JARINGAN PROSTITUSI TRETES PRIGEN PASURUAN.

(1)

JARINGAN PROSTITUSI TRETES PRIGEN PASURUAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

(S.Sos) dalam Bidang Sosiologi

Oleh:

NUR KHOFIFAH

NIM.B05211039

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Nur Khofifah (B0511039), 2015 “Jaringan Prostitusi Tretes Pasuruan” Skripsi Program Studi Sosiologi dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya”

Kata kunci : Jaringan Prostitusi

Sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat peneliti mengenai jaringan prostitusi, maka ada tiga persoalan yang dianalisis dalam persoalan ini (1) Bagaimana peran masing-masing agen dalam jaringan prostitusi di Tretes Prigen Pasuruan? (2) faktor apa saja yang melatar belakangi para PSK untuk bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial? (3) bagaimana tanggapan masyarakat mengenai adanya jaringan prostitusi di Tretes Pasuruan?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan berbasis fenomenologi. Adapun kajian fenomenologi ini lebih memfokuskan pada suatu fenomena yang terjadi dengan cara melihat dan memahami arti dari suatu fenomena tersebut untuk menjelaskan secara mendalam mengenai jaringan prostitusi di Tretes. Dalam penelitian ini, data yang diperlukan dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Yang disajikan dalam skripsi ini akan di analisi dengan salah satu teori yang ada dalam paradigma fakta sosial yakni Teori Fungsional Struktural Talcott Parsons.

Dari hasil penelitian yang telah diperoleh dilapangan ditemukan bahwa: (1) peran masing-masing agen yang terlibat dalam jaringan prostitusi yakni peran dari Germo, Pekerja Seks Komersial dan Tukang Ojek. Peran dari germo adalah memberikan keamanan untuk para PSK, memberikan fasilitas tempat (Wisma), mencari pelanggan dan mencari Pekerja Seks Komersial. (2) latar belakang pekerja seks komersial yakni himpitan ekonomi, tngkat pendidikan rendah, dan rasa kecewa terhadap keluarga atau pasangan. (3) tanggapan masyarakat sekitar ada yang pro dan ada yang kontra. Tanggapan yang pro ditandai dengan adanya relawan HIV AIDS dari masyarakat untuk kesehatan para pekerja seks komersial. Tanggapan yang kontra ditandai dengan adanya pembakaran tempat prostitusi.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Definisi Konseptual ... 8

F. Telaah Pustaka ... 9

G. Metode Penelitian ... 24

H. Sistematika Pembahasan ... 35

BAB II TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL ... 38

Paradigma Fakta Sosial Emile Durkheim ... 38

Teori Fungsionalisme Struktural Talcot {Parson ... 39

BAB III JARINGAN PROSTITUSI ... 50

A. Deskripsi Umum Kelurahan Tretes Kecamatan Prigen ... 50

1. Letak dan Keadaan Geografis Kelurahan Tretes Kecamatan Prigen ... 50

2. Kondisi Demografis Kelurahan Tretes Kecamatan Prigen ... 53

3. Mata Pencaharian Warga Tretes Prigen ... 55

4. Kehidupan Agama Masyarakat Tretes ... 57

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 59

1. Prostitusi Tretes ... 59

2. Latar Belakang Pekerja Seks Komersial ... 64

3. Latar Belakang Pelanggan Seks Komersial ... 68

4. Tanggapan Masyarakat dan Pemerintah terhadap adanya Prostitusi ... 68


(7)

C. Jaringan Prostitusi dalam Perspektif Fungsional

Struktural ... 75

BAB IV PENUTUP ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel I Batas Wilayah Desa ... 50

Tabel II Luas wilayah menurut penggunaan ... 51

Tabel III Tanah fasilitas umum ... 51

Tabel IV Iklim Pelurahan Prigen ... 52

Tabel V Area Wisata dan Pemanfaatan Wisata ... 53

Tabel VI Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 54


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar I Vila Daerah Pesanggrahan Tretes ... 2

Gambar II Pedagang Kaki Lima di Depan Hotel Limas Tretes ... 56

Gambar III Air Terjun Kakek Bodo ... 60

Gambar IV Candi Jawi Prigen ... 61


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tretes merupakan sebuah desa yang berada di Kabupaten Pasuruan, yang tepatnya berada di Kecamatan Prigen, jarak dengan kota Pasuruan adalah sekitar 40 km. Tretes terletak di kaki Gunung Welirang dan Gunung Arjuno, keindahan Tretes terletak dari jauhnya keriuhan kota. Apalagi jika melewatkan suatu sore memandang kokohnya pegunungan dirundung kabut. Tretes mempunyai alam yang bernuansakan hutan tropis, dataran tinggi dan memiliki air terjun yang terjaga. Hotel yang berada disekitar Tretes mempunyai beberapa keunggulan, terutama karena memang berada langsung dekat dengan kawasan hutan.

Selayaknya jalan dipegunungan, jalur Tretes juga berkelok dan menanjak. Tapi tak setajam kelokan dipuncak. Dua gunung yang menaungi kawasan ini adalah Gunung Welirang dan Gunung Arjuno. Keduanya akan terlihat jelas ketika di pagi hari, lalu menyurut oleh kabut dipenggalan siang. Tretes mempunyai potensi wisata keluarga yang sangat tinggi. Dinaungi oleh dua Gunung Welirang dan Gunung Arjuno tadi, dua Gunung tersebut akan Nampak ketika langit bersih dan biasanya dipagi hari. Sebelum sampai di Taman Wisata Tretes ada sebuah candi yang merupakan peninggalan kerajaan Singosari. Candi Jawi namanya, candi ini juga menjadi ciri khas dari wilayah Tretes.


(11)

2

Tretes banyak dikenal sebagai daerah wisata, karena disana terdapat beberapa air terjun, seperti Wisata Air Terjun Kakek bodo, dan Air Terjun Putuk Teruno. Yang mana air terjun tersebut sangat ramai dikunjungi apalagi ketika hari libur. Selain Air Terjun, Tretes merupakan kawasan pegunungan yang alami, karena letaknya di kaki Gunung Welirang dan Gunung Arjuno, yang mempunyai beberapa tempat wisata dan juga disediakan Hotel – Hotel berbintang untuk memanjakan pengunjung yang membutuhkan tempat beristirahat. Untuk yang berkantong tipis jangan khawatir, karena di Tretes juga menyediakan tempat beristirahat yang murah meriah yaitu losmen atau villa, yang harganya mulai dari 25.000 hingga jutaan rupiah.

Di sisi lain Tretes juga dikenal sebagai tempat beristirahat pada akhir pekan, maka tak heran jika masyarakat yang memilih berlibur atau sekedar menghabiskan waktu bersama keluarga di Tretes, baik dari warga pasuruan


(12)

3

sendiri, dari luar kota bahkan Turis asing pun tak sulit di jumpai di Tretes, karena di Tretes mereka mendapatkan kepuasan tersendiri.

Tretes menjadi pilihan tempat wisata alam di pegunungan dan untuk bersantai dan beristirahat menjauhi kebisingan kota, bertebaran berbagai Hotel, Motel, dan Villa yang disewakan. Mulai yang bintang empat sampai kelas rumah – rumah sederhana. Penjajah villa sangat atraktif menawarkan pada hampir semua pengunjung. Makanan dan jajanan terbanyak adalah sate kelinci, bakso dan jagung bakar. Makanan khas wilayah pegunungan yang disiapkan disepanjang jalan di warung kecil dalam kawasan ini.

Maka tak heran jika setiap akhir pekan, Tretes menjadi kawasan yang ramai dikunjungi. Baik sekedar berjalan – jalan mengelilingi Tretes ataupun pengunjung yang bermalam di Tretes. Kebanyakan pengunjung berasal dari luar kota yang mendapatkan referensi dari relasi untuk sejenak melepaskan penat dengan berkunjung ke Tretes.

Akan tetapi Tretes tak hanya terkenal dengan tempat wisata atau daerah pegunungan yang asri. Tretes ternyata juga dikenal dengan aktifitas prostitusinya, menurut sumber dari warga aktifitas prostitusi ini ada mulai dari zaman belanda. Tak sedikit yang keberatan dengan keberadaan tempat prostitusi tersebut, masyarakat Tretes pun ada yang pro kontra dengan keberadaan tempat prostitusi itu, hingga saat ini para pejabat pemerintahan sibuk mencari solusi yang lebih positif untuk menggantikan tempat yang dipandang negatif oleh semua orang. Hingga puncaknya sekitar belasan tahun yang lalu sebuah kelompok melakukan sweeping dan demo besar – besaran di


(13)

4

Tretes hingga membakar sebagian tempat prostitusi tersebut, akan tetapi aksi dari kelompok tersebut tak berarti banyak dan tak berjalan lama.

Dulu memang ada tempat prostitusi yang dibakar yaitu di daerah

Mbara’an atau matahari yang dulunya tempat paling ramai dikunjungi oleh

para lelaki hidung belang. Hingga saat ini tak sedikit tempat prostitusi yang beraktifitas lagi. Hal itu disebabkan karena sebagian dari mata pencaharian dari masyarakat Tretes adalah sebagai makelar, baik makelar villa atau losmen dan makelar wanita hiburan (germo). Maka jangan kaget bila berkunjung ke daerah Tretes, kita akan dikejar – kejar oleh para makelar dan mereka akan menawari kita tempat beristirahat (villa atau losmen) hingga menawari wanita penghibur (PSK). Karena sebagian besar dari masyarakat

Tretes menggantungkan nasibnya dengan “bermakelar” entah itu makelar

villa, losmen, maupun makelar PSK (germo).

Kehidupan seperti itulah yang terjadi disetiap harinya dikawasan Tretes, yang selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik berkunjung ketempat prostitusinya ataupun berkunjung untuk hanya sekedar berlibur bersama keluarga. Indahnya kawasan pegunungan Tretes juga tak kalah dengan indahnya tubuh yang molek yang berjalan kesana kemari dikawasan pesanggarahan, bak di Negara Eropa yang berpakaian serba minim. Di sana juga terdapat banyak club – club kecil, yang selalu ramai ketika akhir pekan tiba. Diluarnya berjajar para lelaki yang siap melayani para tamu yang berminat memakai jasa mereka untuk mencarikan wanita penghibur ataupun villa.


(14)

5

Pada dasarnya masyarakat Tretes tidak menginginkan adanya kegiatan prostitusi itu berada di Tretes, karena praktek prostitusi itu terjadi secara sembunyi – sembunyi (terselubung). Sehingga warga tretes menjadi resah ketika mereka tahu bahwa lingkungan mereka menjadi aktifitas prostitusi itu berlangsung. Aktifitas prostitusi di Tretes merupakan kegiatan yang illegal atau dilarang, hal itu sesuai dengan perda No.10 Tahun 2000 tentang adanya larangan melakukan prostitusi. Akan tetapi keberadaan dan aktifitas prostitusi di Tretes di akui memang tetap ada tapi bersifat terselubung atau sembunyi – sembunyi, akan tetapi kondisi itu bertolak belakang dengan yang terjadi sebelum adanya perda yang melarang kegiatan prostitusi, ketika itu kegiatan prostitusi terjadi sangat vulgar atau terbuka, seakan – akan Tretes adalah daerah yang bebas untuk melakukan kegiatan prostitusi.

Pada zaman itu pula aktifitas itu sedikit di legalkan sebab ada sedikit campur tangan pemerintah setempat, seperti contoh, dahulu sempat ada TPKM (Tim Penanganan Kesehatan Masyarakat) dimana tim ini ada keikut sertaan pihak puskesmas, sebab sekitar tahun 1980an para PSK selalu ada pemeriksaan rutin oleh pihak terkait dan di suntik untuk menanggulangi penyakit yang disebabkan oleh hubungan bebas. Tetapi semenjak diterbitkannya perda yang melarang kegiatan prostitusi itu, semuanya berbeda karena kegiatan yang awal mulanya bisa dilakukan secara bebas dan vulgar, sekarang tidak lagi seperti dahulu karena aktifitas tersebut tetap dengan cara sembunyi – sembunyi.


(15)

6

Latar belakang tretes menjadi dunia prostitusi dikarenakan susahnya lapangan pekerjaan yang tidak sesuai dengan jumlah peningkatan pendidikan yang setiap tahun mahasiswa maupun siswa yang lulus sehingga menyebabkan mereka sulit mendapatkan pekerjaan. Akibatnya menjadi problematika sosial dalam pembangunan ekonomi nasional dan regional. Masyarakat tanpa pekerjaan menjadi beban ekonomi berkepanjangan, yang sebenarnya mereka juga tidak ingin dalam keadaan seperti itu.

Berlangsungnya aktifitas pelaku bisnis prostitusi di Tretes hingga menjadikannya sebagai salah satu pilihan berprofesi tidaklah lepas dari adanya sistem kerja yang sangat rapi dan terorganisir dengan baik. Para pelakunya mempunyai perananan yang luar biasa pada sistem kerja pelaku bisnis prostitusi di Tretes. Dalam menjalankan aktifitasnya, tiap pelaku memiliki peran masing-masing. Seorang mucikari dalam mencari PSK mereka akan saling memberikan informasi pada rekan seprofesinya. Seorang mucikari akan membawahi beberapa daerah yang sudah menjadi bagian untuk daerah kekuasaannya untuk mencari PSK dan setiap mucikari juga menanamkan orang kepercayaannya untuk mencari PSK.

Mucikari merupakan penanggung jawab dan pengelola seluruh aktifitas bisnis prostitusi hingga pada kerjasama tingkat keamanan yaitu para oknum aparat, singkatnya mereka merupakan koordinator keamanan yang harus mengamankan aktifitas bisnis prostitusi dari gangguan aparat penegak

hukum setempat. Para mucikari inilah yang selalu bertugas ”menyuplai” para


(16)

7

Berkaitan dengan uraian di atas maka diperlukan penelitian lebih mendalam secara kualitatif agar dapat memberikan kejelasan tentang hal yang masih bersifat tabu mengenai : jaringan Prostitusi di Desa Tretes Kec.Prigen Kab.Pasuruan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah, yaitu :

1. Bagaimana peran masing – masing agen dalam jaringan prostitusi di Desa Tretes Kecamatan Prigen Kabupaten Pasuruan?

2. Faktor apa saja yang melatar belakangi para PSK untuk bekerja sebagai seks komersial?

3. Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar mengenai jaringan prostitusi di Tretes?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai kehidupan ekonomi masyarakat dan pekerja seks komersial. Sesuai dengan rumusan masalah diatas, peneliti mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui peran masing – masing agen dalam jaringan prostitusi di Desa Tretes Kecamatan Prigen Kabupaten Pasuruan.


(17)

8

2. Untuk mengetahui Faktor apa saja yang melatar belakangi para PSK untuk bekerja sebagai seks komersial.

3. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat mengenai jaringan prostitusi yang berada di Tretes.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan paling tidak hasilnya nanti memiliki dua manfaat yakni :

1. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kualitatif bagi para praktisi mahasiswa sosiologi, masyarakat umum dan peneliti lain dalam mengkaji jaringan prostitusi, sebagai informasi dalam mengembangkan rangkaian lebih lanjut dalam karya ilmiah yang lebih mendalam.

2. Secara teoritis, penelitian ini membawa khazanah pengetahuan tentang sistem jaringan yang ada dalam kegiatan prostitusi atau setidaknya dapat memperkaya informasi mengenai masalah tersebut, baik sebagai data perbandingan atau data pelengkap dari hasil penelitian yang pernah ada.

E. Definisi Konseptual 1. Jaringan Sosial

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan jaringan prostitusi yang ada dalam penelitian ini menunjukkan tentang masing - masing bagian


(18)

9

memainkan peran mereka, hingga menunjukkan satu kesatuan untuk mencapai keinginan bersama dalam perbaikan kehidupan ekonomi.1 2. Prostitusi

Prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks, untuk memperoleh uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut PSK, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial.2

Kata prostitusi identik dengan kata asing, (dalam bahasa latin: pro-stituere atau pro-staures) berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan persundalan, percabulan dan pengendakan. Sementara itu Soedjono mengatakan bahwa prostitusi sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri pada “perzinahan”.

F. Telaah Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

Untuk mendukung penelitian ini, peneliti menemukan kajian terdahulu mengenai jaringan prostitusi di Tretes, untuk dijadikan dalam pedoman dalam penelitian ini yaitu :

a. Pemaknaan agama Islam menurut pekerja seks komersial di Dolly Surabaya skripsi oleh Lukman Hakim, 2004, Akidah Filsafat,

1

Rudy Agusyanto, Jaringan Social Dalam Organisasi, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,2007),27

2

Mohammad Kusnarto, Sosiologi sebagai Ilmu dan Budaya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,2004), 48


(19)

10

Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel Surabaya. Hal – hal pokok yang dijelaskan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1) Adanya pemahaman dan pemaknaan makna agama Islam sebagai

pengakuan, dalam artian para PSK Dolly itu memaknai agama Islam hanyalah sebatas pengakuan belaka tidak lebih dari itu.

2) Adanya pemahaman dan pemaknaan agama Islam sebagai

formalitas – ritualitas, dalam artian para PSK di Dolly itu hanya memaknai agama Islam hanya sebatas ibadah – ibadah formal – ritual tanpa menghiaukan nilai subtansi yang ada di dalam ibadah yang dilakukannya.

3) Adanya pemahaman dan pemaknaan agama Islam sebagai

pelarian, dalam artian para PSK Dolly memahami agama Islam itu sendiri hanyalah sebuah pelarian ketika mereka sedang menghadapi masalah – masalah atau persoalan – persoalan yang mereka sendiri tidak bisa menyelesaikannya.

b. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Urwatus Salafiyah seorang mahasiswa jurusan Sosiologi Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya. Dimana Judul yang diangkat dalam penelitiannya adalah Mekanisme Survival Pekerja Seks Komersial (PSK) Waria Tua di Makam Kembang Kuning. Dalam penelitian menggunakan analisis metode penelitian kualitatif deskriptif. Dengan permasalahan yang di angkat tentang bagaimana mekanisme survival pekerja seks komersial waria tua di makam kembang kuning Surabaya.


(20)

11

Kesimpulan yang di dapat sebagai jawaban permasalahan adalah mendefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupan para pekerja seks komersial.Cara bertahan hidup oleh mekanisme survival yang dilakukan oleh para pekerja seks komersial yang lanjut usia yang sulit akan mendapatkan tamu karena faktor persaingan dengan PSK waria yang lebih muda.

c. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anna Dwi Rusdiyanti seorang mahasiswa jurusan Sosiologi Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya. Judul yang diangkat dalam penelitiannya adalah Study tentang fenomena prostitusi di desa Awang-awang Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. Dalam penelitiannya menggunakan analisis metode penelitian kualitatif deskriptif. Dengan permasalahan yang di angkat tentang faktor penyebab munculnya tempat prostitusi di desa Awang-awang Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. Kesimpulan yang di dapat sebagai suatu jawaban permasalahan adalah prostitusi yang berada dengan satu wilayah pondok memberikan dampak bagi keberadaan praktik prostitusitersebut. Dengan pemilik warung yang berkeinginan lebih memberikan pelayanan terhadap pelanggan dan adanya suatu konfiramsi antara pemilik warung, PSK, serta oknum kepolisian yang merasa di untungkan dari penghasilan praktik prostitusi tersebut.


(21)

12

Peneliti menggunakan rujukan beberapa hasil penelitian tentang prostitusi. Hal ini dilakukan sebagai pertimbangan dan refrensi dalam penulisan sebagai bahan penelitian. Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa orang yang masih relevan yang dilakukan oleh seorang peneliti. Namun peneliti yang dilakukan kali ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena yang pekerja seks yang di teliti adalah adanya jaringan prostitusi yang berada di Tretes Pasuruan.

2. Kajian Pusataka a. Jaringan

Jaringan dalam sosiologi merupakan berorientasi atomistis memusatkan pada aktor yang membuat keputusan dalam keadaan terisolasi dari aktor lain. Lebih umum lagi memusatkan perhatian

pada “ciri pribadi” aktor. Menurut pandangan pakar teori sosiologi,

pendekatan normatif memusatkan perhatian terhadap kultur dan proses sosialisasi yang menanamkan norma dan nilai kedalam diri aktor. Istilah ini sama halnya dengan adanya jaringan prostitusi di Tretes. Dalam suatu prostitusi yang berada di Tretes ini memiliki suatu adanya jaringan dalam perdagangan seksual. Dengan adanya aktor yang menjadi pusat perhatian pemasok PSK ini adalah memiliki norma dan nilai dalam diri aktor tersebut. Seorang aktorlah yang memberikan kontribusi lebih dalam pekerjaan sebagai PSK. Adanya jaringan yang berada di tretes ini menajdikan suatu


(22)

13

bertambahnya nilai – nilai dan norma – norma dalam aspek sosial warga masyarakat Prigen. Jaringan lebih mempelajari keteraturan individu atau kolektivitas berperilaku ketimbang peraturan berkeyakinan tentang bagaimana seharusnya mereka berperilaku. Oleh karena itu pakar analisis jaringan mencoba menghindarkan penjelasan normatif dan perilaku sosial. Mereka menolak setiap penjelasan nonstruktural yang memperlakukan proses sosial sama dengan penjumlahan diri pribadi aktor individual dan norma yang tertanam.3

Dalam hal ini seorang aktor yang berperan dalam jaringan prostitusi ini lebih memilih untuk melakukannya dengan individu. Dengan cara mereka berperilaku dengan seorang yang dipekerjakan sebagai PSK ini mempunyai nilai positif dari pandangan PSK yang berperilaku baik. Mereka menjadikan seorang PSK sebagai suatu norma – norma sosial.

Adapun ciri khas teori jaringan menurut coleman merupakan tindakan pilihan rasional yang mampu menggerakkan masyarakat lain untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama inilah yang dibangun dari nilai-nilai dan preferensi. Pilihan rasional menurut Coleman akan mendasari seorang aktor penggerak pada kepentingan

3


(23)

14

untuk memaksimalkan keuntungan, atau pemuasan kebutuhan dan keinginannya.4

Istilah dari pendefinisian jaringan prostitusi merupakan perdagangan, pembelian, penjualan perempuan untuk dipekerjakan sebagai pelepas nafsu birahi pada laki – laki atau disebut dengan halnya sebagai penjualan seorang pelacur. Tingkat eksploitasi perempuan yang akan dihadapi dalam komersial sangat ditentukan oleh cara ia diperkenalkan pertama kalinya kedalam dunia perdagangan yang ada di Tretes. Proses perdagangan terjadi karena adanya permintaan yang murah dan amat terjangkau. Kebanyakan para penggawa atau jaringan seperti ini sudah professional, dan ada juga sejumlah kelompok penting lainnya yang terlibat dalam penjualan atau perdagangan seorang sebagai pekerja prostitusi. Dari seorang teman atau tetangga yang memiliki jaringan luas mengenai prostitusi di Tretes Pasuruan.

Para penggawa jaringan prostitusi yang ada di Tretes ini merekrut pekerja komersial untuk melakukan pekerjaan yang lazim. Selain itu juga mereka seorang aktor atau sindikat memberi kontribusi lebih untuk para perempuan yang ingin dipekerjakan sebagai komersial.

4


(24)

15

b. Prostitusi

Istilah dari prostitusi adalah seseorang yang bekerja menjadi pekerja seks komersial. Prostitusi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan – perbuatan seksual dengan mendapat upah. Pengistilahan itu digunakan untuk wanita yang menjual tubuhnya.5

Prostitusi berasal dari bahasa latin pro-situere, yang berarti membiarkan diri berbuat zina. Maka PSK itu adalah wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul pada dirinya, maupun kepada diri sendiri. Definisi prostitusi adalah pemberian layanan seks. Timbulnya masalah prostitusi ada sejak zaman purba sampai sekarang. Pada masa lalu prostitusi mempunyai koneksi dengan penyembahan dewa-dewa dan upacara-upacara keagamaan tertentu. Di Indonesia sendiri prostitusi sudah ada sejak zaman kerajaan terlebih ketika kerajaan-kerajaan tersebut berperang, maka banyak tawanan wanita yang dijadikan selir-selir dan rumah pelacuran. Prostitusi sudah terjadi berabad-abad tahun lalu hingga sekarangpun tidak pernah terhentikan, hal ini seakan-akan menggambarkan keadaan masyarakat dari abad ke abad yang cenderung selalu sakit. Namun sekarang ini prostitusi telah mempengaruhi remaja, terlihat dengan banyaknya remaja yang masuk ke dunia prostitusi. Pada

5


(25)

16

umumnya para remaja ini tidak memahami apa yang akan di timbulkan oleh per-prostitusian.

Banyak perdebatan mengenai pilihan terminologi ketika seseorang memilih istilah prostitusi dari pada pekerja seks komersial, dimana terminologi sering kali mencerminkan posisi ideologi. Istilah prostitusi mengungkapkan karakteristik aktivitas seksual yang dikomersialisasikan yang penting bagi orang-orang yang prihatin dengan rusaknya norma-norma materialistis, sedangkan istilah pekerja seks komersial menuangkan sejumlah karakteristik yang lebih penting bagi mereka yang menyadari sifat serupa bagi seks yang mempunyai orientasi komersial dengan kegiatan lainnya yang berorientasi komersial. Ketika menggunakan salah satu dari kedua istilah untuk penguraian etnografis, menekankan perspektif subbudaya tertentu terhadap prostitusi yaitu pengembangan istilah seks komersial merupakan inisiatif aktivis industri seks untuk mendorong pengakuan terhadap prostitusi sebagai sebuah pilihan ekonomi, ketimbang sebagai suatu identitas. Selain itu pekerja seks komersial mengandung elemen pilihan yang dianggap tidak ada pada prostitusi.Seseorang yang masuk dalam penggolongan sosial pekerja seks adalah kelompok yang paling rentan menghadapi berbagai macam tekanan, tekanan tersebut pada umumnya datang dari kalangan internal, seperti aparat keamanan, orang-orang yang hidup dari profesinya, serta terpinggirkannya mereka dari pergaulan


(26)

17

masyarakat karena stigma yang dilekatkan pada mereka. Pada umumnya, PSK memang menyadari akan kenyataan itu, namun sayangnya mereka tidak berdaya apa-apa di tengah sulitnya akses kehidupan yang tidak ramah. Dengan sebagian anggota masyarakat yang tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, serta banyaknya perilaku menyimpang yang terjadi dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Perbuatan atau perilaku menyimpang adalah tingah laku yang tidak wajar dilakukan dan dinilai asusila oleh masyarakat tertentu.6 Di dalam patologi sosial prostitusi masuk kedalam fase sistematik. Dimana prostitusi merupakan sistem tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, peranan-peranan, nilai-nilai, rasa kebanggan, Norma dan moral tertentu yang berbeda dari situasi umum.Masalah-masalah sosial yang pada zaman modern yang dianggap sebagai sosiopatik atau sakit secara sosial dan secara populer, kita kenal sebagai penyakit masyarakat itu merupakan fungsi struktural dan totalitas sistem sosial.7

Dengan kata lain penyakit masyarakat yang demikian merupakan produk sampingan, atau merupakan konsekuensi yang tidak di harapkan dari sistem sosio-kultural zaman sekarang, dan berfungsi sebagai gejala tersendiri. Banyak anggota masyarakat yang

6

Kartini kartono, Pathologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,1992), 5

7


(27)

18

apatis terhadap norma-norma yang ada dan berlaku dalam kehidupan sosial. Salah satunya adalah dengan munculnya fenomena PSK yang semakin lama semakin menjamur. Fenomena PSK yang terjadi dalam masyarakat banyak yang terjerumus dalam kehidupan sosial bermasyarakat yang berimplikasi pada munculnya jaringan prostitusi

.

Problematika tentang prostitusi khususnya pada jaringan yang ada dalam prostitusi merupakan persoalan yang sangat kompleks dan rawan, karena menyangkut tata kelakuan manusia yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak tatanan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat majemuk. Prostitusi sendiri umumnya memiliki jaringan atau sindikat dalam aktifitasnya.

Dalam perspektif sosiologi, kontroversi praktik prostitusi di Indonesia masih menuai pro dan kontra dari dalam masyarakat. Bagi Durkheim, kontroversi tersebut adalah sebuah anomali sosial. Yaitu penyimpangan nilai-nilai akibat penetrasi budaya urban. Adanya dampak negatif dari praktik prostitusi yang diimplikasikan terhadap moralitas pelaku prostitusi juga berdampak kepada bergesernya nilai-nilai sosial di masyarakat.8 para pelaku prostitusi telah hilang rasa harga dirinya. Mereka hanya dapat dinilai dengan uang dan di depan orang lain tidak menunjukkan rasa yang sekitarnya tidak dapat dinilai dengan uang. Kehidupan para pelaku prostitusi sangatlah

8

http://aliyullohhadi.blogspot.com/2014/12/kontroversi-praktekprostitusi.html/diakses pada 31 Desember 2014


(28)

19

primitif, dilihat dari segi sosiologinya, mereka dipandang rendah oleh masyarakat yang bertempat di jadikannya suatu prostitusi. Mereka seakan-akan sebagai makhluk yang tidak bermoral serta meresahkan warga dan mencemarkan nama baik tempat masyarakat tinggal.

Prostitusi merupakan masalah sosial karena prostitusi merugikan keselamatan, ketentraman dan kemakmuran baik jasmani, rohani maupun sosial dari kehidupan bersama, hal ini menjadi nyata bila di hubungkan dengan penularan penyakit kelamin, dari pandangan agama dan adat tradisi suku-suku bangsa di Indonesia.9Masalah prostitusi merupakan masalah yang kompleks dan rawan terutama di kawasan Tretes, dimana diperlukan penanganan secara lintas sektoral, terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan, juga merupakan masalah yang masih perlu dikaji dari berbagai aspek.

Peraturan pemerintah Kabupaten Pasuruan tahun 1968 mengenai penanggulangan masalah prostitusi, menyatakan bahwa wanita tuna susila adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak. Di Indonesia prostitusi dipandang negatif, pelaku dan sindikatnya pun dianggap sebagai sampah masyarakat. Karena dengan adanya kegiatan prostitusi ini sangat

9

Alam AS. Pelacuran Dan Pemerasan : Studi Sosiologis Tentang Eksploitasi Manusia Oleh Manusia (Bandung : Alumni. 1984), 2


(29)

20

meresahkan kehidupan masyarakat terutama di sekitar wilayah Tretes. Keberadaan para PSK ini akan berdampak buruk terhadap anak-anak serta kaum pria yang berada di Tretes. Karena prostitusi di Tretes ini bertentangan dengan norma adat dan agama.

Prostitusi yang berada di Tretes merupakan suatu prostitusi yang cukup besar dengan seorang PSK yang dibilang cukup banyak. Prostitusi yang berada di Tretes memang ilegal dan tidak mempunyai perizinan dalam beroperasi. Namun dengan adanya campur tangan dari oknum keamanan (polisi) yang menyebabkan aktivitas per-prostitusian di Tretes ini masih melakukan operasi.

Pasuruan adalah penyangga salah satu tempat prostitusi Tretes ini. Banyak seseorang yang ingin menjadi PSK di wilayah Tretes. Dengan alasan yang berbeda – beda, menjadikan prostitusi yang berada di Tretes ini banyak dikenal masyarakat. Bagi waraga Tretes, dunia per-prostitusian menjadi sektor utama untuk bertahan hidup dengan keterbatasan pilihan. Profesi PSK merupakan pilihan yang tepat bagi perempuan yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai keterampilan. Sejumlah perempuan yang berada di Tretes memilih profesi sebagai PSK karena imbalan keuangannya, namun kebanyakan dari pekerja komersial itu tidak mempunyai pilihan. Mereka banyak dibesarkan dalam himpitan kemiskinan, bergaul di tengah diskriminasi, dan dibiasakan untuk menerima pilihan-pilihan sempit. Mereka tidak menerapkan hak pilihnya saat


(30)

21

memasuki profesi sebagai Pekerja Seks Komersial. Maka mereka rapuh, dan kerapuhan itu bersama-sama dengan seksualitas, dijadikan barang dagangan dan dikomersialkan supaya dapat diperdagangkan di wilayah Tretes ini. Dalam sebuah prostitusi yang berada di Tretes, dimana wanitanya amat banyak pilihan, maka keperawanan yang berada di dalam prostitusi Tretes dinilai tinggi sebagai simbol feminitas yang tidak dapat di akses. Itupun terdapat pada suatu lingkungan Tretes dimana masih ada permintaan tinggi bagi prostitusi, dan dimana dibelinya keperawanan seorang gadis mencapai puncaknya.10

Faktor – faktor penyebab terjadinya prostitusi

 Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, seperti seseorang yang menjadi pekerja seks komersial yang berada di Tretes ini. Mereka memilih menjadi PSK karena kebutuhan ekonomi.

Krisis multidimensional yang dialami Negara Indonesia mengakibatkan keadaan ekonomi masyarakat semakin sulit, hal tersebut menjadi salah satu alasan untuk menghalalkan segala cara dengan dalih untuk mencari sesuap nasi, salah satunya

10


(31)

22

adalah dengan jalan memperdagangkan wanita pekerja seks komersial. Tetapi bukan kemiskinan saja yang menjadi salah satu faktor timbulnya perdagangan perempuan sebagai pekerja komersial kemiskinan menjadi suatu yang sangat parah,

kesehatan tidak dihiraukan oleh kelompok yang

membutuhkan.11

Hal ini menunjukan persoalan struktur akses yang bersifat relatif dan sangat menentukan kesejahteraan masyarakat. Penduduk yang miskin mungkin akan lebih rentan terhadap perdagangan, tidak hanya karena lebih sedikit pilihan yang tersedia untuk mencari nafkah, tetapi juga karena memegang kekuasaan sosial yang lebih kecil, sehingga mereka tidak mempunyai banyak akses untuk memperoleh bantuan. Dengan status sosial mereka yang lebih rendah, penduduk miskin juga mempunyai kekuatan yang lebih sedikit untuk menyuarakan keluhannya. Sehingga jelas bahwa kemiskinan bukan satu-satunya faktor yang menciptakan kerentanan dalam perdagangan sebagai pekerja seks komersial. Untuk menikmati keinginan penghasilan lebih tinggi yang mendorong orang masuk siklus pekerja seks. Hal ini menunjukkan bahwa prostitusi yang berada di Tretes ini adalah faktor ekonomi yang menjadikan mereka seorang PSK. Dengan kebutuhan ekonomi

11


(32)

23

yang sangat kekurangan menjadikan desakan seorang menjadi PSK. Dari penghasilan seorang Pekerja Seks Komersial di Tretes yang terbilang cukup ini merubah segi ekonomi mereka. Karena dari penghasilan mereka menjadi seorang PSK cukup banyak yang mereka dapati. Dengan banyaknya para pelanggan berdatangan semakin banyak pula penghasilan yang mereka raih. Maka dari itu faktor ekonomi yang menjadikan mereka sebagai seorang pekerja seks komersial di Tretes.

 Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan rasa frustasi, kualitas konsep diri. Seperti halnya seorang PSK yang taraf pendidikannya rendah. Dengan pendidikan yang kurang sehingga susah mencari pekerjaan yang layak, maka mereka memilih menjadi seorang PSK yang dilihat dari aspek pendidikannya. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita. Secara umum wanita indonesia tidak tergantung secara ekonomi. Secara formal sistem pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan dasar, lanjutan pertma, lanjutan atas, dan tingkat tinggi. Meski tingkat pendidikan di Indonesia telah mencapai kemajuan dalam beberapa dasawarsa terakhir, masih banyak penduduk yang


(33)

24

mengecap tidak lebih dari beberapa tahun pendidikan di bangku sekolah dasar.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan salah satu cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dan tujuan untuk kegunaan tertentu. Berdasarkan cara ilmiah, data ilmiah, dan kegunaan.12 Oleh karena itu, metodologi penelitian sangat penting untuk memudahkan dalam proses penelitian.

1) Pendekatan Kualitatif dan jenis penelitian Deskriptif

Terkait dengan judul dan rumusan masalah di atas peneliti menggunakan pendekatan Kualitatif deskriptif berbasis Fenomenologi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa fenomenologi adalah bagian dari metodologi kualitatif, yang mengandung nilai sejarah dalam perkembangannya.

Kajian fenomenologi ini lebih memfokuskan dari pada konsep suatu fenomena tertentu dan bentuk dari studinya adalah melihat dan memahami arti dari suatu pengalaman individual yang berkaitan dengan suatu fenomena tertentu. Tokoh polkinghorne (1989) mendefinisikan fenomenologi sebagai suatu studi untuk memberikan gambaran tentang arti dari pengalaman-pengalaman beberapa individu mengenai suatu konsep tertentu.

12

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008),2


(34)

25

Studi fenomenologi sebagai metode sosiologi murni bisa menyingkap beberapa hal sebagai berikut yang pertama, esensi masyarakat, kedua perilaku masyarakat, dan ketiga relasi-relasi sosial yang terbentuk. Dengan menggunakan metode tersebut seseorang bisa menemukan fakta-fakta dari puncak kehidupan sosial, dan dapat menyingkap fungsi-fungsi laten yang tersmbunyi dalam setiap tindakan sosial.

Fokus model fenomenologi ini adalah: kepada pengalaman yang dialami oleh individu, bagaimana individu memaknai pengalamannya tersebut berkaitan dengan fenomena tertentu yang sangat berpengaruh dan sangat berarti bagi individu yang bersangkutan.13

Adapun cara-cara yang ditempuh dalam fenomenologi adalah: a. Fenomenologi berkecenderungan untuk menentang atau meragukan

hal-hal yang diterima tanpa melalui pengamatan terlebih dahulu. b. Secara positif fenomenologi berkecenderungan untuk membenarkan

pandangan atau persepsi( dalam beberapa hal, juga evaluasi dan tindakan).

c. Fenomenologi berkecenderungan untuk memegang teguh prinsip bahwa periset harus mengfokuskan pada diri pada suatu yang disebut menemukan permasalahan, sebagaimana yang diarahkan oleh objek

13

Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Selemba Humanika, 2011), 67-68


(35)

26

dan pembetulannya terhadap objek sebagaimana ditemukan permasalahan.14

Alasan kenapa menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif karena permasalahan dalam penelitian ini masih belum jelas, kompleks, dinamis dan penuh makna. Sehingga tidak mungkin pada situasi sosial tersebut menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan instrumen seperti test, kuesioner, pedoman wawancara. Penyajian data dari penelitian ini menggunakan format deskriptif yaitu dengan tujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena yang timbul di masyarakat yang menjadi obyek penelitian itu, kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu.15

Sedangkan alasan menggunakan jenis fenomenologi karena penelitian yang di maksud untuk memahami fenomena tentang apa yang di alami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan. Misalnya terkait dengan judul peneliti jaringan prostitusi, untuk mengetahui fenomena tersebut harus ada interaksi secara langsung dengan individu yang terkait dengan pengalaman-pengalaman yang mereka alami, kemudian dideskripsikan oleh peneliti, sehingga diperoleh suatu gambaran yang ringkas terkait kondisi yang dialami oleh para subjek.

14

Agus Salim, Teori & Paradigma Penelitian sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001),167-168

15

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya, (Surabaya: Airlangga University Press. 2001), 48


(36)

27

2) Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Dalam suatu penelitian ilmiah peneliti akan berhadapan dengan lokasi penelitian, dalam hal ini penelitian dilakukan di Desa Tretes Kec. Prigen Kab. Pasuruan. Dan peneliti sengaja memilih lokasi ini karena ada beberapa alasan yang pertama, lokasi ini merupakan tempat yang digunakan para Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk bertransaksi dengan para pengunjung yang akan menyewanya. Kedua, meski lokasi ini jauh dari tempat peneliti belajar, tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat peneliti karena hal ini unik untuk diteliti.

a. Waktu Penelitian

Sedangkan penentuan waktu penelitian sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini adalah :

No Bentuk Kegiatan Waktu

1 Pra-Studi Lapangan 03 September 2014

2 Studi Lapangan 24 – 27 September 2014

3 Pembuatan Laporan 06 November 2014

3) Pemilihan Subyek Penelitian

Subyek penelitian ialah sumber tempat peneliti memperoleh keterangan tentang permasalahan yang diteliti, singkatnya subyek penelitian ialah seseorang atau sesuatu yang mengenainya ingin


(37)

28

diperoleh keterangan.16 Dalam kondisi ini penulis memilih subyek penelitian di Desa Tretes Kec. Prigen Kab. Pasuruan.

Nama-Nama Informan

No. Nama Usia Pekerjaan

1. Ridhwan 53 Tahun Kepala Desa

2. Efendi 43 Tahun Kepala RW.06

3. Tatik 39 Tahun Ketua Relawan HIV-AIDS

4. Hanum 27 Tahun Anggota Relawan HIV-AIDS

5. Lina 37 Tahun Germo

6. Bunga 39 Tahun Pekerja Seks Komersial Wisma

7. Diana 27 Tahun Pekerja Seks Komersial Wisma

8. Dewi 16 Tahun Pekerja Seks Komersial Mandiri

9. Andika 29 Tahun Penjaga Villa

10. Yoyok 25 Tahun Tukang ojek

11. Retno 50 Tahun Warga sekitar Tretes

4) Tahap-Tahap Penelitian

a. Tahap Persiapan Lapangan

1) Merumuskan rancangan penelitian

Setelah menemukan fenomena sosial, peneliti

merumuskan rancangan penelitian, yang memuat latar belakang masalah, tujuan penelitian, definisi konsep, dan teori.

2) Menentukan lapangan penelitian

Peneliti memilih lokasi penelitian khususnya dalam masalah jaringan prostitusi dan semua yang berhubungan langsung dengan kegiatan prostitusi.

16

Tatang, M. Amirin. Menyusun Perencanaan Penelitian. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 92-93


(38)

29

3) Mengurus Perizinan

Langkah pertama untuk mendapatkan izin dalam melakukan galian data dari sumber data adalah mengutarakan dan memahamkan maksud dan tujuan peneliti dalam melakukan penelitian tersebut. Dalam mengurus perizinan ini peneliti terlebih dahulu izin kepada Kepala Desa setempat.

4) Menjajaki dan Memilih Lapangan

Pada tahap ini belum sampai pada titik yang menyikapi bagaimana peneliti masuk lapangan, namun telah menilai keadaan lapangan dalam hal-hal tertentu.

5) Menentukan Informan

Informan disisni berfungsi memberikan informasi keterangan tentang situasi dan kondisi latar penelitian, baik dengan cara sharing (tukar pikiran) atau membandingkan kejadian dari subjek lain. Dalam penelitian ini, peneliti memilih informan yang akan memberikan data atau informasi mengenai permasalahan yang akan dibahas yaitu jaringan prostitusi Tretes Pasuruan.

6) Menyiapkan perlengkapan penelitian

Kelengkapan penelitian yang diperlukan dalam

penelitian ini antara lain yaitu alat tulis (pensil, bollpoint, buku catatan), kamera digital atau kamera handphone dan tipe recorder.


(39)

30

7) Persoalan Etika

Dalam hal etika, peneliti harus menjaga sopan santun karena hal ini menyangkut hubungan dengan orang yang berkenaan dengan data-data yang diperoleh dari peneliti, sebab dengan adanya etika oleh peneliti diharapkan tercipta kerja sama yang menyenangkan antara kedua belah pihak.

b. Tahap Pelaksanaan Penelitian

1) Memahami Latar Penelitian dan Persiapan diri

Peneliti perlu memahami konteks penelitian terlebih dahulu, kemudian peneliti mempersiapkan diri baik secara mental maupun fisik agar niatnya disaat peneliti terjun lapangan semua kegiatan interview dapat berjalan dengan lancar dan baik. Jika peneliti memanfaatkan dan berperan serta, maka hendaknya hubungan akrab antara subyek dan peneliti dapat dibina. Dengan demikian peneliti dengan subyek penelitian dapat bekerja sama, dan tukar fikiran informasi.

2) Memasuki Lapangan

Untuk memasuki lapangan, peneliti mencari data atau informasi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dijadikan fokus penelitian. Sebelumnya peneliti pada tahap ini perlu memahami konteks lapangan yang akan dijadikan obyek penelitian, baru setelah itu peneliti menyiapkan diri untuk terjun langsung ke lapangan. Dalam hal ini peneliti harus


(40)

31

menempatkan diri dengan keakraban hubungan, menjaga sikap, dan patuh pada aturan lapangan serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti agar peneliti dapat dengan mudah mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian.

5) Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu antara lain :

a. Observasi

Adalah suatu pengamatan yang khusus dan pencatatan yang sistematis, ditujukan pada sesuatu atau beberapa faset masalah dalam rangka penelitian, dengan maksud mendapatkan data yang diperlukan untuk pemecahan persoalan yang dihadapi.17 Dalam hal ini peneliti akan mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap subyek yang akan diteliti yang meliputi para pekerja seks komersial di Tretes Pasuruan.

b. Interview dan Wawancara

Menurut Esterberg wawancara adalah merupakan pertemuan antara dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.18 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis pendekatan petunjuk umum wawancara. Oleh karena itu, peneliti membuat rumusan pertanyaan dan urutannya disesuaikan dengan

17Sapari Imam Asy’ari,

Metodologi Penelitian Sosial Suatu Petunjuk Ringkas, (Surabaya: Usaha Nasional,1981), 82

18


(41)

32

keadaan responden. Metode ini digunakan untuk mengetahui Bagaimana bentuk jaringan prostitusi di Tretes Pasuruan.

Dalam segi pelaksanaan-Nya peneliti menggunakan interview bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara interview bebas dan interview terpimpin. Interview bebas dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat akan data apa yang akan

dikumpulkan dan dibutuhkan. Interview terpimpin yaitu

pewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci seperti yang dimaksud dalam interview terstruktur dan sistematis.19

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode ini adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Sehingga dengan demikian pada penelitian, dokumentasi dalam penelitian memegang peranan penting.20 Ketika peneliti sedang melakukan observasi dan wawancara langsung dengan masyarakat maupun dengan kepala desa dan perangkat desa. Peneliti mengambil rekaman suara dan mengambil gambar atau dokumentasi untuk nantinya dapat mendukung data-data yang diperoleh oleh peneliti, karena dokumentasi mengambil peranan penting yang bisa

19

Ibid, 155-156.

20


(42)

33

dijadikan bukti kalau peneliti telah melakukan wawancara langsung dengan warga.

6) Teknik Analisis Data

a. Tahap Analisis Data

Pada tahap ini, peneliti telah mendapatkan data sebanyak-banyaknya yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan proses pemilihan data yang disesuaikan dengan rumusan penelitian. Karena dalam proses pencarian data tidak kesemuanya sesuai dengan kebutuhan penelitian. Setelah data terkumpul yang dilakukan peneliti adalah membandingkan dan melakukan analisis terhadap data di lapangan dengan teori yang digunakan dalam penelitian. Kemudian peneliti menyimpulkan hasil penelitiannya yang dilakukannya.

b. Tahap Penulisan Laporan

Penulisan laporan adalah tahap akhir dari proses pelaksanaan penelitian. Setelah semua komponen-komponen terkait dengan data dan hasil analisis data serta mencapai suatu kesimpulan, peneliti mulai menulis laporan dalam konteks laporan penelitian kualitatif. Penulisan laporan disesuaikan dengan metode dalam penulisan penelitian kualitatif dengan tidak mengabaikan kebutuhan peneliti terkait dengan kelengkapan data.

c. Tehnik Analisis Data

Teknik analisis data yang di gunakan oleh peneliti ada dua tahapan, yaitu: ketika peneliti masih di lapangan dan yang kedua


(43)

34

setelah meninggalkan lapangan. Prosedur analisis data selama di lapangan yang disarankan oleh miles dan huberman yaitu: reduksi data, display data, dan verifikasi.21

Reduksi data (data reduction), karena data yang nantinya yang didapatkan dari lapangan begitu banyak, maka perlu adanya proses analisis dan pengurangan data yang tidak ada hubungannya dengan maksud penelitian, hal ini dilakukan agar lebih terfokuskan dengan apa yang ingin diteliti.

Penyajian data (display data), setelah mendapatkan data yang terfokus dengan penelitian, maka peneliti melakukan analisis dengan penyajian data agar mempermudah untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang sudah dipahami.

Conclusing drawing atau verification, menurut Miles dan Huberman

proses ini merupakan pengambilan kesimpulan dan verifikasi.22

7) Teknik Pemeriksaan Keabsahan data/Validasi Data

Validitas data dalam sebuah penelitian sangatlah penting dan dalam penelitian ini peneliti menggunakan trianggulasi. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu digunakan untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lain-Nya.

21

Mattew B. Milles dan A.Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1984), 21.

22


(44)

35

Teknik trianggulasi data dalam sumber ini data dapat dicapai dengan jalan:

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil

wawancara.

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang- orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

d. Pandangan seperti rakyat biasa yang berkependidikan menengah atau tinggi, dan orang berada.

e. Membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang berkaitan.23

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika merupakan urutan sekaligus kerangka berfikir dalam penulisan penelitian. Untuk mempermudah pembahasan penelitian maka diperlukan adanya sistematika pembahasan dari bab ke bab yang merupakan integritas atau kesatuan yang tak terpisahkan.

Penelitian ini membahas tentang “Jaringan Prostitusi di Desa Tretes Kec.Prigen Kab.Pasuruan”.

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis mengorganisasikan sistematika pembahasan sebagai berikut:

23

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008), 331.


(45)

36

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan peneliti memberikan gambaran tentang latar belakang masalah yang hendak diteliti. Setelah itu menentukan rumusan masalah dalam penelitian tersebut. Serta menyertakan tujuan dan manfaat penelitian. Peneliti juga menjelaskan definisi konsep, metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian yang antara lain tentang pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, subjek penelitian, sumber dan jenis data, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, serta teknik pemeriksaan keabsahan data. Dalam bab 1 ini juga menjelskan sistematika pembahasan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab kajian pustaka, peneliti memberikan gambaran tentang definisi konsep yang berkaitan dengan judul penelitian, serta teori yang akan digunakan dalam penganalisahan masalah. Definisi konsep harus digambarkan dengan jelas. Selain itu harus memperhatikan relevansi teori yang akan digunakan dalam menganalisis masalah.

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Dalam bab penyajian data, peneliti memberikan gambaran tentang data-data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder. Penyajian data dibuat secara tertulis dan dapat juga disertakan gambar, tabel atau bagian yang mendukung data. Dalam bab ini peneliti juga memberikan gambaran tentang data-data yang dikemas dalam bentuk analisis deskripsi. Setelah itu akan dilakukan penganalisahan data dengan menggunakan teori yang relevan.


(46)

37

BAB IV PENUTUP

Dalam bab penutup, penulis menuliskan kesimpulan dari

permasalahan dalam penelitian selain itu juga memberikan saran kepada para pembaca laporan penelitian ini.


(47)

38

BAB II

TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL

Paradigma Fakta Sosial Emile Durkheim

Paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan (Sosial) tertentu.24 Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa sebuah paradigma adalah jendela yang dapat

digunakan untuk “melihat” dunia sosial. Paradigma membantu merumuskan

tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dijawabserta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan.

Paradigma fakta sosial melihat masyarakat manusia dari sudut pandang makro strukturnya. Menurut paradigma ini, kehidupan masyarakat dilihat sebagai realitas yang berdiri sendiri, lepas dari persoalan apakah individu-individu anggota masyarakat itu suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Masyarakat jika dilihat dari struktur sosialnya (dalam bentuk pengorganisasiannya) tentu memiliki seperangkat aturan, hirarki kekuasaan dan wewenang sistem peradilan, serangkaian peran sosial, nilai dan norma, dan pranata sosial. Yang secara analisis merupakan fakta yang terpisah dari individu masyarakat akan tetapi dapat mempengaruhi perilaku kesehariannya.25 Fakta sosial merupakan cara bertindak, berfikir dan berperasaan yang berada diluar individu dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikan. Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas:

24

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (jakarta : kencana 2010), 121-123

25


(48)

39

1. Dalam bentuk material yakni sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi. fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world).

2. Dalam bentuk non material, yaitu sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia.

Secara garis besar, fakta sosial terdiri atas dua tipe. Masing – masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai keluarga, pemerintah, dsb. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial yakni : nilai-nilai umum dan norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam sub kultur. Dimana norma dan pola nilai ini biasa disebut dengan pranata sosial. Sedangkan jaringan hubungan sosial dimana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir diartikan sebagai struktur sosial. Salah satu teori yang tergabung dalam paradigma fakta sosial yakni Teori Fungsionalisme Struktural.

Teori Fungsionalisme Struktural Talcot Parson: AGIL

Penelitian ini menggunakan teori fungsionalisme struktural, sebuah konsep teoritik dari talcot parson, asumsi-asumsi dasar dan teori fungsionalisme struktural Talcot Parson berasal dari pemikiran Emile Durkheim, dimana masyarakat dilihat sebagai suatu sistem yang didalamnya terdapat sub-sub sistem yang masing-masing mempunyai fungsi untuk mencapai keseimbangan dalam masyarakat.26

26


(49)

40

Dalam teori struktural fungsional parsons ini, terdapat empat fungsi untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsi adalah kumpulan hal yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Secara sederhana, fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang pemahaman tentang masyarakatnya didasarkan pada model sistem organik. fungsionalisme berarti melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu sama lainnya. Satu bagian tidak terpisah dari keseluruhan. Dengan demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi atau yang biasa disingkat dengan AGIL (Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency).

Menurut teori fungsionalis ini masyarakat adalah “suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula pada bagian-bagian yang lain.27

Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian

27

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada),121


(50)

41

masyarakat merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang berhubungan dan saling ketergantungan antara satu sama lain.28

Menurut George Ritzer, asumsi dasar Teori Fungsionalisme Struktural

adalah “setiap struktur dalam sistem sosial, juga berlaku fungsional terhadap yang

lainnya. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Teori ini cenderung melihat sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain. Karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dalam beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim, penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi masyarakat.

Talcott Parsons terkenal dengan empat imperatif fungsional bagi sistem

“tindakan” yaitu skema AGIL. AGIL, fungsi adalah suatu gugusan aktifitas yang

diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan sistem. Menggunakan definisi ini, parsons percaya bahwa ada empat imperatif fungsional yang diperlukan batau menjadi seluruh sistem-adaptasi (Adaptation), (Goal Attainment/ pencapaian tujuan), (Integrasi), dan (Latency atau pemeliharaan pola). Secara bersama-sama, keempat imperatif fungsional tersebut disebut dengan skema AGIL, agar bertahan hidup maka sistem harus menjalankan keempat fungsi tersebut29 :

a. Adaptasi, sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.

28

Richard Grathoff, kesesuaian antara Alferd Schutz dan Talcott Parsons: Teori Aksi Sosial, (jakarta: Kencana,2000),67-68

29


(51)

42

b. Pencapaian tujuan, sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan tertentu.

c. Integrasi, sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperatif fungsional tersebut (A,G,L).

d. Latency, (pemeliharaan pola), sistem harus melengkapi, memelihara dan

mempengaruhi motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.

Dalam penelitian yang berjudul Jaringan Prostitusi Tretes dari awalnya yaitu tahap Adaptation (Adaptasi) karena manusia itu pasti akan melakukan adaptasi dengan masyarakat dengan masyarakat yang ada disekitarnya, dengan begitu akan terjalin keakraban antara Pekerja Seks Komersial, Germo, masyarakat sekitar tempat prostitusi, bahkan pengguna/ penyewa. Kemudian Goal Attainment (pencapaian tujuan), untuk para Pekerja Seks Komersial, Germo, dan Masyarakat sekitar, adanya kegiatan prostitusi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik. Integrasi para pelaku prostitusi ini memilik peran aktif dalam memanfaatkan situasi. Latency (Pemeliharaan Pola) pelaku prostitusi memiliki pola dan cara dalam mencari pelanggan yang banyak, sehingga dengan begitu akan membawa perubahan untuk kehidupan selanjutnya.

Parsons mendesaian skema AGIL agar dapat digunakan pada semua level sistem teoritisnya. Dalam pembahasan ini tentang keempat sistem tindakan maka akan menjabarkan cara parsons menggunakan AGIL. Organisme behavioral adalah sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dan


(52)

43

mengubah dunia luar. Sistem kepribadian menjalankan fungsi pencapaian tujuan dengan mendefinisikan tujuan sistem dan memobilitasi sumber daya yang digunakan untuk mencapainnya. Sistem sosial menangani fungsi integrasi dengan mengontrol bagian- bagian yang menjadi komponennya, akhirnya , sistem kultur menjalankan fungsi latency dengan membekali aktor dengan norma dan nilai- nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.30

Talcott Parson berhasil mengurai lebih lanjut konsep rational barat yang berisi (system of Valuase ) pada dua tingkat. tataran individual(The structure of social action) dan tataran kelembagaan.Dalam kerangka berpikirnya setiap actor (Pelaku ) sosial akan selalu berusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ( goal ) dengan memakai alternatif –alternatif kegiatan yang telah dipikirkannya melalui penggunaan (mean) yang terpilih.

Pada tataran individual, pandangan tentang nilai dan norma sebetulnya merupakan hasil pengendapan dari cara berpikir masa lampau. Dengan demikian tidak harus cocok atau sesuai dengan masa kini, karena situasi kondisinya memang berbeda. Dalam proses pengambilan keputusan nilai dan norma individual harus cocok dengan tindakan yang hendak diambil.

Pada tataran kelembagaan, Talcott Parson berpendapat bahwa semua lembaga yang ada pada hakikatnya adalah suatu sistem dan setiap lembaga akan menjalankan 4 fungsi dasar yang disebut AGIL berasala dari empat konsep utama yaitu Adaption, Goal, integration dan Latent. Pada dasrnya Parson melihat bahwa sistem social sangat tergantung pada beberapa unsur :

30


(53)

44

1. Aktor sosial ( dalam batas-batas tertentu terjelma dalam perilaku manajer, pimpinan, dan innovator perubahan)

2. Proses interaksi sosial yang terjadi dalam pembentukan sistem sosial, bagaimana masyarakat memiliki kepentingan kepentingan yang sejauh ini diperjuangkan.

Menurut E.Durkheim,goal attainment dibagi menjadi bagian yang paling kecil supaya kegiatan yang paling kecil dapat dilakasanakan lebih berpusat. Di lihat dari sudut pandang sistem tindakan, tingkat paling rendah berupa lingkungan fisik dan organis, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi dan fisiologinya. Tingkat paling tinggi , realitas terakhir ,seperti dikatakan jakson toby” berbau

metafisik “ Namun Toby pun menyatakan bahwa parsons “ tidak mengacu kepada

sesuatu yang bersifat supernatural ketika berbicara secara simbolik tentang ketidakpastian, kegelisahan, dan tragedy kehidupan sosial yang menantang makna organisasi sosial.

Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistem tindakan ciptaannya. Dengan asumsi yang dibuat parsons dalam sistem tindakannya, kita berhadapan dengan masalah yang sangat diperhatikan parsons yang telah menjadi sumber utama kritikan atas pemikirannya. Perlu diingat bahwa empat sistem tindakan itu tidak muncul dalam kehidupan nyata, keempat itu lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata.

Sistem sosial, Konsep parsons tentang sistem sosial yang berawal pada interaksi tentang mikro atau ego dan alter-ego, yang didefinisikan sebagai bentuk sistem sosial paling mendasar. Ia sedikit sekali mencurahkan perhatian untuk


(54)

45

menganalisis tingkat mikro ini, meski ia menyatakan bahwa gambaran sistem interaksi ini tercermin dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks yang dilakukan oleh sistem sosial. Dalam analisisnya sistem sosial, Parsons tertarik pada komponen-komponen strukturalnya. Disamping memusatkan perhatian pada status-peran, parson memperhatikan komponen sistem sosial berskala luas seperti kolektivitas,norma dan nilai.

Masyarakat, Meskipun pemikiran tentang sistem sosial meliputi semua jenis kehidupan kolektif, satu sistem sosial khusus dan yang sangat penting adalah masyarakat. sebagai seorang fungsionalis structural, parsons membedakan empat struktur atau subsistem dalam masyarakat menurut fungsi (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat itu. Ekonomi adalah sub sistem yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui tenaga kerja, produksi, dan alokasi melalui pekerjaan, ekonomi menyesuaikan diri dengan lingkungan kebutuhan masyarakat dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan realitas eksternal. Pemerintah (polity) (atau sistem politik) melakasanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi actor dan sumber daya untuk mencapai tujuan.31

Struktur sosial merupakan sejenis kerngka pembentukan masyarakat dan operasinya. Jika strukturnya berubah maka semua unsure lain cenderung berubah pula.32 Parsons yang membicarakan perubahan fungsional lebih bersifat deskriptif mengenai konsep-konsep yang termuat di dalam perubahan fungsional sebagai

31

George Ritzer dkk Teori Sosiologi Modern ( penerbit:Jakarta kencana 2004 ) hlm 118

32


(55)

46

suatu teori dan analisis. Dalam perubahan fungsional sebagai teori, dia membahas beberapa konsep dasar yang relevan dari relasi-relasi yang terpola tentang stabil atau ekuilibrium, tentang perubahan, structural properties dan sumber perubahan, dibawah ini deskripsi konsep-konsep tersebut:

a. Struktur dari sebuah sistem adalah sejumlah properti yang dimliki yang terdiri dari bagian-bagian komponennya serta relasi dan kombinasi mereka yang untuk tujuan analisis tertentu secara logis dan empirik dapat disebut konstan dalam batas-batas tertentu. Istilah struktur asalnya untuk studi biologi, dimana organ jasad adalah sebuah struktur atau terstruktur sedemikian rupa dan struktur ini merupakan bagian dari sistem kehidupan bio-organik yang lainnya seperti struktur hewan dan segala jenisnya. Property adalah struktur fungsi tangan atau wewenangny, fungsi otak dan wewenang pekerjaan, serta norma-norma yang mengatur hubungan atau unit-unit dalam sebuah strukturbersifat fungsional dalam arti memberi manfaat bagi struktur atau memberi konstribusi bagi terjaga stabilitas struktur.

b. Sistem setiap sistem biasanya dapat di deskripsikan sebagai “ sebuah

struktur”yakni sejumlah unit atau komponen yang saling berelasi untuk

menjaga kondisi stabil dan sisi lain sebuah sistem adalah tentang peristiwa atau tentang proses yang menjelaskan adanya kejadian-kejadian yang berpengaruh mengubah beberapa karakternyadan relasi-relasi antar mereka. Asumsi yang terkait dengan relasi antar unit menyatakan, jika salah satu unit dalam struktur diberi rangsangan yang berlebihan, maka akan menimbulkan


(56)

47

konsekwensi-konsekwensi tertentu atau akan berpengaruh pada unit yang lai atau mengubah relasi-relasi tetentu.

c. Stabil. Konsep stabilitas yang digunakan di sini berarti karakteristik tertentu dari struktur, stability as a defining characteristic of structure. Suatu sistem dinyatakan stabil dalam keseimbangan ( ekuiblirium) jika relasi antar struktur dengan proses yang berlangsung di dalamnya dan relasi antar struktur dengan lingkungannya tercipta sedemikian rupa sehingga dapat menjaga karakteristik dan relasi-relasi yang secara relatif tidak mengalami perubahan.

Perubahan fungsional menekankan pada pengertian dasar mengenai perubahan – perubahan dengan menjelaskan pula sekian konsep yang harus dikuasai peneliti, Konsep ekuilibrium yang stabil menyatakan bahwa melalui mekanisme integrative, berbagai macam endogenous ( unsure intern ) tetap terjaga dalam bats-batas dapat eksis mempertahankan kelangsungan pola-pola structural yang pokok (pola ekuilibrium) di sisi lain melalui mekanisme adaptif, adanya fluktuasi relasi antar sistem dan lingkungan juga terjaga dalam batas-batas tertentu.

Problema dan ekuilibrium yang stabil dapat muncul berkenaan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem yang stabil ini melalui pergolakan, ketegangan atau kontradiksi yang cukup besar daya tariknya dan melebihi Kekuatan mekanisme stabilisasi dan ekuilibrium, jika pergolakan ini memenuhi kriteria-kriterianya seperti di atas maka problemanya menjadi demikian, melacak akibat-akibat yang ditimbulkan oleh adanya kontradiksi yang demikian memiliki daya tarik serta resiko yang ditimbulkan bagi sistem itu


(57)

48

sendiri, kemudian mendefinisikan kondisi-kondisi yang ada saat ini untuk melakukan prediksi mewujudkan keadaan stabil yang baru. Dalam sistem sosial, perubahan-perubahan internal itu berasal dari personalitas ( kualitas pribadi ) para warga atau pengurus yang ada dalan sistem sosial, sedangkan organisasi sosial yang mendasari perubahan-perubahan atau sistem budaya yang ada disana dikategorikan sebagai faktor exogenous, sementara itu nalar umum menyatakan bahwa hanya lingkungan fisiklah termasuk masyarakat dan organisasi sosial lainnya yang benar-benar di anggap sebagai faktor exogenous.

Hubungan antara sistem sosial dengan personalitas dilandasi oleh dua alasan yang signifikan, alasan pertama berkenaan dengan masalah “motivasi”, individual sebuah kekuatan psikologis yang berarti “gratification” atau sebaliknya

“frustration” personalitas harus memiliki integritas nilai ( solidaritas, fleksibilitas,

sebaliknya ambisius , ego, sentries, tak ada pengendalian diri merupakan hal-hal yang berpeluang keluar dari standard norma . Di samping integritas nilai dia juga harus memiliki motif yang komitmen yang secara stabil dan komitmen ini masuk dalam komponen orientasi terkaitdan peran yang harus diemban.33

Parson menformulasikan konsep functional imperatives terutama kaitannya dengan masalah kelangsungan hidup sistem sosial, maksudnya, masyarakat harus memenuhi keempat fungsi utama berikut kalau tidak ingin punah.

a. Adaptation to the environment-performed by the economy. b. Goal attainment-performed by the government.

33

DR. Abdullah Khozin Afandi, analisis Fungsional-Struktural dan Perubahan sosial ( penerbit: Surabaya Alpha 2007 ) hlm 67-71


(58)

49

c. Integration (linking the institutions together)-performed by the legal institutions and religion.

d. Latency ( pattern maintenance of values from generation to generation )-performed by the family and education.

Fungsi adaptasi berkaitan positif dengan teknologi dan tingkat kelangsungan serta kemandirian (otonomi), ini menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dan subsistem organisme tindakan serta dengan alam fisika-organik. Fungsi kedua pencapaian tujuan, berkaitan dengan dimensi kepemerintahan. Artinya bagaimana pemerintah bisa mengorganisasikan sumber-sumber yang ada, terutama sumber-sumber dari subsistem kepribadian, Dengan kata lain,

bagaimana prioritas tujuan ditentukan dan akan dicapai dengan

mempertimbangkan sumber daya yang ada, fungsi kedua ini berkaitan dengan dimensi subsistem kepribadian. Fungsi kedua ini berkaitan dengan institusi-institusi non-agama dan agama, maksudnya bagaimana agar berbagai institusi-institusi

yang ada dalam sistem sosial itu bisa “ seimbang” dan terkoordinasi dengan baik. Sedangkan fungsi keempat latency – pemeliharaan pola, berfungsi menjaga dan sejauh mungkin memberdayakan agar unsur-unsur yang ada dalam sistem mengarah pada disequilibrium system. Karena itu fungsi keempat berkaitan erat dengan sistem kultural yang di dalamnya berperan sistem kekerabatan dan pendidikan.34

34

J.Dwi Narwoko & Bagong Suyanto Sosiologi Teks pengantar dan Terapan ( Penerbit: Jakarta kencana 2011) hlm 370-371


(59)

50

BAB III

JARINGAN PROSTITUSI

A. Deskripsi Umum Kelurahan Tretes Kecamatan Prigen 1. Letak dan keadaan Geografis Kel.Tretes Kec.Prigen

Prigen adalah sebuah kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Prigen Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Pada wilayah tersebut sudah banyak dipadati dengan bangunan hotel-hotel, villa, pertokoan, ruko, prindustrian dsb.35 Kelurahan Prigen bersebelahan dengan beberapa wilayah, yaitu :36

Tabel 1 Batas wilayah Desa

No URAIAN KETERANGAN

1. Sebelah Utara Desa Gambiran

2. Sebelah Selatan Hutan

3. Sebelah Timur Kel.Pecalukan

4. Sebelah Barat Ds. Lumbangrejo

Sumber Data Profil Desa di Balai Desa Prigen Tahun 2015

Kecamatan Prigen terdiri atas sebelas Desa dan tiga Kelurahan, delapan Puluh lingkungan dan terdiri dari lima ratus tujuh puluh satu (571) RW dan lima Ratus Sembilan puluh Sembilan (599)RT. Luas wilayah Desa Prigen ini 205,25 ha, dimana menurut penggunaan wilayah tersebut dibagi menjadi:

35

Observasi selama 2 bulan (Maret, Apri 2015)di Dusun Tretes Kelurahan Prigen

36


(60)

51

Tabel 2

Luas wilayah menurut penggunaan

Uraian Luas

Luas pemukiman 184,10 ha

Luas persawahan 11,20 ha

Luas perkebunan 0,00 ha

Luas kuburan 4,28 ha

Luas taman 0,17 ha

Luas perkantoran 0,25 ha

Luas prasana umum lainnya 5,25 ha

Jumlah Luas wilayah 205,25 ha

Sumber Data Profil Desa di Balai Desa Prigen Tahun 2015

Tabel yang terdapat diatas menunjukkan dan dapat menguraikan aktivitas dari penggunaan tanah dan bangunan di Kelurahan Prigen. Dari temuan penggalian data tersebut dapat disimpulkan bahwa aktivitas penggunaan tanah dan bangunan ditinjau dari segi luas pemukiman warga, luas persawahan, luas prasarana umum yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Kelurahan Prigen.

Adapun rincian penggunaan tanah dan bangunan untuk fasilitas umum di Kelurahan Prigen adalah sebagai berikut :

Tabel 3

Tanah Fasilitas Umum

Uraian Luas

Tanah kas Desa / Kelurahan 39,047 ha

Lapangan olah raga 0,46 ha

Perkantoran pemerintah 0,25 ha

Ruang Publik / Taman Kota 0,05 ha

Tempat pemakaman Desa / umum 0,61 ha

Bangunan sekolah / perguruan tinggi 1,737 ha

Pertokoan 0,22 ha

Fasilitas pasar 0,71 ha

Terminal -

Tanah untuk jalan 4,41 ha

Daerah tangkapan air 77,00 ha

Usaha perikanan -


(1)

49

d. Latency ( pattern maintenance of values from generation to generation

)-performed by the family and education.

Fungsi adaptasi berkaitan positif dengan teknologi dan tingkat

kelangsungan serta kemandirian (otonomi), ini menyangkut hubungan antara

masyarakat sebagai sistem sosial dan subsistem organisme tindakan serta dengan

alam fisika-organik. Fungsi kedua pencapaian tujuan, berkaitan dengan dimensi

kepemerintahan. Artinya bagaimana pemerintah bisa mengorganisasikan

sumber-sumber yang ada, terutama sumber-sumber dari subsistem kepribadian, Dengan kata lain,

bagaimana prioritas tujuan ditentukan dan akan dicapai dengan

mempertimbangkan sumber daya yang ada, fungsi kedua ini berkaitan dengan

dimensi subsistem kepribadian. Fungsi kedua ini berkaitan dengan

institusi-institusi non-agama dan agama, maksudnya bagaimana agar berbagai institusi-institusi yang ada dalam sistem sosial itu bisa “ seimbang” dan terkoordinasi dengan baik.

Sedangkan fungsi keempat latency – pemeliharaan pola, berfungsi menjaga dan

sejauh mungkin memberdayakan agar unsur-unsur yang ada dalam sistem

mengarah pada disequilibrium system. Karena itu fungsi keempat berkaitan erat

dengan sistem kultural yang di dalamnya berperan sistem kekerabatan dan

pendidikan.11


(2)

83

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Peneliti dengan judul jaringan prostitusi di Dusun Tretes Desa Prigen

Kecamatan Prigen Kabupaten Pasuruan adalah jenis penelitian kualitatif yang

menjadikan para pekerja seks komersial sebagai objek, serta pihak–pihak

yang terkait dengan prostitusi. Misalnya, Germo, pekerja seks komersial,

pemilik villa–villa disekitar tempat prostitusi, makelar (ojek) dan para

relawan HIV–AIDS yang ada di Tretes Pasuruan.

1. Kegiatan prostitusi ini memiliki banyak peran dari masing-masing agen.

Seperti seorang Germo, peran dari seorang germo adalah mencari wanita

untuk dijadikan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), selain itu peran

dari seorang germo adalah menjamin keamanan dan kenyamanan bagi

para pekerjanya (PSK). Sedangkan peran dari seorang ojek adalah

mencari pelanggan yang ingin menyewa jasa-jasa seorang Pekerja Seks

Komersial dengan cara mengejar para pengunjung yang menuju Tretes.

2. Dari latar belakang pekerja prostitusi yang berada di Tretes Pasuruan ini

adalah kebanyakan dari keluarga yang tingkat perekonomiannya minim,

para pekerja seks komersial di Tretes ini berasal dari berbagai macam

daerah seperti Madura, lamongan, malang, jawa barat (subang, ciamis),

dsb. Mereka datang ke Tretes ini bertujuan untuk kerja mencari


(3)

84

seks komersial. Semakin banyak pekerja yang berdatangan ke lokasi ini

semakin bertambah pula pelanggan yang berdatangan ke Tretes.

Pendidikan yang rendah juga menjadi salah satu faktor yang menjadikan

mereka menjadi pekerja seks komersial.

3. Menurut masyarakat dan pemerintah adanya suatu jaringan prostitusi ini

adalah suatu tindakan yang merusak norma-norma asusila. Namun dari

masyarakat Tretes ini hampir rata-rata mendukung adanya kegiatan

protitusi ini, karena mata pencaharian mereka adalah hal yang

berhubungan langsung dengan kegiatan protitusi. Bahkan mereka

mengatakan bahwa sudah ada ketergantungan diantara mereka. Meski ada

ketergantungan yang sangat kuat diantara pelaku prostitusi, namun

masyarakat prigen juga banyak yang memilih sebagai buruh pabrik,

karena menurut mereka bekerja menjadi buruh pabrik meskipun upahnya

tidak sebesar pemilik villa, namun menurut mereka itu akan lebih

barakah. Tidak adanya izin yang resmi untuk mendirikan prostitusi yang

memberikan tanggapan oleh pemerintah bertindak tegas untuk mengguyur

para pekerja seks komersial dalam beroperasi. Sering adanya razia yang

dilakukan oleh pihak kepolisian, namun tetap tidak mengurangi rasa

berhentinya para pekerja seks komersial ini beroperasi. Mereka tetap


(4)

85

B. Saran

Dengan judul jaringan protitusi di Tretes, peneliti hanya memberikan

sebatas pemahaman dalam masalah sosial. Peneliti berharap para pembaca

dapat memahami bagaimana kondisi para pekerja seks komersial, dan kondisi

yang terjadi dalam masyarakat Tretes. Dengan adanya masalah sosial tang

terjadi di masyarakat dapat memberikan peran aktif dalam membangun

masyarakat yang lebih baik. Sehingga diharapkan adanya penanganan yang

lebih untuk para pekerja seks komersial, dengan memberikan lapangan

pekerjaan dan sebuah keterampilan adalah upaya kontribusi bagi mereka.

Dalam masalah seperti ini pemerintah harus lebih jeli dan

memperhatikan upaya dalam penanggulangan masalah sosial di Tretes.

Karena menurut penulis, prostitusi itu tidak semestinya dilakukan oleh

seorang wanita. Perbuatan tersebut telah dipandang hina oleh semua

masyarakat. Dengan datangnya prostitusi juga mengakibatkan datangnya

penyakit yang dapat mematikan. Dari timbulnya prostitusi ini juga akan

menimbulkan rusaknya moral. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih

menertibkan kegiatan prostitusi dan memberikan lapangan pekerjaan yang

layak untuk para pekerja seks komersial dibandingkan melakukan kegiatan


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Agusyanto, Rudy. 2007. Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Amirin, Tatang M. 1995. Menyusun perencanaan penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Andika. Penjaga villa di Tretes

AS, Alam. 1984. Pelacuran dan Pemerasan Studi Sosiologis Tentang Eksploitasi

Manusia Oleh Manusia. Bandung: Alumni

Bapak Ketua RW. 06

Bapak Ridhwan. Kepala Desa Prigen

Bunga (Nama samaran). Pekerja Seks Komersial di Tretes

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi penelitian sosial. Surabaya : Airlangga University Press

Dewi (Nama Samaran). Pekerja Seks Komersial di Tretes Diana (Nama samaran). Pekerja Seks Komersial di Tretes

Herdiansyah, Haris. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Salemba Humanika

http://aliyullohhadi.blogspot.com/2014/12/kontroversi-praktekprostitusi.html/diakses pada 31 Desember 2014

Ibu Retno. Warga sekitar Tretes

Ibu Tatik. Ketua Relawan HIV-AIDS di Tretes, selaku istri dari ketua RW.06 Irianto, Sulistyawati. 2005. Sindikat Perdagangan Perempuan.

Kartono, Kartini. 1992. Patologi Sosial 2 (Kenakalan Remaja). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Kusnarto, Muhammad. 2004. Sosiologi Sebagai Ilmu dan Budaya. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada


(6)

Milles Mattew B. 1984. Analisis Data Kualitatif. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia

Moelong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Kosda Karya

Nazsi. 2008. Teori-teori Sosiologi. Padjajaran : widya padjajaran Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Modern. Bantul : Kreasi Wacana

Ritzer, George. 2005. Sosiologi pengetahuan ilmu berparadigma ganda. Jakarta : PT. Rajawali

Salim, Agus. 2001. Teori dan paradigma penelitian sosial. Yogyakarta: Tiara wacana

Santoso, Triwibowo Budi. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Simandjutak. 1985. Patologi Sosial. Bandung Tarsito

Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta

Suparlan, Parsudi. 2007. Jaringan Sosial. Jakarta : Ikatan Kekerabatan Antropologi Fakultas Sastra UI