Sikap Daulah islam Terhadap Non Muslim

SIKAP DAULAH ISLAM TERHADAP NON MUSLIM1
Oleh : Fadh Ahmad Arifan2

Tak terasa pelajaran fikih di MA Muhammadiyah 2 Malang (kelas XII) sudah
masuk ke pembahasan tentang bagaimana sikap Daulah islam terhadap non Muslim.
Yang sering didengar lewat berbagai ceramah, bedah buku maupun perkuliahan fikih
siyasah adalah Kafir Dzimmi dan Kafir Harbi. Kafir Harbi sudah jelas bagaimana sikap
negara kepada kafir yang mengganggu syiar Islam dan kedamaian umat. Daulah islam
harus bersikap tegas, boleh memeranginya dengan seluruh kekuatan militer yang ada.
Terhadap kafir Dzimmi, hak hukum dan pendidikan untuk mereka tidak jauh
berbeda dengan Muslim. Walau mereka itu jinak alias tidak jahat, dalam bidang politik
mereka tidak bisa masuk ke dalam Dewan syuro bahkan menjadi menteri, amir
(Gubernur), kepala badan Intelijen dan Penanggungjawab zakat dan wakaf. Pasalnya
untuk mengisi jabatan strategis di dalam struktur Daulah islam selain syaratnya berilmu,
sehat jasmani dan dewasa, ia harus seorang Muslim.
Di bidang kemiliteran, mereka dibebaskan dari program wajib militer atau yang
dalam istilah lain disebut “bela negara”. Akan tetapi boleh direkrut menjadi pasukan elit
seperti yang terjadi pada masa Sultan Orkhan dari Dinasti Turki Usmani. Ia membentuk
pasukan yang diberi nama “Inkissyariah/Janissary”. Pasukan Janissary ini berasal dari

1

2

Artikel ini telah dimuat di buletin Uswatun hasanah edisi 27 Oktober 2017
Penulis adalah alumni Jurusan Studi ilmu agama Islam di Pascasarjana UIN Malang. WA 085330040043

anak-anak non muslim. Mereka dilatih seni perang dan militer dalam nuansa Islam.
Pasukan Janissary digambarkan seperti sebuah mesin perang yang siap bertempur kapan
dan dimana saja. Tak heran pasukan Janissary ini sangat ditakuti oleh orang-orang
Byzantium (Sucipto, Kebijakan Militer Sultan Orkhan Pada Masa Dinasti Turki
Utsmani 1327-1360 M, Pascasarjana UIN Yogyakarta, hal 3-4).

Jika ditemukan seorang Muslim membunuh kafir Dzimmi, maka tetap dijatuhi
qisas. Wali orang yang terbunuh ini tidak memiliki khiyaar untuk memberi ampunan

(Sa’di Abu habieb, Ensiklopedi Ijmak, Pustaka Firdaus, hal 371). Begitu pula jika
ditemukan seorang Muslim merusak peternakan babi milik Dzimmi, wajib ia
menggantinya. Harap diingat, Hukum islam tetap berlaku bagi mereka (dzimmi) dalam
kasus pencurian, perzinahan dan jizyah.
Mengenai jizyah, pemerintah Daulah islam hanya wajib memungut dari
kalangan pria merdeka dan berakal. Wanita, anak-anak dan hamba sahaya tidak wajib

dipungut. Karena mereka kalangan yang berada dalam tanggungan orang lain.
Penentuan besaran pungutan jizyah, tergantung hasil ijtihad pemerintah Daulah islam.
Imam syafi’I berpendapat jumlah terendah adalah satu dinar. Tidak boleh kurang dari
jumlah satu dinar itu (Imam al-Mawardi, Hukum Tata negara dan Kepemimpinan
dalam Takaran islam, hal 279-280). Semisal kafir dzimmi tadi kondisinya fakir

sehingga tak mampu membayar jizyah, Daulah islam perlu memberi subsidi untuk
mereka yang diambilkan dari baitul Mal (kas negara). Daulah islam dilarang keras
memeras mereka (Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik umat terbaik, hal 142-143).
Sebetulnya selain dua jenis non Muslim diatas, masih ada istilah kafir
Musta'man. Ia adalah seorang non Muslim yang minta suaka politik (perlindungan).
Daulah islam wajib melindungi keselamatannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah

swt: “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum

yang tidak mengetahui.” (QS: At-Taubah ayat 6).
Terakhir adalah kafir Mu'ahad, ia adalah seorang non Muslim yang melakukan
komitmen atau perjanjian damai (gencatan senjata) atau yang menjalin persahabatan

antar negara. Pemerintah Daulah islam harus melindungi eksistensinya selama
perjanjian yang ia buat tak menyalahi ketentuan Syariat. Sesuai firman Allah swt :
“orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka)
dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak

(pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang

yang bertakwa”. (QS. At-Taubah ayat 4).
Bila ada Muslim yang berani mengganggu Kafir Mu’ahad, apalagi sampai
menghilangkan nyawanya, bisa dipastikan ia takkan mencium bau surga. “barangsiapa
membunuh satu jiwa mu’ahad, yang dia memiliki jaminan Allah, dan jaminan RasulNya, maka sungguh dia telah berkhianat terhadap jaminan Allah, maka dia tidak akan
mencium baunya surga, dan bahwa baunya benar-benar didapat dari jarak perjalanan
tujuh puluh tahun”. (HR. Ibnu majah). Lain halnya jika kalangan kafir Mu’ahad itu

mulai menampakkan sikap atau gelagat permusuhan dan peperangan dengan umat
Islam, saat itu status mereka berubah menjadi kafir yang boleh diperangi (Imam alMawardi, Hukum Tata negara … hal 284). Wallahu’allam