Gambaran Pengambilan Keputusan Bercerai Pada Perempuan

(1)

GAMBARAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERCERAI

PADA PEREMPUAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

VERONIKA PRIMA BEBBY PASKA .S 071301089

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Gambaran Pengambilan Keputusan Bercerai Pada Perempuan

Veronika Prima Bebby Paska .S dan Juliana Irmayanti Saragih M.Psi, psikolog

ABSTRAK

Perceraian adalah berakhirnya suatu hubungan perkawinan yang bukan

disebabkan oleh meninggalnya salah satu pasangan. Perceraian dapat terjadi

karena pasangan sudah tidak mampu lagi menjalani kehidupan perkawinan

dengan sebagaimana mestinya. Dalam mengambil keputusan untuk bercerai,

terdapat lima tahapan menurut Jannis & Mann (1997) yaitu menilai masalah,

mencari alternatif-alternatif yang ada, mempertimbangklan setiap informasi,

membuat komitmen serta konsekuen terhadap komitmen meskipun memperoleh

umpan balik yang negatif.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengambilan

keputusan bercerai pada wanita, berdasarkan tahapan pengambilan keputusan

Janiss & Mann. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan

data dilakukan dengan wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga

orang. Adapun karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian ini

adalah wanita yang telah bercerai.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga responden menjalani

kelima tahapan pengambilan keputusan Jannis & Mann (1997). Hanya saja

berbeda pada durasi dan urutan tahapannya.


(3)

A Description of Decision Making to Divorce on Woman

Veronika Prima Bebby Paska .S dan Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi, psikolog

ABSTRACT

Divorce is an end of marriage relation not because of any death of spouse. Divorcing may occur because couple no longer have an ability to keep their relationship or their marriage as required. In decision making to divorce, there is five stages by Jannis & Mann (1997), they are appraising the challenge, surveying alternatives, weighing alternatives, deliberating about commitment and adhering despite negative feedback.

The purpose of this research is to know a description about decision making to divorce on woman based on stages of decision making by Jannis & Mann (1997). This research use a qualitative approach. Data collection have been done by interviewing respondent. Respondent in this research involved three people. And the characteristic of respondent in this research is woman and has been divorced with their husband.

The result of this research indicated that the three of this participant has been go through all of stage of decision making by Jannis & Mann (1997). The difference between them in the duration and an order of stage.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan anugerah-Nya yang telah memberikan kekuatan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhui salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Peneliti menyadari bahwa proposal penelitian yang berjudul “Gambaran Pengambilan Keputusan Bercerai Pada Wanita” ini tidak anak terwujud tanpa bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Kak Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan, saran, arahan dan waktu yang diluangkan sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

3. Kak Rahma Fauzia, M.Psi yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi dosen penguji II pada ujian skripsi peneliti. Terima kasih atas saran, kritik dan masukan kakak untuk menyempurnakan hasil skripsi ini. 4. Ibu Ika Sari Dewi S.Psi, psikolog yang telah meluangkan waktunya untuk

menjadi dosen penguji III pada ujian skripsi peneliti. Terima kasih atas saran, kritik dan masukan kakak untuk menyempurnakan hasil skripsi ini.


(5)

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Pak Aswan, Pak Iskandar, Kak Devi beserta yang lainnya. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada peneliti.

6. Keluarga tersayang, terkhusus mama yang selalu tanpa lelah menyemangati penulis, hingga penulis sampai di tahap ini. Mama uda, Bik Ngah, Bulang serta adik-adik terkasih Vika, Guntur, Rafka. Terima kasih telah mengisi hari-hari penulis. Dalam kesempatasn ini penulis ingin mengucapkan bahwa penulis menyayangi kalian.

7. Sahabat-sahabat terbaik semasa SMA hingga sekayang. Mesya, Wiwing, Melly “memuet”, terima kasih untuk telinga yang siap mendengar apapun cerita dan keluh kesah penulis, dan terima kasih untuk kritikan-kritikan “pedas” untuk membuat peneliti lebih maju.

8. Sahabat-sahabat terbaik di kampus, Rora, Sheila, Tyas, “babang” Ali, terima kasih untuk semua kegilaan yang kita lalui bersama. Adik-adik ’10 terkasih Yoseva dan Novira, makasih udah mau litain dosen yang kakak Tanya ya. Serta seluruh teman-teman seperjuangan yang tak dapat saya sebutkan satu per satu.

9. Teman-teman kosan yang sudah seperti saudara. Alm. Bg Ghio, terima kasih buat semua nasihat-nasihat abang), bang Herbert, terima kasih pinjaman komputer dan kamarnya di detik-detik terakhir. Dhea, terima kasih udah selalu jadi tempat curhat. Kak Ani, teman berantem sekaligus kakak yang bawel, terima kasih buat semuanya kak.


(6)

10.Buat Mr. J.S, terima kasih untuk selalu ada beberapa bulan ini menemani peneliti, serta sabar menerima omelan-omelan peneliti. Cepat menyusul yaa…

11.Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian penelitian ini, terutama kepada ketiga responden penelitian ini, terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan, serta terima kasih telah menyadarkan peneliti bahwa tidak semua harapan kita bisa jadi kenyataan dan kenyataan hidup ini getir.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini serta penulis berharap kiranya hasil dari penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi.

Medan, 27 Agustus 2014


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : LANDASAN TEORI A. Pengambilan Keputusan ... 15

1. Pengertian Pengambilan Keputusan ... 15

2. Tahapan Pengambilan Keputusan ... 16


(8)

4. Pertimbangan Dalam Pengambilan Keputusan ... 27

B. Perceraian ... 32

1. Pengertian Perceraian ... 32

2. Pandangan Tentang Perceraian ... 33

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadi Perceraian... 37

4. Permasalahan Pasca Perceraian... 38

C. Pengambilan Keputusan Bercerai Pada Perempuan ... 40

BAB III : Metode Penelitian A. Pendekatan Kualitatif ... 44

B. Responden Penelitian ... 45

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 45

2. Jumlah Responden Penelitian ... 46

3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian ... 46

C. Metode Pengumpulan Data ... 47

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 49

E. Kredibilitas Penelitian ... 50

F. Prosedur Penelitian ... 50

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Sosio Demografis Partisipan ... 55

B. Analisa Intra Partisipan ... 56

1. Partisipan I ... 56


(9)

1.2.Hasil dan Analisa Hasil Wawancara ... 57

a. Latar Belakang Partisipan ... 57

b. Latar Belakang Perkawinan ... 60

c. Masa Perkawinan... 64

d. Pengambilan Keputusan Bercerai ... 69

2. Partisipan II ... 80

2.1.Hasil Observasi ... 80

2.2.Hasil dan Analisa Hasil Wawancara ... 81

a. Latar Belakang Partisipan ... 81

b. . Latar Belakang Perkawinan ... 84

c. Masa Perkawinan... 86

d. Pengambilan Keputusan Bercerai ... 91

3. Partisipan III ... 99

3.1.Hasil Observasi ... 99

3.2.Hasil dan Analisa Hasil Wawancara ... 100

a. Latar Belakang Partisipan ... 100

b. Latar Belakang Perkawinan ... 101

c. Masa Perkawinan... 103

d. Pengambilan Keputusan Bercerai ... 107

C. Pembahasan ... 116

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 120


(10)

1. Saran Metodologis ... 122 2. Saran Praktis ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 124


(11)

DAFTAR GAMBAR

Model of Stage of Decision Making ... 21

A Conflict-theory Model of Decision Making ... 25

Paradigma Penelitian ... 43

Gambaran Umum Sosio Demografis Seluruh Partisipan ... 55

Conflict-theory model Pengambilan Keputusan Fitri ... 77

Tahapan Pengambilan Keputusan Janis & Mann (1977) pada Fitri ... 78

Conflict-theory model Pengambilan Keputusan Retno ... 96

Tahapan Pengambilan Keputusan Janis & Mann (1977) pada Retno ... 97

Conflict-theory model Pengambilan Keputusan Eka ... 113


(12)

Gambaran Pengambilan Keputusan Bercerai Pada Perempuan

Veronika Prima Bebby Paska .S dan Juliana Irmayanti Saragih M.Psi, psikolog

ABSTRAK

Perceraian adalah berakhirnya suatu hubungan perkawinan yang bukan

disebabkan oleh meninggalnya salah satu pasangan. Perceraian dapat terjadi

karena pasangan sudah tidak mampu lagi menjalani kehidupan perkawinan

dengan sebagaimana mestinya. Dalam mengambil keputusan untuk bercerai,

terdapat lima tahapan menurut Jannis & Mann (1997) yaitu menilai masalah,

mencari alternatif-alternatif yang ada, mempertimbangklan setiap informasi,

membuat komitmen serta konsekuen terhadap komitmen meskipun memperoleh

umpan balik yang negatif.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengambilan

keputusan bercerai pada wanita, berdasarkan tahapan pengambilan keputusan

Janiss & Mann. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan

data dilakukan dengan wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga

orang. Adapun karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian ini

adalah wanita yang telah bercerai.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga responden menjalani

kelima tahapan pengambilan keputusan Jannis & Mann (1997). Hanya saja

berbeda pada durasi dan urutan tahapannya.


(13)

A Description of Decision Making to Divorce on Woman

Veronika Prima Bebby Paska .S dan Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi, psikolog

ABSTRACT

Divorce is an end of marriage relation not because of any death of spouse. Divorcing may occur because couple no longer have an ability to keep their relationship or their marriage as required. In decision making to divorce, there is five stages by Jannis & Mann (1997), they are appraising the challenge, surveying alternatives, weighing alternatives, deliberating about commitment and adhering despite negative feedback.

The purpose of this research is to know a description about decision making to divorce on woman based on stages of decision making by Jannis & Mann (1997). This research use a qualitative approach. Data collection have been done by interviewing respondent. Respondent in this research involved three people. And the characteristic of respondent in this research is woman and has been divorced with their husband.

The result of this research indicated that the three of this participant has been go through all of stage of decision making by Jannis & Mann (1997). The difference between them in the duration and an order of stage.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjalin hubungan yang lebih intim dan menikah dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan individu dewasa awal (Papalia, Olds & Feldman, 2001). Setiap perkawinan pada dasarnya adalah pencampuran dari dua kepribadian. Setelah menikah, pasangan akan mempelajari dan menyadari bahwa mereka tidak sama dan begitu banyak perbedaannya. Memutuskan untuk menikah bukan hanya sekedar menyadari bahwa pasangan akan berbagi perabotan yang sama, tetapi juga berbagi masa depan bersama. Ini adalah harapan setiap pasangan yang menikah. Dengan kata lain “perkawinan adalah komitmen tanpa batas dengan pasangan yang tidak dikenali” (Pease & Pease, 2003).

Perkawinan biasanya memuat berbagai macam perbedaan, misalnya ras dan usia, status, kepercayaan politik, agama dan tentu saja kepribadian (Roberts & Roberts, 2000). Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Duvall (2002) bahwa dalam perkawinan terdapat komitmen antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama atas dasar saling mencintai, saling membantu, melengkapi dan mendukung dalam menjalani hidup.

Menurut Bowner & Spanier (dalam Rahmi, 2003), ada beberapa alasan yang mendorong seseorang memutuskan untuk menikah. Alasan-alasan tersebut seperti


(15)

mendapatkan jaminan ekonomi, membentuk keluarga, mendapatkan keamanan emosi, harapan orangtua, melepaskan diri dari kesepian, menginginkan kebersamaan, daya tarik seksual, mendapatkan perlindungan, memperoleh posisi sosial dan prestise, dan karena cinta. Tittle (dalam Duvall & Miller, 1985) menyatakan bahwa tujuan wanita menikah adalah untuk mendapatkan keamanan secara finansial, dukungan emosi, serta meningkatkan prestise. Sementara pria menikah karena alasan untuk mendapatkan kehidupan keluarga yang normal, memiliki rumah sendiri, dan menjadi pemimpin dalam keluarga.

Setiap pasangan yang menikah tentunya mengharapkan bahwa perkawinan tersebut akan membawa kebahagiaan dan berlangsung selamanya. Sebuah perkawinan akan berhasil ketika pasangan mampu menyesuaikan diri satu sama lain dengan semua perbedaan yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang mendefinisikan perkawinan sebagai :

”Ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”

Namun pada kenyataannya banyak pasangan yang gagal mengatasi perbedaan di antara mereka, sehingga berakhir dengan penderitaan satu sama lain atau bahkan dengan perceraian (Pease & Pease, 2003).

Realitas memperlihatkan bahwa angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya. Fenomena perceraian ini telah tersebar dan banyak sekali terjadi di seluruh penjuru dunia. Hampir 50% pernikahan di Amerika akan berakhir dengan


(16)

perceraian (Sorentino, 1990). Di Kota Medan sendiri, seperti data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Medan bahwa pada tahun 2005 terjadi perceraian sebanyak 685 kasus. Beberapa kota di Indonesia juga mengalami kenaikan jumlah kasus perceraian. Seperti di Kabupaten Nganjuk, Kediri, kasus perceraian meningkat dari 99 kasus tiap bulannya di tahun 2007, menjadi 112 kasus tiap bulannya di awal tahun 2008. Menurut salah seorang anggota DPRD kota tersebut, Gigi Satria Rahendra, beberapa penyebab utama kasus-kasus perceraian tersebut adalah tidak adanya tanggung jawab, ketidak harmonisan, dan gangguan pihak ketiga. Beberapa penyebab lainnya adalah krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, masalah ekonomi, kawin di bawah umur, penganiayaan, dan cacat biologis (Jawa Pos Online).

Di Kota Medan, dari kasus-kasus perceraian yang dilaporkan juga diperoleh gambaran tentang penyebab-penyebab terjadinya perceraian tesebut. Menurut Harahap, selaku ketua Dinas Pemberdayaan Kota Medan, beberapa penyebab perceraian adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, dan masalah ekonomi. Selain itu, kurangnya komunikasi, masalah keuangan dan perbedaan kepribadian dan latar belakang, masalah seksualitas, serta ketidak setiaan juga berperan dalam memicu perceraian

Gallagher (2002) menyatakan bahwa ada perbedaan alasan bercerai yang diajukan oleh pria dan wanita. Para wanita biasanya meminta cerai dengan alasan kurangnya keintiman dan kasih sayang yang mereka rasakan dari pasangannya, sedangkan pria biasanya menuntut cerai karena kurangnya kepuasan seksual dan merasa bahwa istrinya terlalu cerewet. Menurut Levinger et al (dalam Duvall,


(17)

1985), suami biasanya mengajukan perceraian dengan alasan ketidakcocokan dengan keluarga mertua serta masalah seksual. Sementara istri mengajukan perceraian karena alasan kekerasan verbal dan fisik, masalah keuangan, perilaku suami yang peminum, pengabaian dan kurangnya rasa cinta dari suami. Pada kasus-kasus adanya kekerasan domestik, alasan sebenarnya terjadi perceraian bukan karena ingin melepaskan diri dari lingkaran kekerasan tersebut, tetapi karena salah satu pasangan tersebut sudah merasa kesepian, bosan, depresi dan tidak puas lagi dengan perkawinannya (Gallagher, 2002). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan seorang wanita berinisial Wi yang bercerai karena kasus kekerasan dalam rumah tangga :

”Sebenarnya apa ya, ini mikirnya kalo dianya cuman marah gitu, lemparin barang-barang gitu, mungkin apa ya, masih bisa nahan gitu. Kan ya kalo masak suami marah dikit langsung minta cere, ya nggak kan ya. Cuman karena udah sering, saya mikirnya udah gak bener ini, udah bosan saya gini-gini terus, mikirnya kok ngga, apa nggak bisa berubah lagi dia ya, ternyata nggak berubah. Ditahan-tahanin lama-lama mikirnya jangan-jangan apa saya bisa gila juga nanti”

(Komunikasi Personal, 8 Maret 2013).

Pada tahun 2010 diperoleh data bahwa dari 285.184 perceraian di seluruh Indonesia, 59% diajukan oleh istri, dan 29% diajukan oleh suami dan sisanya oleh pihak lain, ujar Mahkamah Agung (MA) dalam releasenya. Dalam keterangan pers itu, Badan Peradilan Agama (Badilag MA) menyebutkan, permohonan gugatan cerai yang dilayangkan pihak istri sebanyak 190.280 kasus perceraian. Sedangkan yang dilayangkan oleh laki-laki hanya setengahnya yaitu 94.099 kasus perceraian. Angka tersebut nampaknya berbanding lurus dengan hasil penelitian yang dilakukan AARP awal tahun lalu. Penelitian itu menemukan pasangan yang


(18)

akan atau telah bercerai, 66% keinginan cerai berasal dari wanita. Sedangkan pria yang menginginkan perceraian sebanyak 41%. (skalanews.com)

Dari beberapa penelitian diperoleh gambaran bahwa kebanyakan kasus perceraian diajukan oleh wanita. Secara kuantitatif, jumlah wanita yang minta cerai dari pasangannya dua kali lebih besar dari pria (Kincaid & Caldwell, 1995; Pettit & Bloom, 1984 dalam Baum 2006). Pada penelitian Nielsen (1999) diperoleh data bahwa di Amerika, 75% dari seluruh kasus perceraian diajukan oleh istri. Sedangkan penelitian Walthall (2005) menjelaskan bahwa pada masa sekarang, kebanyakan perceraian di Jepang diajukan oleh wanita. Hal ini merupakan salah satu efek dari modernitas, dimana pada masa sekarang sudah banyak wanita yang berpendidikan dan memiliki karir dalam pekerjaannya sehingga tidak tergantung secara ekonomi pada suaminya.

Individu yang mengajukan perceraian akan merasakan dampak psikologis yang berbeda daripada individu yang diceraikan. Individu yang mengajukan perceraian akan berpikir bahwa dialah yang memulai semua permasalahan. Individu tersebutlah yang memunculkan masalah akan kehilangan pasangan hidup, keutuhan keluarga, rutinitas dalam keluarga, dan harus berjuang demi hidupnya sendiri serta membentuk hubungan interpersonal yang baru (Baum, 2006). Selain itu, wanita yang minta cerai akan merasakan perasaan bersalah yang sangat mendalam, apalagi jika dikaitkan dengan dampak perceraian baik pada dirinya, anak-anaknya dan keluarganya. (Baum,2006)


(19)

Wallerstein dan Kelly (dalam Baum, 2006) meneliti bahwa individu yang telah bercerai akan merasa bersalah terhadap semua masalah yang muncul akibat perceraian tersebut, misalnya terhadap anak-anak, penilaian lingkungan terhadap status mereka, bahkan merasa telah merusak kehidupan mantan pasangannya. Bahkan rasa bersalah ini dapat mengarah kepada gangguan depresi (Walters-Chapman, Price, and Serovich,1995 dalam Baum, 2006). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan seorang wanita berinisial Na yang telah bercerai selama 2 tahun :

”Kadang kalo lagi liat anak-anak rasanya sedih. Gimana ya, mereka kan gak ada bapaknya lagi. Gak ada yang ngajak maen juga. Ya mikirnya kadang saya ya, mikir kok jadi ngerasa salah gitu, apa saya yang salah gak mikir panjang dulu cerai, gitu. Kalo liat tetangga, apa kawan-kawan lagi ya ngiri juga lah, mereka rukun sama suaminya. Ada yang jagain, ngemong, ngelindungin gitu. Kayak saya kan udah cerai, ya semua-semuanya sendirian aja...”

(Komunikasi Personal, 7 Maret 2013).

Sedangkan Wi, seorang janda yang baru bercerai selama 6 bulan dan belum memiliki anak merasakan dampak negatif dari penilaian lingkungan terhadapnya. Berikut ini penuturannya:

”...ya gak enaklah jadi janda. Gimana rasanya, kayak diliatin kalo lagi jalan, apa diomongin orang gitu kali yah. Apalagi saya kan masih muda juga, jadi jandanya juga baru. Saya kok ngerasa banyak yang nyalahin gitu, minta cerai sama suami, apa iya saya yang salah, apa mau dimau-mauin aja suami gila, tukang pukul kayak gitu.

”...biasanya sih ibu-ibu, takut kali suaminya kegoda (tertawa). Apalagi saya kan pulang kerjanya malam, maklumlah cuma penjaga swalayan. Masak kemaren ada ibu-ibu pengajian ngingatin saya supaya gak pulang malam, katanya gak enak sama tetangga yang laen, trus saya mau makan apa, suami juga udah gak punya...”


(20)

Perceraian memiliki dampak positif dan negatif. Segi positifnya adalah adanya perasaan bebas dari tekanan, mengurangi tekanan batin dan merasa memiliki kesempatan untuk membangun kehidupan lain yang lebih baik. Akan tetapi ternyata hanya sebagian kecil yang merasakan dampak positif ini. Penelitian Hetherington (dalam Gallagher, 2002) menyatakan bahwa baik wanita dan pria tidak merasakan peningkatan kualitas kehidupan yang mereka harapkan setelah bercerai. Dari penelitiannya pada beberapa responden yang telah bercerai selama 20 tahun, hanya 20 % diantara individu tersebut yang merasakan kualitas hidupnya meningkat setelah bercerai, dan kebanyakan diantaranya adalah wanita.

Dampak dari perceraian, terutama dampak negatif seringkali membuat individu kembali ke belakang dan mempertanyakan keputusannya. Dampak negatif yang paling sering terjadi adalah munculnya masalah keuangan. Cochrane (2007) menyatakan bahwa wanita yang bercerai akan merasakan dampak keuangan yang lebih besar dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor. Misalnya saja jika wanita tersebut memiliki hak asuh atas anaknya, maka walaupun ia bekerja, ia harus membagi perhatian antara pekerjaan dan keluarga sehingga otomatis karirnya akan terhambat. Selain itu wanita memiliki kecenderungan untuk menyimpan uangnya dan digunakan untuk keluarganya, sementara pria biasanya menyimpan uangnya dan menghabiskannya hanya untuk dirinya sendiri.

Dampak yang tidak kalah penting terjadi pada anak-anak pasangan yang bercerai tersebut. Menurut Clarke-Stewart (2007), orang dewasa bisa saja mendapatkan manfaat dari adanya perceraian, namun tidak demikian dengan


(21)

anak-anak. Beberapa tahun setelah perceraian kedua orang tuanya, anak-anak ini akan tetap menyimpan rasa sedih dan rasa marah yang tidak dapat mereka ungkapkan dengan mudah. Anak-anak ini merasa bingung dan seolah-olah dikhianati oleh kedua orang tuanya yang berpisah, seolah-olah mereka adalah anak-anak yang tidak disayangi dan diabaikan sementara orangtua mereka sibuk mengatasi masalah mereka sendiri. Beberapa emosi lainnya juga akan muncul, seperti ketidakpastian, rasa duka cita karena munculnya perasaan kehilangan, harapan yang tidak rasional bahwa suatu saat orang tua mereka akan rujuk kembali, cemas akan kesejahteraan orang tuanya, khawatir dirinya hanya akan setia pada satu orang tua saja, serta ketidak jelasan mengenai hubungan romantis. Selain itu anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai tenyata memiliki masalah dalam prestasi belajar, kesulitan dalam penyesuaian sosial serta harga diri yang rendah.

Namun selain dampak-dampak negatif tersebut, terdapat juga beberapa dampak positif pada anak ketika orang tuanya bercerai antara lain adalah:

Anak korban perceraian memiliki orientasi yang baik bagi masa depannya. Anak akan berfikir bahwa kegagalan orang tuanya dapat dijadikan pelajaran agar ia tidak seperti orang tuanya yang memilih jalan perceraian, dan ini juga akan menjadi bekal mereka untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Pengalaman traumatik dapat menjadikan anak menjadi tangguh, berkepribadian matang maupun sebaliknya. Sebanyak 75% anak korban perceraian mampu bangkit dan berprestasi. Menurut Bonnie Benard, anak yang


(22)

resilien memiliki karakteristik tersendiri yaitu kompetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah, otonomi dan juga keinginan akan tujuan dan masa depan.

Selain itu, anak korban perceraian mendapatkan pengalaman yang memberdayakan. Orang tua yang berasal dari keluarga yang religius sering dipaksa menikah terlalu muda dan ternyata mereka menikah dengan orang yang salah sehingga timbullah kasus perceraian. Hal tersebut membuat anak korban perceraian berfikir bahwa itu merupakan pengalaman yang memberdayakan. Jadi kesimpulannya adalah perceraian orang tua ternyata membawa dampak yang baik bagi anak. Hal ini bergantung kepada orang tuanya, lingkungan, dan komunitasnya.

Perceraian merupakan salah satu keputusan penting dalam perjalanan hidup manusia. Memutuskan untuk bercerai bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Salah seorang praktisi yang memberikan panduan bagi wanita yang dalam proses perceraian, Sommer (2000) menyatakan bahwa tidak ada satu orangpun yang tidak akan melalui kesulitan baik pada saat proses perceraian maupun pada fase sesudahnya. Individu yang memutuskan untuk meminta cerai harus membuat keputusan yang cepat dan terkesan tepat. Sangat banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan, karena banyak aspek kehidupan yang akan berubah dan harus disusun ulang. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa normal saja jika individu merasa stres, cemas, sedih, marah dan depresi selama proses perceraian. Bahkan semua emosi ini bisa berkumpul menjadi satu, ada saat-saat semuanya meningkat tiba-tiba dan lantas menurun, yang diibaratkan seperti sedang menaiki rollercoaster. Tentu saja hal ini membuat individu tidak nyaman.


(23)

Selain itu keputusan untuk bercerai ternyata akan memunculkan konflik yang lebih mendalam bagi wanita-wanita yang berasal dari budaya yang sangat ketat untuk menghalangi perceraian. Dalam budaya seperti ini keutuhan keluarga adalah yang paling penting. Hanya saja pada masa sekarang banyak kebudayaan sudah mendapat pengaruh dari budaya negara-negara Barat yang memiliki pandangan khusus mengenai romantisme dan kebebasan. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Kung dkk (2004) pada wanita-wanita Hong Kong yang mengalami perceraian. Mengambil keputusan bercerai ternyata memunculkan konflik yang sangat besar dalam diri mereka.

Akibat adanya beberapa dampak negatif setelah bercerai, sebagian dari mereka bahkan ada yang menyesali keputusan tersebut. Dalam hal ini akan muncul beberapa pertanyaan seperti mengapa aku membuat keputusan yang demikian ? mengapa aku begitu bodoh ? mengapa aku mengambil keputusan yang salah ? (Janis & Mann, 1977 ).

Dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui pengalaman sendiri ataupun pengalaman orang lain, kita melakukan proses pengambilan keputusan. Proses ini bisa terjadi dalam bentuk yang sederhana dan menghasilkan kepuasan atau justru merupakan suatu proses yang sulit dan memunculkan stres. Proses pengambilan keputusan akan menjadi sulit apabila indvidu dihadapkan pada berbagai macam alternatif yang justru memunculkan konflik. Selain itu pemenuhan tenggat waktu pengambilan keputusan, dampak dari keputusan yang akan diambil biasanya merupakan faktor pertimbangan yang justru memunculkan perasaan tertekan.


(24)

Cox dan Klinger (dalam Nevid dkk, 1994) menyatakan bahwa suatu keputusan yang dibuat merupakan dasar pertimbangan untuk mengantisipasi konskuensi jangka panjang dan jangka pendek dari kehidupan yang akan dijalani akibat keputusan tersebut. Dapat dilihat bahwa mengambil keputusan yang benar menjadi sangat penting bagi setiap individu agar keputusan yang diambil tidak membawa dampak yang buruk atau dampak yang diberikan dapat diminimalkan.

Fenomena tersebut tentu saja terjadi pada para wanita yang memutuskan bercerai dari suaminya. Para wanita ini mengajukan perceraian dengan berbagai alasan yang sebenarnya merupakan hal-hal yang menyebabkan mereka tidak puas dengan perkawinannya. Memutuskan untuk bercerai tentu saja bukanlah hal yang mudah. Para wanita ini akan dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama memiliki pro dan kontra. Jika ia memilih bercerai, ia akan terbebas dari kungkungan masalah perkawinan yang memberatkannya. Akan tetapi, nyatanya tidak mudah bagi istri untuk meninggalkan suaminya karena beberapa faktor tertentu, terutama pertimbangan dampak negatif dari perceraian itu sendiri. Hal ini mengakibatkan pengambilan keputusan untuk bercerai menjadi sebuah proses yang sulit dan melibatkan berbagai emosi yang melelahkan. Hal inilah yang menjadikan proses pengambilan keputusan untuk bercerai menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih lanjut sehingga dapat terlihat lebih jelas bagaimana sebenarnya dinamika proses pengambilan keputusan untuk bercerai pada seorang wanita.


(25)

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat uraian pada latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran proses pengambilan keputusan yang dialami seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran proses pengambilan keputusan yang dialami seorang wanita yang meminta cerai dari suaminya. Bagaimana langkah-langkah yang diambilnya, gambaran keadaan emosi dan psikologis yang dirasakannya saat proses pengambilan keputusan terjadi, dan bagaimana ia mengevaluasi keputusannya.

D. Manfaat Penelitian

Apabila identifikasi penelitian dalam penelitian ini sudah terjawab dan tujuan penelitian sudah tercapai, maka penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu Psikologi, terutama yang mengkaji tentang masalah pengambilan keputusan dan juga bidang kajian wanita.


(26)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan ketika seorang wanita memutuskan bercerai. Selain itu juga penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi profesional seperti pengacara, konselor maupun psikolog yang sedang menangani perceraian sehingga dapat lebih memahami kliennya.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa BAB dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini akan digambarkan latar belakang masalah, tujuan, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritiss yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuatadalah teori yang berhubungan dengan pengambilan keputusan, langkah-langkah dan proses serta konflik yang dihadapi. Selain itu akan dijelaskan juga mengenai teori perceraian, faktor-faktor penyebab perceraian serta dampak perceraian.


(27)

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, partisipan, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

BAB IV : Analisis Data dan Pembahasan

Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa data dan interpretasi data yang diperoleh. Yang terdiri dari data diri partisipan, observasi data wawancara dan pembahasan yang akan dibahas per partisipan. Serta analisis antar partisipan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan saran peneliti terhadap penelitian.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengambilan Keputusan

1. Pengertian Pengambilan Keputusan

Kata “keputusan” berarti menentukan, mengakhiri, menyelesaikan, mengatasi. Sedangkan kata ”pengambilan keputusan” berarti suatu tindakan yang dilakukan untuk menyelesaikan sesuatu (Russel-Jones, 2000). Mengambil keputusan berbicara tentang tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi suatu permasalahan yang seringkali dihadapkan pada dua pilihan atau bahkan lebih. Sebuah keputusan adalah tindakan untuk mengatasi kekacauan, mampu melihat setiap aspek secara objektif, dan dengan demikian dapat membuat keputusan yang efektif (Adair, 2007).

Menurut Salusu (2004), pengambilan keputusan adalah suatu proses memilih alternatif cara bertindak dengan metode yang sesuai dengan situasi. Sedangkan Jannis & Mann (1977) menyebutkan bahwa pengambilan keputusan merupakan pemecahan masalah dan terhindar dari faktor situasional.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses dimana individu harus memilih berbagai alternatif yang ada dengan tujuan menyelesaikan permasalahannya.


(29)

2. Tahapan Pengambilan Keputusan

Menurut Russel-Jones (2000), ada tujuh (7) tahapan dalam suatu pengambilan keputusan, sebelum akhirnya individu melakukan tindakan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Membuat batasan tentang keputusan apa yang harus diambil

Individu cenderung membuat keputusan yang salah karena sebelumnya tidak menganalisa penyebab diambilnya keputusan tersebut. Seringkali kita lebih memfokuskan pada simptom-simptom yang terlihat di depan mata. Pertanyaan yang sering muncul adalah “mengapa aku perlu mengambil keputusan ini?” “apa tujuannya aku mengambil keputusan ini?”

2. Memahami konteks situasi dimana keputusan akan dibuat

Konteks situasi dari keputusan yang akan diambil akan sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Kita tidak mungkin mengabaikan kondisi sekitar kita saat mengambil suatu keputusan. Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah ”siapa-siapa saja yang berperan dalam proses pengambilan keputusan ini?” ”Kepada siapa saja dampak keputusan ini akan berpengaruh?”

3. Mengidentifikasi setiap pilihan yang ada

Kesulitan yang umum terjadi dalam suatu proses pengambilan keputusan adalah kurangnya pilihan yang memungkinkan untuk diambil, khususnya ketika tidak satupun diantara pilihan tersebut yang kelihatannya sesuai dengan tujuan pengambilan keputusan. Untuk mengatasi hal ini, dapat dilakukan


(30)

dengan brainstorming bersama orang lain atau berkonsultasi dengan profesional. Pertanyaan yang sering muncul adalah ”Pilihan-pilihan apa saja yang kumiliki” ”Apakah langkah ini merupakan jalan keluar bagiku?”

4. Mengevaluasi konskuensi dari masing-masing pilihan

Setiap keputusan yang diambil akan menghasilkan suatu konskuensi, dan tidak akan ada artinya keputusan tersebut diambil jika individu tidak berkomitmen terhadap konskuensinya. Atas dasar hal tersebut, harus dianalisa konskuensi yang paling sesuai dengan kebutuhan individu sehingga ia mampu menjalaninya. Pertanyaan yang sering muncul adalah ” ”pilihan mana yang konskuensinya paling masuk akal dan sesuai dengan kebutuhanku ?” ”Sejauh mana penyesalan yang akan teradi jika aku mengambil tindakan dan tidak mengambil tindakan ?

5. Menentukan prioritas dan memiliki satu diantaranya

Setelah setiap konskuensi pilihan selesai dianalisa, kita harus memilih salah satu diantara serangkaian pilihan tersebut. Seringkali karena kesulitan dalam memilih dan tidak berani menghadapi konskuensi dari pilihan, individu memilih menghindar dengan tidak melakukan apapun. Pada dasarnya tidak melakukan apapun tetaplah sebuah keputusan. Untuk mengatasi kesulitan ini, individu dapat menekankan pada dirinya bahwa proses pengambilan keputusan bukanlah memilih antara benar dan salah, akan tetapi memilih antara yang benar dan benar, tergantung pada persepsi pribadi.


(31)

6. Menelaah ulang keputusan yang dipilih

Pada satu titik setelah keputusan diambil, individu tetap harus menelaah ulang keputusan yang telah diambilnya. Frekuensi dan kedalamannya tergantung dari seberapa besar keputusan tersebut mempengaruhi kebutuhannya.

7. Mengambil tindakan terhadap keputusan yang dipilih

Setelah keputusan diambil, sebuah tindakan harus dilakukan sebagai bentuk impelementasinya. Tidak akan ada artinya proses pengambilan keputusan yang sudah dilalui apabila individu tidak membuat suatu tindakan apapun. Jannis & Mann (1997) memperkenalkan 5 (lima) tahapan dalam proses pengambilan keputusan, yaitu:

1. Menilai Masalah

Tahap ini meliputi penilaian terhadap masalah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mencari informasi atau kejadian yang dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi tindakan yang akan diambil. Selain itu harus ditentukan tujuan yang ingin dicapai dalam mengambil keputusan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penilaian masalah pada tahap ini: sumber masalah, kejelasan masalah serta kepribadian dan mood individu ketika menilai masalah tersebut. Pertanyaan yang sering muncul adalah ”Adakah risiko serius yang akan muncul jika saya tidak melakukan perubahan?”

2. Mencari alternatif-alternatif yang ada

Setelah individu yakin terhadap setiap informasi yang berkaitan dengan masalahnya, ia dapat memusatkan perhatian pada berbagai alternatif pilihan


(32)

yang ada. Hal ini juga dapat dilakukan dengan cara mencari masukan dan informasi dari orang lain yang memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan masalahnya. Hal yang paling penting pada tahap ini adalah sikap terbuka dan fleksibilitas sehingga individu tidak akan kekurangan alternatif yang memungkinkan dipilih. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah ”Apakah saya telah melihat dan mempertimbangkan seluruh alternatif yang ada?”

3. Mempertimbangkan setiap alternatif

Pada tahap ini, individu mulai mengevaluasi setiap pilihan yang ada berdasarkan konskuensinya dan kemungkinan untuk dapat dlakukan atau tidak. Dasar pertimbangkan biasanya adalah adanya manfaat atau pengorbanan di masa yang akan datang. Ketika ia menyadari adanya kemungkinan penyesalan di masa yang akan datang, maka ia akan semakin berhati-hati dalam menimbang setiap alternatif yang tersedia. Pada tahap ini biasanya akan muncul ketidakpuasan atas tindakan yang mungkin sudah dilakukan, berusaha menghindar untuk melakukan tindakan karena tidak ingin berkomitmen terhadap konskuensi yang akan diambil dan responsif terhadap berbagai informasi baru yang memungkin pilihan keputusan akan berubah. Pertanyaan akhir yang biasa muncul adalah ”Alternatif apa yang terbaik bagi saya?”

4. Membuat Komitmen

Tahap ini adalah tahap yang penuh dengan ketegangan. Individu dihadapkan pada berbagai pilihan yang sudah dianalisa dan ditelaah dan diharuskan


(33)

membuat suatu keputusan tentang pilihan mana yang akan diambil. Hal ini hanya dapat diakhiri dengan membuat keputusan dan berkomitmen terhadap keputusan tersebut. Seringkali individu memberitahu keputusannya pada orang lain, terutama orang-orang yang berada dalam jaringan sosialnya. Dengan demikian tahap ini sangat dipengaruhi oleh orang-orang atau kelompok yang dianggap penting bagi si pengambil keputusan. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah ”Kapan saya dapat mengimplementasikan alternatif terbaik dan membiarkan orang lain tahu keputusan saya?”

5. Konskuen terhadap komitmen meskipun memperoleh umpan balik yang negatif

Setiap keputusan yang diambil seseorang tentu saja memiliki risiko negatif. Akan tetapi yang terpenting adalah tidak bereaski berlebihan terhadap kritik atau kekecewaan yang mungkin akan muncul.

Tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Jannis & Mann tersebut dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut:


(34)

STAGE 3

Weighing of alternatives START

Challenging negative feedback or opportunity

STAGE 2

Surveying alternatives

STAGE 4

Deliberating about commitment

Is this alternative an acceptable means Have I sufficiently surveyed the alternative Search for another

alternative

Shall I adopt the best alternative and allow others to

know Wich

alternative is best?

Could the best alternatives meet the essential requirements End Adhering despite negative feedback STAGE 1

Appraising The Challenge

Are the risk serious if I

don`t change?

Unconflicted Adherence

End

Stage of prior decision Models of the Stages of Decision Making


(35)

3. Konflik dalam Pengambilan Keputusan

Janis & Mann (1977) menyatakan bahwa pada umumnya individu akan menghadapi konflik dalam mengambil suatu keputusan yang sangat penting. Munculnya konflik membuat pengambil keputusan akan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menghadapi risiko yang akan muncul. Konflik-konflik tersebut juga akan mempengaruhi individu untuk menerima atau menolak tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan keputusan yang dibuat. Simptom yang akan muncul bisanya adalah keragu-raguan, kebimbangan, ketidakpastian, dan tanda-tanda stresketika keputusan sudah ditetapkan.

Berdasarkan gambaran tersebut, metode yang dinilai efektif dalam mengambil keputusan adalah metode yang menggunakan conflict-theory model. Metode ini dinilai dapat melihat segala konskuensi yang mungkin terjadi ketika suatu pengambilan keputusan dilakukan. Dasar dari pendekatan ini adalah 4 pertanyaan yang akan dijawab oleh pengambil keputusan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :

1. Apakah ada risiko yang serius jika saya tidak melakukan perubahan? 2. Apakah ada risiko yang serius jika saya melakukan perubahan?

3. Apakah ada kemungkinan harapan untuk menemukan solusi yang baik dan memuaskan?

4. Apakah cukup waktu untuk mencapainya dengan tenang dan tidak tergesa-gesa?


(36)

1. Antecendent condition

Kondisi ini adalah setiap kejadian-kejadian yang mendahului terjadinya proses pengambilan keputusan. Variabel yang sangat mempengaruhi adalah komunikasi individu. Melalui komunikasi, seseorang akan mendapatkan pengetahuan, peringatan, atau informasi lain yang relevan dengan keputusan yang diambil.

Faktor-faktor lainnya yang juga akan mempengaruhi adalah faktor situasional, kepribadian dan karakteristik-karakteristik lainnya.

2. Mediating Process

Merupakan proses dimana individu dihadapkan pada dua pilihan yang saling bertentangan serta memunculkan konskuensi yang bertentangan pula.

3. Consequencess

Setiap pilihan yang diambil pada mediating process akan menuju kepada consquencess. Jika jawaban-jawaban yang diberikan negatif, maka individu akan mengalami unconflicted adherence, unconflicted change, defensive avoidance dan hypervigilance. Jika jawaban-jawabannya positif, maka yang akan terjadi adalah vigilance, dimana ia akan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan dalam mengambil langkah.

Kelima tahapan pengambilan keputusan yang sudah dikemukakan oleh Janis & Mann (1977) akan menunjukkan suatu proses yang unik dari tiap tahapan. Proses yang terjadi dari satu tahapan ke tahapan berikutnya akan menggambarkan sisi negatif dan positif yang mungkin terjadi dari setiap pilihan jawaban.


(37)

Proses pengambilan keputusan akan menunjukkan kondisi-kondisi yang terjadi sebelumnya, kemudian proses apa yang akan muncul serta apa yang menjadi akibatnya. Hal ini akan membantu pengambil keputusan untuk meneliti dan menganalisa setiap jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan di tiap proses yang terjadi. Jawaban tersebut pada akhirnya akan mengarahkan pengambil keputusan pada sebuah keputusan akhir. Janis & Mann (1977) kemudian mengajukan sebuah model conflict-theory dalam pengambilan keputusan yang dapat diaplikasikan pada berbagai jenis situasi. Bagannya adalah sebagai berikut :


(38)

A Conflict-Theory Model in Decision Making

START

Challenging Negative

Q 1 :Are the Risk Serious if

I Don’t Change Additional Information about Losses from Continuing Unconflicted Adherence

Q 2: Are the Risk Serious if

I Do Change Information about

Losses from Changing Unconflicted

Change

Q 3: Is It Realistic to Hope a Better

Solutions Sign of More

Information Available and of Unused

Resources

Q 4: Is There Sufficient Time

to Search and Deliberate

Hypervigilan ce Information about

Deadline and Time Pressures Defensive Avoidance END Incomplete Search Appaisal and Antecedent Conditions Mediating Process Consequences

Maybe or Yes

Maybe or Yes

Maybe or Yes

No

No

No No

Maybe or Yes

Vigilance END Thorough Search Appraisal and Contingency Planning Bagan II.1


(39)

Mengenai jalannya proses pengambilan keputusan, Harris (1998) menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan merupakan proses yang non linier dan recursive (berulang), artinya proses pengambilan keputusan tidak selamanya melalui suatu aliran yang konstan. Sebaliknya, kebanyakan keputusan dibuat setelah melalui pertimbangan berulang-ulang dan bolak-balik. Tahapan tertentu akan dilalui dalam waktu singkat sementara tahapan lain akan memerlukan waktu yang lebih lama dan pertimbangan yang lebih kompleks. Adair (2007) menambahkan bahwa dalam serangkaian tahapan pengambilan keputusan, kita tidak harus mengikuti semua tahapan tersebut secara kaku pada setiap situasi.

Dalam proses pengambilan keputusan yang non linier, bisa saja seorang pengambil keputusan sudah sampai pada tahap 3 (berdasarkan tahapan Janis & Mann, 1977) akan kembali ke tahap 2 atau bahkan ke tahap 1. hal ini terjadi ketika si pengambil keputusan merasa tidak puas dengan alternatif yang ada (Janis & Mann, 1977).

Sementara itu mengingat partisipan pengambil keputusan dalam penelitian ini adalah wanita, maka perlu kiranya dijelaskan mengenai proses pengambilan keputusan pada perempuan. Menurut Tannen (dalam Miell & Wetherell, 1989) seorang perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan cenderung meminta nasehat atau berkonsultasi dengan orang lain.


(40)

4. Pertimbangan dalam Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan pada dasarnya melibatkan berbagai macam pertimbangan. Menurut Janis & Mann (1977) pertimbangan-pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:

1. Pertimbangan-pertimbangan utilitarian, yaitu pertimbangan yang berhubungan dengan manfaat dari suatu keputusan. Pertimbangan utilitarian terdiri dari:

a. Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi diri sendiri, di dalamnya mencakup antisipasi pengaruh keputusan terhadap kesejahteraan pribadi pengambil keputusan.

b. Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi orang lain, termasuk hal-hal yang diantisipasi akan berpengaruh terhadap orang lain atau significant others.

2. Pertimbangan-pertimbangan non utilitarian, yaitu pertimbangan lain yang tidak termasuk dari manfaat atau kegunaan suatu keputusan. Pertimbangan non utilitarian ini terdiri dari :

a. Penerimaan dan penolakan dari diri sendiri (self approval dan disapproval), termasuk di dalamnya emosi, perasaan dan harga diri seseorang.

b. Penerimaan dan penolakan dari orang lain (approval and disapproval by significant others), termasuk di dalamnya kritik dan penghargaan yang akan diberikan orang lain sehubungan dengan alternatif yang dipilih.


(41)

Selain berbagai pertimbangan yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur juga menjelaskan faktor-faktor lain yang akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Secara umum faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Lingkungan Luar (External Circumtances)

Pada pengambilan keputusan yang bersifat pribadi, proses pengambilan keputusan tidak hanya menuntut kinerja aspek kognitif semata, namun berkaitan juga dengan lingkungan (Kemdal & Montgomery dalam Svenson et al, 1997). Hal ini senada dengan yang dikemukakan Harris (1998) bahwa suatu keputusan berkaitan erat dengan konteks saat keputusan tersebut dibuat. 2. Pentingnya keputusan yang dibuat

Beberapa keputusan bisa saja keputusan yang dianggap kurang penting yang hanya membutuhkan sedikit pemikiran, sebaliknya ada keputusan-keputusan yang dianggap penting yang membutuhkan pemikiran aktif untuk mencapai hasil yang memuaskan. Suatu keputusan dianggap penting karena berbagai alasan, diantaranya materi yang harus dikeluarkan dan koskuensi dari keputusan tersebut. Selain itu, suatu keputusan juga akan dianggap penting jika berkaitan dengan opini tertentu atau nilai-nilai emosional dari si pengambil keputusan. Penting atau tidaknya suatu keputusan akan berpengaruh terhadap involvement si pengambil keputusan, sehingga berkaitan dengan motivasi seseorang yang nantinya akan mempengaruhi usaha kognitif serta strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut (Svenson & Verplaken dalam Svenson et al, 1997).


(42)

3. Tekanan (stres)

Tekanan-tekanan berupa keterbatsa waktu, tanggungjawab yang berlebihan, kekurangan atau kelebihan informasiserta adanya ancaman sosial atau ancaman fisik dapat menimbulkan stres dan mempengaruhi kualitas keputusan yang dibuat (Harris, 1998).

4. Preferensi dan Nilai-nilai

Suatu keputusan sangat ditentukan oleh preferensi dan nilai-nilaiyang dipegang oleh pengambil keputusan. Kedua hal tersebut akan mengarahkan si pengambil keputusan untuk menentukan alternatif tindakan yang dipilih (Harris, 1998).

5. Waktu

Waktu dan sumber daya yang dimiliki oleh si pengambil keputusan akan mempengaruhi proses pengumpulan informasi dan penelusuran alternatif-alternatif (Harris, 1998).

Dalam suatu pengambilan keputusan, karakterisitik pengambil keputusan juga akan mempengaruhi hasil keputusan yang dibuat. Selanjutnya Russel-Jones (2000) menjelaskan bahwa suatu pengambilan keputusan merupakan proses yang melibatkan kemampuan kognitif yang akan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki. Pengambilan keputusan akan membutuhkan kemampuan analisis penyelesaian masalah dan penilaian masalah. Seorang pengambil keputusan yang baik akan memiliki karakteristik sebagai berikut:


(43)

1. Kemampuan Analisis penyelesaian masalah a. Positif:

1.Melakukan langkah-langkah setahap demi setahap untuk mengetahui akar permasalahan.

2.Memahami kapan dia sudah sampai pada batas kemampuannya. 3.Menghindari situasi ketika kemampuan analisinya menurun. b. Negatif:

1. Tidak mampu memisahkan antara masalah dan komentar.

2. Menitikberatkan pada symptom yang terlihat dan bukan kepada penyebab masalah.

3. Tidak belajar dari pengalaman 2. Kemampuan Penilaian Masalah

a. Positif:

1. Mengatur dan mengurutkandata-data yang ada sehingga menghasilkan informasi-informasi yang inti saja.

2. Fokus pada kata-kata kunci dari data yang ada.

3. Merasa tertantang dengan adanya risiko dari tiap pilihan. 4. Tetap memperhatikan pilihan-pilihan yang berbeda.

5. Merubah cara berpikir ketika data yang muncul juga berubah. b. Negatif:

1. Memberikan bobot yang seimbang pada pilihan yang pro dan kontra. 2. Hanya menggunakan sebagian data saja.


(44)

4. Merubah pikiran sebelum data yang ada berubah. 5. Menunda pengambilan keputusan.

Dalam beberapa situasi tertentu, suatu pengambilan keputusan memang harus ditunda pelaksanaannya. Menurut Harris (1998), pada dasarnya penundaan ini masuk akal dilakukan karena ada beberapa keuntungan yang akan diperoleh yaitu:

1. Ruang lingkup pengambilan keputusan akan semakin luas, sehingga akan memberikan informasi yang lebih banyak. Penundaan ini juga akan memberikan waktu bagi pengambil keputusan untuk lebih melakukan analisis lebih jauh.

2. Memungkinkan munculnya alternatif – alternatif baru

3. Memungkinkan adanya perubahan nilai – nilai si pengambil keputusan, misalnya kemampuan berpikir lebih terasah, lebih bijaksana dan lebih matang.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang pengambil keputusan akan berusaha mencari sebanyak mungkin informasi dan alternatif. Akan tetapi banyaknya alternatif ini ternyata akan memunculkan beberapa masalah, diantaranya adalah:

1. Adanya penundaan pengambilan keputusan karena diperlukan waktu yang lebih banyak untuk mencari dan mengolah semua informasi dan alternatif yang ada. Penundaan ini bisa saja mengakibatkan keputusan yang dihasilkan menjadi tidak efektif .

2. Informasi dan alternatif yang terlalu banyak akan mengakibatkan kemampuan seorang pengambil keputusan menurun. Hal ini terjadi karena semua informasi dan alternatif tersebut tidak dapat lagi dikelola semuanya


(45)

dengan sebagaimana adanya. Salah satu fenomena yang sering terjadi adalah kita lupa terhadap beberapa informasi yang telah kita peroleh.

3. Pada akhirnya si pengambil keputusan hanya akan memilih alternatif-alternatif yang mendukung ke arah pilihannya saja, tanpa melihat hal-hal lain yang bertolak belakang.

4. Kelelahan Fisik

5. Kelelahan Mental. Akibatnya keputusan yang diambil adalah keputusan yag terburu-buru, tidak hati-hati atau bahkan tidak membuat keputusan sama sekali.

B. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Berdasarkan arti harafiahnya, perceraian adalah berakhirnya suatu perkawinan bukan karena disebabkan kematian salah satu pasangan. Menurut Hurlock (1999), perceraian adalah kulminasi dari perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian yang dapat memuaskan kedua belah pihak.

Stinson (1991) menyatakan bahwa perceraian adalah suatu bentuk gangguan hubungan perkawinan yang dialami oleh orangtua dan dapat mempengaruhi hubungan orangtua dan anak. Perceraian dapat meningkatkan stres, berkurangnya waktu dan energi serta dukungan emosional yang diberikan masing-masing pasangan.


(46)

Bhrem (2002) mendefinisikan perceraian sebagai berakhirnya sebuah hubungan perkawinan yang sebenarnya belum saatnya berakhir. Perceraian sering diartikan sebagai sesuatu hal yang dapat menyebabkan kehancuran. Akibat yang ditimbulkan tidak hanya mempengaruhi pasangan yang bercerai, tetapi juga berdampak pada anak. Sedangkan Argyle & Henderson (1995) mengartikan perceraian sebagai terputusnya perjanjian perkawinan yang resmi oleh kedua pasangan.

Dari berbagai definisi di atas disimpulkan bahwa perceraian adalah berakhirnya ikatan perkawinan formal karena pasangan sudah tidak mampu lagi menjalani kehidupan perkawinan dengan sebagaimana mestinya.

2. Pandangan Tentang Perceraian

Menurut Clarke-Stewart (2007), dalam menjelaskan dan memahami kompleksitas proses perceraian, ahli-ahli psikologi mencoba menjelaskannya dengan Social Exchange Theory dan Process Models Theory.

1. Social Exchange Theory

Teori ini berfokus pada kejadian-kejadian yang mendahului sebuah perceraian, dimana individu mulai melihat hal-hal yang menguntungkan maupun merugikan dalam perkawinannya. Sebuah perkawinan dikatakan baik jika individu tersebut merasa puas dan merasa mendapatkan keuntungan. Teori ini menyatakan bahwa individu akan berusaha memaksimalkan


(47)

keuntungan yang akan diperolehnya dan meminimalkan kerugian yang mungkin terjadi. Keputusan untuk bercerai terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara keuntungan dan kerugian dalam pernikahan dan adanya keuntungan yang lebih menarik jika individu tersebut keluar dari lingkaran pernikahannya.

2. Process Model Theory

Beberapa teori yakin bahwa perceraian bukan semata-mata sebuah kejadian, akan tetapi lebih kepada proses psikologis dan sosial yang kompleks.

Bohannon’s Six Station of Divorce

Paul Bohannon menyatakan bahwa seseorang harus melalui 6 tahapan yang paralel untuk melengkapi sebuah proses perceraian. Tahapan tersebut adalah:

1. Emotional Divorce

Pada tahapan pertama ini, kedekatan emosional pasangan menurun. Ikatan emosional dan komunikasi justru digantikan dengan rasa terasing satu sama lainnya dan penarikan diri.

2. Legal Divorce

Tahapan ini melibatkan adanya langkah-langkah hukum untuk memulai sebuah perceraian. Beberapa masalah akan diselesaikan secara hukum, misalnya pembagian harta dan hak asuh anak.


(48)

3. Economic Divorce

Tahap ini diwarnai dengan proses pembagian harta yang dulunya menjadi harta bersama dan harus dibagi dua kepada masing-masing pasangan. 4. Coparental Divorce

Tahapan ini merupakan pembahasan mengenai proses hak asuh anak. Beberapa masalah yang dibahas adalah mengenai tipe pengasuhan yang akan dilakukan, bagaimana anak tetap dapat bertemu kedua orangtuanya walaupunmereka sudah bercerai.

5. Community Divorce

Perceraian akan berpengaruh pada status dan hubungan sosial yang selama ini sudah ada. Stres akibat perceraian bisa terjadi akibat adanya penilaian dan tuntutan dari lingkungan berkaitan dengan status baru mereka, yaitu janda atau duda.

6. Psychic Divorce

Proses ini ditandai dengan adanya usaha meraih kembali otonomi diri yang selama ini dipengaruhi keberadaan pasangan.

Wiseman’s View od Divorce as A Crisis and Mourning Process

Reva Wiseman berfokus pada dimensi emosi dan psikologis perceraian. Teorinya ini didasarkan pada deskripsi proses berkabung yang dikemukakan Elizabeth Kubler-Ross. Wiseman mengajukan lima tahapan perceraian yaitu:


(49)

Tahapan ini terjadi ketika masalah-masalah dalam sebuah perkawinan diabaikan dan seolah-olah dianggap tidak ada. Beberapa masalah yang muncul dianggap disebabkan oleh faktor eksternal dan bukan internal. 2. Loss and Depression

Tahap ini muncul ketika kenyataan bahwa sebuah perkawinan sedang berada dalam masalah akhirnya tidak dapat diabaikan lagi. Reaksi-reaksi yang akan muncul adalah kecemasan dan duka cita akibat perasaan kehilangan dan kesepian.

3. Anger and Ambivalency

Pada tahapan ini, interaksi pada pasangan tersebut berubah-ubah. Pada satu waktu bisa terjadi kekerasan, pemberian hukuman dan pembalasan dendam. Dalam situasi demikian muncul rasa takut menghadapi masa depan sendirian dan masih ada kemungkinan untuk mempertahankan perkawinan.

4. Reorientation of Lifestyle and Identity

Tahap ini ditandai dengan pemahaman bahwa perceraian yang terjadi adalah sebuah kenyataan dan individu tersebut sekarang bukan lagi berstatus suami/istri. Pada tahapan ini individu dituntut membuat pilihan mengenai hidupnya ke depan, dengan siapa dia akan bergaul, bentuk hubungan seperti apa yang diinginkannya, dan sebagainya.


(50)

5. Acceptance and Integration

Pada tahapan ini individu tersebut diharapkan sudah dapat menerima keadaannya yang bercerai. Mampu membuat langkah-langkah ke depan yang lebih baik dan mengatasi permasalahan akibat perceraian tersebut.

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perceraian

Dalam sebuah hubungan perkawinan, perpisahan antara suami istri dapat disebut sebagai perceraian bila perpisahan tersebut telah disahkan oleh hukum/undang-undang perkawinan yang berlaku. Menurut Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 19, perceraian antara suami dan istri dapat terjadi karena sebab-sebab sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukumna yang lebih berat setelah perkawinan.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman/penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri.


(51)

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Menurut Blood (1978), ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Beberapa diantaranya adalah karena masalah kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi dimana pendapatan suami kurang memuaskan, permasalahan seksual yang mana salah satu pasangan tidak mampu lagi memuaskan pasangannya.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jalaovara (dalam

memicu terjadinya perceraian. Selanjutnya sebuah studi yang dilakukan para psikolog dari Universitas Carolina Utara menyatakan bahwa lebih dari setengah perkawinan yang di dalamnya terjadi ketidaksetiaan dan perselingkuhan akan berakhir dengan perceraian. Perselingkuhan dan ketidaksetiaan merupakan penyebab utama terjadinya perceraian. Hasil penelitian Walthall (2006) pada kasus-kasus perceraian di Jepang, perceraian yang diajukan oleh wanita dikarenakan faktor menolak hidup bersama pasangan yang sudah pensiun dan karena pasangannya tidak memenuhi kriteria idamannya.


(52)

4. Permasalahan Pasca Perceraian

Karena partisipan dalam penelitian ini adalah wanita, maka pembahasan akan difokuskan pada dampak yang terjadi pada wanita. Menurut Hurlock (1980) masalah yang akan dihadapi oleh wanita yang bercerai adalah sebagai berikut:

1. Masalah Ekonomi

Seorang wanita yang pada saat menikah tidak bekerja, harus mencari pekerjaan agar dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya. 2. Masalah Psikologis

Wanita akan mengalami masalah identitas, karena pada saat menikah identitas istri bergantung pada suaminya.

3. Masalah Emosional

Setelah bercerai, banyak wanita yang perasaannya diliputi oleh rasa benci, rasa bersalah, kemarahan, dendam dan juga cemas akan masa depannya 4. Masalah Sosial

Wanita yang bercerai cenderung merasa tersisih karena kehidupan sosialnya hanya terbatas pada keluarga dan teman terdekat saja.

5. Masalah Kesepian

Wanita akan mengalami masalah kecepian jika terpisah dari suami dan ikatan keluarga yang selama ini telah terbina

6. Masalah Pembagian Tanggungjawab terhadap pengasuhan anak

Apabila dalam suatu kasus perceraian tedapat pembagian pemeliharaan anak, maka orangtua dan anak akan menghadapi penyesuaian yang baru. 7. Masalah Seksual


(53)

Individu yang bercerai akan terhenti kehidupan seksualnya. 8. Masalah Perubahan Konsep Diri

Perasaan yang tidak menyenangkan karena perceraian akan selalu mewarnai konsep diri individu yang dapat mengakibatkan perubahan kepribadian.

Menurut Rollins (dalam Hurlock, 1980) masalah psikologis yang dihadapi oleh wanita bercerai adalah mudah marah, lebih tertutup dan kehidupan keluarga tidak stabil. Menurut Wallerstein & Kelly (dalam Nock, 1987), masalah-masalah psikologis yang akan dihadapi oleh wanita yang bercerai adalah rasa benci, kesepian, depresi, stres, dendam, rasa marah, sakit hati dan tidak bahagia.

C. Pengambilan Keputusan Bercerai Pada Wanita

Menjalin hubungan yang lebih intim dan menikah dengan lawan jenis merupakan tugas perkembangan individu dewasa awal (Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Setiap pasangan yang menikah tentunya mengharapkan pernikahan yang bahagia dan berlangsung selamanya.

Namun, pernikahan yang memuat berbagai macam perbedaan ras, usia, status, kepercayaan politik, agama, dan tentunya kepribadian (Roberts & Roberts, 2000) mengharuskan masing-masing pasangan untuk dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi agar hubungan dapat tetap berjalan dengan baik.

Ketika salah satu atau masing-masing pasangan merasakan ketidak puasan dalam pernikahannya dan gagal dalam mengatasi perbedaan yang terjadi, maka


(54)

hubungan yang terjalin antara pasangan tersebut akan menimbulkan penderitaan atau bahkan perceraian (Pease & Pease, 2003)

Perceraian merupakan berakhirnya sebuah hubungan suami istri yang bukan disebabkan oleh kematian salah satu pasangan. Bhrem (2002) menyatakan bahwa perceraian merupakan berakhirnya sebuah hubungan perkawinan yang sebenarnya belum saatnya berakhir.

Dampak yang ditimbulkan dari terjadinya perceraian berbeda antara wanita dan pria. Karena subjek penelitian ini adalah wanita, maka pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini dititik beratkan pada wanita.

Ketika memutuskan untuk bercerai, wanita akan dihadapkan pada berbagai dampak dari perceraian, baik dampak positif maupun dampak negtaif. Dampak yang ditimbulkan bagi dirinya maupun bagi orang lain di sekitarnya. Orang disekitarnya ini bisa termasuk orang tua, anak maupun anggota keluarga dari wanita yang meminta bercerai.

Dalam mengambil keputusan untuk bercerai, wanita akan dihadapkan pada beberapa tahapan seperti menilai masalah yang sedang terjadi, hal ini termasuk dengan melihat sumber masalah, kejelasan masalah yang sedang terjadi dan sebagainya. Setelah individu yakin terhadap informasi yang berkaitan dengan masalahnya, maka individu tersebut dapat memusatkan perhatian pada berbagai alternative yang ada. Setelah individu tersebut mendapat berbagai alteratif, barulah setiap alternarif tersebut dipertimbangkan dan dievaluasi berdasarkan konsekuensi masing-masing, dan menilai apakah individu tersebut dapat menjalankan alternatif yang ada atau tidak. Setelah individu menentukan alternatif


(55)

yang akan dilakukan, tibalah saatnya individu tersebut untuk membuat keputusan dan berkomitmen dengan keputusan yang diambilnya. Setiap keputusan yang diambil seseorang tentu memiliki resiko. Namun yang terpenting adalah individu harus konsekuen terhadap komitmen yang telah diambil, meskipun memperoleh umpan balik yang negatif.

Dalam mengambil keputusan, seseorang akan dihadapkan pada berbagai macam pertimbangan. Menurut Janis & Mann (1997) dalam pengambilan keputusan terdapat 2 (dua) pertimbangan, yaitu pertimbangan utilitarian dan pertimbangan non utilitarian. Pertimbangan utilitarian terdiri dari pertimbangan dan kerugian bagi diri sendiri. Misalnya, apakah dengan bercerai subjek akan merasa kehidupannya lebih baik dibandingkan saatmasih bersama suami? Serta pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi orang lain. Misalnya, apa yang akan terjadi dengan anak-anakku apabila aku bercerai? Sedangkan pertimbangan non utilitarian terdiri dari penerimaan dan penolakan dari diri sendiri. Misalnya,apakah dengan bercerai aku akan menjdi lebih baik atau malah lebih buruk karena statusku yang akan menjadi janda? Serta penerimaan dan penolakan dari orang lain. Misalnya, apakah keluarga dan anak-anakku akan mendukung keputusanku untuk bercerai?


(56)

PARADIGMA PENELITIAN

Faktor-faktor pencetus perceraian

Dampak perceraian Menikah dengan berbagai alasan

Wanita / istri memutuskan bercerai

Kehidupan istri setelah perceraian (lebih baik atau lebih buruk

Menjalani situasi RT dan wanita/istri menyadari adanyabeberapa hal yang

menyebabkan ketidak cocokan atau ketidak puasan. Misalnya masalah ekonomi,

hubungan fisik, perselingkuhan, KDRT

Bagaimana proses

pengambilan keputusan pada wanita yang bercerai

Evaluasi terhadap pengambilan keputusan bercerai dengan melihat kembali proses pengambilan keputusan bercerai sebelumnya.

1. Menilai masalah

2. Mencari alternatif-alternatif yang ada

3. Mempertimbangkan setiap alternatif

4. Membuat komitmen 5. Konsekuen terhadap komitmen meskipun memperoleh umpan balik yang negatif


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai metode penelitian yang digunakan, yang terdiri dari pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, prosedur penentuan partisipan, karakteristik partisipan, alat bantu dalam pengambilan data dan metode analisis data.

A. Pendekatan Kualitatif

Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan pengalaman-pengalaman subjektif wanita dalam mengambil keputusan bercerai dari suaminya, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memungkinkan individu memfokuskan perhatian dan mengungkapkan variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton, 1990). Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi setting penelitian. Fokus penelitian dilihat sebagaimana adanya secara alamiah (Miles & Huberman, 1994).

Patton (1990) menyatakan bahwa dalam setiap pendekatan yang diguakan dalam penelitian, yang terpenting adalah keluasan cakupan penelitian dan kedalamannya. Dengan melakukan penelitian secara kualitatif, peneliti tidak memaksakan diri untuk membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak


(58)

dugaan, tetapi mencoba memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut tampil apa adanya (Poerwandari, 2007).

Melalui metode ini dapat dipahami suatu gejala sebagaimana subjek mengalaminya sehingga gambaran yang diperoleh sesuai dengan yang dikatakan oleh subjek dan bukan semata-mata kesimpulan yang dipaksakan (Strauss & Corbin, 1990). Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif menekankan pada aspek pengalaman subjek dalam suatu kejadian, proses dan struktur kehidupan mereka yang terdiri dari persepsi, asumsi, penilaian dan dugaan yang seluruhnya dihubungkan dengan berbagai hal yang ada dalam lingkungan sosialnya (Van Manen dalam Miles & Huberman, 1994)

Dooley (dalam Irmawati, 2002) menyatakan bahwa pendekatan kuantitatif berusaha menjawab permasalahan penelitian dengan mencari hubungan statistik antar dua variabel. Sementara, penelitian kualitatif, yang juga dikenal sebagai pendekatan fenomenologis, berusaha memahami gejala tingkah laku manusia menurut penghayatan si pelaku atau menurut sudut pandang partisipan penelitian.

B. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2009) perbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatif sangat terlihat dalam proses pengambilan sampel atau responden penelitian. Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel adalah berdasarkan teori atau konstrak operasional.


(59)

Patton (dalam Poerwandari, 2009) menjelaskan, penggunaan prosedur ini berdasarkan teori atau konstrak operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar subjek benar-benar bersifat representatif artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari.

Karakteristik responden penelitian ini adalah wanita yang meminta bercerai dari suaminya, dan pada saat penelitian dilakukan mereka telah bercerai. Pada penelitian ini, peneliti tidak membatasi usia partisipan dan lamanya perceraian. Namun pada penelitian ini peneliti mendapatkan sampel penelitian yang telah berceri selama 3 bulan, 2,5 tahun dan 4 tahun.

2. Jumlah Responden Penelitian

Penelitian kualitatif bersifat luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian kualitatif (Poerwandari,2007). Sarantoks (dalam Poerwandari, 2007) mengatakan jumlah sampel pada penelitian kualitatif tergantung pada kecocokan konteks dan tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Jumlah responden pada penelitian ini adalah 3 (tiga) orang karena peneliti mempertimbangkan keterbatasan waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian


(60)

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari,2007).

Pada awalnya peneliti kesulitan dalam menemukan partisipan yang bersedia diwawancarai. Rata-rata calon partisipan menolak direkam karena khawatir hasilnya akan dipublikasikan. Pada akhirnya peneliti mencoba mencari partisipan melalui pendekatan pada orang-orang yang mengenal beberapa wanita yang sudah bercerai. Setelah partisipan diperoleh, pada tahap awal dilakukan wawancara dan observasi singkat untuk meminta persetujuan berpartisipasi dalam penelitian.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang umum digunakan dalam pendekatan kualitatif adalah observasi dan wawancara, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya (tulisan, film, karya seni lain), analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup (Poerwandari, 2007). Namun dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi saat wawancara dilakukan.

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007), wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-manka subjektif yang dipahami individu yang berkenaan dengan topik-topik yang diteliti, dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui


(61)

pendekatan lain. Dengan wawancara, kita dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan responden (Nasution, 1996)

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview) dengan tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak seketat wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian.

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini sifatnya juga tidak terstruktur. Dalam hal ini pewawancara bebas untuk memvariasikan urutan dan kata-kata dalam proses wawancara.

Wawancara tidak terstruktur ini juga memberi kesempatan pada responden untuk mengeluarkan buah fikiran, pandangan dan perasaannya dengan bebas (Nasution, 1996). Pedoman wawancara yang disusun berfungsi semata-mata untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan, agar penelitian sesuai dengan tujuan.

Dalam penelitian ini juga akan digunakan metode observasi. Metode observasi yang digunakan adalah observasi non-partisipan dimana peneliti yang juga adalah observer hanya bertindak sebagai peneliti total dan tidak terlibat dalam peristiwa tersebut. Observasi ini dilakukan seiring dengan dilakukannya wawancara.


(62)

Observasi ini dilakukan untuk melihat lokasi fisik tempat dilakukannya wawancara, bagaimana kondisi fisik dan emosional partisipan ketika wawancara berlangsung serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses wawancara.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Alat Perekam

Alat perekam digunakan agar peneliti mudah untuk mengulangi kembali hasil wawancara. Selain itu apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga partisipan yang diwawancarai harus dihubungi kembali, dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut, peneliti akan mudah untuk melakukannya. Dengan adanya alat perekam ini, hasil wawancara yang direkam juga merupakan data yang utuh karena sesuai dengan apa yang disampaikan partisipan dalam wawancara. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin partisipan.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada


(63)

tahap analisis data nantinya. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2007).

E. Kredibilitas Penelitian

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data nantinya. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2007).

F. Prosedur Penelitian

Dalam prosedur penelitian kualitatif terdapat tiga tahapan, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan dan tahap analisa data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moeleong dalam Poerwandari, 2009) yaitu sebagai berikut:


(64)

a. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan tentang konsep-konsep teoritis baik mengenai pengambilan keputusan, perkawinan maupun perceraian.

b. Menyusun pedoman wawancara.

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang ada.

c. Membangun rapport

Menghubungi calon responden yang sesuai dengan karakteristik responden penelitian. Peneliti menemui calon responden penelitian, untuk menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan. Peneliti kemudian menanyakan kesediaan calon responden untuk diwawancarai.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Tahap pelaksanaan penelitian terdiri dari:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim.

d. Melakukan analisis data. Analisis data yang dilakukan adalah dengan cara menganalisa setiap responden penelitian terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan analisa keseluruhan responden penelitian.


(65)

e. Menarik kesimpulan, membuat kesimpulan dan saran.

3. Tahap Analisa Data

Data akan dianalisis menurut prosedur-prosedur kualitatif, dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode kualitatif. Menurut Poerwandari (2009) proses analisis data adalah sebagai berikut:

a. Organisasi Data

Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, peneliti berkewajiban untuk mengorganisasikan diantaranya adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagian (transkrip wawancara), data yang sudah dibubuhi kode-kode dan dokumentasi yang kronologis mengenai pengumpulan-pengumpulan data analisis.

b. Koding

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian, peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih


(66)

cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang dikumpulkan, membaca transkrip begitu transkrip selesai dibuat,membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan dalam mengambil kesimpulan (Poerwandari, 2009).

c. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara, begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, kita mengembangkan dugaan-dugaan yang adalah juga kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang berkembang tersebut harus dipertajam serta diuji ketepatannya. Saat tema-tema dan pola-pola muncul dari daya untuk meyakinkan temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut (Poerwandari, 2009)

d. Strategi Analisis

Analisis terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2009) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata partisipan sendiri maupun konsep yang dikembangkan atau dipilih oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis.


(67)

Pada penelitian ini, peneliti menganalisa masing-masing individu yang sesuai dengan Poerwandari (2009) yang menyarankan untuk melakukan studi kasus terhadap masing-masing individu terlebih dahulu bila fokus pemilihan adalah variasi individu.

e. Interpretasi

Menurut Kyale (dalam Poerwandari, 2009) interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebihekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut.


(68)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dipaparkan hasil dan analisis hasil penelitian mengenai proses pengambilan keputusan untuk bercerai pada wanita yang didasarkan pada kategori yang telah dibuat. Bab ini akan dibagi menjadi beberapa bagian agar tidak menyulitkan dalam membaca hasil analisis dan interpretasi data yang diperoleh.

Bagian-bagian tersebut adalah:

1. Gambaran umum sosio demografis participan 2. Analisa data masing-masing participan 3. Pembahasan

Kutipan dalam setiap bagian analisis akan diberikan kode-kode tertentu karena satu kutipan dapat saja diinterpretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah: R1.W1.b.12-18, maksud kode ini adalah kutipan pada partisipan 1, wawancara pertama, baris 12 sampai 18.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adair. (2007). Problem Solving and Decision Making Strategis. London and Philadelphia: Kogan Page Limited.

Baum, N. (2006) ‘‘Separation Guilt’’ in Women Who Initiate Divorce.

Blood, B. & Blood, M. (1978). Marriage. New York: Free Press

Brentano, C., & Brentano, C., Steward, A. C. & Steward, A. C. (2007). Divorce : Causes and Consequences. Yale University Press

How the Socio-cultural Context Shapes

Women's Divorce Experience in Hong Kong. dalam http://proquest.umi.com/pqdweb?did=548712151&sid=2&Fmt=3&clientId=639 28&RQT=309&VName=PQD . (Tanggal akses: 13 Maret 2014).

Divorced from Reality.

Duvall, E. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage & Family Development. New York: Harper & Row Publishers

Duvall, S. M. (2002). Diambang Pernikahan: Persiapan Mental bagi Muda Mudi untuk Mengantisipasi Berbagai Aspek Kehidupan Pernikahan. Jakarta: Mitra Utama

Gallagher, M. (2002). Third Thoughts on Divorce.

Hurlock, W. (1980). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Jafizham, T. (1976). Himpunan Undang- Undang Perkawinan, Pendaftaran dan Peradilan Agama/ Umum. Medan: Percetakan Mestiba

Janis, I. L., & Mann, L. (1977). Decision Making: A Psychological Analysis of Conflict, Choice, and Commitment. New York: The Free Press


(2)

Miles, M. B., & Huberman, M. A. (1994). An Expanded Sourcebook: Qualitative Data Analysis. California: sage Publishing, Inc.

Minauli, I. (2002). Metode Observasi. Medan: USU Press

Moleong, L. J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito

Nevid, D. J., Rathus, A. S., & Greene, B. (1994). Abnormal Psychology: In a Changing World. New Jersey: Prentice Hall

Nielsen, L. (1999). Disenfranchising, Demeaning, and Demoralizing Divorced Dads : A Review of the literature. Journal of Divorce & Remarriage -, vol.31 pages 139-177 Nock, S. L. (1987. Sociology of The Family. New Jersey: Prentice Hall

Papalia, W. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2001). Human Development. Boston : McGraw Hill

Pease, A. & Pease, B. (2007). Why Men Can Only Do One Thing At One Time and Women Can`t Stop Talking. Jakarta: Ufuk Press

Poerwandari, K. (2007).

Pendekatan Kualiatif dalam Penelitian Psikologi

.

Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan

Psikologi (LPSP3) UI

Putrini, A. (2002). Pengambilan Keputusan untuk Menikah dan tidak Menikah saat Kuliah pada Mahasiswi. Depok: Psikologi UI

Rahmi, F. (2003). Pernikahan di Kalangan Remaja, studi Kualitas pada Pasangan suami istri yang Menikah saat kuliah. Skripsi Sarjana (tidak diterbitkan). Program Studi Psikologi. Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan.

Salusu, J. (2004). Pengambilan Keputusan Strategik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia

Sherman, E. (2007). Make Any Divorce Better. Dalam: http://www.nolotech.com/CA/MADB.html. (Tanggal akses: 13 Maret 2014)

Sorrentino, J. (1990). The changing family in international perspective. Monthly Labor. Review, 113, 4146.

Zanden, J. W. V. (1993). Human Development. NewYork: McGraww Hill

Http//www. Thelizlibrary.org. Why do People Get Divorce. (Tanggal akses: 13 Maret 2014)


(3)

Http://skalanews.com/news/detail/95346/2/komodo--nasibmu-nanti--.html (Tanggal akses: 13 Maret 2014)

...Introduction to Decision Making. Dalam: http://www.virtualsalt.com/crebook5.htm. (Tanggal akses: 13 Maret 2014)

...UU Perkawinan. Dalam:


(4)

Informed Consent

PERNYATAAN PEMBERIAN IZIN OLEH RESPONDEN

Judul Penelitian

:Gambaran Pengambilan Keputusan Bercerai Pada

Perempuan

Peneliti

: Veronika Prima Bebby Paska .S

NIM

: 071301089

Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada

unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai partisipan

dalam penelitian mengenai gambaran pengambilan keputusan bercerai pada

perempuan.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan

manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan

tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan

dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya akan digunakan untuk tujuan

penelitian saja.

Medan, 24 Maret 2014

Partisipan

Peneliti


(5)

PEDOMAN WAWANCARA

Pada dasarnya pedoman wawancara ini akan dibagi menjadi empat bagian utama yaitu :

1. Latar Belakang

a) Identitas Partisipan b) Riwayat Keluarga

2. Latar Belakang Perkawinan

a) Bagaimana masa perkenalan dengan calon suami ?

b) Bagaimana sikap calon suami selama masa-masa perkenalan ? c) Apa yang menjadi alasan perkawinan (Terpaksa/Sukarela)

3. Masa Perkawinan

a) Bagaimana situasi kehidupan pasangan di awal perkawinan (Bahagia/Tidak Bahagia) ?

b) Bagaimana penilaian terhadap perilaku suami dari awal perkawinan dan beberapa lama setelahnya (Berbeda/Tidak Berbeda

4. Pengambilan Keputusan Bercerai

a) Apa yang menjadi alasan istri menggugat cerai ?

b) Alternatif-alternatif apa saja yang dimiliki selain pilihan bercerai ?

c) Apakah ada langkah-langkah tertentu yang diambil, kalau ada bagaimana tahapan dan prosesnya ?


(6)

d) Apakah ada orang lain yang mendukung/menghalangi pengambilan keputusan bercerai ?

e) Bagaimana istri sampai pada keputusan final meminta cerai ? Apakah terjadi konflik, apakah ada saat-saat dimana ia tidak dapat mengambil keputusan akhir ? Faktor-faktor apa saja yang memperkuat/ melemahkan pengambilan keputusan bercerai ?

f) Bagaimana perasaan istri selama menghadapi proses perceraian ?

g) Langkah-langkah apa yang diambil untuk mengatasi emosi-emosi yang tidak menyenangkan selama proses perceraian ?

h) Bagaimana sikap dan perilaku suami saat istri menggugat cerai ?

i) Apakah ada penyesalan sudah mengambil keputusan bercerai ? Kalau ada apa penyebabnya ?

j) Apa yang dilakukan dalam menghadapi dampak positif dan negatif dari perceraian ?