Peran Serta Pemerintah Daerah dalam Peng

Peran Serta Pemerintah Daerah dalam Pengentasan Kemiskinan Pasca
Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Oleh: Kodrat Wibowo1
Disampaikan dalam seminar umum dalam rangka Dies Natalis Unpad, 3 Agustus, 2004
I. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menyebabkan
peningkatan pada pendapatan perkapita masyarakat yang berkesinambungan dalam
jangka panjang. Definisi ini sudah menjadi pengertian umum dalam arti kata sudah
disetujui oleh kalangan yang tidak hanya terbatas pada lingkungan akademisi ataupun
birokrasi.2 Dengan berdasarkan pada GBHN, dengan ketetapan MPR No. II Tahun 1988,
pembangunan ekonomi nasional memiliki tujuan akhir pada usaha menciptakan suatu
tatanan masyarakat adil dan makmur yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat, dengan kata lain bahwa kunci keberhasilan dari sebuah tujuan pembangunan
ekonomi adalah pembangunan yang juga berfokus pada masalah pemerataan (equity)
selain tingkat pertumbuhan atau peningkatan ekonomi yang cepat.
Memang tidaklah mudah untuk meyelaraskan kegiatan pembangunan dengan dua fokus
utama (tingkat pertumbuhan yang tinggi dan distribusi pembangunan yang merata) yang
secara skala oportunitis sebenarnya saling trade off satu sama lainnya karena adanya
kendala anggaran.3 Masalah kesenjangan hasil pembangunan adalah salah satu penyebab
dari adanya kemiskinan. Kesenjangan ekonomi ini juga telah lebih jauh menjadi
kesenjangan sosial. Sagir (1996) berargumen bahwa kesenjangan sosial ini dimulai oleh

adanya pertumbuhan pendapatan yang jauh lebih cepat pada golongan pendapatan
menengah dan tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan pada golongan
pendapatan rendah (miskin). Kesenjangan ini di Indonesia kian melebar seiring
perjalanan waktu yang menurut penulis diperparah juga oleh kebijakan pembangunan
pemerintah Indonesia di era pasca krisis moneter yang kian lama semakin berfokus pada
pemulihan perekonomian nasional yang notabene lebih tendensius pada keinginan untuk
1

Staf Pengajar dan peneliti Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadaran Jurusan IESP, sekarang menjabat
sekretaris LP3E-FE Unpad.
2
Definisi ini dijelaskan lebih mendetail dalam Hirshman (1996)
3
Fenomena ini dikenal dengan Hipotesa Kuznet dalam bidang ilmu ekonomi pembangunan

1

kembali pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat seperti halnya terjadi pada masa
pra krisis moneter.
Selama beberapa dasawarsa berbagai kemajuan telah dilakukan dalam mendesain dan

menerapkan berbagai kebijakan serta membangun suatu struktur insentif dan
kelembagaan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Kemajuan ini disebabkan karena
sudah makin jelasnya definisi tentang kemiskinan. Dibandingkan dengan konsep
kemiskinan yang tradisional (absolute poverty), pengertian tentang definisi kemiskinan
telah sangat lebih baik (relative poverty)4.
Indonesia telah mengalami banyak perubahan mendasar dalam sistem antar
pemerintahannya sejak diberlakukannya otonomi daerah dan sistem fiskal yang lebih
terdesentralisasi. Pada bulan Mei 1999, dua buah undang-undang yang sangat penting
tentang otonomi daerah dan desentralisasi telah disetujui oleh DPR, yaitu UU No. 22/
1999 tentang kewenangan pemerintan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah dengan dua dasar
hukum ini sekarang memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan
barang dan jasa publik yang sebelumnya lebih banyak disediakan oleh pemerintah pusat
lewat badan kementerian.5
Rao (1995) mengutarakan bahwa strategi pengentasan kemiskinan memiliki 4 unsur yang
harus ada: (i) Sangatlah penting untuk mampu mengidentifikasi karakteristik dari
kelompok masyarakat miskin (identifying); (ii) Sangatlah penting untuk mengerti alasanalasan dan penyebab dari kemiskinan tersebut (understanding); (iii) desain yang jelas
dari serangkaian kebijakan dalam usaha perbaikan dari standar hidup masyarakat yg
digolongkan sebagai miskin (designing); dan terakhir adalah (iv) impelementasi dari
kebijakan-kebijakan yang telah didesain haruslah efektif dan efisien secara biaya dimana

pembuat kebijakan haruslah mengeluarkan kebijakan komplemen guna mengawasi
4

Dalam konsep relative poverty, masyarakat yang memiliki pendapatan yang rendah namun mampu
memenuhi kebutuhan hidup minimumnya tidaklah digolongkan pada masyarakat miskin
5
Kodrat Wibowo, “Lessons from Previous Taxes’ Studies to Indonesian Lokal and Regional Geovernment
after Fiskal Decentralization”, Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan, Vol. III No. I, 2004

2

jalannya kebijakan pengentasan kemiskinan yang sudah diimplementasikan
(implementing and monitoring).
Dikaitkan dengan program pengentasan kemiskinan, desentralisasi fiskal dapat berperan
dalam berbagai jalan. Salah satu jalan yang paling dapat dirasakan adalah kemampuan
dari pemerintah daerah dalam mengurangi biaya informasi dan transaksi dalam
mengidentifikasi kelompok sasaran program penyediaan jasa dan barang publik. Oates
(1999) menyimpulkan bahwa dalam perekonomian dengan perbedaan yang nyata pada
variasi preferensi antar daerah, dan tidak adanya standar dalam lingkup skala ekonomi,
penyedian barang dan jasa publik yang didesentralisasikan akan meningkatkan efisiensi

penyediaan jasa dan barang publik dan pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran
sosial. Jalan lainnya adalah lewat adanya kompetisi antar daerah dan mekanisme politik
dan legislative yang lebih mewakili suara rakyat yang berdomisili di daerah (lokal
resident) dalam menghasilkan warna preferensi untuk penyediaan barang dan jasa publik
yang efektif dan efisien secara biaya.6 Bird (1993) mengemukakan bahwa pemerintahan
yang merakyat dalam artian mempehatikan suara rakyat pada prinsipnya akan mampu
menyediakan barang dan jasa publik dengan lebih efisien dan efektif dibandingkan bila
penyediaan barang dan jasa publik yang terpusat, dengan kondisi bahwa ada perimbangan
kewenangan dan perimbangan sistem fiskal pusat-daerah yang jelas dan terarah.
Walaupun diakui bahwa tugas pendistribusian pendapatan yang merata merupakan
tanggung jawab dari pemerintah pusat namun telah banyak studi-studi yang mempelajari
akan pentingnya peran pemerintah daerah dalam implementasi strategi pengentasan
kemiskinan (Pauly, 1971, Ladd dan Doolitle, 1982, Brown dan Oates (1987). Dengan
telah berjalannya desentralisasi fiskal di Indonesia, bila tugas dari pengentasan
kemiskinan tetap merupakan tugas dari pemerintah pusat dan dimungkinkan adanya
peran penting pemerintah daerah dalam mendesain dan mengimplementasikan beberapa
elemen penting dalam strategi program pengentasan kemiskinan, maka kapasitas
pemerintah daerah untuk membiayai beberapa program dari anggarannya sendiri akan
makin terbuka lebar.
6


penjelasan detail tentang kaitan antara efisiensi penyediaan barang dan jasa publik dengan kompetisi antar
daerah dijelaskan dalam Breton (1996)

3

Selanjutnya makalah ini akan menelaah beberapa hasil studi empiris dalam melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Bagian III akan menganalisa desain
kebijakan yang cocok dalam usaha pengentasan kemiskinan dalam kerangka
perimbangan kewenangan dan keuangan pemerintah pusat-daerah pasca desentralisasi
fiskal di Indonesia. Bagian terakhir adalah kesimpulan dari pengentasan kemiskinan
pasca desentralisasi fiskal di Indonesia.
II. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan
II.1 Studi tentang Kemiskinan di Indonesia
Prapto Yuwono, 1997
Yuwono (1997) dalam studinya menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia
selain dipengaruhi oleh lambatnya laju pertumbuhan pada PDRB, juga sangat
dipengaruhi oleh tingkat kepadatan penduduk, tingkat pendidikan pekerja, dan tingkat
enterpreneurship. Dengan pendekatan cross sectional analysis di 27 propinsi Indonesia
pada tahun 1995 dan indeks Gini sebagai variable mewakili tingkat kemiskinan, Yuwono

(1997) juga menyimpulkan bahwa terdapat tiga masalah struktural yang harus dibenahi
dalam usaha penanggulangan kemiskinan, yaitu: struktur kependudukan, struktur
pendidikan, dan struktur ketenagakerjaan.
Nurimansyah Hasibuan (1993)
Sama halnya dengan Prapto Yuwono, Hasibuan (1993) melakukan studinya dengan dasar
bahwa studi dan penelitian tentang kemiskinan yang ada lebih banyak berkutat pada
analisis indicator distribusi pendapatan yang terlihat namun tidak berfokus pada analisa
pada faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan distribusi pendapatan itu sendiri.
Dengan menggunakan dua variable yang mewakili distribusi pendpatan yaitu
pengeluaran yang dilakukan kelompok 40% penduduk berpenghasilan rendah (POPI) dan
pengeluaran rata-rata kelompok tertinggi dengan yang terendah kemudian dibagi dengan
pengeluaran rata-ratanya (RAGI), Hasibuan (1993) melakukan studinya pada 24 propinsi
di Indonesia pada tahun 1975-1976.

4

Hasibuan (1993) memiliki kesimpulan yang sama dengan Yuwono (1997) bahwa terdapat
tiga masalah struktural yang harus dibenahi dalam usaha penanggulangan kemiskinan,
yaitu: struktur kependudukan, struktur pendidikan, dan struktur ketenagakerjaan. Namun
diindikasikan pula bahwa tingkat kesehatan mempunyai kecenderungan pengaruh yang

negatif terhadap tingkat kesenjangan distribusi pendapatan.7
Dwight Y. King dan Peter D. Weldon (1976)8
Dengan menggunakan indeks gini, data Susenas, Survey Biaya Hidup, dan criteria World
Bank tentang kemiskinan, King dan Weldon (1976) melakukan studi tentang kesenjangan
distribusi pendapatan di daerah perkotaan pulau Jawa, Indonesia dari tahun 1963 sampai
dengan 1970. Mereka menyimpulkan bahwa secara menyeluruh lokasi kegiatan ekonomi
yang terlalu dipusatkan (centralized) telah memperbesar ketidakmerataan distribusi
pendapatan. Walaupun bila dibandingkan dengan criteria World Bank pada masa itu,
tingkat kesenjangan ini masih berada pada batas toleran, dimana 40% dari penduduk
perkotaan dengan pendapatan yang paling rendah masih memperoleh bagian dari
pendapatan total daerahnya diatas 17%. Jakarta merupakan kota satu-satunya yang
menunjukkan kecenderungan adanya ketimpangan yang mulai rawan (moderate
inequality) karena 40% dari penduduknya yang memiliki pendapatan yang paling rendah
masih memperoleh bagian dari pendapatan total daerahnya paling rendah (15.7%).
Kelemahan dari studi ini memang sangat jelas dimana ruang lingkupnya hanya dibatasi
pada wilayah perkotaan di pulau Jawa tanpa melihat wilayah pedesaan dan wilayah
perkotaan dan pedesaan di luar Jawa.

II.2 Studi tentang Kemiskinan di Tingkat Internasional
Jose W. Rossi (1981)


7

Hasil estimasi yang tidak signifikan dari variable tingkat kesehatan ini namun mempunyai tanda koefisien
yang konsisten dimana daerah-daerah dengan ratio penduduk dan jumlah dokter yang tinggi mengakibatkan
distribusi pendapatan yang semakin senjang.
8
Dalam literatur Gemmel, Norman, Ilmu Ekonomi Pembangunan (beberapa Survey), (terjemahan oleh
Nirwono), Cetakan Pertama, PT. Pustaka LP3ES, 1992

5

Dengan menggunakan pool data analysis di 10 daerah Negara Brazil dari tahun 1970
sampai dengan 1974, Rossi (1981) mencoba menjelaskan fenomena kemiskinan di Brazil
dimana variable kemiskinan diwakili oleh 4 jenis variable diantaranya indeks
ketidakmerataan Theil. Disimpulkan bahwa faktor fiskal yaitu pendapatan masyarakat,
pajak penghasilan daerah, pajak pusat untuk badan usaha, serta pilihan untuk hidup
sendiri merupakan faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi besarnya kesenjangan
pendapatan. Hipotesa Kuznet tentang trade off antara ketidakmerataan dan pertumbuhan
ekonomi dalam studinya dapat dibuktikan oleh Rossi terjadi di Brazil.

Robert Repetto (1978)
Fokus utama dari studi yang dilakukan Repetto (1978) adalah menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kemiskinan (dalam hal ini diwakili oleh indeks Gini) di 68
negara pada tahun 60-an dengan metode OLS dan TSLS untuk mengetahui juga
hubungan endogeneity antara tingkat kemiskinan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor utama yang ditampilkan adalah aspek kependudukan yaitu
tingkat fertility, mortality, dan female literacy. Sebagai control variable studi ini
mengikutsertakan pula variable sirkulasi media massa dan pendapatan per kapita.
Disimpulkan bahwa terjadi hubungan timbal balik antara tingkat kemiskinan dan faktorfaktor yang menjadi variable penjelasnya. Secara umum semua variable penjelas yang
digunakan secara signifikan memang mempengaruhi tingkat kemiskinan.
II.3 Pelajaran dari Studi-studi Terdahulu tentang Kemiskinan
Dengan mengacu pada hasil-hasil studi empiris di tingkat internasional maupun nasional,
jelas terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah
masalah-masalah struktur kedaerahan, faktor demografis seperti kependudukan,
kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan merupakan bidang-bidang yang mulai harus
diupayakan pembiayaan dan desain programnya oleh masing-masing daerah di Indonesia
pasca Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah. Secara eksplisit, studi dari Repetto
(1981) jelas-jelas memperlihatkan pentingnya faktor fiskal daerah terhadap tinggi
rendahnya tingkat kemiskinan, pajak dan retribusi yang akhir-akhir ini dijadikan alat
untuk menggenjot penerimaan daerah (ada 1000 jenis pajak dan retribusi daerah baru


6

setelah tahun 1991)9 setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal dan OTDA secara
signifikan jelas-jelas menyebabkan tingkat kesenjangan yang semakin lebar, dan pada
akhirnya akan menyebabkan tingkat kemiskinan yang semakin tinggi bila tidak dikelola
dengan baik.
III. Kebijakan Publik dan Pengentasan Kemiskinan
III.1. Strategi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Menurut Ahluwalia (1990) dan Bhagwati (1988), kebijakan dalam usaha pengentasan
kemiskinan terbagi atas dua strategi. Strategi pertama adalah kebijakan dengan fokus
percepatan pertumbuhan dan pengaliran langsung dari manfaat pembangunan pada
kelompok masyarakat miskin. Menurut keduanya, negara-negara yang mengutamakan
pertumbuhan ekonominya lewat sektor publik, industri berat yang menekankan importsubstitution harus menerima resiko bahwa pertumbuhan ekonominya akan cenderung
lebih lambat bila harus pula berfokus pada usaha pemerataan distribusi pendapatan.
Dilain pihak, negara-negara yang mendasarkan pertumbuhan ekonomi lewat ekonomi
pasar (market oriented) terbukti memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
dengan resiko bahwa dalam jangka pendek akan mengalami kesulitan dalam usaha
pemerataannya. Karenanya pemerintah pusat dan daerah Indonesia harus mampu meramu
sebuah strategi kebijakan pembangunan yang tidak hanya public oriented namun juga

market oriented. Penulis berpendapat bahwa pemerintah pusat dalam hal ini dapat
membagi kewenangannya dengan pemerintah daerah dalam menentukan orientasi
kebijakan pembangunannya. Sebagai penentu utama dalam mengatasi masalah
kesenjangan pendapatan pemerintah pusat dapat menjadi pihak yang lebih menjalankan
kebijakan-kebijakan pembangunan publik oriented seperti program agroindustri, land
reform dan lain-lain, sedangkan pemerintah daerah lebih diberi wewenang untuk lebih
berorientasi pada kebijakan pembangunan daerah yang market oriented pada alokasi
sumber daya seperti industrialisasi, kemudahan investasi dan lain-lain . Pembagian ini
dapat dilakukan secara bergantian lewat penentuan rencana strategis jangka pendek,
menengah, dan panjang.

9

Kodrat Wibowo ibid.

7

Strategi kedua adalah kebijakan yang langsung berusaha mengentaskan kemiskinan lewat
penyediaan konsumsi yang menjadi hak-hak bagi kelompok masyarakat miskin dengan
fokus redistribusi pendapatan terhadap masyarakat miskin. Dreze (1990) menunjukkan
bahwa akses pada jasa-jasa publik seperti kesehatan, pendidikan dengan sasaran
kebijakan yang langsung mengentaskan kemiskinan secara significan dapat memperbaiki
kualitas masyarakat miskin lewat penurunan tingkat buta huruf, kematian bayi, dan
tingkat perkawinan usia muda. Kebijakan-kebijakan ini sudah mulai dilakukan di
Indonesia lewat adanya penetapan upah minum regional (UMR), himbauan untuk
wirausaha dan bantuan usaha kredit kecil-menengah bagi pengusaha dari kelompok
masyarakat pedesaan yang menurut konsep tradisional merupakan kantong-kantong
kemiskinan. Penulis berpendapat bahwa pendekatan strategi seperti ini tanpa adanya
kejelasan dari perangkat hukum tidak akan menghasilkan dampak pengentasan
kemiskinan yang optimal. Lebih lanjut diperlukan suatu sistem sosial security yang
terpisah dari kebijakan-kebijakan yang langsung mengentaskan kemiskinan. Ditambah
lagi dengan fakta bahwa strategi ini didasarkan adanya pemikiran bahwa kantong
kemiskinan ada di daerah pedesaan. Fakta yang ada sekarang jelas memperlihatkan
bahwa dengan konsep relative poverty, justru tingkat kemiskinan di daerah perkotaan
sangatlah memprihatinkan. Bukti-bukti kasat mata seperti tumbuhnya slump-area dan
tingkat kriminalitas tinggi di daerah perkotaan mengindikasikan bahwa tingkat
kemiskinan di daerah perkotaan adalah masalah actual yang perlu diperhatikan.
III.2 Peranan Sumber Daya Manusia (SDM)
Dalam usaha pengentasan kemiskinan, peran dari sumber daya manusia (human capital)
sangatlah penting. Hal ini ditunjukkan oleh banyak studi dan literature bagaimana
pentingnya peranan sumber daya manusia dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sebuah negara atau daerah (Kodrat, 1999, Kondonasis, 1990, dan Todaro, 1996). Anand
dan Ravalion (1993) menunjukkan bahwa pengaruh SDM dalam pengentasan kemiskinan
dapat dilakukan lewat 3 cara: (i) pembentukan kemampuan dan kecakapan SDM lewat
pertumbuhan ekonomi, (ii) pengembangan kemampuan dan kecakapan SDM lewat
pengurangan tingkat kemiskinan, dan (iii) pengembangan kemampuan dan kecakapan
SDM lewat jasa-saja sosial, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan produktivitas

8

masyarakat. Lebih lanjut dikategorikan bahwa cara pertama adalah growth-led security
sedangkan 2 cara terakhir adalah support-led security. Oleh karenanya dengan
mempertimbangkan hasil studi Anand dan Ravalion (1993), aspek pengeluaran dalam
anggaran belanja pemerintah pusat dan daerah dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan
bagi masyarakat miskin baik secara langsung lewat program subsidi dan bantuan
microfinance maupun tidak langsung lewat pengembangan SDM. Sekali lagi
diperlihatkan bahwa pasca desentralisasi fiskal, pemerintah pusat dan daerah di Indonesia
dapat lebih berkonsentrasi lewat perimbangan kewenangan dan keuangan-nya dalam
membiayai sektor-sektor publik yang penekanannya ada pada pengembangan SDM. Baik
secara langsung ataupun tidak, kebijakan pengeluaran sektor publik memiliki peran
penting dalam usaha pengentasan kemiskinan.
III.3 Peran Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Strategi Pengentasan Kemiskinan
III.3.1 Sistem Multi-Level Fiskal Pasca Desentralisasi Fiskal
Kebijakan Pengeluaran sektor publik memainkan peranan penting dalam usaha intervensi
anti kemiskinan. Intervensi ini dibuat lewat cara (i) mempengaruhi alokasi sumber daya –
lewat penyedian infrasruktur sosial dan fisik yang dapat mendorong pertumbuhan atau
transfer langsung dari hasil pembangunan terhadap masyarakat miskin; (ii) program
pembiayaan jangka pendek dalam penciptaan iklim kewirausahaan kesempatan berusaha
dan bekerja; (iii) menentukan objek sasaran subsidi pada kelompok masyarakat miskin.
Di Indonesia pasca desentralisasi fiskal, keputusan dalam pembuatan kebijakan
pengeluaran di sektor publik harus dilakukan dalam kerangka multi-level kebijakan. Bila
argumen yang digunakan adalah hanyalah bahwa kemiskinan diakibatkan oleh adanya
kegagalan sistem pasar (negative externalities), maka usaha pengentasan kemiskinan
merupakan tanggung jawab dari pemerintah pusat. Hal ini diperkuat pula oleh adanya
kemungkinan spill-over dari hasil usaha pengentasan kemiskinan di satu wilayah
yurisdiksi ke daerah-daerah yang menjadi subordinate-nya.10 Lagipula inisiatif dari
pemerintah daerah dalam usaha pengentasan kemiskinan hanya akan membebankan

10

Boadway dan Wildasin, 1984

9

penduduk lokal lewat pemungutan pajak yang tinggi guna membiayai program
kemiskinan tersebut.
Namun bila argumen diperluas dengan kenyataan bahwa pemerintah daerah adalah
pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyat, dengan kata lain mengetahui kekurangan
dan kelebihan potensi daerahnya sendiri, peranan pemerintah daerah dalam penyediaan
barang publik dan jasa akan lebih efektif dan efisien dibandingkan sistem yang terpusat.
Partisipasi pemerintah daerah dalam membiayai sebagian dari skema penyediaan barang
dan jasa publik guna mengentaskan kemiskinan akan meningkatkan akuntabilitas
pemerintahan dimata penduduk lokal disatu sisi dan tingkat pemerintahan di daerah
lainnya.
Dengan mengacu pada sistem pemerintahan federal di Amerika Serikat, terjadi devolusi
dari fungsi pengeluaran pada pemerintah daerah. Tanpa bermaksud untuk menerapkan
sistem ini di Indonesia, sangatlah pantas untuk pemerintah pusat serta kalangan
akademisi dan birokrasi di Indonesia untuk lebih jauh menyempurnakan dasar hukum
OTDA dan desentralisasi fiskal dalam menjelaskan dan menetapkan perimbangan
kewenangan dan keuangan dalam masalah usaha pengentasan kemiskinan lewat
penyediaan barang dan jasa publik yang bisa langsung diarahkan pada transfer langsung
kepada kelompok masyarakat miskin.
Memang tidaklah mudah merekomendasikan sebuah model desentralisasi yang efektif
dalam peranannya mengentaskan kemiskinan. Hal ini disebabkan banyak faktor seperti
ukuran besarnya sebuah negara, tingkat pembangunan ekonomi, sosial, keberagaman
etnis, dan kemampuan kelembagaan di daerah. Sistem desentralisasi di Indonesia dengan
berbagai pertimbangan historis dan aspek kebangsaan hanya menunjukkan bahwa
pemerintah daerah hanyalah agen dari pemerintah pusat. Berbeda dengan sistem devolusi
fungsi pengeluaran yang memungkinkan adanya cost-sharing sistem dalam berbagai
kebijakan pembangunan, dalam hal ini salah satunya adalah usaha pengentasan
kemiskinan.

10

III.3.2 Transfer antar Tingkat Pemerintahan
Walaupun jelas bahwa pemerintahan daerah akan lebih efektif dan efisien dalam
penyediaan barang dan jasa publik yang berkaitan dengan usaha pengentasan kemiskinan,
namun tidak dipungkiri bahwa pemerintah pusat tetaplah menjadi pusat pengumpulan
penerimaan yang paling besar mengingat wewenangnya dalam pemungutan pajak
penghasilan, penerimaan sisa hasil usaha BUMN, dan melakukan pinjaman luar negeri.
Hal ini menunjukkan tetap adanya fiscal imbalance secara vertical di tingkat
pemerintahan baik pra maupun pasca desentralisasi fiskal. Oleh karenanya dibutuhkan
suatu sistem perimbangan kewenangan yang dapat menyeimbangkan keuntungan
efisiensi dari comparative advantages tingkat daerah dengan kerugian efisiensi dari fiskal
imbalances. Lebih jauh dibutuhkan juga satu sistem transfer keuangan yang dapat
menutup imbalance antara penerimaan dan pengeluaran di tingkat pemerintah daerah
tanpa menyebabkan adanya lack dalam usaha memompa pendapatan asli daerah dan
kekhawatiran akan kondisi fiskal daerah (fiskal profligacy) yang bisa membahayakan
akuntabilitas pemerintah daerah.
Sistem transfer yang dilakukan dalam perimbangan keuangan pusat-daerah saat ini
terlihat lebih banyak ditentukan oleh negosiasi antara pemerintah daerah yang
mengusulkan usulan anggaran dengan pemerintah pusat tanpa adanya suatu formula
sistem transfer yang mudah dan bisa memprediksikan kebutuhan daerah secara otomatis.
Formula sistem transfer yang simpel ini tidak hanya akan memberikan insentif yang lebih
besar pada kemampuan pemerintah daerah dalam usaha penyediaan barang dan jasa
publik, namun juga dapat menghasilkan suatu efisiensi dari segi fairness dan hilangnya
biaya-biaya siluman yang timbul dari usaha negosiasi dan lobbying yang jelas terlihat
pada kondisi pasca desentralisasi saat ini. Selanjutnya sistem transfer ini harus dapat
dipertanggungjawabkan secara transparan supaya timbul suatu kepercayaan dan rasa
percaya diri dari pemerintahan daerah.Metode yang dapat digunakan dalam penyusunan
formula sistem transfer ini dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode termudah
adalah memberikan transfer dengan dasar besaran deficit anggaran tertimbang dan
ketidakmampuan dalam pemenuhan biaya faktor produksi dalam menjalankan
pemerintahan. Ahmad (1998) dalam studinya mengusulkan metode transfer dimana

11

transfer dihitung dengan dasar perbedaan antara berapa pengeluaran yang harus
disediakan satu provinsi untuk satu tungkat penyediaan barang dan jasa publik dalam
usaha pengentasan kemiskinan dengan penerimaan yang bisa diterima pada suatu tingkat
tax effort tertentu.
Selain formula sistem transfer yang secara umum dapat dilakukan, diperlukan juga
adanya suatu sistem transfer yang didasarkan pada satu tujuan tertentu (specified
purpose). Tiap daerah mempunyai kebutuhan yang berbeda dan tentunya kemampuan
berbeda dalam banyak hal fiskal terutama dalam menjalankan program pengentasan
kemiskinan. Daerah yang kaya akan sumber daya akan lebih mampu mengumpulkan
penerimaan dengan lebih banyak dan dapat melaksanakan program pengentasan
kemiskinan dengan lebih efektif dibanding daerah yang relatif lebih miskin (fiscal
imbalance secara horizontal). Suatu sistem matching-grant yang “mumpuni” haruslah
disusun dimana matching rate tersebut berbeda-beda di tiap daerah. Hal ini disebabkan
permintaan dan kebutuhan daerah akan jasa dan barang publik seperti pendidikan dasar,
kesehatan, ataupun program lain yang secara langsung ditujukan untuk mengentaskan
kemiskinan tergantung pada elastisitas dari harga/biaya serta elastisitas pendapatan di
daerah tersebut.
IV. Kesimpulan
Dari analisa yang telah disampaikan terlihat bahwa usaha pengentasan kemiskinan bukan
saja merupakan fungsi dari redistribusi pendapatan. Lebih jauh lagi usaha pengentasan
kemiskinan ini meliputi juga usaha perbaikan dalam kapasitas dan kebijakan safety net
yang diaplikasikan dalam usaha penyediaan barang dan jasa publik pada masyarakat
umum secara luas dan masyarakat miskin secara spesifik.
Kemiskinan selain dipengaruhi oleh adanya kesenjangan dalam distribusi pendapatan
juga dipengaruhi oleh aspek-aspek demografis, iklim investasi, pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat yang kesemuanya berujung pada usaha meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dan akses untuk jasa-jasa sosial. Oleh karenanya kebijakan pengeluaran
fiskal harus berperan penting. Pada era pasca desentralisasi peranan pemerintah daerah

12

akan lebih besar dan mungkin menjadi beban bagi pemerintah daerah dalam menjalankan
roda pemerintahannya.
Dengan sistem pemerintahan multi-level seperti sekarang ini prinsip kerjasama ala sistem
federalis merupakan salah satu jalan terbaik guna memberikan peran yang lebih besar
pada pemerintah daerah untuk ikut serta berperan dalam usaha pengentasan kemiskinan
yang lebih efektif dan efisien. Kewenangan yang lebih besar pada pemerintah pusat
dalam masalah pemerintahan dan keuangan dalam kondisi saat ini menyebabkan
pemerintah pusat harus bertanggung jawab pada usaha mencari sumber pembiayaan
untuk program pengentasan kemiskinan. Dilain pihak, pemerintah daerah hanya bisa ikut
serta dalam pembuatan desain kebijakan dan implementasinya sebagai tingkat
pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyatnya, dan mengetahui secara lebih baik
tentang segala potensi dan masalah di daerahnya sendiri. Oleh karenanya dibutuhkan
suatu formula sistem transfer yang dapat menanggulangi ketidakmampuan fiskal
pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya mengentasan kemiskinan baik dalam
aspek umum maupun spesifik. Dengan sistem transfer ini, daerah yang relative miskin
akan dapat menyediakan infrastruktur fisik dan sosial pada suatu tingkat tertentu
dibandingkan daerah yang lebih kaya dengan tingkat tax rates yang relative tidak
berbeda. Kondisi wealth neutrality yang diharapkan akan tercapai oleh semua golongan
masyarakat dari berbagai program pengentasan kemiskinan membutuhkan suatu sistem
cost-sharing yang memiliki unsur fairness antara pemerintah pusat dan daerah.

Daftar Pustaka
Ahluwalia, Montek S. (1990), “Policies for Poverty alleviation”, Asian Development
Review, Vol. 8 pp. 111-132.
Ahmad, E (1996), Financing Decentralizing Expenditures, Edward Elgar Publishers,
Cheltenham, U. K.
Anand, S and M. Ravallion (1993), “Human Development in Poor Countries: On the
Role of Private Incomes and Public Services”, Journal of Economic Perspectives.
Vol. 7, No.1, pp. 133-50.
Bhagwati, J (1988) Poverty and Public Policy, World Development, Vol. 16, No. 5.
13

P. 539-555.
Bird, R. M (1993), “Threading the Fiscal Labyrinth: Some issues in Fiscal
decentralization”, National Tax Journal, Vol. 46. (June), pp. 207-227
Boadway, Robin and David Wildasin (1984), Public Sektor Economics, Little Brown
Co., Boston.
Breton, Albert (1995), Competitive Governments, Cambridge University Press,
Cambridge.
Dreze, J (1990), “Poverty in India and IRDP Delusion”, Economic and Political
Weekly, Vol. 25, (September), pp. A95-104.
Gemmel, Norman, Ilmu Ekonomi Pembangunan (beberapa Survey), (terjemahan oleh
Nirwono), Cetakan Pertama, PT. Pustaka LP3ES, 1992
Hirschman, A.O., “The Strategy of Economic Development”, New Haven, Yale
University Press, 1996
Kodrat Wibowo, “Lessons from Previous Taxes’ Studies to Indonesian Lokal and
Regional Geovernment after Fiskal Decentralization”, Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan, Vol. III No. I, 2004, p. 25-40
Kodrat Wibowo, “Human Capital Improvement: The Key for the Success of Economic
Development”, Sosial Science Research Network Electronic Library, 1999
http://ssrn.com/abstract=156829
Ladd, H and F. C. Doolittle (1982), “Which Level of Government Should Assist the
Poor?” National Tax Journal, Vol. 35, pp.323-336
Nurimansjah Hasibuan, Pemerataan dan Pembangunan Ekonomi: Teori dan
Kebijaksanaan, Universitas Sriwijaya Press, 1993
Oates, Wallace, E (1999), “An Essay on Fiscal Federalism”, NBER working paper.
Prapto Yuwono, Distribusi Pendapatan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya:
Studi dengan Pendekatan Interregional, Dian Ekonomi, 1997
Rao, M. Govinda and A. Das-Gupta (1995), “Intergovernmental Transfers and
Poverty Alleviation”, Environment and Panning C: Government and Policy, Vol. 13,
No. 1, pp. 1-23.
Repetto, Robert, “The Integration of Fertility and the Size Distribution of Income”,
Journal of Development Studies, Vol. 14 No. 4, 1978
Rossi, Jose, W., “Income Distribution in Brazil: A Regional Approach”, Journal of
Development Studies, Vol. 2, No. 17, 1981
14

Suharsono Sagir, Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan
Sosial, Agustus, 1996
Todaro, Michael P. Economic Development in the Third World, New York & London
Longman, 1993

15