Kritik Penanggulangan Kemiskinan dalam P

Kritik Penanggulangan Kemiskinan Dalam Perspektif Human
Security: Studi Kasus Rencana Aksi Daerah Penanggulangan
Kemiskinan Di Kota Yogyakarta
Oleh:
Fatih Gama Abisono1

A.Prawacana
Kajian ini hendak memfokuskan pembacaan pada sejauh mana program-program
penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta bekerja menjangkau keamanan manusia
(human security). Signifikansi diadopsinya perspektif human security terletak pada upaya
menerjemahkan beragam tantangan hari ini dalam penanggulangan kemiskinan berupa
kerentanan dan resiko yang sulit diperkirakan pada zaman global. Sejauh ini, ukuran
kemiskinan selalu diukur dengan Garis Kemiskinan (line poverty) yang dalam amatan penulis
mereduksi luasnya dimensi kemiskinan. Garis kemiskinan hanya merepresentasikan
ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan hidup yang paling dasar manusia saja. 2 Padahal,
kemiskinan menjangkau pula multi dimensi, seperti tidak adanya kesempatan (lack of
opportunity), rendahnya kapabilitas yang membuat nirdaya (low capability), serta hadirnya
keadaan tidak aman (insecurity) sebagai resiko .3

1 Pegiat pada Centre for LEAD Indonesia.


2 Carunia Mulya Firdausy, Kemiskinan Absolute Harus Ditinggalkan, Republika, 8 Januari , diunduh dari
http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1295218062&1&&, pada tanggal 19 April , pukul 19:45. Metode
penetapan GK masih terbatas pada tiga pendekatan, yakni absolut, relatif, dan subjektif. Kalau pendekatan
absolut mematok GK pada tingkat hidup (diukur dari pendapatan atau pengeluaran) per kapita berada di atas
atau di bawah kebutuhan hidup yang paling dasar (makanan dan nonmakanan), sementara GK relatif
mendasarkan ukurannya pada apakah tingkat hidup seseorang (diukur dari pendapatan atau pengeluaran) yang
berada di atas atau di bawah tingkat pendapatan atau pengeluaran masyarakat tempat seseorang tersebut
tinggal, sedangkan GK subjektif mengukur kemiskinan pada persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri.

3 World Development Report: Attack Poverty, 2000, h. 15.

Sejak tahun 2007, Pemerintah Kota Yogyakarta menerbitkan Rencana Aksi Daerah
Penanggulangan Kemiskinan yang tertuang dalam Keputusan Wali Kota Yogyakarta No.
616/KEP/2007 tentang Rencana Aksi Daerah Rencana Aksi Daerah Penanggulangan
Kemisikinan dan Pengangguran 2007-2011. Konteks regulasi tersebut sebagai respon
terhadap tuntutan pencapaian delapan butir kesepakatan Millenium Development Goals
pada tahun 2015 mendatang. Sejumlah kebijakan penanggulangan kemiskinan pun
digulirkan. Dalam kajian ini, penulis akan memfokuskan pada kebijakan yang secara langsung
untuk menanggulangi kemiskinan terutama terkait program-program penguatan ekonomi
warga. Beberapa program antara lain Kelompok Usaha Bersama yang diinisiasi Departemen

Sosial dan program inisiatif daerah yakni Pilot Project Segoro Amarto.
Kajian ini dimulai dengan membedah secara konseptual, perspektif human security hingga
ketingkat instrumentasi penanggulangan kemiskinan: bagaimana perspektif ini menjawab
dan mengukur persoalan kemiskinan. Pada bagian selanjutnya, penulis akan menyajikan
upaya pemerintah Kota Yogyakarta dalam menanggulangi kemiskinan yang tertuang dalam
rencana aksi daerah. Dua program penanggulangan kemiskinan akan menjadi kasus kajian
dalam tulisan ini. Selanjutnya penulis akan melakukan kajian dengan mengukur sejauh mana
human security tercakup dalam program-program penanggulangan kemiskinan di kota
Yogyakarta, bagaimana peluang dan tantangan, serta pengembanganya dalam menjangkau
kemananan manusia. Bagian akhir dari tulisan ini akan ditutup dengan simpulan.

B. Perspektif Human Security dalam Penanggulangan Kemiskinan
Diinisiasi sejak tahun 1994 oleh United Nations Development Program (UNDP), konsep
human security muncul sebagai respon terhadap tantangan proses globalisasi. Human
security memahami keamanan yang berorientasi pada manusia sebagai elemen dasar bagi
stabilitas lokal, nasional maupun global. Dengan demikian, perspektif ini menempatkan
konsep keamanan manusia tidak lagi terfokus pada negara namun memberi perhatian penuh
pada individu. Human security kemudian menjadi wacana mainstream PBB dalam isu-isu
pembangunan di negara dunia ketiga, terutama dalam memerangi kemiskinan dan
meningkatkan taraf hidup manusia. Upaya menerjemahkan gagasan human security menjadi

agenda bersama pada level global mengemuka pada tahun 2000 saat PBB menggelar
Millennium Summit 2000. Dalam Millenium Summit 2000 tersebut 189 negara anggota PBB
menyepakati pengadopsian Millennium Development Goals (MDGs) ke dalam kebijakan
nasional negara-negara peserta.4 Deklarasi tersebut menjangkau isu kebebasan, keamanan
4Deklarasi Millenium mencakup delapan butir kesepakatan yakni memberantas kemiskinan dan kelaparan;

pemenuhan hak pendidikan dasar; Pengarusutamaan jender; mengurangi angka kematian bayi; meningkatkan
kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; mempromosikan pengelolaan lingkungan

dan pembangunan termasuk penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, lingkungan hidup,
hak asasi manusia dan kepemerintahan.
Namun demikian perjuangan pengadopsian perspektif human security bukanlah perkara
mudah serta membutuhkan perjuangan panjang. Gagasan human security membangkitkan
kembali perdebatan mengenai definisi tentang keamanan dan bagaimana mencapainya. Paling
tidak ada tiga kontroversi dalam perdebatan tersebut: 5 Pertama, adanya kecurigaan human
security memuat selubung kepentingan negara-negara Barat dalam bungkus baru untuk
menyebarkan nilai-nilai mereka terutama tentang hak azasi manusia; Kedua, human security,
sebagai suatu konsep, bukanlah hal baru yang secara luas mencakup isu-isu non-militer juga
sudah dikembangkan di dalam konsep keamanan konprehensif; Ketiga, perdebatan yang paling
tajam, adalah perbedaan dalam definisi dan upaya untuk mencapai human security oleh masingmasing pemerintah nasional berdasarkan sudut pandang, pengalaman, dan interest yang

berbeda. Perdebatan tersebut sesungguhnya merepresentasikan tegangan antar kekuatankekuatan global, antara negara-negara industry dan negara-negara dunia ketiga.
Meski bukan hal baru, menguatnya human security sebagai wacana akademik dan menjadi
menjadi isu politik, berawal dari pergeseran konteks global. Pertama, berakhirnya era Perang
Dingin melahirkan ruang untuk menafsirkan kembali makna keamanan yang tak semata fokus
pada keamanan negara dari ancaman militer negara lain. Kedua, menguatnya gelombang
globalisasi yang melahirkan dampak negatif berupa peminggiran pada mereka yang lemah baik
pada level negara, kelompok sosial maupun individu tertentu akibat kompetisi bebas. Dan, yang
paling mencolo kadalah menguatnya reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang
melanda dunia, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, mulai dari pengungsi
akibat konflik dan kekerasan fisik, perdagangan anak dan perempuan, masalah pangan,
terorisme, perdagangan hak asasi manusia, dan sebagainya. 6

hidup yang berkelanjutan; serta mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan yang dicapai pada
tahun 2015. Bahkan tanggal 17 Oktober, tanggal disepakatinya deklarasi tersebut, diperingati oleh Masyarakat
Internasional sebagai hari anti kemiskinan sedunia atau lebih dikenal sebagai hari human security.

5Edy

Prasetyono,
Human

Security,
artikel
tidak
dipublikasikan
diakses
dr
http://www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/human_security ep.pdf pada tanggal 12/3/ 2011, pukul
19:00.

6 ibid.

Pada gilirannya, secara konseptual terdapat tiga pendekatan yang mengemuka tentang human
security. Pertama, pendekatan yang dirumuskan UNDP. Secara konseptual konsep tersebut
menjangkau keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan
lingkungan hidup, keamanan personal, keamanan komunitas, dan keamanan politik. 7 Konsep
human security menurut UNDP sesungguhnya menandai pergeseran norma internasional
tentang relasi kedaulatan negara dan hak azasi manusia yang kemudian melahirkan konsep
Responsibility to Protect.8 Pendekatan UNDP segera menuai kritik yang dialamatkan pada, bahwa
cakupan human security versi UNDP terlalu luas. Kritik tersebut dilontarkan oleh pendekatan
Kanada secara eksplisit. Disamping terlalu luas, pendekatan UNDP hanya mengkaitkan dengan

dampak negatif pembangunan dan keterbelakangan. Paham Kanada, menilai definisi UNDP abai
terhadap konflik kekerasan.
Sementara perspektif ketiga adalah perspektif Asia yang diwakili Jepang. Paham Asia menilai
human security secara menyeluruh yang menjangkau segala hal yang mengancam kehidupan dan
martabat manusia. Sebagian besar negara-negara Asia segaris dengan pandangan human
security UNDP dan Jepang yang melihat human security hanya dari ukuran bebas dari rasa takut
akibat konflik dan pelanggaran HAM, sementara masalah-masalah yang dihadapi lebih banyak
berdimensi kekerasan struktural akibat keterbelakangan sosial ekonomi. 9 Menguatnya dimensi
sosial ekonomi dalam perspektif Asia ini dilatari oleh kecurigaan bahwa gagasan human security
merepresentasikan gagasan demokrasi liberal dan hak asasi manusia yang dikampanyekan
Barat. Sehingga, memunculkan desakan pendefinisian dan promosi hak asasi manusia harus
mempertimbangkan “nilai-nilai Asia” yang berakar dari perbedaan kultural dan pengalaman
sejarah negara-negara Asia.
Suatu kajian yang oleh Acharya menyimpulkan, pengalaman historis yang berbeda memunculkan
pemahaman human security yang berbeda pula. Pengalaman negara-negara barat diinspirasi oleh
dua perkembangan: (1) meningkatnya perang sipil dan konflik antarnegara, dan (2) penyebaran
demokrasi; sedangkan Jepang dan negara Asia lainnya, terinspirasi oleh semakin tingginya angka
kemiskinan, kian banyaknya jumlah pengangguran, dan merebaknya dislokasi sosial akibat krisis
ekonomi pada 1990-an sebagai dampak globalisasi. 10 Krisis Asia pada penghujung abad 20 misalnya,
memperlihatkan tentang menguatnya urgensi penerapan human security secara menyeluruh terekait

7Ketujuh hal tersebut diidentifikasikan menjadi dua komponen utama dari Human Security yaitu “freedom from
fear” dan “freedom from want”.

8 Ibid.

9 Ibid.

meningkatkan pengangguran, kemiskinan, dan kekerasan politik. 11 Pendeknya perbedaan perspektif
tersebut melihat urgensi human security apakah dalam konteks ancaman kekerasan fisik dan
pelanggaran HAM ataukah juga menjangkau factor kerentanan dari seluruh bentuk ancaman,
termasuk di dalamnya bencana dan kemiskinan.

Kajian ini menempatkan perspektif UNDP maupun Asia sebagai basis pijakan dalam membaca
sktesa dan upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam konteks demikian perspektif tersebut
harus ditransformasikan ke dalam suatu kebijakan yang menjangkau maka aspek politik dan
operasional. Sejalan dengan kesepakatan Global tentang MDG’s yang berbasis perspektif human
security, sejak tahun 2000, Bank Dunia mengembangkan instrumen pengukuran kemiskinan
dalam spectrum yang lebih luas. Model tersebut tak hanya menjangkau pandangan
tradisional kemiskinan yang hanya mencakup pengukuran pendapatan atau tingkat konsumsi
maupun akses terhadap layanan dasar dalam pendidikan dan kesehatan. Perspektif ini juga

memperluas pengertian tentang kemiskinan terkait kerentanan dan risiko; serta
voicelessness dan ketidakberdayaan.12 Pandangan tersebut memberikan karakterisasi yang
lebih memadai tentang definisi kemiskinan, sehingga menyediakan pemahaman yang lebih
baik tentang penyebab kemiskinan. Pemahaman mendalam tersebut memungkinkan
diperluasnya agenda aksi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Kerentanan
Secara tradisional, kerentanan merupakan risiko bahwa suatu rumah tangga atau individu
akan mengalami sebuah episode kemiskinan dari waktu ke waktu. Ukuran kerentanan yang
hanya didasarkan pada aset rumah tangga atau pada pendapatan dan sumber-nya mungkin
tidak mencerminkan paparan sejati rumah tangga untuk berisiko. Dengan demikian,
kerentananan juga berarti kemungkinan sedang terkena sejumlah risiko lainnya (kekerasan,
kejahatan, bencana alam, putus sekolah). 13 Tantangan utamanya adalah menemukan
10 Amitav Acharya, Human Security: East versus West, dalam International Journal, Summer, 2001, Edisi 56
Volume 3, h. 442-460.

11 Mely Caballero-Anthony, Revisioning Human Security in Southeast Asia, dalam Asian Perspective, Edisi 28,
Vol.3, 2004, h. 155-189. Di Indonesia, cerita krisis moneter 1997-1998, menyisakan dampak terhadap
keamanan regional, negara, dan warga negara sebagai manusia. Dari sisi manusia, angka kemiskinan dan
pengangguran meningkat. Dari aspek ketahanan negara, pertumbuhan ekonomi menurun. Krisis telah

mendorong munculnya perhatian pada ancaman keamanan nontradisional di luar militer.

12 World Development Report: Attack Poverty, 2000, h.15.

13 Ibid., 19

indikator kerentanan yang dapat mengidentifikasi rumah tangga dan populasi berisiko yang
hingga kini belum ditemukan indikator tunggal dalam mengukur kerentanan. Dinamisnya
konsep kerentanan, membuat kerentanan tidak dapat diukur hanya dengan mengamati
rumah tangga sekali. Hanya dengan pengamatan secara kontinyu selama beberapa tahun
baru mendapat informasi dasar tentang kerentanan rumah tangga miskin.
Voicelessness dan ketidakberdayaan
Voicelessness dan ketidakberdayaan dapat diukur dengan menggunakan kombinasi metode
partisipatif, jajak pendapat, dan survei nasional pada variabel kualitatif seperti tingkat
kebebasan sipil dan politik.14 Namun, mengukur dimensi-dimensi dari kemiskinan dengan
cara yang akurat, kuat, dan konsisten sehingga perbandingan dapat dilakukan di seluruh
negara dan dari waktu ke waktu akan memerlukan upaya tambahan yang cukup besar.
Mendefinisikan kemiskinan sebagai multidimensi menimbulkan pertanyaan tentang
bagaimana mengukur kemiskinan secara keseluruhan dan bagaimana untuk membandingkan
capaian dalam dimensi yang berbeda.

Selanjutnya dalam World Development Report 2000, mengurai penyebab kemiskinan yakni:15
1. Kurangnya pendapatan dan aset untuk mencapai dasar kebutuhan-makanan, tempat
tinggal, pakaian, dan tingkat yang dapat diterima kesehatan dan pendidikan. Aset
dapat berupa aset manusia (seperti kapasitas untuk kerja dasar,keterampilan,dan
kesehatan), aset alam (tanah), aset fisik(akses ke infrastruktur), aset
keuangan(tabungan dan akses kredit), aset sosial( jaringan sosial dan mekanisme
perlindungan sosial yang dapat digunakan pada saat membutuhkan, dan pengaruh
politik atas sumber daya)
2. Sense voicelessness dan ketidakberdayaan dalam institusi negara dan masyarakat.
3. Kerentanan terkait dengan ketidakmampuan untuk mengatasi kemiskinan.
Ketiga penyebab kemiskinan tersebut saling tekait. Kepemilikan aset tidak hanya bekerja
pada ranah ekonomi (pasar) namun juga exisiting pada medan politik dan formasi sosial yang
bekerja. Akses terhadap aset tergantung pada struktur politik dan sosial memberlakukan hakhak milik pribadi maupun komunal. Akses juga terpengaruh oleh diskriminasi berdasarkan
gender, etnis, ras, atau status sosial. Ringkasnya, akses tersebut dipengaruhi oleh seberapa

14 Ibid., 19

15 Ibid., h.34

jauh kebijakan publik dan intervensi negara yang dibentuk oleh pengaruh politik dari

kelompok yang berbeda berdaya membuka akses terhadap kelompok miskin. Pada saat
bersamaan kerentanan juga mempengruhi akses terhadap asset. Fluktuasi pasar, perubahan
iklim dan, dalam beberapa masyarakat, gejolak politik yang bergejolak dapat menjadi bentuk
kerentanan yang mempengaruhi akses terhadap aset terhadap warga miskin.
Dalam konteks tersebut, Laporan Bank Dunia , mengajukan kerangka kerja umum untuk aksi
di tiga bidang yang sama pentingnya:16
1. Mempromosikan kesempatan (opportunity): memperluas kesempatan ekonomi bagi
masyarakat miskin dengan mendorong pertumbuhan secara keseluruhan dan
membangun aset mereka melalui kombinasi pasar dan tindakan non-pasar.
2. Memfasilitasi pemberdayaan (empowerment): membuat lembaga negara lebih
akuntabel dan responsif terhadap orang miskin, memperkuat partisipasi masyarakat
miskin dalam proses politik dan pengambilan keputusan lokal, dan menghilangkan
hambatan
sosial
yang
timbul
dari
perbedaan
gender, etnis, ras, dan status sosial
3. Meningkatkan keamanan (security): mengurangi kerentanan masyarakat miskin
terhadap kesehatan yang buruk, guncangan ekonomi, kebijakan-akibat dislokasi,
bencana alam, dan kekerasan, serta membantu mereka mengatasi guncangan
merugikan ketika mereka terjadi.
Kesempatan, pemberdayaan, dan keamanan memiliki nilai intrinsik bagi masyarakat miskin.
Strategi penanggulangan kemiskinan tersebut memerlukan tindakan di ketiga ranah tersebut,
oleh berbagai pelaku baik pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan orang-orang
miskin itu sendiri.

C. Sketsa Umum Dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kota Yogyakarta
Dalam konteks pencapaian human security yang diterjemahkan dalam Target MDG’s
tentunya menjadi tantangan pemerintah daerah sebagai ujung tombak penyeleggaraan
layanan publik. Pemerintah daerah dituntut sedapat mungkin mendesain kebijakan yang
mendorong pengembangan ekonomi tanpa mengabaikan pemenuhan hak-hak dasar
masyarakat. ini hendak memaparkan capaian kesepakatan global tersebut oleh Pemerintah
Kota Yogyakarta yang difokuskan pada penanggulangan kemiskinan melalui kebijakannya.
Sketsa Kemiskinan Kota Yogyakarta
16 ibid., h. 33

Indikator statistik tentang angka kemiskinan di Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa hingga
tahun 2008 jumlah penduduk miskin mencapai 81.334 jiwa yang berasal dari 24.427 KK atau
atau 16,34 %, masih berada dibawah garis kemiskinan yang ditetapkan sebesar Rp.
150.000,-/bulan.17 Jumlah tersebut menurun pada tahun 2009 yakni, 21.228 kepala keluarga
(KK) atau 68.998 jiwa atau 15,24 %. Jadi, Jumlah warga yang miskin di Kota Yogyakarta tahun
2009 lalu menurun drastis hingga 12.336 jiwa yang berasal dari 3.199 keluarga miskin dengan
indikator pendapatan per kapita Rp. 200.000,-/ bulan. Penurunan angka warga keluarga
miskin di Kota Yogyakarta karena adanya perpindahan penduduk dari Yogyakarta ke daerah
lain dan akibat keberhasilan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan beberapa
dinas di Kota Yogyakarta.18 Di Dinsosnakertrans sendiri ada program pembentukan kelompok
usaha bersama (KUBE). Kelompok ini memperoleh pendampingan dan modal kerja secara
bergulir dari Pemkot Yogyakarta. Secara rinci, berdasarkan laporan tersebut, warga yang
pindah ke daerah lain sekitar 889 KK, meninggal tanpa anggota keluarga 385 KK, data ganda
14 KK, dan dinyatakan tidak miskin lagi 3.970 KK sehingga jumlah total data keluarga miskin
2008 yang tidak lagi miskin 5.244 KK, dan Selain itu berdasarkan hasil penelusuran dan
laporan warga diketahui ada 2.045 KK yang terdata tidak miskin. 19
Rata-rata angka kemiskinan di Kota Yogyakarta itu lebih tinggi dari angka kemiskinan yang
dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) karena survei yang dilakukan didasarkan pada kriteria
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota. 20 Kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota
Yogyakarta dalam menetapkan keluarga miskin adalah didasarkan pada inventarisasi sasaran
program yang ingin dicapai oleh pemerintah. 21 Pemkot Yogyakarta menerapkan parameter
17 Pernyataan Kepala Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta, M. Pontjosiwi, Dalam Setahun Warga Miskin di Yogya
Turun 12 Ribu Jiwa, tanggal Kamis, 14 Januari 2010 03:03 WIB, di akses dari
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/01/14/100906-dalam-setahun-warga-miskindi-yogya-turun-12-ribu-jiwa, pada tanggal 20 Mei 2011, pukul 21:09.

18 ibid.
19 Ibid

20 Harian Joglo Semar, 20.000 Keluarga Jogja Miskin, Rabu, 02/03/2011 09:00 WIB, diakses dari

http://harianjoglosemar.com/berita/20000-keluarga-jogja-miskin-37758.html, pada 25 Mei 2011, pada pukul
21: 45.

21 Ibid.

yang berbeda dari tahun 2008 lalu dalam menentukan keluarga atau warga tersebut
tergolong miskin atau tidak. Beberapa parameter yang berbeda adalah penghasilan keluarga,
jika tahun 2008 lalu rata-rata Rp 150 ribu/bulan tahun 2009 dinaikan menjadi Rp 200
ribu/bulan. Sementara indeks kedalaman kemiskinan mencapai 2,10 dan indeks keparahan
kemiskinan mencapai 0,44 pada tahun yang sama. Terkait dengan indikator status gizi, hingga
tahun 2009 terdapat 1,04 % balita yang mengalami gizi buruk dan 9,61 % mengalami gizi
kurang. Persentase ini masih diatas target persentase yang ditetapkan pemerintah Kota
Yogyakarta yakni dibawah 0,9 % pada tahun 2011.
Terlepas dari keberhasilan penurunan angka kemiskinan di Kota Yogyakarta, bagaimana
memperoleh gambaran yang lebih riil atau apakah angka cukup menggambarkan kemiskinan
secara kualitatif? Namun, sketsa statiskal belumlah cukup menyajikan gambaran kemiskinan
secara riil. Ada sejumlah alasan mengapa statistik belumlah cukup menyajikan gambaran
menyeluruh kemiskinan. Pertama, pemakaian data statistic kerap kali sebagai kampanye
politis pemerintah ketimbang sebagai upaya untuk mengukur secara akurat kemiskinan yang
memungkinkan pemerintah merumuskan kebijakan penanggulangan secara tepat. Sebagai
gambaran, bagaimana dengan penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Angka
kemiskinan tersebut dapat membengkak apabila garis kemiskinan ditetapkan sebesar USD 2/
hari mengikuti batas yang ditetapkan sesuai dengan target capaian MDG’s hingga tahun 2015
mendatang. Gambaran lainnya, adalah adanya fakta bahwa sebagian besar penganguran di
Yogyakarta justru dari kalangan terdidik. Hingga tahun 2009, terdapat 13.517 warga yang
menganggur dengan dominasi terbesar pada angkatan kerja dengan pendidikan tingi (S1/S2)
sekitar 79, 5 %. Upaya untuk menurunkan pengangguran pun telah dilakukan melalui
peningkatan daya saing dengan membangun SDM yang berkualitas melalui program-program
di dibidang pendidikan. Meski demikian, upaya tersebut tak serta merta menurunkan tingkat
pengangguran karena program pembangunan tak sepenuhnya menyerap angkatan kerja yang
ada. Kondisi tersebut merefleksikan kerentanan bagi kelompok-kelompok diluar kelompok
yang didefinisikan miskin secara statistical.
Kedua, apabila dikaitkan dengan factor yang bergerak secara dinamis, seperti kerentanan dan

resiko. Sebagai deskripsi, peristiwa bencana lahar dingin Merapi di Kali Code yang melanda
kota Yogyakarta misalnya. Bencana tersebut melanda 7 kecamatan dari 14 Kecamatan di Kota
Yogyakarta yang berada di bantaran Kali Code. Dalam kejadian tersebut, Akibat gelombang
lahar dingin, ribuan warga yang tinggal di bataran Kali Code menjadi terancam kehidupannya.
Bahkan ratusan warga lainnya, harus menanggung kerusakan dan kehilangan tempat tinggal
setelah rumah mereka hancur diterjang material vulkanik. Situasi ini merefleksikan penduduk
bantaran kali code yang termasuk kantong kemisikinan di Kota Yogyakarta, dapat bertambah

miskin akibat adanya peningkataan resiko bencana. Dalam konteks demikian, pada masa
mendatang perlu kiranya pemerintah setempat mengembang instrument pengukuran yang
lebih sensitive terhadap pengukuran kemiskinan secara kualitatif. Sebagai instrumen
teknokratis, data-data statistical tersebut cukup membantu dalam pencapaian target
pengurangan angka kemiskinan yang memungkinkan pemerintah merancang kebijakan
dengan tepat dan berbasis kebutuhan kelompok sasaran. Namun, pengukuran tersebut
perlu dikombinasikan dengan istrumen ukur secara kualitatif. Hal ini mendesak untuk
dirumuskan mengingat data menjadi basis paling elementer dalam perumusan kebijakan,
termasuk penanggulangan kemiskinan.
Dari RAD Penanggulangan Kemiskinan Hingga Segoro Amarto
Sejak tahun 2007 lalu, pemerintah Kota Yogyakarta menetapkan kebijakan terpadu
penaggulangan kemiskinan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Walikota 616/ KEP/
2007 teantang Rencana Aksi Daerah tentang Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran.
Fenomena Kemiskinan dan pengangguran merupakan dua masalah yang saling terkait.
Dikenal sebagai sebagai kota pelajar dan kota wisata, Kota Yogyakarta memiliki daya tarik
yang kuat terhadap urbanisasi yang berpengaruh terhadap jumlah penduduk. Selain itu,
faktor keberagaman budaya masyarakat yang menyebabkan kondisi dan permasalahan
kemiskinan dan pengangguran di Kota Yogyakarta menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat
lokal. Situasi tersebut membawa pengalaman kemiskinan yang berbeda secara sosial
maupun antara laki-laki dan perempuan.
Secara umum Rencana aksi tersebut mengkombinasikan sejumlah yakni strategi yakni
strategi perluasan kesempatan, stategi perlindungan sosial, strategi peningkatan kapasitas
sumber daya, strategi pemberdayaan masyarakat, serta strategi kemitraan. Strategi tersebut
kemudian diterjemahkan dalam program-program penanggulangan kemiskinan yang menjadi
tanggungjawab SKPD terkait. Secara rinci, konbinasi strategi tersebut dijangkau melalui
program-program pengembangan ekonomi lokal pro poor dan program perlindungan sosial.
Program pengembangan ekonomi yakni:
 Program Optimalisasi Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Program ini dilakukan dengan
memberikan bantuan modal bergulir yang diharapkan dapat menurunkan angka
kemiskinan hingga 43 %.22
 Program Gerakan Segoro Amarto yang memanfaatkan modal sosial sebagai upaya
meningkatkan kepekaan masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan. Secara
operasional, program ini berbasis kewilayahan.
22 Lihat Rencana Aksi Daerah Penaggulangan Kemiskinan dan Penggangguran Kota Yogyakarta.

 program pengentasan pengangguran dengan mengembangkan fasilitasi bagi calon
tenaga kerja, seperti penempatan tenaga kerja dan transmigrasi, penempatan lulusan
SMK dari keluarga miskin, serta pengembangan SIM ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian. Target program ini adalah pengurangan pengangguran antara 6, 16 %
hingga 5, 73 %.
 Program pengembangan UMKM dengan target omzet dari 100 milyar rupiah menjadi
131 milyar rupiah. Program ini dilakukan dengan pengembangan ekonomi berbasis
kewilayahan, pendampingan manajemen, dan fasilitasi penerapan teknologi tepat guna
bagi UMKM. 23
 Program peningkatan kualitas dan produktifitas tenaga kerja melalui diklat pencari
kerja, pengembangan & pemberdayaan lembaga pelatihan kerja, diklat tambahan siswa
SMK golongan miskin, dengan target meningkatkan jumlah tenaga kerja terlatih 3,43%
--10,42%
Sementara program perlindungan Sosial dicapai melalui
 Program pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial yang diturunkan kemudian
menjadi program pendataan PMKS dan ESKS dan peningkatan layanan PMKS;
koordinasi pelayanan bantuan sosial; penyediaan dan peningkatan layanan
penyandang masalah sosial seperti anak telantar, pengemis, dan geladangan;
Pelayanan dan pemberdayaan kelompok rentan seperti manula/jompo, perempuan
dan anak-anak dan penyandang cacat; Santunan kematian pemegang KTP di Yogya;
bantuan makanan bagi warga telantar dan Raskin bagi warga miskin; pemberdayaan
perempuan, pemberdayaan dan fasilitasi ekonomi keluarga fakir; Pelayanan dan
rehap korban napsa diluar panti. keseluruhan program tersebut adalah mencapai
target penurunan PMKS sebesar 10%.
 Selain itu perlindungan sosial kelompok miskin juga diberikan melalui dua bidang
layanan dasar yakni kesehatan dan pendidikan melalui program Jamkesmas di sector
kesehatan dan BOS di sector pendidikan.
Menilik overview Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Kemiskinan dan Penganguran
tersebut, sepertinya menggambarkan besarnya mobilisasi sumber daya negara, melalui
pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan. Namun apakah sumber daya
tersebut terkelola secara efektif dalam penanggulangan kemiskinan? Untuk keperluan kajian
ini, penulis akan menyajikan dua program unggulan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam
23 Ibid.

penanggulangan kemiskinan yakni KUBE dan segoro Amarto demi mempertajam pembacaan
tersebut.
Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Diinisiasi oleh Departemen Sosial sejak 10 tahun lalu, Program KUBE merupakan program
pemberdayaan ekonomi bagi keluarga miskin dengan memberikan modal bergulir yang
mensyaratkan pembentukan kelompok usaha. Program ini merupakan skema turunan dari
Program pemberdayaan fakir miskin yang bernama Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial
(P2PM-BLPS). Di Kota Yogyakarta sendiri telah terbentuk 250 KUBE pada tahun 2008. 24
Sementara Pada tahun 2009, Pemerintah Kota Yogyakarta memperoleh paket P2KM melalui
BPLS dari Depsos RI untuk 46 kelompok KUBE FM dan USEP KM di 10 kecamatan se-Kota
Yogyakarta. Total bantuan yang disalurkan sebesar Rp 1,38 Milyar. Untuk memperkuat
kelembagaan KUBE, bahkan dibentuk pula Lembaga Keuangan Mikro-KUBE pada tahun 2010
lalu.
Secara teknis program ini mensyaratkan manajemen yang baik dari penerima KUBE sehingga
dapat mengatur penggunaan bantuan modal tersebut termasuk pengembaliannya. Proses
penyeleksian disertai dengan pendampingan melalui pelatihan wajib KUBE (PWK) yang
didampingi langsung oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Dengan melalui
tahapan - tahapan pelatihan wajib KUBE diharapkan KUBE dapat memahami dan termotivasi
untuk meningkatkan kemandirian. Selain itu penjelasan teknis tentang operasional LKM
terkait dengan simpan pinjam juga menjadi materi wajib pada pelaksanaan pelatihan wajib
KUBE. Program KUBE diharapkan dapat mewujudkan mimpi untuk memberdayakan fakir
miskin sehingga dapat segera mengucapkan “Selamat tinggal fakir miskin” KUBE dengan
target mengurangi kemiskinan hingga 43 %. 25
Namun demikian, tingkat keberhasilan program ini juga sulit diukur, kalau tidak dikatakan
gagal. Hasil Penelitian litbang Depsos pada tahun 2009 menyatakan program ini banyak
mengalami kegagalan secara nasional. Dari situ diperoleh data sebesar 12,67% warga
dampingan sosial tidak mengalami perubahan status ekonomi dan masih berstatus fakir
24 Optimasi KUBE Untuk Pengentasan Kemiskinan, dalam
http://www.jogjakota.go.id/index/extra.detail/2294/optimasi-KUBE-untuk-pengentasan-kemiskinan.html,
Jum'at, 21 November 2008, diakses pada 11/06/2011 pada pukul 10: 56.

25 6 Kelompok Usaha Terima Bantuan KUBE dalam http://mediainfokota.jogjakota.go.id/detail.php?
berita_id=452,
24-06-2010, diakses pada 11/06/2011, pada pukul 11:57.

miskin; Sementara 55% mengalami sedikit perubahan tetapi masih masuk dalam kelompok
miskin; dan hanya sekitar 32,33% warga dampingan sosial yang sudah mentas dari
kemiskinan.26 Kegagalan tersebut lantaran terdapat beberapa factor yaitu masih rendahnya
kompetensi dari pendamping, terbatasnya sarana kerja pendamping, warga dampingan sosial
kurang tepat dalam memilih usaha, rendahnya kemampuan warga dalam mengelola usaha
dan kurangnya pengendalian pada semua jenjang.27 Selain itu, Hasil evaluasi juga
menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan sejumlah penerima bantuan. Di lapangan
ditemukan penerima bantuan berusia 56-72 tahun sebanyak 14%. Padahal pedoman
Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial mengamanatkan batasan umur penerima bantuan
harus usia produktif, yaitu umur 15-55 tahun. Tim juga banyak menemukan KUBE fiktif di
lapangan, bantuan bersifat hibah malah dipakai warga untuk kepentingan konsumtif seperti
membeli
telepon
genggam
dan
sebagainya.
Terkait evaluasi pelaksanaan KUBE di Kota Yogyakarta, memang belum terdapat data pasti.
Namun, gambaran data secara nasional tersebut merefleksikan, carut marutnya
pelaksanaaan program tersebut sangat mungkin menghinggapi pula pelaksanaan KUBE di
Kota Yogyakarta.
Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarto (Segoro Amarto)
Pemerintah Kota Yogyakarta telah meluncurkan uji coba program penanggulangan
kemiskinan model baru, Segoro Amarto (semangat gotong royong agawe majune
Ngayojakarto) ini, akhir Desember 2010 lalu. Program tersebut mulai dirintis di 10 rukun
warga (RW) di tiga kelurahan, yakni Kricak (Kecamatan Tegalrejo), Sorosutan (Umbulharjo),
dan Tegalpanggung (Danurejan). Awalnya, program ini hadir atas inisiatif Gubernur DIY
Sultan Hamengku Buwono X yang menangkap bentuk kearifan lokal sebagai modal sosial
untuk mengatasi masalah kemiskinan.28 Ide itu disampaikan kepada Wali Kota Yogyakarta
Herry Zudianto yang langsung memformulasikannya dalam wujud gerakan yang diberi nama
”Segoro Amarto”.29 Kota Yogyakarta menjadi wilayah uji coba pertama gerakan itu.

26
Program Pemberdayaan Warga Miskin Dinilai Gagal , 25 Mei 2010 16:49 WIB dalam
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newscat/sosbud/2010/05/25/18726/ProgramPemberdayaan-Warga-Miskin-Dinilai-Gagal, diakses pada 11/06/2011, pkl 12:34
27
Ibid.
28
Spirit itu Bernama Segoro Amarto, 17 Januari 2011, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2011/01/17/03272789/ diakses pada 11/06/2011, pkl 17:50.
29
Ibid.

Sprit gerakan ini menekankan nilai moral sebagai pilar-pilar kekuatan sosial masyarakat.
Selain kepedulian sosial dan gotong royong, dua prinsip lain yang juga ditekankan adalah
kedisiplinan dan kemandirian.30 Semangat gotong royong dan kepedulian sosial yang masih
kental di Yogyakarta itu tampaknya merupakan kekuatan mereka untuk melawan kemiskinan.
Gerakan Segoro Amarto mensyaratkan semua elemen masyarakat terlibat dalam upaya
pengentasan kemiskinan berbasis lingkungan RW. Karena itu, setiap warga diwajibkan
memberi andilnya dalam gerakan tersebut. Misalnya, warga yang memiliki usaha
mempekerjakan tetangga miskin di lingkungan RW-nya; kalau yang berprofesi guru atau
pendidik, mendidik keterampilan bagi warga penganggur; sementara yang menjadi ulama,
memberikan petuah keagamaan untuk bangkit dari kemiskinan. 31 Secara programatik,
semangat kekuatan sosial ini coba dilembagakan ke wilayah-wilayah miskin lain di Yogyakarta
untuk percepatan penanggulangan kemiskinan. Dalam gerakan ini, masyarakat dalam basis
RW mengidentifikasi dan memecahkan masalah kemiskinan di wilayahnya dengan
memanfaatkan potensi yang dimiliki.32 Tidak hanya kemiskinan yang berakar dari masalah
struktural, seperti kesempatan kerja dan minimnya pendidikan, namun juga dari akar budaya
ataupun nilai (contoh: kemalasan). Program ini akan berjalan beriringan dengan program
pengentasan kemiskinan lainnya.
Program ini tampaknya akan menjadi model mainstream dalam pengentasan kemiskinan di
Yogyakarta. Dengan memanfaatkan modal sosial yang ada di masyarakat berupa solidaritas
sosial, program ini hendak memobilisasi sumber daya yang ada di masyarakat yang dikemas
melalui model kebijakan dalam bentuk “gerakan”. Namun demikian, karena masih terbilang
baru, program ini belum dapat diukur keberhasilan dan efektifitasnya. Selain itu, sebagai
pilot project, program ini belum dilengkapi dengan instrumentasi pada tahap
implementasinya serta cara mengukur keberhasilan program.

D. Program Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Yogyakarta dalam
Perspektif Human Security
Paparan diatas memberikan overview tentang upaya penaggulangan kemiskinan di Kota
Yogyakarta. Pertanyaaannya sejauh mana prinsip-prinsip dalam perspektif human security ini
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid.

diadopsi dalam kebijakan baiok pada level desain kebijakan maupun pada implementasinya.
Ada tiga parameter yang akan diajukan adalah seberapa jauh kebijakan tersebut
mempromosikan kesempatan, memfasilitasi pemberdayaan , dan meningkatkan rasa
keamanan bagi kelompok miskin. Ketiga parameter tersebut ditujukan untuk mengukur
bagaimana akses terhadap aset ekonomi maupun sosial dapat didapat kelompok miskin,
bagaimana masyarkat berdaya secara politik dan mampu menyuarakan kepentingannya,
serta bagaimana kerentanan berkurang. Bagian ini hendak menyajikan assessment terhadap
program penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta dalam kerangka kerja tersebut.
RAD Penanggulangan Kemiskinan
Desain besar Rencana Penaggulangan Kemiskinan di Yogyakarta mengkombinasikan antara
strategi perluasan kesempatan, pemberdayaan ekonomi dan perlindungan sosial. Jika
dikaitkan dengan perspektif human security, secara konseptual desain tersebut telah
menjangkau upaya-upaya penanggulangan kemiskinan secara menyeluruh. Upaya tersebut
telah mengadopsi strategi mempromosikan kesempatan, memfasilitasi pemberdayaan dan
meningkatkan rasa aman. Namun demikian pada level implementasi, rencana tersebut
belum sepenuhnya bekerja secara memadai. Pertama, sekalipun akses pemerintah setempat
telah membuka akses terhadap aset keuangan (modal), aset manusia (peningkatan kualitas
SDM), aset kebutuhan dasar (peningkatan pendapatan), aset fisik (infrastruktur), namun
tampak belum sepenuhnya berhasil meningkatkan daya saing dalam pasar. Belum bekerjanya
program-program pemberdayaan ekonomi sesungguhnya berakar dari patologi birokrasi,
yang melihat program lebih sebagai “proyek kemiskinan” yang rentan terhadap praktekpraktek korupsi. Belum lagi secara teknis, program-program yang diperlakukan sebagai
proyek kerap tak diimbangi dengan manajemen dan kelembagaan yang memadai. Kedua,
meski mengkombinasikan dengan beragam bentuk program perlindungan sosial terutama
untuk kelompok rentan (perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang cacat, serta
penyandang masalah sosial lainnya), bentuk-bentuk program yang dipilih hanya mengatasi
dampak dari kemiskinan. Program-program perlindungan sosial lebih berkarakter altruistic
ketimbang memerdekakan tanpa mengatasi akar persoalan kemiskinan yang eksis. Ketiga,
program-program penanggulangan kemiskinan tampak belum membuka ruang politik bagi si
miskin. Program-program yang ada belumlah menumbuhkan kesadaran bagi si miskin untuk
bersuara. Padahal, akses terhadap aset bergantung pada seberapa besar struktur politik dan
formasi sosial terbuka bagi kaum miskin dalam menyuarakan kepentingan mereka terhadap
aset-aset milik pribadi maupun komunal.
Program KUBE

Sebagai program yang diintegrasikan dengan Rencana Aksi Daerah Penanggulangan
kemiskinan, program ini memang membuka akses terhadap kelompok miskin dalam
penyediaan aset ekonomi berupa aset keuangan dan kredit, sekaligus peningkatan
pendapatan serta meningkatnya akses terhadap kunggulan SDM (kapasitas kerja dasar,
ketrampilan, dan lain sebagianya). Namun, program ini tidak menyediakan sarana kebijakan
yang memadai bagi bertumbuhnya unit-unit usaha secara memadai. Akses terhadap pasar
yang mensyaratkan daya saing dalam kompetisi pasar kurang mendapatkan tekanan dalam
kebijakan ini. Memang kendali pasar bukanlah di tangan negara, namun negara memproteksi
eksistensi unit-unit usaha kecil ini melalui kebijakannya. Alhasil, usaha rakyat tetaplah kalah
bersaing dengan bisnis-bisnis besar yang jauh lebih efisien. Sehingga, tetap saja usaha kecil
rentan terhadap kompetisi bebas.
Pada sisi pemberdayaan masyarakat, program ini memang menawarkan dimensi
pemberdayaan terutama dalam bidang ekonomi. Namun, program-program permodalan dan
pendampingan usaha semacam ini kerap terbajak oleh praktek-praktek penyimpangan
karena lemahnya manajemen dan kelembagaan program serta lemahnya kendali program.
Akibatnya, misi pemberdayaan dalam program ini kerap kali gagal karena praktem-praktek
korupsi. Pada gilirannya, program-program ini tetak tidak menyediakan skema perlindungan
bagi usaha kecil yang menyediakan keamanan berusaha bagi masyarkat miskin. Programprogram semacam ini tak dapat menjamin usaha kecil dari kerentanan pasar, seperti fluktuasi
harga-harga bahan baku yang kerap dialami pelaku usaha kecil. Akibatnya, usaha-usaha kecil
semakin tertinggal dalam efisiensi.
Program Segoro Amarto
Meski baru diluncurkan akhir tahun lalu, dan diklaim sebagai model mainstream dalam
penanggulangan kemiskinan, program ini tetaplah dapat dibaca kecenderungannya. Dengan
memanfaatkan modal sosial warga di kantung-kantung kemiskinan berupa solidaritas dan
partisipasi, program ini sesungguhnya menyimpan harapan besar dalam penanggulangan
kemiskinan. Program ini hendak memanfaatkan modal sosial yang telah memiliki akar historis
dan cultural dalam masyarakat sebagai sumber daya utamanya. Dalam perspektif human
security, solidaritas sebagai modal sosial terbukti memiliki daya tahan sebagai mekanisme
perlindungan sosial masyarakat terhadap kerentanan dalam bentuk apapun. Di sisi lain,
program ini memuat pula nilai partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dari kelompok
sosial yang telah diuntungkan dengan mengulurkan tangan bagi saudara-saudaranya yang
kurang beruntung agar terbebas dari kemiskinan. Program ini juga memperlihatkan
pergeseran perspektif dari state centric menuju people centric.

Namun demikian, program tersebut dapat pula dibaca sebagai kegagalan negara dalam
menyediakan keamanan warganya, karena terbatasnya sumber daya yang dimiliki negara
atau pemerintah. Dalam konteks tersebut, pemerintah melalui otoritas yang dimilikinya
memobilisasi sumber daya yang ada di masyarakat untuk “membantu” pemerintah dalam
penanggulangan kemiskinan. Sesungguhnya tidak ada yang keliru, dalam upaya melibatkan
masyarakat luas dalam program penanggulangan kemiskinan. Namun, upaya tersebut
haruslah mengedepankan partisipasi dan bukan mobilisasi dalam pelembagaannya. Sejauh
prasyarat tersebut dapat dipenuhi maka program tersebut dapat dijamin
keberlangsungannya. Kebutuhan utama dalam program ini adalah adanya desain
pelembagaan yang mengedepankan suara masyarakat dan bukannya ditentukan oleh apa
yang menjadi kepentingan atau agenda pemerintah.

E. Simpulan
Meski upaya penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan pemerintah kota
Yogyakarta, namun belum sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip human security sebagai
perspektif baru dalam membaca kemiskinan secara multidimensional. Human security
sebagai perspektif memang memberikan jangkauan lebih memadai dalam meredefinisi
kemiskinan. Alhasil, human security seolah hendak menggugat makna keabsolutan negara dalam
mengatasi kemiskinan. Bukankah pemerintah wajib melakukan perlindungan terhadap warga
negaranya termasuk dalam konteks kemiskinan?
Bagi penulis, ujung dari persoalan kemiskinan bukanlah kelangkaan sumber daya (ekonomi)
namun bagaimana tata kelola (politik) mampu menjamin redistribusi sumber daya secara adil.
Untuk itu, penulis mengajukan dua rekomendasi. Pertama, pemerintah mempunyai tanggung
jawab politik terhadap keamanan individu secara luas, termasuk menjamin warganya bebas dari
ancaman kemiskinan. Untuk itu, pemerintah perlu mengubah nalar dalam mengelola kebijakan
penanggulangan kemiskinan dimana perspektif perlindungan ditekankan pada manusia dan
bukan sepenuhnya pada negara, apalagi kelompok yang berkuasa. Kedua, dalam konteks
tersebut, pemerintah perlu membuka akses secara politik bagi kaum miskin untuk menyuarakan
apa yang menjadi kebutuhannya. Mekanisme demokrasi procedural hingga kini belum mampu
menjamin suara si miskin untuk di dengar oleh penguasa. Untuk itu, pemerintah perlu
mengembangkan model demokrasi substansial dimana hak-hak sipil, politik, serta ekonomi dan
cultural dijamin melalui mekanisme partisipatif yang berangkat dan tumbuh dari akar rumput.

Daftar Pustaka

Amitav Acharya, Human Security: East versus West, dalam International Journal, Summer,
2001, Edisi 56, Volume 3.
Carunia Mulya Firdausy, Kemiskinan Absolute Harus Ditinggalkan, Republika, 8 Januari ,
diunduh dari http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1295218062&1&&,
pada tanggal 19 April , pukul 19:45.
Edy

Prasetyono, Human Security, artikel tidak dipublikasikan diakses dr
http://www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/human_security
ep.pdf pada tanggal 12/3/ 2011, pukul 19:00.

Mely Caballero-Anthony, Revisioning Human Security in Southeast Asia, dalam Asian
Perspective, Edisi 28, Vol.3, 2004.
Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Kemiskinan dan Penggangguran Kota Yogyakarta,
Pemerintah Kota Yogyakarta, 2007.
World Development Report: Attack Poverty, World Bank, 2000.
Berita Media:
Kompas, 17/01/2011, Spirit itu Bernama Segoro Amarto, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2011/01/17/03272789/ diakses pada
11/06/2011, pkl 17:50.
Media info kita, 26/06/2010, Enam Kelompok Usaha Terima Bantuan KUBE, dalam
http://mediainfokota.jogjakota.go.id/detail.php?berita_id=452,24-06-2010,
diakses pada 11/06/2011, pada pukul 11:57.
Metrotvnews.com, 25 Mei 2010 ,Program Pemberdayaan Warga Miskin Dinilai Gagal,
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newscat/sosbud/2010
/05/25/18726/Program-Pemberdayaan-Warga-Miskin-Dinilai-Gagal, diakses
pada 11/06/2011, pkl 12:34.
Jogjakota, 21 Novemper 2011, Optimasi KUBE Untuk Pengentasan Kemiskinan, dalam
http://www.jogjakota.go.id/index/extra.detail/2294/optimasi-KUBE-untukpengentasan-kemiskinan.html, diakses pada 11/06/2011 pada pukul 10: 56.
Republika, tanggal Kamis, 14 Januari 2010, Dalam Setahun Warga Miskin di Yogya Turun 12
Ribu Jiwa, di akses dari http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/nusantara/10/01/14/100906-dalam-setahun-warga-miskin-di-yogyaturun-12-ribu-jiwa, pada tanggal 20 Mei 2011, pukul 21:09.

Harian Jogja Rabu, 02/03/2011, 20.000 Keluarga Jogja Miskin, 09:00 WIB, diakses dari
http://harianjoglosemar.com/berita/20000-keluarga-jogja-miskin37758.html, pada 25 Mei 2011, pada pukul 21: 45.