Gastrodiplomasi Indonesia Bukan Hanya Se (2)
Gastrodiplomasi Indonesia, Bukan Sekedar Jual Rendang di Luar Negeri!
Kecintaan terhadap kuliner membawa Saya untuk memaparkan beberapa riset sederhana
mengenai “studi makanan” itu sendiri. Latar belakang sebagai Sarjana Hubungan Internasional
membawa Saya untuk menelusuri keterkaitan kuliner dengan aspek diplomasi, hingga
menemukan sebuah konsep anyar bernama Gastrodiplomacy dari berbagai sumber online
maupun literatur dimana merunut keterkaitan mengenai kuliner dan bagaimana dampaknya
sebagai salah satu upaya diplomasi.
Gastrodiplomasi didefinisikan sebagai penggunaan umum dari kuliner dalam berbagai
kesempatan untuk mengomunikasikan budaya dalam konteks diplomasi publik dimana
menyangkut sejarah, filosofi dan etiket (Wilson,2012). Secara kontekstual dapat dimaknai
sebagai bagaimana sebuah kuliner menjadi alat atau instrumen untuk mencapai kepentingan
diplomasi itu sendiri. Namun tentunya, kuliner yang digunakan bukanlah kuliner sembarangan,
melainkan kuliner yang memiliki sejarah, filosofi maupun nilai-nilai yang mampu
merepresentasikan suatu negara yang melaksanakan gastrodiplomasi itu sendiri.
Lalu sebenarnya seberapa efektifkah gastrodiplomasi untuk menujang kepentingan suatu negara?
Dan seperti apakah implementasi konkritnya? Berdasarkan riset, beberapa negara telah
melaksanakan gastrodiplomasi sebagai bagian dari kebijakan strategisnya di bidang diplomasi,
misalnya saja Thailand dengan Global Thai Programnya, Korea Selatan dengan Kimchi
Diplomacy-nya, Taiwan dengan All in Good Taste: Savor the Flavors of Taiwan dan Peru
dengan Peruvian Culinary (Rockower,2012). Belum lagi beberapa negara yang memang sudah
memiliki sejarah dalam perjalanan kulinernya seperti Perancis dan Italia dimana memiliki posisi
kuat dalam budaya kulinernya. Bahwa dengan kuliner, negara-negara tersebut membangun
reputasinya secara global dan membentuk stigma mengenai kuliner lezat dan otentik yang
berasal dari negara-negara tersebut. Secara efektif, gastrodiplomasi mampu membangun nation
branding dan citra sebuah negara. Pembangunan stigma lewat gastrodiplomasi juga memberikan
efek domino terkait peningkatan sektor pariwisata suatu negara dimana kuliner menjadi salah
satu daya tarik utamanya.
Jangan berbicara mengenai pemasukan finansial maupun investasi yang berputar pada sektor ini.
Untuk Taiwan saja yang tergolong baru menerapkan kebijakan gastrodiplomasi, telah
menghasilkan sekitar NT$ 2 Milyar dalam investasinya baik di dalam maupun luar negeri atau
setara USD 63 Juta (Taiwan Today,2010) dalam implementasi pengembangan jumlah restoran di
luar negeri, tenaga ahli (chef), promosi maupun festival-festival kuliner. Jumlah yang fantastis
untuk sebuah investasi di bidang kuliner bagi negara yang tergolong baru dalam konteks
kebijakan gastrodiplomasi. Secara khusus, negara-negara diatas telah memiliki peraturan ataupun
undang-undang yang secara resmi dan detil dalam mengatur teknis maupun non-teknis terkait
kebijakan gastrodiplomasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri tercinta dengan potensi kekayaan kuliner yang terhampar
dari Sabang sampai Merauke ini belum menunjukkan keseriusannya dalam mambangun
kebijakan gastrodiplomasi. Memang beberapa waktu lalu kita mendapatkan kabar gembira
mengenai rendang yang berhasil menjadi makanan terlezat di dunia berdasarkan beberapa survei
kepada responden maupun netizen. Namun apakah negara ini telah mendapatkan manfaat dan
keuntungan yang optimal dari “Rendang” ini? Apakah Indonesia telah menjadikan
gastrodiplomasi sebagai kebijakan strategis diplomasi Kementrian Luar Negeri Indonesia itu
sendiri? Nampaknya masih jauh panggang dari api bila merujuk kepada pemaparan Rencana
Strategis Kementrian Luar Negeri Indonesia tahun 2014-2019 dimana tidak tercantum adanya
perencanaan mengenai strategi diplomasi publik secara teknis apalagi menemukan diksi
“gastrodiplomasi” di dalamnya. Mengutip RENSTRA KEMENLU 2014-2019 halaman 50.
Dalam Poin x. “Menggunakan diplomasi publik yang berkarakter soft power Indonesia melalui
kerja sama kebudayaan, pemberian beasiswa, people to people contact, jejaring diaspora
Indonesia.” (Rencana Strategis Kementrian Luar Negeri, 2014-2019)
Bahwa kemudian istilah mengenai Gastrodiplomasi Indonesia belum menjadi prioritas khusus
untuk penerapan diplomasi publik dalam rencana strategis yang dikemukakan. Kementrian Luar
Negeri cenderung abai terhadap potensi pengembangan kuliner dalam membangun nation
branding. Walaupun sudah banyak festival maupun acara kuliner yang dikemas dalam berbagai
parade kebudayaan Indonesia di luar negeri, namun tetap saja, belum ada peraturan atau undangundang khusus yang mengatur perlindungan, investasi, promosi dan langkah strategis dalam
mempromosikan kuliner Indonesia secara terstruktur. Potensi kuliner Indonesia berada dalam
manajemen yang tidak optimal dan tanpa regulasi yang jelas. Sehingga kuliner dan
gastrodiplomasi kerap kali menjadi fenomena yang dianggap tidak esensial.
Bila memang akan dicantumkan dalam perencanaan strategis Kementrian Luar Negeri,
Gastrodiplomasi Indonesia adalah kebijakan yang populer dan efektif untuk mewujudkan nation
branding secara massive secara global. Sebuah langkah untuk melindungi kekayaan kuliner
sekaligus memperkenalkannya ke seluruh dunia dalam mekanisme yang teratur baik untuk
kepentingan promosi maupun profit. Diharapkan ada langkah konkrit dalam pengembangan
program Gastrodiplomasi Indonesia.
Lalu sampai kapankah Indonesia berdiam diri dan mengabaikan segala potensi yang dimilikinya
untuk dikelola secara optimal? Atau kita hanya akan berpuas diri dengan hanya menjual rendang
di luar negeri?
Muhammad Faris Latief, S.H.Int
Sarjana Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
Kecintaan terhadap kuliner membawa Saya untuk memaparkan beberapa riset sederhana
mengenai “studi makanan” itu sendiri. Latar belakang sebagai Sarjana Hubungan Internasional
membawa Saya untuk menelusuri keterkaitan kuliner dengan aspek diplomasi, hingga
menemukan sebuah konsep anyar bernama Gastrodiplomacy dari berbagai sumber online
maupun literatur dimana merunut keterkaitan mengenai kuliner dan bagaimana dampaknya
sebagai salah satu upaya diplomasi.
Gastrodiplomasi didefinisikan sebagai penggunaan umum dari kuliner dalam berbagai
kesempatan untuk mengomunikasikan budaya dalam konteks diplomasi publik dimana
menyangkut sejarah, filosofi dan etiket (Wilson,2012). Secara kontekstual dapat dimaknai
sebagai bagaimana sebuah kuliner menjadi alat atau instrumen untuk mencapai kepentingan
diplomasi itu sendiri. Namun tentunya, kuliner yang digunakan bukanlah kuliner sembarangan,
melainkan kuliner yang memiliki sejarah, filosofi maupun nilai-nilai yang mampu
merepresentasikan suatu negara yang melaksanakan gastrodiplomasi itu sendiri.
Lalu sebenarnya seberapa efektifkah gastrodiplomasi untuk menujang kepentingan suatu negara?
Dan seperti apakah implementasi konkritnya? Berdasarkan riset, beberapa negara telah
melaksanakan gastrodiplomasi sebagai bagian dari kebijakan strategisnya di bidang diplomasi,
misalnya saja Thailand dengan Global Thai Programnya, Korea Selatan dengan Kimchi
Diplomacy-nya, Taiwan dengan All in Good Taste: Savor the Flavors of Taiwan dan Peru
dengan Peruvian Culinary (Rockower,2012). Belum lagi beberapa negara yang memang sudah
memiliki sejarah dalam perjalanan kulinernya seperti Perancis dan Italia dimana memiliki posisi
kuat dalam budaya kulinernya. Bahwa dengan kuliner, negara-negara tersebut membangun
reputasinya secara global dan membentuk stigma mengenai kuliner lezat dan otentik yang
berasal dari negara-negara tersebut. Secara efektif, gastrodiplomasi mampu membangun nation
branding dan citra sebuah negara. Pembangunan stigma lewat gastrodiplomasi juga memberikan
efek domino terkait peningkatan sektor pariwisata suatu negara dimana kuliner menjadi salah
satu daya tarik utamanya.
Jangan berbicara mengenai pemasukan finansial maupun investasi yang berputar pada sektor ini.
Untuk Taiwan saja yang tergolong baru menerapkan kebijakan gastrodiplomasi, telah
menghasilkan sekitar NT$ 2 Milyar dalam investasinya baik di dalam maupun luar negeri atau
setara USD 63 Juta (Taiwan Today,2010) dalam implementasi pengembangan jumlah restoran di
luar negeri, tenaga ahli (chef), promosi maupun festival-festival kuliner. Jumlah yang fantastis
untuk sebuah investasi di bidang kuliner bagi negara yang tergolong baru dalam konteks
kebijakan gastrodiplomasi. Secara khusus, negara-negara diatas telah memiliki peraturan ataupun
undang-undang yang secara resmi dan detil dalam mengatur teknis maupun non-teknis terkait
kebijakan gastrodiplomasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri tercinta dengan potensi kekayaan kuliner yang terhampar
dari Sabang sampai Merauke ini belum menunjukkan keseriusannya dalam mambangun
kebijakan gastrodiplomasi. Memang beberapa waktu lalu kita mendapatkan kabar gembira
mengenai rendang yang berhasil menjadi makanan terlezat di dunia berdasarkan beberapa survei
kepada responden maupun netizen. Namun apakah negara ini telah mendapatkan manfaat dan
keuntungan yang optimal dari “Rendang” ini? Apakah Indonesia telah menjadikan
gastrodiplomasi sebagai kebijakan strategis diplomasi Kementrian Luar Negeri Indonesia itu
sendiri? Nampaknya masih jauh panggang dari api bila merujuk kepada pemaparan Rencana
Strategis Kementrian Luar Negeri Indonesia tahun 2014-2019 dimana tidak tercantum adanya
perencanaan mengenai strategi diplomasi publik secara teknis apalagi menemukan diksi
“gastrodiplomasi” di dalamnya. Mengutip RENSTRA KEMENLU 2014-2019 halaman 50.
Dalam Poin x. “Menggunakan diplomasi publik yang berkarakter soft power Indonesia melalui
kerja sama kebudayaan, pemberian beasiswa, people to people contact, jejaring diaspora
Indonesia.” (Rencana Strategis Kementrian Luar Negeri, 2014-2019)
Bahwa kemudian istilah mengenai Gastrodiplomasi Indonesia belum menjadi prioritas khusus
untuk penerapan diplomasi publik dalam rencana strategis yang dikemukakan. Kementrian Luar
Negeri cenderung abai terhadap potensi pengembangan kuliner dalam membangun nation
branding. Walaupun sudah banyak festival maupun acara kuliner yang dikemas dalam berbagai
parade kebudayaan Indonesia di luar negeri, namun tetap saja, belum ada peraturan atau undangundang khusus yang mengatur perlindungan, investasi, promosi dan langkah strategis dalam
mempromosikan kuliner Indonesia secara terstruktur. Potensi kuliner Indonesia berada dalam
manajemen yang tidak optimal dan tanpa regulasi yang jelas. Sehingga kuliner dan
gastrodiplomasi kerap kali menjadi fenomena yang dianggap tidak esensial.
Bila memang akan dicantumkan dalam perencanaan strategis Kementrian Luar Negeri,
Gastrodiplomasi Indonesia adalah kebijakan yang populer dan efektif untuk mewujudkan nation
branding secara massive secara global. Sebuah langkah untuk melindungi kekayaan kuliner
sekaligus memperkenalkannya ke seluruh dunia dalam mekanisme yang teratur baik untuk
kepentingan promosi maupun profit. Diharapkan ada langkah konkrit dalam pengembangan
program Gastrodiplomasi Indonesia.
Lalu sampai kapankah Indonesia berdiam diri dan mengabaikan segala potensi yang dimilikinya
untuk dikelola secara optimal? Atau kita hanya akan berpuas diri dengan hanya menjual rendang
di luar negeri?
Muhammad Faris Latief, S.H.Int
Sarjana Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran