BAB II LANDASAN TEORI A. Pengambilan Keputusan 1. Pengertian Pengambilan Keputusan - Gambaran Pengambilan Keputusan Bercerai Pada Perempuan

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengambilan Keputusan

1. Pengertian Pengambilan Keputusan Kata “keputusan” berarti menentukan, mengakhiri, menyelesaikan, mengatasi.

  Sedangkan kata ”pengambilan keputusan” berarti suatu tindakan yang dilakukan untuk menyelesaikan sesuatu (Russel-Jones, 2000). Mengambil keputusan berbicara tentang tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi suatu permasalahan yang seringkali dihadapkan pada dua pilihan atau bahkan lebih.

  Sebuah keputusan adalah tindakan untuk mengatasi kekacauan, mampu melihat setiap aspek secara objektif, dan dengan demikian dapat membuat keputusan yang efektif (Adair, 2007).

  Menurut Salusu (2004), pengambilan keputusan adalah suatu proses memilih alternatif cara bertindak dengan metode yang sesuai dengan situasi. Sedangkan Jannis & Mann (1977) menyebutkan bahwa pengambilan keputusan merupakan pemecahan masalah dan terhindar dari faktor situasional.

  Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses dimana individu harus memilih berbagai alternatif yang ada dengan tujuan menyelesaikan permasalahannya.

2. Tahapan Pengambilan Keputusan

  Menurut Russel-Jones (2000), ada tujuh (7) tahapan dalam suatu pengambilan keputusan, sebelum akhirnya individu melakukan tindakan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1.

  Membuat batasan tentang keputusan apa yang harus diambil Individu cenderung membuat keputusan yang salah karena sebelumnya tidak menganalisa penyebab diambilnya keputusan tersebut. Seringkali kita lebih memfokuskan pada simptom-simptom yang terlihat di depan mata. Pertanyaan yang sering muncul adalah “mengapa aku perlu mengambil keputusan ini?” “apa tujuannya aku mengambil keputusan ini?”

  2. Memahami konteks situasi dimana keputusan akan dibuat Konteks situasi dari keputusan yang akan diambil akan sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Kita tidak mungkin mengabaikan kondisi sekitar kita saat mengambil suatu keputusan. Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah ”siapa-siapa saja yang berperan dalam proses pengambilan keputusan ini?” ”Kepada siapa saja dampak keputusan ini akan berpengaruh?”

  3. Mengidentifikasi setiap pilihan yang ada Kesulitan yang umum terjadi dalam suatu proses pengambilan keputusan adalah kurangnya pilihan yang memungkinkan untuk diambil, khususnya ketika tidak satupun diantara pilihan tersebut yang kelihatannya sesuai dengan tujuan pengambilan keputusan. Untuk mengatasi hal ini, dapat dilakukan dengan brainstorming bersama orang lain atau berkonsultasi dengan profesional. Pertanyaan yang sering muncul adalah ”Pilihan-pilihan apa saja yang kumiliki” ”Apakah langkah ini merupakan jalan keluar bagiku?” 4. Mengevaluasi konskuensi dari masing-masing pilihan

  Setiap keputusan yang diambil akan menghasilkan suatu konskuensi, dan tidak akan ada artinya keputusan tersebut diambil jika individu tidak berkomitmen terhadap konskuensinya. Atas dasar hal tersebut, harus dianalisa konskuensi yang paling sesuai dengan kebutuhan individu sehingga ia mampu menjalaninya. Pertanyaan yang sering muncul adalah ” ”pilihan mana yang konskuensinya paling masuk akal dan sesuai dengan kebutuhanku ?” ”Sejauh mana penyesalan yang akan teradi jika aku mengambil tindakan dan tidak mengambil tindakan ?

5. Menentukan prioritas dan memiliki satu diantaranya

  Setelah setiap konskuensi pilihan selesai dianalisa, kita harus memilih salah satu diantara serangkaian pilihan tersebut. Seringkali karena kesulitan dalam memilih dan tidak berani menghadapi konskuensi dari pilihan, individu memilih menghindar dengan tidak melakukan apapun. Pada dasarnya tidak melakukan apapun tetaplah sebuah keputusan. Untuk mengatasi kesulitan ini, individu dapat menekankan pada dirinya bahwa proses pengambilan keputusan bukanlah memilih antara benar dan salah, akan tetapi memilih antara yang benar dan benar, tergantung pada persepsi pribadi.

6. Menelaah ulang keputusan yang dipilih

  Pada satu titik setelah keputusan diambil, individu tetap harus menelaah ulang keputusan yang telah diambilnya. Frekuensi dan kedalamannya tergantung dari seberapa besar keputusan tersebut mempengaruhi kebutuhannya.

  7. Mengambil tindakan terhadap keputusan yang dipilih Setelah keputusan diambil, sebuah tindakan harus dilakukan sebagai bentuk impelementasinya. Tidak akan ada artinya proses pengambilan keputusan yang sudah dilalui apabila individu tidak membuat suatu tindakan apapun. Jannis & Mann (1997) memperkenalkan 5 (lima) tahapan dalam proses pengambilan keputusan, yaitu:

  1. Menilai Masalah Tahap ini meliputi penilaian terhadap masalah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mencari informasi atau kejadian yang dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi tindakan yang akan diambil. Selain itu harus ditentukan tujuan yang ingin dicapai dalam mengambil keputusan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penilaian masalah pada tahap ini: sumber masalah, kejelasan masalah serta kepribadian dan mood individu ketika menilai masalah tersebut. Pertanyaan yang sering muncul adalah ”Adakah risiko serius yang akan muncul jika saya tidak melakukan perubahan?”

  2. Mencari alternatif-alternatif yang ada Setelah individu yakin terhadap setiap informasi yang berkaitan dengan masalahnya, ia dapat memusatkan perhatian pada berbagai alternatif pilihan yang ada. Hal ini juga dapat dilakukan dengan cara mencari masukan dan informasi dari orang lain yang memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan masalahnya. Hal yang paling penting pada tahap ini adalah sikap terbuka dan fleksibilitas sehingga individu tidak akan kekurangan alternatif yang memungkinkan dipilih. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah ”Apakah saya telah melihat dan mempertimbangkan seluruh alternatif yang ada?”

  3. Mempertimbangkan setiap alternatif Pada tahap ini, individu mulai mengevaluasi setiap pilihan yang ada berdasarkan konskuensinya dan kemungkinan untuk dapat dlakukan atau tidak. Dasar pertimbangkan biasanya adalah adanya manfaat atau pengorbanan di masa yang akan datang. Ketika ia menyadari adanya kemungkinan penyesalan di masa yang akan datang, maka ia akan semakin berhati-hati dalam menimbang setiap alternatif yang tersedia. Pada tahap ini biasanya akan muncul ketidakpuasan atas tindakan yang mungkin sudah dilakukan, berusaha menghindar untuk melakukan tindakan karena tidak ingin berkomitmen terhadap konskuensi yang akan diambil dan responsif terhadap berbagai informasi baru yang memungkin pilihan keputusan akan berubah. Pertanyaan akhir yang biasa muncul adalah ”Alternatif apa yang terbaik bagi saya?”

  4. Membuat Komitmen Tahap ini adalah tahap yang penuh dengan ketegangan. Individu dihadapkan pada berbagai pilihan yang sudah dianalisa dan ditelaah dan diharuskan membuat suatu keputusan tentang pilihan mana yang akan diambil. Hal ini hanya dapat diakhiri dengan membuat keputusan dan berkomitmen terhadap keputusan tersebut. Seringkali individu memberitahu keputusannya pada orang lain, terutama orang-orang yang berada dalam jaringan sosialnya.

  Dengan demikian tahap ini sangat dipengaruhi oleh orang-orang atau kelompok yang dianggap penting bagi si pengambil keputusan. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah ”Kapan saya dapat mengimplementasikan alternatif terbaik dan membiarkan orang lain tahu keputusan saya?”

  5. Konskuen terhadap komitmen meskipun memperoleh umpan balik yang negatif Setiap keputusan yang diambil seseorang tentu saja memiliki risiko negatif. Akan tetapi yang terpenting adalah tidak bereaski berlebihan terhadap kritik atau kekecewaan yang mungkin akan muncul.

  Tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Jannis & Mann tersebut dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut:

  Models of the Stages of Decision Making START Challenging negative feedback or opportunity

  STAGE 1 End

  Unconflicted Adherence Appraising The Challenge

  Stage of prior decision Are the risk serious if I don`t change?

  STAGE 2 STAGE 3 STAGE 4 Surveying alternatives Weighing of alternatives Deliberating about commitment Search for another alternative Wich

  Shall I adopt alternative is the best best?

  Is this alternative and alternative an allow others to acceptable know means

  Could the best alternatives Have I

  End meet the sufficiently essential

  Adhering despite surveyed the requirements negative alternative feedback

  Universitas Sumatera Utara

3. Konflik dalam Pengambilan Keputusan

  Janis & Mann (1977) menyatakan bahwa pada umumnya individu akan menghadapi konflik dalam mengambil suatu keputusan yang sangat penting.

  Munculnya konflik membuat pengambil keputusan akan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menghadapi risiko yang akan muncul. Konflik- konflik tersebut juga akan mempengaruhi individu untuk menerima atau menolak tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan keputusan yang dibuat. Simptom yang akan muncul bisanya adalah keragu-raguan, kebimbangan, ketidakpastian, dan tanda-tanda stres ketika keputusan sudah ditetapkan.

  Berdasarkan gambaran tersebut, metode yang dinilai efektif dalam mengambil keputusan adalah metode yang menggunakan conflict-theory model.

  Metode ini dinilai dapat melihat segala konskuensi yang mungkin terjadi ketika suatu pengambilan keputusan dilakukan. Dasar dari pendekatan ini adalah 4 pertanyaan yang akan dijawab oleh pengambil keputusan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :

1. Apakah ada risiko yang serius jika saya tidak melakukan perubahan? 2.

  Apakah ada risiko yang serius jika saya melakukan perubahan? 3. Apakah ada kemungkinan harapan untuk menemukan solusi yang baik dan memuaskan?

  4. Apakah cukup waktu untuk mencapainya dengan tenang dan tidak tergesa- gesa? Selain itu, metode ini juga mencakup tiga hal besar yang saling berkaitan satu sama lainnya. Ketiga hal tersebut adalah:

  1. Antecendent condition

  Kondisi ini adalah setiap kejadian-kejadian yang mendahului terjadinya proses pengambilan keputusan. Variabel yang sangat mempengaruhi adalah komunikasi individu. Melalui komunikasi, seseorang akan mendapatkan pengetahuan, peringatan, atau informasi lain yang relevan dengan keputusan yang diambil. Faktor-faktor lainnya yang juga akan mempengaruhi adalah faktor situasional, kepribadian dan karakteristik-karakteristik lainnya.

  2. Mediating Process

  Merupakan proses dimana individu dihadapkan pada dua pilihan yang saling bertentangan serta memunculkan konskuensi yang bertentangan pula.

  3. Consequencess

  Setiap pilihan yang diambil pada mediating process akan menuju kepada

  consquencess . Jika jawaban-jawaban yang diberikan negatif, maka individu

  akan mengalami unconflicted adherence, unconflicted change, defensive

  avoidance dan hypervigilance. Jika jawaban-jawabannya positif, maka yang

  akan terjadi adalah vigilance, dimana ia akan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan dalam mengambil langkah.

  Kelima tahapan pengambilan keputusan yang sudah dikemukakan oleh Janis & Mann (1977) akan menunjukkan suatu proses yang unik dari tiap tahapan.

  Proses yang terjadi dari satu tahapan ke tahapan berikutnya akan menggambarkan sisi negatif dan positif yang mungkin terjadi dari setiap pilihan jawaban.

  Proses pengambilan keputusan akan menunjukkan kondisi-kondisi yang terjadi sebelumnya, kemudian proses apa yang akan muncul serta apa yang menjadi akibatnya. Hal ini akan membantu pengambil keputusan untuk meneliti dan menganalisa setiap jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan di tiap proses yang terjadi. Jawaban tersebut pada akhirnya akan mengarahkan pengambil keputusan pada sebuah keputusan akhir. Janis & Mann (1977) kemudian mengajukan sebuah model conflict-theory dalam pengambilan keputusan yang dapat diaplikasikan pada berbagai jenis situasi. Bagannya adalah sebagai berikut :

  

A Conflict-Theory Model in Decision Making

START Challenging Negative

  Deliberate Hypervigilan ce Information about

  Maybe or Yes Vigilance END Thorough Search

  No No No

  Maybe or Yes Maybe or Yes No

  

Antecedent Conditions Mediating Process Consequences

Maybe or Yes

  END Incomplete Search Appaisal and

  Deadline and Time Pressures Defensive Avoidance

  Resources Q 4: Is There Sufficient Time to Search and

  Q 1 :Are the Risk Serious if

  Solutions Sign of More Information Available and of Unused

  Change Q 3: Is It Realistic to Hope a Better

  I Do Change Information about Losses from Changing Unconflicted

  Q 2: Are the Risk Serious if

  Losses from Continuing Unconflicted Adherence

  I Don’t Change Additional Information about

  Appraisal and Contingency Planning Bagan II.1 Mengenai jalannya proses pengambilan keputusan, Harris (1998) menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan merupakan proses yang non linier dan

  

recursive ( berulang), artinya proses pengambilan keputusan tidak selamanya

  melalui suatu aliran yang konstan. Sebaliknya, kebanyakan keputusan dibuat setelah melalui pertimbangan berulang-ulang dan bolak-balik. Tahapan tertentu akan dilalui dalam waktu singkat sementara tahapan lain akan memerlukan waktu yang lebih lama dan pertimbangan yang lebih kompleks. Adair (2007) menambahkan bahwa dalam serangkaian tahapan pengambilan keputusan, kita tidak harus mengikuti semua tahapan tersebut secara kaku pada setiap situasi.

  Dalam proses pengambilan keputusan yang non linier, bisa saja seorang pengambil keputusan sudah sampai pada tahap 3 (berdasarkan tahapan Janis & Mann, 1977) akan kembali ke tahap 2 atau bahkan ke tahap 1. hal ini terjadi ketika si pengambil keputusan merasa tidak puas dengan alternatif yang ada (Janis & Mann, 1977).

  Sementara itu mengingat partisipan pengambil keputusan dalam penelitian ini adalah wanita, maka perlu kiranya dijelaskan mengenai proses pengambilan keputusan pada perempuan. Menurut Tannen (dalam Miell & Wetherell, 1989) seorang perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan cenderung meminta nasehat atau berkonsultasi dengan orang lain.

4. Pertimbangan dalam Pengambilan Keputusan

  Pengambilan keputusan pada dasarnya melibatkan berbagai macam pertimbangan. Menurut Janis & Mann (1977) pertimbangan-pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan dibagi dalam 2 kelompok, yaitu: 1.

  Pertimbangan-pertimbangan utilitarian, yaitu pertimbangan yang berhubungan dengan manfaat dari suatu keputusan. Pertimbangan utilitarian terdiri dari: a.

  Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi diri sendiri, di dalamnya mencakup antisipasi pengaruh keputusan terhadap kesejahteraan pribadi pengambil keputusan.

  b.

  Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi orang lain, termasuk hal-hal yang diantisipasi akan berpengaruh terhadap orang lain atau significant

  others .

  2. Pertimbangan-pertimbangan non utilitarian, yaitu pertimbangan lain yang tidak termasuk dari manfaat atau kegunaan suatu keputusan. Pertimbangan non utilitarian ini terdiri dari : a.

  Penerimaan dan penolakan dari diri sendiri (self approval dan

  disapproval ), termasuk di dalamnya emosi, perasaan dan harga diri seseorang.

  b.

  Penerimaan dan penolakan dari orang lain (approval and disapproval by

  significant others ), termasuk di dalamnya kritik dan penghargaan yang akan diberikan orang lain sehubungan dengan alternatif yang dipilih. Selain berbagai pertimbangan yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur juga menjelaskan faktor-faktor lain yang akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Secara umum faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1.

  Lingkungan Luar (External Circumtances) Pada pengambilan keputusan yang bersifat pribadi, proses pengambilan keputusan tidak hanya menuntut kinerja aspek kognitif semata, namun berkaitan juga dengan lingkungan (Kemdal & Montgomery dalam Svenson et al, 1997). Hal ini senada dengan yang dikemukakan Harris (1998) bahwa suatu keputusan berkaitan erat dengan konteks saat keputusan tersebut dibuat.

2. Pentingnya keputusan yang dibuat

  Beberapa keputusan bisa saja keputusan yang dianggap kurang penting yang hanya membutuhkan sedikit pemikiran, sebaliknya ada keputusan-keputusan yang dianggap penting yang membutuhkan pemikiran aktif untuk mencapai hasil yang memuaskan. Suatu keputusan dianggap penting karena berbagai alasan, diantaranya materi yang harus dikeluarkan dan koskuensi dari keputusan tersebut. Selain itu, suatu keputusan juga akan dianggap penting jika berkaitan dengan opini tertentu atau nilai-nilai emosional dari si pengambil keputusan. Penting atau tidaknya suatu keputusan akan berpengaruh terhadap involvement si pengambil keputusan, sehingga berkaitan dengan motivasi seseorang yang nantinya akan mempengaruhi usaha kognitif serta strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut (Svenson & Verplaken dalam Svenson et al, 1997).

  3. Tekanan (stres) Tekanan-tekanan berupa keterbatsa waktu, tanggungjawab yang berlebihan, kekurangan atau kelebihan informasiserta adanya ancaman sosial atau ancaman fisik dapat menimbulkan stres dan mempengaruhi kualitas keputusan yang dibuat (Harris, 1998).

  4. Preferensi dan Nilai-nilai Suatu keputusan sangat ditentukan oleh preferensi dan nilai-nilaiyang dipegang oleh pengambil keputusan. Kedua hal tersebut akan mengarahkan si pengambil keputusan untuk menentukan alternatif tindakan yang dipilih (Harris, 1998).

  5. Waktu Waktu dan sumber daya yang dimiliki oleh si pengambil keputusan akan mempengaruhi proses pengumpulan informasi dan penelusuran alternatif- alternatif (Harris, 1998).

  Dalam suatu pengambilan keputusan, karakterisitik pengambil keputusan juga akan mempengaruhi hasil keputusan yang dibuat. Selanjutnya Russel-Jones (2000) menjelaskan bahwa suatu pengambilan keputusan merupakan proses yang melibatkan kemampuan kognitif yang akan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki. Pengambilan keputusan akan membutuhkan kemampuan analisis penyelesaian masalah dan penilaian masalah. Seorang pengambil keputusan yang baik akan memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Kemampuan Analisis penyelesaian masalah a.

  2. Fokus pada kata-kata kunci dari data yang ada.

  3. Fokus pada informasi yang terlihat saja, yang ada di permukaan.

  2. Hanya menggunakan sebagian data saja.

  Memberikan bobot yang seimbang pada pilihan yang pro dan kontra.

  Negatif: 1.

  b.

  5. Merubah cara berpikir ketika data yang muncul juga berubah.

  4. Tetap memperhatikan pilihan-pilihan yang berbeda.

  3. Merasa tertantang dengan adanya risiko dari tiap pilihan.

  Positif: 1.

  Melakukan langkah-langkah setahap demi setahap untuk mengetahui akar permasalahan.

  Positif: 1.

  3. Tidak belajar dari pengalaman 2. Kemampuan Penilaian Masalah a.

  2. Menitikberatkan pada symptom yang terlihat dan bukan kepada penyebab masalah.

  Tidak mampu memisahkan antara masalah dan komentar.

  Negatif: 1.

  b.

  3. Menghindari situasi ketika kemampuan analisinya menurun.

  2. Memahami kapan dia sudah sampai pada batas kemampuannya.

  Mengatur dan mengurutkandata-data yang ada sehingga menghasilkan informasi-informasi yang inti saja.

  4. Merubah pikiran sebelum data yang ada berubah.

  5. Menunda pengambilan keputusan. Dalam beberapa situasi tertentu, suatu pengambilan keputusan memang harus ditunda pelaksanaannya. Menurut Harris (1998), pada dasarnya penundaan ini masuk akal dilakukan karena ada beberapa keuntungan yang akan diperoleh yaitu:

  1. Ruang lingkup pengambilan keputusan akan semakin luas, sehingga akan memberikan informasi yang lebih banyak. Penundaan ini juga akan memberikan waktu bagi pengambil keputusan untuk lebih melakukan analisis lebih jauh.

  2. Memungkinkan munculnya alternatif – alternatif baru 3.

  Memungkinkan adanya perubahan nilai – nilai si pengambil keputusan, misalnya kemampuan berpikir lebih terasah, lebih bijaksana dan lebih matang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang pengambil keputusan akan berusaha mencari sebanyak mungkin informasi dan alternatif. Akan tetapi banyaknya alternatif ini ternyata akan memunculkan beberapa masalah, diantaranya adalah:

  1. Adanya penundaan pengambilan keputusan karena diperlukan waktu yang lebih banyak untuk mencari dan mengolah semua informasi dan alternatif yang ada. Penundaan ini bisa saja mengakibatkan keputusan yang dihasilkan menjadi tidak efektif .

  2. Informasi dan alternatif yang terlalu banyak akan mengakibatkan kemampuan seorang pengambil keputusan menurun. Hal ini terjadi karena semua informasi dan alternatif tersebut tidak dapat lagi dikelola semuanya dengan sebagaimana adanya. Salah satu fenomena yang sering terjadi adalah kita lupa terhadap beberapa informasi yang telah kita peroleh.

  3. Pada akhirnya si pengambil keputusan hanya akan memilih alternatif- alternatif yang mendukung ke arah pilihannya saja, tanpa melihat hal-hal lain yang bertolak belakang.

4. Kelelahan Fisik 5.

  Kelelahan Mental. Akibatnya keputusan yang diambil adalah keputusan yag terburu-buru, tidak hati-hati atau bahkan tidak membuat keputusan sama sekali.

B. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

  Berdasarkan arti harafiahnya, perceraian adalah berakhirnya suatu perkawinan bukan karena disebabkan kematian salah satu pasangan. Menurut Hurlock (1999), perceraian adalah kulminasi dari perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian yang dapat memuaskan kedua belah pihak.

  Stinson (1991) menyatakan bahwa perceraian adalah suatu bentuk gangguan hubungan perkawinan yang dialami oleh orangtua dan dapat mempengaruhi hubungan orangtua dan anak. Perceraian dapat meningkatkan stres, berkurangnya waktu dan energi serta dukungan emosional yang diberikan masing-masing pasangan.

  Bhrem (2002) mendefinisikan perceraian sebagai berakhirnya sebuah hubungan perkawinan yang sebenarnya belum saatnya berakhir. Perceraian sering diartikan sebagai sesuatu hal yang dapat menyebabkan kehancuran. Akibat yang ditimbulkan tidak hanya mempengaruhi pasangan yang bercerai, tetapi juga berdampak pada anak. Sedangkan Argyle & Henderson (1995) mengartikan perceraian sebagai terputusnya perjanjian perkawinan yang resmi oleh kedua pasangan.

  Dari berbagai definisi di atas disimpulkan bahwa perceraian adalah berakhirnya ikatan perkawinan formal karena pasangan sudah tidak mampu lagi menjalani kehidupan perkawinan dengan sebagaimana mestinya.

2. Pandangan Tentang Perceraian

  Menurut Clarke-Stewart (2007), dalam menjelaskan dan memahami kompleksitas proses perceraian, ahli-ahli psikologi mencoba menjelaskannya dengan Social Exchange Theory dan Process Models Theory.

1. Social Exchange Theory

  Teori ini berfokus pada kejadian-kejadian yang mendahului sebuah perceraian, dimana individu mulai melihat hal-hal yang menguntungkan maupun merugikan dalam perkawinannya. Sebuah perkawinan dikatakan baik jika individu tersebut merasa puas dan merasa mendapatkan keuntungan.

  Teori ini menyatakan bahwa individu akan berusaha memaksimalkan keuntungan yang akan diperolehnya dan meminimalkan kerugian yang mungkin terjadi. Keputusan untuk bercerai terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara keuntungan dan kerugian dalam pernikahan dan adanya keuntungan yang lebih menarik jika individu tersebut keluar dari lingkaran pernikahannya.

2. Process Model Theory

  Beberapa teori yakin bahwa perceraian bukan semata-mata sebuah kejadian, akan tetapi lebih kepada proses psikologis dan sosial yang kompleks.

  Bohannon’s Six Station of Divorce

  Paul Bohannon menyatakan bahwa seseorang harus melalui 6 tahapan yang paralel untuk melengkapi sebuah proses perceraian. Tahapan tersebut adalah:

  1. Emotional Divorce Pada tahapan pertama ini, kedekatan emosional pasangan menurun. Ikatan emosional dan komunikasi justru digantikan dengan rasa terasing satu sama lainnya dan penarikan diri.

  2. Legal Divorce Tahapan ini melibatkan adanya langkah-langkah hukum untuk memulai sebuah perceraian. Beberapa masalah akan diselesaikan secara hukum, misalnya pembagian harta dan hak asuh anak.

  3. Economic Divorce Tahap ini diwarnai dengan proses pembagian harta yang dulunya menjadi harta bersama dan harus dibagi dua kepada masing-masing pasangan.

  4. Coparental Divorce Tahapan ini merupakan pembahasan mengenai proses hak asuh anak.

  Beberapa masalah yang dibahas adalah mengenai tipe pengasuhan yang akan dilakukan, bagaimana anak tetap dapat bertemu kedua orangtuanya walaupunmereka sudah bercerai.

  5. Community Divorce Perceraian akan berpengaruh pada status dan hubungan sosial yang selama ini sudah ada. Stres akibat perceraian bisa terjadi akibat adanya penilaian dan tuntutan dari lingkungan berkaitan dengan status baru mereka, yaitu janda atau duda.

  6. Psychic Divorce Proses ini ditandai dengan adanya usaha meraih kembali otonomi diri yang selama ini dipengaruhi keberadaan pasangan.

  Wiseman’s View od Divorce as A Crisis and Mourning Process Reva Wiseman berfokus pada dimensi emosi dan psikologis perceraian.

  Teorinya ini didasarkan pada deskripsi proses berkabung yang dikemukakan Elizabeth Kubler-Ross. Wiseman mengajukan lima tahapan perceraian yaitu: 1.

  Denial

  Tahapan ini terjadi ketika masalah-masalah dalam sebuah perkawinan diabaikan dan seolah-olah dianggap tidak ada. Beberapa masalah yang muncul dianggap disebabkan oleh faktor eksternal dan bukan internal.

  2. Loss and Depression Tahap ini muncul ketika kenyataan bahwa sebuah perkawinan sedang berada dalam masalah akhirnya tidak dapat diabaikan lagi. Reaksi-reaksi yang akan muncul adalah kecemasan dan duka cita akibat perasaan kehilangan dan kesepian.

  3. Anger and Ambivalency Pada tahapan ini, interaksi pada pasangan tersebut berubah-ubah. Pada satu waktu bisa terjadi kekerasan, pemberian hukuman dan pembalasan dendam. Dalam situasi demikian muncul rasa takut menghadapi masa depan sendirian dan masih ada kemungkinan untuk mempertahankan perkawinan.

  4. Reorientation of Lifestyle and Identity Tahap ini ditandai dengan pemahaman bahwa perceraian yang terjadi adalah sebuah kenyataan dan individu tersebut sekarang bukan lagi berstatus suami/istri. Pada tahapan ini individu dituntut membuat pilihan mengenai hidupnya ke depan, dengan siapa dia akan bergaul, bentuk hubungan seperti apa yang diinginkannya, dan sebagainya.

5. Acceptance and Integration

  Pada tahapan ini individu tersebut diharapkan sudah dapat menerima keadaannya yang bercerai. Mampu membuat langkah-langkah ke depan yang lebih baik dan mengatasi permasalahan akibat perceraian tersebut.

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perceraian

  Dalam sebuah hubungan perkawinan, perpisahan antara suami istri dapat disebut sebagai perceraian bila perpisahan tersebut telah disahkan oleh hukum/undang-undang perkawinan yang berlaku. Menurut Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 19, perceraian antara suami dan istri dapat terjadi karena sebab-sebab sebagai berikut:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukumna yang lebih berat setelah perkawinan.

  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman/penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri.

  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Menurut Blood (1978), ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Beberapa diantaranya adalah karena masalah kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi dimana pendapatan suami kurang memuaskan, permasalahan seksual yang mana salah satu pasangan tidak mampu lagi memuaskan pasangannya.

  Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jalaovara (dalam

   menyatakan bahwa suami yang tidak bekerja dapat

  memicu terjadinya perceraian. Selanjutnya sebuah studi yang dilakukan para psikolog dari Universitas Carolina Utara menyatakan bahwa lebih dari setengah perkawinan yang di dalamnya terjadi ketidaksetiaan dan perselingkuhan akan berakhir dengan perceraian. Perselingkuhan dan ketidaksetiaan merupakan penyebab utama terjadinya perceraian. Hasil penelitian Walthall (2006) pada kasus-kasus perceraian di Jepang, perceraian yang diajukan oleh wanita dikarenakan faktor menolak hidup bersama pasangan yang sudah pensiun dan karena pasangannya tidak memenuhi kriteria idamannya.

4. Permasalahan Pasca Perceraian

  Karena partisipan dalam penelitian ini adalah wanita, maka pembahasan akan difokuskan pada dampak yang terjadi pada wanita. Menurut Hurlock (1980) masalah yang akan dihadapi oleh wanita yang bercerai adalah sebagai berikut: 1.

  Masalah Ekonomi Seorang wanita yang pada saat menikah tidak bekerja, harus mencari pekerjaan agar dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya.

  2. Masalah Psikologis Wanita akan mengalami masalah identitas, karena pada saat menikah identitas istri bergantung pada suaminya.

  3. Masalah Emosional Setelah bercerai, banyak wanita yang perasaannya diliputi oleh rasa benci, rasa bersalah, kemarahan, dendam dan juga cemas akan masa depannya

  4. Masalah Sosial Wanita yang bercerai cenderung merasa tersisih karena kehidupan sosialnya hanya terbatas pada keluarga dan teman terdekat saja.

  5. Masalah Kesepian Wanita akan mengalami masalah kecepian jika terpisah dari suami dan ikatan keluarga yang selama ini telah terbina

  6. Masalah Pembagian Tanggungjawab terhadap pengasuhan anak Apabila dalam suatu kasus perceraian tedapat pembagian pemeliharaan anak, maka orangtua dan anak akan menghadapi penyesuaian yang baru.

  7. Masalah Seksual

  Individu yang bercerai akan terhenti kehidupan seksualnya.

8. Masalah Perubahan Konsep Diri

  Perasaan yang tidak menyenangkan karena perceraian akan selalu mewarnai konsep diri individu yang dapat mengakibatkan perubahan kepribadian. Menurut Rollins (dalam Hurlock, 1980) masalah psikologis yang dihadapi oleh wanita bercerai adalah mudah marah, lebih tertutup dan kehidupan keluarga tidak stabil. Menurut Wallerstein & Kelly (dalam Nock, 1987), masalah-masalah psikologis yang akan dihadapi oleh wanita yang bercerai adalah rasa benci, kesepian, depresi, stres, dendam, rasa marah, sakit hati dan tidak bahagia.

  C.

  Pengambilan Keputusan Bercerai Pada Wanita Menjalin hubungan yang lebih intim dan menikah dengan lawan jenis merupakan tugas perkembangan individu dewasa awal (Papalia, Olds, & Feldman,

  2001). Setiap pasangan yang menikah tentunya mengharapkan pernikahan yang bahagia dan berlangsung selamanya.

  Namun, pernikahan yang memuat berbagai macam perbedaan ras, usia, status, kepercayaan politik, agama, dan tentunya kepribadian (Roberts & Roberts, 2000) mengharuskan masing-masing pasangan untuk dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi agar hubungan dapat tetap berjalan dengan baik.

  Ketika salah satu atau masing-masing pasangan merasakan ketidak puasan dalam pernikahannya dan gagal dalam mengatasi perbedaan yang terjadi, maka hubungan yang terjalin antara pasangan tersebut akan menimbulkan penderitaan atau bahkan perceraian (Pease & Pease, 2003) Perceraian merupakan berakhirnya sebuah hubungan suami istri yang bukan disebabkan oleh kematian salah satu pasangan. Bhrem (2002) menyatakan bahwa perceraian merupakan berakhirnya sebuah hubungan perkawinan yang sebenarnya belum saatnya berakhir.

  Dampak yang ditimbulkan dari terjadinya perceraian berbeda antara wanita dan pria. Karena subjek penelitian ini adalah wanita, maka pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini dititik beratkan pada wanita.

  Ketika memutuskan untuk bercerai, wanita akan dihadapkan pada berbagai dampak dari perceraian, baik dampak positif maupun dampak negtaif. Dampak yang ditimbulkan bagi dirinya maupun bagi orang lain di sekitarnya. Orang disekitarnya ini bisa termasuk orang tua, anak maupun anggota keluarga dari wanita yang meminta bercerai.

  Dalam mengambil keputusan untuk bercerai, wanita akan dihadapkan pada beberapa tahapan seperti menilai masalah yang sedang terjadi, hal ini termasuk dengan melihat sumber masalah, kejelasan masalah yang sedang terjadi dan sebagainya. Setelah individu yakin terhadap informasi yang berkaitan dengan masalahnya, maka individu tersebut dapat memusatkan perhatian pada berbagai alternative yang ada. Setelah individu tersebut mendapat berbagai alteratif, barulah setiap alternarif tersebut dipertimbangkan dan dievaluasi berdasarkan konsekuensi masing-masing, dan menilai apakah individu tersebut dapat menjalankan alternatif yang ada atau tidak. Setelah individu menentukan alternatif yang akan dilakukan, tibalah saatnya individu tersebut untuk membuat keputusan dan berkomitmen dengan keputusan yang diambilnya. Setiap keputusan yang diambil seseorang tentu memiliki resiko. Namun yang terpenting adalah individu harus konsekuen terhadap komitmen yang telah diambil, meskipun memperoleh umpan balik yang negatif.

  Dalam mengambil keputusan, seseorang akan dihadapkan pada berbagai macam pertimbangan. Menurut Janis & Mann (1997) dalam pengambilan keputusan terdapat 2 (dua) pertimbangan, yaitu pertimbangan utilitarian dan pertimbangan non utilitarian. Pertimbangan utilitarian terdiri dari pertimbangan dan kerugian bagi diri sendiri. Misalnya, apakah dengan bercerai subjek akan merasa kehidupannya lebih baik dibandingkan saatmasih bersama suami? Serta pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi orang lain. Misalnya, apa yang akan terjadi dengan anak-anakku apabila aku bercerai? Sedangkan pertimbangan non

  

utilitarian terdiri dari penerimaan dan penolakan dari diri sendiri.

  Misalnya,apakah dengan bercerai aku akan menjdi lebih baik atau malah lebih buruk karena statusku yang akan menjadi janda? Serta penerimaan dan penolakan dari orang lain. Misalnya, apakah keluarga dan anak-anakku akan mendukung keputusanku untuk bercerai?

PARADIGMA PENELITIAN

  Faktor-faktor pencetus perceraian Dampak perceraian

  Menikah dengan berbagai alasan Wanita / istri memutuskan bercerai

  Kehidupan istri setelah perceraian (lebih baik atau lebih buruk Menjalani situasi RT dan wanita/istri menyadari adanyabeberapa hal yang menyebabkan ketidak cocokan atau ketidak puasan. Misalnya masalah ekonomi, hubungan fisik, perselingkuhan, KDRT

  Bagaimana proses pengambilan keputusan pada wanita yang bercerai

  Evaluasi terhadap pengambilan keputusan bercerai dengan melihat kembali proses pengambilan keputusan bercerai sebelumnya.

  1. Menilai masalah 2.

  Mencari alternatif-alternatif yang ada

  3. Mempertimbangkan setiap alternatif

  4. Membuat komitmen 5.

  Konsekuen terhadap komitmen meskipun memperoleh umpan balik yang negatif