah.


(33)

2. Mengenai Kedudukan Anak

a. Kitab Undang-Undang Hukum perdata

Kekuasaan orang tua hapus dan beralih menjadi perwalian. Menurut Pasal 229, “Pengadilan menetapkan terhadap setiap anak siapa dari kedua orang tuanya yang harus melakukan perwalian atas anak-anak itu.” Apabila

pihak yang diserahkan sebagai wali kurang mampu membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230b “Hakim dapat menentukan sejumlah uang yang harus dibayar pihak yang lain untuk membiayai anak di bawah umur.”

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut Pasal 41 antara lain:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan.

2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya tersebut.

3. Mengenai Harta Benda

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Sejak terjadinya perkawinan maka dengan sendirinya menurut hukum terjadi pencampuran harta kekayaan bulat tanpa mempermasalahkan bawaan masing-masing. Semua bawaaan baik yang berasal dari bawaan


(34)

suami ataupun isteri dengan sendirinya menjadi satu kekayaan bersama dalam keluarga selaku milik bersama dari suami isteri, kecuali sebelum perkawinan mereka mengadakan perjanjian perkawinan yang memuat ketentuan bahwa dengan adanya perkawinan tidak akan terjadi percampuran kekayaan sama sekali atau percampuran itu hanya terbatas percampuran tentang apa yang diperoleh selama perkawinan. Jadi, jika terjadi perceraian, maka menurut Pasal 128 “Harta kekayaan bulat dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, tanpa mempedulikan asal-usul harta.”

b. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Menurut Pasal 35 Undang-Undang tersebut, harta kekayaan dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Pasal 37 juga menjelaskan bahwa “bila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Maksud dari hukumnya masing-masing adalah hukum agama maupun hukum adat. Sedangkan mengenai harta bawaan yang diperoleh suami isteri sebagai hadiah atau warisan tidak diatur secara jelas, hanya disebutkan dalam Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

bahwa “harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.” Pasal ini tidak menjelaskan apakah ketentuan tersebut berlaku pada saat perkawinan masih berlangsung, atau tetap berlaku walaupun perkawinan telah terputus karena perceraian. Selain itu juga


(35)

dalam Pasal 36 ayat 2 disebutkan “mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bendanya.”

E. Tata Cara Perceraian Dalam Undang-Undang Perkawinan

Perceraian memiliki tata cara yang diatur di dalam perUndang-Undangan secara lengkap dan menyeluruh sehingga lebih menjamin adanya kepastian hukum didalam melaksanakan perceraian. Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Ada dua macam prosedur perceraian, yaitu cerai dengan cara talak dan cerai dengan cara gugatan. Perceraian talak berlaku bagi mereka yang beragama Islam seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan perceraian talak hanya dilakukan oleh suami dengan mengajukan surat kepada Pengadilan Agama bagi pasangan suami isteri yang beragama Islam.22

Tata cara perceraian dengan talak diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:

1. Pengadilan mempelajari isi surat yang diajukan oleh suami dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari, memanggil pihak yang mengirim surat dan

22


(36)

juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian;

2. Setelah mendapat penjelasan dan ternyata memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun kembali dalam hidup berumah tangga, kemudian Pengadilan menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami dalam sidang;

3. Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian dan mengirimkan Surat Keterangan itu kepada Pegawai Pencatat ditempat terjadinya perceraian untuk diadakan pencatatan perceraian;

4. Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian tersebut dinyatakan di depan sidang Pengadilan.

Jelas bahwa talak harus diselenggarakan di depan sidang Pengadilan, dimana kedua pihak akan didengar dan dimintai penjelasan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan maksud perceraian. Meskipun terdapat alasan agar perceraian dilaksanakan tetapi dapat dimungkinkan untuk berdamai dan dapat hidup rukun kembali dalam berumah tangga, sehingga perceraian dapat tidak dilakukan.

Perceraian dengan cara gugat hanya dapat dilakukan oleh isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh suami atau isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama selain Islam.23

23Ibid


(37)

Tata cara perceraian dengan cara gugatan diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut: 1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat; 2. Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau

tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, maka gugatan perceraian dapat diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat;

3. Dalam hal Tergugat berdomisili di luar negeri maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat dan Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada Tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat;

4. Apabila alasan perceraian tersebut karena salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat setelah lampau waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Tergugat meninggalkan dan tidak mau lagi kembali ke rumah;

5. Apabila gugatan perceraian dengan alasan antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan, maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman Tergugat. Gugatan dapat diterima oleh Pengadilan setelah sebelumnya mendengar penjelasan dari pihak keluarga atau orang-orang yangdekat dengan suami isteri mengenai sebab-sebab perselisihan itu; 6. Gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, agar mendapatkan putusan perceraian maka


(38)

Penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan dengan keterangan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; 7. Dengan pertimbangan bahaya yang mungkin saja timbul, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tidak tinggal serumah selama gugatan perceraian berlangsung;

8. Penggugat atau Tergugat dapat memohon kepada Pengadilan untuk: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami;

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang-barang-barang yang menjadi hak isteri.

9. Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal dunia sebelum ada putusan Pengadilan;

10. Para pihak akan dipanggil secara resmi oleh juru sita untuk pemeriksaan gugatan perceraian di Pengadilan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka;

11. Bila tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, maka dilakukan pemanggilan dengan menempelkan gugatan pada papan pengumuman atau melalui surat kabar sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggat waktu 1 bulan antara pengumuman yang pertama dengan yang kedua.

12. Bila tempat kediaman Tergugat di luar negeri maka pemanggilan dilakukan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat;


(39)

13. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak berkas diterima dan dalam hal Tergugat berdomisili di luar negeri sidang ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak gugatan dimasukkan ke Paniteraan Pengadilan;

14. Pada sidang pemeriksaan gugatan, baik isteri dan suami harus datang sendiri atau dapat diwakili oleh kuasa hukumnya;

15. Sebelum perkara diputuskan, Hakim akan berusaha mendamaikan kedua belah pihak;

16. Apabila usaha perdamaian berhasil maka Pengadilan membuat akte perdamaian dan alasan yang diajukan untuk bercerai tidak dapat lagi digunakan oleh Penggugat;

17. Bila tidak tercapai perdamaian maka sidang dilanjutkan dan dilakukan dalam sidang tertutup;

18. Putusan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka dalam arti siapa saja boleh mendengarkan dan putusan pengadilan didaftarkan dikantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat;

19. Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan berkewajiban selambatnya 30 (tigapuluh) hari mengirim satu helai salinan putusan perceraian kepada Pegawai Pencatat untuk didaftar;

20. Bila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah yang berbeda denga wilayah tempat berlangsungnya perkawinan, maka satu helai salinan putusan dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah dicatat pada bagian pinggir daftar catatn perkawinan;


(40)

21. Bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Kelalaian dalam mengirimkan salinan putusan menjadi tanggung jawab Panitera;

22. Panitera Pengadilan Agama berkewajiban memeberikan akta cerai sebagai surat bukti kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

F. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orangtua

1. Hak Anak

Adapun yang menyangkut hak dan kewajiban seorang anak diatur dalam Bab III Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 19. Hak anak dalam UU tersebut meliputi :

Pasal 4 :

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 5 :

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pasal 6 :

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7 : (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan


(41)

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Pasal 8 :

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9 :

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak

yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10 :

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11 : Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,

bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.


(42)

Pasal 12 :

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 13 :

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14 :

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15 :

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;


(43)

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;

e. Pelibatan dalam peperangan.

Pasal 16 :

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17 :

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18 :

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.


(44)

Pasal 19 :

Setiap anak berkewajiban untuk :

a. Menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

2. Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orangtua

Kedudukan anak diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (vide Pasal 42 UUP).24 Sementara perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.25

Anak sah menempati kedudukan (strata) yang paling tinggi dan paling sempurna didalam hukum dibandingkan dengan kelompok anak yang lain, karena anak sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum, antara lain hak waris dalam peringkat yang paling tinggi, diantara golongan-golongan ahli waris yang lain, hak sosial dimana ia akan mendaptkan status terhormat ditengah-tengah

24

C.S.T.Kansil, op.cit., hlm.129

25


(45)

lingkungan masyarakat dan hak alimentasi yaitu hak untuk mendapatkan penamaan ayah dalam akta kelahiran dan hak-hak lainnya.26

Akibat adanya perceraian seperti yang dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2 KUH Perdata “Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau semenda dan anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua yang akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua. Penetapan itu berlaku setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak. Sebelum itu pemberitahuan tak usah dilakukan dan perlawanan atau permintaan banding tidak boleh dimajukan.”

Sesuai dengan bunyi pasal di atas, maka dalam hal ini diserahkan kepada hakim untuk menunjuk siapa yang akan menjadi wali, hanya saja dalam penunjukan ini harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan sepenuhnya perihal kepentingan anak-anak tersebut, kepada siapa anak-anak ini lebih terjamin kepentingan dan kehidupannya.27 Namun demikian pihak yang tidak ditunjuk menjadi wali berhak mengajukan perlawanan dengan alasan-alasan yang tepat.

Kekuasaan orang tua yang dimaksud terhadap diri anak-anak tersebut adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak tersebut berupa pendidikan dan pemeliharaannya.

Pemeliharaan terhadap anak dimaksudkan adalah upaya dari orang tua untuk memenuhi memenuhi segala kebutuhan anak baik dari kebutuhan akan pendidikan

26

D.Y.Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Prestasi Putra Karya, Jakarta, 2012, hlm.37.

27


(46)

maupun kebutuhan yang berhubungan dengan jasmani dan rohaninya, seperti perhatian, kesehatan, kasih sayang, dan perkembangan si anak itu sendiri.

Menurut Soemiyati, jika terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan atas kehidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah tanggung jawab ayahnya.28 Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah dapat ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Jika anak tersebut memilih ibunya, maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, tetapi jika anak itu memilih ikut ke ayahnya, maka hak mengasuh ikut berpindah kepada ayahnya.

Pendapat yang sama dengan pendapat Soemiyati tersebut, dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, yang menjelaskan bahwa bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak setelah putusnya perkawinan karena perceraian.29 Jika bapak dalam kenyataannya tidak dapat melaksanakan kewajibannya membiayai kehidupan dan pendidikan si anak, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul tanggung jawab membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak itu.

28

Soemiyati, op.cit., hlm.30 29


(47)

37

HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR

A. Anak

1. Pengertian Anak

a. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

Pengertian anak diatur di dalam Pasal 42 UUP, yaitu anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Seorang suami akan mengingkari seorang anak dikatakan sah adalah apabila :

1) Anak itu dilahirkan kurang dari tenggang waktu yang ditentukan, yaitu sebelum hari yang keseratus delapan puluh semenjak perkawinan dilakukan. 2) Suami dapat membuktikan bahwa sejak tiga puluh sampai seratus delapan puluh hari sebelum lahirnya anak itu, baik karena perpindahan atau secara kebetulan, ia berada dalam ketidakmampuan yang nyata untuk bersetubuh dengan isterinya.

3) Suami dapat membuktikan bahwa isterinya melakukan perbuatan zina dan anak itu sebagai akibat dari perbuatan itu.

4) Anak itu dilahirkan tiga ratus hari setelah hari keputusan perpisahan meja dan tempat tidur memperoleh kekuatan hukum mutlak.


(48)

Dalam hal terjadi perceraian antara suami isteri, dimana isterinya dalam keadaan hamil pada saat perceraian, maka anak yang dilahirkan kemudian, yaitu anak yang ada dalam kandungannya saat perceraian adalah anak sah suami isteri yang bersangkutan. Anak yang dilahirkan setelah putusnya perkawinan yang menjadi anak sah adalah hanya anak yang telah ada pada saat putusnya perkawinan tersebut.

Apabila terdapat anak yang lahir dari akibat perzinahan atau di luar perkawinan yang sah menurut Undang-Undang, maka anak tersebut dapat dikatakan sebagai anak yang tidak sah.30

Seorang anak yang tidak sah tidak mempunyai hubungan dengan ayahnya dan keluarganya. Akan tetapi seorang anak yang tidak sah memiliki hubungan perdata hanya dengan ibunya dan juga keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

Dengan adanya hubungan perdata antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan, demikian juga antara keluarga ibu dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu, maka anak tersebut di bawah pengawasan dari ibunya, serta timbullah kewajiban dari ibunya itu untuk memelihara dan mendidik anak itu, dan berhak atas warisan yang timbul antara ibu dan anak tersebut, demikian juga antara keluarga ibu dengan anak.

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah anak dari ibu yang melahirkannya tetapi anak tersebut tidak mempunyai ayah, karena anak tersebut

30


(49)

tidak mempunyai hubungan hukum dengan laki-laki yang membenihkannya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak yang demikian dinamakan anak luar kawin atau anak alam.31

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal anak luar kawin, karena anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak dari ibu yang melahirkannya. Bagaimanapun juga lahirnya seorang anak tidak dapat dielakkan bahwa anak tersebut adalah anak dari ibu yang melahirkannya. Karena tidak mungkin seorang anak dapat lahir tanpa ibu.

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) memberikan definisi anak yaitu “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) mendefenisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Memberikan batasan pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Seperti yang terdapat dalam Pasal 330 yang berbunyi “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin.”

31

Vina Hanika, Kewajiban Asuh Setelah Perceraian Orang Tua, FH UI, Jakarta, 2010, hlm.33


(50)

e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Dalam Pasal 1 ayat (5) didefenisikan bahwa Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

g. Pengertian anak menurut Konvensi tentang Hak-Hak Anak

(Convention on The Right of The Child)

Pengertian anak menurut konvensi ini, tidak jauh berbeda dengan pengertian anak menurut beberapa perUndang-Undangan lainnya. Anak menurut konvensi hak anak adalah sebagai berikut:

“Anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut Undang-Undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.

Berdasarkan beberapa pengertian yang terdapat diatas, definisi seorang anak dalam tiap-tiap hukum yang berlaku adalah berbeda-beda. Namun dalam pengertian secara umum yang dimaksud dengan anak adalah sesuatu yang baru tumbuh yang belum mencapai usia tertentu, dimana masih memerlukan perlindungan serta pembinaan dari mereka yang telah dewasa dan berakal.32

2. Anak Sah Dan Anak Luar Kawin

a. Anak Sah

Anak sah adalah anak yang dilahirkan dari kedua orang tuanya yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Anak sah sama dengan anak kandung

32


(51)

yang mendapatkan posisi yang istimewa terhadap kedua orang tuanya bila dibandingkan dengan anak luar kawin atau anak tidak sah.33 Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya”

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenal istilah anak yang dilahirkan dalam perkawinan, anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan, dan anak yang dilahirkan di luar perkawinan.34

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan pengertian tentang anak sah yang bunyinya sebagai berikut :

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Maka dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa anak yang sah adalah: 1) Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan

2) Kelahirannya harus dari perkawinan yang sah

3) Bapak dan ibunya telah resmi terikat dalam suatu perkawinan yang sah Sementara menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam :

“Anak yang sah adalah :

1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah

2) Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”

Menurut Djaren Saragih, anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan hubungan perkawinan yang sah mempunyai kedudukan sebagai anak sah. Dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah maksudnya adalah bahwa ketika

33

Munir Fuady,op.cit.,hlm.8. 34

Tan Kamello dan Syarifah Liza Andriati, Hukum Orang Tua dan Keluarga, USU Press, Medan, 2011, hlm.67-68.


(52)

anak itu dilahirkan, wanita yang melahirkannya berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan seorang pria.35

Menurut Hilman Hadikusuma, yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.36

Menurut Soetojo Prawirohamidjojo seorang anak adalah sah jika lahir dalam suatu perkawinan yang sah atau karena adanya perkawinan yang sah. Seorang anak yang dilahirkan selama perkawinan makaa wanita yang melahirkan adalah ibunya dan pria yang mengawini yang membenihkan anak tersebut adalah ayahnya.37

Yusuf al Qadhawi menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya.38

Seorang anak mendapatkan kedudukan hukum sebagai anak yang sah apabila kelahiran si anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Pengertian tersebut harus diartikan bahwa anak tersebut dibenihkan pada saat orang tuanya telah melangsungkan perkawinan yang sah atau karena kelahirannya itu berada dalam ikatan perkawinan yang sah. Menurut dari beberapa pengertian di atas maka pengertian anak sah mengandung beberapa unsur, antara lain :

35

Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984, hlm.134. 36

Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm.95. 37

Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1986, hlm.28-29.

38

Yusuf al Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1976, hlm.256.


(53)

1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

2) Seorang anak dibenihkan di luar perkawinan tetapi dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

3) Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah namun dilahirkan di luar perkawinan.

4) Khusus Kompilasi Hukum Islam seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami isteri di luar rahim dan dilahirkan oleh si isteri.

Ketentuan tentang asal-usul anak diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disebutkan dalam ketentuan itu, bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Bilaman akte kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan asal-usul anak berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Dan berdasarkan ketentuan pengadilan tersebut di atas, maka pegawai pencatat kelahiran yang ada di daerah pengadilan tersebut mengeluarkan akte kelahiran si anak.

Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya. Orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah, pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan harapan kedua orang tuanya sekaligus menjadi penerus keturunannya.

Anak yang sah menempati kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan anak luar kawin, karena menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum, antara lain hak waris dalam tingkatan yang paling tingi di antara


(1)

menurut Majelis Hakim keterangan tersebut belum cukup untuk menyatakan bahwa Tergugat/Pembanding adalah seorang ibu yang tidak bertanggungjawab.

Majelis Hakim juga berpendapat bahwa anak yang belum dewasa sangat memerlukan kasih sayang dan perhatian dari ibu kandungnya, seperti yang diatur dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 102K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 yang berbunyi ”Berdasarkan Yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anak.”

Setelah mempertimbangkan dari berbagai hal, maka Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar memutuskan :

a. Menerima permohonan banding yang diajukan oleh Pembanding semula Tergugat yang bernama KETUT AYU BUDISETIAWATI, SH. ;

b. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 13 Februari 2012 Nomor : 396/Pdt.G/2011/PN.Dps. yang dimohonkan banding, yaitu ad.4 amar putusan sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut :

1) Anak Agung Ayu Nandya Kusuma Wardani ; 2) Anak Agung Ayu Kirana Prameswari ; 3) Anak Agung Bagus Pandu Yubiarsana ;

4) Anak Agung Bagus Prambada Alias Anak Agung Ragil Prambada ;

berada dalam asuhan Tergugat/Pembanding dengan ketentuan Tergugat/Pembanding sebagai seorang ibu berkewajiban mendidik, merawat anak-anak dengan penuh kasih sayang serta memberikan kesempatan kepada Terbanding/Penggugat selaku seorang ayah untuk menjenguk anak-anaknya ;


(2)

c. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 13 Februari 2012 Nomor : 396/Pdt.G/2011/PN.Dps tersebut untuk selebihnya ;

d. Membebankan kepada Terbanding/Penggugat untuk membayar biaya perkara ini dalam kedua tingkat peradilan.

Analisis Kasus

Dalam perkara banding di atas penulis menganalisis beberapa hal, antara lain :

1) Pasal yang dipakai dalam argumentasi para pihak masih kurang tepat karena pihak Tergugat/Pembanding hanya menggunakan Pasal 49 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk membuktikan bahwa ia layak untuk mendapatkan hak asuh anak tersebut. Sebaiknya untuk semakin mendukung argumentasi Tergugat/Pembanding, ia juga menggunakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 102K/Sip/1973 seperti yang terdapat dalam pertimbangan Majelis Hakim.

2) Pertimbangan yang dibuat oleh Majelis Hakim sudah tepat. Dimana Majelis Hakim berpedoman pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 102K/Sip/1973 dan mempertimbangkan hal yang terbaik bagi anak-anak. Dimana anak-anak yang masih dibawah umur sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari seorang ibu yang melahirkannya.

3) Putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim juga sudah tepat. Majelis Hakim memutuskan bahwa hak asuh anak dikembalikan kepada ibunya yang bisa bertanggung jawab terhadap kehidupan dan masa depan anak tersebut.


(3)

94

A. Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat penulis simpulkan dari skripsi Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Orang Tua (Studi Kasus 3 (tiga) Putusan Pengadilan Negeri dan 1 (satu) Putusan Pengadilan Tinggi di Indonesia), yaitu :

1. Hak asuh anak berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengarah pada tanggung jawab orang tua dalam bentuk kewajiban guna memenuhi hak-hak anak tersebut. Kepentingan seorang anak harus didahulukan daripada kepentingan orang tuanya dengan berpedoman kepada paradigma “berikan yang terbaik bagi anak”. Hak asuh anak menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengandung makna kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. Undang-Undang ini tidak melihat latar belakang kondisi orang tua, baik yang bercerai ataupun tidak bercerai. Undang-Undang ini juga tidak mempermasalahkan apakah anak memiliki kejelasan orang tua atau tidak. Yang terpenting adalah seorang anak harus mendapatkan posisi yang terbaik didalam kehidupannya. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam mengandung makna merawat dan mendidik anak yang belum mumayyiz atau yang belum berumur 12 tahun. Menurut KHI, anak yang belum mummayiz berada


(4)

pada penguasaan ibunya, sedangkan ayahnya berkewajiban untuk menanggung biaya kehidupan si anak.

2. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam memutuskan hak asuh anak diberikan pada ayah dengan pertimbangan bahwa istri pergi meninggalkan rumah suaminya tanpa seizin suami, sehingga istri melalaikan kewajibannya sebagai seorang ibu untuk mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Maka kehidupan anak tersebut akan lebih terjamin bila diasuh oleh ayahnya.

3. Putusan Pengadilan Negeri yang telah memberikan hak asuh anak kepada ayah dapat dibatalkan sehingga hak asuh anak tersebut kembali kepada ibunya, yaitu melalui putusan banding yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi. Hal ini dilakukan jika pihak ibu merasa keberatan atas putusan Pengadilan Negeri tersebut, sehingga ibu mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi untuk memperoleh kembali hak asuh atas anaknya.

B. Saran

1. Orang tua anak baik suami maupun istri yang sudah bercerai sebaiknya menerapkan pengasuhan bersama walaupun pengadilan telah memutuskan hak asuh anak jatuh pada salah satu pihak agar anak tidak merasa kehilangan kasih sayang dari salah satu orang tuanya.

2. Pemerintah lebih aktif memberikan penyuluhan hukum mengenai perceraian kepada pasangan suami istri, terutama mengenai akibat-akaibatnya terhadap anak agar nantinya tumbuh masyarakat yang sejahtera dan aman serta terhindar dari perceraian.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Al Qadhawi, Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1976.

Arso Sasroatmodjo dan H.A.Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

D.Y, Witanto. Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Jakarta: Prestasi Putra Karya, 2012.

Fuady, Munir. Konsep Hukum Perdata, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013.

Hanika, Vina. Kewajiban Asuh Setelah Perceraian Orang Tua, Jakarta: FH UI, 2010.

Harahap, Indri Hafni Paramita. Pelimpahan Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian, Medan: FH USU, 2010. Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasional, Medan: CV. Zahir

Trading, 1975.

Herusko. Anak Luar Kawin, Jakarta: Makalah pada Seminar Kowani, 1996. Kansil, C.S.T. Modul Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995. Latif, Jamil. Aneka Hukum Perceraian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Malik, Rusdi. Memahami Undang-Undang Perkawinan, Jakarta:

Universitas Trisakti, 2010.

Mulati. Hukum Perkawinan Islam, Tangerang: PT Pustaka Mandiri, 2012. Prawirohamidjojo, Soetojo. Pluralisme dalam Perundang-Undangan

Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Airlangga University Press, 1986. Prinst, Darwin. Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

1997.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.


(6)

Sardjono. Masalah Perceraian, Jakarta: Academia, 1979.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986. Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,

Yogyakarta: Liberty, 1982.

Subekti dan Tjitrosudibio. Hukum Perdata Dengan Tambahan UUPA dan Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Internusa, 1994.

Sudarsono. Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Syaifudin, Muhammad. Hukum Perceraian, Palembang: Sinar Gravika,

2012.

Tan Kamello dan Syarifah Liza Andriati. Hukum Orang dan Keluarga, Medan: USU Press, 2011.

Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Jakarta: FH UI, 2004.

Website

http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/perkawinan.html, diakses pada tanggal 8 Januari 2015.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan