ARSITEKTUR TOPOGRAFIS HARMONISASI ANTARA international

ARSITEKTUR TOPOGRAFIS:
HARMONISASI ANTARA ARSITEKTUR DAN SIKAP MENDESAIN DI BENTANG
ALAM
Oleh: Shofia Islamia Ishar

1. Sejarah Singkat
Sejarah arsitektur selalu terkait dengan sejarah perkembangan perekonomian dunia.
Semenjak dunia memberlakukan konsep kapital global sebagai sistem utama dalam
perekonomiannya, kehidupan masyarakat berubah drastis dan perkembangan ekonomi melaju
pesat. Kondisi ini tentu memberi dampak terhadap perkembangan arsitektur. Sistem kapital
global merubah cara berdagang, berkomunikasi dan bertransportasi sehingga keberadaan
arsitektur sebagai bagian dari pemenuhan keberlangsungan aktivitas-aktivitas tersebut
menjadi semakin terasa. Arsitektur pun akhirnya turut menjadi komoditas untuk menaikkan
perekonomian suatu negara selain sebagai indikator berkembangnya negara tersebut.
Sistem kapital global menjadikan kota-kota besar di dunia semakin padat. Kota
sebagai pusat aktivitas ekonomi menarik masyarakat lokal maupun internasional untuk
tinggal di dalamnya, namun kepadatan kota pada akhirnya banyak membawa dampak buruk
seperti memburuknya kualitas udara dan eksploitasi alam untuk kepentingan perdagangan
dunia. Namun dari segi perkembangan arsitektur, kondisi ini membawa dampak positif. Pada
masa ini, artikulasi arsitektur menjadi kaya dan muncul banyak pemikiran baru seiring
semakin dibutuhkannya arsitektur sebagai pembentuk wajah dunia. Muncul banyak karya

arsitektur yang canggih dan arsitek menjadi populer karenanya. Kualitas arsitektur makin
meningkat dibanding dua puluh tahun silam. Arsitektur bisa menjadi generator perekonomian
dengan desain yang bagus, sehingga keberadaan karya arsitektur tidak lagi dinikmati dalam
skala lokal, namun internasional.
Melihat kondisi arsitektur di era kapital global, seorang ahli sejarah arsitektur
Amerika yaitu Kenneth Frampton merasa perlu mengklasifikasikan karya arsitektur yang
lahir selama era ini, yaitu dalam kurun waktu mulai tahun 1975-2007. Dia menamakan
pengklasifikasian ini dengan “architecture in the age of globalization” dengan pembagian
konsentrasi ke dalam enam bidang yaitu topografi, morfologi, sustainabilitas, materialitas,
habitat and civic form. Klasifikasi ini menekankan pada fungsi dan perbedaan kegunaan dari
1

karya-karya arsitektur. Bidang topografi dan sustainabilitas mengacu pada pembahasan
lingkungan, bidang morfologi dan materialitas menekankan ekspresi desain pada permukaan
bangunan, dan yang terakhir habitat dan civic form menekankan pada nilai-nilai budaya.
Sedangkan pada tulisan ini, bidang yang akan dibahas lebih dalam adalah topografi, atau
dengan nama lain yaitu arsitektur topografis.
Arsitektur topografis bermula semenjak terbitnya dua publikasi arsitektur yang
dikeluarkan oleh Vittorio Greggoti dan Ian Mc’Harg yaitu Vittorio Greggotti dengan
essaynya yang berjudul ll territorio dell’architectura, 1966 dan Ian Mc’Harg dengan

bukunya yang berjudul Design with Nature 1971. Frampton menyatakan bahwa kedua
publikasi ini lah yang dapat menjadi latar belakang dalam pengelompokan karya-karya
arsitektur topografis. Dua publikasi ini sama-sama menekankan pada integrasi antara produk
buatan manusia dengan permukaan bumi. Greggotti menilai integrasi antara produk buatan
manusia dengan buminya dimulai dari tindakan menandai tanah yang dilanjutkan dengan
tahap membuat tempat berlindung dati kekacauan alam. Sedangkan Mc’Hargs berfokus lebih
kepada kebutuhan akan pendekatan komprehensif dengan tujuan memfasilitasi dan mengelola
rasa saling ketergantungan pada ekosistem. Arsitektur topografis merupakan suatu pemikiran
yang lahir dari penggabungan dua konsep tersebut, yaitu penandaan tanah untuk menghindari
kekacauan alam dan kebutuhan untuk memfasilitasi rasa saling tergantung antara manusia
dengan alamnya. Sampai saat ini kedua publikasi tersebut masih dihormati sebagai strategi
yang bersemangat dalam mengendalikan perkembangan dunia “buatan manusia” yang
pengembangannya seringkali menimbulkan dampak buruk terhadap bentang alam
(landscape). Arsitektur pada bentang alam bukanlah sesuatu yang asing, namun arsitektur
seharusnya merupakan sesuatu yang harmonis dan “akrab” dan terintegrasi baik dengan alam.
Dalam hal ini, pemikiran Gregotti dan McHarg menunjukkan adanya upaya untuk
mengurangi dominasi wujud arsitektur yang asing pada bentang alam.
Pada pemikiran Arsitektur Topografis, arsitektur seharusnya dapat dibangun dan
diformulasikan sebagai bentang alam yang utuh dengan menjalin integrasi yang
berkesinambungan antara alam dan arsitektur. Sebagai contoh, objek harus berintegrasi pada

tapak dan tidak terpisahkan dari lingkungan topografinya. Pemikiran ini juga dapat
diterapkan dan dikembangkan pada bidang Lanskap Urban sebagai sub-ilmu baru. Jadi
penekanan arsitektur topografis adalah mengharmoniskani integrasi antara arsitektur dan
bentang alam, baik dalam skala bangunan individu (single building) maupun dalam skala
urban. Menanggapi hal ini, Seorang arsitek lanskap yaitu James Corner mengungkapkan
2

pendapatnya,“In recent years we have witnessed an important shift : every location have
begun to be regarded as a landscape, either natural or artificial and has ceased to be neutral
backdrop, more or less decidedly sculptural. For architectural objects, this change in this
point of view, the landscape becomes the subject of possible transformations; no longer inert,
it can be designed mode artifical. The landscape has become the primary interest. The focal
point of architecs”.Corner, 2003.
Pendapat James Corner menegaskan bahwa arsitektur dan bentang alam seharusnya
dapat saling memberi keuntungan. Bentang alam bukan lagi sekadar tapak untuk berdirinya
arsitektur juga bukan sekadar latar, melainkan juga sebagai subjek pada proses transformasi
arsitektural.
2.

Tokoh dan Karya

Setelah kehadiran publikasi Greggoti dan McHarg, muncul banyak arsitek yang

responsif

terhadap

isu

perancangan

berwawasan

topografis.

Beberapa

arsitek

mengembangkan pemikiran tersebut ke dalam karya-karyanya. Wawasan topografis menjadi
dasar dalam mendesain di bentang alam, sehingga strategi-strategi mendesain di bentang

alam mulai bermunculan dan berkembang. Dengan tujuan untuk menangani kondisi bentang
alam yang unik, berkarakter dan bahkan “keras” (kering, gersang, berbatu, dan bertopografi
ekstrim) strategi dibuat, sehingga keindahan yang dimiliki bentang alam tetap dapat
diintrepetasi positif oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Tokoh-tokoh arsitek dan
karyanya yang tergolong dalam gerakan Arsitektur Topografis diantaranya adalah sebagai
berikut:
A. Peter Walker, IBM Campus, Solana 1992
Peter Walker termasuk ke dalam tokoh
gerakan Arsitektur Topografis karena pemikirannya
yang berkonsentrasi pada integerasi antara arsitektur
dan bentang alam. Integrasi yang merupakan sebuah
peluang bagus dalam perkembangan ilmu arsitektur
Gambar 1. IBM Campus
Sumber:.
http://www.pushpullbar.com/forums/architect
s-designers/3874-usa-peter-walkerpartners.html

dan bentang alam untuk saling bekerja sama sebagai
bagian yang utuh. Seperti pada karyanya yaitu IBM
Campus,


West

Texas,

Solana

1992,

yang

berkolaborasi dengan arsitek Romaldo Giurgola,
3

Ricardo Legorreta dan Barton Myers. Pada tata letaknya yang mempunyai luas sebesar 324
hektar, mereka melihat terdapat perubahan pada kondisi tapak dari kondisi aslinya. Tapak
dimana proyek ini akan berdiri awalnya merupakan padang rumput yang kaya dengan bunga
tanah, namun telah berubah karena lebih dari setengah bunga tanah telah hilang. Untuk
memperbaikinya, mereka mengambil bunga tanah pada setiap jalan, bangunan, atau area
parkir yang tumbuh secara liar, untuk meletakkannya pada padang rumput dalam upaya

mengganti jumlah bunga tanah yang telah diambil (gambar 1). Upaya ini merupakan langkah
untuk melestarikan bunga tanah dari kepunahan selain sebagai pertanggung-jawaban atas
setiap pencabutan atasnya.“when we found site, it was not a particularly rich meadow. It had
been grazed very heavily and over half the top soil had been lost. There were a few handsome
trees that stood up to the grazing and somehome survived... to repair the rest of it. We took
the top soil off every single road, building, or parking lot site, stock piled it and put it on the
meadow, thereby droubling the amount of top soil.” (Walker 2003).
Pada proyek ini, Arsitek memiliki pengaruh langsung pada pembentukan Kota Solana.
Proyek ini dianggap menjadi suatu pengaruh yang menanggapi tuntutan topografi dan kondisi
iklim, karena pada proses perancangannya dilakukan analisis geologis, hidrologis, dan faktorfaktor ekologis untuk mencari nilai dan pola sejarah yang terkandung pada tapak. Untuk itu
arsitek memutuskan untuk menekan fitur tertentu dari rancangannya untuk mendorong
ekspresi bentang alam yang lebih besar. Selain itu, arsitek juga menekankan garis horisontal
padang rumput dengan memutuskan untuk membatasi ketinggian bangunan dan
mempertahankan beberapa ratus hektar lahan terbuka.
Proyek ini banyak memberikan kejutan bagi para pengunjungnya. Saat pengunjung
melewati Solana, dari ramp keluar jalan raya, mulai dari Arrivals Garden sampai ke pusat
pemasaran, pengunjung akan mengalami transformasi dari suatu fitur lanskap biasa kepada
pemandangan kebun yang membangkitkan nuansa pemandangan pedesaan. Di dalam Arrivals
Garden, tanah yang rata dan miring ditanami barisan tanaman Hawthorn dari India, hal ini
mengingatkan pada pola deretan ladang subur yang merupakan masa lalu dari tapak. Tim

arsitek dan arsitek lanskap dengan hati-hati memperhatikan garis penglihatan manusia ke
arah pintu gerbang. Mereka merancang pintu gerbang dengan membuat portal dan
membariskan Pohon Allees untuk menandai pintu masuk. Arsitek juga mengarahkan kanal ke
sungai yang berkelok-kelok, sehingga menghubungkan lingkungan binaan dengan
pemandangan

sekitarnya.

Tepi

sungai

dirancang

dengan

penuh

hati-hati


untuk

mempertahankan keaslian letak batu-batu besar yang menawan dan mengundang orang untuk
4

berkontemplasi atau sekadar duduk santai di bawah Pohon Willow. Pada daerah dataran
tinggi, bangku-bangku kayu ditemukan pada tempat terbuka di sepanjang kanal atau di
tempat yang sejuk. Pada proyek ini, arsitek berhasil membangun pemandangan di Solana
terus mendewasa secara alami, berwawasan lingkungan dan sesuai dengan karakter tempat.
B. Jensen dan Skodvin Rada, Liasanden Rest Area 1990
Strategi lain dilakukan oleh Arsitek Jensen dan Skodvin Rada pada perancangan
Liasanden Rest Area, di Sognefjellet Alpine Park. Dalam perancangan ini, mereka sangat
melindungi letak dan keberadaan pohon dengan cara membiarkan pohon pada letak aslinya
sekalipun letak pohon tersebut dapat “mengganggu” alur jalan untuk mobil. Selain itu mereka
mempertahankan serta memanfaatkan kerikil untuk dijadikan pengaman palung sungai dan
menjadikannya sebagai karakter lanskap hutan. (gambar 2)

Gambar 2. Liasanden rest Area
Sumber:.
http://www.jsa.no/processed_geometries/documents/liasanden_lang.pdf.


Jensen dan Skodvin Rada berkonsep untuk mempertahankan kualitas cahaya alami di
dalam hutan sebagai suatu pengalaman yang dapat dirasakan oleh setiap pengunjungnya.
Mereka merekomendasikan untuk menjadikan Pohon Pinus tua yang berada di sepanjang
jalan raya sebagai situs untuk proyek ini. Sedangkan area perancangannya yaitu Area
Peristirahatan (Rest Area) terdiri dari sisi jalan baru dengan panjang sekitar 300 meter dan
lebar yang bervariasi yaitu sekitar 3 dan 12 meter yang berliku melalui hutan pinus.
Kelandaian yang membahayakan seperti palung sungai diisi dengan kerikil ke datum
sebanyak yang diperlukan agar aman dan tetap terlihat indah (gambar 2). Semua peledakan
dan penggalian dihilangkan. Studi menunjukkan bahwa, penambahan kerikil yang dilakukan
dapat memberi dampak baik bagi pelesetarian keberadaan pohon-pohon Pinus besar yang
memerlukan waktu selama sembilan tahun untuk tumbuh besar. Arsitek juga memutuskan
untuk tidak menjadikan permukaan kerikil ke dalam bentuk horisontal sehingga tetap pada
bentuk aslinya. Kerikil dirancang agar dapat naik-turun sesuai perubahan kondisi alam.

5

Sehingga dari hari pertama, seluruh kompleks menjadi kebun yang lengkap dengan
pepohonan dan kerikil sebagai kesatuan yang sinergis.
Pada proyek ini, arsitek menegaskan bahwa mobil harus berbalik dari pohon. Peta

topografi pohon terkomputerisasi sangat akurat dan membantu untuk mengidentifikasikan
kemungkinan rute untuk mobil. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada
pemotongan pohon. Pohon diberi material semacam ban karet untuk melindungi badan mobil
saat terjadi benturan (gambar 3). Jadi dengan kata lain, tidak ada yang mustahil untuk tetap
melestarikan keaslian alam.

Gambar 3. Liasanden rest Area
Sumber: http://en.urbarama.com/project/mountain-roads-project-liasanden-stoppoint

C. Tadao Ando, Awaji Yumbetai 2001
Di

Jepang,

Arsitek

yang

serius

mengintegrasikan

rancangannya dengan bentang alam dengan wawasan topografis
adalah Tadao Ando. Contohnya pada pengembangan Awaji
Yumbetai (2001). Ando membuat konsep “city-in-miniature” dalam
merencanakan hotel, gereja, tea house, dan botanical green house
Gambar 4. Awaji Yumbetai
2001
Sumber:
http://www.galinsky.com/bui
ldings/awaji/index.htm

yang luas, menyelangi air, jalan, reflecting pools, fountain dan
kebun teras dalam perancangannya (gambar 4). Ini menunjukkan
gejala bahwa desain Ando belakangan ini menjadi lebih meningkat
dalam hal menguatkan karakter topografis.
Kompleks mixed-use Awaji Yumebutai dibangun di atas
reruntuhan sebuah bukit yang pernah mengalami gempa. Saat
proyek ini dimulai, tapak telah menjadi lahan penguburan sampah
(Tempat Pembuangan Akhir/TPA) untuk kawasan Teluk Osaka.
Ando berupaya untuk merekonstruksi lanskap yang telah hancur,

Gambar 5. Awaji Yumbetai
2001
Sumber: http:
http://www.0lll.com/archgaller
y2/ando_awaji/

selain juga ingin memberikan perayaan “kelahiran kembali” untuk

6

mengenang ribuan orang yang telah kehilangan nyawa mereka dalam gempa bumi besar yang
mengguncang wilayah Kobe pada tahun 1995.
Kompleks mixed-use Awaji Yumebutai merupakan serangkaian pemotongan beberapa
geometri. Potongan-potongan tersebut terdiri dari hotel, kapel, pusat konferensi internasional,
restoran, taman bunga terasering, air taman dan plaza. Pada proyek ini, Cahaya, bayangan,
suara air mengalir, rumah hijau, dan ruang luar disimulasikan melalui teknologi animasi agar
hasilnya dapat akurat dalam mengintegrasikan bangunan dan tapaknya. Proyek ini merupakan
konstruksi buatan manusia yang mengintegrasikan dirinya ke dalam pemandangan teluk
Osaka yang turun dari bukit ke laut.
Ando menggambarkan jalinan pengalaman kekayaan ruang yang dibangun melalui
urutan ruang interior dan eksterior, cahaya dan bayangan, air yang membingkai pandangan ke
langit, dan vegetasi. Bahan fisik ruang ini terdiri dari beton sutra halus, batu kasar, kerang
laut, kaca transparan, air dan vegetasi yang diselingi oleh bahan yang lebih temporal, yaitu
cahaya suara dan aroma (gambar 5).
D. Juan Navaro Baldeweg dan Eduardo Souto de Moura, Altamira Museum and Reaserch
Centre, Cantabria 1997
Tokoh Arsiitektur Topografis Selanjutnya adalah
Juan Navaro Baldeweg dan Eduardo Souto de Moura pada
perancangan Miro foundation. Mereka menunjukkan sikap
dalam merancang di bentang alam pada proyek ini.
Desainnya dibuat berdampingan dengan tapak dengan cara
menyandingkan lempengan batu horisontal yang rendah dan
Gambar 6. Altamira museum 1997
Sumber:
http://www.ducciomalagamba.com/i
magenes.php?IdProyecto=228&IdIm
agen=6261&Nom_Imagen=067228.jpg&Idioma=En

massa yang seperti kubu pertahanan kepada kontur yang
berat. Juan Navaro Baldeweg dan Eduardo Souto de Moura
merubah struktur untuk menyesuaikan perbedaan topografi.
Mereka mengintegerasikan desainnya kepada lanskap yang

tidak datar yaitu pada rumah- rumah yang dikenal sebagai lukisan gua pre historik pada Gua
Altamira di Santilana del Mar, Cantabria. Kondisi ini dijadikan peluang untuk pembuatan
replika dari gua yang asli sebagai destinasi turis. Proyek ini dibangun di dalam lanskap yang
rapuh. Baldeweg berpendapat,“keinginan dan hasrat untuk mengintegerasikan konstruksi
baru kepada lanskap adalah suatu hal yang ekstra asing dengan area atap yang luas
memenuhi kebutuhan untuk menyelimuti replika, untuk menyelesaikan konflik ini, desain
7

mengusulkan, bahwa konstruksi atap yang mengikuti lereng alami dari tanah. Atap yang
ditutupi rumput dan menyatu dengan skylight”. (gambar 6)
Museum

Altamira bernuansa baru

dan

modern,

fungsional, dan terintegrasi dalam lanskap. Ini adalah
sebuah museum dimana teknologi terbaru dan sistem
komunikasi modern membawa pengunjung kembali ke
masa kejayaan Altamira. Arsitek merancang bangunan
minimalis yang terintegrasi ke dalam lanskap dengan
Gambar 7. Altamira Museum 1997
Sumber:
www.sciencemusings.com/blog/blogarchiv
e/2008

konsep untuk mengenang kembali esensi Gua Altamira
yang dikenal sebagai “Chamber of the Paintings”.
Museum Altamira merupakan sebuah tempat yang

khusus mempelajari tentang kehidupan orang-orang yang melukis di gua Altamira.
Dengan kejelian sang arsitek, Pengunjung dapat berjalan-jalan dengan bebas di
lingkungan alam sekitar bangunan museum, dan menikmati pemandangan yang
menakjubkan. Pengunjung disajikan pemandangan di bagian utara dengan pemandangan
berupa padang rumput hijau yang khas Cantabria. Pengunjung juga dapat menikmati
pemandangan lereng bukit dan lembah di Desa Santillana del Mar. Di hari yang cerah,
keagungan gunung dari Picos de Europa dan Taji dari Ferile Cordillera Cantabrian juga dapat
dinikmati dari tempat ini. Proyek ini tidak hanya mencakup pembangunan salinan asli gua
namun juga mencakup perbaikan kondisi gua untuk melayani kebutuhan pelestarian dan
penggunaan peralatan ilmiah. Inilah sebabnya rekonstruksi gua dan museum dibangun dalam
satu kompleks, sehingga memungkinkan untuk terus mereproduksi cahaya alami dan dengan
mudah mengidentifikasi orientasi gua asli. Pada perancangan ruang depan yang merupakan
tempat di mana manusia tinggal sebelum keruntuhan, arsitek mencoba untuk memaksimalkan
desainnya dengan menampilkan lukisan-lukisan fisiognomi1 yang berusia sekitar 14.000
tahun. Desain menekankan hubungan antara ruang hidup dan ruang ritual, dengan langitlangit gua dihiasi dengan lukisan bison multi-warna (gambar 7). Gedung mengikuti lereng
bukit dengan rancangan teras yang membentuk sebuah panorama luas untuk pengunjung
yang sedang berada di ujung barat. Upaya integrasi ini mengungkapkan kemauan yang kuat
untuk menyatakan arsitektur dalam bentuknya sendiri. Arsitektur diekspresikan dalam
1

Fisiognomi: Ilmu yang mempelajari tentang sifat manusia berdasarkan penampilan luarnya, terutama dari
karakter wajah

8

geometri yang sangat fleksibel dan menyesuaikan kemiringan lahan untuk menciptakan
semacam topografi buatan. Baldeweg merancang pintu masuk gua dengan sangat akurat. Dia
menandai pintu masuk gua dari jaman batu dengan mengukur jumlah cahaya yang mencapai
langit-langit untuk memungkinkan pengunjung mengagumi reproduksi lukisan asli yang
megah. Proyek ini menekankan pada sifat unik suatu tempat, dengan mengintegrasikan
dinding-dinding Batu Mediterania dan arsitektur. Arsitek juga menghadirkan taman seluas
150.000 meter persegi untuk mengingatkan pemandangan
kawasan itu pada usia Paleolitik. Keakraban Baldeweg
dengan tempat ini sangat mempengaruhi sifat proyek dalam
menanggapi iklim dan topografi.
E. Commune by The Great Wall, China, 2002
Gambar 9. Commune by The Great
Wall Sumber:
http://concierge.typepad.com/photos
/uncategorized/2007/12/05/commun
e_by_the_great_wall.jpg

Karya arsitektur topografis berikutnya dapat terlihat
pada perancangan Commune by The Great Wall yang
tapaknya berdekatan dengan Great wall di Beijing. Di sini

sebuah area rumah pamer telah menjadi destinasi turis untuk orang-orang kaya di Cina yang
sengaja mencari penginapan untuk acara mereka. Tempat ini menjadi tempat yang mewah
dan bergengsi dengan memberikan suatu simbiose antara lanskap dan bangunan pada
desainnya.
Commune by The Great Wall adalah suatu
gambaran

pribadi

kehidupan

masyarakat

kontemporer di Cina dan Asia. Arsitek merancang
villa di mana modernisme dan tradisi berbaur
bersama-sama. Commune by The Great Wall

Gambar 8. Commune by The Great Wall, 2002
Sumber:
http://www.kiwicollection.com/property/comm
une-by-the-great-wall-kempinski

menawarkan

pengalaman

arsitektur

pemandangan

yang

di

indah

atas

dengan
Shuiguan,

pemandangan lembah dan Great Wall (Tembok
Cina).

Hotel ini terdiri dari total 200 kamar tidur di dalam 40 villa berdasarkan 11 inti desain
oleh 12 arsitek Cina dan Asia yang termahsyur (Serge Mouille, Thierry Hoppe, Von
Robinson, Philippe Starck, Alex Strub, Claudio Colucci, Ross Menuez, Kaname Okajima,
Jonas Damon, Karim Rashid, Matthew Hilton, Marc Newson, and Michael Young). Proyek
ini menunjukkan bahwa arsitektur bukanlah cara arsitek mengekspresikan dirinya sendiri.
9

Sebaliknya, arsitektur mendapatkan ekspresi melalui lokasi dan topografi. Dengan kata lain,
sebuah rumah di pegunungan berbeda dari sebuah rumah di perkotaan. Sebuah rumah di
pegunungan Badaling berbeda dari sebuah rumah di pegunungan Sanya meskipun dirancang
oleh arsitek yang sama. Kantilever pada bangunan ini merupakan konsekuensi alami dari
kondisi lereng gunung (gambar 8). Sebagai konsekuensi bukan dari lokasi spesifik matahari
tetapi dari kebutuhan akan matahari itu sendiri. Kantilever rumah bisa melekat pada setiap
lereng bukit pada lembah, akses jalan bisa di atas atau ke bawah lereng. Dalam proyek ini
terdapat beberapa perubahan pada topografi asli. Arsitek sangat cermat dalam penggunaan
bahan-bahan sederhana seperti beton, semen, batu bata merah, kayu, bambu, dan kaca. Pada
proyek ini terdapat arsitektur La promenade, yang mempunyai filosofi; “berjalan melalui
rumah merupakan sesuatu yang mewah dan mengantarkan kita kepada pengalaman
spiritual”. Terdapat juga taman atap, yang menyatakan diri sebagai kebun milik masyarakat.
Pada setiap unit kamar membutuhkan taman atap untuk menikmati keindahan seluruh lanskap
dari tapak Commune by the Great Wall (gambar 9).
3. Strategi Desain
Tokoh dan karya Arsitektur Topografis yang telah disebutkan di atas membuka
paradigma baru tentang merancang di bentang alam. Teknologi tinggi juga diikutsertakan
sebagai alat untuk mengkonservasi unsur-unsur alam. Kreativitas arsitek diuji dalam
merancang strategi untuk mendesain di bentang alam. Kondisi bentang alam dengan karakter
yang khas menantang arsitek untuk kreatif dalam menyiasati tapak agar arsitektur dapat
terintegrasi dengan sinergis dengan tapak. Strategi yang digunakan oleh para arsitek dapat
digolongkan kepada tiga konsep utama yaitu, konservasi unsur-unsur alam, “meminjam”
kekuatan alam dan “memasukkan” unsur alam ke dalam desain.
1.

Konservasi unsur-unsur alam
Strategi konservasi unsur-unsur alam dapat dilihat dari rancangan IBM Campus dan

Liasanden Rest Area. Pada perancangan IBM Campus, konservasi unsur alam dinyatakan
dalam pengumpulan ulang bunga-bunga tanah bernilai sejarah yang semula telah dihilangkan.
Sikap arsitek dinyatakan dengan menekan fitur tertentu untuk kepentingan kekinian demi
melestarikan keaslian karakter tapak, Selain itu penekanan terhadap ketinggian bangunan
dilakukan guna mempertahankan keberadaan padang rumput dan lahan terbuka. Perancangan
tepi sungai sebagai taman dan ruang kontemplasi, dilakukan secara sangat hati-hati dalam hal

10

penataan atribut taman dengan tujuan untuk mempertahankan keaslian letak batu-batu besar
yang berada di sekitarnya.
Pada perancangan Liasanden Rest Area, konservasi unsur alam juga terlihat, yaitu
pada pelestarian keberadaan pohon. Dengan teknologi tinggi yang menjamin akurasi
perhitungan kebutuhan ruang gerak untuk mobil, pohon tetap bisa aman di tempatnya semula
dengan perlindungan bahan karet pada badan pohon sehingga mobil bisa berjalan melalui
pohon tanpa harus khawatir tertabrak dan pohon juga tidak perlu ditebang. Sikap ini
merupakan sikap cerdas untuk mempertahankan unsur alam dan tetap menjadikannya sebagai
bentang alam yang bisa dikunjungi dan dinikmati manusia.
2. “Meminjam” kekuatan alam
“Meminjam” kekuatan alam dapat terlihat dari rancangan Altamira Museum dan
rancangan Commune by The great Wall. Pada perancangan Altamira museum, arsitek
“meminjam” dinding gua sebagai struktur atap yang juga
digunakan untuk area pameran lukisan pra historik. Keaslian
gua dimanfaatkan sebagai unsur struktur dan unsur interior
yang menjadikan museum ini sinergis antara kebaruan dan
nuansa historisnya.
Gambar10. Awaji Yumebutai
Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Awaji_Y
umebutaiv

Pada perancangan Commune by The Great Wall,
lereng

digunakan

sebagai

unsur

pembentuk

struktur

kantilever yang pada akhirnya membentuk kantilever yang

unik. Selain itu, pemandangan indah pegunungan dan pemandangan Great Wall juga
“dipinjam” sebagai view untuk meningkatkan daya jual villa sehingga villa ini dikenal dengan
villa mewah nan mahal.
3. “Memasukkan” unsur alam ke dalam desain
Strategi ini dimaksudkan untuk menjaga keaslian bentang alam dan juga sebagai
elemen dengan daya tarik khas yang tidak akan dimiliki di tempat lain. Memasukkan unsur
alam ke dalam desain dapat meningkatkan interpretasi terhadap desain dan kondisi lanskap
yang diikutsertakan ke dalam desain. Contohnya adalah pada perancangan Awaji Yumebutai
yang memasukkan unsur-unsur alami seperti botanical green house, reflecting pools, fountain
dan kebun teras ke dalam perancangannya (gambar 10). Keputusan mendesain dengan cara
seperti ini dapat secara efektif menguatkan karakter topografis.

11

4. Relevansi dengan Arsitektur Kontemporer di Indonesia
Konsep-konsep pada gerakan Arsitektur Topografis sangat menarik untuk dipelajari
dan sangat berpeluang untuk terus dikembangkan. Tidak terkecuali untuk Negara Indonesia
yang kaya akan aset bentang alam yang indah. Beberapa arsitek lokal sudah terlihat serius
dalam berkonsentrasi pada kondisi topografi dan kekuatan lanskap pada perancangannya,
salah satunya adalah Popo Danes yang karya-karyanya sebagian besar berlokasi di tapak
dengan kondisi bentang alam yang khas. Oleh karena itu, pengembangan pengetahuan dan
strategi-strategi mendesain di bentang alam akan sangat relevan dengan perancangan di
jaman sekarang yang selalu dikaitkan dengan isu keberlanjutan dan isu ramah lingkungan.
Pemikiran dan konsep-konsep dari gerakan Arsitektur Topografis sangat bermanfaat
untuk mengembangkan aset bentang alam di negeri ini yang sering kali dimanfaatkan sebagai
tempat wisata. Seperti pada contoh-contoh kasus di atas yang sebagian besar merupakan
bagian dari fasilitas tempat wisata yang dengan perancangan serius berwawasan topografis,
beberapa tempat menjadi tempat wisata yang mendatangkan banyak pengunjung dari seluruh
dunia.
Pengembangan konsep Arsitektur Topografis akan sangat bermanfaat untuk
mengembangkan desain yang “ramah” di lingkungan bentang alam sebagai tanggapan dari
segala isu kontroversi pengembangan arsitektur di bentang alam pada beberapa daerah di
Indonesia. Kekurangan pengetahuan dalam menentukan sikap mendesain, praktis membuat
arsitektur tidak bersinergi dengan alam, justru membawa kerusakan seperti yang terjadi pada
perkembangan pembangunan villa di Puncak, Bogor, yang tidak tanggap lingkungan.
“Banyaknya villa yang dibangun orang-orang kaya di kawasan Puncak mengakibatkan
pencemaran udara makin tinggi. Pembangunan villa berskala besar ini mengakibatkan
kerusakan hutan dan konservasi alam” Suarakaryaonline 2009.

Hal ini terjadi karena

kurangnya ilmu pengetahuan tentang mendesain di bentang alam dan tidak adanya upaya
untuk mensinergikan antara aset bentang alam dengan konsep desain arsitektur.
Arsitektur Topografis memberikan peluang untuk menyejajarkan pengembangan
arsitektur dalam hal peningkatan potensi bentang alam dengan metoda desain yang tidak
merusak. Oleh karena itu, merupakan suatu tanggung jawab bersama untuk para arsitek masa
kini mengembangkan pemikiran dari Arsitektur Topografis guna pelestarian bentang alam
dan pengembangan artikulasi perancangan arsitektur.

12

DAFTAR PUSTAKA
Walker, Peter, 1989, Ladscape as an Art. Tokyo: Process Architecture Publishing Co, Page
106-108
Frampton, Kenneth, 2007, Modern Architecture A Critical History Fourth Edition. London:
Thames and Hudson Inc, Page 346-356
McHarg, Ian L, 1992, Design With Nature. Canada: John Wiley & Sons Inc, Page 1-5
Website:
http://architecturegirl.files.wordpress.com/2007/02/liuanigresidence.jpg, diakses tanggal 10
Desember 2009
http://www.pushpullbar.com/forums/architects-designers/3874-usa-peter-walkerpartners.html diakses tanggal 10 Desember 2009
http://www.jsa.no/processed_geometries/documents/liasanden_lang diakses tanggal 10
Desember 2009
http://www.werkstatt-stadt.de/en/projects/12/ diakses tanggal 10 Desember 2009
http://www.pwpla.com/prj_project_details.php?prjid=37, diakses tanggal 21 Desember 2009
http://en.urbarama.com/project/mountain-roads-project-liasanden-stop-point, diakses tanggal
21 Desember 2009
http://www.galinsky.com/buildings/awaji/index.htm, diakses tanggal 21 Desember 2009
http://www.0lll.com/archgallery2/ando_awaji/, diakses tanggal 21 Desember 2009
http://www.floornature.com/progetto.php?id=4166&sez=30, diakses tanggal 21 Desember
2009
http://www.euromuse.net/en/museums/museum/view-m/museo-nacional-y-centro-deinvestig/?sprache=2&ZURID=8, diakses tanggal 21 Desember 2009
http://museodealtamira.mcu.es/ingles/exposicion_museo_00.html, diakses tanggal 21
Desember 2009
http://www.ducciomalagamba.com/imagenes.php?IdProyecto=228&Nom_Imagen=017228.jpg&Idioma=En&IdImagen=6242, diakses tanggal 21 Desember 2009
http://www.kiwicollection.com/property/commune-by-the-great-wall-kempinski, diakses
tanggal 21 Desember 2009
http://www.communebythegreatwall.com/en/design/channel/design_385.shtml, diakses
tanggal 21 Desember 2009

13