T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Interpersonal Orangtua dalam Meningkatkan Rasa Percaya Diri Anak: Studi pada Keluarga dari Anak Tuna Daksa yang Bersekolah di SLB Anugeraharanganyar, Surakarta T1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pendidikan awal pada anak dimulai dari keluarga. Karena keluarga
merupakan keadaan awal yang dikenali oleh seorang anak maka segala proses
pembentukan kepribadian dan tumbuh kembang anak terjadi. Tumbuh kembang
anak baik pada proses penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas, moral,
kemampuan bersosialisasi, dan hal yang bersifat spiritual terjadi didalamnya.
Setiap orang berharap dilahirkan di lingkungan keluarga yang sempurna,
dengan kedua orang tua yang selalu merawat dan menjaga dengan penuh kasih
sayang dan cinta, juga dibesarkan dan dididik dengan kesabaran, yang selalu
mendukung juga memberi solusi terhadap apa yang dicitakan dan yang dihadapi
anak.
Selain itu, terlahir dengan memiliki anggota tubuh yang sempurna juga
merupakan salah satu harapan dari setiap orang. Dapat melihat dengan jelas, dapat
bergerak tanpa batas, melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya,
dapat menikmati keindahan lingkungan sekitar, dan dapat bermain dengan teman
sebaya adalah hal yang selalu diinginkan oleh mereka. Akan tetapi tidak semua
orang terlahir dengan memiliki anggota tubuh yang sempurna, mereka yang
termaksud ke dalam kelompok disabilitas merupakan orang-orang yang memiliki
anggota tubuh dengan keterbatasannya sendiri-sendiri.
Pada tahun 2016 lalu BPS (Sakernas) menunjukan bahwa 45,74% anakanak penyandang disabilitas tidak pernah ataupun tidak lulus SD, sedangkan
87,31% anak non disabilitas dapat mempunyai pendidikan SD keatas1. Hal inilah
yang merupakan salah satu penyebab dimana anak disabilitas tidak mampu
bersosialisasi dengan masyarakat secara baik, dikarenakan seorang anak
disabilitas tidak mempunyai akses yang cukup disekolah untuk mereka belajar
1
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://www.lpem.org/wpcontent/uploads/2016/12/Lembar-fakta-rev5.pdf&ved=0ahUKEwjtmG_qbnSAhUDULwKHarTCxE4FBAWCB8wAg&usg=AFQjCNFgwNTioRzLAkmk3Hj5hZv_MDoDkQ&si
g2=9izKTmrpi7Ne93tNvvjJxQ diakses pada 27 Februari 2017
1
bersosialisasi, sehingga ketika mereka dewasa tidak adanya rasa percaya diri yang
cukup untuk melakukan proses komunikasi dengan orang-orang disekitar mereka
yang terbilang anak dengan kondisi fisik dan mental yang normal.
Menurut Departemen Kesehatan2 berbagai faktor permasalahan dialami
oleh penyandang disabilitis. Hal tersebut dapat ditinjau dari sisi internal maupun
eksternal, seperti:
1. Permasalah dalam Internal
a. Gangguan pada organ dan fungsi dan atau mental yang dapat
menimbulkan berbagai gangguan dalam kehidupan sehari-hari para penyandang
disabilitas.
b. Adanya kesulitan para penyandang disabilitas dalam berkomunikasi,
gangguan belajar, keterampilan, pekerjaan, gangguan dalam beraktivitas, kesulitan
dalam penyesuaian diri maupun kesulitan dalam meningkatkan rasa percaya diri.
2. Permasalahan dalam Eksternal
a. Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap masalah disabilitas.
b. Adanya isolasi ataupun perlindungan yang berlebihan terhadap para
penyandang disabilitas.
c. Kurangnya peran masyarakat dan keluarga dalam menangani penyandang
disabilitas.
d. Kurangnya pemenuhan hak-hak yang didapat oleh para penyandang disabilitas.
e. Banyak para penyandang disabilitas yang hidup dibawah garis kemiskinan
dengan tingkat pendidikan yang juga masih rendah.
f. Masih banyak pula keluarga yang menutupi dari masyarakat bahwa ada salah
satu anggota keluarga mereka yang mengalami disabilitas.
g. Masih terbatasnya lapangan pekerjaan bagi para penyandang disabilitas.
Menjadi seorang yang cacat bukanlah sebuah kiamat bagi yang
mengalaminya, mereka harus dapat bangkit dan berjuang untuk menjadikan
dirinya istimewa sekalipun awalnya mereka merasakan depresi dengan
2
https://www.google.co.id/url?sa+t&source=web&rct=j8url=http://www.depkes.go.id/download
.php%3Ddownload/pusdatin/buletin/buletindisabilitas.pdf&ved=OahUKEwiUpLGwrp_SAhVBL48KHfYlCNAQFggZMAA&usg=AFQJCNGSxs3WYz
7gyWUM5y0CzsRHl8ptmA&sigz=hY4RtIbDNmuCdCtLcz-yLA diakses pada 14 Februari 2017
2
keadaannya. Tidaklah mudah seseorang untuk menerima dirinya yang disabilitas
dan yang tidak sesempurna seperti orang lain.
Mereka yang termaksud kedalam kelompok disabilitas dapat disebut
sebagai Tuna Netra (Buta), Tuna Rungu (Tuli), Tuna Wicara (Bisu), Tuna Daksa
(Cacat Fisik), Tuna Grahita (Keterbelakangan Mental), Tuna Laras (Cacat
Pengendalian Diri), dan Tuna Ganda (Cacat Kombinasi). Pada kali ini peneliti
akan mengangkat Tuna Daksa sebagai bahan penelitian.
Tuna daksa (cacat fisik) adalah mereka yang mengalami kerusakan atau
terganggu akibat gangguan bentuk hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya yang normal3. Mereka memiliki keterbatasan pada ruang gerak mereka.
Akan tetapi sebagai makhluk sosial, manusia juga membutuhkan
komunikasi dan proses sosialisasi untuk menunjang kehidupan mereka. Hal yang
sama juga seharusnya di alami oleh mereka para penyandang disabilitas.
Sekalipun para penyandang disabilitas termaksud kedalam orang-orang yang
berbeda namun mereka juga mempunyai hak yang sama seperti anak-anak normal
lainnya. Mereka juga membutuhkan proses sosialisasi dalam membentuk diri
mereka. Seseorang yang tumbuh tanpa interaksi maupun sosialisasi maka dia akan
memelewatkan peluang untuk berlatih dan mengembangkan keahlian, karena
perkembangan diri kita bukan hanya dari keluarga akan tetapi juga didapat dari
segala proses interaksi di masyarakat4.
Namun, terkadang kurangnya rasa percaya diri anak dengan kondisi fisik
yang mereka miliki justru membuat mereka menarik diri dari masyarakat5. Anakanak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini menyebabkan
mereka menjadi lebih rentan6. Rasa malu, rendah diri, terkadang bersikap egois
dan sensitif juga dapat mempengaruhi proses penyesuaian anak disabilitas dalam
berinteraksi di lingkungannya. Selain itu keterbatasan akses mereka di lingkungan
3
www.jurnal.id/2012/11/macam-macam-cacat-fisik-pada-manusia.html?m=1#.WKSQt8sxXqA
diakses pada 14 Februari 2017
4
Kurniawati, Nia Kania (2014). Komunikasi Antarpribadi; Konsep dan Teori Dasar.
Yogyakarta;Graha Ilmu
5
www.e-jurnal.com/2014/03/penyebab-timbulnya-kurang-percaya-diri.html?m=1 diakses pada
14 Februari 2017
6
https://www.unicef.org/indonesia/id/SOWC_Bahasa.pdf diakses pada 14 Februari 2017
3
dan pendapat masyarakat tentang seorang disabilitas membuat mereka merasa
dikucilkan dan akhirnya menarik diri dari masyarakat. Penolakan yang dilakukan
oleh masyarakat juga berpengaruh pada diri penyandang disabilitas yang juga
dapat menyebabkan mereka mudah tersiggung, mudah marah, sering menunjukan
kesedihan, stress, jarang tersenyum bahkan dapat mengarah kepada depresi7.
Akan tetapi tidak jarang dari anak disabilitas yang dapat bersosialisasi
dengan baik di lingkungan masyarakat. Keterbatasan fisik seorang anak bukan
menjadi penghambat bagi mereka untuk terus bersosialisi di tengah masyarakat.
Hal tersebut disebabkan oleh dukungan orang tua yang sudah ditanamkan ketika
anak masih usia dini. Peran orang tua dalam mengkomunikasikan, memberi
motivasi bahkan meningkatkan rasa percaya diri anak dengan keterbatasan fisik
mereka tidaklah mudah. Bahasa yang digunakan oleh orang tua serta cara-cara
memberikan motivasi kepada anak harus hati-hati dan sangat diperhatikan
mengingat komunikan yang dihadapi adalah mereka yang berbeda dengan anakanak lainnya. Orang tua harus memahami secara pasti tentang kepribadian sang
anak agar orang tua dapat menggunakan bahasa dan mengerti waktu yang tepat
kapan harus memberikan pengertian dan semangat serta motivasi kepada anak.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Melihat dari judul penelitian dan latar belakang di atas maka menimbulkan
sebuah pertanyaan yaitu: Bagaimana strategi komunikasi yang dilakukan orang
tua dalam membangun rasa percaya diri anak tuna daksa agar anak mampu
bersosialisasi di lingkungan bermain?
1.3
TUJUAN
Untuk mendeskripsikan strategi komunikasi yang dilakukan orangtua
supaya dapat meningkatkan rasa percaya diri anak tuna daksa agar mampu
bersosialisasi di lingkungan bermain.
7
Suharmini, Tin (2009). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta; Kanwa Publisher
4
1.4
MANFAAT
1.4.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui teori yang berkaitan dengan
Ilmu Komunikasi secara umum maupun secara khusus yang berhubungan dengan
matakuliah Komunikasi Antar Pribadi (Komunikasi Interpersonal)
1.4.2
Manfaat Praktis
Dapat memberikan saran yang lebih mendalam kepada orang tua agar
dapat lebih lagi memberikan dan menanamkan rasa percaya diri anak tuna daksa.
1.5
DEFINISI KONSEP dan BATASAN PENELITIAN
1.5.1
Definisi Konsep
Komunikasi Interpersonal: Merupakan komunikasi yang dilakukan oleh 2 orang
dan terjadi secara langsung dengan cara bertatap
muka.
Menurut
Kurniawati
(2014)
tentang
komunikasi antarpribadi adalah dalam berinteraksi
dengan orang lain kita mengenal mereka dan diri
sendiri, dan mengungkapkan diri sendiri kepada orang
lain.
Percaya Diri : Percaya diri (Self Confident) merupakan sebuah keyakinan bahwa
seseorang mampu menanggulangi suatu masalah dengan cara
terbaik dan dapat memberikan sesuatu yang menyenangkan bagi
orang lain. Loekmono berpendapat bahwa kepercayaan diri itu
tidak dapat terbentuk dengan sendirinya, melainkan berkaitan
dengan kepribadian seseorang8. Percaya menurut Griffin (dalam
Suciati, 2015: 22) sebagai sikap mengendalikan perilaku seseorang
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki yang pencapaiannya tidak
tidak pasti dalam situasi yang penuh resiko.
8
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://etheses.uinmalang.ac.id/1847/6/09410074_Bab_2.pdf&ved=0ahUKEwiyjbvxaHSAhWKO48KHZdsCmwQFggsMAE&usg=AFQjCNEUSRSmaVRS3BrI3clG9k919m6Gww&
sig2=NqbOR61csRuxVNVUlQjjCg diakses pada 14 Februari 2017
5
1.5.2
Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk membuat batasan-batasan
dalam melakukan penelitian ketika di lapangan. Batasan yang peneliti terapkan
adalah pada orang tua yang memiliki anak tuna daksa dan disekolahkan di
Surakarta terutama di SLB Anugerah, Karanganyar.
6
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pendidikan awal pada anak dimulai dari keluarga. Karena keluarga
merupakan keadaan awal yang dikenali oleh seorang anak maka segala proses
pembentukan kepribadian dan tumbuh kembang anak terjadi. Tumbuh kembang
anak baik pada proses penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas, moral,
kemampuan bersosialisasi, dan hal yang bersifat spiritual terjadi didalamnya.
Setiap orang berharap dilahirkan di lingkungan keluarga yang sempurna,
dengan kedua orang tua yang selalu merawat dan menjaga dengan penuh kasih
sayang dan cinta, juga dibesarkan dan dididik dengan kesabaran, yang selalu
mendukung juga memberi solusi terhadap apa yang dicitakan dan yang dihadapi
anak.
Selain itu, terlahir dengan memiliki anggota tubuh yang sempurna juga
merupakan salah satu harapan dari setiap orang. Dapat melihat dengan jelas, dapat
bergerak tanpa batas, melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya,
dapat menikmati keindahan lingkungan sekitar, dan dapat bermain dengan teman
sebaya adalah hal yang selalu diinginkan oleh mereka. Akan tetapi tidak semua
orang terlahir dengan memiliki anggota tubuh yang sempurna, mereka yang
termaksud ke dalam kelompok disabilitas merupakan orang-orang yang memiliki
anggota tubuh dengan keterbatasannya sendiri-sendiri.
Pada tahun 2016 lalu BPS (Sakernas) menunjukan bahwa 45,74% anakanak penyandang disabilitas tidak pernah ataupun tidak lulus SD, sedangkan
87,31% anak non disabilitas dapat mempunyai pendidikan SD keatas1. Hal inilah
yang merupakan salah satu penyebab dimana anak disabilitas tidak mampu
bersosialisasi dengan masyarakat secara baik, dikarenakan seorang anak
disabilitas tidak mempunyai akses yang cukup disekolah untuk mereka belajar
1
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://www.lpem.org/wpcontent/uploads/2016/12/Lembar-fakta-rev5.pdf&ved=0ahUKEwjtmG_qbnSAhUDULwKHarTCxE4FBAWCB8wAg&usg=AFQjCNFgwNTioRzLAkmk3Hj5hZv_MDoDkQ&si
g2=9izKTmrpi7Ne93tNvvjJxQ diakses pada 27 Februari 2017
1
bersosialisasi, sehingga ketika mereka dewasa tidak adanya rasa percaya diri yang
cukup untuk melakukan proses komunikasi dengan orang-orang disekitar mereka
yang terbilang anak dengan kondisi fisik dan mental yang normal.
Menurut Departemen Kesehatan2 berbagai faktor permasalahan dialami
oleh penyandang disabilitis. Hal tersebut dapat ditinjau dari sisi internal maupun
eksternal, seperti:
1. Permasalah dalam Internal
a. Gangguan pada organ dan fungsi dan atau mental yang dapat
menimbulkan berbagai gangguan dalam kehidupan sehari-hari para penyandang
disabilitas.
b. Adanya kesulitan para penyandang disabilitas dalam berkomunikasi,
gangguan belajar, keterampilan, pekerjaan, gangguan dalam beraktivitas, kesulitan
dalam penyesuaian diri maupun kesulitan dalam meningkatkan rasa percaya diri.
2. Permasalahan dalam Eksternal
a. Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap masalah disabilitas.
b. Adanya isolasi ataupun perlindungan yang berlebihan terhadap para
penyandang disabilitas.
c. Kurangnya peran masyarakat dan keluarga dalam menangani penyandang
disabilitas.
d. Kurangnya pemenuhan hak-hak yang didapat oleh para penyandang disabilitas.
e. Banyak para penyandang disabilitas yang hidup dibawah garis kemiskinan
dengan tingkat pendidikan yang juga masih rendah.
f. Masih banyak pula keluarga yang menutupi dari masyarakat bahwa ada salah
satu anggota keluarga mereka yang mengalami disabilitas.
g. Masih terbatasnya lapangan pekerjaan bagi para penyandang disabilitas.
Menjadi seorang yang cacat bukanlah sebuah kiamat bagi yang
mengalaminya, mereka harus dapat bangkit dan berjuang untuk menjadikan
dirinya istimewa sekalipun awalnya mereka merasakan depresi dengan
2
https://www.google.co.id/url?sa+t&source=web&rct=j8url=http://www.depkes.go.id/download
.php%3Ddownload/pusdatin/buletin/buletindisabilitas.pdf&ved=OahUKEwiUpLGwrp_SAhVBL48KHfYlCNAQFggZMAA&usg=AFQJCNGSxs3WYz
7gyWUM5y0CzsRHl8ptmA&sigz=hY4RtIbDNmuCdCtLcz-yLA diakses pada 14 Februari 2017
2
keadaannya. Tidaklah mudah seseorang untuk menerima dirinya yang disabilitas
dan yang tidak sesempurna seperti orang lain.
Mereka yang termaksud kedalam kelompok disabilitas dapat disebut
sebagai Tuna Netra (Buta), Tuna Rungu (Tuli), Tuna Wicara (Bisu), Tuna Daksa
(Cacat Fisik), Tuna Grahita (Keterbelakangan Mental), Tuna Laras (Cacat
Pengendalian Diri), dan Tuna Ganda (Cacat Kombinasi). Pada kali ini peneliti
akan mengangkat Tuna Daksa sebagai bahan penelitian.
Tuna daksa (cacat fisik) adalah mereka yang mengalami kerusakan atau
terganggu akibat gangguan bentuk hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya yang normal3. Mereka memiliki keterbatasan pada ruang gerak mereka.
Akan tetapi sebagai makhluk sosial, manusia juga membutuhkan
komunikasi dan proses sosialisasi untuk menunjang kehidupan mereka. Hal yang
sama juga seharusnya di alami oleh mereka para penyandang disabilitas.
Sekalipun para penyandang disabilitas termaksud kedalam orang-orang yang
berbeda namun mereka juga mempunyai hak yang sama seperti anak-anak normal
lainnya. Mereka juga membutuhkan proses sosialisasi dalam membentuk diri
mereka. Seseorang yang tumbuh tanpa interaksi maupun sosialisasi maka dia akan
memelewatkan peluang untuk berlatih dan mengembangkan keahlian, karena
perkembangan diri kita bukan hanya dari keluarga akan tetapi juga didapat dari
segala proses interaksi di masyarakat4.
Namun, terkadang kurangnya rasa percaya diri anak dengan kondisi fisik
yang mereka miliki justru membuat mereka menarik diri dari masyarakat5. Anakanak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini menyebabkan
mereka menjadi lebih rentan6. Rasa malu, rendah diri, terkadang bersikap egois
dan sensitif juga dapat mempengaruhi proses penyesuaian anak disabilitas dalam
berinteraksi di lingkungannya. Selain itu keterbatasan akses mereka di lingkungan
3
www.jurnal.id/2012/11/macam-macam-cacat-fisik-pada-manusia.html?m=1#.WKSQt8sxXqA
diakses pada 14 Februari 2017
4
Kurniawati, Nia Kania (2014). Komunikasi Antarpribadi; Konsep dan Teori Dasar.
Yogyakarta;Graha Ilmu
5
www.e-jurnal.com/2014/03/penyebab-timbulnya-kurang-percaya-diri.html?m=1 diakses pada
14 Februari 2017
6
https://www.unicef.org/indonesia/id/SOWC_Bahasa.pdf diakses pada 14 Februari 2017
3
dan pendapat masyarakat tentang seorang disabilitas membuat mereka merasa
dikucilkan dan akhirnya menarik diri dari masyarakat. Penolakan yang dilakukan
oleh masyarakat juga berpengaruh pada diri penyandang disabilitas yang juga
dapat menyebabkan mereka mudah tersiggung, mudah marah, sering menunjukan
kesedihan, stress, jarang tersenyum bahkan dapat mengarah kepada depresi7.
Akan tetapi tidak jarang dari anak disabilitas yang dapat bersosialisasi
dengan baik di lingkungan masyarakat. Keterbatasan fisik seorang anak bukan
menjadi penghambat bagi mereka untuk terus bersosialisi di tengah masyarakat.
Hal tersebut disebabkan oleh dukungan orang tua yang sudah ditanamkan ketika
anak masih usia dini. Peran orang tua dalam mengkomunikasikan, memberi
motivasi bahkan meningkatkan rasa percaya diri anak dengan keterbatasan fisik
mereka tidaklah mudah. Bahasa yang digunakan oleh orang tua serta cara-cara
memberikan motivasi kepada anak harus hati-hati dan sangat diperhatikan
mengingat komunikan yang dihadapi adalah mereka yang berbeda dengan anakanak lainnya. Orang tua harus memahami secara pasti tentang kepribadian sang
anak agar orang tua dapat menggunakan bahasa dan mengerti waktu yang tepat
kapan harus memberikan pengertian dan semangat serta motivasi kepada anak.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Melihat dari judul penelitian dan latar belakang di atas maka menimbulkan
sebuah pertanyaan yaitu: Bagaimana strategi komunikasi yang dilakukan orang
tua dalam membangun rasa percaya diri anak tuna daksa agar anak mampu
bersosialisasi di lingkungan bermain?
1.3
TUJUAN
Untuk mendeskripsikan strategi komunikasi yang dilakukan orangtua
supaya dapat meningkatkan rasa percaya diri anak tuna daksa agar mampu
bersosialisasi di lingkungan bermain.
7
Suharmini, Tin (2009). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta; Kanwa Publisher
4
1.4
MANFAAT
1.4.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui teori yang berkaitan dengan
Ilmu Komunikasi secara umum maupun secara khusus yang berhubungan dengan
matakuliah Komunikasi Antar Pribadi (Komunikasi Interpersonal)
1.4.2
Manfaat Praktis
Dapat memberikan saran yang lebih mendalam kepada orang tua agar
dapat lebih lagi memberikan dan menanamkan rasa percaya diri anak tuna daksa.
1.5
DEFINISI KONSEP dan BATASAN PENELITIAN
1.5.1
Definisi Konsep
Komunikasi Interpersonal: Merupakan komunikasi yang dilakukan oleh 2 orang
dan terjadi secara langsung dengan cara bertatap
muka.
Menurut
Kurniawati
(2014)
tentang
komunikasi antarpribadi adalah dalam berinteraksi
dengan orang lain kita mengenal mereka dan diri
sendiri, dan mengungkapkan diri sendiri kepada orang
lain.
Percaya Diri : Percaya diri (Self Confident) merupakan sebuah keyakinan bahwa
seseorang mampu menanggulangi suatu masalah dengan cara
terbaik dan dapat memberikan sesuatu yang menyenangkan bagi
orang lain. Loekmono berpendapat bahwa kepercayaan diri itu
tidak dapat terbentuk dengan sendirinya, melainkan berkaitan
dengan kepribadian seseorang8. Percaya menurut Griffin (dalam
Suciati, 2015: 22) sebagai sikap mengendalikan perilaku seseorang
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki yang pencapaiannya tidak
tidak pasti dalam situasi yang penuh resiko.
8
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://etheses.uinmalang.ac.id/1847/6/09410074_Bab_2.pdf&ved=0ahUKEwiyjbvxaHSAhWKO48KHZdsCmwQFggsMAE&usg=AFQjCNEUSRSmaVRS3BrI3clG9k919m6Gww&
sig2=NqbOR61csRuxVNVUlQjjCg diakses pada 14 Februari 2017
5
1.5.2
Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk membuat batasan-batasan
dalam melakukan penelitian ketika di lapangan. Batasan yang peneliti terapkan
adalah pada orang tua yang memiliki anak tuna daksa dan disekolahkan di
Surakarta terutama di SLB Anugerah, Karanganyar.
6