Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Bank Lokal dengan Merger dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat D 902006001 BAB IV

Bab 4
Dinamika Lembaga Keuangan Mikro
4.1. Penetrasi Bank Umum Dalam Pasar Keuangan Mikro
Perkembangan dunia perbankan sangat pesat setelah terjadi deregulasi
di bidang keuangan, moneter dan perbankan pada Juni 1983. Deregulasi
tersebut telah mengakibatkan kebutuhan dana secara langsung maupun
tidak langsung melalui perbankan. Kondisi ini mendorong tumbuhnya
perbankan kita baik menyangkut produk perbankan, jumlah perbankan,
dan jumlah cabang yang ada di pusat kegiatan perekonomian
masyarakat. Kesempatan tersebut ditangkap oleh beberapa bank umum
untuk membuka cabang-cabang atau divisinya di beberapa kota
kecamatan, antara lain: Bank Danamon dan BRI.
Tabel 4-1

Data Penduduk dan sebaran lembaga keuangan
mikro di Jawa Tengah & DIY, Tahun 2006

Lembaga Keuangan
Penduduk
BRI Unit
DSP

BPR
Koperasi
Swamitra
Credit Union
LDKP
BKD
Pegadaian

Jawa Tengah

DIY

32 Juta
790 unit
233
597
4.939
44
83
160

1.357
159

3,3 Juta
126 unit
29
65
867
12
38
75
766
8

466

42

BMT
Sumber : www.profi.or.id/images/map/scriple


4.2. Tekanan Terhadap BPR
Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997),
kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil kepada
warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan
sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka
peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya, "programmes extend

65

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

small loans to very poor for self-employment projects that generate
income, allowing them to care for themselves and their families"
(Kompas, 15 Maret 2005).
Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan
kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif, baik
perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan
paling banyak Rp 100 juta per tahun.
Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro

umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian
Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance)
adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit
(loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta
money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha
kecil (insurance to poor and low-income households and their micro
enterprises).
4.2.1. Keberadaan BPR BKK di Pasar BPR
Propinsi Jawa Tengah adalah provinsi yang paling banyak memiliki
BPR (BPR BKK dan BPR non BKK). Sehingga dalam operasional di
lapangan terjadi persaingan yang cukup ketat. Apabila dipandang dari
sudut pelayanan justru menguntungkan nasabah, karena pilihannya
cukup banyak maka nasabah akan memilih BPR yang memberikan
bunga yang rendah dan pelayanan yang memuaskan. Sebaliknya, pada
saat menabung nasabah akan mencari bank yang memberikan bunga
yang paling tinggi dengan pelayanan yang baik. Sehingga terjadi
persaingan pasar yang cukup ketat.
Pada Grafik 4-1, memberikan gambaran tentang keberadaan BPR BKK
di pasar BPR Jawa Tengah tahun 2009.
Bentuk Lembaga Keuangan Mikro dapat berupa: (1). Lembaga formal, misalnya bank desa dan koperasi, (2). Lembaga semi-formal

misalnya organisasi non pemerintah, dan (3). Sumber-sumber informal misalnya pelepas uang. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia
menurut Bank Indonesia dibagi menjadi dua kategori yaitu Lembaga
Keuangan Mikro yang berwujud bank serta non bank.

66

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

Grafik 4-1 Perbandingan Jumlah BPR BKK di Pasar
BPR Non BKK, Tahun 2009

BPR BKK, 12%

BPR NON BKK
(BPR Swasta
dan PD. Bank
Pasar), 88%

Sumber : Bank Indonesia


Lembaga Keuangan Mikro yang berbentuk bank adalah BRI Unit Desa,
BPR, dan BKD (Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat non bank
adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP),
Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Baitul Mal Wattanwil (BMT),
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan
Grameen, pola pembiayaan ASA, Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit Desa dan BPR
dikategorikan sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM), karena
persyaratan peminjaman menggunakan metode bank konvensional,
pengusaha mikro kebanyakan kesulitan untuk mengaksesnya.
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro muncul seiring dengan pesatnya
aktivitas Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah. Namun di sisi lain,
dihadapkan dengan keterbatasan dalam mengakses sumber-sumber
pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal.
4.2.2. Peran LKM dalam Pengembangan UKM
Berdasarkan data BPS tahun 2006 (Sensus Ekonomi terakhir), kondisi
UKM menunjukkan perkembangan positif. Selama periode ini,
kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto rata-rata mencapai
56,04 persen. Secara sektoral aktivitas UKM ini mendominasi sektor


67

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

pertanian, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran. Sektor-sektor
ini merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Kemampuan sektor usaha dalam menciptakan nilai tambah sangat
berbeda antara satu kelompok usaha dengan kelompok usaha lainnya
dan mencerminkan karakteristik masing-masing pelaku usaha. Data
BPS tahun 2006, menunjukkan bahwa dari jumlah 43,22 juta unit UKM
pada tahun 2005 meningkat 1,61 persen dibandingkan dengan tahun
2004, jumlah ini merupakan bagian terbesar pelaku usaha di Indonesia. Pada tahun 2006, jumlah UMKM sebesar 99,75 juta.
Berdasarkan data yang terbaru dari Bank Indonesia Wilayah Semarang
mengenai perkembangan usaha pada sektor UMKM dari tahun 2007
sampai 2009 disajikan dalam tabel 4-2.
Tabel 4 2. Perkembangan usaha UMKM Jateng tahun 2009
Kriteria
Usaha Mikro
Usaha Kecil
Menengah

Usaha besar

Tahun
2007
15.341.885
36.225.155
107.370.118
905,608.251

Tahun
2008
16.439.702
42.958.846
136.384.639
1.147.556.801

Tahun
2009
18.847.658
46.034.980

124.297.988
1.043.770.959

Pertum
buhan
6,45%
10,74%
10,37%
10,20%

Apabila kita cermati dari perkembangan UMKM pertumbuhannya
sangat menggembirakan masih berkisar angka 9 persen, hampir
seimbang dengan usaha yang besar sekitar 10 persen. Oleh karena itu
betapa pentingnya pembangunan di sektor UMKM dengan disediakannya
LKM yang murah dengan tujuan utama untuk:
1. Mengurangi eksploitasi kepada masyarakat miskin dari mahalnya
kredit informal (rentenir)
2. Menyediakan pinjaman kepada masyarakat miskin dengan biaya
murah
3. Membiayai usaha yang feasible namun tidak dapat dibiayai oleh bank

4. Memperdayakan masyarakat golongan ekonomi lemah dan kaum
perempuan di dalam mengambil keputusan melalui peran aktif
didalam kegiatan ekonomi.
5. Memperluas lapangan kerja dan kemandirian (selfsufficien and self
employed)
Perkembangan kontribusi UKM dan kemampuannya dalam menyerap
tenaga kerja selama periode 2007-2009 menggambarkan produktivitas

68

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

pelaku UKM. Perkembangan Usaha Kecil sebesar 10,74 persen bisa
menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi. Peningkatan pertumbuhan
sebesar 10,37 persen pada sektor usaha menengah akan menambah
pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Melihat pertumbuhan dan
penyerapan tenaga kerja, maka UMKM mempunyai peran yang besar
dalam menciptakan lapangan kerja.
Dari uraian di atas, tampak bahwa masing-masing kelompok usaha
memiliki keunggulan dan saling melengkapi satu dengan lainnya.

Kelompok usaha besar memiliki potensi sebagai motor pertumbuhan,
sementara kelompok usaha kecil sebagai penyeimbang pemerataan dan
penyerapan tenaga kerja. Namun, hal ini juga memperlihatkan bahwa
unit-unit usaha kecil dan menengah pada umumnya masih menjadi
sandaran hidup masyarakat kecil yang jumlahnya cukup besar.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan
UKM masih menunjukkan perkembangan yang bervariasi. Data Survei
Usaha Terintegrasi (SUSI) yang dilakukan oleh BPS tahun 2005,
menunjukkan bahwa dari 14.660.645 UKM yang tidak berbadan hukum,
tercatat 2.131.810 UKM yang memanfaatkan pinjaman dalam upaya
mendukung proses pengembangan usahanya. Sumber-sumber
permodalan yang tersedia bagi UKM dikategorikan dalam perbankan,
koperasi, lembaga keuangan non bank, modal ventura, perorangan,
keluarga/famili, dan lain-lain. Dari total UKM yang memanfaatkan
pinjaman, sumber pinjaman yang berasal dari lain-lain masih
menduduki posisi teratas dalam memberikan pelayanan terhadap
kebutuhan permodalan UKM yaitu sebanyak 639.688 UKM atau
(30,01%), koperasi mampu memberikan pelayanan kepada 84.037 UKM
(3,94%), selebihnya adalah dari sumber perorangan sebanyak 605.191
UKM (28,39%); perbankan sebanyak 361.688 UKM (16,97%); keluarga/
famili sebanyak 350.419 UKM (16,44%); lembaga keuangan non bank
sebanyak 74.785 UKM (3,51%) dan modal ventura sebanyak 16.002
UKM (0,75%).
4.2.3. Lembaga Keuangan Mikro dan Permasalahannya
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terjadi seiring dengan
perkembangan UKM serta adanya hambatan UKM untuk mengakses
sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal.
Berkembangnya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) juga tidak terlepas

69

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

dari karakterisitiknya dalam memberikan kemudahan kepada pelaku
UKM untuk mengakses sumber-sumber pembiayaan.
Lembaga-lembaga keuangan formal pada umumnya memperlakukan
UKM sama dengan Usaha Menengah dan Besar dalam setiap pengajuan
pembiayaan, antara lain mencakup kecukupan jaminan, modal, maupun
kelayakan usaha (persyaratan 5-C).
Sebagian besar pelaku UKM tidak mampu untuk memenuhi persyaratan
5-C tersebut, karena modal yang dibutuhkan masih dalam skala kecil.
Hal ini dipandang oleh sebagian pelaku lembaga-lembaga keuangan
formal memberatkan biaya operasional. Sebagai contoh kredit sebesar
satu miliar rupiah dengan kredit sebesar satu juta rupiah dikenakan
biaya operasional yang sama, bahkan lebih mahal kredit kecil jika
peminjam kategori kredit kecil ini semakin banyak.
Walaupun biaya atas dana pinjaman dari Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) lebih tinggi sedikit dari tingkat bunga perbankan, akan tetapi
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) mempunyai kelebihan dimana
peminjam tidak perlu memberikan jaminan/agunan seperti yang
dipersyaratkan oleh perbankan. Beberapa Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) memberikan pinjaman berdasarkan pada kepercayaan karena
biasanya peminjam beserta aktivitasnya sudah dikenal oleh Lembaga
Keuangan Mikro (LKM). Kemudahan yang lain adalah pencairan dan
pengembalian pinjaman lebih luwes karena disesuaikan dengan cash
flow peminjam.
Jenis Lembaga Keuangan Mikro lebih banyak didominasi oleh Unit
Simpan Pinjam (USP), namun dari aspek besarnya perputaran pinjaman
lebih didominasi oleh perbankan seperti BRI Unit dan BPR. Hal ini
terjadi karena skim kredit yang ditawarkan oleh BRI Unit dan BPR
lebih besar daripada USP.
Dalam prakteknya yang menikmati akses permodalan dari perbankan
maupun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) hanya sebesar 22,14 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa fungsi intermediasi lembaga perbankan
tidak berjalan dengan baik, serta masih banyaknya permasalahan yang
dihadapi oleh UMKM. Namun, di sisi yang lain hal ini juga memberikan
potensi yang sangat besar dalam penyaluran kredit, karena terbukanya
pasar yang luas untuk skim-skim kredit skala mikro.

70

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

Berdasarkan data yang dikutip dari peta pelaku ekonomi di akhir tahun
2009 oleh Bank Indonesia Wilayah Semarang, bahwa peluang UMKM
52,764 juta unit (99,99%) dari total pelaku usaha sehingga peluang
UMKM sangat terbuka. Selain berbagai peluang di atas, lembaga
penyedia dana Lembaga Keuangan Mikro (LKM) menghadapi kendala
internal maupun eksternal yang kurang kondusif. Kondisi eksternal
yang dihadapi adalah bentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang
beraneka ragam.
BRI Unit dan BPR sebagai bagian dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
secara kelembagaan lebih jelas karena mengacu pada ketentuan
perbankan dengan pembinaan dari Bank Indonesia, sehingga Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) seperti ini lebih terarah dan terjamin
kepercayaannya karena sebagai bagian dari kerangka Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) dan berhak mendapatkan fasilitas dari
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sedangkan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berbentuk Koperasi
Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam, segala ketentuan operasional
dan arah pengembangannya mengikuti ketentuan yang ditetapkan
oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Sedangkan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berbentuk Bank Kredit Desa,
LDKP, credit union maupun lembaga non pemerintah lainnya tidak
jelas secara kelembagaan dan pembinaannya.
Fungsi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak berbeda dengan lembaga
perbankan formal, yaitu sebagai lembaga intermediasi keuangan, yang
di dalamnya juga mengemban kepercayaan dari nasabah atau anggota
yang menempatkan dananya.
Ketidak jelasan bentuk kelembagaan dan pembinaannya dapat
mempersulit pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di masa
mendatang, karena peranannya yang signifikan dalam mendukung
perkembangan UKM.
Masalah internal Lembaga Keuangan Mikro (LKM) menyangkut aspek
operasional dan pemberdayaan usaha. Sebagian besar kemampuan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam menghimpun dana masih
sangat terbatas, karena bergantung pada besarnya jumlah anggota atau
besaran modal sendiri. Selain itu, kemampuan SDM Lembaga Keuangan

71

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

Mikro (LKM) dalam mengelola usaha sebagian besar masih terbatas,
sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi perkembangan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
4.2.4. Dampak Keberadaan LKM dalam Memutus Mata Rantai
Kemiskinan
Data Perkembangan Kesiapan Daya Saing Lembaga Keuangan Mikro
Bank Indonesia Semarang pada akhir tahun 2009 khususnya pada program pemberdayaan usaha skala mikro, bahwa pinjaman mikro dapat
digunakan untuk membantu UKM dalam mengakses sumber-sumber
pembiayaan sektor mikro. Karakteristik UKM jika dilihat dari aspek
pendapatan lebih mendekati kelompok masyarakat yang dikategorikan
miskin, namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) dan masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income)
yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.
Kelompok masyarakat ini akan cenderung tetap berpenghasilan rendah
bahkan menjadi miskin, jika kesulitan yang mereka hadapi dalam
melakukan aktifitas usaha tetap dibiarkan tanpa ada usaha-usaha
perbaikan. Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang relatif
mampu menjawab kesulitan tersebut ternyata selaras dengan perkembangan UKM. Walaupun kontribusi dalam pembiayaan dalam skala
nasional masih kecil dibandingkan dengan peran lembaga perbankan
formal, namun terdapat potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk memperbesar perannya dalam
pembiayaan UKM yang ditunjukkan dengan masih banyak jumlah UKM
yang belum memanfaatkan akses pembiayaan dari lembaga keuangan
serta masih sulitnya akses pembiayaan dari lembaga perbankan.
Sehingga tumpuan terbesar adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Jumlah UKM yang berjumlah 42 jutaan ternyata yang menikmati akses
permodalan dari lembaga-lembaga keuangan baik perbankan maupun
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) hanya sebesar 22,14 persen. Jika
jumlah UKM yang belum memanfaatkan kredit mikro sekitar 30 jutaan
unit, misalnya satu persennya memanfaatkan kredit mikro rata-rata
sebesar Rp.2juta maka akan muncul potensi permintaan kredit mikro
total sebesar 0,3 juta unit x Rp 2 juta = Rp 600 triliun. Jumlah ini tentu
tidak semuanya dimanfaatkan oleh lembaga perbankan, tetapi akan lebih
banyak melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Selain jumlah pasar

72

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

kredit mikro yang masih luas, potensi yang masih besar bagi Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) adalah karakterisitik dari Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) itu sendiri.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) umumnya dalam penyaluran
kreditnya menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Jika
contoh di atas bisa dijalankan akan membawa effect multiplier yang
luar biasa, karena dapat menggerakkan roda perekonomian. Bergulirnya
aktivitas UKM akan meningkatkan proses produksi, menyerap tenaga
kerja, serta meningkatkan pendapatan di kalangan pelaku UKM yang
akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat miskin.
4.2.5. Keberadaan LKM lain sebagai lembaga alternatif penyedia
modal masyarakat
Tumbuhnya koperasi merupakan salah satu fenomena global yang tidak
bertentangan dengan sistem pasar, meskipun ada unsur disiasati.
Keberadaan berbagai jenis koperasi akan tetapi masih ada kelompok
masyarakat belum mau memanfaatkannya. Kelompok masyarakat
tersebut memanfaatkan alternatif LKM lain seperti koperasi petani dan
nelayan, BMT, dan bentuk LKM yang lain. Berpijak pada kondisi dan
permasalahan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tersebut, maka ada
kelompok masyarakat yang mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) lain yang dijadikan bagian dari sistem keuangan nasional yang
ada di kalangan masyarakat bawah yaitu lembaga Baitul Maal wa
Tamwil (BMT).
BMT adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang sistem operasionalnya
menggunakan Syariat Islam. BMT mempunyai dua arti kata yang saling
terkait yaitu Baitul Maal dan Baitul Tamwil yang artinya adalah sosial
kemasyarakatan dan bisnis keuangan, khususnya bagi yang mengharamkan
bunga bank. Pemerintah memberi solusi kelembagaan bagi rakyatnya
yang mengharamkan bunga bank.
BMT bukan koperasi dan bukan bank, tetapi memiliki karakter
operasional seperti koperasi dan seperti bank meskipun lembaga yang
berkarakter sosial. Sesuai peraturan pemerintah tahun 2005 bahwa BMT
harus berbadan hukum Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Lembaga ini
tumbuh sejak tahun 1985 meskipun persentase keberadaanya baru
sekitar 2 persen dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada, dan
pada tahun 1991sampai dengan tahun 1995 meningkat menjadi 16
73

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

persen dari seluruh Lembaga Keuangan Mikro (LKM), pada tahun 1996
sampai dengan tahun 2000 berkembang menjadi 37 persen dan pada
tahun 2001 sampai dengan 2009 turun menjadi 26 persen karena banyak
melakukan penggabungan (merger) dan adapula yang dibubarkan
karena berbagai alasan.
Box 4-1

Hasil wawancara dengan Ka.Dinas Koperasi dan UKM
Kab. Semarang tentang Status Hukum BMT

Secara kelembagaan BMT itu tunduk pada payung hukumnya
adalah berbadan hukum koperasi, jadi BMT yang belum
mempunyai ijin atau badan hukum harus bergabung (merger) atau
menginduk ke BMT yang sudah berbadan hukum koperasi.
Kenapa harus begitu, karena lembaga tersebut menggunakan dana
milik sendiri bersama milik masyarakat, supaya kalau di kemudian
hari ada masalah jelas penanganannya. Peran BMT sangat strategis
karena sebagian besar berada di sekitar pasar lokal atau di desadesa sehingga mampu menjadi jembatan untuk pemberdayaan
masyarakat. Banyak bank yang ada tetapi persyaratan jaminan
jadi kendala.
Sumber : Data diolah dari hasil penelitian

Berdasarkan data yang terkumpul dan hasil pengolahan data, serta
keterangan tambahan dari dinas terkait, maka peneliti sajikan grafik tahun
pendirian BMT dan rasio BMT terhadap Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
dari data yang diolah sebagaimana ditampilkan pada grafik 4-2.
Berdasarkan data pada grafik 4-2, dapat disimpulkan bahwa keberadaan
BMT telah diakui oleh masyarakat, sehingga masyarakat mau menempatkan dananya di BMT. BMT menjadi semakin berkembang karena
memperoleh dukungan dari masyarakat, dan dalam perkembangannya
BMT yang belum memiliki ijin operasional digabung dengan BMT yang
sudah memiliki ijin koperasi. Anggota BMT, yaitu kelompok masyarakat
yang mengharamkan bunga bank.

74

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

Grafik 4-2

Tahun Berdiri dan Rasio BMT Terhadap LKM

Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Kab. Semarang

Faktor yang Mendorong Berdirinya BMT
Perkembangan produk-produk bisnis di bidang keuangan yang berbasis
syariah kian marak pada tahun 1996. Bahkan beberapa lembaga
keuangan non bank ikut menggunakan sistem syariah, antara lain:
asuransi syariah, pegadaian syariah, dan koperasi syariah atau identik
dengan BMT. Beberapa faktor yang mendorong berdirinya BMT adalah:
1. Menjadi lembaga alternatif untuk membantu ekonomi lemah.
2. Menjadi lembaga pengembangan sistem perekonomian syariah.
3. Sebagai lembaga penghapus riba dan pengembangan sistem bagi
hasil.
4. Meminimalkan rentenir yang sukar diberantas.
5. Sebagai lembaga keuangan mikro syariah yang dapat membuka
lapangan pekerjaan.

75

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

Grafik 4-3 Pendiri Baitul Mal Wat Tanwil

Box 4-2 Hasil wawancara peneliti dengan pengurus BMT Sumber
Mulia (KH Zaeri Rosidi) Tentang Tujuan Pendirian BMT
Tujuan awal dari pendirian BMT untuk kemaslahatan umat. Bank
yang ada sebenarnya sudah cukup, tetapi ada kelompok masyarakat
muslim yang mengharamkan bunga bank, maka dibuatlah BMT.
Para bakul yang mengharamkan bank yang perlu dana BMT dapat
menyediakan pembiayaannya, sekaligus untuk menggerakkan
perekonomian para bakul kecil di pasar. Langkah awal pendirian
BMT yaitu dengan menghimpun iuran dari beberapa teman, setelah
dana terkumpul kita buat kesepakatan untuk penggunaan dana
bersama, dengan sistem bagi hasil bagi yang menggunakan dana.
Meskipun sudah dengan ikatan religius tetapi tetap ada yang kurang
lancar bahkan macet. Karena namanya orang berusaha dereng tentu
saget berhasil (belum tentu berhasil), jenenge tiyang papak mboten
podo (namanya orang belum tentu sama)
Sumber : Data diolah dari hasil penelitian

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dianalisis, bahwa
didirikannya BMT untuk memberikan solusi bagi UMKM yang
mengharamkan bunga, ini permasalahan bagi sebagian kecil UMKM,
tetapi perlu dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya, yaitu dengan
mendirikan BMT. Faktor-faktor yang mendorong berdirinya BMT dapat
dilihat pada grafik 4-4 berikut,

76

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

Grafik 4-4 Faktor Pendorong Berdiri BMT Tahun 2009

Sumber : Bank Indonesia Semarang

4.2.6.

Program-Program Pemerintah

Keberadaan lembaga keuangan mikro, KSP, KUR ini memiliki wilayah
pembina yang tersebar di berbagai bidang dengan instansi pembina yang
berbeda-beda mulai dari Bank Indonesia, Departemen/Dinas Koperasi
dan usaha kecil dan menengah, hingga pemerintah daerah. Hal ini terjadi
karena belum ada peraturan yang mengatur secara jelas mengenai
keberadaan lembaga keuangan mikro. Kelembagaan ini sangat penting,
karena secara hukum akan melandasi operasional dari lembaga
keuangan mikro, namun harus dihindari adanya peraturan yang
nantinya bisa menghambat perkembangan lembaga keuangan mikro
itu sendiri.
Upaya yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan
membuat Rancangan Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) yang dilakukan secara intensif dan mendalam. Muatan
RUU ini harus mencerminkan karakteristik Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) di Indonesia, agar tujuan yang diinginkan bisa tercapai.
Aspek lain yang perlu diperhatikan, bahwa lembaga keuangan mikro
sebagaimana lembaga-lembaga keuangan formal lainnya, yang
menempatkan faktor kepercayaan sebagai hal yang utama dalam
perekonomian. Jika Bank Indonesia mempunyai Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) sebagai blue print dalam mengembangkan dan

77

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

memperkuat lembaga perbankan menjadi industri keuangan yang
tangguh, maka pemerintah hendaknya juga memiliki blue print yang
sama dalam pengembangan dan penguatan industri Lembaga Keuangan
Mikro (LKM).
Kenyataan menunjukkan industri perbankan yang tangguh tidak
otomatis mengangkat UKM menjadi lebih besar, karena sangat sedikit
porsi pembiayaan yang disediakan untuk pelaku UKM.
Bila lembaga keuangan mikro sudah diarahkan untuk menjadi lebih
kuat, maka harus dilanjutkan dengan dukungan yang lain, misalnya
banyak Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang mengandalkan
penerimaannya dari sumber-sumber pihak ketiga yang mayoritas dari
perorangan. Untuk memberi rasa aman dan percaya masyarakat kepada
eksistensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) wajar jika pemerintah
memberikan jaminan atas uang yang telah ditempatkan masyarakat
kepada Lembaga Keuangan Mikro (LKM), misalnya semacam jaminan
atas simpanan yang ditempatkan para nasabah di lembaga perbankan.
Begitu pula dengan kredit yang telah disalurkan kepada masyarakat.
4.3. Komitmen dalam Memperkuat UKM
Perkembangan lembaga keuangan mikro pada dasarnya mengikuti
perkembangan aktivitas usaha para pelaku UKM, jika UKM
menghasilkan nilai tambah yang semakin besar maka kebutuhan akan
pembiayaan bagi UKM semakin besar pula, sehingga pasar usaha
Lembaga Keuangan Mikro semakin terbuka luas. Sehingga usaha-usaha
untuk memperkuat UKM menjadi bagian yang tidak terpisahkan jika
menginginkan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) semakin kuat.
Sebagaimana diawal telah diungkapkan, masalah pokok UKM mencakup
pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk
yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan
penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumbersumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya
dari perbankan. Masalah pertama dan kedua yang akan menjadi pusat
perhatian, upaya untuk membuka pasar secara luas terhadap produkproduk UKM merupakan hal yang utama. Begitu pula upaya-upaya
pendampingan dalam penguatan dan pengembangan usaha UKM.
Cukup besar dana APBD Provinsi Jawa Tengah yang disalurkan kepada

78

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

lembaga keuangan mikro, pada tahun 2008, 2009 dan 2010 dana APBD
yang disalurkan dalam 2 tahap sebesar 75 milyard untuk penguatan
LKM BKK. Pada tahun 2008 sebanyak 50 KSP mendapat bantuan lunak
dari APBD provinsi, yang dipinjamkan dengan jangka waktu 3 tahun
dengan plafon berkisar 250 juta per KSP yang penyaluran dan
pengembaliannya lewat BPR BKK.
Berikut adalah hasil wawancara penulis dengan Kepala Biro
Perekonomian Provinsi Jawa Tengah pada bulan Maret 2009,
Box 4-3 Wawancara dengan Ka. Biro Perekonomian Jawa Tengah
Bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berkomitmen mengembangkan UKM, bapak Gubernur sudah dawuhke (memerintahkan)
bahwa bali ndeso bangun deso (pulang ke desa membangun desa)
selain membangun fisik juga sektor UKM sangat ditekankan, karena
banyak petani yang memiliki usaha sampingan UKM, mulai dari
membuat kerajinan, dan membuat makanan tradisional, biasanya
dikerjakan setelah selesai mengolah lahan taninya samben (sampingan). Banyak bakul-bakul yang datang dari desa-desa, ini adalah yang
menjadi sasaran utama dalam rangka penyaluran modal untuk
membantu meningkatkan hasilnya. Karena sebagian besar rakyat kita
ada di pedesaan, kalau lembaga keuangan mikro sudah diarahkan ke
sana modal rakyat menjadi lebih kuat, tetapi masih banyak Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) yang mengandalkan penerimaannya dari
sumber-sumber pihak ketiga yang mayoritas dari perorangan. Sebagai
komitmen pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menyalurkan
APBD Provinsi tahun 2008, 2009, dan 2010 sebesar 75 milyar untuk
penguatan LKM BKK, selain itu tahun 2008 telah menyalurkan
pinjaman lunak ke KSP besarnya 250 juta per KSP dengan jangka
waktu 3 tahun, penyaluranya lewat BPR BKK. Selain itu kredit-kredit
BPR BKK maupun BKK harus mengarah pada sektor UMKM.
Terima kasih.

Dari wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah
mempunyai kepedulian terhadap bakul dan pengusaha kecil di
pedesaan. Kepedulian tersebut diwujudkan dengan adanya alokasi
anggaran dalam APBD yang disalurkan untuk UMKM lewat KSP dan
BPR BKK. Penyaluran dana untuk UMKM masih ditambah untuk para
bakul dan petani lewat KSP.

79

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

4.3.1. Bank Umum Membuka Layanan Unit Mikro
Salah satu upaya dalam pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara
lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya
adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber
pembiayaan bagi UKM yang pada dasarnya merupakan bagian dari
masyarakat miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan
produktif. Sekaligus untuk memotong rantai ketergantungan karena
adanya aliran modal ke usaha mikro.
Kontribusi UKM dalam PDB semakin besar, namun hambatan yang
dihadapi juga besar, diantaranya kesulitan mengakses sumber-sumber
pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Penelitian ini
mencoba untuk menguraikan peranan LKM dalam menunjang kegiatan
UKM, walaupun porsinya sebagai alternatif pembiayaan masih kecil
dibandingkan lembaga-lembaga keuangan formal.
Namun hal ini, menarik untuk dikaji sebab perkembangan LKM
ternyata searah dengan perkembangan UKM, sehingga bisa dikatakan
bahwa LKM merupakan salah satu pilar sistem keuangan nasional.
Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat dua hal yang layak
direkomendasikan: (1) Memperkuat aspek kelembagaan LKM dengan
cara dilakukan penggabungan (merger), (2) Mempunyai komitmen
yang sama dalam pengembangan UKM yang sinergi dengan LKM. Pada
akhirnya upaya untuk memutus rantai kemiskinan dapat dilakukan
dengan cara yang produktif yaitu memanfaatkan sumber-sumber
ekonomi lokal yang produktif.
4.3.2.

Penguatan Lembaga Keuangan Mikro

Semakin banyak lapisan masyarakat bawah yang membutuhkan
kehadiran lembaga perkreditan mikro yang ada di tingkat paling bawah
yang mempunyai misi mengentaskan kemiskinan dan pengangguran.
Keberadaan LKM belum bisa memenuhi kebutuhan yang diperlukan
oleh pengusaha mikro. Hal tersebut tidak terlepas dari semakin
berkembangnya UMKM. Oleh karena itu, harus segera ada upaya untuk
memperkuat lembaga keuangan mikro yang sudah ada.
Begitu besarnya peranan UMKM, terutama sejak krisis moneter tahun
1998 dimana UMKM dipandang sebagai katup penyelamat dalam

80

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju
pertumbuhan ekonomi maupun dalam penyerapan tenaga kerja.
Penyaluran permodalan ke daerah pinggiran akan memacu daerah yang
terpinggirkan akan bergerak, karena hal tersebut akan mampu
mengangkat kinerja usaha yang paling kecil. Dengan adanya aliran
modal Dinas Koperasi dan UKM gerakan perekonomian kecil dan
menengah bergerak. Kinerja UMKM dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan besaran Produk Domestik Bruto yang diciptakan UMKM
dalam tahun 2008 mencapai nilai Rp1.013,5 triliun (56,7 persen dari
PDB). Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2008 mencapai 42,4 juta,
sedangkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini tercatat 79,0
juta pekerja.
Pertumbuhan PDB UMKM periode 2005-2008 ternyata lebih tinggi
daripada total PDB, yang sumbangan pertumbuhannya lebih besar
dibandingkan dengan Usaha Besar.
Perkembangan sektor UMKM yang demikian menyiratkan bahwa
terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini dapat
dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan
usaha menengah yang tangguh, seperti yang terjadi pada perkembangan
usaha-usaha menengah di Korea Selatan dan Taiwan. Namun, di sisi
lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara
garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar
atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya
pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses
terhadap sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan
formal khususnya dari perbankan.
Pengusaha pribumi harus memulai menginvestasikan assetnya ke
perusahaan yang mempunyai kekuatan besar dari pada usaha yang
domestik. Sinyalemen tersebut terjadi pula pada pengusaha lokal kita,
berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, pada umumnya
pengusaha-pengusaha kecil menempatkan dananya pada bank-bank
swasta nasional dan bank-bank swasta asing, yang seharusnya tabungan
dan dana-dana tersebut ditempatkan pada bank lokal atau BPR untuk
memperkuat pendanaan bank lokal. Dengan demikian masyarakat
industri kecil akan lebih mudah untuk mengakses modal di bank lokal.
81

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

Keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan lokal yang dihadapi
oleh UMKM khususnya pelaku UKM terutama dari lembaga-lembaga
keuangan formal seperti perbankan, sehingga pelaku UKM bergantung
pada sumber-sumber modal informal.
Bentuk dari sumber-sumber modal informal beraneka ragam, mulai dari
pelepas uang (rentenir) hingga berkembang dalam bentuk unit-unit
simpan pinjam, koperasi, dan bentuk-bentuk modal informal yang lain.
Grafik 4-5. Profil UMKM di Indonesia Tahun 2009

Sumber : Bank Indonesia

Grafik 4-5 menunjukkan, bahwa sektor industri lebih cepat peningkatannya yaitu mencapai 85.24 persen. Sedangkan UKM sulit untuk
meningkat karena kelemahan pada permodalan dan manajemen. LKM
tidak mampu untuk memberikan pinjaman modal yang besar, karena
keterbatasan dana yang dimiliki. Dalam perkembangannya lembagalembaga keuangan informal ini lebih mengena di kalangan pelaku UKM
karena sifatnya yang lebih fleksibel; terutama dalam hal persyaratan,
besarnya jumlah pinjaman, dan keluwesan dalam pencairan kredit yang
tidak seketat persyaratan pada perbankan.
Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan lembaga
keuangan mikro sesuai dengan kebutuhan pelaku UKM, yang pada
umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai dengan skala dan sifat
dari usaha kecil. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal ini
kemudian disebut sebagai LKM. Dalam perkembangannya, LKM
setelah besar mulai enggan untuk melayani sektor yang kecil-kecil,
karena lebih berorientasi pada keuntungan lembaga. Bahkan, banyak
LKM yang membebankan bunga yang cukup tinggi kepada para bakul

82

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

di pasar dan meminta ada jaminan, hal ini menyebabkan para bakul
lari ke rentenir.
Pemerintah memberikan peluang untuk berdirinya LKM, akan tetapi
tidak disertai dengan peraturan pelaksanaan di lapangan. Meskipun
terdapat banyak LKM, akan tetapi masyarakat kecil masih banyak yang
belum bisa memperoleh manfaat dari keberadaannya. Hal ini disebabkan
oleh sulitnya prosedur, tingginya bunga yang dikenakan, dan
persyaratan formal yang memberatkan. Salah satu contoh bahwa banyak
rakyat yang belum terlayani permodalannya oleh LKM, yaitu hasil
wawancara dengan ibu Sumarni, bakul tempe di pasar Bandarjo Ungaran
pada tanggal 15 Mei 2009 sebagai berikut,
Box 4-4. Hambatan Perolehan Kredit Bagi UMKM
Sak niki usaha niku gampil tapi batinya mepet, sampun
kepangan bunga bank. Kalih delenya angel padose, (kalau
diterjemahkan begini: untuk berusaha atau berjualanya laris
tetapi labanya kecil karena sudah untuk membayar bunga bank,
termasuk membeli bahan baku dele mahal). Bungane bank awis
tur beto jaminan, terus kulo mendet ten koperasi ideran 3 persen
(bunga pinjaman di bank mahal dan harus membawa jaminan,
akhirnya saya mengambil di koperasi meskipun bunganya 3
persen).
Jane ajeng ngampil ten bank tapi angel niku, syaratnya dakikdakik, dangu mas. maksudnya (mau pinjam di bank, pinjam di
bank itu susah, persyaratanya banyak dan lama). Akhirnya bu
Marni mengajukan usul mbok pak Bupati damel bank sing
murah, mboten sah ngangge sertifikat, (maksud bu Marni minta
kepada pemerintah membuat bank yang murah tanpa jaminan).

Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan, bahwa keberadaan LKM
belum memihak kepada rakyat kecil, orientasinya lebih mengutamakan
keuntungan daripada pelayanan. Sehingga, banyak masyarakat kecil
yang akhirnya terjerat rentenir di pasar-pasar, karena untuk mencari
pinjaman di bank tidak memiliki jaminan.
Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah selama
ini lebih menitikberatkan pada bentuk-bentuk transfer atau subsidi,
padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus diatasi dengan cara
tersebut. Aspek yang lebih penting adalah memutus mata rantai kemiskinan
yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan akses yang lebih

83

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

luas, mudah, dan murah kepada masyarakat miskin. Dengan demikian
diharapkan bisa menjadi lebih produktif, pepatah mengatakan "jangan
berikan ikannya tapi berikanlah kailnya", sehingga sangat relevan jika
mengupayakan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.
Kondisi tersebut di atas jika berjalan terus, maka secara langsung maupun
tidak langsung akan berpengaruh pada upaya pemerintah untuk
menekan angka kemiskinan. Pelaku UKM pada dasarnya adalah lapisan
masyarakat yang ditinjau dari besaran pendapatannya lebih berpotensi
mendekati masyarakat miskin, namun mereka mempunyai kemauan
untuk melakukan usaha produktif. Jika UKM terus mendapat hambatan
dalam berusaha, termasuk kesulitan mengakses sumber-sumber
pembiayaan maka potensi menjadi masyarakat miskin akan menjadi
kenyataan.
Berdasarkan kondisi tersebut, sangat penting melakukan upaya
bagaimana memperluas akses-akses pembiayaan bagi para pelaku UKM
dan pada saat yang bersamaan peranan LKM terus berkembang dan
sekaligus mampu mengatasi kebutuhan UKM, walaupun dengan porsi
yang masih terbatas. Beberapa permasalahan yang harus segera
diselesaikan adalah,
1. Menjadikan LKM menjadi lebih besar dan semakin berkembang,
sehingga mampu melayani para pengusaha mikro.
2. Menggabungkan dan meningkatkan peran LKM ini dalam dalam
rangka mendukung pemberdayaan UKM.
3. Menginventarisasi LKM yang ada sebagai sumber pembiayaan
UKM.
4. Menganalisis potensi dan permasalahan LKM yang dapat dijadikan
sebagai dasar pengembangan di masa depan, yang memungkinkan
menjadi salah satu pilar dengan penggabungan (merger) sistem
keuangan nasional.
Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan
program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini
dapat berupa transfer payment dari pemerintah misalnya, program
pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana,
maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam
bentuk kredit mikro. Secara hipotesis, kaitan antara pemberdayaan
kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu
masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula.

84

Bab 4 | Dinamika Lembaga Keuangan Mikro

Jika pengusaha pemula ini bisa tumbuh dan berkembang akan
terentaskan menjadi pengusaha atau karena trickle down effect dari
semakin banyaknya pengusaha mikro (Krisna Wijaya: 2005). Pinjaman
dalam bentuk kredit mikro merupakan salah satu upaya yang ampuh
dalam menangani kemiskinan. Hal tersebut didasarkan bahwa pada
masyarakat miskin sebenarnya terdapat perbedaan klasifikasi, yang
mencakup: pertama, masyarakat yang sangat miskin (the extreme poor)
yakni mereka yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan
produktif, kedua, masyarakat yang dikategorikan miskin, namun
memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor); dan
ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni
mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.
Pendekatan yang dipakai dalam rangka pengentasan kemiskinan tentu
berbeda-beda untuk ketiga kelompok masyarakat tersebut, agar sasaran
pengentasan kemiskinan bisa tercapai. Bagi kelompok pertama akan
lebih tepat jika digunakan pendekatan langsung berupa program pangan,
subsidi, atau penciptaan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi kelompok
kedua dan ketiga, lebih efektif jika digunakan pendekatan tidak
langsung, misalnya penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan
UKM, pengembangan berbagai jenis pinjaman mikro atau mensinergikan
UKM dengan para pelaku Usaha Menengah maupun Besar.
Di Indonesia terdapat lebih dari 54.000 LKM yang tersebar sampai ke
pelosok desa yang melayani lebih dari 33 juta penabung dan 21 juta
peminjam. Hal yang menarik bahwa pinjaman lebih tinggi dibandingkan
dengan simpanannya. Hal ini menunjukkan, Pertama: kemampuan
penyaluran kredit melebihi kemampuan penggalangan dana masyarakat.
Kedua: adanya "kepercayaan" masyarakat dalam hal ini pelaku usaha
mikro, kecil, dan menengah terhadap LKM; terutama sebagai sumber
modalnya. Dengan demikian, diperlukan "penguatan" LKM termasuk
juga BPR dalam penyediaan dana untuk mendukung besarnya
kebutuhan dana bagi UMKM sebagai salah satu sumber modal.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, selama ini BPR/LKM telah
menjalin kemitraan dengan Bank Umum dalam bentuk Linkage program. Pogram tersebut merupakan salah satu bentuk dari upaya
pemberdayaan bagi kelompok kedua dan ketiga masyarakat miskin.
Melalui linkage program sebagian permasalahan yang dihadapi oleh
Bank Umum dan BPR yang berkaitan dengan penyaluran kredit dapat

85

Pengembangan Bank Lokal dengan Merger

teratasi. Bagi Bank Umum, program tersebut setidaknya mampu
mengatasi masalah keterbatasan jaringan dan sumber daya manusia
dalam menjangkau UMKM secara langsung, sedangkan bagi BPR atau
LKM linkage program dapat mengatasi hambatan kesulitan modal kerja
yang diperlukan dalam penyaluran kredit.
Pengucuran kredit dari Bank Umum ke Koperasi Simpan Pinjam melalui
linkage program selama bulan Juli 2008 sampai dengan bulan Maret
2009 mencapai Rp. 1,93 triliun, sedangkan yang disalurkan kepada BPR
ebih rendah dibandingkan dengan yang disalurkan kepada Koperasi
yaitu sebesar Rp. 1,54 triliun.
Linkage program telah berkembang dengan baik, hal ini terbukti dengan
banyaknya jumlah bank umum peserta linkage program seperti terlihat
dalam tabel 4-3. Sejak dicanangkan sampai dengan Tahun 2009, linkage program sebagai salah satu program yang harus dilakukan sesuai
Instruksi Presiden No 5 tahun 2008 tanggal 22 Mei 2008. Program linkage telah menjalin kerjasama dengan koperasi, BPR konvensional dan
syariah, serta baitul maal tamwil (BMT) mencapai 500 BPR/S, koperasi
dan BMT (http://www.depkop.go.id 2009).
Tabel 4-3

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Daftar Bank Umum Pelaku Penandatangan Linkage
Program Pada Rabu, 1 April 2009
Nama Bank Umum

PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk
PT BPD Jawa Barat dan Banten
PT Bank Muamalat Indonesia
PT BPD Sumatera Utara
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk
PT Bank Central Asia, Tbk
PT Bank Syariah Mandiri
PT BPD Jawa Timur
PT BPD Sumatera Barat
PT Bank International Indonesia, Tbk
PT Bank Mega, Tbk
PT BPD Riau
PT Bank Bukopin
PT Bank DKI
PT BPD Sulawesi Selatan
PT Bank Ganesha
PT Bank CIMB Niaga, Tbk
PT Bank Himpunan Saudara 1906, Tbk
PT Bank Danamon, Tbk

Sumber : (http://www.depkop.go.id 2009)

86

Mitra Program
BPR dan Koperasi
BPR dan Koperasi
BPRS dan BMT
BPRS, Koperasi dan BMT
Koperasi
BPR
BPR dan BPRS
BPR dan Koperasi
BPR dan Koperasi
BPR dan Koperasi
BPR
BPR dan Koperasi
BPR dan BPRS
Koperasi
BPR dan Koperasi
Koperasi
BPR
BPR dan Koperasi
BPR

Plafon Kredit
(Rp.)
512,000,000,000
22,550,000,000
66,586,747,138
3,285,000,000
600,000,000
9,970,000,000
27,000,000,000
15,500,000,000
15,950,000,000
235,762,146,000
15,000,000,000
5,500,000,000
54,110,203,694
2,500,000,000
3,128,000,000
10,000,000,000
509,777,234,275
1,500,000,000
84,600,000,000

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata bagi Masyarakat Lokal D 902009101 BAB IV

0 1 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Bank Lokal dengan Merger dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Bank Lokal dengan Merger dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat D 902006001 BAB I

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Bank Lokal dengan Merger dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat D 902006001 BAB II

0 0 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Bank Lokal dengan Merger dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat D 902006001 BAB III

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Bank Lokal dengan Merger dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat D 902006001 BAB V

0 0 100

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Bank Lokal dengan Merger dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat D 902006001 BAB VI

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Bank Lokal dengan Merger dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Bank Lokal dengan Merger dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

0 1 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Industri Kecil untuk Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

0 0 55