T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan T1 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pengertian Hukum Pidana
Peranan hukum dalam keseharian manusia sangatlah penting. Dimana dengan

hukum tersebut akan menciptakan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu semua perbuatan dan tingkah laku
manusia dikontrol dengan hukum.
Mendefinisikan hukum terdapat kesulitan yang tidak lain karena wujud hukum
yang abstrak, dan cakupannya yang sangat luas sehingga manusia lahir dijemput oleh
hukum, hidup diatur oleh hukum, bahkan mati pun diantar oleh hukum.1
Berikut penulis jabarkan mengenai pengertian-pengertian hukum dan hukum
pidana secara umum dan menurut para ahli.
2.1.1

Pengertian Pidana
Secara umum terdapat banyak sekali pengertian pidana, dalam Kamus


Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan,
perampokan, korupsi, dan sebagainya); kriminal: perkara, perkara kejahatan
(kriminal).2
Istilah Pidana sendiri berasal dari bahasa hindu Jawa yang artinya
Hukuman, nestapa atau sedih hati, dalam bahasa Belanda disebut straf. Istilah
1

Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2013, h. 9.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI Online), http://kbbi.web.id/hukum, dikunjungi pada
Kamis, 13 Oktober 2016 pukul 1.17.
2

1

pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan
terjemahan dari recht. Dipidana artinya dihukum, kepidanaan artinya segala
sesuatu yang bersifat tidak baik, jahat, pemidanaan artinya penghukuman.3
Pengertian pidana menurut beberapa ahli seperti:
Soedarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.

Soesilo, pidana atau hukuman adalah suatu perasaan tidak enak
(sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah
melanggar undang-undang hukum pidana.4
Roeslan Shaleh, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Pidana dapat berbentuk punishment atau treatment. Pidana merupakan
bentuk pengimbalan terhadap kesalahan si pembuat.
2.1.2

Pengertian Hukum
Secara umum yang dapat kita pahami mengenai hukum adalah suatu

peraturan yang berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat mengendalikan,
mencegah, mengikat dan memaksa dengan tujuan terciptanya suatu kondisi
yang aman, tertib, damai dan tentram, dan terdapat sanksi bagi yang
melanggarnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian hukum
adalah 1. peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang

3

4

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia , Penerbit Alumni, Bandung, 1992, h. 114.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Politeia, Bogor, 1996, h. 35.

2

dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2. undang-undang, peraturan, dan
sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3. patokan (kaidah,
ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; 4.
keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan);
vonis.5
Beberapa ahli hukum baik di dalam negeri maupun dari luar negeri
mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian hukum seperti John Locke
dalam Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (2007), hukum adalah
sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang
tindakan-tindakan mereka, untuk menilai / mengadili mana yang merupakan
perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang. 6
Menurut Hans Kelsen, General Theory of Law and State (1881),
hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia. Hukum

adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
Menurut J. C. T Simorangkir hukum adalah peraturan-peraturan yang
bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Soeroso
menyebutkan hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang
berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa
dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
5

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI online), http://kbbi.web.id/pidana, dikunjungi pada
Kamis, 13 oktober 2016 pukul 1.22.
6
Zainal Asikin., Op.cit., h. 15.

3

2.1.3

Pengertian Hukum Pidana

Definisi hukum pidana menurut Prof. Dr. W.L.G. Lemaire yang

dikutip oleh Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. dalam bukunya Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia, beliau menyebutkan bahwa hukum pidana itu terdiri dari
norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang
(oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa
hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.
Selain itu, Moeljatno menyebutkan hukum pidana adalah bagian dari
hukum yang mengadakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatanperbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai
ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu.7
Kansil, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,
perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan
atau siksaan.8
Sudarto, hukum pidana dapat dipandang sebagai sistem sanksi negatif,
ia diterapkan jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana
dikatakan mempunyai fungsi yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan
(matregelen) bagaimanapun juga suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan
tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu hakikat dan tujuan


7

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia : Suatu Pengantar , Refika Aditama, Bandung, 2011, h.6-7.
Sr Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya , Penerbit Ahaem-Petehaem,
Jakarta, 1986, h.12-14.
8

4

pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenaran (justification)
pidana itu.9
Sudarsono, pengertian hukum pidana adalah hukum yang mengatur
tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan
tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Menurut WPJ. Pompe, pengertian hukum pidana ialah keseluruhan
dari peraturan-peraturan yang sedikit banyaknya bersifat umum yang abstrak
dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa pengertian hukum pidana
merupakan peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” diartikan sebagai
“dipidanakan” dimana oleh instansi tertentu yang berkuasa dilimpahkan kepada

seseorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang
tidak sehari-hari dilimpahkan.
Dari beberapa pengertian menurut ahli hukum dapat disimpulkan
bahwa hukum pidana merupakan peraturan hukum yang mengatur sanksi atas
perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan dengan melawan hukum
yang sudah ada.
Hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan umum yang
memiliki implikasi secara langsung pada masyarakat luas (umum), dimana
apabila suatu tindak pidana dilakukan, berdampak buruk terhadap keamanan,
ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban umum di masyarakat.

9

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana , Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 4-9.

5

2.2

Tindak Pidana Oleh Korporasi

Berbicara mengenai tindak pidana oleh korporasi, dapat ditekankan bahwa ini

merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris. Begitu luasnya penyebaran
tanggung jawab bermuara pada motif-motif yang bersifat ekonomis, yaitu tercermin
pada tujuan korporasi dan kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kepentingan
berbagai pihak seperti kompetitor, buruh, konsumen, masyarakat dan negara.
Berdasarkan motif-motif tersebut, korban kejahatan korporasi tersebar pada spektrum
yang amat luas.10
Menurut I.S. Susanto, kejahatan korporasi adalah tindakan-tindakan korporasi
yang dapat dikenai sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi, yang
berupa tindakan penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal
abuses of power) seperti produk-produk industri yang membahayakan kesehatan dan
jiwa, penipuan terhadap konsumen, pelanggaran terhadap peraturan perburuhan,
iklan-iklan yang menyesatkan, pencemaran lingkungan, manipulasi pajak.11
Korporasi rawan menjadi pelaku tindak pidana, terutama dalam tindak pidana
khusus seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan, tindak pidana
dibidang perikanan, tindak pidana dibidang lingkungan hidup, tindak pidana
pembalakan hutan secara liar, bahkan tindak pidana pembakaran hutan.

10


H. Setiyono, Kejahatan Korporasi; Analisis Viktimologis, dan Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam Hukum Pidana Indonesia , Overoes press, Malang, 2002, h.19-20.
11
I.S. Susanto , Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 83

6

2.2.1

Pengertian Korporasi
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli

hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum
lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum atau dalam istilah
Belanda disebut rechts persoon atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
istilah legal person atau legal body.12
Korporasi atau Corporation (bahasa Inggris) atau Corporatie (bahasa
Belanda) bukanlah orang / manusia pribadi, meskipun dalam kenyataannya ia
dapat mengadakan aktifitas sebagai seorang pribadi, seperti membuat transaksi

dalam bidang perdagangan dan keuangan, membayar pajak dan sebagainya.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Korporasi adalah suatu “persona ficta ”
atau “legal fiction” atau suatu fiksi hukum.13
A.Z. Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realita
sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan
pribadi hukum untuk tujuan tertentu.14
Dibeberapa undang-undang yang telah menyebutkan kedudukan
korporasi sebagai subjek hukum yang diakui baik sudah berbadan hukum
ataupun belum berbadan hukum. Penyebutan korporasi sebagai subjek hukum
juga tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 31 Tahun 1999 yang
telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No.
12

Ibid, h. 2.
JE Sahetapy, Kejahatan Korporasi, PT Eresco, Bandung, 1994, h. 32.
14
Abidin, A.Z. Bunga Rampai Hukum Pidana , Pradnya Paramita, Jakarta. 1983, h. 54.
13


7

5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No. 35
tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 tahun
2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang
No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan;
"Korporasi adalah kumpulan terorgaisasi dari orang/atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum".
Berbicara mengenai konsep “badan hukum”, lebih lanjut Setiyono
dalam bukunya menjelaskan bahwa konsep ini bermula timbul sekedar dalam
konsep hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan yang
diharapkan lebih berhasil. Apa yang dinamakan “badan hukum” itu sebenarnya
tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya
suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum
yang berwujud manusia alamiah (natuulijk person).15
Diciptakannya pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan
ini sekedar suatu badan, namun badan ini dianggap bisa menjalankan segala
tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu.
dan harta ini harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas
dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan
itu timbul kerugian maka kerugian ini pun hanya dapat dipertanggungjawabkan

15

Setiyono, op.cit., h. 3.

8

semata-mata

dengan

harta

kekayaan

yang

ada

dalam

badan

yang

bersangkutan.16
2.2.2

Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Dalam lapangan hukum pidana, korporasi diterima sebagai subjek

tindak pidana, meskipun masih terbatas pada beberapa peraturan perundangundangan diluar KUHP. KUHP sebagai aturan umum hukum pidana belum
mengakui korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan yang harus
bertanggungjawab.

Hal

ini

berarti

KUHP

masih

mengikuti

sistem

pertanggungjawaban yang pertama, yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat
dan pengurus itu sebagai yang harus bertanggungjawab.
Tapi kini dalam RUU KUHP 2004 17 mengadopsi pendirian untuk
menjadikan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Hal itu dapat dilihat dari
bunyi pasal 47. Disebutkan dalam pasal 47, “korporasi merupakan subjek
tindak pidana ”. Dalam hal ini korban dari tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi tersebut dapat berupa orang, atau orang-orang dan/atau korporasi,
atau korporasi-korporasi lain. 18 Terhadap korporasi, dalam perkembangan
kaedah hukum pidana Indonesia, dapat dibebani dengan pertanggungjawaban
pidana19 atau dapat dikatakan sebagai subjek hukum pidana. Memperlakukan

16

Ibid.
Lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, 2004.
18
JE Sahetapy, op.cit, h. 41.
19
Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).

17

9

korporasi

seperti

manusia

(natuurlijk

persoon)

20

dan

membebani

pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat oleh korporasi, sejalan
dengan asas hukum bahwa siapa pun sama dihadapan hukum (principle of
equality before the law).

2.2.3

Pengertian Pertanggungjawaban
Menurut Black’s Law Dictionary, tanggung jawab (liability)

mempunyai tiga arti, antara lain:
1.

An obligation one is bound in law or justice to perform.

2.

Condition of being responsible for a possible or actual loss.

3.

Condition which creates a duty to perform an act immediately o
in the future.

Tanggung jawab hukum (legal liability) menurut Black’s Law
Dictionary mempunyai arti: “Liability which court recognize and enforce as
between parties litigant.”

Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi
seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.21
Menurut hukum, tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi
kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau
moral dalam melakukan suatu perbuatan.22

M. Haryanto, “Refleksi Ilmu Hukum: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Individualisasi
Pidana”, Edisi Oktober 2012, FH-UKSW. 2012, h. 191.
21
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
22
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
20

10

Menurut

Sugeng

Istanto,

Hukum

Internasional:1994,

pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan
perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan
pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.23
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam
kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah
hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung
jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter
hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan
undang-undang.
Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas

suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan
kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang
yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada pertanggungjawaban politik.24

23
24

Soegeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan UAJYogyakarta, Yogyakarta, 1994, hlm.77.
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 335-337.

11

2.2.4

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Mengenai permasalahan pertanggungjawaban pidana korporasi, ada

dua ajaran pokok yang menjadi landasan bagi pembenaran dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, yaitu doctrine of strict liability
dan doctrine of vicarious liability.25
Pertama

Doctrine

of

Strict

Liability,

menurut

doktrin

ini

pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana
yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan
(kesengajaan atau kelalaian pada pelakunya). Oleh karena itu menurut ajaran
strict

liability

pertanggungjawaban

pidana

bagi

pelakunya

tidak

dipermasalahkan maka strict liability disebut juga absolute liability
(pertanggungjawaban mutlak).26
Dalam hukum pidana berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan”
yang dikenal sebagai doctrine of mens rea . Dalam perkembangan hukum
pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang
pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun
pelakunya tidak memiliki mens rea yang diisyaratkan. Cukuplah apabila dapat
dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu
melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak
melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak

25
26

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., h.77.
Ibid, h. 78.

12

pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering
dikenal juga sebagai offences of absolute prohibition.27
Pertanggungjawaban mutlak tercantum pada pasal 35 ayat (2) dari
RUU KUHP 200428:
“Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang
dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana
tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:
“Ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu perkecualian seperti halnya ayat (2).
Oleh karena itu tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk
tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana
tertentu tersebut, pembuat tindak pidananya, telah dapat dipidana hanya karena telah
dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan
pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan.
Asas ini dikenal sebagai asas “strict liability”.

Kemudian yang kedua adalah Doctrine of Vicarious Liability,
merupakan pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang
dilakukan, misalnya oleh A kepada B. Doktrin ini biasanya berlaku dalam
hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum.29
Dalam perbuatan-perbuatan perdata didasarkan pada perbuatan
pemberi kerja bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya. Hal ini
memberikan kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-

27

Ibid.
Lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, 2004
29
Sutan Remy Sjahdeini, h. 84.

28

13

perbuatan melawan hukum mereka untuk menggugat pemberi kerjanya agar
membayar ganti rugi sepanjang dapat dibuktikan pertanggungjawabannya. 30
Dalam common law seorang pemberi kerja bertanggungjawab secara
vikarius atas perbuatan-perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan
gangguan publik atau dalam hal membuat pernyataan yang dapat merusak nama
baik orang lain (criminal libel) (Scanlan dan Ryan, 1985:120).31
Dalam bukunya Sutan Remy mengemukakan apabila teori ini
diterapkan

dalam

korporasi,

berarti

korporasi

dimungkinkan

harus

bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para
pegawainya,

kuasanya,

atau

mandatarisnya,

atau

siapapun

yang

bertanggungjawab kepada korporasi tersebut.32
Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam RUU KUHP 2004 pasal
49

menyatakan

pertanggungjawaban

jika

tindak

pidana

pidana

dikenakan

dilakukan
terhadap

oleh
korporasi

korporasi,
dan/atau

pengurusnya. Adapun pasal 50 konsep rancangan KUHP menyatakan bahwa
korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan
yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut
termasuk dalam lingkup usaha sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar
atau ketentuan lain.33

30

Ibid.
Sutan Remy, 85.
32
Ibid, h. 86.
33
Muladi dan Dwidja, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi , Edisi Revisi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2010, h. 51-52.
31

14

Doktrin vikarius ini banyak dikritik oleh mereka yang berpendirian
bahwa doktrin ini bertentangan dengan ketentuan moral yang berlaku dalam
sistem keadilan, yang didasarkan pada pemidanaan atas kesalahan manusia
untuk mempertanggungjawabkan seseorang karena telah melakukan perbuatan
tertentu (yang dilarang oleh hukum) atau tidak melakukan perbuatan tertentu
(yang diwajibkan oleh hukum).
Sampai sekarang ini KUHP tidak menganut asas pertanggungjawaban
vikarius, akan tetapi asas ini diadopsi dan dimasukkan ke dalam RUU KUHP
2004 sebagai ternyata dari bunyi pasal 53 ayat (3).34
Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana
yang dilakukan oleh orang lain jika ditentukan dalam suatu undang-undang.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan.
Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif
dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggungjawab seseorang dipandang
patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau
perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun
seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka
pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan
orang lain yang berada dalam kedudukan sedemikian itu merupakan tindak pidana.
sebagai suatu pengecualian maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk
kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar
tidak digunakan secara sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban yang bersifat
pengecualian ini dikenal sebagai asas tanggungjawab mutlak atau vicarius liability.

Menguti pendapat Clarkson dan Keating dalam bukunya Sutan Remy,

34

Lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, 2004

15

Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang
pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi
korporasi (lihat pasal 51 Konsep Rancangan KUHP). Adapun pasal 52 ayat (1),
“Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan
apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna
daripada

menjatuhkan

pidana

terhadap

suatu

korporasi.”

Ayat

(2),

“Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam
putusan hakim.”
Pasal 53 konsep menyatakan, alasan pemaaf atau alasan pembenar
yang diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi,
dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan
dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.35

2.3

Tindak Pidana Dibidang Kehutanan
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H disebutkan tindak

pidana dibidang kehutanan adalah perbuatan melanggar ketentuan Undang Undang
Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atau Undang Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dengan
ancaman sanksi pidana bagi barangsiapa yang secara melawan hukum melanggarnya.
2.3.1

Pengertian Hukum Kehutanan
Menurut M. Hariyanto, hukum kehutanan adalah kumpulan peraturan

atau kaedah tentang kebolehan, keharusan atau larangan; baik tertulis maupun
35

Ibid.

16

tidak tertulis; yang mengatur hubungan antara: negara (pemerintah) dengan
hutan, kawasan hutan, hasil hutan, tumbuhan dan satwa liar; negara dengan
orang yang terkait dengan hutan, kawasan hutan, hasil hutan, tumbuhan dan
satwa liar; orang dengan hutan, kawasan hutan, hasil hutan. tumbuhan dan
satwa liar, bersifat memaksa (imperatif); dan sanksi bagi yang melanggarnya.
Sedangkan Menurut Idris Sarong Al Mar, Hukum kehutanan adalah
serangkaian kaidah-kaidah/norma-norma (tidak tertulis) dan peraturanperaturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan
kehutanan.36
Hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang
mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan hubungan
antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan.37
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa hukum kehutanan
meliputi:
1) adanya kaidah hukum kehutanan baik tertulis maupun tidak tertulis;
2) mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan,
dan;
3) mengatur hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan
kehutanan.

BahanKuliyah, Hukum Kehutanan , “Abdul Muis Yusuf, Hukum Kehutanan Di Indonesia, (Rineka
Cipta, Jakarta 2011)”. http://www.bahankuliyah.com/2014/05/hukum-kehutanan.html. Dikunjungi
pada 20 Oktober 2016 pukul 13.00 WIB.
37
Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan Indonesia , Sinar Grafika Offset, Jakarta, 1997, hlm. 6.
36

17

Tujuan dari hukum kehutanan adalah untuk melindungi, pemanfaatan,
dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi
kesejahteraan rakyat secara lestari.38
2.3.2

Sumber Hukum Kehutanan
Hukum kehutanan mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena

hukum kehuatan ini hanya mengatur hal-hal yang berakaitan dengan hutan dan
kehutanan. Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur materi
yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka akan diberlakukan lebih dahulu
adalah hukum kehutanan. Oleh karena itu, hukum kehutanan disebut sebagai lex
specialis, sedangkan hukum lainnya seprti agraria dan hukum lingkungan sebagai

hukum umum (lex specialis derogate legi generalis).
Sumber hukum kehutanan adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pengaturan mengenai
kehutanan.
2.3.3

Pengertian dan Cakupan Tindak Pidana Dibidang Kehutanan
Tindak Pidana dibidang kehutanan adalah perbuatan melanggar

peraturan kehutanan, dengan ancaman sanksi pidana bagi barangsiapa yang karena
kesalahannya melanggar larangan tersebut.
Tindak pidana kehutanan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menyebutkan perbuatan yang dilarang tersebut, yaitu:

38

BahanKuliyah, Op.cit.

18

1.

Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan
hutan. (Pasal 50 ayat (1))

2.

Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan
kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat (2))

3.

mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf a)

4.

merambah kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b);

5.

melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan: a.500 (lima ratus) meter dari tepi waduk
atau danau; b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan
sungai di daerah rawa; c. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi
sungai; d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; e. 2
(dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; f. 130 (seratus tiga
puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi
pantai. (Pasal 50 ayat (3) huruf c)

6.

membakar hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf d);

7.

menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang
(Pasal 50 ayat (3) huruf e);

19

8.

menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, ataumemiliki hasil hutan yang diketahui atau patut
diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah (Pasal 50 ayat (3) huruf f);

9.

melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin
Menteri (Pasal 50 ayat (3) huruf g);

10. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan
(Pasal 50 ayat (3) huruf h);
11. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk
secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang
(Pasal 50 ayat (3) huruf i);
12. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3)
huruf j)
13. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k);

20

14. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi
hutan ke dalam kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf l); dan
15. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan
satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 50 ayat
(3) huruf m)

2.4

Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Tindakan pembakaran hutan untuk membuka sebuah lahan sebagai lahan

perkebunan jelas dilarang dan jika terjadi kebakaran dalam wilayah hutan industri
yang dikelola suatu korporasi, sudah merupakan kewajiban adanya tindakan
pencegahan dan pengendalian kebakaran dilahannya serta selalu memadamkan
kebakaran yang terjadi. Menurut Leden Marpaung tindakan pembakaran hutan ini
merupakan salah satu jenis tindak pidana kejahatan.39
Mengenai tindak pidana pembakaran hutan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan pasal 78 ayat (3) menyebut pelaku pembakaran hutan
dikenakan sanksi kurungan 15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar. Adapun pasal
78 ayat (4) menyebut pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi kurungan 5 tahun
dan denda maksimal Rp 1,5 miliar. Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2004 tentang Perkebunan pasal 48 ayat (1) menyebutkan, seseorang yang dengan
39

Leden Marpaung, Op. Cit. Hal. 30.

21

sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan
denda maksimal Rp 10 miliar. Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 108 menyebutkan seseorang
yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan
denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.

2.4.1

Gambaran Umum Tentang Pembakaran Hutan
Permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi menjadi

problematika yang mendunia. Khususnya di Indonesia, Provinsi Riau tengah
menjadi sorotan baik dalam berita nasional dan internasional. Karena di
Provinsi Riau terjadi kebakaran hutan dan lahan, yang dampak tidak hanya
dirasakan oleh masyarakat di daerah kebakaran tetapi ada sebagian masyarakat
dunia merasakan dampak kebakaran tersebut yang menimbulkan asap.
Dampak kebakaran hutan dan lahan bisa menyebabkanya penyakit
(ISPA), infeksi saluran pernapasan akut yang bisa saja menimpa semua umur,
dan menggagu kegiatan atau aktivitas masyakarakat karena kabut asap.
penyakit ispa merusak sistem pernafasan, iritasi mata, dan lain-lain. Mayarakat
dunia mengecam pemerintahan Indonesia jika tidak melakukan tindakan
pencegahan kebakaran. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan penyangga
iklim dunia. Pemerintah Indonesia pun mulai bergerak menyusun berbagai

22

peraturan-peraturan yang dapat mencegah serta mengurangi tingkat kebakaran
yang terjadi. Mulai dari Peraturan Perundang-undangan Tertulis hingga
peraturan dalam bentuk himbauan yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah.
Di lingkup ilmu kehutanan ada sedikit perbedaan antara istilah
kebakaran hutan dan pembakaran hutan. Pembakaran identik dengan kejadian
yang disengaja pada satu lokasi dan luasan yang telah ditentukan. Gunanya
untuk membuka lahan, meremajakan hutan atau mengendalikan hama.
Sedangkan kebakaran hutan lebih pada kejadian yang tidak disengaja dan tak
terkendali. Pada prakteknya proses pembakaran bisa menjadi tidak terkendali
dan memicu kebakaran.
Pada bagian penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 huruf d menjelaskan Pada prinsipnya
pembakaran hutan dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan
hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain
pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta
pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara
terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.40
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan pengertian pembakaran hutan
yaitu, Suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan

40

Penjelasan umum pasal 50 huruf d Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan.

23

kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis
dan atau nilai lingkungan.41
Menurut pakar kehutanan, Prof. Bambang Hero Saharjo pengertian
pembakaran hutan ialah, pembakaran yang penjalaran apinya bebas serta
mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput,
ranting/cabang pohon mati yang tetap berdiri, log, tunggak pohon, gulma,
semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon.”42
Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai
kebakaran hutan, padahal sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah
pembakaran yang sengaja dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh
peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan atau perkebunan,
sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi).
Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan
perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan
di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau
karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan.
Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan
pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah
dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan.

41

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.
Saharjo, B.H. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Lestari Perlukah Dilakukan ,
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, 2003.

42

24

Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan
menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas.43
Mengenai permasalahan kebakaran hutan ini yang menimbulkan
pencemaran kabut asap lintas batas negara, pada tahun 1995, ASEAN
Cooperation Plan On Transboundary Pollution (ACPTP), menjadikan Polusi
Asap Lintas Batas atau Transboundary Haze Pollution sebagai salah satu
perhatian umum ASEAN. Pada tanggal 10 Juni 2002, melalui Perwakilan
Menteri Lingkungan Hidup dari masing-masing Negara anggota ASEAN
menandatangani ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution di
Kuala Lumpur, Malaysia. Perjanjian ini mulai berlaku mulai pada hari ke-60,
setelah penyimpanan (deposit) Negara anggota meratifikasi, menerima, dan
menyetujui, perjanijan tersebut. 6 Di antara lain 7 negara anggota ASEAN,
(Brunei, Laos, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam).
Sedangkan Indonesia, yang telah menyebabkan kebakaran hutan,sampai saat ini
belum meratifikasi AATHP. Seperti halnya Perjanjian internasional, AATHP
merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara Negara dalam
bentuk tertulis. Pengertian perjanjian Internasional terdapat dalam Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dengan
demikian, perjanjian internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat
oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi
ketentuan ketentuan
43

yang mempunyai

Ibid.

25

akibat

hukum

Dalam hukum

internasional perjanjian internasional yang dibuat dengan wajar menimbulkan
kewajiban kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta (para pihak),
dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium Pacta
Sunt Servanda , yang 6 Art.4 ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution, mewajibkan negara negara untuk melaksanakan dengan itikad baik

kewajiban kewajibannya.44
Selain itu, menurut undang-undang kehutanan kegiatan pengendalian
kebakaran hutan mencakup pencegahan, pemadaman hingga ke rehabilitasi
pasca kebakaran. Pengelolaan pengendaliannya dilakukan secara berjenjang
mulai dari pemerintah daerah tingkat II, tingkat provinsi hingga tingkat
nasional.45
2.4.2

Pengaturan Pembakaran Hutan dan Pencegahannya
Mengenai pencegahan pembakaran hutan sebenarnya sudah diatur

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 4 tahun 2001 mengatur
tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran dan atau Lahan, sebagai berikut :
Beberapa pengertian dijelaskan pada pasal 1 :
1. Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
adalah upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemulihan
44

Dewi Budiaman, Tanggung Jawab Negara (State Responsibility) Terhadap Pencemaran Udara
Lintas Batas Negara Berdasarkan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution , 2015.
http://docplayer.info/397532-Tanggung-jawab-negara-state-responsibility-terhadap-pencemaran-udaralintas-batas-negara-berdasarkan-asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution.html. dikunjungi
pada 11 November 2016 pukul 14:39.
45
Cecep Risnandar, Kebakaran Hutan, Jurnal Bumi, 3 Agustus 2016 | 09:25 WIB,
https://jurnalbumi.com/kebakaran-hutan/#return-note-787-2. Dikunjungi pada 20 Oktober 2016 pukul
20.15.

26

kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
2. Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
adalah upaya untuk mempertahankan fungsi hutan dan atau lahan
melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
3. Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
4. Dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup
yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan;
Tata laksana pengendalian kebakaran hutan dan lahan diuraikan
pada pasal 11 s/d pasal 16 sebagai berikut :
1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan
atau lahan.

27

2. Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan.
3. Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di
lokasi usahanya.
Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dijelaskan dalam pasal 17
dan pasal 18 sebagai berikut :
1. Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan
atau lahan di lokasi kegiatannya, dalam penjelasan pasal ini
dikatakan : ”Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku
bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk
ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi
sampai diluar areal ladang dan kebunnya. Pembakaran tersebut
dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan
kebun”.
2. Pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan
ditetapkan

lebih

lanjut

dengan

Keputusan

Menteri

yang

bertanggung jawab di bidang kehutanan setelah berkoordinasi

28

dengan Menteri lain yang terkait dan Instansi yang bertanggung
jawab.
Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan
atau lahan sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan peraturan daerah.

29

Dokumen yang terkait

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

Konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir Qs. 3/Ali-‘Imran: 159

9 101 103