DAKWAH ISLAM DALAM BINGKAI MEDIA PENYIARAN TELEVISI LOKAL : KAJIAN TERHADAP PROGRAM ACARA DAKWAH JTV SURABAYA.
DAKWAH ISLAM DALAM BINGKAI
MEDIA PENYIARAN TELEVISI LOKAL
(Kajian terhadap Program Acara Dakwah JTV Surabaya)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Keislaman
Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam
Oleh:
Mochammad Dawud
NIM: F09411299
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
(2)
DAKWAH ISLAM DALAM BINGKAI MEDIA PENYIARAN TELEVISI LOKAL
(Kajian terhadap Program Acara Dakwah JTV Surabaya)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister Ilmu Keislaman
Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam
Oleh:
Mochammad Dawud NIM: F09411299
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
ABSTRAK
Mochammad Dawud, 2016, Dakwah Islam dalam Bingkai Media Penyiaran
Televisi Lokal. Tesis. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Kata Kunci : Dakwah Islam, Televisi Lokal, Komoditas.
Dakwah merupakan salah satu perintah yang dianjurkan dalam Islam. Karena dengan dakwah-lah agama Islam dapat dipahami secara lebih luas oleh masyarakat. Di sisi lain, media juga menjadi bagian yang penting dalam menunjang efektifitas, bahkan keberhasilan dakwah. Namun, keberadaan media dalam dakwah seperti pisau bermata dua. Satu sisi memberikan efektifitas, namun di sisi lain menjadi unsur vital dalam menjadikan dakwah sebagai sebuah komoditas. Untuk itulah pada penelitian ini, penulis mengkaji eksistensi dakwah dalam dunia penyiaran televisi.
Pada kajian ini, penulis menggunakan penelitian jenis studi kepustakaan dan
studi lapangan (library and field research) dengan pendekatan metode kualitatif.
Tujuannya agar bisa menguak dan mendeskripsikan secara mendalam mengenai dakwah Islam dalam bingkai televisi lokal di Surabaya. Untuk itu, penulis mefokuskan penelitian pada tiga rumusan masalah, 1) Mengapa tim kreatif JTV mengemas acara dakwah Islam secara menghibur? 2) Bagaimana proses dakwah
menghibur ini dijalankan? Dan 3) Faktor apa saja yang melatarbelakangi
dimasukkannya unsur hiburandalamprogram dakwah di JTV?
Penelitian ini, berhasil mendapatkan temuan penting yaitu; 1) Manajemen JTV mengemas siaran dakwah secara menghibur dengan tujuan yang mengarah pada muatan komersialisasi dakwah, yani agar siaran dakwah disukai oleh masyarakat atau penonton kelas menengah ke bawah (SES B, C, D). 2) Proses dakwah yang dijalankan oleh JTV didesain dengan menggunakan beberapa
instrumen pendukung, musik dan pembawa acara/host yang wajib memiliki selera
humor tinggi. Selain itu, brand sebuah produk iklan menjadi aksesoris wajib
sebagai penegasan identitas komodifikasi bahwa siaran dakwah tersebut berjalan
tak lain karena sponsor, yang pada gilirannya menuntut pembawa acara/host dan
da’i untuk melakukan campaign produk di tengah siaran berlangsung. 3) Adapun
faktor-faktor yang menjadi determinasi primer dalam melakukan proses hiburan
program dakwah di JTV adalah ; 1) menarik animo masyarakat, 2) menaikkan
rating and share, 3) memancing pihak iklan untuk menyosialisasikan produknya
(8)
DAFTAR ISI
JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
PERSETUJUAN ... iv
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL DAN BAGAN ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
ABSTRAK... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… .. 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 12
C. Rumusan Masalah ... 13
D. Tujuan Penelitian ... 14
E. Kegunaan Penelitian ... 14
F. Sistematika Penelitian ... 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Televisi Lokal : Terobosan Media Informasi Elektronik Berbasis Lokalitas ... 17
B. Paradigma Baru dan Eksistensi Dakwah di Televisi ... 24
C. Determinasi Penyiaran: Perspektif Ekonomi Politik Media ... 36
1. Komodifikasi... 39
2. Spasialisasi ... 42
3. Strukturasi ... 45
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 51
B. Sumber data ... 52
C. Teknik Pengumpulan Data ... 53
D. Teknik Analisa Data ... 54
BAB IV DAKWAH ISLAM DALAM BINGKAI TELEVISI LOKAL A. JTV Sebagai Televisi Lokal: Sebuah Identifikasi... 60
B. Program Dakwah JTV: Dari Faktor Sampai Proses Produksi ... 63
C. Komodifikasi Siaran Dakwah JTV ... 74
1. Komodifikasi Isi (Comodification of Content) ... 75
2. Komodifikasi Khalayak (Comodification of Audience) ... 81
3. Komodifikasi Instrinsik ... 83
4. Komodisikasi Ekstrinsik ... 86
D. Siaran Dakwah JTV: Dari Komersialisasi sampai Islamisasi ... 92
E. Bentuk Spasialisasi Korporasi Jawa Pos Group ... 98
(9)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...105
B. Implikasi Teoritik...107
C. Saran dan Rekomendasi ...108
D. DaftarPustaka ...110
(10)
DAFTAR TABEL DAN BAGAN
1. Kepemilikan Stasiun Televisi, Radio dan Media Cetak
Nasional
43
2. Pola Relasional kepentingan Politik, Ekonomi dan Publik
Pada Media
45
3. Alur Analisa Data 56
4. Tahapan Proses Produksi Program Dakwah JTV 67
(11)
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Gambar Hal
1 Siaran Dakwah Ngaji Blusukan JTV yang menampilkan
aktivitas dakwah Ustadz Aad Ainurussalam dengan alat musik
75
2 Siaran Dakwah Ngaji Blusukan JTV dengan pendakwah
Ustadz Aad Ainurussalam didampingi pembawa acara/host yang bertugas membuat joke-joke segar
76
3 Ustadz Syarawi saat bercermah dalam program Ilir Ilir
JTV. Nampak ia sedang berusaha melucu.
77
4 Ekspresi Ustadz Syarawi dalam salah satu bercermah
dalam program Ilir Ilir JTV.
78
5 Ustadz Aad sedang membawakan lagu dangdut di
tengah siaran dakwahnya, ditemani oleh grup musik yang senantiasa mendamppingi aktifitas dakwahnya.
80
6 Alunan Musik Hadrah Al-Banjari mengiringi Siaran
Dakwah JTV dalam program Ilir-Ilir.
80
7 & 8 Khalayak/ audience yang selalu dijadikan sebagai
sorotan kamera para Kru JTV untuk menarik iklan dalam siaran dakwah Ngaji Blusukan JTV.
81
9 Audiens yang dihadirkan di studio 85
10 Audiens terlihat dalam program dakwah JTV Ilir-ilir
yang dilibatkan secara aktif untuk meningkatkan
performance share dan rating
85
11 & 12 Beberapa Contoh Produk Yang Menjadi Brand Iklan
Utama di Siaran Dakwah JTV
87
13 Pembawa Acara/host siaran dakwah JTV, Noto Ati,
sedang melakukan campaign produk penyedap makanan
88
14 Iklan KPU Jawa Timur untuk mensosialisasikan Pemilu
Nampak pada siaran dakwah, Ngaji Blusukan
(12)
15 Iklan sarung atlas pernah menjadi sponsor yang pernah terikat kontrak cukup panjang dengan siaran dakwah di JTV
(13)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan dakwah merupakan aktifitas komunikasi yang dapat digolongkan
sebagai perintah agama yang mempunyai orientasi penyampaian ajaran Islam,
walaupun tidak bisa diartikan bahwa setiap komunikasi adalah dakwah. Namun,
dakwah merupakan proses berkomunikasi antara komunikator dengan komunikan1
yang mempunyai orientasi terhadap pengenalan dan pemahaman ajaran agama Islam.
Sehingga, proses dakwah tak lain adalah proses berkomunikasi yang mempunyai
tujuan utama untuk menyampaikan ajaran agama Islam dengan tujuan agar
diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari.2
Seruan kebaikan, apalagi dalam konteks penyebaran dan pemahaman
keagamaan, lazimnya akan berjalan lebih efektif jika disesuaikan dengan karakter
masyarakat yang menjadi obyek dakwah tersebut. Misalnya, dakwah wali songo yang
menggunakan media wayang, gamelan dan tembang macapat merupakan sebagian
contoh keberhasilan yang pernah dilakukan para mubaligh tanah Jawa tersebut dalam
melakukan proses Islamisasi namun tetap mempertimbangkan karakter dan kultur/
budaya masyarakat Jawa. Jadi, penggunaan media merupakan sebuah usaha kreatif
agar proses berkomunikasi dalam kegiatan dakwah mampu berjalan dan menjadi lebih
efektif dan “membekas”, karena selaras dengan karakter masyarakat.
Metode berdakwah dengan menggunakan media merupakan salah satu wujud
1 Dalam ilmu dakwah komunikator bisa dipadankan sebagai da’i/pendakwah/muballigh, sedangkan komunikan adalah para mad’u/jamaah.
(14)
adaptasi yang harus dilakukan para da’i terhadap fenomena dan keadaan sosial yang
terus berkembang. Dengan demikian, proses mendayagunakan media dalam proses
dakwah merupakan tawaran yang penting demi tercapainya tujuan dakwah secara
efektif dan diminati oleh khalayak.3
Dakwah Islam dengan menggunakan media, merupakan salah satu bentuk
aplikasi strategis bagi kaum muslim tentang perlunya melakukan syi’ar Islam dengan
jangkauan yang lebih luas, sehingga diharapkan mampu untuk menarik animo
masyarakat umum untuk mendengarkan seruan-seruan ajaran Islam. Proses
penggunaan media dalam dakwah, sejatinya merupakan proses inovatif dalam
melakukan dakwah agar “pesan hikmah” yang disampaikan bisa tersampaikan dengan
baik dan maksimal. Salah satu usaha yang relevan agar dakwah pada masa kini tidak
tergerus oleh perkembangan zaman, adalah dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Proses dakwah dengan menggunakan media teknologi seperti radio,
internet dan televisi yang kian ramai saat ini, harus tetap dipertahankan eksistensinya
sebagai usaha agar ajaran Islam tetap bertahan serta relevan dalam setiap waktu dan
tempat, apalagi di zaman globalisasi yang menuntut demikian.
Kenyataan di atas sangat penting untuk disadari, mengingat dakwah
merupakan kunci utama penyebaran ajaran Islam, sehingga eksistensinya tidak
dapat menghindari munculnya fenomena globalisasi. Dengan menggunakan media
televisi dan internet yang kini semakin banyak digandrungi, dakwah kian efektif
untuk melakukan ekspansi lebih luas di kalangan masyarakat yang tak terbatas
jumlahnya. Di antara ciri dari globalisasi adalah pesatnya perkembangan ilmu
(15)
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terutama teknologi komunikasi dan
informasi.4 Derasnya arus informasi yang kian tak terbendung sebagai efek
samping dari globalisasi tersebut, berkonsekuensi pada makin tak tersaringnya
informasi yang masuk/diterima oleh masyarakat umum. Sehingga berakibat pada
ketidak-berdayaan masyarakat yang sulit untuk melakukan pemilahan informasi
yang positif atau negatif.5 Hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia) telah memberikan sanksi atas siaran-siaran yang terbukti tidak
menjunjung tinggi informasi yang positif/merugikan pihak lain, di sisi lain, KPID
Jawa Timur juga sering melakukan pendidikan media (literasi media) kepada
masyarakat agar lebih selektif dalam memilih siaran yang edukatif dan bermanfaat.
Kebijakan-kebijakan yang dicontohkan di atas menjadi sangat penting
mengingat pada kurun waktu dua dekade terakhir ini, televisi telah menjelma
menjadi salah satu bentuk media massa banyak menarik minat masyarakat.
Beberapa indikasi bahwa televisi merupakan salah satu media masa yang tengah
berhasil menempati hati masyarakat adalah, selain harganya yang relatif murah,
televisi juga mampu menyuguhkan beragam tontonan yang dibutuhkan masyarakat
untuk mengikuti perkembangan zaman, ataupun yang paling sederhana digunakan
sebagai hiburan penghilang penat. Indikasi selanjutnya adalah, saat ini sulit sekali
menemukan sebuah keluarga yang dirumahnya tidak ada televisi.
4Rahman Kaoey, Pedoman Pelaksanaan Dakwah Islam (Yogyakarta: Penerbit AK Group Yogyakarta, 2006), 63.
5Nicholas Carr, seorang penulis buku-buku tentang teknologi, bisnis dan budaya dalam karyanya yang berjudul The Shallows menjelaskanbahwa teknologi (media) hanyalah alat, yang tidak berdaya sampai kita menggunakannya, dan tidak berdaya lagi saat kita menyingkirkannya. Carr menegaskan bahwa, manusia saat ini sangat erat dan lekat sekali dengan pengaruh terhadap teknologi media.Selengkapnya, Nicolas Carr, The Shallows (Bandung: Mizan, 2011), x.
(16)
Dalam konteks penyiaran televisi, terdapat regulasi yang salah satu amanah
dari undang-undang penyiaran adalah didirikannya lembaga penyiaran lokal yang
siarannya terbatas pada satu area layanan tertentu.6 Misalnya pada tahun 2007,
Menteri Komunikasi dan Informatika telah mengeluarkan pengumuman tentang
periodesasi pendaftaran lembaga penyiaran di Jawa Timur. Lembaga-lembaga
penyiaran, baik televisi maupun radio, harus mendaftarkan-ulang permohonan
ijinnya agar diproses lebih lanjut sampai dikeluarkannya Ijin Penyelenggaraan
Penyiaran. Ketika itu, tercatat sekitar 420 lembaga penyiaran radio dan 102
lembaga penyiaran televisi mengajukan ijin penyelenggaraan penyiaran, termasuk
lembaga penyiaran televisi lokal.7 Dari jumlah itu tidak semuanya memenuhi
persyaratan. Sudah 34 lembaga penyiaran televisi lokal yang diproses ijin
penyiarannya.8
Di Surabaya saja, ada 22 televisi yang bersiaran. Mereka ada yang berpusat
di Jakarta dan Surabaya yang memiliki jaringan di beberapa daerah. Ada yang
berdiri sendiri sebagai televisi lokal yang tidak berjaringan dan hanya bersiaran di
Surabaya. Televisi-televisi yang berpusat di Jakarta adalah RCTI, SCTV,
INDOSIAR, TRANS TV, TRANS7, ANTV, TV One, Metro TV, MNC TV, Global
TV, I-News TV dan TVRI Program Nasional. Belakangan, jumlah itu bertambah
dengan mengudaranya Kompas TV, RTV dan NET.TV. Sedangkan televisi yang
6Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 6 ayat 3.
7Database pendaftaran lembaga penyiaran KPID Jawa Timur periode 21 Oktober-21Desember 2007.
8Data diperoleh dari KPID Jawa Timur yang menguraikan jumlah lembaga penyiaran yang sudah berproses. Tahapan proses perijinan sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 28 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Penyiaran ada beberapa tahap, diantaranya mulai dari Pengajuan Proposal Permohonan, Verifikasi Administratif, Verifikasi Faktual, Rekomendasi Kelayakan (RK), Ijin Stasiun Radio (ISR), Ijin Penyiaran, Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS) dan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).
(17)
berpusat di Surabaya dan memiliki jaringan di beberapa daerah adalah JTV, TV9
dan BBS TV. Sementara itu, ada satu televisi yakni Surabaya TV berjaringan
dengan BALI TV dan berpusat di Denpasar, Bali. Televisi-televisi yang berdiri
sendiri di Surabaya dan tidak memiliki jaringan tinggal Arek TV saja.9
Munculnya beragam saluran televisi di atas merupakan dampak dari
reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Di era ini, pers mempunyai kebebasan
berekspresi seluas-luasnya, sehingga tak ayal muncul bermacam channel televisi,
yang sebelumnya hanya satu macam, yakni TVRI.10 Semaraknya saluran televisi di
atas, juga merupakan konsekuensi logis dari terbukanya kran demokrasi pasca
reformasi. Sehinggga, kuatnya arus informasi menjadi kebutuhan yang sangat vital
sebagai bentuk media komunikasi massa yang sebelumnya berjalan dengan penuh
tekanan dan intervensi dari pemerintah rezim orde baru.
Di sisi lain, kenyataan semakin bervariasinya stasiun televisi telah memberikan
arus informasi yang cepat mengenai segala hal yang sedang terjadi. Sehingga, lambat
laun informasi menjelma menjadi suatu hal yang kini dibutuhkan oleh masyarakat.
Bahkan, Agus Sudibyo menyatakan bahwa masyarkat dewasa ini hidupnya sangat
tergantung pada ketersediaan akses media massa sebagai penyuplai informasi.11 Dalam
konteks kebutuhan informasi yang sangat banyak dan kian tak terbendung inilah, siaran
dakwah menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat guna mendapatkan akses
informasi yang bernilai positif dan edukatif.12 Sehingga, dalam konsteks dakwah yang
denyut keberadaannya berjalan seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi
9Database Perijinan KPID Jawa Timur tahun 2011.
10Budi Hariono, Dalam Bingkai Media Massa, (Surabaya: Papyrus, 2004), xvi. 11AgusSudibyo, EkonomiPolitik Media Penyiaran, (Yogjakarta: Lkis, 2004), v. 12Hamidi, Op. Cit., 16.
(18)
informasi, dituntut model dakwah melalui media televisi yang lebih masa kini (up to
date), variatif dan kreatif.13 Siaran dakwah di televisi secara tak sadar telah
menciptakan ruang sosial baru yang tidak memiliki batas, baik secara geografis,
perbedaan tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, agama, politik, maupun
sosial-budaya.14 Sehingga saat ini menjadi lumrah di tengah masyarakat, dakwah tidak lagi
dikemas secara konvensional dengan ceramah satu arah dengan berdiri di podium atau
panggung, namun fenomena dakwah yang terjadi di stasiun televisi saat ini lebih
dikemas secara lebih kreatif dan inovatif agar terlihat lebih menarik dan diniminati oleh
masyarakat. Seperti melalui lagu-lagu religi, gaya berpakaian (fashion-style), termasuk
ceramah yang ditampilkan dalam media-media televisi harus selalu “dituntut” untuk
memenuhi selera masyarakat modern.
Animo masyarakat terhadap ketersediaan akses media massa yang kian banyak,
serta penayangan program siaran dakwah yang sudah menjadi salah satu program di
semua stasiun televisi, merupakan indikasi bahwa saat ini siaran dakwah berhasil
mendapatkan tempat di hati masyarakat. Misalnya saja siaran dakwah Mama dan Aa’
dan Islam itu Indah yang mencapai ratusan episode, merupakan bukti bahwa siaran
dakwah di televisi, mampu menarik minat publik. Realita ini tentunya berkonsekuensi
pada tuntutan dunia pertelevisian untuk melakukan inovasi penyiaran dalam
penyampaian dakwah sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, atau dalam
istilah komersialnya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pasar.
13Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah (Bandung: Rosdakarya, 2010), 93.
14Dalam memperhatikan konteks kelas sosial ini, Wahyu Ilahi menyarankan seorang da’i agar pada setiap ceramahnya mempertimbangkan hal-hal terkait rata-rata usia, pekerjaan, background
pendidikan, kecenderungan masyarakat, dsb. Hal ini menurutnya merupakan strategi agar dakwah lebih mengena di hati pada mad’u (pendengar). Selengkapnya dalam Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Rosdakarya, 2010), 97-99.
(19)
Maraknya siaran dakwah di atas, menunjukkan semakin eratnya hubungan
interaktif antara agama, masyarakat dengan media massa yang meningkat dari
waktu ke waktu. Hal ini mengingat televisi saat ini tak lagi dipandang sebagai
produk dari perkembangan alat telekomunikasi semata, namun eksistensinya
sebagai alat komunikasi massa yang cukup efektif memberikan ruang informasi
dengan cakupan yang lebih luas.15
Edukasi kepada publik merupakan salah satu peran yang harus dijalankan
terhadap semua bidang kehidupan, termasuk media massa, dalam konteks ini televisi.16
Maka tak heran, seperti yang dicontohkan di atas, siaran dakwah dewasa ini telah
menjadikan program siaran televisi mempunyai tempat tersendiri di hati masyarakat.
Kenyataan tersebut dapat diindikasikan dari program siarannya yang tetap berlangsung
dan makin variatif sampai saat ini.
Penanyangan program dakwah di televisi, juga telah terbukti berhasil menjadi
media pendidikan bagi masyarakat luas. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya
program-program dakwah yang di dalamnya terdapat sarana konsultasi atau tanya
jawab, baik pertanyaan yang disampaikan oleh pembawa acara, hadirin di studio, atau
yang berada di rumah dengan bertanya melalui telepon maupun media lain yang
menghubungkan antara pemirsa dengan narasumber di televisi.17 Maraknya program
15Muis, Komunikasi Islami (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 188. 16Ibid., hal. 11.
17Tayangan dakwah di beberapa stasiun TV sengaja tidak hanya monolog atau hanya penceramah dengan pembawa acara saja, melainkan juga dengan menghadirkan jamaah pengajian atau audiens yang lain. Sebagai contoh program “Islam Itu Indah” di TRANS TV, “Mamah dan Aa’” di Indosiar serta “Hati ke Hati bersama Mamah Dede” yang konsep acaranya sama persis antara ANTV dan Indosiar. Program-program tersebut membawa serta audiens yang dalam hal ini adalah kelompok Majelis Ta’lim ke studio televisi untuk mengajukan pertanyaan atau berdialog. Tidak jarang, pertanyaan juga disampaikan oleh pemirsa di rumah melalui telepon apabila acara yang ditayangkan dalam bentuk siaran langsung/live.
(20)
dakwah di televisi, baik nasional maupun swasta telah menjadi fenomena tersendiri
yang harus diperhatikan dan diteliti keberadaannya. Kini, sulit sekali mencari stasiun
televisi yang tidak menayangkan program dakwah.
Di stasiun televisi yang ada di Surabaya saja bisa disebutkan beberapa program
acara dakwah. TV9 memiliki program acara dakwah paling banyak. Diantaranya,
“Kiswah”, “Kiswah KH Abdurrahman Navis”, “Kiswah Event”, “Shallu Alan
Nabi”, “Inspirasi Fatayat”, “Bukan Sekedar Kuliner”, “Bengkel Keluarga Sakinah”,
“Apa Kata Bu Nyai”, “Nderes Kitab Kuning”, “Kembang Tasawuf Gus Kahar” dan
“Ahad Doa”. Sedangkan di BBS TV/Bios TV ada program dakwah yang berjudul
“Sahabat Fajar” dan “Diary Hijab”. Sementara di Surabaya TV ada program
dakwah berjudul “Penyejuk Hati”. Di TV lain, yakni Arek TV, diproduksi acara
dakwah dengan judul “Aura Muslimah”. Belum lagi yang ada di TV-TV Jakarta
yang bersiaran di Surabaya.
Melihat ramainya program-program dakwah yang mulai mewarnai media
televisi pada kurun waktu satu dekade terakhir, membawa kepada dua kesimpulan
sementara yang amat penting untuk didalami dengan serius. Pertama, kebutuhan
masyarakat luas terhadap pencerahan-pencerahan berbasis agama, sebagai tawaran
solusi dari maraknya kondisi bangsa yang kian tak menentu. Kedua, berhasil
ditangkapnya kecenderungan masyarakat oleh manajemen produksi stasiun TV
terhadap siaran dakwah dengan indikasi kian menggeliatnya dan maraknya siaran
dakwah. Tentu saja, kedua kesimpulan di atas perlu diberikan dasar argumentasi
yang ilmiah, sehingga menghasilkan output kajian yang valid dan dapat
(21)
Lebih jauh lagi, bahwa televisi – sebagaimana ditulis Robin Brown -,
memiliki dampak yang luar biasa. Ia bisa menjelajah dari perkotaan hingga ke
pedesaan tak pandang usia dan strata sosial, bahkan keberadaannya mampu
merangsek di dalam ruang privat sekalipun.18 Sehingga tak heran jika Raymond
Williams menyebut bahwa televisi merupakan teknologi komunikasi massa, karena
cakupannya yang begitu luas dan tak kenal ruang dan waktu. Oleh karena itu,
keberadaan tayangan dakwah di media televisi dirasakan perlu.
Indikasi tentang pentingnya siaran dakwah ini merupakan akibat dari
acara-acara televisi yang sering menyuguhkan siaran hiburan (entertainment) yang makin
tak mendidik, tidak jelas arah informasi/pesan yang disampaikan serta lebih banyak
muara hedonisnya. Sehingga, diharapkan dengan adanya program dakwah dapat
menjawab dan merespon berbagai persoalan yang timbul di masyarakat.
Selanjutnya, berbicara dalam konteks dakwah televisi, maka salah satu
standar teknis keberhasilan program televisi bernuansa religius dapat
dikategorisasikan ke dalam dua hal. Pertama, dengan melakukan Dominasi Format
(format dominant). Hal ini berarti konsep acara merupakan kunci keberhasilan
program. Sedangkan kedua adalah Dominasi Bintang (star dominant), yakni sebuah
program yang lebih mengedepankan para bintang sebagai pemain/pengisi acara. 19
Meski demikian, ada satu hal yang cukup esensial yang diabaikan dalam dunia
dakwah, yakni dominasi materi (content dominant). Dominasi yang disebut terakhir
18Robin Brown dalam Boundaries in Question, editor: John McMillan dan Andrew Linklater, (USA: Pinter Publisher’s London & New York, 1995), hal. 54.
(22)
ini, jika tidak diperhatikan dalam siaran dakwah di televisi, maka akan berimbas
pada hilangnya esensi dakwah itu sendiri.
Beberapa contoh yang muncul akibat persoalan content dominant
disepelekan bisa dilihat misalnya munculnya komplain atau protes dari sejumlah
pihak terkait dengan konten dakwah yang disampaikan. Misalnya dalam kasus
ketika ustadz Nur Maulana membahas kepemimpinan. Bahkan, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sampai turun tangan memanggil dan mengklarifikasi. Sudah
menjadi pengetahuan umum, jika program “Islam Itu Indah” yang ditayangkan oleh
Trans TV di pagi hari ini menyuguhhkan serangkaian kegiatan dakwah yang diasuh
oleh Ustadz Nur Maulana dengan mengedepankan sisi hiburan (entertainment)
daripada materinya. Hal ini sangat wajar jika dilihat dalam perspektif komersil yang
menuntut semua program harus menghibur dan menarik. Tapi, di sisi lain jika
dilihat dalam konteks dakwah Islam, maka akan mengakibatkan kekaburan makna
dan nilai, bahkan sampai melahirkan “benturan sosial” yang cukup serius.
Benturan sosial lainnya juga bisa muncul tidak hanya dalam program
dakwah yang isinya ceramah. Program religi20 lainnya, yakni Khazanah yang
disiarkan di Trans7 juga pernah dilaporkan kelompok yang mengatas-namakan
Sarjana Kuburan (Sarkub) terkait content yang disampaikan. Pun demikian dengan
program religi “Berita Islam Masa Kini atau Beriman” yang tayang di Trans TV
yang sempat diadukan banyak pihak lantaran kontennya yang tidak diperhatikan
20 Dalam penelitian itu, dibedakan antara program dakwah dan program religi. Program dakwah dalam penelitian ini dimaknai sebagai siaran yang mempunyai muatan proses dakwah dengan komposisi aktifitas siaran terdiri dari ustadz (mubaliigh) dengan jamaah (audiens). Adapun program religi, dimaknai sebagai siaran televisi yang mempunyai muatan religius dalam content
(23)
dengan seksama. Di program-program yang diprotes tersebut, tampak jelas pihak
kreatif TV yang bersangkutan menyelipkan nilai-nilai ajaran Islam yang tidak
sesuai dengan komunitas muslim mayoritas di Indonesia. Misalnya tentang
haramnya mengirim al-Fatihah kepada orang yang sudah meninggal, haramnya
ziarah kubur dan bacaan sholawat, dan lain sebagainya. Konsep dakwah yang
dikemas layaknya acara gosip dengan dilengkapi dengan video ilustrasi tersebut,
sempat mendapatkan kecaman yang keras di media sosial, sehingga berujung pada
pemanggilan dan evaluasi oleh KPI.
Kedua realitas tersebut memberikan beberapa kesimpulan penting tentang
fenomena dakwah di televisi. 1) samakin diminatinya program dakwah, sehingga
berimbas pada merebaknya siaran dakwah di televisi, yang beberapa programnya
telah menghasilkan ratusan episode. 2) karena mempunyai orientasi komersial,
televisi agar bisa menarik animo publik lebih memilih pendakwah yang dianggap
dapat menghibur dan menarik 3) televisi, karena tujuan utamanya adalah
komersialisasi segala macam produk siaran, berimplikasi pada sisi prosentase
muatan hiburan (entertainment content) yang mendominasi dibanding dengan
substansi dakwah itu sendiri.
Jika hipotesis di atas tepat, maka akan terdapat dua unsur perspektif yang
sulit dipertemukan dalam konteks dakwah melalui media televisi, yakni unsur
pertunjukan/hiburan (show) dan unsur (substansi) content materi dakwah yang
disampaikan. Jika hanya mengedepankan elemen show saja maka bisa jadi materi
yang disampaikan dalam program acara dakwah di televisi tidak akan mendalam.
(24)
yang mendalam sementara unsur show dikesampingkan, maka dikhawatirkan
jumlah penonton tidak akan banyak. Sehingga sasaran dakwah juga tidak bisa
maksimal.
Melihat fenomena di atas, maka dirasa perlu membuat sebuah riset/kajian
tentang kecenderungan siaran dakwah yang pada satu dekade ini kian ramai
menghiasi stasiun televisi. Dengan beragam kemasan dan materi dakwah, content
yang dihasilkan dari produksi siaran dakwah di televisi ternyata memiliki orientasi
ganda. Di satu sisi dakwah dianggap sebagai panggilan agama untuk melakukan
syiar ajaran agama, namun di sisi lain, aktifitas dakwah bahkan pendakwahnya
dijadikan tunggangan komersil bagi media penyiaran untuk meraup keuntungan
sebanyak-banyaknya melalui aktiftas dakwah sekaligus figur da’inya. Fenomena
inilah yang akan dikaji dalam penelitan kali ini.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Hampir semua televisi lokal di Surabaya menyiarkan program-program
dakwah Islam. Program dakwah itu ditayangkan secara reguler, mulai dari harian,
mingguan sampai dengan pada momen-momen tertentu. Pada umumnya program
dakwah di televisi dilengkapi dengan beragam aksesoris dan ornamen pendukung
dengan harapan mengundang banyak penonton, dan juga iklan. Meskipun sebagai
program dakwah, namun di satu sisi media penyiaran televisi adalah sebuah entitas
industri yang tetap harus dijaga, dipertahankan dan dikembangkan
keberlangsungannya. Hal itu berarti sebuah program acara, apapun jenisnya,
(25)
selama tayangan berlangsung. Jumlah penonton akan berpengaruh pada jumlah
iklan yang masuk.
Persinggungan antara dakwah, masyarakat dan media televisi inilah yang
akan dijadikan sebagai fokus penelitian dengan harapan agar riset yang dilakukan
tidak melebar dalam pembahasannya.
Selain itu, dengan mempertimbangkan waktu, kemampuan dan
keterjangkauan, maka pengkajian penelitian ini nantinya akan berfokus pada
program acara dakwah Islam di televisi lokal Surabaya dengan mengambil obyek
kajian stasiun televisi JTV. Stasiun televisi ini dijadikan bahan kajian karena sejak
berdiri 10 tahun yang lalu hingga saat ini konsisten membuat dan menayangkan
program-program acara dakwah.Selain itu, JTV adalah stasiun televisi lokal yang
saham dan manajemennya ditangani oleh sumberdaya lokal. Bahkan, program
acaranya juga disesuaikan dengan bahasa dan karakter lokal Surabaya. Alasan
terakhir adalah, JTV merupakan stasiun televisi yang tidak mengkhususkan diri
pada tayangan dakwah atau program-program religi. JTV adalah stasiun televisi
yang memiliki format umum, dengan mengambil target penonton di semua segmen.
Sehingga, tipikal seperti JTV pasti akan banyak kemiripannya dengan stasiun
televisi lain, baik di daerah maupun di ibukota.
C. Rumusan Masalah
Inti permasalahan yang sedang diteliti adalah dakwah Islam yang dibingkai
dalam media penyiaran televisi lokal di Surabaya. Untuk memudahkan, maka
ditentukan beberapa pertanyaan yang mengarah pada permasalahan-permasalahan
(26)
1. Mengapa tim kreatif JTV mengemas acara dakwah Islam secara menghibur
(entertain)?
2. Bagaimana proses dakwah menghibur (entertainment) ini dijalankan?
3. Faktor apa saja yang melatarbelakangi dimasukkannya unsur hiburan
(entertainment) dalamprogram dakwah di JTV?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dibuat, tak lain untuk memberikan pengetahuan
tentang hasil-hasil analisa data yang termaktub dalam identifikasi dan rumusan
masalah yaitu:
1. Untuk mendeskripsikan alasan utama JTV/tim kreatif JTV menyajikan siaran
dakwah secara menghibur (entertain).
2. Untuk menggambarkan proses siaran dakwah dengan nuansa hiburan
(entertaintment ) dijalankan.
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang melatar belakangi dijadikannya hiburan
(entertainment) dalam program dakwah di JTV.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini tentu saja akan memberikan manfaat/kegunaan dalam
khasanah keilmuan kepada beberapa pihak, diantaranya yang bisa disebutkan yaitu:
1. Secara akademis:
a. Menambah khasanah ilmu dalam bidang dakwah di dunia media massa,
khususnya televisi.
b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran sebagai landasan penelitian
(27)
c. Mendapatkan data dan fakta mengenai pelaksanaan dakwah Islam dalam
siaran televisi-televisi lokal di Surabaya
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat :
a. Sebagai bahan rujukan masyarakat umum, terutama para da’i untuk
melakukan dakwah di stasiun televisi tanpa mengurangi substansi dakwah
itu sendiri.
b. Memberikan masukan bagi televisi-televisi lain dalam memproduksi
program acara dakwah sehingga tidak lepas dari tujuan dakwah.
c. Dijadikan pedoman, indikator-indikator dan rambu-rambu kepada para da’i
yang akan memanfaatkan media televisi sebagai sarana dakwahnya.
F. Sistematika Penelitian
Sistematika pembahasan dalam penelitian kali ini, terdiri dari lima bab yang
antara satu dengan yang lain memberikan penjelasan berdasarkan tema yang dikaji,
namun tetap saling berhubungan antara satu dengan yang lain.
Tesis ini terdiri atas 5 Bab yang diawali dengan dengan Bab I : Pendahuluan,
yang akan menjelaskan landasan pemikiran/kegelisahan akademik yang dituangkan
dalam Latar belakang. Kemudian, dilanjutkan dengan melakukan Identifikasi dan
Batasan Masalah, dalam rangka mencari titik fokus penelitian yang nantinya akan
diimplementasikan melalui Rumusan Masalah, dan Tujuan Penelitian. Pada bab ini
juga diketengahkan egunaan/manfaat dari penelitian ini.
Selanjutnta Bab II: Kajian Pustaka, akan dideskripsikan mengenai
tema-tema kunci yang akan menjadi pisau analisa untuk membedah obyek penelitian
(28)
berkaitan dengan wacana keilmuan yang mempunyai hubungan inter-konektif
terhadap obyek penelitian. Adapun teori yang akan dikaji pada kajian pustaka kali
ini adalah tentang teori Ekonomi Politik Media, yang menjadi bagian integral dari
eksistensi sebuah program siaran di sebuah stasiun televisi.
Pada bab selanjutnya, yakni Bab III : Metode Penelitian, akan diulas tata
cara dan prosedur-prosedur penelitian yang dilakukan. Termasuk alasan-alasan
yang mendasar kenapa metodologi tersebut dipakai dalam penelitian ini, seperti
teknik pengambilan sample, pengolahan dan analisa data dan sebagainya. Sehingga
penelitian ini bisa dilakukan sesuai dengan konsep-konsep dan pedoman ilmu
pengetahuan.
Kemudian pada Bab IV : Analisa dan Pembahasan Hasil Penelitian akan
menguraikan tentang hasil dari proses penelitian yang sudah dilaksanakan.
Diantaranya, tentang hasil pengambilan sample, hasil wawancara, hasil
pemantauan/perekaman dan hasil pengolahan data yang dilakukan selama 1 bulan
yang selanjutnya dianalisa menggunankan kacamata teori ekonomi politik media.
Penutup adalah Bab V. Bab ini akan berisi tentang kesimpulan dari hasil
penelitian yang dilakukan dengan konsep-konsep teori yang sudah dipilih. Dalam
bab ini akan dilakukan judgement terhadap fakta yang diangkat menjadi obyek
penelitian. Selain itu, juga diberikan beberapa saran dan masukan atas persoalan
(29)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Televisi Lokal: Terobosan Media Informasi Elektronik Berbasis Lokalitas
Di Jawa Timur, sejak delapan tahun terakhir, tercatat lebih dari 400 lembaga penyiaran yang mengajukan izin penyelenggaraan penyiaran kepada KPID Jatim, namun setelah dilakukan pemeriksaan teknis administrasi, tak lebih dari 34 televisi yang lolos dan menjalani proses perijinan. Stasiun-stasiun televisi tersebut, antara lain; JTV, SBO TV, Arek TV, TV9 dan BBS TV. Mereka adalah lembaga penyiaran televisi lokal Surabaya. Televisi-televisi yang berdiri sendiri di Surabaya dan tidak memiliki jaringan tinggal Arek TV dan SBO TV saja.1 Sedangkan lainnya memiliki jaringan, umumnya di Jawa Timur.
Televisi lokal, sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Penyiaran Tahun
2002, harus memuat konten lokal yang berbasis pada kearifan lokal (local wisdom)2dengan
porsi yang lebih besar. Seni budaya tradisional setempat, karakter dan corak keberagamaan di daerah tersebut juga menjadi perhatian dan pertimbangan cukup besar bagi pemilik televisi. Tentu saja amanah Undang-undang tersebut memberikan isyarat bahwa media massa diharapkan mampu menjadi media sosialisasi kebudayaan sebagai kekayaan lokalitas yang menjadi karakter masyarakat setempat untuk selalu dilestarikan.
1Merujuk pada Database Perijinan KPID Jawa Timur tahun 2011, lebih lengkap rujuk pada BAB I.
2Local wisdom sering juga disebut sebagai kearifan lokal yang dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi bahwa wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’.
(30)
Media penyiaran televisi lokal agar menjadi sebuah saluran televisi yang tetap diminati oleh publik dan terus berkembang sesuai dengan basis lokalitas yang menjadi karakter khasnya, maka yang harus dipererhatikan pihak TV adalah prinsip-prinsip dasar yang mampu untuk mempertahankan ciri khas stasiun televisi lokal tersebut. Prinsip-prinsip itu terdiri dari:3
1. Prinsip Kebebasan Berekspresi
Kebebasan berekspresi merupakan sebuah prinsip yang menomor-satukan dan mengimplementasikan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pertimbangan utama. Tanpa pertimbangan HAM, maka kebebasan berekspresi menjadi hal yang mustahil. Dalam prinsip kebebasan berekspresi terangkum di dalamnya kebebasan lain, antara lain kebebasan berpendapat, kebebasan pers serta kebebasan memperoleh dan memproduksi informasi. Kebebasan semacam ini telah dilegitimasi secara kontitusional melalui konsiderans MENIMBANG dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyakat, berbangsa dan bernegara. Tentunya, hal ini harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, selaras, seimbang antara kebebasan dengan kesetaraan menggunakan hak. Sehingga, kebebasan berekspresi dalam prinsip ini bukan bermakna bahwa pelaku penyiaran bebas melakukan penyiaran sesuai keinginanya pribadi, melainkan mereka merdeka untuk memfasilitasi
3Agus Sudibyo, Op. Cit. hal. xvi
(31)
masyarakat dalam menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui media penyiaran.
2. Prinsip Frekuensi Milik Publik4
Spektrum frekuensi yang digunakan oleh televisi lokal sebagai medium penyiaran bukanlah milik pengusaha/perusahaan media penyiaran, melainkan milik publik seperti halnya kekayaan alam. Sehingga, barang/materi/ hal-hal yang bersifat tak terbatas harus dilindungi oleh pemerintah sebagai representasi publik.
3. Prinsip Demokrasi
Jika prinsip demokrasi di ranah politik terwujud melalui sistem multipartai yang mencerminkan beragam persepktif ideologi politik dan komunitas, maka di ranah penyiaran televisi lokal dijalankan dengan sistem keragaman isi
(diversity of content) dan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership).
Semakin beragam isi siaran sesuai target segmen pemirsa yang disasar, dan semakin meluasnya distribusi kepemilikan media penyiaran, maka akan semakin demokratislah ranah penyiaran tersebut.5
Prinsip-prinsip lokalitas inilah yang menjadi salah satu prasyarat khusus terhadap televisi-televisi lokal. Tujuannya seperti yang dijelaskan pada poin terakhir diatas, yakni agar terciptanya keragaman kepemilikan dan yang lebih penting lagi adalah keragaman isi/muatan. Konsep keragaman kepemilikan
(diversity of ownership) merujuk pada tujuan agar di masing-masing daerah terjadi
4Ibid, xvii
(32)
sentral-sentral perekonomian yang peningkatannya juga didukung oleh keberadaan media televisi. Dengan demikian, percepatan perekonomian antar satu daerah dengan daerah yang lain tidak akan timpang terlalu jauh.6
Kedua konsep di atas telah menegaskan bahwa televisi merupakan lembaga penyiaran yang dewasa ini memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam masyarakat, sehingga lembaga penyiaran tersebut mempunyai kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan perannya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan serta kontrol dan perekat sosial.3 Lembaga penyiaran khususnya televisi menggunakan kekayaan publik berupa spektrum frekuensi sebagai pendukung bekerjanya kegiatan penyiaran. Dalam penyiaran terdapat prinsip demokratisasi yang terimplementasikan ke dalam konsep keragaman kepemilikan dan keragaman isi sebagai manivestasi nilai-nilai Pancasiladan UUD1945.
Media penyiaran merupakan industri yang padat modal, padat kepentingan dan padat kekuasaan (power). Jika tidak diatur kepemilikannya, maka akan terjadi
konsentrasi kepemilikan. Semangat Undang–undang Penyiaran, sebagai Undang– Undang yang lahir pasca reformasi, terkait dengan kepemilikan media adalah anti monopoli. Ini berhubungan erat dengan pentingnya regulasi penyiaran yang
6Dalam kaitannya dengan keberagaman pemilik (diversity of ownership), Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memberikan ruang kepada siapapun untuk memiliki saham dan pengelolahan sebuah stasiun televisi. Misalnya, Pasal 17 ayat 2 menyatakan Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya tidak lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham. Sedangkan pada Pasal 17 ayat 3 menjelaskan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan. Selengkapnya lihat pada Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
(33)
menginginkan adanya persaingan yang sehat dan tidak adanya pemusatan kepemilikan pada satu atau beberapa orang.7
Diversity adalah konsep keberagaman atas dasar perbedaan-perbedaan,
seperti sosial, politik, gender, etnik dan ras.8 Kepemilikan dimaknai sebagai
seperangkat hak untuk menggunakan, mengelola sebuah benda termasuk hak untuk memberikan pada pihak lain. Kepemilikan berimplikasi pada hak penguasaan atas suatu benda. Kepemilikan tidak harus bermakna dominasi absolut, semakin seorang pemilik mengijinkan publik secara umum untuk menggunakannya maka semakin berkurang hak pemiliknya karena penggunaan benda tersebut oleh orang lain.9
Prinsip keragaman kepemilikan ditujukan agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan modal (capital) dalam lembaga penyiaran, serta saat bersamaan
diarahkan untuk mendorong adanya pelibatan modal dari masyarakat luas di Indonesia, apalagi dalam konteks televisi lokal, keterlibatan masyarakat dalam pengelolahan menjadi peluang yang sangat demokratis. Oleh karena itu prinsip keragaman kepemilikan menjadi prinsip dasar yang harus dipegang teguh untuk menciptakan sistem persaingan yang sehat, mencegah terjadinya monopoli dan oligopoli, serta memiliki manfaat ekonomi bagi masyarakat luas.10
Keragaman kepemilikan menjadi penting untuk menjamin adanya keadilan informasi yang tidak bias kepentingan “pemilik” suatu media. Selain tentu untuk
7IdyMuzayyad, Prinsip-Prinsip Pengaturan Kepemilikan Media Penyiaran, Hukum dan Etika Penyiaran, (Jakarta: Fakultas Ilmu Komunikasi MercuBuana, Jakarta, 2013), 1-3
8 Aminah, 2012, Media Diversity, Mata Kuliah Ekonomi Politik Internasional UniversitasMuhamadiyah (online), Jakarta, diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.
9Kuntari Angrani, Pengaturan Pemusatan Kepemilikan Lembaga Penyiaran Televisi Swasta Dalam Penggunaan Frekuensi Radio Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Skripsi, (Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012), 123.
10Ketentuan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia
(34)
mendorong pemerataan ekonomi bagi media penyiaran di daerah. Sikap kritis terhadap media penyiaran saat ini adalah munculnya dominasi media penyiaran yang hanya berpusat di ibu kota Jakarta dengan sasaran hampir seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini dirasa tidak adil dalam pembagian pendapatan iklan yang hanya dikuasai media di Jakarta.11
Salah satu esensi dari demokrasi lainnya adalah adanya jaminan kebebasan bagi munculnya berbagai ragam opini. Melalui prinsip keragaman konten/isi berarti menjamin keberagaman isi siaran, yang selaras dengan semangat dan eksistensi kultur bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralis, serta penyesuaiannya terhadap kekayaan-kekayaan kultural yang ada di sebuah daerah tertentu. Hal ini akan dapat secara efektif mengakomodir berbagai kelompok budaya, etnik, agama, ras dan golongan mempunyai posisi dan peluang yang sama dalam penyiaran.12
Konsep diversity of content dalam hal ini dapat diwujudkan dengan
keberagaman isi siaran. Tidak saja harus acara musik, berita politik, sinetron, komedi ataupun siaran dakwah yang mengisi acara televisi yang ada. Harus ada tayangan yang menginspirasi dan berisi acara atau berita lokal sehingga warga di seluruh Indonesia tidak harus terus menerus menonton acara yang berasal dari pusat.13
Dasar pemikiran tersebut membuat beberapa stasiun televisi lokal di Surabaya meluncurkan sebuah program yang bertajuk kearifan lokal khas Jawa Timuran, seperti seni budaya ludruk, campur sari, berita (news) yang ditampilkan
11Ade Armando, “Televisi Jakarta Di Atas Indonesia”, 2011 (Jakarta: Bentang), hal. 223. 12Ketentuan UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia
(35)
dengan bahasa daerah, program-program yang juga diistilahkan dengan bahasa “Suroboyoan” juga menjadi menarik untuk diamati, serta adanya fenomena menggeliatnya Kyai-kyai lokal yang mulai tampil di stasiun televisi sebagai bagian dari strategi penyiaran yang berbasis pola keberagamaan masyarakat Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya.14
Keberadaan penyiaran lokal khususnya televisi yang merupakan media massa audio visual harus diperkuat oleh skill insan penyiaran yang kreatif, secara
ekonomis lebih efisien karena tidak tergantung pada pusat (Jakarta). Adapun secara politik, relatif lebih demokratis karena sumber dan narasumber berita terdesentralisasi, dan dari sisi budaya lebih multikultur karena diskursus berita diproduksi oleh masing-masing perspektif televisi lokal.
Menengok kenyataaan bahwa ternyata televisi lokal bisa dikembangkan dan diterapkan di Indonesia, khususnya Jawa Timur, maka bukan hal yang mustahil Indonesia akan menjelma menjadi negara yang makin dewasa, terbuka dan demokratis melalui dunia penyiaran televisi sebagai ruang publik. Ruang publik, ketika masyarakat bisa berdiskusi dan bertukar kabar dengan bebas, cepat dengan basis lokalitas.15
14Misalnya saja program di JTV yang menayangkan program berita berbahasa daerah yang berjudul Pojok Kampung, Ludruk Kartolo, Kidung Rek.
(36)
B. Paradigma Baru dan Eksistensi Dakwah di Televisi
Istilah paradigma (paradigm) dewasa ini semakin banyak dipergunakan
untuk menjelaskan beragam wacana yang tengah berkembang. Thomas Kuhn– sebagaimana dikutip oleh Save M. Dagun – disinyalir menjadi orang pertama yang memopulerkan istilah ini.16 Paradigma sesungguhnya menunjuk pada suatu model, pola ideal, atau kerangka berfikir (konsep) yang dipergunakan sebagai cara atau alat dalam memandang atau mengkaji suatu masalah. Paradigma biasanya berisi premis-premis teoritik (filosofis) dan juga metodologis.17
Sebuah paradigma baru digagas dan dicanangkan lazimnya dimaksudkan untuk mengubah paradigma lama yang sudah usang atau tidak relevan lagi (out of date) untuk digunakan. Dengan paradigm baru inilah manusia menjadi makhluk
responsif/mudah beradaptasi di tengah gempuran peradaban sejarah yang kian berkembang. Perubahan paradigma inilah yang kini juga berlaku bagi dakwah di media televisi. Contoh paling sederhana adalah adanya paradigma baru program acara dakwah di media televisi yakni inovasi dan kreatifitas yang berdampak pada kemasan/performance.
Setidaknya, terdapat empat hal pokok yang menjadi indikasi perubahan paradigma dalam konteks dakwah televisi, yaitu; 1) pembaharuan menyangkut konsep dakwah, 2) perluasan dan penguatan jaringan/kerjasama dengan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang dakwah (seperti MUI, Ormas Keagamaan; NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan sebagainya), 3) penguatan dana primer
16Save M. Dagun, Kamus Besar Lima Pengetahuan.(Jakarta: Lembaga Kebudayaan Nusantara, t.t), hal. 23
(37)
(pihak manajemen televisi) dan sekunder (iklan) untuk mendanai program dakwah, dan 4) peningkatan kualitas dan kuantitas da’i dan da’iah, khususnya yang sudah populer di media televisi.18 Keempat hal pokok ini, dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, kemasan dakwah di media televisi, baik cara penyampaian pesan
dan juga materi dakwah setidaknya harus mengacu pada al-Qur’an dan hadith sebagai basis ajaran Islam yang otoritatif. Acuan ini, agar lebih menyadari bahwa dakwah dapat diidentifikasi sebagai panggilan dan aktualisasi iman yang merupakan perintah Allah,19 yang mempunyai orientasi sebagai upaya/proses menuju masyarakat berkualitas, dalam terminologi al-Quran dikenal dengan khairu
ummah.20 Dalam perspektif ini, maka dakwah pada dasarnya adalah usaha orang
beriman untuk mewujudkan sebuah tatanan yang lebih baik bagi semua aspek kehidupan, baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat, umat, dan bangsa. Sebagai aktualisasi iman, dakwah merupakan keharusan dan menjadi tugas penting dan suci bagi setiap muslim, setingkat dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki masing-masing. Sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW. yang menganjurkan untuk menyampaikan kebenaran dari Allah walaupun satu ayat.
Upaya mewujudkan cita-cita Islam yakni terwujudnya masyarakat yang baik, maka konsep dakwah yang harus dikembangkan, antara lain harus mengacu pada strategi komunikasi dan kemampuan menjelaskan ajaran agama dengan baik
18Aep Kusnawan. Komunikasi Penyiaran Islam.(Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 41.
19Dakwah sebagai aktualisasi iman bisa merujuk pada firman Allah dalam Q.S. al-Anfal :24 20Konsep sebaik-baiknya umat (khaira ummah), telah diungkap dalam al-Quran secara deskriptif tepatnya pada Q.S Ali Imron: 110.
(38)
(al-tabligh wa al bayan), pembudayaan dan sosialisasi nilai-nilai Islam dalam
kehidupan masyarakat (al-amr bi al-ma’ruf), dan kontrol sosial terhadap segala
bentuk kejahatan yang akan mengganggu dan merusak tatanan dannilai-nilai Islam
(al-nahyu ’an al-Mungkar), keteladanan prilaku (uswah hasanah), serta melalui
pergerakan (harakah) sebagai bagian integral dari proses dan kemasan dakwah
yang komperhensif serta responsif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman.21 Dengan demikian, dari beberapa konsep dakwah diatas, dakwah yang mempunyai orientasi sebagai lokomotif perubahan masyarakat harus mempertimbangkan dan memperhatikan keperluan dan kepentingan masyarakat yang menjadi objek atau sasaran dakwah (mad’u). Maknanya, bahwa dakwah yang
disiarkan melalui media televisi harus berorientasi pada kepentingan dan kemajuan masyarakat, yang dalam ilmu dakwah dikenal dengan istilah “mad’u centered
dakwah”. Berkaitan dengan hal inilah maka dakwah melalui media televisi di era
dewasa ini merupakan upaya untuk memberikan suguhan yang benar-benar enak, dan dibutuhkan umat serta dibungkus dalam kemasan yang menarik, sesuai kemajuan dan perkembangan masyarakat.22
Untuk itu, dakwah haruslah dikemas dengan metode yang tepat dan pas. Dalam arti dakwah harus tampil secara aktual, faktual dan kontekstual. Aktual dalam arti memecahkan masalah kekinian dan hangat di tengah masyarakat. Faktual dalam arti kongkrit dan nyata. Kontekstual dalam arti relevan dan menyangkut problema yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Oleh sebab itu, memilih cara dan
21Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qutub: Rekonstruksi Dakwah Harakah(Jakarta: Penamadani, 2006), hal. xxvii.
22Fatmawati, Paradigma Baru Mengemas Dakwah Melalui Media Televisi, Jurnal Komunika, STAIN Purwokerto, hal.6.
(39)
metode serta media yang tepat agar dakwah menjadi aktual, faktual dan konstektual menjadi bagianstrategis dari kegiatan dakwah itu sendiri. Untuk menyajikan kemasan dakwah yang menarik dan menggugah melalui media televisi, al-Qur’an surah an-Nah{l ayat 125 sudah menyampaikan beberapa rambunya:
äää
í
÷
Š
$
#
4
’
n
<Î
)
È≅‹Î
6
y
™
y
7În
/
u
‘
Ïπ
y
ϑõ3Ï
t
ø:
$
$
Î
/
Ïπ
s
à
Ï
ã
öθ
y
ϑø9
$
#
u
ρ
Ïπ
u
Ζ
|
¡
p
t
ø:
$
#
(
Οßγø9Ï
‰
≈
y
_
u
ρ
©É
L
©9
$
$
Î
/
}
‘Ïδ
ß⎯
|
¡
ô
m
r
&
4
¨βÎ
)
y
7−
/
u
‘
u
θèδ
ÞΟ
n
=ô
ã
r
&
⎯
y
ϑÎ
/
¨≅
|
Ê
⎯
t
ã
⎯Ï
&
Î
#
‹Î
6
y
™
(
u
θèδ
u
ρ
ÞΟ
n
=ô
ã
r
&
t
⎦⎪Ï
‰
t
G
ôγßϑø9
$
$
Î
/
∩⊇⊄∈∪
“Serulah manusia ke jalan Tuhanmu, dengan cara hikmah, pelajaran yang baik dan
berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang baik pula, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ayat ini menjelaskan sekurang-kurangnya ada tiga cara atau metode dalam dakwah yakni, metode h{ikmah, metode mau’id{ah dan metode muja>dalah.
Ketiga metode dapat dipergunakan sesuai objek yang dihadapi oleh seorang da’i atau da’iyah di dalam dakwahnya, terutama saat berdakwah di televisi sebagai media komunikasi massa.
Selanjutnya, ada kenyataan yang perlu diperhatikan oleh para aktivis dakwah terutama para crew produksi program acara agama Islam di stasiun televisi
dalam mengemas acara dakwah Islam yaitu:
1. Corak kemajemukan (pluralitas) masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa
adalah ke-bhinneka-an dalam beberapa aspek kehidupan yang meliputi
pandangan hidup (filsafat), sosio kultural, agama, suku, bahasa, dan politik
dansebagainya.23
23Loc. Cit.
(40)
2. Tendensi (kecenderungan) perkembangan masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi modern serta ide modernitas yang telah mulai menjiwai pembangunan nasional ke arah perubahan sosial (social
changes). Sehingga, nilai-nilai kebudayaan dan agama cepat atau lambat
harus mampu secara normatif-kultural mengontrol serta menjiwai keterpengaruhan terhadap teknologi dan informasi agar tidak terjerumus terhadap pemilihan yang keliru.24
3. Corak kehidupan psikologis masyarakat modern dan tradisional mengandung ciri-ciri yang menuntut sistem pendekatan yang berbeda satu sama lain. Semakin modern suatu kehidupan masyarakat, maka semakin kompleks pula kehidupan psikologisnya dan semakin banyak menuntut sistem pendekatan yang bersifat antara ilmu dengan dilatar-belakangi prinsip-prinsip pandangan psikologis yang dalam dan luas.25
Melihat kian semaraknya acara dakwah di televisi, bisa dilihat bahwa hampir semua siaran dakwah tersebut memakai metode dialog dengan kemasan
talk-show, sebagai contoh saja, acara “Kiswah”, “Inspirasi Fatayat”, “Bengkel
Keluarga Sakinah”, “Apa Kata Bu Nyai”, “Nderes Kitab Kuning”, “Kembang Tasawuf Gus Kahar” di TV9, “Sahabat Fajar” di BBSTV/BiosTV dengan narasumber Ustadz Ahmad Muzakky al Hafidz dipandu host/pemandu acara Djadi
Galajapo dan Penyejuk Hati di Surabaya TV yang semuanya menggunakan metode dialog. Meski demikian, tetap menyuguhkan variasi berupa ragam tema yang diangkat dan menjadi karakter dakwah, bahkan mampu menjadi ciri khas metode dakwah di statsiun televisi tertentu. Hal ini merupakan ranah kreatif yang lazim dilakukan managemen siaran agar menarik animo publik, misalnya dialog bercorak
24Loc. Cit.
(41)
tema drama keluarga, hubungan sosial, hukum-hukum peribadatan dan lain sebagianya. Kemudian, terdapat juga kemasan dakwah televisi dengan metode monolog misalnya “Kiswah Event”, “Shollu Alannabi” dan “Ahad Doa” di TV9, serta “Diary Hijab” di BBSTV/Bios TV, dan “Aura Muslimah” di Arek TV.
Kedua, perluasan dan penguatan jaringan/kerjasama dengan
lembaga-lembaga yang bergerak di bidang dakwah, dengan paradigma baru yang menekankan pembaharuan dalam perluasan kerjasama dengan lembaga-lembaga dakwah. Dalam hal ini, diharapkan dakwah di televisi semakin bergairah karena dukungan dan kerja sama tersebut. Tanpa dukungan dan kerjasama yang baik dari lembaga dakwah seperti universitas, organisasi kemasyarakatan berbasis agama Islam (NU, Muhammadiyah, MUI, dan sebagainya), majelis taklim, dan komunitas da’i dan da’iah, Badan Kontak Majelis Ta’lim, Forum Komunikasi Majelis Ta’lim dan seterusnya, mustahil dakwah di televisi bisa berjalan dengan baik.26
Hadirnya jamaah dalam kemasan program dakwah di televisi juga memberi nuansa yang baru dalam kemasan dakwah sebagaimana yang sudah dipraktekkan dalam acara dakwah “Kiswah”, “Apa Kata Bu Nyai” dan “Nderes Kitab Kuning” di TV9, “Padhange Ati”, “Islam Itu Mudah” dan “Ilir-Ilir” di JTV, yang rutin mengundang jaringan para jamaah pengajian atau majlis ta’lim dari daerah Surabaya dan sekitarnya.
Ketiga, penguatan dana primer dan sekunder untuk mendanai program
dakwah. Karena ruh dari penayangan kemasan dakwah di televisi adalah wajib ada dana yang cukup besar. Hal ini mengacu pada “ideologi” industri media massa yang pasti mempertimbangkan profit yang tinggi, yang diperoleh melalui produk atau
(42)
acara yang memiliki nilai jual tinggi. Bahasa teknisnya adalah menyesuaikan dengan motivasi khalayak/pangsa pasar. Dengan demikian, kecenderungan industrial ini sebenarnya bersifat demokratis karena tidak pernah ada program yang dapat disiarkan tanpa bertolak dari kemauan pasar. Seluruh upaya kreatif berarti membaca motivasi massa untuk kemudian mengemas dalam produk.27
Keempat, hal ini amat penting yaitu peningkatan kualitas dan kuantitas da’i
dan da’iah baik secara moral, akhlak, intelektual, spiritual dan sosial. Seorang da’i atau da’iah menurut Yusuf Qardhawi harus melengkapi diri dengan tiga senjata, yaitu iman, akhlak mulia, dan ilmu pengetahuan (wawasan). Senjata iman dan akhlak disebut Qardhawi sebagai bekal spiritual, sedang ilmu dan wawasan disebut sebagai bekal intelektual.28
Oleh karena itu, seorang da’i harus melengkapi diri dengan dua bekal, yaitu bekal spiritual dan intelektual sekaligus. Qardhawi juga menjelaskan ada enam wawasan intelektual yang perlu dimiliki oleh seorang da’i atau da’iah, di antaranya:
a). Wawasan Islam meliputi al-Qur’an, al-Sunah, fiqih dan ushul fiqh, teologi,
tasawuf, dan niz}am Islam.
b). Wawasan sejarah dari prode klasik, pertengahan hingga modern. c). Sastra dan bahasa.
d). Ilmu-ilmu sosial (social sciences) dan humaniora, yang meliputi sosiologi,
antropologi, psikologi,filsafat, dan etika.
27Onong Uchjana Effendy, Televisi Siaran Teori dan Praktik, (Bandung: Mandar Maju, 1993), hal. 34.
(43)
e). Wawasan perkembangan dunia-dunia kontemporer yang meliputi dunia Islam, dunia barat, perkembangan agama-agama dan mazhab-mazhab pemikiran, serta perkembangan pergerakan Islam kontemporer.29
Oleh karena itu, tugas dan fungsi dakwah harus ditunaikan dan dilengkapi dengan dua perangkat/modal dakwah yang telah disebutkan di atas. Upaya ini penting mengingat dakwah harus dilakukan dengan baik sehingga dakwah benar-benar berfungsi tidak hanya sebagai media menyebarkan Islam, tapi juga memahamkan ajaran Islam kepada masyarakat yang lebih luas, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dakwah sebagai ikhtiar untuk melestarikan nilai-nilai Islam dari generasi ke generasi sebagai bagian dari berjuang di jalan Allah (jihad fi
sabilillah) agar agama Islam tetap lestari dan tidak terputus oleh sejarah manusia.30
Misi dakwah, sejatinya berfungsi korektif yakni meluruskan akhlak, mencegah kemungkaran dan mengeluarkan manusia dari kegelapan rohani. Dakwah merupakan pekerjaan yang memerlukan kemampuan intelektual, konsentrasi dan dedikasi yang tinggi, yang merupakan kewajiban yang harus dikerjakan dengan totalitas oleh setiap umat Islam. Sehingga, dakwah memiliki kekuatan yang efektif dalam masyarakat sebagai sarana penyampai etika sosial.
Untuk menyiapkan da’i dan da’iah dengan kualitas dan kompetensi seperti dikemukakan di atas (spiritual dan intelektual), para akademisi dan insan pertelevisian perlu melakukan pengembangan sumber daya manusia, baik melalui jalur pendidikan maupun pelatihan (training). Hasilnya adalah da’i dan da’iah yang
29Loc. Cit.
30Baharuddin Ali, Tugas Dan Fungsi Dakwah Dalam Pemikiran Sayyid Qutub, Jurnal, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Alaudin Makasar, hal. 2.
(44)
berkualitas, kreatif, komunikatif, dan marketable dalam program dakwah televisi,
serta tetap menjunjung tinggi prinsip dan ajaran agama Islam. Mengingat masyarakat Indonesia yang heterogen, maka sebaiknya pembaharuan kemasan program dakwah di media televisi saat ini harus mengacu pada aspek kehidupan psikologis dan sosiologis mad’u yang menyimak siaran dakwah tersebut,di
antaranya:31
1. Mad’u yang menyangkut aspek sosiologis berupa masyarakat terasing,
perdesaan, perkotaan dan masyarakat daerah marginal dari kota besar;
2. Mad’u yang menyangkut struktur kelembagaan berupa masyarakat,
pemerintah dan keluarga.
3. Mad’u yang menyangkut sosial kultural berupa golongan priyayi, abangan,
dan santri, terutama pada masyarakat Jawa.32
4. Mad’u yang menyangkut tingkat usia berupa kelompok anak-anak, remaja
dan orangtua;
5. Mad’u yang menyangkut profesi/pekerjaan masyarakat yaitu golongan
petani, pedagang, buruh, pegawai, dan seterusnya;
31Fatmawati, Op. Cit, 7.
32Clifford Geerzt pernah mengeluarkan tesis terkait struktur sosial-keagamaan masyarakat Jawa yang 90% umat Islam. Menurut Geertz, masyarakat Jawa bukanlah orang Islam sejati, keagamaan yang dianut oleh penduduk jawa tak lain hanya sinkretisme, yaitu campuran Islam dengan agama-agama sebelumnya, terutama Hindu dan Budha. Dari hasil penelitiannya, Geerzt membagi struktur masyarakat Jawa ke dalam tiga jenis golongan keagamaan sekaligus dikaitkan dengan kecenderungan tradisi masing-masing dalam cara mencari nafkahnya (berprofesi);. Pertama, priyayi, yaitu golongan yang lebih berat ke-Hindu/Budha-annya dan berprofesi di bidang pemerintahan (birokrasi dan kekuasaan). Kedua, golongan santri yang lebih kental ke-Islam-annya, yang lebih banyak berprofesi sebagai pedagang di pasar-pasar. Dan ketiga, abangan, yaitu golongan yang lebih berat animismenya, terkait dengan profesi di bidang pertanian di desa-desa dan buruh di kota-kota. Tentang perspektif ini secara rinci, lihat : Clifford Geertz, The Religion of Java, Glencoe : University of Chicago Press, 1960.
(45)
6. Mad’u yang menyangkut tingkat hidup sosial ekonomi yaitu kaya,
menengah, dan miskin;
7. Mad’u yang menyangkut jenis kelamin (seks) golongan wanita atau pria;
8. Mad’u yang menyangkut golongan khusus seperti pekerja seks komersial,
tuna wisma, narapidana dan seterusnya.
Dengan mengacu pada masing-masing golongan masyarakat di atas, da’i dan da’iah diharapkan mampu untuk mengakomodir aspirasi dan problem masyarakat (mad’u) yang bervariasi diatas dalam mengemas dakwahnya agar bisa
diterima oleh semua kalangan secara efektif dan efisien, selain itu juga diharapkan adalah pesan-pesan dakwah yang siarkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat.
Selanjutnya, yang menjadi penting untuk diperhatikan adalah pemahaman dan kesadaran pendakwah sendiri terkait pentingnya sebuah media. Karena, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa semakin bagus dan tepat media dakwah yang dipilih serta digunakan, maka pesan dakwah akan lebih efektif tersampaikan kepada para masyarakat/jamaah kaum muslimin secara lebih luas dan kuat. Permasalahanya sekarang terletak pada kemauan dan kejelian para da’i dalam melihat media mana yang paling tepat dipakai berdasarkan kemampuanya sebagai da’i maupun spesifikasi mad’u yang menjadi lahan garapannya.
Dalam hal ini Moh. Ali Azis33 menjelaskan bahwa pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai washilah (media) yang dapat merangsang
indera-
33Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya ; Dosen Teladan Nasional (2004 dan 2007); Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (2000-2004); Pengurus Pembaca dan Penghafal Al Qur’an Jatim (1994); Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia (APDI 2009-2013); Unsur Ketua Majlis Ulama Indonesia Jawa Timur; Ketua Dewan Pengawas Syariah Bank Jatim
(46)
indera manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif washilah yang dipakai maka semakin efektif pula upaya
pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.34
Sebagaimana film, media televisi juga merupakan media yang bersifat audio visual. Oleh sebagian besar masyarakat Indonesia televisi dijadikan sebagai sarana hiburan dan sumber informasi utama. Di beberapa daerah atau kawasan di Indonesia, terlebih di Surabaya yang notabene merupakan masyarakat urban/perkotaan, setelah mengalami kepenatan menunaikan pekerjaannya, relatif banyak menghabiskan waktu berada di depan televisi.
Sehingga, kalau saja kegiatan dakwah Islam dapat memanfaatkan dan menangkap fenomena ini, maka secara otomatis jangkauan dakwah akan lebih luas dan kesan keagamaan yang ditimbulkan melalui media televisi akan lebih dalam. Karena, secara psikologis seseorang yang tengah mengalami kepenatan dalam aktifitas, selain butuh hiburan juga membutuhkan ketenangan dan pencerahan ruhani.
Di stasiun televisi baik nasional maupun lokal, kegiatan dakwah memberikan warna tersendiri dalam program siarannya. Munculnya sosok seperti KH Zainudin MZ, Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Arifin Ilham, Ustadz Soleh Mahmud (Solmed), Ustadz Maulana, Mama Dedeh dalam kancah dakwah nasional,
(2011-sekarang). Selain itu, Ali Aziz juga didapuk sebagai Penasehat Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (2002); Pengisi Mimbar Islam di TVRI Jatim; Kajian Terapi Shalat Bahagia di RRI JakartaPro.1 dan 4 (91.2 FM dan 92.8 FM) dan Radio El Victor Surabaya 93.3 FM. Imam Shalat Tarawih/Penceramah Islamdi Hongkong, Macau, Senzhen, Taiwan (2000-sekarang), Malaysia (2004), Jepang (2006 dan 2013), Iran (2008, 2009,2010), Mauritius-Afrika (2000), Inggris (2005), Belanda (2007), Bangladesh (2013, 2014, 2015) dan Nepal (2015).
(47)
ataupun KH Ali Masyhuri, KH Abdurrahman Navis, KH Husen Rifa’i, KH Sonhaji Mahfudz, KH Makruf Khozin, KH Imam Hambali, KH Aad Ainurusalam dalam kancah lokal Jawa Timur atau Surabaya terutama, merupakan “produk” dari sosialisasi yang berhasil dilakukan oleh televisi.
Pada titik inilah televisi sebagai media penyiaran melahirkan dampaknya, yakni sebagai pesan (the medium is the message) yang secara sadar atau tidak,
secara kuat (massif) diterima oleh publik. 35 Sebelumnya, masyarakat tidak
mengenal sosok mereka, walaupun sebagaian sudah jamak terdengar di radio-radio, namun publik masih banyak yang belum tahu bagaimana wajah dan penampilan para da’i di atas. Dengan adanya siaran dakwah yang ditayangkan di televisi, kini khalayak kian akrab dan menikmati cara para da’i berdakwah. Tentu saja masyarakat mempunyai semacam “ustadz idola” yang menjadikan publik lebih memilih dan menanti ustadz tertentu dalam berceramah dibandingkan ustadz lainnya. Pemilihan tersebut sangat absah dalam jagad pertelevisian yang banyak menyuguhkan figur-figur pilihan yang pada akhirnya diidolakan.
Munculnya “idola baru” inilah berimbas pada orientasi pokok yang menjadi tujuan utama pendakwah. Hal ini nampak seiring dengan melejitnya nama da’i-da’i tersebut, maka dengan sigapnya beberapa produk industri tertentu menggaetnya untuk dijadikan bintang iklan. Tentu saja tujuannya untuk menarik animo masyarakat agar membeli produk tersebut yang diiklankan oleh “orang suci” di televisi yang seringkali dianggap sebagai sosok yang jujur.
(48)
Misalnya saja sosok Mama Dedeh yang digandeng oleh perusahaan minum Lasegar/minuman Larutan Cap Kaki Tiga, kemudian Ustadz Jefri (saat masih hidupnya) didapuk menjadi pengiklan produk minuman suplemen Kuku Bima Energi, Ustadz Arifin Ilham yang diminta memberikan testimoni lembaga Nurul Hayat dalam mensosialisasikan jasa aqiqahnya. Pergeseran ini merupakan dampak dari ketenaran para tokoh dakwah yang disiarkan melalui televisi.
C. Determinasi Penyiaran: Perspektif Ekonomi Politik Media
Melihat fenomena para tokoh-tokoh agama yang bersingggungan dengan media massa, berdampak pada sulitnya para “figur suci” tersebut untuk menghindar dari sebuah produk komersial tertentu. Sehingga realitas tersebut perlu dibaca dengan mengggunakan pisau analisa Ekonomi Politik Media. Usaha ini merupakan salah satu upaya untuk menemukan titik singgung yang konseptual untuk melihat keterkaitan secara massif antara eksistensi dakwah di dunia televisi dengan sebuah produk komersil yang lazim dijadikan sebagai penopang keberlangsungan sebuah acara televisi tersebut.
Kalau pada sub tema pembahasan sebelumnya televisi diartikan sebagai the
medium is the message oleh Raymond Williams,36 maka dalam perspektif ekonomi
politik media penyiaran, televisi tak sebatas dimaknai sebagai penyuplai pesan/informasi. Media massa adalah kelas yang mengatur. Demikianlah premis
36 Raymond Williams, Op. Cit., 175.
(49)
dari teori Marxis tentang posisi media dalam percaturan sistem kapitalisme modern.37
Ekonomi politik media memusatkan perhatiannya pada hubungan dominasi dan penguasa ekonomi dalam mempengaruhi institusi sosial lain, termasuk media massa. Hingga hubungan kepengaruhan tersebut dapat mempengaruhi sistem produksi, distribusi dan konsumsi media massa. Saling terhubung dan pengaruh ini menjadi sebuah indikasi bahwa televisi sebagai media massa telah menjadi primadona pada ranah publik. Kebutuhan masyarakat yang begitu besar terhadap media di satu sisi, serta keberagaman media massa itu sendiri di sisi lain, secara langsung maupun tidak, telah mempunyai nuansa kepentingan yang begitu kental sehingga berimbas kepada “ketidak murnian”.
Ketidakmurnian kepentingan ini dapat ditelisik melalui intervensi pemilik modal terhadap posisi media massa yang dewasa ini kian menunjukkan nuansa orientasi pasar (market oriented) yang begitu kental. Definisi market dalam konteks
ini tak hanya dimaknai sebagaimana makna lawasnya, sehingga tak hanya sebatas pengerukan ekonomi, tetapi juga sebagai lokomotif ideologi politik oleh pemilik modal yang berkepentingan. Argumentasi ini menunjukkan buktinya dengan sangat konkrit saat pemilihan presiden pada 2014 lalu, manakala bangsa indonesia menghadapi pemilihan umum untuk menentukan presiden, maka eksistensi televisi berita seperti Metro TV dan TV One menjadi pertarungan ideologi politik yang sangat nampak dipermukaan.
37Agus Sudibyo, Op. Cit. 1.
(50)
Kedua stasiun televisi nasional tersebut telah menjadi “corong sosialisasi” para calon tertentu untuk mendapatkan simpati dan empati dari masyarakat umum. Di sinilah letak kedahsyatan dan efektifitas media massa, khususnya televisi dalam mempengaruhi dan mengkonstruk pemikiran masyarakat kelas menengah. Ironisnya, kesadaran masyarakat tentang begitu intimnya hubungan antara media massa dengan kepentingan politik dan pemilik modal sangat minim, bahkan hampir pada “titik nol”.38 Sehingga, dalam membaca orientasi media massa yang bergeser dari penyuplai informasi menjadi alat propaganda politik dan penggaet ekonomi komersial, maka menjadi penting untuk mengutip pendapat salah seorang pengamat ekonomi politik media, Vincent Mosco yang pernah menyatakan:
“Political economy is the study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the productions, distribution, and
consumption of resource, including communication resources”.39
Dari perspektif di atas, Mosco menegaskan bahwa ekonomi politik media merupakan studi dalam hubungan interaksi sosial, yang merupakan bagian dari hubungan kekuatan melalui proses produksi, distribusi dan konsumen sumber berita, termasuk sumber komunikasi itu sendiri.
Mosco juga menegaskan bahwa setidaknya ia membagi tiga proses yang lazimnya digunakan untuk membuat atau memulai langkah awal dalam proses berjalannya komunikasi ekonomi politik. 40 Ketiga proses tersebut antara lain;
38Ibid, ii.
39Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, (Singapore: SAGE Publications Asia-Pacific), hal. 2.
(51)
komodifikasi, spasialisai dan strukturasi. Adapun penjabaran dari masing-masing
item diatas yaitu; 1. Komodifikasi
Menurut Vincent Mosco, komodifikasi digambarkan sebagai cara kapitalisme guna membawa akumulasi tujuan kapitalnya. Atau dapat pula digambarkan sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna menjadi sebuah nilai tukar. Saat ini, telah banyak bentuk komodifikasi yang muncul dalam perkembangan kehidupan manusia. Karena mulai banyak juga yang dijadikan komoditas oleh manusia. Kaitan antara komodifikasi dan komunikasi diantaranya:
1) Proses komunikasi dan teknologinya memiliki kontribusi terhadap proses umum komodifikasi secara keseluruhan.
2) Proses komodifikasi yang terjadi dalam masyarakat secara keseluruhan menekan proses komunikasi dan institusinya, jadi perbaikan dan bantahan dalam proses komodifikasi sosial mempengaruhi komunikasi sebagai praktik sosial.41
Lebih jauh, Mosco menjelaskan beberapa bentuk komodifikasi, yakni komodifikasi isi/content, komodifikasi khalayak/audiens dan komodifikasi
pekerja/labour. Kemudian ada dua bentuk komodifikasi lain yang menjadi bagian
dari komodifikasi audiens, yakni komodifikasi instrinsik dan komodifikasi ekstrinsik.
Komodifikasi content atau isi media komunikasi adalah komoditas pertama
dari sebuah media massa. Proses komodifikasi ini dimulai ketika pelaku media
(1)
3. Aspek Ekonomi
Stasiun televisi dewasa ini secara jelas memperlihatkan indikasi-indikasi relasional dengan penguasa atau pemilik modal. Sehingga, hubungan kepengaruhan tersebut mempengaruhi sistem produksi, distribusi dan konsumsi media massa. Saling terhubung dan pengaruh ini menjadi sebuah indikasi bahwa televisi sebagai media massa telah kehilangan fungsinya karena dominasi ekonomi.
C. Saran dan Rekomendasi
Saran dan rekomendasi yang dapat penulis tawarkan pada kesimpulan diatas, adalah:
1. Para Masyarakat, agar lebih selektif dalam memilih tayangan siaran dakwah di televisi supaya tidak terjebak ke dalam hal-hal yang tidak substansisal yang justru menjauhkan dari tujuan dakwah itu sendiri.
2. Bagi pemangku kebijakan dan kepentingan, agar lebih proporsional dalam melahirkan regulasi penyiaran sehingga dapat menuwujudkan tata aturan penyiaran yang lebih edukatif untuk dinikmati publik.
3. Bagi para calon da’i atau ustadz yang akan tampil di televisi, hendaknya tidak terlalu banyak memposisikan hiburan dibandingkan dengan pesan dakwahnya. Memang, tren yang sedang berkembang adalah lebih banyak hiburan daripada pesan-pesan dakwah yang disampaikan, namun apabila dicari pola yang lebih baik dan mendidik, maka pesan-pesan dakwah yang disampaikan akan lebih banyak dan mengena.
(2)
4. Penelitian selanjutnya, penelitian ini masih jauh dari unsur kesempurnaan dan sangat terbatas. Kekurangan penelitian kali ini antara lain berkaitan dengan kedalaman kajian mengenai keterkaitan pemilik modal dalam mengintervensi program dakwah dan stasiun televisi, sharing profit yang diperoleh masing-masing pihak; JTV dan Pengiklan. Untuk itu, perlu pengkajian lebih lanjut serta pengambilan scoop yang lebih spesifik dalam rangka pendalaman penelitian.
(3)
110
DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media,Yogyakarta: LkiS, 2004.
Fatmawati, Paradigma Baru Mengemas Dakwah Melalui Media Televisi Di Era Globalisasi, Jurnal KOMUNIKA: STAIN Purwokerto, Edisi Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009.
Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa. Jakarta: Granit, 2004.
Hariono, Budi, Dalam Bingkai Media Massa. Surabaya: Papyrus, 2004. Heryanto, Ariel, Perlawanan Dalam Kepatuhan. Bandung: Mizan, 2000.
Johnson, Doyle Paul, Sosiological Theory: Clasical Founders and Contemporary Perspective, dalam Robert M. Z. Lawang (penerj). Jakarta: PT Gramedia, 1986.
Kaoey, Rahman, Pedoman Pelaksanaan Dakwah Islam. Yogyakarta: Penerbit AK
Group Yogyakarta, 2006.
KBBI Offline 1.5, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Khadziq, Islam dan Budaya Lokal; Belajar Memahami Realitas Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: Teras, 2009.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991. Kusnawan, Aep, Komunikasi Penyiaran Islam, Bandung: Benang Merah Press,
2004.
Kusnawan, Aep, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek. Bandung: Pustaka Bany Qurays, 2004.
Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication (Chicago: Chicago Press), 1980.
Lubis, Hamid Hasan, Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa, 1993.
Madjid, Nurcholish, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Jakarta:
Mediacita, 2000.
McMillan, John dan Andrew Linklater, (et.al), Boundaries in Question, USA: Pinter Publisher’s London & New York, 1995.
(4)
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Moloeong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008.
Morissan, Manajemen Media Penyiaran, Jakarta: Kencana, 2009.
Mosco, Vincent, The Political Economy of Communication, Singapore: SAGE Publications Asia-Pacific.
Muis, Komunikasi Islami. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. Munir, M., Manajemen Dakwah. Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2006.
Nafis, Muhammad Wahyu, Rekonstruksi The Modern World, Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996.
Patilama, Hamid, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2011. .
Pennman, Robin, “Good Theories and Good Practice: an Argument in Progress” dalam Communication Theory 2, 1992.
Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Qardhawi, Yusuf, Konsep Ibadah Dalam Islam. Surabaya: Central Media, 1991. Qardhawi, Yusuf, Shadaqah, Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2010.
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.
Rusbiantoro, Dadang, Generasi MTV. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2008. Schutz, Alfred, On Phenomenology and Social Relations. Chicago: Chicago Press,
1970.
Schwandt, Thomast A., Contructivist, Interpretivist, Approach to Human Inquiry. Chicago: Chicago Press, 1971.
Sholikhin, Muhammad, Panduan Shalat Sunah Terlengkap. Jakarta: Erlangga, 2002.
(5)
112
Semiotic, Dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2011.
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2012.
Suhandang, Kustadzi, Managemen Pers Dakwah. Bandung: Marja, 2007.
Sunarto, Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-anak. Semarang: diterbitkan oleh kerjasama penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya serta Ford Foundation, 2011.
Syah, Sirikit, Media Massa Di Bawah Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, . 1999.
Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Wazis, Kun, Media Massa dan Konstruksi Realitas. Malang: Aditya Media Publishing, 2012.
Williams, Raymond, Televisi, terj. dari buku Television: Technology and Cultural Form, Yogyakarta: Resist Book, 2009.
SKRIPSI DAN TESIS
Fauzi, Imam. “Pesan Dakwah Melalui Film (Analisis Wacana Film Do’a Yang Mengancam)”, (Skripsi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009).
Nur, Sukarsih. “Analisis Wacana Pesan Moral Dalam Film Naga Bonar Karya Asrul Sani”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008).
Sari, Layli Nur Indah. “Dakwah Melalui Film Baik-Baik Sayang (Studi Analisis Wacana Tentang Pesan Dakwah)”. (Skripsi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013).
Sholihah, Siti Qori’atun. “Analisis Wacana Pesan Dakwah Film Dalam Mihrab Cinta”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011).
Ulvah, Novi Maria. “Analisis Wacana Pesan Dakwah Dalam Novel Negri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi”, (Tesis, IAIN Walisongo, 2012.).
(6)
REFERENSI NON-BUKU;
1. Database pendaftaran lembaga penyiaran KPID Jawa Timur periode 21
Oktober 21 Desember 2007.
2. Database Perijinan KPID Jawa Timur tahun 2011.
3. Data AGB Nielsen Tentang Siaran Dakwah di JTV tahun 2014.
DAFTAR WAWANCARA
1. Direktur News dan Program JTV, Drs. Imam Syafi’i, SS, SH, MH.
2. Adi Cahyono, Kepala Produksi JTV
3. Hally Raditya, Produser Produksi 4. Tri Andarini, Direktur Marketing JTV
5. KH Imam Hambali, Pengasuh Ponpes Al Jihad Surabaya, Pendakwah di JTV