Pola Makan dan status gizi pada anak etnis Cina di SD Sutomo 2 dan anak etnis Batak Toba di SD Antonius Medan Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh
konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status ini merupakan tandatanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004).
Salah satu metode penilaian status gizi dengan pengukuran IMT. Indeks massa
tubuh (IMT) merupakan pengukuran lemak tubuh secara tidak langsung yang
berhubungan dengan penimbunan lemak pada masa dewasa dan peningkatan terhadap
resiko kesehatan.
Untuk anak-anak dan remaja yang berusia 2 sampai 19 tahun, IMT
ditempatkan dalam grafik IMT/U dan perlu diperhatikan sepanjang waktu karena
grafiknya yang terus mengalami perubahan berdasarkan umur dan jenis kelamin.
Grafik pertumbuhan IMT/U tersebut merupakan sebuah skrinning dalam menentukan
anak yang mengalami gizi lebih atau berisiko mengalami gizi lebih bahkan obesitas
(CDC, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan IMT/U

Cut of point
IMT/U < -3 SD
-3 SD ≤ IMT/U < -2 SD
-2 SD < IMT/U ≤ 1 SD
1 SD < IMT/U ≤ 2 SD
IMT/U ≥2 SD
Sumber : WHO 2007

Status Gizi
Gizi kurang

Klasifikasi
Severe Underweight
Underweight
Overweight
Obesitas

normal
Gizi lebih


Kelebihan IMT/U sebagai skrinning gizi lebih khususnya obesitas pada anak
antara lain :
1. Hasil pengukuran IMT/U konsisten dengan indeks IMT pada dewasa sehingga
IMT/U dapat digunakan mulai dari 2 tahun hingga dewasa (19 tahun)
2. IMT/U pada anak-anak dapat digunakan untuk memprediksi IMT pada masa
dewasa. Mereka yang mempunyai IMT/U tinggi berpotensi untuk mempunyai
IMT tinggi pada masa dewasa.
3. IMT/U berkorelasi dengan resiko kesehatan seperti penyakit kardiovaskular yang
meliputi dislipidemia, peningkatan insulin dan tekanan darah (Freedman et al,
1999 dalam CDC, 2000)
4. Penggunaan IMT/U sebagai skrinning untuk obesitas sebanding dengan
penggunaan BB/TB dalam batas umur 3 sampai 5 tahun. Namun untuk usia 6
sampai batas 19 tahun, IMT/U mempunyai ketepatan yang lebih bila
dibandingkan dengan BB/TB (Mei et al dalam CDC,2000)
5. Grafik IMT/U menggambarkan adiposity rebound, yaitu penurunan BMI pada
usia 1 tahun kemudian meningkat kembali pada usia 4 sampai 6 tahun, sedangkan
BB/TB cenderung mengalami kenaikan yang statis.

Universitas Sumatera Utara


2.2. Obesitas
Obesitas merupakan suatu penyakit yang merupakan kompleks kombinasi
antara genetik dan faktor yang didapat seperti lingkungan, psikososial, biologis, dan
faktor sosial ekonomis. Obesitas biasanya disebabkan oleh kelebihan masukan
makanan yang nantinya akan disimpan menjadi simpanan lemak tubuh ketika
masukan energi melebihi pengeluaran, dan keadaan ini biasanya terjadi bila ada
keseimbangan energi positif dalam waktu yang lama (Dehghan et al, 2005).
Kegemukan (obesitas) adalah refleksi ketidakseimbangan konsumsi

dan

pengeluaran energi. Penyebabnya ada yang bersifat eksogenous dan endogenous.
Penyebab eksogenous misalnya kegemaran makan secara berlebihan terutama
makanan tinggi kalori tanpa diimbangi oleh aktivitas fisik yang cukup sehingga
surplus energinya kemudian disimpan sebagai lemak tubuh. Penyebab endogenous
adalah gangguan metabolik dalam tubuh, misalnya kejadian tumor pada hipotalamus
dapat menyebabkan hipergia atau nafsu makan berlebihan (Khomsan, 2003).
Pengertian obesitas dan overweight tidak sama, sementara orang sering sekali
menganggap obesitas dan overweight tersebut sama. Menurut Soegih & Kunkun
(2009) kegemukan (obesitas) adalah peningkatan lemak tubuh yang berlebihan

daripada yang diperlukan fungsi tubuh dan overweight (gizi lebih) adalah
peningkatan berat badan yang melebihi berat badan rata-rata.
Masalah kesehatan yang signifikan dengan obesitas seperti penyakit jantung
koroner (PJK), diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi biasanya ditemukan pada saat
usia dewasa. Namum masalah kesehatan yang berhubungan dengan komplikasi ini

Universitas Sumatera Utara

pernah terjadi pada anak anak. Sekitar 40% anak yang obesitas dan sekitar 80%
remaja yang obesitas akan menjadi obesitas pada usia dewasa. Penambahan berat
badan biasanya dimulai pada usia 5-7 tahun, selama pubertas atau saat usia remaja
awal.
Di Indonesia, masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai
muncul tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial
ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan
dan pola aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita
kegemukan dan obesitas (Almatsier, 2004). Pada tahun 2007 diperkirakan, sekitar 22
juta anak di dunia yang berusia kurang dari 5 tahun mengalami kegemukan dan
obesitas. Lebih dari 75 % anak yang mengalami kegemukan dan obesitas itu tinggal
di Negara yang pendapatannya menegah ke bawah (WHO, 2009).

Obesitas berhubungan dengan pola makan, terutama bila makan makanan
yang mengandung tinggi kalori, tinggi garam dan rendah serat. Selain itu terdapat
faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor demografi, faktor sosiokultur, faktor
biologi dan faktor perilaku (Suastika, 2002).
2.2.1. Faktor Penyebab Obesitas
Banyak faktor yang dapat menyebabkan obesitas baik yang berasal dari
internal anak sekolah maupun dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Pada
penelitian sebelumnya menemukan faktor yang berhubungan dengan kejadian
obesitas pada anak adalah genetik dan keturunan. Penelitian Mejiah, dkk (2007)

Universitas Sumatera Utara

menyatakan kurangnya aktivitas sebagai pemicunya. Hubungan antara faktor tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1. Herediter atau Keturunan
Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik.
Menurut Sjarif (2003), kalau salah satu diantara orangtuanya yang obesitas,
maka anaknya mempunyai resiko 40% menjadi obesitas, sedangkan bila kedua
orangtuanya obesitas risikonya menjadi 80%.
2. Jenis Kelamin

Obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama pada masa remaja, hal ini
disebabkan faktor endokrin dan perubahan hormonal. Perempuan sedikit lebih
gemuk dan pada laki-laki pada saat kelahiran sampai anak-anak. Komposisi
tubuh berbeda nyata antara laki-laki dan perempuan selama remaja.
3. Faktor Psikologis
Apa yang didalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya.
Beberapa anak makan berlebihan untuk melupakan masalah, melawan
kebosanan, atau meredam emosi, seperti stress. Masalah-masalah inilah yang
menyebabkan terjadinya obesitas pada anak (Nirwana,2012).
4. Suku / Bangsa
Pada suku/ bangsa tertentu kadang-kadang terlihat banyak anggotanya yang
menderita obesitas. Penelitian Faizah (2004) di Semarang menunjukkan bahwa
warga negara keturunan merupakan faktor risiko dengan Indeks Massa Tubuh
rata-rata tertinggi adalah pada suku bangsa Tionghoa.

Universitas Sumatera Utara

5. Pandangan masyarakat yang salah tentang anak yang gemuk.
Banyak Ibu yang yakin bahwa bayi yang sehat adalah bayi yang gemuk. Padahal
bayi gemuk memiliki kecenderungan gemuk di masa dewasa.

6. Aktivitas Fisik
Semakin banyak aktivitas maka semakin banyak kalori yang dibutuhkan
sehingga meningkatkan pembakaran energi. Namun bila aktivitas fisik sedikit,
kalori yang dibakar juga sedikit. Hal itu akan beresiko menyebakan kegemukan
pada anak-anak. Penelitian Paramitha (2013) menunjukkan adanya hubungan
antara aktivitas dengan kejadian obesitas pada anak.
7. Sosial Ekonomi Orangtua
Semakin tinggi keadaan ekonomi maka kemampuan keluarga untuk membeli
makanan yang disukai dan menjadi favorit anak juga semakin tinggi. Namun,
kebanyakan makanan favorit anak biasanya mengandung kalori tinggi karena
tinggi lemak dan gula seperti ice cream, junk food, dan makanan cepat saji.
Parengkuan (2013) dalam penelitiannya di Manado menyimpulan bahwa
proporsi keluarga berpendapatan tinggi yang memiliki anak obesitas sebesar 55,9
% dan pada kelompok tidak obesitas 25%. Keluarga dengan pendapatan tinggi
merupakan faktor resiko terjadinya obesitas pada anak SD di Kota Manado.
Orangtua yang dulunya berasal dari keluarga yang kurang mampu, maka mereka
cenderung memberikan makanan sebanyak-banyaknya pada anak -anaknya.

Universitas Sumatera Utara


2.2.2. Prevalensi Obesitas pada Anak
Akhir-akhir ini obsitas pada anak-anak menjadi perhatian global karena
menunjukkan kecenderungan untuk terus meningkat prevalensinya. Saat ini, obesitas
tidak lagi menjadi masalah di Negara maju, tetapi juga di Negara berkembang.
Masalah ini secara global terus menerus mempengaruhi banyak negara-negara dengan
tingkat pendapatan rendah dan menengah, terutama pada daerah perkotaan (WHO,
2009).
Menurut Australian Health and Fitness Survey yang bekerja sama dengan
Australian Council for Health, Physical Education and Recreation (1985) dalam
Ariani (2007) melaporkan adanya peningkatan overweight dan obesitas dari 11,8%
pada anak laki-laki dan 10,7% pada anak perempuan menjadi lebih besar 19% pada
anak laki-laki dan 21% pada anak perempuan dalam 3 tahun. Prevalensi obesitas pada
anak-anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir ini
meningkat dari 7,6-10,8% menjadi 13-14%. Prevalensi overweight dan obesitas pada
anak usia 6-18 tahun di Rusia adalah 6% dan 10%, di Cina adalah 3,6% dan 3,4% dan
di Inggris adalah 22-31% dan 10-17%, bergantung pada umur dan jenis kelamin.
Prevalensi obesitas pada anak-anak sekolah di Singapura meningkat dari 9% menjadi
19% (Sjarif,2005).
Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia≥ 15 tahun


di Sumatera

Utara adalah 10,3% (laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan prevalensi berat
badan berlebih anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan perempuan 6,4%.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian di Medan pada tahun 1995 yang dilakukan oleh Kamelia mendapatkan
kejadian obesitas sebesar 20% pada SD swasta dan 9% pada SD negeri di kota
Medan. Sedangkan dari hasil penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Ariani dan
Sembiring didapati kejadian obesitas pada anak SD di kota Medan adalah 17,75%
dimana 60,5% terjadi pada anak laki-laki dan 39,5% terjadi pada anak perempuan.
2.2.3. Dampak Obesitas pada Anak Usia Sekolah
Obesitas pada anak-anak akan berdampak pada kesehatan ketika dewasa.
Obesitas pada anak merupakan risiko untuk berbagai penyakit kronik di masa
dewasa. Terdapat konsekuensi jangka panjang yang berhubungan dengan obesitas
pada anak dan remaja. Pada penelitian prospektif selama 32 tahun yang dilakukan
pada remaja Belanda, adanya peningkatan siginifikan penyebab mortalitas yang
terlihat pada kasus obesitas (Hoffmans et al, 1988).

Ada beberapa penyakit yang dapat ditimbulkan pada masa dewasa akibat
obesitas pada masa anak-anak dalam faktor kardiovaskular, sleep apneu, masalah
ortopedik yang berkaitan dengan obesitas, kelainan kulit serta gangguan psikiatrik,
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler
Faktor ini meliputi meningkatnya kadar insulin, trigliserida, LDL kolesterol
dan tekanan darah serta penurunan HDL-kolesterol. Nurul (2006) menyatakan
bahwa anak obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan
denyut jantung yang meningkat, dan hingga 20-30% yang menderita
hipertensi.

Universitas Sumatera Utara

b. Diabetes Melitus Tipe-2
Hampir semua anak obesitas dengan diabetes mellitus tipe-2 mempunyai
IMT> 3SD atau > persentil ke 99 (Bluher S, 2004).
c. Obstructive sleep apnea
Anak yang obesitas sering dijumpai mengalami gangguan tidur mengorok.
Penyebabnya adalah penimbunan jaringan lemak di daerah dinding dada dan
perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma. Hal ini

menyebabkan terjadinya perubahan volume dan pola ventilasi paru-paru
sehingga meningkatkan beban kerja pernafasan. Menurut Kopelman (2000)
pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang disertai
penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan
tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah jatuh ke
arah dinding belakang faring sehingga mengakibatkan obstruksi saluran
pernafasan intermiten. Hal ini mengakibatkan tidur yang gelisah sehingga
keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi. Gejala ini
akan berkurang seiring dengan penurunan berat badan.
d. Gangguan Ortopedik
Pada anak obesitas cenderung mengalami kelainan ortopedik yang disebabkan
kelebihan berat badan, yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan
terbatasnya gerakan panggul.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Pola Makan
Menurut Supariasa (2005) pola makan itu merupakan kebiasaan makan yang
meliputi jumlah, frekuensi dan jenis atau macam makanan. Penentuan pola makan
harus memperhatikan nilai gizi makanan dan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hal
tersebut dapat ditempuh dengan penyajian hidangan yang bervariasi dan dikombinasi,
ketersediaan pangan, macam serta jenis bahan makanan mutlak diperlukan.
Disamping itu jumlah bahan makanan yang dikonsumsi juga menjamin tercukupinya
kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh .
Almatsier (2004) menyatakan bahwa keseimbangan energi dicapai bila energi
yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan.
Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal/normal. Kelebihan energi terjadi
apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan.
Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya, terjadi berat
badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan
dalam hal jenis karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang gerak.
Apabila konsumsi energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan
adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah.
Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan
produksi Neuro Peptide-Y (NPY) sehingga menurunkan nafsu makan. Demikian pula
sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar daripada konsumsi energi, maka
jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di
hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar

Universitas Sumatera Utara

penderita obesitas terjadi resistensi leptin sehingga tingginya kadar leptin tidak
menyebabkan penurunan nafsu makan (Harrison, 2003).
Penelitian Croezen (2007) menunjukan pola makan yang tidak teratur seperti
tidak sarapan pagi, asupan alkohol, dan rendahnya aktivitas fisik menyebabkan
obesitas (Indeks Massa Tubuh/IMT meningkat). Keseimbangan energi dicapai bila
energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang
dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal/normal. Kelebihan
energi terjadi apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang
dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga berat
badan meningkat. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan dalam porsi
besar, seperti jenis makanan karbohidrat, lemak maupun protein, dan kurangnya
aktivitas. Perubahan budaya makan ternyata dapat menyokong kecenderungan
terjadinya kegemukan khususnya di negara maju dan pada sebagian masyarakat
perkotaan. Kebiasaan makan keluarga suka ditiru oleh anak anak, misalnya makan
berlebihan, frekuensi makan sering, makan snack yang berlebihan dan makan di luar
waktu makan.
2.3.1. Karakteristik Anak Sekolah
Menurut WHO (World Health Organization) anak sekolah adalah golongan
yang berusia antara 7-15 tahun, sedangkan di Indonesia anak sekolah lazimnya anak
yang berusia antara 7-12 tahun. Golongan ini memiliki karakteristik mulai mencoba
mengembangkan kemandirian dan menentukan batasan-batasan atau norma. Disinilah
variasi individu mulai lebih mudah dikenali, seperti pada pertumbuhan dan

Universitas Sumatera Utara

perkembangan, pola aktivitas, kebutuhan zat gizi, perkembangan kepribadian, serta
asupan makanan.
2.3.2. Pola Makan Usia Anak Sekolah
Anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) mempunyai karakteristik banyak
melakukan aktivitas jasmani. Pada usia ini, anak membutuhkan energi tinggi untuk
menunjang aktivitasnya. Pola makan yang sehat namun cukup menghasilkan energi
sangat diperlukan untuk mendukung aktivitasnya. Energi dalam tubuh dapat timbul
karena adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak, karena itu agar energi
tercukupi perlu pemasukan makanan yang memiliki nilai gizi yang tinggi.
Pola makan yang sehat dibutuhkan anak-anak untuk mendapatkan gizi yang
seimbang. Pola makan sehat adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah
dan jenis makanan dengan maksud tertentu, seperti mempertahankan kesehatan,
status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Keseimbangan gizi
yang didapat melalui pola makan yang sehat akan berpengaruh positif terhadap
kesehatan serta tumbuh kembang anak. Makanan yang mengandung

gizi yang

seimbang adalah makanan yang mengandung prinsip empat sehat

dan lima

sempurna, makanan yang mengandung karbohidrat dan lemak sebagai zat tenaga,
protein sebagai zat pembangunan, vitamin dan mineral (Anggaraini, 2003).
Penanaman pola makan yang sehat kepada anak dapat dilatih di dalam
keluarga. Pembiasaan pola makan yang sehat dapat diawali sebelum seluruh anggota
keluarga menjalankan aktivitas yaitu melalui sarapan pagi. Pembiasaan sarapan pagi
berguna untuk menunjang energi demi optimalnya aktivitas belajar anak di sekolah.

Universitas Sumatera Utara

Anak yang tidak sarapan pagi akan mencari snack. Snack atau kudapan cenderung
memiliki komposisi makanan tinggi kalori. Oleh karena itu sebaiknya anak harus
dibiasakan untuk membawa bekal dari rumah. Hal ini berguna agar anak tidak
membeli makanan yang kemungkinan tidak higienis. Makanan yang dibawa anak dari
rumah juga harus mempunyai nilai gizi yang seimbang agar kebutuhan gizi anak
dapat terpenuhi.
Pola makan erat kaitannya dengan kejadian obesitas pada anak usia sekolah.
Penelitian Kartika (2010) yang bertujuan untuk melihat perbedaan pola makan pada
anak remaja yang obesitas dengan yang non obesitas telah membuktikan bahwa anak
yang obesitas cenderung memiliki pola makan yang tinggi kalori dari pada yang non
obesitas. Tentunya pola yang sama dapat ditemukan pada anak SD yang obesitas.
Pola makan yang tidak baik terlihat dari kebiasaan makan anak yang tidak
baik seperti :
1. Kebiasaan anak yang suka jajan di sekolah dibandingkan makan di rumah.
Kebiasaan banyak jajan merupakan kebiasaan yang tidak baik karena selalu
diragukan kebersihannya dan belum tentu makanan yang dibeli tersebut bergizi
baik. Selain itu, makanan tersebut dapat menyebabkan badan anak tidak sehat
karena mungkin saja makanan tersebut mengandung kuman penyakit.
2. Kebiasaan yang hanya menyukai makanan tertentu tanpa menghiraukan apakah
makanan yang disenanginya itu bergizi atau tidak.

Universitas Sumatera Utara

3. Makan tidak teratur, misalnya karena asyik atau sibuk bermain sehingga waktu
makan dilewatkan begitu saja. Hal ini dapat menyebabkan penyakit pada organ
pencernaan terutama lambung.
4. Makan yang berlebihan. Kebiasaan ini menyebabkan badan menjadi gemuk dan
bila terlalu gemuk, kesehatan pun akan terganggu. Konsumsi makanan yang
berlebihan terutama yang mengandung karbohidrat dan lemak akan menyebabkan
jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh tidak seimbang dengan kebutuhan
energi. Kelebihan energi ini di dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk jaringan
lemak yang lama-kelamaan akan mengakibatkan obesitas. Selain itu, kebiasaan
yang tidak benar memacu seseorang untuk menjadi gemuk. Kebiasaan sering
mengkonsumsi makanan kecil yang penuh kalori atau sering diberi istilah
‘ngemil’ dapat meningkatkan kejadian obesitas.
Anak-anak sering tidak menyadari efek dari makanan yang dia makan
terhadap kesehatannya khususnya obesitas. Oleh karena itu penting sekali
memberitahukan informasi yang benar mengenai makan yang sehat dan jajanan yang
sehat. Peningkatan kebiasaan jajan terdapat hubungan dengan kejadian obesitas, hal
ini disebabkan adanya ketidakseimbangan kandungan energi seperti tinggi
karbohidrat dan lemak, rendah serat ( Almatsier 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Kebutuhan Gizi pada Anak Sekolah
Anak usia 7-12 tahun masuk dalam kategori praremaja. Pada periode ini
pertumbuhan berjalan terus walaupun tidak secepat saat bayi. Pada umumnya
kelompok usia ini memiliki kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan
kesehatan anak balita, namun nafsu makan mereka cenderung menurun sehingga
konsumsi makanan tidak seimbang dengan kalori yang dibutuhkan.
Anak yang tergolong dalam usia sekolah memerlukan makanan yang hampir
sama dengan yang dianjurkan untuk anak prasekolah. Namun, karena pertambahan
berat badan dan banyaknya aktivitas yang mereka lakukan maka dibutuhkan porsi
yang lebih besar (Pudjiadi, 1997). Golongan usia 10-12 tahun kebutuhan energinya
relatif lebih besar bila dibandingkan dengan golongan usia 7-9 tahun. Hal ini
dikarenakan pada usia 10-12 tahun mereka mengalami pertumbuhan lebih cepat
terutama penambahan tinggi badan.
Kebutuhan gizi pada anak usia 10-12 tahun berbeda antara laki-laki dan
perempuan terutama kebutuhan akan zat besi. Anak perempuan membutuhkan zat
besi yang lebih banyak daripada anak laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena pada
usia tersebut anak perempuan biasanya sudah mulai haid sehingga memerlukan zat
besi yang lebih banyak. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk anak
usia sekolah (Menkes RI 2005 dalam Hardinsyah dkk, 2010) adalah seperti dalam
tabel berikut ini :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan untuk
Anak Usia Sekolah
Zat Gizi Usia
Energi (Kkal)
Karbohidrat(gr)
Lemak (gr )
Protein (gr)

Usia 7-9 tahun
Laki-laki Perempuan
1850
254
72
49

1850
254
72
49

Usia 10-12 tahun
Laki-laki
Perempuan
2100
289
70
56

2000
275
67
60

Jumlah energi dan protein yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi 2004 bagi anak umur 7-12 tahun tertera pada tabel di bawah ini
Tabel 2.3. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan
(Per Orang Per Hari) Anak Umur 7 –12 Tahun
Golongan Umur
7-9 tahun
10 –12 tahun
(pria)
10 –12 tahun
(wanita)

Berat
25 kg
35 kg

Tinggi
120 cm
138 cm

Energi
1800 kkal
2050 kkal

Protein
45 gram
50 gram

38 kg

145 cm

2050 kkal

50 gram

Pesan yang dapat diarahkan untuk anak usia sekolah (SD) yaitu konsumsi
makanan yang beraneka ragam, kosumsi makanan untuk memenuhi kebutuhan
energi, makan makanan sumber karbohidrat setegah dari kebutuhan energi, gunakan
garam beryodium, makan makanan sumber zat besi, biasakan makan pagi, minum air
bersih dan cukup jumlahnya, lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur. Dan
makan makanan yang aman bagi kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

2.3.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Makan
Pola makan seseorang pada dasarnya tidak dapat dibentuk dengan sendirinya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pola makan seseorang adalah sebagai berikut:
1. Budaya
Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi. Demikian
pula letak geografis mempengaruhi makanan yang diinginkannya. Sebagai
contoh, nasi untuk orang-orang Asia dan Orientalis, pasta untuk orang-orang
Italia, curry (kari) untuk orang-orang India merupakan makanan pokok, selain
makanan-makanan lain yang mulai ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai
oleh masyarakat sepanjang pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika
bagian Selatan lebih menyukai makanan goreng-gorengan.
2. Agama/Kepercayaan
Agama/kepercayaan juga mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi.
Sebagai contoh, agama Islam dan Yahudi Orthodoks mengharamkan daging babi.
Agama Roma Katolik melarang makan daging setiap hari, dan beberapa aliran
agama (Protestan) melarang pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi atau alkohol.
3. Status Sosial Ekonomi
Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut dipengaruhi oleh
status sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, orang kelas menegah ke bawah atau
orang miskin di desa tidak sanggup membeli makanan siap saji, daging, buah dan
sayuran yang mahal. Pendapatan akan membatasi seseorang untuk mengkonsumsi
makanan yang mahal harganya. Kelompok sosial juga berpengaruh terhadap

Universitas Sumatera Utara

kebiasaan makan, misalnya kerang dan siput disukai oleh beberapa kelompok
masyarakat, sedangkan kelompok masyarakat yang lain lebih menyukai
hamburger dan pizza.
4. Personal Preference
Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan
makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan makannya sejak dari masa
kanak-kanak hingga dewasa. Misalnya, ibu tidak suka makanan kerang, begitu
pula anak perempuannya. Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap
makanan tergantung asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak-anak yang
suka mengunjungi kakek dan neneknya akan ikut menyukai acar karena mereka
sering dihidangkan acar. Lain lagi dengan anak yang suka dimarahi bibinya, akan
tumbuh perasaan tidak suka pada daging ayam yang dimasak bibinya
5. Rasa Lapar, Nafsu Makan, dan Rasa Kenyang
Rasa lapar umumnya merupakan sensasi yang kurang menyenangkan karena
berhubungan dengan kekurangan makanan. Sebaliknya, nafsu makan merupakan
sensasi yang menyenangkan berupa keinginan seseorang untuk makan.
Sedangkan rasa kenyang merupakan perasaan puas karena telah memenuhi
keinginannya untuk makan. Pusat pengaturan dan pengontrolan mekanisme lapar,
nafsu makan dan rasa kenyang dilakukan oleh sistem saraf pusat, yaitu
hipotalamus.

Universitas Sumatera Utara

6. Kesehatan
Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan atau
gigi yang sakit seringkali membuat individu memilih makanan yang lembut.
Tidak jarang orang yang kesulitan menelan, memilih menahan lapar dari pada
makan.
2.3.5. Pola Makan Menurut Budaya
Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan
makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam
kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial dan norma budaya
bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak baik
(Sediaoetama, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian Zhihong Wang MS dalam jurnal penelitian “
Dynamic shifts in Chinese eating behaviors”, bahwa etnis Cina memiliki kebiasaan
ngemil dan berlebihan mengkonsumsi makanan yang digoreng. Kebiasaan ngemil
dan mengkonsumsi makanan yang digoreng dapat meningkatkan jumlah kalori dan
lemak yang berlebihan di dalam tubuh yang dapat mengakibatkan terjadinya obesitas.
Menurut Winoto (2004) dalam hal jenis pangan yang paling disukai suku
Tionghoa atau Cina yaitu mie, daging ayam, daging babi, tahu, kecap, teh dan ciu.
Berdasarkan karakteristik makanan yang sering dijajakan etnis Cina atau disebut
Tionghoa di kota Medan, makanan dengan kalori tinggi yang berasal dari dagingdagingan seperti babi, ayam dan bebek goreng (Sjarif, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Kebiasaan makan etnis batak yaitu mengkonsumsi beras, daging ayam dan
daging babi. Menurut jumlah makan, nasi yang dikonsumsi suku batak lebih banyak
daripada konsumsi sayuran dan buah. “Mangan” atau makan dalam bahasa Toba
adalah makan nasi dengan lauk pauknya pada waktu-waktu tertentu.(Syahrial,2003)
Obesitas pada etnis Batak biasanya disebabkan oleh porsi makanan yang tidak
seimbang dan kurangnya serat. Sebagai contoh, dalam satu piring, nasi memiliki porsi
lebih besar dari pada lauk dan sayur, bahkan dapat mengahabiskan 2 piring nasi
dengan satu ikan tanpa ada sayur. Obesitas juga dapat dipicu oleh konsumsi daging
yang cukup banyak karena etnis Batak menganggap daging sebagai makanan dengan
nilai sosial yang tinggi.
2.3.6. Metode Penilaian Konsumsi Makanan Anak
Metode penilaian konsumsi makanan digunakan untuk melihat asupan
makanan pada populasi dan individu. Menurut Gibson (2005) ada dua metode
penilaian yaitu metode penilaian konsumsi makanan kuantitatif dan kualitatif. Metode
penilaian makanan kuantitatif meliputi recall dan record, sedangkan metode
kualitatif meliputi dietary history dan food frequency questionnaire (FFQ) .
2.3.6.1. Metode Food Recall 24 Jam
Penilaian konsumsi makanan dengan menggunakan food recall 24 jam
bertujuan untuk memperkirakan asupan zat gizi pada individu. Pada penilaian
konsumsi ini, subyek diwawancarai

untuk mengajak subyek mengingat kembali

makanan yang dikonsumsi selama 24 jam terakhir, termasuk suplemen. Metode ini
dapat dilakukan pada anak lebih dari 8 tahun.

Universitas Sumatera Utara

Food recall 24 jam digunakan untuk mengetahui rata-rata asupan pada
populasi. Oleh karena itu responden harus benar-benar mewakili populasi yang
diteliti dan diusahakan mewakili jumlah hari dalam seminggu. Metode ini mudah
cepat digunakan.
Kendala yang sering dihadapi dalam penilaian konsumsi pangan dengan food
recall 24 jam adalah the flat slope syndrome dimana subyek cenderung untuk
melebihkan asupan yang kurang dan mengurangi asupan yang berlebihan serta
kesulitan responden untuk mengingat apa yang dikonsumsi 24 jam yang lalu.
Meskipun demikian, Food recall 24 jam sudah banyak digunakan untuk survey gizi
nasional.
2.3.6.2. Metode Food Record
Pada metode ini, subyek diminta untuk menuliskan makanan yang dimakan
dalam periode waktu tertentu. Porsi makanan dapat menggunakan ukuran rumah
tangga seperti mangkok, sendok makan, butir, dll. Selain itu, ada pula metode food
record dengan penimbangan makanan untuk mengetahui besar porsi yang sebenarnya.
Kelemahan dari metode ini adalah membutuhkan motivasi yang tinggi dari subyek.
Selain itu, dimungkinkan subyek akan mengubah kebiasaan pola makanan.
2.3.6.3. Metode Dietary History
Tujuan dari metode ini adalah untuk mengestimasikan kebiasan asupan
makanan dan pola makan individu dalam periode yang relatif lama. Metode ini
terdiri dari tiga bagian. Pertama, wawancara mengenai keseluruhan kebiasaan pola
makan, termasuk waktu makanan dan jenis makanan. Kedua, frekuensi konsumsi

Universitas Sumatera Utara

makanan spesifik. Ketiga, record asupan makanan selama tiga hari di rumah oleh
subyek (Gibson,2005).
2.3.6.4. Metode Food Frequency (FFQ)
FFQ ini bertujuan untuk mengukur frekuensi jenis makanan atau kelompok
makanan tertentu. FFQ menggambarkan kebiasaan pola konsumsi makan secara
kualitatif (Gibson,2005). FFQ diukur dengan menanyakan kepada subyek dengan
wawancara dengan form checklist seberapa sering mengkonsumsi makanan tertentu.
Biasanya makanan dikelompokkan menjadi beberapa kategori.
Data pola makan menggunakan kuesioner meliputi frekuensi konsumsi
pangan (tingkat keseringan responden mengkonsumsi jenis makanan pokok dalam
sehari), pola konsumsi makanan cepat saji (rata-rata frekuensi konsumsi makanan
cepat saji dalam 1 minggu) dan pola konsumsi kudapan (rata-rata frekuensi konsumsi
kudapan dalam sehari).

Universitas Sumatera Utara

2.4. Kerangka Teori
Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian obesitas digambarkan sebagai
berikut:
Genetik

Jenis kelamin
Pola Makan





Umur

Frekuensi Makan
Jumlah Zat Gizi
Jenis Makanan

Fisiologi
Gaya Hidup

Faktor
Lingkungan




Aktivitas fisik
Pengetahuan Gizi

Sosial Ekonomi
Pelayanan Kesehatan

Tingkat
Pendidikan




Demografi
Epidemiologi
Obesitas

Pekerjaan

Kemudahan
Hidup

Hormonal

Kemajuan
Teknologi

Gambar 2.1. Mekanisme terjadinya Obesitas (Suhendro, 2003)
Dari gambar dapat diketahui bahwa genetika, jenis kelamin, umur, fisiologi,
obesitas yang terjadi sebelumnya dan hormonal mempengaruhi secara langsung

Universitas Sumatera Utara

kejadian obesitas. Sementara itu, faktor lingkungan, sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, dan kemajuan teknologi mempengaruhi pola makan, gaya hidup dan
keputusan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Pola makan dan gaya hidup berperan
terhadap kejadian obesitas. Komponen dari pola makan yang dapat menyebabkan
terjadinya obesitas dinilai dari frekuensi makan, jumlah zat gizi dan jenis makanan.
Untuk komponen gaya hidup yang berperan adalah demografi dan epidemiologis.

2.5. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori diatas, kerangka konsep penelitian adalah sebagai
berikut :
Pola Makan Etnis Cina
-

Frekuensi Makan
Jumlah Zat Gizi
Jenis Makanan

Pola Makan Etnis Batak
-




Status Gizi
Obesitas
Tidak obesitas

Frekuensi Makan
Jumlah Zat Gizi
Jenis Makanan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :
Berdasarkan kerangka konsep di atas maka diperlukan penelitian kuantitatif
untuk mengetahui perbandingan pola makan dan berat badan pada anak SD etnis Cina
di Sutomo 2 dan etnis Batak Toba di SD Antonius. Dalam penelitian ini variabel yang

Universitas Sumatera Utara

dianalisis adalah variabel independen pola makan anak etnis Cina di SD Sutomo 2
dan anak etnis Batak Toba di SD Antonius yang meliputi frekuensi makan, jumlah zat
gizi dan jenis makanan serta variabel dependen status gizi dalam penentuan obesitas
atau tidak obesitas.

Universitas Sumatera Utara