Gambaran Status Karies Gigi dan Status Gizi pada Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di SLB C Kota Medan

(1)

GAMBARAN STATUS KARIES GIGI DAN STATUS GIZI

PADA ANAK SINDROM DOWN USIA 12-18 TAHUN

DI SLB-C KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas akhir dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: RICA SAVITRI NIM : 110600143

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 6 Maret 2015

Pembimbing: Tanda tangan

Siti Salmiah, drg., Sp.KGA ... NIP: 197906262005012006


(3)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 11 Maret 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Taqwa Dalimunthe, drg., Sp. KGA ANGGOTA : 1. Essie Octiara, drg., Sp. KGA


(4)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Tahun 2015

Rica Savitri

Gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan

x + 37 halaman

Sindrom Down adalah suatu anomali kromosom autosomal yang menyebabkan terbentuknya karakteristik tertentu seperti keterbatasan mental dan keterbatasan fungsi motorik. Keterbatasan ini mengakibatkan anak sulit membersihkan giginya sehingga akan menyebabkan terjadinya karies. Keadaan gigi geligi yang tidak baik seperti karies dapat menyebabkan terganggunya fungsi pengunyahan sehingga asupan gizi anak sindrom Down akan ikut terganggu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah survei deskriptif. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 45 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik dan intra oral. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan uji univariat secara komputerisasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 86,7% anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan mengalami karies dengan rerata skor DMFT 3,16. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa status gizi anak sindrom Down cenderung buruk dibandingkan dengan anak normal.

Kesimpulannya bahwa status karies gigi maupun status gizi anak sindrom Down cenderung buruk dibandingkan dengan anak normal. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sulitnya anak sindrom Down mengunyah makanan ketika mereka sedang mengalami karies. Oleh karena itu, praktisi kesehatan gigi dan juga


(5)

pemerintah sebaiknya memperhatikan kesehatan gigi dan mulut anak sindrom Down sehingga dapat memperbaiki status karies gigi maupun status gizi anak sindrom Down.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Status Karies Gigi dan Status Gizi pada Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di SLB C Kota Medan”. Penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini terlaksana berkat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, terutama pembimbing dan Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak (IKGA) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara (FKG USU) yang telah banyak memberi masukan saran demi kesempurnaan pelaksanaan penelitian.

Banyak pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Yati Roesnawi, drg sebagai Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Siti Salmiah, drg., Sp.KGA sebagai pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Taqwa Dalimunthe, drg., Sp. KGA dan Essie Octiara, drg., Sp. KGA sebagai penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulis.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak FKG Universitas Sumatera Utara atas bantuan dan motivasinya.

6. Aditya Rachmawati, drg., sebagai dosen pembimbing akademik atas motivasi dan bantuannya kepada penulis selama masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.


(7)

7. Ayahanda Drs. H. Khalis Dels, MM dan Ibunda Dra. Hj. Cut Erlina atas segala kasih sayang, doa, dan dukungan serta bantuan baik berupa moral ataupun materi kepada penulis.

8. Kakanda dr. Ria Fitricia dan dr. Rina Sundari serta Adinda Ririn Melissa yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

9. Teman-teman penulis, Jabbar, Yudith, Sukma, Maya, Dira, Gwee, seluruh angkatan 2011 dan senior yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, tenaga serta memberikan semangat untuk terus berjuang.

10. Kepala sekolah SLB C Abdi Kasih, SLB C Al Azhar, SLB C Karya Tulus, SLB C Markus, SLB C Muzdalifah, SLB C Negeri Pembina, SLB C Taman Pendidikan Islam, dan SLB C YPAC yang telah bersedia dan meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam penelitian penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, khususnya di Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak.

Medan, 6 Maret 2015 Penulis,

(Rica Savitri) NIM: 110600143


(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.2.1 Rumusan Masalah Umum ... 3

1.2.2 Rumusan Masalah Khusus ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Penelitian Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Penelitian Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Down ... 5

2.1.1 Etiologi ... 6

2.1.2 Kondisi Fisik ... 7

2.1.3 Kondisi Rongga Mulut ... 8

2.2 Karies Gigi... 8

2.2.1 Indeks Karies ... 11

2.3 Status Gizi ... 11

2.3.1 Pemeriksaan Antropometri ... 12

2.3.2 Indeks Antropometri ... 13

2.4 Kerangka Teori ... 15


(9)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 17

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

3.2.1 Tempat Penelitian ... 17

3.2.2 Waktu Penelitian ... 17

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 18

3.3.1 Populasi Penelitian ... 18

3.3.2 Sampel Penelitian ... 18

3.4 Variabel Penelitian ... 18

3.5 Definisi Operasional ... 19

3.6 Teknik Pengambilan Data ... 21

3.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 21

3.7.1 Pengolahan Data ... 21

3.7.2 Analisis Data ... 22

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden ... 23

4.2 Distribusi Frekuensi Status Karies Gigi Berdasarkan Jenis Kelamin Anak ... 24

4.3 Distribusi Frekuensi Status Gizi Berdasarkan Jenis Kelamin Anak ... 25

4.4 Rerata Pengalaman Karies Gigi Anak Sindrom Down di Masing-masing SLB C Kota Medan ... 26

BAB 5 PEMBAHASAN ... 28

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 33

6.2 Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1

2 3 4

5

6

Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur... Kriteria Pemeriksaan Karies dengan Indeks WHO... Kriteria Responden... Distribusi Frekuensi Status Karies Gigi Menurut WHO Berdasarkan Jenis Kelamin pada Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di SLB C Kota Medan... Distribusi Frekuensi Status Gizi Berdasarkan Jenis Kelamin pada Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di SLB C Kota Medan... Rerata Pengalaman Karies Gigi Anak Sindroma Down Usia 12-18 Tahun di Masing-masing SLB C Kota Medan...

14 19 24

25

26


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Kromosom pada Sindrom Down... 5 2 Rata-rata Tinggi Badan dan Berat Badan Anak Sindroma

Down... 8 3 Empat Lingkaran yang Menggambarkan Paduan Faktor

Penyebab Karies... 9


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Lembar kuesioner penelitian

2 Lembar penjelasan kepada orangtua/ wali calon subjek penelitian 3 Surat pernyataan kesediaan menjadi subjek penelitian

4 Jadwal kegiatan

5 Surat izin survei penelitian 6 Surat izin penelitian mahasiswa

7 Surat persetujuan komisi etik tentang pelaksana penelitian bidang kesehatan

8 Surat pernyataan melakukan penelitian 9 Data penelitian


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Down adalah suatu anomali kromosom autosomal yang banyak terjadi pada manusia. Sindrom Down dulu disebut sebagai “Mongoloid” karena tampilan mata yang khas seperti bangsa Mongol, namun sekarang istilah ini sudah tidak digunakan lagi karena dapat menyinggung perasaan bangsa tertentu. Anak sindrom Down memiliki karakteristik umum yaitu muka rata, hidung tipis (pesek), garis tangan yang khas (Simian crease), jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih besar, dan jarak antara kedua mata tampak lebih dekat. Adapun karakteristik khas pada rongga mulut anak sindrom Down antara lain maloklusi, hypodontia, microdontia, macroglossia, terlambatnya erupsi gigi, bibir dan lidah yang berfisur, tongue thrust, bruxism, clenching, mouth breathing, periodontitis, dan karies gigi. Angka kejadian sindrom Down diperkirakan 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup, tepatnya 20% anak sindrom Down dilahirkan oleh ibu yang berumur di atas 35 tahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, diperoleh bahwa prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami sindrom Down sebesar 0,13%.1-3

Beberapa penelitian mengatakan bahwa karies pada anak sindrom Down bukan merupakan masalah karena insidensinya lebih rendah dibanding anak normal. Menurut de Castilho (cit Normastura), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain terlambatnya erupsi gigi, banyaknya saliva dan microdontia yang membuat kemampuan daya self-cleansing dan buffer menjadi cukup baik. Namun, ada juga penelitian yang mengatakan bahwa pada anak sindrom Down dijumpai insiden karies gigi yang lebih tinggi. Insidensi karies yang tinggi pada anak sindrom Down kemungkinan disebabkan karena kurangnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi, tindakan kesehatan gigi dan mulut yang kurang memadai, kebiasaan makan yang tidak teratur, ketersediaan makanan yang mengandung sukrosa yang tinggi, kurangnya fluor, kelalaian orang tua dan kurangnya inisiatif terhadap pencegahan.


(14)

Stabholz dkk (cit Asokan) menyatakan bahwa 84% bebas karies pada anak sindrom Down usia 8-13 tahun, sedangkan pada penelitian di India ditemukan prevalensi karies gigi pada anak sindrom Down cukup tinggi yaitu hanya 29,4% yang dinyatakan bebas karies. Pada penelitian di Indonesia juga ditemukan prevalensi karies gigi yang cukup tinggi pada anak sindrom Down tepatnya di kota Makassar yaitu sebesar 82,6% dengan nilai rata-rata DMF-T 3,69. Penelitian yang dilakukan di SLB-C kota Medan didapatkan bahwa nilai rata-rata DMF-T dan def-t pada masa gigi bercampur anak sindrom Down adalah 2,14 dan 4,36.4-7

Terdapat juga penelitian yang mengatakan bahwa karies pada anak obesitas cenderung lebih tinggi daripada anak normal. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kandungan gula dalam tubuh pada anak dengan berat badan lebih akan memicu potensi kariogenik sehingga terjadi karies, periodontitis, dan xerostomia. Pada penelitian di Jerman ditemukan rerata pengalaman karies (df-t) pada anak dengan

berat badan normal adalah 2,09, anak dengan overweight adalah 2,48, dan anak

dengan obesitas adalah 3,3. Namun, ada juga penelitian yang mengatakan bahwa pada anak dengan berat badan rendah cenderung memiliki insidensi karies yang tinggi. Insidensi karies yang tinggi pada anak dengan berat badan rendah kemungkinan disebabkan karena adanya gangguan fungsi pengunyahan pada anak tersebut. Pada penelitian yang dilakukan di Filipina dijumpai bahwa adanya hubungan yang bermakna (p < 0,001) antara indeks massa tubuh dengan karies yang tidak dirawat. Anak dengan karies mencapai pulpa (infeksi odontogenik) memiliki risiko indeks massa tubuh di bawah normal dibandingkan dengan anak tanpa infeksi odontogenik. Sebanyak 30,5% anak dengan status gizi kurang, 68,9% anak dengan status gizi normal, dan 0,6% anak dengan status gizi lebih memiliki skor pufa/ PUFA lebih dari 0.8-11

Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai penelitian tentang hubungan antara insidensi karies pada anak sindrom Down serta kaitan antara karies dan gizi ternyata menunjukkan hasil yang berbeda. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa anak sindrom Down memiliki insidensi karies yang tinggi dan terdapat pula penelitian yang mengatakan sebaliknya. Begitu pula dengan kaitan antara karies


(15)

dengan gizi, ada yang menunjukkan bahwa anak dengan gizi lebih mempunyai insidensi karies tinggi dan terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa anak dengan gizi kurang memiliki insidensi karies tinggi. Berdasarkan latar belakang ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down di kota Medan.12

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1. Rumusan Masalah Umum

Bagaimana gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

1.2.2. Rumusan Masalah Khusus

1. Bagaimanakah gambaran status karies gigi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

2. Bagaimanakah gambaran status karies gigi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

3. Bagaimanakah gambaran status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

4. Bagaimanakah gambaran status gizi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian Umum

Untuk mengetahui bagaimana gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.

1.3.2. Tujuan Penelitian Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran status karies gigi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.


(16)

2. Untuk mengetahui gambaran status karies gigi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.

3. Untuk mengetahui gambaran status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.

4. Untuk mengetahui gambaran status gizi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi akademisi dengan adanya hasil penelitian ini, dapat memberikan informasi tentang status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down.

2. Bagi praktisi kesehatan gigi dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat melakukan perencanaan usaha pencegahan dan perawatan terhadap karies gigi pada anak sindrom Down.

3. Bagi Dinas Kesehatan dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat digunakan sebagai dasar bagi program pemerintah dalam bidang kesehatan gigi dan mulut anak untuk meningkatkan kualitas hidup anak sindrom Down.

4. Bagi masyarakat dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi kepada orang tua/sekolah mengenai status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down serta memotivasi orang tua/sekolah untuk memperhatikan, menjaga, dan memberikan pengarahan kepada anak sejak dini untuk menjaga kebersihan rongga mulut.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Sindrom Down

John Langdon adalah seorang dokter dari Inggris yang pertama kali menggambarkan kumpulan gejala dari sindrom Down pada tahun 1866. Namun sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan Seguin pada tahun 1846 telah melaporkan seorang anak yang mempunyai tanda-tanda mirip dengan sindrom Down.1

Gambar 1. Kromosom pada Sindrom Down13

Sindrom Down merupakan kelainan genetik (pada kromosom 21/trisomi 21) yang terjadi pada masa pertumbuhan janin dengan gejala yang sangat bervariasi mulai dari gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental. Anak dengan sindrom Down adalah individu yang dapat dikenali dari fenotipnya dan mempunyai kecerdasan terbatas yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih (Gambar 1). Materi genetik yang berlebih diperkirakan terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi gen lainnya


(18)

yang menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat.1,2

2.1.1. Etiologi

Etiologi sindrom Down berkaitan dengan masalah non-disjunctional meliputi:1

1. Genetik.

Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.

2. Radiasi.

Pada tahun 1981, Uchida menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya konsepsi.

3. Infeksi. 4. Autoimun.

Pada penelitian Fialkow tahun 1966 mengemukakan bahwa adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya sama.

5. Umur ibu.

Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar Lueteinizing Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunction.

6. Umur ayah.

Penelitian sitogenetik pada orang tua dari anak dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Namun korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.


(19)

Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia, dan frekuensi koitus masih didiskusikan sebagai penyebab dari sindrom Down juga.1

2.1.2. Kondisi Fisik

Anak sindrom Down ditandai dengan kranium kecil, bagian anteroposterior yang mendatar, jembatan hidung yang datar, lipatan epikantus, ruas-ruas jari pendek, jarak yang lebar antara jari tangan dan kaki pertama dan kedua, dan retardasi mental sedang sampai berat. Selain itu pada anak sindrom Down juga ditemukan adanya keterbatasan intelektual, pertumbuhan yang lambat, masalah pada penglihatan dan pendengaran serta gangguan pada jantung.3,14

Kecepatan pertumbuhan fisik anak dengan sindrom Down lebih rendah bila dibandingkan dengan anak normal (Gambar 2). Perlu dilakukan pemantauan pertumbuhan secara berkelanjutan karena pada anak sindrom Down sering disertai adanya hipotiroid. Jika pertumbuhannya kurang dari yang diharapkan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid. Selain itu pada anak sindrom Down juga disertai masalah pada saluran pencernaan atau dengan penyakit jantung bawaan yang berat serta badan yang lebih pendek bila dibandingkan dengan anak sindrom Down yang tanpa komplikasi.1

Perkembangan anak sindrom Down juga cenderung lebih lambat dari anak yang normal. Beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital, hipotonia yang berat, serta masalah biologis atau lingkungan lainnya dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan keterampilan untuk menolong diri sendiri. Sebaliknya anak yang mendapat program intervensi dini, orang tua yang memberi lingkungan yang mendukung, serta tanpa adanya kelainan jantung bawaan, maka perkembangan anak menunjukkan kemajuan yang relatif pesat.1

Perilaku anak sindrom Down pada awal kehidupannya tidak menunjukkan temperamen yang berbeda dengan anak yang normal. Demikian pula perilaku sosial anak sindrom Down mempunyai pola interaksi yang sama dengan anak normal seusianya. Walaupun tingkat responnya berbeda secara kuantitatif tetapi polanya hampir sama.1


(20)

Gambar 2.Rata-rata (a) Tinggi Badan dan (b) Berat Badan Anak Sindrom Down1

2.1.3. Kondisi Rongga Mulut

Adapun karakteristik khas pada rongga mulut anak sindrom Down antara lain adanya gigitan terbuka, macroglossia, bibir dan lidah yang berfisur, angular cheilitis, terlambatnya erupsi gigi, oligodontia, microdontia, bruxism, kebersihan rongga mulut yang buruk, tingginya insidensi penyakit periodontal, dan rendahnya insidensi karies gigi. Bell, Kaidonis, dan Towsend melaporkan bahwa atrisi dan erosi gigi cenderung lebih besar terjadi pada anak sindrom Down daripada anak normal.15

Anak sindrom Down yang bebas karies memiliki jumlah Streptococcus mutans yang cenderung lebih rendah dan jumlah saliva yang cenderung lebih tinggi sehingga konsentrasi IgA pun tinggi. Rendahnya prevalensi karies pada anak sindrom Down dihubungkan terhadap keterlambatan erupsi gigi permanen, kehilangan gigi akibat kongenital, pH saliva yang tinggi, mikrodonsia, adanya jarak antar gigi, dan fisur yang dangkal.16,17

2.2 Karies Gigi

Karies gigi adalah suatu proses kronis dan regresif yang dimulai dengan larutnya mineral enamel sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara enamel dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat


(21)

(medium makanan bagi bakteri). Kemudian timbul destruksi komponen-komponen organik dan akhirnya terjadi kavitas (pembentukan lubang).19,20

Beberapa jenis karbohidrat makanan seperti sukrosa dan glukosa dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga pH plak akan menurun sampai di bawah 5 dalam tempo 1-3 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan proses karies pun dimulai. Paduan keempat faktor penyebab tersebut digambarkan sebagai suatu lingkaran yang bersitumpang (Gambar 4). Karies hanya dapat terjadi hanya kalau keempat faktor tersebut ada.20

Gambar 3. Empat Lingkaran yang Menggambarkan Paduan Faktor Penyebab Karies20

Adapun faktor risiko terjadinya karies meliputi:20 1. Pengalaman karies.

Penelitian epidemiologis telah membuktikan adanya hubungan antara pengalaman karies dengan perkembangan karies di masa mendatang. Prevalensi karies pada gigi sulung dapat memprediksi karies pada gigi permanennya.


(22)

2. Penggunaan fluor.

Pemberian fluor yang teratur baik secara sistemik maupun lokal merupakan hal yang penting diperhatikan dalam mengurangi terjadinya karies karena fluor dapat meningkatkan remineralisasi.

3. Oral hygiene.

Insiden karies dapat dikurangi dengan melakukan penyingkiran plak secara mekanis dari permukaan gigi. Peningkatan oral hygiene dapat dilakukan dengan menggunakan alat pembersih interdental yang dikombinasikan dengan pemeriksaan gigi secara teratur.

4. Jumlah bakteri. 5. Saliva.

Saliva berguna untu membersihkan sisa-sisa makanan dan mempunyai efek buffer di dalam rongga mulut. Pada individu dengan fungsi saliva yang berkurang akan menyebabkan aktivitas karies meningkat secara signifikan.

6. Pola makan.

Pengaruh pola makan dalam proses karies umumnya lebih bersifat lokal daripada sistemik terutama dalam hal frekuensi mengonsumsi makanan.

7. Umur.

Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling akhir erupsi lebih rentan terhadap karies. Kerentanan ini meningkat karena sulitnya membersihkan gigi yang sedang erupsi sampai gigi tersebut mencapai dataran oklusal dan beroklusi dengan gigi antagonisnya.

8. Jenis kelamin.

Perempuan mempunyai nilai DMFT yang lebih tinggi daripada pria. Umumnya oral hygiene perempuan lebih baik sehingga komponen gigi yang hilang (missing) yang lebih sedikit daripada pria.

9. Sosial ekonomi.

Skor filling lebih banyak dijumpai pada kelompok pendidikan tinggi, sedangkan skor decayed dan missing lebih banyak pada kelompok pendidikan rendah.


(23)

2.2.1. Indeks Karies

Indeks karies adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu golongan/kelompok terhadap karies gigi. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan karies gigi mulai dari yang ringan sampai berat. Ada beberapa indeks karies yang biasa digunakan seperti indeks Klein dan indeks WHO, namun belakangan ini diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya. Pada penelitian ini akan digunakan indeks DMFT WHO.21

Indeks DMFT WHO bertujuan untuk menggambarkan pengalaman karies seseorang atau suatu populasi. Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi. Indeks ini dibedakan atas indeks DMFT yang digunakan untuk gigi permanen pada orang dewasa dan deft untuk gigi sulung pada anak-anak. Pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan kaca mulut datar.21

2.3 Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi:22

1. Produk pangan (jumlah dan jenis makanan).

2. Akseptabilitas (daya terima), menyangkut penerimaan atau penolakan terhadap makanan yang terkait dengan cara memilih dan menyajikan makanan.

3. Prasangka buruk pada bahan makanan tertentu, seperti anggapan yang keliru bahwa terong dapat berdampak buruk karena menyebabkan tubuh lemas.

4. Pantangan pada makanan tertentu.

5. Kesukaan terhadap jenis makanan tertentu. 6. Kebiasaan makan.

7. Selera makan.

8. Sanitasi makanan (penyiapan, penyajian, penyimpanan). 9. Pengetahuan gizi.


(24)

Gangguan gizi dapat disebabkan oleh faktor primer maupun sekunder. Faktor primer meliputi susunan makanan seseorang yang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai ke sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya pencernaan seperti gigi-geligi yang tidak baik, kelainan struktur saluran cerna, dan kekurangan enzim.23

2.3.1 Pemeriksaan Antropometri

Secara umum antropometri berarti ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.24

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter merupakan ukuran tunggal dari tubuh manusia meliputi:

1. Umur.

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat.24

2. Berat badan.

Berat badan dapat menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan mineral pada tulang. Berat badan digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan, pengukuran objektif, dan dapat menggunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah, serta tidak


(25)

memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan memiliki kelemahan yaitu tidak sensitif terhadap proporsi tubuh seperti pendek gemuk atau tinggi kurus.1,24

3. Tinggi badan.

Ukuran tinggi badan pada masa pertumbuhan meningkat terus sampai mencapai tinggi maksimal. Keuntungan indikator tinggi badan ini adalah pengukurannya yang objektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik untuk gangguan pada masa pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting) dan sebagai perbandingan terhadap perubahan-perubahan relatif seperti terhadap nilai berat badan dan lingkar lengan atas. Kerugian indikator tinggi badan adalah perubahan tinggi badan yang relatif lambat, sukar mengukur tinggi badan yang tepat, dan kadang-kadang diperlukan lebih dari seorang tenaga.1

4. Lingkaran lengan atas.

Lingkaran lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan.1

5. Lingkaran kepala.

Lingkaran kepala mencerminkan volume intrakranial. Parameter ini digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan otak.1

6. Lipatan kulit.

Tebalnya lipatan kulit pada daerah triseps dan subskapular merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan lemak di bawah kulit yang mencerminkan kecukupan energi.1

2.3.2 Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkaran lengan atas menurut umur (LLA/U), indeks massa tubuh (IMT), dan sebagainya. Pada


(26)

penelitian ini indeks antropometri yang digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT) anak yaitu indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U).24

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi seseorang khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:24

Indeks Massa Tubuh = Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m) × Tinggi Badan (m)

Ambang batas IMT/U ditentukan dengan merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010 yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan usia 5-18 tahun. Ambang batas IMT/U ini dengan memperhatikan Z scores atau standar deviasi (SD). Z scores merupakan indeks antropometri yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi dan pertumbuhan yang dinyatakan dalam satuan standar deviasi (SD) populasi rujukan.25,26

Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur25

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z scores) Indeks Massa

Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5-18 Tahun

Sangat Kurus <-3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD

Normal -2 SD sampai dengan 1 SD

Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD


(27)

2.4Kerangka Teori

Anak Sindrom Down

Kondisi Fisik Kondisi Rongga Mulut

Pertumbuhan Fisik Perkembangan Anak

Karakteristik Fisik

Status Gizi Jaringan Lunak

Jaringan Keras Gigi Maloklusi


(28)

2.5Kerangka Konsep

Sindrom Down -Usia

-Jenis Kelamin

Status Karies

-Indeks DMFT WHO

Status Gizi


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Sindrom Down

John Langdon adalah seorang dokter dari Inggris yang pertama kali menggambarkan kumpulan gejala dari sindrom Down pada tahun 1866. Namun sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan Seguin pada tahun 1846 telah melaporkan seorang anak yang mempunyai tanda-tanda mirip dengan sindrom Down.1

Gambar 1. Kromosom pada Sindrom Down13

Sindrom Down merupakan kelainan genetik (pada kromosom 21/trisomi 21) yang terjadi pada masa pertumbuhan janin dengan gejala yang sangat bervariasi mulai dari gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental. Anak dengan sindrom Down adalah individu yang dapat dikenali dari fenotipnya dan mempunyai kecerdasan terbatas yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih (Gambar 1). Materi genetik yang berlebih diperkirakan terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi gen lainnya


(30)

yang menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat.1,2

2.1.1. Etiologi

Etiologi sindrom Down berkaitan dengan masalah non-disjunctional meliputi:1

1. Genetik.

Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.

2. Radiasi.

Pada tahun 1981, Uchida menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya konsepsi.

3. Infeksi. 4. Autoimun.

Pada penelitian Fialkow tahun 1966 mengemukakan bahwa adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya sama.

5. Umur ibu.

Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar Lueteinizing Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunction.

6. Umur ayah.

Penelitian sitogenetik pada orang tua dari anak dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Namun korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.


(31)

Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia, dan frekuensi koitus masih didiskusikan sebagai penyebab dari sindrom Down juga.1

2.1.2. Kondisi Fisik

Anak sindrom Down ditandai dengan kranium kecil, bagian anteroposterior yang mendatar, jembatan hidung yang datar, lipatan epikantus, ruas-ruas jari pendek, jarak yang lebar antara jari tangan dan kaki pertama dan kedua, dan retardasi mental sedang sampai berat. Selain itu pada anak sindrom Down juga ditemukan adanya keterbatasan intelektual, pertumbuhan yang lambat, masalah pada penglihatan dan pendengaran serta gangguan pada jantung.3,14

Kecepatan pertumbuhan fisik anak dengan sindrom Down lebih rendah bila dibandingkan dengan anak normal (Gambar 2). Perlu dilakukan pemantauan pertumbuhan secara berkelanjutan karena pada anak sindrom Down sering disertai adanya hipotiroid. Jika pertumbuhannya kurang dari yang diharapkan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid. Selain itu pada anak sindrom Down juga disertai masalah pada saluran pencernaan atau dengan penyakit jantung bawaan yang berat serta badan yang lebih pendek bila dibandingkan dengan anak sindrom Down yang tanpa komplikasi.1

Perkembangan anak sindrom Down juga cenderung lebih lambat dari anak yang normal. Beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital, hipotonia yang berat, serta masalah biologis atau lingkungan lainnya dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan keterampilan untuk menolong diri sendiri. Sebaliknya anak yang mendapat program intervensi dini, orang tua yang memberi lingkungan yang mendukung, serta tanpa adanya kelainan jantung bawaan, maka perkembangan anak menunjukkan kemajuan yang relatif pesat.1

Perilaku anak sindrom Down pada awal kehidupannya tidak menunjukkan temperamen yang berbeda dengan anak yang normal. Demikian pula perilaku sosial anak sindrom Down mempunyai pola interaksi yang sama dengan anak normal seusianya. Walaupun tingkat responnya berbeda secara kuantitatif tetapi polanya hampir sama.1


(32)

Gambar 2.Rata-rata (a) Tinggi Badan dan (b) Berat Badan Anak Sindrom Down1

2.1.3. Kondisi Rongga Mulut

Adapun karakteristik khas pada rongga mulut anak sindrom Down antara lain adanya gigitan terbuka, macroglossia, bibir dan lidah yang berfisur, angular cheilitis, terlambatnya erupsi gigi, oligodontia, microdontia, bruxism, kebersihan rongga mulut yang buruk, tingginya insidensi penyakit periodontal, dan rendahnya insidensi karies gigi. Bell, Kaidonis, dan Towsend melaporkan bahwa atrisi dan erosi gigi cenderung lebih besar terjadi pada anak sindrom Down daripada anak normal.15

Anak sindrom Down yang bebas karies memiliki jumlah Streptococcus mutans yang cenderung lebih rendah dan jumlah saliva yang cenderung lebih tinggi sehingga konsentrasi IgA pun tinggi. Rendahnya prevalensi karies pada anak sindrom Down dihubungkan terhadap keterlambatan erupsi gigi permanen, kehilangan gigi akibat kongenital, pH saliva yang tinggi, mikrodonsia, adanya jarak antar gigi, dan fisur yang dangkal.16,17

2.2 Karies Gigi

Karies gigi adalah suatu proses kronis dan regresif yang dimulai dengan larutnya mineral enamel sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara enamel dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat


(33)

(medium makanan bagi bakteri). Kemudian timbul destruksi komponen-komponen organik dan akhirnya terjadi kavitas (pembentukan lubang).19,20

Beberapa jenis karbohidrat makanan seperti sukrosa dan glukosa dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam sehingga pH plak akan menurun sampai di bawah 5 dalam tempo 1-3 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan proses karies pun dimulai. Paduan keempat faktor penyebab tersebut digambarkan sebagai suatu lingkaran yang bersitumpang (Gambar 4). Karies hanya dapat terjadi hanya kalau keempat faktor tersebut ada.20

Gambar 3. Empat Lingkaran yang Menggambarkan Paduan Faktor Penyebab Karies20

Adapun faktor risiko terjadinya karies meliputi:20 1. Pengalaman karies.

Penelitian epidemiologis telah membuktikan adanya hubungan antara pengalaman karies dengan perkembangan karies di masa mendatang. Prevalensi karies pada gigi sulung dapat memprediksi karies pada gigi permanennya.


(34)

2. Penggunaan fluor.

Pemberian fluor yang teratur baik secara sistemik maupun lokal merupakan hal yang penting diperhatikan dalam mengurangi terjadinya karies karena fluor dapat meningkatkan remineralisasi.

3. Oral hygiene.

Insiden karies dapat dikurangi dengan melakukan penyingkiran plak secara mekanis dari permukaan gigi. Peningkatan oral hygiene dapat dilakukan dengan menggunakan alat pembersih interdental yang dikombinasikan dengan pemeriksaan gigi secara teratur.

4. Jumlah bakteri. 5. Saliva.

Saliva berguna untu membersihkan sisa-sisa makanan dan mempunyai efek buffer di dalam rongga mulut. Pada individu dengan fungsi saliva yang berkurang akan menyebabkan aktivitas karies meningkat secara signifikan.

6. Pola makan.

Pengaruh pola makan dalam proses karies umumnya lebih bersifat lokal daripada sistemik terutama dalam hal frekuensi mengonsumsi makanan.

7. Umur.

Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling akhir erupsi lebih rentan terhadap karies. Kerentanan ini meningkat karena sulitnya membersihkan gigi yang sedang erupsi sampai gigi tersebut mencapai dataran oklusal dan beroklusi dengan gigi antagonisnya.

8. Jenis kelamin.

Perempuan mempunyai nilai DMFT yang lebih tinggi daripada pria. Umumnya oral hygiene perempuan lebih baik sehingga komponen gigi yang hilang (missing) yang lebih sedikit daripada pria.

9. Sosial ekonomi.

Skor filling lebih banyak dijumpai pada kelompok pendidikan tinggi, sedangkan skor decayed dan missing lebih banyak pada kelompok pendidikan rendah.


(35)

2.2.1. Indeks Karies

Indeks karies adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu golongan/kelompok terhadap karies gigi. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan karies gigi mulai dari yang ringan sampai berat. Ada beberapa indeks karies yang biasa digunakan seperti indeks Klein dan indeks WHO, namun belakangan ini diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya. Pada penelitian ini akan digunakan indeks DMFT WHO.21

Indeks DMFT WHO bertujuan untuk menggambarkan pengalaman karies seseorang atau suatu populasi. Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi. Indeks ini dibedakan atas indeks DMFT yang digunakan untuk gigi permanen pada orang dewasa dan deft untuk gigi sulung pada anak-anak. Pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan kaca mulut datar.21

2.3 Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi:22

1. Produk pangan (jumlah dan jenis makanan).

2. Akseptabilitas (daya terima), menyangkut penerimaan atau penolakan terhadap makanan yang terkait dengan cara memilih dan menyajikan makanan.

3. Prasangka buruk pada bahan makanan tertentu, seperti anggapan yang keliru bahwa terong dapat berdampak buruk karena menyebabkan tubuh lemas.

4. Pantangan pada makanan tertentu.

5. Kesukaan terhadap jenis makanan tertentu. 6. Kebiasaan makan.

7. Selera makan.

8. Sanitasi makanan (penyiapan, penyajian, penyimpanan). 9. Pengetahuan gizi.


(36)

Gangguan gizi dapat disebabkan oleh faktor primer maupun sekunder. Faktor primer meliputi susunan makanan seseorang yang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai ke sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya pencernaan seperti gigi-geligi yang tidak baik, kelainan struktur saluran cerna, dan kekurangan enzim.23

2.3.1 Pemeriksaan Antropometri

Secara umum antropometri berarti ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.24

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter merupakan ukuran tunggal dari tubuh manusia meliputi:

1. Umur.

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat.24

2. Berat badan.

Berat badan dapat menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan mineral pada tulang. Berat badan digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan, pengukuran objektif, dan dapat menggunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah, serta tidak


(37)

memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan memiliki kelemahan yaitu tidak sensitif terhadap proporsi tubuh seperti pendek gemuk atau tinggi kurus.1,24

3. Tinggi badan.

Ukuran tinggi badan pada masa pertumbuhan meningkat terus sampai mencapai tinggi maksimal. Keuntungan indikator tinggi badan ini adalah pengukurannya yang objektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik untuk gangguan pada masa pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting) dan sebagai perbandingan terhadap perubahan-perubahan relatif seperti terhadap nilai berat badan dan lingkar lengan atas. Kerugian indikator tinggi badan adalah perubahan tinggi badan yang relatif lambat, sukar mengukur tinggi badan yang tepat, dan kadang-kadang diperlukan lebih dari seorang tenaga.1

4. Lingkaran lengan atas.

Lingkaran lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan.1

5. Lingkaran kepala.

Lingkaran kepala mencerminkan volume intrakranial. Parameter ini digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan otak.1

6. Lipatan kulit.

Tebalnya lipatan kulit pada daerah triseps dan subskapular merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan lemak di bawah kulit yang mencerminkan kecukupan energi.1

2.3.2 Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkaran lengan atas menurut umur (LLA/U), indeks massa tubuh (IMT), dan sebagainya. Pada


(38)

penelitian ini indeks antropometri yang digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT) anak yaitu indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U).24

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi seseorang khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:24

Indeks Massa Tubuh = Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m) × Tinggi Badan (m)

Ambang batas IMT/U ditentukan dengan merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010 yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan usia 5-18 tahun. Ambang batas IMT/U ini dengan memperhatikan Z scores atau standar deviasi (SD). Z scores merupakan indeks antropometri yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi dan pertumbuhan yang dinyatakan dalam satuan standar deviasi (SD) populasi rujukan.25,26

Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur25

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z scores) Indeks Massa

Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5-18 Tahun

Sangat Kurus <-3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD

Normal -2 SD sampai dengan 1 SD

Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD


(39)

2.4Kerangka Teori

Anak Sindrom Down

Kondisi Fisik Kondisi Rongga Mulut

Pertumbuhan Fisik Perkembangan Anak

Karakteristik Fisik

Status Gizi Jaringan Lunak

Jaringan Keras Gigi Maloklusi


(40)

2.5Kerangka Konsep

Sindrom Down -Usia

-Jenis Kelamin

Status Karies

-Indeks DMFT WHO

Status Gizi


(41)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan gambaran atau deskripsi mengenai status karies gigi dan status gizi anak sindrom Down.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) yang berada di Kota Medan antara lain:

1. SLB-C Abdi Kasih Medan 2. SLB-C Al-Azhar Medan 3. SLB-C Karya Tulus Medan 4. SLB-C Markus Medan 5. SLB-C Muzdalifah Medan 6. SLB-C Negeri Pembina Medan

7. SLB-C Taman Pendidikan Islam Medan 8. SLB-C YPAC Medan

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 hingga bulan Maret 2015. Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan, dimulai dari pembuatan dan pengajuan proposal hingga laporan akhir penelitian.


(42)

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi pada penilitian ini adalah seluruh anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan adalah seluruh populasi (total sampling) pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di seluruh SLB-C kota Medan yang berjumlah ± 45 orang.

Kriteria Inklusi:

1. Anak sindrom Down yang telah didiagnosis oleh dokter

2. Anak sindrom Down yang terdaftar dan aktif di SLB-C kota Medan

3. Anak sindrom Down yang berusia 12-18 tahun pada saat dilakukannya penelitian.

4. Anak sindrom Down yang telah diizinkan orangtuanya untuk menjadi sampel penelitian

Kriteria Ekslusi:

Anak sindrom Down yang tidak berhasil diperiksa.

3.4 Variabel Penelitian

Beberapa variabel penelitian ini: 1. Anak sindrom Down

2. Usia

3. Jenis kelamin 4. Status karies 5. Status gizi


(43)

3.5 Definisi Operasional

1. Anak sindrom Down adalah anak tuna grahita yang didiagnosis menderita sindrom Down.

2. Usia adalah usia yang dihitung mulai dari tanggal lahir anak sampai waktu dilakukannya penelitian. Hasil pengukuran dinyatakan dalam skala nominal. Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah anak sindroma Down yang berusia 12-18 tahun. Kelompok usia ini dipilih dengan asumsi bahwa seluruh gigi permanen sudah erupsi kecuali gigi molar tiga. Usia 12 tahun ditetapkan sebagai usia pemantauan global untuk karies.21

3. Jenis kelamin merupakan pembagian jenis seksual seseorang yang ditentukan secara biologis dan anatomis. Hasil pengukuran berupa laki-laki dan perempuan yang dinyatakan dalam skala nominal.

4. Status karies merupakan batas ukur nilai DMF-T (indeks WHO). Cara perhitungannya adalah dengan menjumlahkan semua DMF. Komponen D meliputi penjumlahan kode 1 dan 2, komponen M untuk kode 4 pada subjek < 30 tahun. Komponen F hanya untuk kode 3.21

Tabel 2. Kriteria Pemeriksaan Karies dengan Indeks WHO Kriteria (Gigi Permanen) Kondisi Status

0 Permukaan gigi sehat/keras

1 Gigi karies

2 Gigi dengan tumpatan, ada karies 3 Gigi dengan tumpatan baik, tidak

ada karies

4 Gigi yang hilang karena karies

Hasil ukur yang didapat dinyatakan dalam skala ordinal meliputi:21 a. Sangat rendah : 0,0-1,1


(44)

c. Sedang : 2,7-4,4 d. Tinggi : 4,5-6,5 e. Sangat tinggi : >6,6

5. Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang diukur dengan indeks massa tubuh terhadap umur (IMT/U). IMT adalah nilai yang didapatkan dari perhitungan berat badan (BB) dengan tinggi badan (TB) seseorang dengan ketentuan:

a. Berat badan adalah massa tubuh (kg) yang diukur dengan menggunakan timbangan berat badan (Laica).

b. Tinggi badan adalah panjang badan (m) dalam posisi berdiri tegak yang diukur dengan pengukur tinggi badan (Seca).

Hasil ukur yang didapat dinyatakan dalam skala ordinal meliputi:25 a. Sangat kurus : < -3 SD

b. Kurus : -3 SD sampai dengan < - 2 SD c. Normal : -2 SD sampai dengan 1 SD d. Gemuk : > 1 SD sampai dengan 2 SD e. Obesitas : > 2 SD

6. Frekuensi makan anak merupakan informasi mengenai berapa kali anak mengonsumsi makanan utama dan makanan selingan dalam sehari. Informasi ini didapat dari hasil wawancara peneliti kepada orangtua/wali responden.

7. Tingkat sosial ekonomi diklasifikasikan berdasarkan jumlah penghasilan ayah dan ibu per bulan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penghasilan dikategorikan menjadi dua yaitu:27

a. Miskin : <1,5 juta rupiah/rumah tangga/bulan b. Tidak Miskin : >1,5 juta rupiah/rumah tangga/bulan

8. Pendidikan orangtua merupakan pendidikan formal terakhir yang ditamatkan oleh orangtua (ibu) responden. Hasil ukur yang didapat dinyatakan dalam skala ordinal meliputi:28

a. Rendah : tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP b. Sedang : tamat SMA/SMK


(45)

c. Tinggi : tamat diploma, tamat sarjana

3.6 Teknik Pengambilan Data

1. Peneliti meminta izin kepada masing-masing kepala sekolah SLB-C yang berada di kota Medan

2. Peneliti memberikan informed consent kepada orang yang bertanggung jawab terhadap anak sindrom Down tersebut.

3. Peneliti melakukan wawancara pada orangtua/wali dengan menggunakan kuesioner dan menjelaskan isi kuesioner pada orangtua/wali untuk mendapatkan data mengenai usia kronologis, frekuensi makan, tingkat sosioekonomi, dan pendidikan orangtua responden.

4. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan pada sampel penelitian lalu dicatat pada form yang telah disediakan. 5. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan intra oral dengan menggunakan sonde, kaca mulut, dan senter sebagai penerangan untuk melihat kondisi rongga mulut sampel penelitian. Cara pemeriksaannya yaitu dengan memeriksa gigi anak sindroma Down untuk melihat apakah gigi anak tersebut terdapat karies, tumpatan, dan pencabutan pada gigi permanen. Karies, tumpatan, dan pencabutan gigi permanen dijumlahkan dan dicatat pada form yang telah disediakan.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program komputer meliputi:

1. Editing (Penyuntingan Data). Proses penyuntingan data bertujuan untuk memastikan semua variabel terisi. Selama proses ini dilakukan penyuntingan data oleh peneliti agar data yang salah atau meragukan dapat langsung ditelusuri kembali kepada responden yang bersangkutan.


(46)

2. Coding (Pengkodean Data). Proses pengkodean dilakukan terhadap variabel yang ada dalam penelitian ini yaitu pengalaman karies, status gizi, usia, dan jenis kelamin. Pada proses ini peneliti memberikan simbol-simbol tertentu dalam bentuk angka untuk setiap jawaban.

3. Entry Data (Pemasukkan Data). Data yang sudah dikode kemudian dimasukkan dalam program komputer untuk dilakukan analisis.

4. Cleaning Data (Pembersihan Data). Pada proses ini dilakukan pemeriksaan kembali untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam melakukan entry data.

3.7.2 Analisis Data

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian ini berupa distribusi dan persentase pada setiap variabel yaitu status karies dan status gizi. Analisis univariat ini dilakukan secara komputerisasi.


(47)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di delapan Sekolah Luar Biasa C (SLB C) yang berada di kota Medan yaitu SLB C Abdi Kasih, SLB C Al Azhar, SLB C Markus, SLB C Muzdalifah, SLB C Negeri Pembina, SLB C Taman Pendidikan Islam, dan SLB C YPAC. Jumlah responden adalah 45 orang anak sindrom Down yang berusia 12-18 tahun.

4.1Karakteristik Responden

Karakteristik responden anak sindrom Down yang berusia 12-18 tahun meliputi jenis kelamin, frekuensi makan utama, dan frekuensi makan selingan anak, sedangkan karakteristik responden orangtua meliputi ekonomi keluarga dan pendidikan terakhir ibu. Berdasarkan jenis kelamin, persentase anak sindrom Down yang berjenis kelamin laki-laki 55,6% dan perempuan 44,4%. Berdasarkan frekuensi makan utama, persentase anak sindrom Down dengan frekuensi makan utama ≥ 2 kali dalam sehari adalah 93,3% dan < 2 kali dalam sehari 6,7%. Berdasarkan frekuensi makan selingan, persentase anak sindrom Down dengan frekuensi makan selingan ≥ 1 kali dalam sehari adalah 42,2 % dan < 1 kali dalam sehari adalah 57,8%. Berdasarkan ekonomi keluarga, persentase anak sindrom Down yang berasal dari keluarga tidak miskin 28,9% dan miskin 71,1%. Berdasarkan pendidikan ibu, persentase anak sindrom Down yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah 11,1%, sedang 60%, dan tinggi 28,9% (Tabel 3).


(48)

Tabel 3. Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Jumlah (n) % Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan 25 20 55,6 44,4 Frekuensi makan utama

- ≥ 2 kali sehari - ˂ 2 kali sehari

42 3

93,3 6,7 Frekuensi makan selingan

- ≥ 1 kali sehari - Tidak ada

19 26

42,2 57,8 Ekonomi Keluarga

- Tidak Miskin - Miskin 13 32 28,9 71,1 Pendidikan Ibu - Rendah - Sedang - Tinggi 5 27 13 11,1 60 28,9

Total 45 100

4.2 Distribusi Frekuensi Status Karies Gigi Berdasarkan Jenis Kelamin Anak

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sebanyak 86,7% anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan mengalami karies gigi. Hal ini menunjukkan prevalensi karies pada anak sindrom Down cenderung tinggi.

Hasil penelitian mengenai status karies gigi anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan adalah 26,7% sangat rendah, 22,2% rendah, 31,1% sedang, 15,6% tinggi, dan 4,4% tinggi. Hal ini menunjukkan status karies gigi anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan cenderung sedang (Tabel 4).


(49)

Hasil status karies gigi yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 24% responden anak sindrom Down laki-laki dan 30% responden anak sindrom Down perempuan berstatus karies gigi sangat rendah. Status karies gigi rendah ditemukan pada 20% responden anak sindrom Down laki-laki dan 25% responden anak sindrom Down perempuan. Responden yang memiliki status karies gigi sedang ditemukan sebanyak 24% pada responden anak sindrom Down laki-laki dan 40% pada responden anak sindrom Down perempuan. Anak sindrom Down yang memiliki status karies gigi tinggi ditemukan sebanyak 28% pada anak laki-laki namun tidak ditemukan pada anak perempuan. Pada status karies gigi sangat tinggi ditemukan sebanyak 5% pada responden anak sindrom Down perempuan namun tidak ditemukan pada responden anak sindrom Down laki-laki. Tabel berikut ini menunjukkan frekuensi distribusi status karies gigi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan (Tabel 4).

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Status Karies Gigi Menurut WHO Berdasarkan Jenis Kelamin pada Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di SLB C Kota Medan

Jenis

Kelamin n

Status Karies Gigi Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)

Laki-laki 25 6 24 5 20 6 24 7 28 1 4

Perempuan 20 6 30 5 25 8 40 0 0 1 5

Total 45 12 26,7 10 22,2 14 31,1 7 15,6 2 4,4

4.3 Distribusi Frekuensi Status Gizi Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Berdasarkan hasil penelitian didapati bahwa status gizi anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan adalah 17,8% sangat kurus, 20% kurus, 55,6% normal, 4,4% gemuk, dan 2,2% obesitas. Hal ini menunjukkan status gizi pada


(50)

anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan cenderung sedang (Tabel 5).

Hasil status gizi yang diperoleh, didapat 28% responden anak sindrom Down laki-laki dan 5% responden anak sindrom Down perempuan yang berstatus gizi sangat kurus. Status gizi kurus ditemukan pada 8% responden anak sindrom Down laki-laki dan 35% responden anak sindrom Down perempuan. Responden yang memiliki status gizi normal ditemukan sebanyak 64% pada responden anak sindroma Down laki-laki dan 45% pada responden anak sindrom Down perempuan. Tidak ditemukan responden anak sindrom Down laki-laki yang berstatus gizi gemuk dan obesitas. Namun, status gizi gemuk dan obesitas ditemukan pada responden anak sindrom Down perempuan yaitu sebanyak 10% dan 5%. Tabel dibawah ini menunjukkan frekuensi distribusi status gizi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan (Tabel 5).

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Status Gizi Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di SLB C Kota Medan

Jenis

Kelamin n

Status Gizi Sangat

Kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)

Laki-laki 25 7 28 2 8 16 64 0 0 0 0

Perempuan 20 1 5 7 35 9 45 2 10 1 5

Total 45 8 17,8 9 20 25 55,6 2 4,4 1 2,2

4.4 Rerata Pengalaman Karies Gigi Anak Sindrom Down di Masing-masing SLB C Kota Medan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengalaman karies gigi didapat rerata skor DMFT 45 orang anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan adalah 3,16 dengan SD 3,01. Rerata pengalaman karies tertinggi didapat pada SLB C Abdi Kasih dengan rerata skor DMFT 5,60 sedangkan rerata pengalaman karies


(51)

terendah didapat pada SLB C Markus dan Taman Pendidikan Islam (TPI) dengan rerata skor DMFT 2,00. Tabel berikut menunjukkan rerata pengalaman karies gigi anak sindrom Down usia 12-18 tahun di masing-masing SLB C Kota Medan (Tabel 6).

Tabel 6. Rerata Pengalaman Karies Gigi Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di Masing- masing SLB C Kota Medan

Sekolah Luar Biasa C (SLB C) n Pengalaman Karies (skor DMFT)

D M F Mean ± SD

Abdi Kasih 5 4,60 1 0 5,60 ± 7,27

Al Azhar 3 3,67 0 0 3,67 ± 3,21

Karya Tulus 6 2,50 0 0 2,50 ± 1,76

Markus 3 2,00 0 0 2,00 ± 1,00

Muzdalifah 3 4,33 0 0 4,33 ± 3,21

Negeri Pembina 5 2,60 0 0 2,60 ± 1,82

Taman Pendidikan Islam 7 2,00 0 0 2,00 ± 2,08

YPAC 13 2,85 0,38 0 3,23 ± 1,74


(52)

BAB 5 PEMBAHASAN

Masalah kesehatan gigi dan mulut menjadi perhatian yang sangat penting dalam membangun kesehatan anak terutama pada anak berkebutuhan khusus seperti sindrom Down. Terbatasnya kemampuan membersihkan rongga mulut dan kebiasaan makan yang tidak baik pada anak sindrom Down menjadi faktor pemicu terjadinya karies. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan prevalensi karies gigi permanen pada anak sindrom Down cenderung tinggi yaitu 86,7%. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Areias dkk yang menemukan prevalensi karies pada anak sindrom Down cenderung rendah yaitu 22%. Menurut Areias dkk, insidensi karies yang rendah pada anak sindrom Down terjadi karena kondisi rongga mulut yang khas seperti kelainan morfologi gigi pada anak sindrom Down (hipodonsia dan mikrodonsia), kebiasaan bruxism, delayed eruption khususnya pada molar dua permanen, serta erupsi gigi yang tidak beraturan baik pada gigi desidui maupun gigi permanen sehingga kemampuan daya self-cleansing pada anak sindrom Down lebih baik. Namun, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Al-Khadra dan Asokan dkk yang menemukan prevalensi karies pada anak sindrom Down cenderung tinggi yaitu 89% dan 70,6%. Insidensi karies yang tinggi pada anak sindrom Down kemungkinan disebabkan karena kurangnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi, tindakan kesehatan gigi dan mulut yang kurang memadai, kebiasaan makan yang tidak teratur, ketersediaan makanan yang mengandung sukrosa tinggi, kurangnya fluor, kelalaian orang tua, dan kurangnya inisiatif untuk melakukan tindakan pencegahan.5,17,29

Penelitian ini menunjukkan bahwa status karies gigi berdasarkan indeks DMFT WHO pada anak sindrom Down laki-laki maupun perempuan cenderung rendah yaitu sebanyak 44% anak sindrom Down laki-laki (24% sangat rendah dan 20% rendah) dan 55% anak sindrom Down perempuan (30% sangat rendah dan 25% rendah). Hal ini kemungkinan diakibatkan karena anak sindrom Down laki-laki dan


(53)

perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam menjaga kebersihan rongga mulut.

Rerata skor DMFT pada anak sindrom Down cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal. Hal ini terlihat dari hasil penelitian, rerata skor DMFT anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan adalah 3,16 (sedang), sedangkan rerata skor DMFT anak normal usia 12-18 tahun di Sumatera Utara adalah 0,84 (sangat rendah). Hal ini kemungkinan terjadi karena anak sindrom Down memiliki keterbatasan dalam menjaga kebersihan rongga mulut dan pola makan serta kurangnya perhatian orang tua terhadap masalah gigi dan mulut anak. Anak sindrom Down juga memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi sehingga anak sindrom Down tidak dapat memberi informasi kepada orang tua ketika sedang mengalami sakit gigi.30

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata decayed anak sindrom Down adalah 2,93, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Al Khadra di Riyadh menemukan rerata decayed pada anak sindrom Down adalah 3,59. Perbedaan hasil rerata decayed ini kemungkinan terjadi karena jumlah sampel dan usia sampel yang digunakan pada kedua penelitian berbeda. Selain itu, perbedaan tersebut juga disebabkan karena adanya pengaruh pola makan terhadap insidensi karies. Hal ini dapat dilihat dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 93,3% anak memiliki kebiasaan makan utama lebih dari 2 kali dalam sehari, sedangkan sebanyak 57,8% anak tidak ada mengonsumsi makanan selingan. Pola makan anak sindrom Down yang seperti ini menunjukkan bahwa pola makannya tidak menjadi ancaman/ tidak menjadi faktor risiko terjadinya karies. Hal ini disebabkan karena setiap kali mengonsumsi makanan karbohidrat yang terfermentasi menyebabkan menurunnya pH saliva yang dimulai sejak 5-15 menit setelah mengonsumsi makanan tersebut. Radler DR (cit Ramayanti S) mengatakan makanan selingan (cemilan) yang dikonsumsi dalam jumlah sedikit namun dengan frekuensi sering akan berpotensi tinggi untuk menyebabkan karies dibandingkan dengan makan tiga kali dan sedikit cemilan.17,31


(54)

Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa rerata filling anak sindrom Down adalah 0. Rerata filling ini menunjukkan bahwa anak sindrom Down belum pernah mendapatkan perawatan gigi apapun. Hal ini kemungkinan terjadi karena rendahnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi dan ekonomi keluarga yang cenderung rendah. Kebanyakan orang tua lebih mementingkan perawatan pada penyakit kongenital yang diderita oleh anak sindrom Down daripada penyakit mulutnya. Selain itu, pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap kondisi kesehatan anak sindrom Down. Menurut Tirthankar (cit Sondang dan Hamada), pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan. Individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan sehingga akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat. Hasil penelitian ini menunjukkan hanya 28,9% anak memiliki ibu dengan pendidikan tinggi sementara rerata skor filling seluruh anak sindrom Down adalah 0. Hal ini bertentangan dengan teori dan penelitian yang dilakukan oleh Jain M dkk. Hasil penelitian Jain M dkk menyatakan bahwa persentase DMFT yang paling tinggi ditemukan pada anak cacat mental yang berasal dari ibu yang berpendidikan rendah dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena ibu yang memiliki pendidikan tinggi, sedang maupun rendah dalam penelitian ini mempunyai pengetahuan dan sikap yang sama terhadap perilaku membersihkan gigi. 5,21,32

Rerata skor DMFT tertinggi ditemukan di SLB C Abdi Kasih yaitu 5,6, sedangkan rerata skor DMFT terendah terdapat di SLB C Markus dan SLB C TPI yaitu 2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan cara penyuluhan yang diberikan oleh guru dan orang tua kepada masing-masing anak di setiap SLB C. Anak-anak sindrom Down di SLB C yang memiliki rerata skor DMFT tinggi lebih sulit diberikan arahan tentang kesehatan gigi oleh guru dan orang tua sehingga anak-anak sulit diajak untuk melakukan pemeriksan gigi. Anak-anak-anak di SLB C yang memiliki rerata skor DMFT rendah memiliki guru-guru dan orang tua yang kooperatif dalam menjaga dan memelihara kesehatan gigi anak mereka.

Karies gigi akan mengakibatkan terganggunya fungsi pengunyahan (mastikasi). Gangguan pengunyahan mempengaruhi asupan makanan seseorang. Oleh


(55)

sebab itu, diduga adanya gangguan pengunyahan akan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status gizi anak sindrom Down cenderung normal baik pada laki-laki maupun perempuan (Tabel 5). Namun tidak ditemukan status gizi gemuk maupun obesitas pada anak sindrom Down laki-laki. Hal ini kemungkinan terjadi karena anak laki-laki tampil lebih aktif dibandingkan dengan anak perempuan serta adanya pengaruh karies gigi terhadap status gizi anak. Hasil penelitian ini menunjukkan lebih banyak anak sindrom Down laki-laki (32%) yang memiliki status karies tinggi dibandingkan dengan anak sindrom Down perempuan (5%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hennequin dkk (cit Murray J) yang mengatakan bahwa terganggunya fungsi pengunyahan dapat menyebabkan defisiensi nutrisi pada anak sindrom Down.10,11,33

Berdasarkan hasil penelitian ini, prevalensi status gizi normal pada anak sindrom Down cenderung lebih rendah dibandingkan dengan anak normal, yaitu 55,56% pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun, sedangkan sebesar 70,4% pada anak normal usia diatas 15 tahun. Status gizi kurus terlihat lebih tinggi pada anak sindrom Down dibandingkan dengan anak normal. Sebanyak 37,78% anak sindrom Down berstatus gizi kurus (17,78% sangat kurus dan 20% kurus), sedangkan pada anak normal hanya sebesar 8,9% yang berstatus gizi kurus. Hal ini kemungkinan terjadi karena anak sindrom Down cenderung sulit mengonsumsi makanan akibat kondisi gigi yang tidak sehat yaitu karies.30

Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata skor DMFT anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal usia 12-18 tahun di Sumatera Utara yaitu 3,16. Begitu pula dengan status gizi anak sindrom Down yang cenderung buruk dibandingkan dengan anak normal. Hal ini diduga ada kaitan antara status karies gigi dengan status gizi. Hal ini sesuai dengan penelitian Benzien dkk., yang menemukan adanya hubungan yang bermakna (p < 0,001) antara indeks massa tubuh dengan karies yang tidak dirawat. Gangguan fungsi pengunyahan yang disebabkan oleh kondisi gigi geligi yang tidak baik seperti karies diduga mempengaruhi asupan gizi makan anak sindroma Down. Oleh sebab itu, dibutuhkan perhatian, dukungan, motivasi, dan peran orang tua khususnya ibu


(56)

agar anak sindroma Down lebih termotivasi untuk menjaga kesehatan rongga mulut dan tubuh dengan lebih baik.10,11,23


(57)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Karies merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut yang banyak ditemukan di masyarakat. Prevalensi karies gigi pada anak sindrom Down di SLB C Kota Medan cenderung tinggi yaitu 86,7%. Rerata pengalaman karies gigi pada 45 orang anak sindrom Down usia 12-18 tahun yang bersekolah di SLB C Kota Medan adalah 3,16 (status karies sedang) dengan SD 3,01. Gambaran status karies gigi berdasarkan jenis kelamin cenderung rendah baik pada anak sindrom Down laki-laki maupun perempuan yaitu 44% dan 55%.

Adanya gangguan fungsi pengunyahan yang diakibatkan oleh karies gigi akan berpengaruh pada nutrisi anak sindroma Down. Status gizi anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB C Kota Medan cenderung normal. Sebanyak 37,8% berstatus gizi kurus, 55,6% berstatus gizi normal, dan 6,6% berstatus gizi gemuk. Gambaran status gizi berdasarkan jenis kelamin cenderung normal pada anak sindrom Down laki-laki maupun perempuan yaitu 64% dan 45%.

6.2 Saran

1. Peran orang tua diharapkan dapat lebih baik dalam membimbing anak untuk merawat kesehatan gigi dan mulut dengan melakukan penyikatan gigi secara teratur sejak dini dan membawa anak untuk mendapatkan tindakan pencegahan dan perawatan gigi di klinik.

2. Perlu dilakukan perencanaan usaha pencegahan dan perawatan terhadap karies gigi pada anak sindrom Down oleh praktisi kesehatan gigi.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar untuk memperoleh hasil dengan validitas yang lebih baik.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995: 38-41, 211-7.

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Tahun 2013. Riset Kesehatan Dasar.

3. School of Dentistry University of Washington. Oral health fact sheet for dental professionals: children with down syndrome (trisomy 21). http://www.thecenterforpediatricdentistry.com/intranet/special_needs_fact_sheet s/dental_providers/Down-Dental.pdf

4. Normastura AR, Norhayani Z, Azizah Y, Khairi M. Saliva and dental caries in down syndrome children. Sains Malaysiana 2013; 42 (1): 59-63.

. <18 September 2014>

5. Asokan S, Muthu MS, Sivakumar N. Dental caries prevalence and treatment needs of down syndrome children in Chennai, India. Indian J Dent Res 2008; 19 (3): 224-9.

6. Wijaya S. Prevalensi karies gigi dan relasi gigi anterior pada anak sindroma

down di kota Makassar. Skripsi.

7. Marlina I. Hubungan antara sosial ekonomi orangtua dan perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies pada anak sindroma down usia 6-18 tahun di sekolah luar biasa C (SLB-C) kota Medan. Skripsi. 8. Sadeghi M, Alizadeh F. Association between dental caries and body mass

index-for-age among 6-11-year-old children in Isfahan in 2007. J Dent Res 2007; 1 (3): 1-4.


(59)

9. Willershausen B, Haas G, Krummenauer F, Hohenfellner K. Relationship between hight weight and caries frequency in German elemantary school children. Eur J Med Res 2004; 9: 400-4.

10. Sasiwi NR. Hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi anak. Skripsi. September 2014>

11. Benzien et al. Untreated severe dental caries: a neglected determinant of low body mass index in 12 year old Filipino children. BMC Public Health 2011; 11: 1-9.

12. Xavier A, Bastos RS, Arakawa AM, Caldana ML, Bastos JRM. Correlation between dental caries and nutritional status preschool children in a Brazilian municipality. Rev Odontol UNESP 2013; 42 (5): 378-83.

13. Anonymous. Down Syndrome.

14. Dorland. Kamus Kedokteran Dorlan. Ed 29. Alih bahasa. Hartanto H dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002: 2131.

15. Weddell JA, Sanders BJ, Jones JE. Dental problems of children with disabilities. In: McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dentistry for the child and adolescent. 8th Ed. St Louis: Mosby, 2004: 542.

16. Cheng R, Yiu C, Leung WK. Oral health in individuals with down syndrome.

17. Al-khadra TA. Prevalence of dental caries and oral hygiene status among down’s syndrome patients in Riyadh Saudi Arabia. Pakistan Oral Dent J 2011; 31 (1): 115-7.

<18 September 2014>

18. Schuurs AHB. Patologi gigi geligi: kelainan-kelainan jaringan keras gigi. Alih bahasa. Suryo S. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992.

19. Kidd E. Dasar-dasar karies: penyakit dan penanggulangannya. Alih bahasa. Sumawinata N, Faruk S. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1992: 1-2.


(60)

20. McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dental caries in the child and adolescent. In: McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dentistry for the child and adolescent. 8th Ed. St Louis: Mosby, 2004: 205.

21. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat: pencegahan dan pemeliharaan. Edisi revisi. Medan: USU Press; 2014: 1-18.

22. Cakrawati D, Mustika NH. Bahan pangan, gizi, dan kesehatan. Bandung: Penerbit Alfabeta, 2012: 25-6.

23. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004: 9-10.

24. Nyoman ID, Fajar I, Bakri B. Penilaian status gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002: 36-9, 56-60.

25. Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. 2011: 2, 18-22, 35-40.

26. Must A, Anderson SE. Body mass index in children and adolescents: considerations for population-based applications. Int J of Obesity 2006; 30: 590-94.

27. Badan Pusat Statistik. Perkembangan beberapa indikator utama sosial ekonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2014; 21, 54.

28. Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tambahan Lembaran Negara RI Tahun 2003, No. 4301. Sekretariat Negara. Jakarta

29. Areias et al. Caries in Portuguese children with Down Syndrome. Clinics 2011; 66 (7): 1183-6.

30. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Laporan hasil riset kesehatan dasar provinsi Sumatera Utara tahun 2007.

31. Ramayanti S, Purnakarya I. Peran makanan terhadap kejadian karies gigi. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013; 7 (2): 89-93.


(61)

32.

Jain et al. Oral health status of mentally disabled subjects in India. J Oral Sci 2009; 51(3): 333-40.

33. Murray J, Ryan-Krause P. Obesity in children with Down Syndrome: background and recommendations for management. Pediatr Nurs 2010; 36 (6): 314-19.


(62)

LAMPIRAN 1

LEMBAR KUESIONER PENELITIAN

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GAMBARAN STATUS KARIES GIGI DAN STATUS GIZI PADA ANAK SINDROM DOWN USIA 12-18 TAHUN DI SLB-C KOTA MEDAN

Tanggal Periksa :

Nama Pemeriksa :

A.IDENTITAS RESPONDEN Nama anak :

Nama sekolah :

Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

Tanggal lahir : (tanggal-bulan-tahun)

Umur : (tahun-bulan)

No. Hp :


(63)

B.INFORMASI RESPONDEN

Frekuensi makan utama anak : 1. ≥ 2 kali sehari 2. < 2 kali sehari

Frekuensi makan selingan anak : 1. ≥ 1 kali sehari 2. Tidak ada

Penghasilan orang tua : 1. > 1,5 juta rupiah/kapita/bulan 2. < 1,5 juta rupiah/kapita/bulan

Pendidikan terakhir ibu : 1. Tidak sekolah/ tamat SD/ tamat SMP 2. tamat SMA/ tamat SMK

3. tamat diploma/ tamat sarjana

C.STATUS GIZI

Berat badan : kg

Tinggi badan : cm

IMT : kg�cm2

Status gizi : 1. Z-scores < -3 SD

2. Z-scores -3 SD sampai dengan < -2 SD 3. Z-scores -2 SD sampai dengan 1 SD 4. Z-scores > 1 SD sampai dengan 2 SD 5. Z-scores > 2 SD


(64)

D.PEMERIKSAAN INTRAORAL

Keterangan: 1 = gigi karies; 2 = gigi dengan tumpatan dan ada karies; 3 = gigi dengan tumpatan dan tidak ada karies; 4= gigi yang hilang akibat karies

Nilai DMF-T

D (kode 1 dan 2) =

M (kode 4) =

F (kode 3) =

∑ DMF-T =

18 17 16 15 14 13 12 11 21 22 23 24 25 26 27 28 48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38


(65)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA ORANG TUA/ WALI CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi Bapak/Ibu, perkenalkan saya Rica Savitri, mahasiswi yang sedang menjalani pendidikan kedokteran gigi di Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan dan ingin melakukan penelitian. Bersama ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu dapat mengijinkan ananda …... untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian saya mengenai “GAMBARAN STATUS KARIES GIGI DAN STATUS GIZI PADA ANAK SINDROM DOWN USIA 12-18 TAHUN DI SLB C KOTA MEDAN”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status karies dan status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun. Dalam penelitian ini akan dilakukan beberapa pemeriksaan meliputi pemeriksaan berat badan dan tinggi badan, serta pemeriksaan rongga mulut mengenai ada tidaknya gigi berlubang. Adapun ketidaknyamanan yang akan dialami anak dalam prosedur penelitian ini yaitu anak membuka mulut cenderung lama untuk memeriksa keadaan tiap gigi anak yang ada di rongga mulut. Keuntungan menjadi subjek penelitian adalah mendapatkan data mengenai kondisi gizi dan rongga mulut anak anda serta saran dalam upaya menjaga kesehatan anak. Diharapkan hasil penelitian ini secara keseluruhan dapat digunakan sebagai dasar program pemerintah dalam bidang kesehatan gigi dan mulut anak untuk meningkatkan kualitas hidup anak sindroma Down.

Jika ananda dari Bapak/Ibu bersedia, Surat Pernyataan Kesediaan menjadi subjek penelitian terlampir harap ditandatangani dan dikembalikan kepada peneliti. Perlu diketahui bahwa surat ketersediaan tersebut tidak mengikat dan Bapak/Ibu dapat mengundurkan diri dari penelitian ini kapan saja selama penelitian ini berlangsung. Semoga keterangan yang telah saya berikan cukup jelas dan dapat dimengerti dengan baik. Atas kesediaan ananda dari Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini saya mengucapkan terima kasih.

Medan, Rica Savitri

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara No Hp: 0831 9787 7078


(66)

LAMPIRAN 3

SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI SUBJEK PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

Setelah membaca semua keterangan tentang risiko, keuntungan, dan hak-hak saya/ anak saya sebagai subjek penelitian yang berjudul “GAMBARAN STATUS KARIES GIGI DAN STATUS GIZI PADA ANAK SINDROM DOWN USIA 12-18 TAHUN DI SLB-C KOTA MEDAN” dengan sadar dan tanpa paksaan saya bersedia megijinkan anak saya berpartisipasi dalam penelitian ini yang diketuai oleh Rica Savitri sebagai mahasiswi FKG USU, dengan catatan apabila suatu ketika merasa dirugikan dalam bentuk apapun berhak membatalkan persetujuan ini.

Medan, ...2015 Tanda tangan,

(...) Orang tua dari ...


(67)

LAMPIRAN 4

JADWAL KEGIATAN

NO Kegiatan

Bulan

Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret 1 Penelusuran

Kepustakaan x x x x 2 Pembuatan

Proposal x x x x x x x x x x x x x x 3 Seminar

Proposal x

4 Persiapan

Penelitian x x x

5 Pengumpulan

Data x x x

6 Pengolahan

Data x x x


(68)

8 Penulisan Laporan Penelitian

x x x

9 Seminar Hasil x

10 Perbaikan dan Penyerahan

Laporan


(69)

LAMPIRAN 5


(70)

(71)

(72)

(73)

(74)

LAMPIRAN 6


(75)

LAMPIRAN 7

SURAT PERSETUJUAN KOMISI ETIK TENTANG PELAKSANA PENELITIAN BIDANG KESEHATAN


(76)

LAMPIRAN 8


(77)

(78)

(79)

(80)

(81)

(82)

(1)

Frequency Table (Status Karies)

Status Karies Laki

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Sangat Rendah (0-1,1) 6 24,0 24,0 24,0

Rendah (1,2-2,6) 5 20,0 20,0 44,0 Sedang (2,7-4,4) 6 24,0 24,0 68,0 Tinggi (4,5-6,5) 7 28,0 28,0 96,0 Sangat Tinggi (>6,6) 1 4,0 4,0 100,0

Total 25 100,0 100,0

Status Karies Perempuan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Sangat Rendah (0-1,1) 6 30,0 30,0 30,0

Rendah (1,2-2,6) 5 25,0 25,0 55,0 Sedang (2,7-4,4) 8 40,0 40,0 95,0 Sangat Tinggi (>6,6) 1 5,0 5,0 100,0


(2)

Frequency Table (Status Gizi)

Status Gizi Laki-laki

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Sangat Kurus (<-3SD) 7 28,0 28,0 28,0

Kurus (-3SD sampai <-2SD) 2 8,0 8,0 36,0 Normal (-2SD sampai 1SD) 16 64,0 64,0 100,0

Total 25 100,0 100,0

Status Gizi Perempuan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Sangat Kurus (<-3SD) 1 5,0 5,0 5,0

Kurus (-3SD sampai <-2SD) 7 35,0 35,0 40,0 Normal (-2SD sampai 1SD) 9 45,0 45,0 85,0 Gemuk (>1SD sampai 2SD) 2 10,0 10,0 95,0 Obesitas (>2SD) 1 5,0 5,0 100,0


(3)

Descriptives Statistic (Rerata Skor DMFT di Masing-masing SLB C Kota Medan)

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Decay Abdi Kasih 5 0 18 4,60 7,537 Missing Abdi Kasih 5 0 4 1,00 1,732 Filling Abdi Kasih 5 0 0 ,00 ,000 DMFT Abdi Kasih 5 0 18 5,60 7,266 Valid N (listwise) 5

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Decay Al Azhar 3 0 6 3,67 3,215 Missing Al Azhar 3 0 0 ,00 ,000 Filling Al Azhar 3 0 0 ,00 ,000 DMFT Al Azhar 3 0 6 3,67 3,215 Valid N (listwise) 3

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Decay Karya Tulus 6 0 4 2,50 1,761 Missing Karya Tulus 6 0 0 ,00 ,000 Filling Karya Tulus 6 0 0 ,00 ,000 DMFT Karya Tulus 6 0 4 2,50 1,761 Valid N (listwise) 6


(4)

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Decay Markus 3 1 3 2,00 1,000

Missing Markus 3 0 0 ,00 ,000 Filling Markus 3 0 0 ,00 ,000

DMFT Markus 3 1 3 2,00 1,000

Valid N (listwise) 3

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Decay Muzdalifah 3 2 8 4,33 3,215 Missing Muzdalifah 3 0 0 ,00 ,000 Filling Muzdalifah 3 0 0 ,00 ,000 DMFT Muzdalifah 3 2 8 4,33 3,215 Valid N (listwise) 3

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Decay Negeri Pembina 5 1 5 2,60 1,817 Missing Negeri Pembina 5 0 0 ,00 ,000 Filling Negeri Pembina 5 0 0 ,00 ,000 DMFT Negeri Pembina 5 1 5 2,60 1,817 Valid N (listwise) 5


(5)

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Decay TPI 7 0 6 2,00 2,082

Missing TPI 7 0 0 ,00 ,000

Filling TPI 7 0 0 ,00 ,000

DMFT TPI 7 0 6 2,00 2,082

Valid N (listwise) 7

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Decay YPAC 13 0 6 2,85 1,725

Missing YPAC 13 0 2 ,38 ,650

Filling YPAC 13 0 0 ,00 ,000

DMFT YPAC 13 0 6 3,23 1,739


(6)

Descriptives (Rerata Skor DMFT di SLB C Kota Medan)

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Decay 45 0 18 2,93 2,988

Missing 45 0 4 ,22 ,704

Filling 45 0 0 ,00 ,000

Skor DMFT 45 0 18 3,16 3,007