Pengantar Perpajakan
1
PENGANTAR PERPAJAKAN
“Wah, banyak juga kita nyumbang ke negara ya Ci”, kata Pak Edu. “Sumbangan apa?” tanya Seci
“Itu, pajak maksudku. Waktu aku buka kios gak pernah aku bayar pajak. Paling-paling aku bayar PBB rumah. Kalau supermarket ini sepertinya banyak jenis pajaknya,” timpal Pak Edu.
“Yang pasti lebih banyak jenisnya dibanding Bapak dulu. Ada PPh 21, ada PPh 23, ada PPh Badan, dan banyak banget PPNnya,” jelas Seci.
“Wah, kita harus menghitung sendiri dan menyetor semua? Rumit dan susah kayaknya,” gumam Pak Edu.
Seci cuman nyengir.
“Tapi kenapa harus ada pajak ya?” tanya Pak Edu tiba-tiba.
Mengapa Pajak Hadir?
Ada 2 (dua) fungsi pajak yaitu :
1. Fungsi Budgeter (penganggaran pemerintah). Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. 2. Fungsi Regulasi (pengaturan). Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh :
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barnag-barang mewah uuntuk mengurangi gaya hidup konsumtif.
c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.
Apa itu Pajak?
Menurut Prof.Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang sifatnya dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum pemerintah.
Jika definisi tersebut kita potong-potong, maka kita akan memperoleh unsur-unsur pajak yaitu :
1. Iuran dari rakyat untuk negara. Yang berhak memungut pajak adalah negara atau pemerintah dan iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan Undang-Undang. Pajak dippungut dengan kekuatan
(2)
2 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara yaitu pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Apa saja Pajak di sekitar kita?
Menurut pengelompokkan lembaga yang memungutnya adalah sebagai berikut: 1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bea Materai (BM), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri dari Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Contoh pajak Propinsi : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Sedangkan contoh pajak Kabupaten/Kota : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan.
Menurut pengelompokkan golongannya adalah sebagai berikut :
1. Pajak Langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh).
2. Pajak Tidak Langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya adalah Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Menurut pengelompokkan sifatnya adalah sebagai berikut :
1. Pajak Subyektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan diri Wajib Pajak. Contohnya adalah Pajak Panghasilan
2. Pajak Obyektif yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka objek pajak banyak sekali ragamnya. Tabel 1 menjelaskan daftar objek pajak yang ada disekitar kita (orang pribadi maupun badan) :
(3)
3 Pajak Penghasilan: Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia mapun yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan bentuk apapun
1 Penghasilan dari PEKERJAAN dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti GAJI, HONORARIUM, PENGHASILAN dari praktik PENGACARA, AKUNTAN, KONSULTAN, PENAKSIR, AKTUARIS, NOTARIS, DOKTER, ARSITEK, dan sebagainya.
2 Penghasilan dari USAHA atau KEGIATAN seperti PEDAGANG.
3 Penghasilan dari MODAL atau PENGGUNAAN HARTA, seperti SEWA, BUNGA, DIVIDEN, ROYALTI,
KEUNTUNGAN dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
4 Penghasilan LAIN-LAIN, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan diatas, seperti :
a. Keuntungan karena pembebasan utang
b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva d. Hadiah undian.
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM :
1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan Pengusaha, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP. b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan
BKP tidak berwujud.
c. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean. d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan
usaha atau pekerjaannya. 2 Import BKP
3 Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam dearah Pabean oleh Pengusaha dengan syarat:
a. Jasa yang diserahkan merupakan JKP.
b. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean c. Penyerahan dilakukan dalam rangka keegiatan
usaha dan pekerjaannya.
4 Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5 Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean ke dalam Dareh Pabean.
6 Ekspor BKP oleh PKP
(4)
4 8 Ekspor JKP oleh PKP
Bea Materai Dokumen dan satu dokumen hanya terutang satu Bea Materai.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bumi dan Bangunan, kecuali :
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari
keuntungan seperti masjid, gereja, vihara (ibadah), rumah sakit (kesehatan), madrasah, pesantren (pendidikan), panti asuhan (sosial), museum, candi (kebudayaan nasional).
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri
Keuangan.
Siapa Wajib Pajak?
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi Subyek Pajak adalah :
1. Orang Pribadi dan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan, terdiri dari PT, CV, Perseroan lainnya, BUMN/D dengan nama dan bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi Sosial Politik atau organisasi yang sejenis, Lembaga, dan bentuk badan lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap
Subyek Pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri.
Subyek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak
(5)
5 berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
Subyek Pajak Badan Dalam Negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Subyek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang (a) menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (b) dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subyek Pajak Badan Luar Negeri adalah Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang (a) menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (b) dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Untuk lebih memperjelas gambaran subyek pajak, perhatikan tabel berikut ini:
MULAI BERAKHIR
Subyek Pajak Orang Pribadi – Dalam Negeri
Subyek Pajak Orang Pribadi – Dalam Negeri
a Saat dilahirkan A Saat meninggal dunia
b Saat berada di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia
b Saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
Subyek Pajak Badan – Dalam Negeri Subyek Pajak Badan – Dalam Negeri a Saat didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia
a Saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia Subyek Pajak Luar Negeri melalui
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Subyek Pajak Luar Negeri melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT)
a Saat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia
a Saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia
Subyek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui BUT
Subyek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui BUT
a Saat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
a Saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
(6)
6 a Saat timbulnya warisan yang
belum terbagi
a Saat warisan telah selesai dibagikan
Jadi, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban pajak subyektif dan obyektif.
Bedakah Wajib Pajak Dalam Negeri dan Luar
Negeri?
Ya jelas beda dong. Perhatikan baik-baik nih…dan renungkan!!! Sesudah itu pilih pengin yang mana…..
Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri a Dikenakan pajak atas
penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia
a Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia b Dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan netto
b Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto
c Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum (UU PPh pasal 17)
c Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (UU PPh pasal 26 atau Tax Treaty jika ada dan memenuhi syarat)
d Wajib menyampaikan SPT d Tidak wajib menyampaikan SPT
Kok banyak istilah yang aneh ya?
Istilah Penjelasan
Wajib Pajak : Orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
Badan : Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Comanditer (CV), Perseroan lainnya, BUMN/D dengan nama dan bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi Sosial Politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
(7)
7 dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri (baik
orang pribadi atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Masa Pajak : Jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
Tahun Pajak : Jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
Bagian Tahun Pajak
: Bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
Pajak Terutang : Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pajak.
Penanggung Pajak
: Orang pribadi atau badan yang bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan perpajakan.
NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. Pengusaha : Orang pribadi atau badan yang dalam kegiatannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
PKP : Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
SPT : Surat Pemberitahuan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan perpajakan yang berlaku.
SSP : Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank BUMN/D atau tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(8)
8 Kewajiban wajib pajak adalah :
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.
Kewajiban memiliki NPWP
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah usaha mulai dijalankan.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau pekerjaan bebas apabila sampai dengan suatu bulan memperoleh
penghasilan yang jumlahnya melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
Fungsi NPWP
NPWP berfungsi sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak serta untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. NPWP akan selalu dicantumkan pada setiap dokumen perpajakan antara lain pada formulir pajak, surat menyurat dalam hubungan dengan perpajakan, dalam hubungan dengan instansi tertentu yang mewajibkan mengisi NPWP.
Bentuk / format NPWP
NPWP terdiri dari 15 digit angka, yaitu 9 digit pertama merupakan kode Wajib Pajak, dan 6 digit berikutnya merupakan kode Administrasi
Perpajakan.
Formatnya adalah : xx.xxx.xxx.x.xxx.xxx
Misalnya NPWP atas nama Yayasan Pena Bulu : 08.088.779.7.013.000
Mendapatkan NPWP
Wajib Pajak datang sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak dengan membawa identitas diri (KTP) dan surat keterangan kerja (bagi wajib pajak yang bekerja pada satu organisasi), dan mengisi formulir pendaftaran pajak. NPWP akan diproses dalam 1 (satu) hari atau mendaftar melalui e-registration di www.pajak.go.id.
Penghapusan NPWP
NPWP dapat hapus antara lain karena (a) Wajib Pajak orang pribadi meninggal dan tidak meninggalkan warisan, (b) Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, (c) Warisan yang telah selesai dibagi, (d) Wajib Pajak Badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (e) Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang telah kehilangan statusnya sebagai bentuk usaha tetap, (f) Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain
(9)
9 yang dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.
2. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.
Untuk menghitung dan membayar sendiri, persyaratan utama yang harus dimiliki Wajib Pajak adalah tahun jenis pajaknya, besaran / dasar
pengenaan pajak, tarifnya, dan kelengkapan administratif terkait kewajiban sebagai pihak pemungut, pihak yang dipungut. Lihat materi pada bagian lain tentang perlakuan perpajakan. Kemudian, alat
kelengkapan administrasi untuk melakukan pembayaran pajak adalah Surat Setoran Pajak (SSP).
SSP adalah surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melakukan
pembayaran dan atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Negara.
Guna SSP
Jelas berguna buat kita karena dokumen itu yang akan menjadi bukti bahwa kita telah patuh dan membayar pajak kepada negara. Jadi SSP berfungsi sebagai (a) sarana untuk membayar pajak, dan (b) sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak.
Tempat membayar dan menyetor pajak
Hanya ada 4 (empat) tempat yang diperbolehkan menerima pembayaran dan penyetoran pajak dari Wajib Pajak kepada negara yaitu :
(a)Bank-bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Angggaran (b)Kantor Pos
(c) Bank-bank BUMN/D
(d)Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Batas waktu pembayaran
Batas waktu pembayaran atau penyetoran pajak sesuai PMK 80/PMK.03/2010 diatur sebagai berikut:
(a)Pembayaran Masa
Jenis Pajak Batas Waktu Penyampaian atau
Penyetoran.
PPh pasal 21 Tanggal 10 bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir. PPh pasal 22 Impor, PPN
dan PPnBM atas Impor
Bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk. Apabila Bea Masuk
dibebaskan/ditunda, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
(10)
10 dan PPnBM atas Impor
(Ditjen Bea dan Cukai)
pajak dilakukan. PPh pasal 22 –
Bendaharawan
Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran.
PPh pasal 22 – bahan bakar Tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
PPh pasal 22 pemungutan oleh badan tertentu
Tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
PPh pasal 23 Tanggal 10 bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
PPh pasal 25 Tanggal 15 bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
PPh pasal 26 Tanggal 10 bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir. PPN dan PPnBM oleh
pemungut selain bendaharawan
Tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
PPN dan PPnBM – Bendaharawan
Tanggal 7 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
PPN dan PPnBM Akhir bulan berikutnya sebelum
dilaporkan SPT Masa PPN.
(b)STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat-surat tersebut. (c) Pembayaran kekurangan pajak yang terutang berdasarkan SPT
Tahunan harus dibayar lunas selambat-lambatnya bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sebelum SPT disampaikan.
Dalam hal tanggal pembayaran atau penyetoran jatuh tempo pada hari libur, maka pembayaran atau penyetoran harus dilakukan pada hari kerja setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum SPT disampaikan.
Penundaan pembayaran
a. Penundaan atau Mengangsur Pembayaran atas Ketetapan
Pajak
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding ke Ditjen Pajak, dalam hal ini Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, apabila mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami
(11)
11 keadaan diluar kekuasaannya (force majeur), sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban pajak pada waktunya. Akan tetapi harus memenuhi persyaratan :
(a)Permohonan harus diajukan paling lambat 15 (limabelas) hari sebelum saat jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir, kecuali untuk force majeur dapat diajukan setelah tanggal jatuh tempo.
(b)Menyatakan alasan-alasan penundaan pembayaran.
(c)Menyatakan jumlah pajak yang dimohonkan untuk ditunda dan atau diangsur.
KPP atas nama Ditjen Pajak menerbitkan Surat Keputusan Angsuran / Penundaan Pembayaran Pajak dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima. Isi keputusan dapat menerima
seluruhnya atau sebagian atau penolakan.
Masa angsuran penundaan diberikan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterbitkan surat keputusan, dan tidak dapat diperpanjang lagi.
b. Penundaan atau Pengurangan Angsuran atas PPh pasal 25
Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis untuk
mengurangi besarnya angsuran PPh pasal 25 kepada Ditjen Pajak, dengan syarat :
(a)Dapat menunjukkan bahwa pajak penghasilan yang akan terutang pada akhir tahun pajak kurang dari ¾ dari Pajak Penghasilan yang menjadi dasar perhitungan besarnya angsuran PPh pasal 25. (b)Menyebutkan jumlah pajak dan angsuran pajak yang menurut
perhitungan Wajib Pajak seharusnya terutang.
Dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal penerimaan surat permohonan pengurangan angsuran pajak, Ditjen Pajak harus memberi keputusan. Apabila tidak, maka Wajib Pajak dapat melakukan angsuran sesuai dengan perhitungannya.
Dalam hal ini Wajib Pajak akan dikenakan sanksi perpajakan karena penundaan tersebut.
3. Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri), dan memasukkan
ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang ditentukan.
SPT singkatan dari Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan perpajakan.
(12)
12
Fungsi SPT
SPT bagi Wajib Pajak PPh berfungsi sebagai :
a. Sarana melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
b. Sarana melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau pemotongan pajak atau
pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
c. Sarana untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perpajakan yang berlaku.
SPT bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) berfungsi sebagai :
a. Sarana melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang.
b. Sarana melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
c. Sarana untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perpajakan yang berlaku.
SPT bagi Pemotong atau Pemungut Pajak berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Prosedur penyelesaian SPT
Wajib Pajak harus mengambil sendiri blangko SPT pada KPP setempat dengan menunjukkan NPWP atau dengan mengunduhnya di
www.pajak.go.id. SPT harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Pengisian formulir SPT yang tidak benar akan dikenakan sanksi perpajakan. Selanjutnya SPT
diserahkan kembali ke KPP yang bersangkutan dalam batas waktu yang ditentukan, dan akan diberikan tanda terima tertanggal. Apabila SPT dikirim melalui Kantor Pos harus dilakukan secara tercatat, dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan. Bukti-bukti yang harus dilampirkan pada SPT, antara lain : (a)Untuk Wajib Pajak yang mengadakan pembukuan, melampirkan
lapoaran Keuangan serta keterangan-keterangan yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
(b)Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat memuat jumlah Dasar Pegnenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
(13)
13 (c) Untuk Wajib Pajak yang menggunakan Norma
Perhitungan,melampirkan jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Pembetulan SPT
Apabila diketahui terdapat kesalahan pada SPT, Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT atas kemauan sendiri dengan
menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian tahun Pajak, Tahun Pajak, dengan syarat Ditjen Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal ini Wajib Pajak akan dikenakan sanksi perpajakan karena pembetulan SPT tersebut.
Jenis-jenis SPT
SPT ada 2 (dua) jenis yaitu :
1. SPT Masa. SPT Masa digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat.
2. SPT Tahunan. SPT Tahunan digunakan untuk melaporkan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak.
Batas waktu penyampaian SPT
1. SPT Masa
Jenis Pajak Siapa yang
menyampaikan SPT
Batas Waktu Penyampaian SPT
PPh pasal 21 Pemotong PPh psl 21 Tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir PPh pasal 22
Impor, PPN dan PPnBM atas Impor
Wajib Pajak 14 hari setelah
berakhirnya Masa Pajak
PPh pasal 22 Impor, PPN dan PPnBM atas Impor (Ditjen Bea Cukai)
Direktorat Bea dan Cukai
7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir PPh pasal 22 -
Bendaharawan
Bendaharawan Tanggal 14 bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir PPh pasal 22 –
Bahan Bakar
Pertamina 20 hari setelah Masa
(14)
14 PPh pasal 22 –
pemungutan oleh Badan tertentu
Pemungut Pajak 20 hari setelah Masa Pajak berakhir
PPh pasal 23 Pemotong PPh pasal 23
Tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir PPh pasal 25 Wajib Pajak yang
mempunyai NPWP
Tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir PPh pasal 26 Pemotong PPh pasal
26
Tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir PPN dan PPnBM Pengusaha Kena
Pajak
Akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir PPN dan PPnBM
Bendaharawan
Bendaharawan Pemerintah
14 hari setelah Masa Pajak berakhir
PPN dan PPnBM Wajib Pajak Kriteria Tertentu
PKP Kriteria Tertentu 20 hari setelah Masa Pajak berakhir
PPN dan PPnBM Pemungut selain Selain
Bendaharawan
WAPU Hari kerja terakhir
minggu berikutnya
2. SPT Tahunan
Jenis Pajak Siapa yang
menyampaikan SPT
Batas Waktu Penyampaian SPT
SPT Tahunan PPh Badan
Wajib Pajak yang punya NPWP
Selambatnya 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak (biasanya tanggal 30 April tahun berikutnya) SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi
Wajib Pajak yang punya NPWP
Selambatnya 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak (biasanya tanggal 31 Maret tahun berikutnya) Dalam hal tanggal jatuh tempo pelaporan bertepatan dengan hari libur, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(15)
15 Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan dalam jangka waktu yang ditetapkan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan PPh dengan menggunakan form SPT untuk penundaan, yaitu 1771Y, dan diajukan ke Ditjen Pajak secars tertulis dengan disertai :
a. Alasan-alasan penundaan penyampaian SPT Tahunan.
b. Surat pernyataan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam satu tahun pajak.
c. Bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut perhitungan sementara tersebut.
Dalam hal ini Wajib Pajak akan dikenakan sanksi perpajakan karena penundaan tersebut.
4. Menyelenggarakan pembukuan / pencatatan
Pembukuan adalah pendokumentasian seluruh transaksi keuangan dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas secara tertib dan teratur baik peredaran bruto dan atau penerimaan penghasilan lainnya serta biaya-biaya yang timbul untuk mendapatkan peredaran bruto dan atau penerimaan penghasilan lainnya yang diperbolehkan menurut ketentuan perpajakan.
Sedangkan pencatatan adalah pendokumentasian seluruh transaksi keuangan dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas berupa peredaran bruto dan atau penerimaan penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah terutang.
Penyelenggaraan pembukuan / pencatatan bagi Wajib Pajak adalah :
a. WAJIB menyelenggarakan pembukuan adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang omzetnya telah mencapai 1,8M per tahun dan Wajib Pajak Badan di Indonesia.
b. TIDAK WAJIB menyelenggarakan pembukuan tapi WAJIB
melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas menurut ketentuan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neeto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pembukuan atau pencatatan harus :
a. Diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan usaha yang sebenarnya.
(16)
16 b. Diseleenggarakan di Indonesia.
c. Menggunakan huruf Latin dan angka Arab.
d. Menggunakan satuan mata uang Rupiah dan mata uang asing yang diijinkan oleh Menteri Keuangan.
e. Disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diijinkan Menteri Keuangan.
f. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan metode Accrual Basis atau Cash Basis. Perubahan atas metode pembukuan atau pencatatan harus mendapatkan persetujuan dari Ditjen Pajak.
g. Disimpan berikut dokumen-dokumen lainnya selama 10 (sepuluh) tahun. Untuk Wajib Pajak orang pribadi di tempat kegiatan atau tempat tinggal, sedangkan Wajib Pajak Badan di tempat kedudukan.
Dalam hal Wajib Pajak tidak menyelenggarakan kewajiban pembukuan atau pencatatan akan dikenakan sanksi perpajakan. 5. Jika diperiksa, wajib :
a. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak. b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan
yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
6. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan
Setelah melaksanakan kewajiban wajib pajak, maka Wajib Pajak pun memiliki hak-hak sebagai berikut :
1. Mengajukan keberatan dan banding. 2. Menerima tanda bukti pemasukan SPT.
3. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan. 4. Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT.
5. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak.
6. Mengajukan permohonan penghitungan pajak yang dikenakan dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP).
(17)
17 8. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta
pembetulan SKP yang salah.
9. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya. 10.Apabila Wajib Pajak dipotong oleh pemberi kerja, Wajib Pajak berhak
meminta bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada pemotong pajak, mengajukan surat keberatan dan permohonan pajak.
Apa saja sanksi perpajakan?
Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan perpajakan akan dituruti/ditaati/dipatuhi atau sanksi perpajakan adalah alat untuk mencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar Ketentuan Perpajakan (Norma Perpajakan).
Sanksi perpajakan menurut ketentuan perpajakan ada 2 (dua) jenis yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Penerapannya bisa dikenakan salah satu saja atau kedua-duanya. Sanksi administratif merupakan pembayaran kerugian kepada negara khususnya yang berupa denda, bunga dan kenaikan. Sedangkan sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan dan merupakan suatu alat hukum terakhir yang digunakan aparat pajak (fiskus) agar Norma Perpajakan dipatuhi/ditaati/dituruti. Sanksi pidana ini ada 3 (tiga) macam yaitu denda pidana, kurungan dan penjara.
SANKSI ADMINISTRATIF
1. Sanksi Administratif – Bunga 2% per bulan
No Masalah Cara
mambayar/menagih
1 Pembetulan sendiri SPT (Masa dan Tahunan) tetapi belum diperiksa
SSP 2 Dari penelitian rutin :
a. PPh pasal 25 tidak/kurang dibayar SSP/STP b. PPh pasal 21,22,23,26 dan PPN yang
terlambat dibayar
SSP/STP c. SKPKB,STP,SKPKBT, tidak/kurang
dibayar atau terlambat dibayar
SSP/STP
d. SPT salah tulis/salah hitung SSP/STP
3 Dilakukan pemeriksaan, pajak kurang dibayar (maksimal 24 bulan)
SSP/SPKB 4 Pajak diangsur/ditunda; SKPKB,SKKPP,STP SSP/STP 5 SPT Tahunan ditunda, pajak kurang
dibayar
(18)
18 2. Sanksi Administratif – Denda administratif
No Masalah Cara
mambayar/menagih
1 Tidak/terlambat memasukkan atau menyampaikan SPT
STP ditambah Rp 100.000,- atau Rp 500.000,- atau Rp
1.000.000,- 2 Pembetulan sendiri, SPT Tahunan atau
SPT Masa yang telah diperiksa tetapi belum disidik
SSP ditambah 200%
3 Khusus PPN :
SSP/SPKPB ditambah 2% denda dari dasar
pengenaan a. Tidak melaporkan usaha
b. Tidak membuat/mengisi faktur
c. Melangggar larangan membuat faktur (PKP yang tidak dikukuhkan)
4 Khusus PBB :
a. SPT,SKPKB tidak/kurang dibayar atau terlambat dibayar
STP+denda 2% (maks. 24 bulan)
SKPKB+denda adminstratif dari selisih
pajak yang terutang b. Dilakukan pemeriksaan, pajak kurang
dibayar
3. Sanksi Administratif – Kenaikan 50% dan 100%
No Masalah Cara
mambayar/menagih
1 Dikeluarkan SKPKB dengan penghitungan secara jabatan :
a. Tidak memasukkan SPT :
- SPT Tahunan (PPh pasal 29) SKPKB+kenaikan 50% - SPT PPh pasal 21,23,26 & PPN SKPKB+kenaikan
100%
b. Tidak menyelenggarakan pembukuan SKPKB
+ 50% PPh pasal 29 + 100% PPh pasal
21,23,26 dan PPN c. Tidak memperlihatkan dokumen dan
memperlancar pemeriksaan pajak
SKPKB + 50% PPh pasal 29
(19)
19 + 100% PPh pasal
21,23,26 dan PPN 2 Dikeluarkan SKPKBT karena ditemukan
data baru, data semula yang belum terungkap setelah dikeluarkan SKPKB
SKPKBT 100%
3 Khusus PPN :
Dikeluarkan SKPKB karena pemeriksaan, dimana PKP tidak seharusnya
mengkompensasi selisih lebih, menghitung tarif 0% diberi restitusi pajak
SKPKB 100%
SANKSI PIDANA Yang
dikenakan sanksi pidana
Ketentuan Perpajakan
Sanksi Pidana
I. Wajib Pajak a. Kealpaan tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi tidak benar/lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar.
Pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. b. Sengaja tidak
menyampaikan SPT, tidak meminjamkan pembukuan, catatan atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 UU KUP.
a. Pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar b. Ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada huruf a
dilipatduakan apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun terhitung sejak selesai selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
(20)
20 c. Sengaja tidak
menyampaikan SPOP atau menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 24 UU PBB
Pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan atau
setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak terutang. d. Dengan sengaja tidak
menyampaikan SPOP, memperlihatkan / meminjamkan surat / dokumen palsu,
sebagaimana diatur dalam pasal 25 (1) UU PBB
a. Pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan atau denda
setinggi-tingginya 5 (lima) kali jumlah pajak terutang. b. Sanksi (a)
dilipatduakan jika sebelum lewat satu tahun terhitung sejak selesainya menjalani sebagian/seluruh pidana yang dijatuhkan melakukan tindak pidana lagi. II. Pejabat Kealpaan tidak memenuhi
kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 UU KUP (tindak pelanggaran)
Pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp4.000.000,- Sengaja tidak memenuhi
kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 UU KUP (tindak kejahatan)
Pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp10.000.000,- III. Pihak
Ketiga
Sengaja tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya dan atau menyampaikan keterangan yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 (1) huruf d dan e UU PBB
Pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp2.000.000,-
(21)
21
Bagaimana perlakuan masing-masing jenis pajak?
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
PPh pasal 21 mengatur pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI sehubungan dengan PEKERJAAN, JASA dan KEGIATAN.
Orang pribadi atau badan yang memungut PPh Pasal 21
1. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai.
2. Bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
3. Dana Pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun dalam rangka pensiun.
4. Perusahaan, badan dan BUT yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
5. Yayasan, lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, organisasi masa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
6. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
Subyek PPh Pasal 21
1. Karyawan Tetap 2. Penerima Pensiun
3. Pegawai Tidak Tetap/Pemagang/Calon Pegawai/Distributor MLM/Direct Selling.
4. Pihak-pihak yang menerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya tidak dihitung atas dasar banyaknya hari yang digunakan untuk menyelesaikan jasa atau kegaitan tersebut, seperti pemain musik, olahragawan, pengarang, agen iklan, dll. 5. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (Pengacara, Akuntan,
Konsultan, Penilai, Aktuaris, Notaris, Dokter, Arsitek / PAK PANDA).
6. Penerima Uang Pesangon, uang tebusan pensiun THT atau THT yang dibayar sekaligus.
(22)
22 7. Pejabat negara, pegawai negeri sipil, dan anggota TNI/Polri yang menerima honorarium yang sumber dananya berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah.
8. Wajib Pajak Luar Negeri yang menerima imbalan sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
Mereka yang Bukan Subyek PPh Pasal 21
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, serta orang yang diperbantukan untuk bekerja dan bertempat tinggal bersamanya, dengan syarat (a) bukan Warga Negara Indonesia, dan (b) di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatannya.
2. Pejabat perwakilan organisasi Internasional (yang ditunjuk Menteri Keuangan), sepanjang (a) bukan warga negara Indonesia, dan (b) tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
Obyek PPh Pasal 21
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur seperti gaji, uang pensiun bulanan, penghasilan yang melekat pada gaji, tunjangan, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur seperti jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti dan sebagainya.
3. Upah baik harian, mingguan, satuan, maupun borongan.
4. Uang tebusan pensiun, THT, pesangon, dan pembayaran sejenis.
5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak.
6. Gaji, gaji kehormatan dan tunjangan lainnya yang diperoleh Pejabat Negara dan PNS.
7. Uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun.
8. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak.
Pengecualian PPh Pasal 21
1. Pembayaran asuransi dari perusahaan askes, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, asuransi bea siswa.
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun KECUALI yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak.
3. Iuran pensiun yang telah dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan serta iuran THT kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
(23)
23 4. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama
apapun yang diberikan oleh Pemerintah.
5. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.
6. Pembayaran THT-Taspen dan THT-Asabri dari PT Taspen dan PT Asabri kepada para pensiunan yang berhak menerimanya.
7. Zakat yang diterima oleh pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan Pemerintah.
Penghitungan PPh Pasal 21
Tatacara penghitungan PPh pasal 21 sangat tergantung pada penerima penghasilan dan jenis penghasilan yang diterima oleh subyek pajak orang pribadi yang bersangkutan. Dasar Pengenaan Pajak PPh 21 sesuai Per 31/2009 dan Per 57/2009 dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Penghasilan Kena Pajak Hal ini berlaku bagi:
1. pegawai tetap;
2. penerima pensiun berkala;
3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah);
4. bukan pegawai yang menerima imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang bersifat berkesinambungan.
Penghasilan kena pajak adalah penghasilan bruto dikurangi biaya yang boleh dikurangkan (biaya jabatan 5% maksimal Rp6.000.000,- setahun, iuran-iuran yang dibayar oleh karyawan seperti iuran dana pensiun, iuran THT, THT, JHT) yang hasilnya (Penghasilan neto) dikurangi PTKP.
PTKP untuk tahun 2010 telah mengalami penyesuaian menjadi : a. Rp 15.840.000,- untuk diri Wajib Pajak.
b. Rp 1.320.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
c. Rp 15.840.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.
d. Rp 1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(24)
24 2. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari
Berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah).
3. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto
Berlaku bagi bukan pegawai yang menerima imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang bersifat tidak berkesinambungan.
4. Jumlah Penghasilan Bruto
Berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana di maksud di atas.
Tarif pajak penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi berdasarkan pasal 17 UU PPh :
Tarif Pajak Lapisan Penghasilan Kena Pajak
5% Sampai dengan Rp 50.000.000,-
15% >Rp 50.000.000,- s.d. Rp 250.000.000,- 25% >Rp 250.000.000,- s.d. Rp 500.000.000,-
30% >Rp 500.000.000,-
5a.Penghitungan PPh Pasal 21 yang bersifat FINAL dikenakan pada penerima uang pesangon, uang tebusan pensiun, THT, atau JHT yang dibayar sekaligus
Tarif Pajak Pesangon, tebusan pensiun, THT, JHT yang
dibayar sekaligus
0% Sampai dengan Rp 50.000.000,-
5% >Rp 50.000.000,- s.d. Rp 250.000.000,- 15% >Rp 250.000.000,- s.d. Rp 500.000.000,-
25% >Rp 500.000.000,-
6b.Honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/Polri yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Daerah, kecuali yang dibayarkan kepada golongan IId kebawah.
(25)
25 PNS golongan III dan Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Perwira Pertama, dan pensiunannya:
5% x Jumlah Bruto Imbalan Lain/Honorarium
Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya
15% x Jumlah Imbalan Lain/ Honorarium
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
PPh pasal 22 merupakan pembayaran pajak dalam tahun berjalan yang dipungut sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain.
Orang pribadi atau badan yang memungut PPh Pasal 22
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang; b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
f. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas;
g. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
(26)
26
Pengecualian PPh Pasal 22
a. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai:
c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;
d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d , Per 154/2010 berkenaan dengan:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.
f. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (BULOG);
g. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;
h. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Penghitungan PPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas Impor
No Obyek Pemungut Penghitungan
PPh Pasal 22
1 Impor dengan API (Angka Pengenal Impor)
Ditjen Bea & Cukai Bank Devisa
Nilai Impor x 2,5%
2 Tidak
menggunakan API
Ditjen Bea & Cukai Bank Devisa
Nilai Impor x 7,5% 3 Impor yang tidak
dikuasai (dilelang oleh Ditjen Bea & Cukai)
Ditjen Bea & Cukai Bank Devisa
Nilai lelang x 7,5%
2. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD
No Obyek Pemungut Penghitungan
PPh Pasal 22
(27)
27 oleh bendaharawan
dan impor
KPKN
Bank Devisa 3. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain
No Obyek Pemungut Penghitungan
PPh Pasal 22
1 Penjualan hasil produksi Pertamina
Pertamina dan Badan Usaha Lainnya
SPBU Pertamina= 0,25%xharga jual solar, premium, superTT,premix
SPBU Swasta= 0,3% x harga jual solar,premium,
superTT, premix 0,3% x harga jual minyak
tanah, pelumas dan LPG 2 Penjualan hasil
produksi semen
Industri semen Dalam Negeri
0,25% x DPP PPN 3 Penjualan hasil
produksi otomotif
Industri Otomotif 0,45% x DPP PPN
4 Penjualan hasil produksi baja
Industri baja Dalam Negeri
0,3% x DPP PPN 5 Penjualan hasil
produksi kertas
INdustri kertas Dalam Negeri
0,1% x DPP PPN 6 Pembelian barang Oleh pemungut PPh
22
1,5% x harga beli 7 Pembelian
bahan-bahan dari pedagang
pengumpul (sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian dan perikanan)
Eksportir atau industri Dalam Negeri
(28)
28
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
PPh pasal 23 dikenakan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri atau BUT yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
Orang pribadi atau badan yang memungut PPh Pasal 23
1. Badan Pemerintah
2. Subyek Pajak Badan Dalam Negeri 3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk Usaha Tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
6. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Ditjen Pajak untuk memotong PPh pasal 23, yang meliputi (a) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (PAK PANDA) (b) orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak PPh Pasal 23
Wajib Pajak Dalam Negeri atau BUT yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
Objek PPh Pasal 23
1. Dividen 2. Bunga 3. Royalti
4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21 5. Bunga simpanan yang dibayarkan Koperasi
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsturksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 23
7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain tanah dan bangunan.
Pengecualian PPh Pasal 23
Yang tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah : 1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
3. Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, koperasi, yayasan, atau organisasi yang sejenis, BUMN/D, dari
(29)
29 penyertaan modal yang didirikan dan kepmilikan saham paling rendah 25% dari modal disetor
4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
5. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penghitungan PPh Pasal 23
1. Penghasilan bruto x 15%
Atas penghasilan berupa deviden, royalti, hadiah, bunga
2. Penghasilan bruto x 2%
Atas imbalan sehubungan dengan jasa sesuai PMK 244/2008 dan penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta selain tanah dan bangunan.
(30)
30
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh WP LN selain BUT di Indonesia.
Pemotongan yang bersifat Final atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yg diterima/diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT.
OBJEK PAJAK PPH PASAL 26 (20% x Penghasilan Bruto):
1. Dividen.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
3. Royalti, sewa & penghasilan lain sehubungn dgn penggunaan harta
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
5. Hadiah dan penghargaan.
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya. 8. keuntungan karena pembebasan utang.
Penghitungan PPh Pasal 26
1. Penghasilan bruto x 20%
2. Sesuai Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B) Syarat:
a. Ada perjanjian tax treaty
b. Menyerahkan form DGT (directorate general of tax) atau SKD, yang diterbitkan oleh DJP dan harus ditandatangani oleh competent authority negara asal
(31)
31
PAJAK PENGHASILAN BADAN
Badan: sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
Objek PPh: setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
(32)
32 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan s. surplus Bank Indonesia.
Tidak semua penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak adalah Objek PPh. Pasal 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008 mengatur penghasilan yang tidak menjadi objek pajak, antara lain:
a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
(33)
33 pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
(34)
34 1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
k. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
l. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
m. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Laba komersial vs laba kena pajak
Laba komersial (accounting income) merupakan pengukuran laba yang lazim digunakan dalam dunia bisnis baik untuk kepentingan pasar modal (bursa efek), perbankan, Rapat Umum Pemegang Saham, dan kepentingan lainnya.
Laba komersial ini dihitung berdasarkan standar akuntansil yang berlaku. Sejak tahun 1995 standar akuntansi yang berlaku di Indonesia adalah Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Penghitungan laba komersial bertumpu pada prinsip matching cost against revenue (persandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya yang terkait). Dalam salah satu prinsip tersebut terdapat konsep bahwa pengeluaran perusahaan yang tidak mempunyai manfaat untuk masa yang akan datang, bukanlah merupakan aset sehingga harus dibebankan sebagai biaya. Dengan demikian dalam akuntansi seluruh pengeluaran/beban perusahaan sepanjang memang harus dikeluarkan oleh perusahaan diakui sebagai biaya/beban.
Laba Kena Pajak/Penghasilan Kena Pajak (Taxable Income] merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UU No. 36/2008 mengenai Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya.
Penghitungan laba kena pajak dalam kaitannya dengan karyawan didasarkan atas prinsip
umum taxability deductibility. Dengan prinsip ini, biaya-biaya baru dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila pihak/orang yang menerima
pengeluaran uang atas biaya
(35)
35
tersebut dikenakan
pajak (taxable). Dengan demikian akan selalu ada pihak dapat dikenakan pajak sebagaimana
dijelaskan di atas. ,
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa laba komersial yang lazim digunakan dalam dunia bisnis berbeda dengan laba kena pajak. Banyak sekali biaya-biaya yang diakui oleh akuntansi tetapi tidak diakui oleh perpajakan, seperti: sumbangan, pemberian natura kepada karyawan, biaya representasi tertentu, biaya kelancaran dan sebagainya.
Agar dapat melakukan penghitungan PKP dengan benar dan tepat, Wajib Pajak perlu memahami:
1. Penghasilan yang menjadi obyek (taxable) dan bukan obyek pajak (non taxable).
2. Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final.
3. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses). 4. Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible exepneses).
Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final (UU PPh Pasal 4 ayat (2))
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expenses)
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M), diatur pada Pasal 6 UU No. 36/2008 antara lain sebagai berikut:
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
(36)
36 1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti; 4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah; 6. premi asuransi;
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
(37)
37 j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan
di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Apabila penghasilan bruto setelah dikurangi biaya fiskal didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expenses)
Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 9 UU No.36/2008 sebagai berikut:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; 4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri,
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan
(38)
38 yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(39)
39
Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial/pembukuan dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan.
Rekonsiliasi fiskal terdiri dari :
1. Koreksi karena perbedaan waktu
Koreksi beda waktu timbul karena perbedaan metode perhitungan pendapatan dan/atau
biaya antara komersial dengan fiskal.
Dengan demikian total biaya atau pendapatan menurut komersial dan fiskal adalah sarna
besar, yang berbeda adalah lamanya waktu pengalokasian pendapatan dan atau biaya tersebut.
Contoh koreksi beda waktu :
• Biaya penyusutan dan amortisasi, kecuali untuk aktiva yang termasuk kriteria pemberian natura, hibah, sumbangan atau kenikmatan
• Penilaian persediaan
2. Koreksi karena perbedaan tetap
Koreksi beda tetap timbul karena adanya perbedaan pengakuan pendapatan antara komersial dan fiskal . Koreksi beda tetap terdiri dari:
1. Beda tetap atas penghasilan yang bukan obyek PPh
Seperti bantuan, sumbangan, harta hibahan yang diterima sepanjang tidak ada
hubungan usaha dengan pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan dan dari pemerintah. 2. Beda tetap murni yaitu:
Biaya yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, memeliha penghasilan yang bukan obyek pajak.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan/jasa yang diberikan dalam bentuk natura/kenikmatan.
Sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan. PPh Pasal 23/26 yang ditanggung oleh perusahaan.
3. Beda tetap yang disebabkan tidak dipenuhinya syarat-syarat khusus yaitu: • Berhubungan dengan kegiatan langsung perusahaan.
• Adanya bukti pendukung yang kuat. • Karena lokasi.
(40)
40
3. Koreksi karena pengenaan pajak final
Koreksi ini terdiri dari :
Pendapatan yang telah dipotong pajak final oleh pihak yang membayarkan penghasilan seperti pendapatan bunga deposito, pendapatan jasa giro, penghasilan sewa tanah dan atau bangunan, pendapatan karena pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
bagi orang pribadi dan yayasan (khusus untuk Wajib Pajak badan (selain yayasan) tidak bersifat final).
Biaya untuk mendapatkan, memelihara, menagih penghasilan yang telah dikenakan PPh final seperti biaya yang berhubungan dengan penghasilan dari sewa tanah dan atau bangunan, biaya yang berhubungan dengan penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.
Bentuk kertas kerja rekonsiliasi fiskal
Sampai saat ini belum ada bentuk baku kertas kerja rekonsiliasi fiskal. Di bawah ini disajikan bentuk kertas kerja yang sering digunakan dalam bentuk sehari-hari:
PT FORMASI Rekonsiliasi komersial - fiskal
Laba komersia! sebelum pajak
Ditambah koreksi positif:
Sumbangan Iklan dan promosi Kenikmatan
Biaya dalam bentuk natura Biaya pemeliharaan gedung yang disewakan
Biaya penyusutan
Biaya penyisihan kerugian piutang
Dikurangi koreksi negatif:
Biaya penyusutan Pendapatan sewa yedung Pendapatan dividen Pendapatan bunga deposito Pendapatan jasa giro
Laba/rugi fiskal sebelum pajak
X X X X X X X X X X X X X X X
(41)
(42)
42 Bentuk lain dari Rekonsiliasi Fiskal (dalam jutaan rupiah) – Tahun 2010
Uraian l/R Beda Beda Obyek L/K Fiskal komersial Tetap Waktu PPh final
Pendapatan usaha ( 1000) (1000) Pendapatan bukan obyek PPh (150) (150)
• Biaya berkailan dengan penghasilan
bukan obyek PPh 50 50
Pendapatan obyek PPh final (350) (350) • Biaya berkaitan dengan pendapatan
obyek PPh final 350 350
Gross profit on sales (1100) (100) - - (1000) Personel expenses
1. Gaji 20 20
2. bonus 30 30
3. Biaya pengobatan 10 10
4. Tunjangan transportasi 10 10 5. Asuransi kesehatan, kecelakaan ksrja 10 10 6. Konsumsi rutiu 10 10 7. Seragam 10 10 8. Kesejahteraaan lainnya 10 10 _ 9. Prerni asuransi ( JHT/THT) 10 10
Total personal expenses 120 20 _ _ 100 Building expenses
10. Pajak bumi dan bangunan 11. Perbaikan dan pemeliharaan 12. Asuransi Bangqunan
10 10 10 10 10 10 Build'ng expenses total 30 30 Motor car expenses
13. Kendaraan operasional 14. Kendaraan non operasional
10
10 5
10 5 Motor cars expenses total 20 5 - 15 Selling expenses
15. Marketing/iklan
16. Penelitian dan pengembangar, produk
17. Sewa gedung
50 50 70 50 50 70 Selling expenses total 170 - - - 170 General administration expenses
18. Stationeries/Office supllies
19. Lawyer, Accountant dan Consultant 20. Represaentasi dan entertainment 21. Asuransi peralatan kantor 22. Listrik dan telephone
20 10 10 10 10 10 20 10 10 10 10 General adm expenses total 70 10 - . 60 Depreciation & amotization
23. Total penyusutan dan amortisasi 20 10 10 Profit on sales (70) 35 10 - (125) Other income
24. Bunga giro
25. Deviden, kepemi'ikan > 25 % 26. Bunga deposito
27. Sewa ruangan gedung 28. Sewa peralatan kantor 29. Laba selisih kurs
(10) (10) (10) (10) (20) (20) (10) (10) (10)
(10) (20) (20)
Other income total (80) 110) . (30) (40) Non operating expense
30. B.aya bunga 31. Rug: sslisih kurs
30 30
30 30 Non operating exoenses total 60 - . 60
(43)
43 Special income and Losses
32. Rugi ( laba ) Penjualan aktiva tetap (10)
Special income and losses total (10) . (10)
Net profit before tax (100) 25 10 (30) (115)
PPh Badan Terutang 12,5% x 115 = 14,375 Kredit Pajak
PPh pasal 22 2
PPh Pasal 23 2
PPh Pasal 25 .2 .
6 .-
8,375
Keterangan:
3 Sepanjang dibayarakan langsung ke rumah sakit
7 Sepanjang karena diharuskan dalam pekerjaan/kemanan dan keselamatan oekerja 8 Kecuali jika disajikan untuk seluruh pegawai dan dilakukan secara bersama - sama 20 Sepanjang berhubungan dengan usaha dan didukung oleh daftar bukti nominatif 23 hanya bagi aktiva yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha
(1)
38
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)
39
39 Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja
yang berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut
komersial/pembukuan dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan. Rekonsiliasi fiskal terdiri dari :
1. Koreksi karena perbedaan waktu
Koreksi beda waktu timbul karena perbedaan metode perhitungan pendapatan dan/atau
biaya antara komersial dengan fiskal.
Dengan demikian total biaya atau pendapatan menurut komersial dan fiskal adalah sarna
besar, yang berbeda adalah lamanya waktu pengalokasian pendapatan dan atau biaya tersebut.
Contoh koreksi beda waktu :
• Biaya penyusutan dan amortisasi, kecuali untuk aktiva yang termasuk kriteria pemberian natura, hibah, sumbangan atau kenikmatan
• Penilaian persediaan
2. Koreksi karena perbedaan tetap
Koreksi beda tetap timbul karena adanya perbedaan pengakuan pendapatan antara komersial dan fiskal . Koreksi beda tetap terdiri dari:
1. Beda tetap atas penghasilan yang bukan obyek PPh
Seperti bantuan, sumbangan, harta hibahan yang diterima sepanjang tidak ada
hubungan usaha dengan pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan dan dari pemerintah. 2. Beda tetap murni yaitu:
Biaya yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, memeliha
penghasilan yang bukan obyek pajak.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan/jasa yang diberikan dalam bentuk natura/kenikmatan.
Sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan. PPh Pasal 23/26 yang ditanggung oleh perusahaan.
3. Beda tetap yang disebabkan tidak dipenuhinya syarat-syarat khusus yaitu: • Berhubungan dengan kegiatan langsung perusahaan.
• Adanya bukti pendukung yang kuat. • Karena lokasi.
(3)
40 3. Koreksi karena pengenaan pajak final
Koreksi ini terdiri dari :
Pendapatan yang telah dipotong pajak final oleh pihak yang
membayarkan penghasilan seperti pendapatan bunga deposito, pendapatan jasa giro, penghasilan sewa tanah dan atau bangunan, pendapatan karena pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
bagi orang pribadi dan yayasan (khusus untuk Wajib Pajak badan (selain yayasan) tidak bersifat final).
Biaya untuk mendapatkan, memelihara, menagih penghasilan yang telah dikenakan PPh final seperti biaya yang berhubungan dengan penghasilan dari sewa tanah dan atau bangunan, biaya yang berhubungan dengan penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.
Bentuk kertas kerja rekonsiliasi fiskal
Sampai saat ini belum ada bentuk baku kertas kerja rekonsiliasi fiskal. Di bawah ini disajikan bentuk kertas kerja yang sering digunakan dalam bentuk sehari-hari:
PT FORMASI Rekonsiliasi komersial - fiskal
Laba komersia! sebelum pajak
Ditambah koreksi positif:
Sumbangan Iklan dan promosi Kenikmatan
Biaya dalam bentuk natura Biaya pemeliharaan gedung yang disewakan
Biaya penyusutan
Biaya penyisihan kerugian piutang
Dikurangi koreksi negatif:
Biaya penyusutan Pendapatan sewa yedung Pendapatan dividen Pendapatan bunga deposito Pendapatan jasa giro
Laba/rugi fiskal sebelum pajak
X X X X X X X X X X X X X X X
(4)
41
(5)
42
Bentuk lain dari Rekonsiliasi Fiskal (dalam jutaan rupiah) – Tahun 2010
Uraian l/R Beda Beda Obyek L/K Fiskal
komersial Tetap Waktu PPh final
Pendapatan usaha ( 1000) (1000)
Pendapatan bukan obyek PPh (150) (150)
• Biaya berkailan dengan penghasilan
bukan obyek PPh 50 50
Pendapatan obyek PPh final (350) (350)
• Biaya berkaitan dengan pendapatan
obyek PPh final 350 350
Gross profit on sales (1100) (100) - - (1000)
Personel expenses
1. Gaji 20 20
2. bonus 30 30
3. Biaya pengobatan 10 10
4. Tunjangan transportasi 10 10
5. Asuransi kesehatan, kecelakaan ksrja 10 10
6. Konsumsi rutiu 10 10
7. Seragam 10 10
8. Kesejahteraaan lainnya 10 10 _
9. Prerni asuransi ( JHT/THT) 10 10
Total personal expenses 120 20 _ _ 100
Building expenses
10. Pajak bumi dan bangunan
11. Perbaikan dan pemeliharaan
12. Asuransi Bangqunan
10 10 10 10 10 10
Build'ng expenses total 30 30
Motor car expenses
13. Kendaraan operasional 14. Kendaraan non operasional
10
10 5
10 5
Motor cars expenses total 20 5 - 15
Selling expenses
15. Marketing/iklan
16. Penelitian dan pengembangar,
produk
17. Sewa gedung
50 50 70 50 50 70
Selling expenses total 170 - - - 170
General administration expenses 18. Stationeries/Office supllies
19. Lawyer, Accountant dan Consultant
20. Represaentasi dan entertainment
21. Asuransi peralatan kantor 22. Listrik dan telephone
20 10 10 10 10 10 20 10 10 10 10
General adm expenses total 70 10 - . 60
Depreciation & amotization
23. Total penyusutan dan amortisasi 20 10 10
Profit on sales (70) 35 10 - (125)
Other income 24. Bunga giro
25. Deviden, kepemi'ikan > 25 %
26. Bunga deposito
27. Sewa ruangan gedung
28. Sewa peralatan kantor 29. Laba selisih kurs
(10) (10) (10) (10) (20) (20) (10) (10) (10)
(10) (20) (20)
Other income total (80) 110) . (30) (40)
Non operating expense
30. B.aya bunga
31. Rug: sslisih kurs
30 30
30 30
(6)
43
Special income and Losses
32. Rugi ( laba ) Penjualan aktiva tetap (10)
Special income and losses total (10) . (10)
Net profit before tax (100) 25 10 (30) (115)
PPh Badan Terutang 12,5% x 115 = 14,375
Kredit Pajak
PPh pasal 22 2
PPh Pasal 23 2
PPh Pasal 25 .2 .
6 .-
8,375
Keterangan:
3 Sepanjang dibayarakan langsung ke rumah sakit
7 Sepanjang karena diharuskan dalam pekerjaan/kemanan dan keselamatan oekerja 8 Kecuali jika disajikan untuk seluruh pegawai dan dilakukan secara bersama - sama 20 Sepanjang berhubungan dengan usaha dan didukung oleh daftar bukti nominatif 23 hanya bagi aktiva yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha