PRESENTASE PENETAPAN STATUS TERSANGKA OL

PENETAPAN STATUS TERSANGKA OLEH POLISI NEGARA REPUBLIK
INDONESIA YANG DIAJUKAN SEBAGAI ALASAN PRAPERADILAN
DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
(Studi Terhadap Putusan Nomor: 14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn-Praperadilan
Siwajiraja)

OLEH:
BARITA RAJA SIMARSOIT
140200479

BAB I
Latar Belakang
KUHAP sebagai landasan hukum peradilan pidana, membawa konsekuensi bahwa alat negara penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya dituntut untuk meninggalkan cara lama secara keseluruhan, baik dalam berfikir maupun bersikap
tindak, harus sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, terutama
terhadap mereka yang tersangkut dalam peradilan pidana. Untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar para
aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang
dinamakan Praperadilan.
Hakim yang mengadili perkara Praperadilan dalam pertimbangan hukumnya berpandangan bahwa pengaturan masalah sah
atau tidaknya penetapan tersangka dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana lain belum atau tidak jelas,
sehingga diperlukan interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan yang ada guna memperjelas apakah keabsahan

penetapan tersangka termasuk dalam wewenang praperadilan yang diatur dalam hukum positif Indonesia. Alasan ini tentu
sejalan dengan tujuan digunakannya interpretasi atau penafsiran dalam penemuan hukum, yaitu untuk menafsirkan
perkataan dalam undang-undang dengan tetap berpegang pada kata-kata/bunyi peraturannya, manakala suatu peristiwa
konkrit tidak secara jelas dan tegas dianut atau diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Atas hal tersebut, penetapan status tersangka yang diajukan sebagai alasan praperadilan menjadi sangat menarik untuk
diteliti lebih dalam. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
masalah tersebut menjadi sebuah skripsi yang berjudul:
“Penetapan Status Tersangka Oleh Polisi Negara Republik Indonesia Yang Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan
Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Putusan Nomor: 14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn-Praperadilan

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengaturan Hukum tentang Praperadilan Menurut
Hukum Di Indonesia?
2. Bagaimana Mekanisme Penetapan Status Tersangka didalam
Tindak Pidana oleh Polisi Negara Republik Indonesia?
3. Bagaimana Analisis Yuridis Penetapan Status Tersangka Yang
Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan?


Metode Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif
yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian
pustaka (library research) atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut
juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.

BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG PRAPERADILAN
MENURUT HUKUM DI INDONESIA
A. Pengaturan Praperadilan Menurut Hukum Acara Pidana Di Indonesia
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga yang
diperkenalkan KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP, ditempatkan
dalam BAB X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan
Negeri. Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri
sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu
kasus peristiwa pidana. Jika melihat istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “praperadilan” maka maksud dan
artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan disidang pengadilan. Berdasarkan Pasal 1 butir 10 j.o. Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, menjelaskan Praperadilan merupakan wewenang tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri.

Penyebab terjadinya upaya hukum Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia berdasarkan objek daripada
Praperadilan menurut Pasal 77 KUHAP, yakni:
1. Adanya Suatu Penangkapan Yang Tidak Sah
Mengacu kepada ketentuan yang diatur didalam Pasal 1 ayat (20) KUHAP yang menjelaskan bahwa:
“Penangkapan ialah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”.

2. Adanya Suatu Penahanan Yang Tidak Sah
Mengenai penahanan yang tidak sah dilakukan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang sesuai syarat
sahnya penahanan yakni:
a. Adanya dugaan keras sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup
b. Penahanan harus dilakukan dengan surat perintah atau penetapan
c. Penahanan hanya dapat dilaksanakan terhadap pelaku yang disebut didalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP mengatur
dan membuat perincian tindak pidana mana yang dibenarkan pelakunya dapat dikenakan penahanan, yakni: Tindak
pidana dan atau percobaan maupun pemberi bantuan yang ancaman hukumannya pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih & Melakukan atau percobaan maupun memberi bantuan terhadap tindak pidana.
d. Penahanan tidak melebihi masa penahanan, setiap aparat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan
hanya berwenang melaksanakan penahanan sesuai dengan batas maksimal yang diberi undang-undang kepada
instansi. Lewat batas maksimal penahanan yang telah diberikan undang-undang mengakibatkan tindakan penahanan

batal demi hukum dan dianggap sebagai tindakan penahanan yang tidak sah karena bertentangan dengan undangundang.
e. Penahanan tidak melampaui hukuman yang dijatuhkan, penahanan yang melampaui hukuman pemidanaan
dianggap merupakan penahanan tanpa alasan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang.
3. Ganti Rugi
Berdasarkan Pasal 95 ayat 1 KUHAP yang menjelaskan: “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti
kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”.
4. Rehabilitasi
Berdasarkan Pasal 97 ayat 3 KUHAP yang menjelaskan: “Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau

B. Kewenangan Hakim dalam Melaksanakan Praperadilan
Wewenang kehakiman mulai terlihat pada saat pemeriksaan pendahuluan. untuk melaksanakan suatu pemeriksaan
dalam praperadilan yaitu seperti yang diatur pada Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP. Selain itu dari pada kedua
Pasal terebut Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP yang juga menyatakan kewenangan Praperadilan. Untuk lebih
jelasnya disini akan dijelaskan secara lebih rinci, yaitu:
a. Wewenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan
Adalah kewenangan yang utama yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan yaitu memeriksa dan
memutuskan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan.
b. Wewenang memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Kewenangan lain dalam lingkup praperadilan adalah memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang

dilakukan oleh penyidik atau penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.
c. Wewenang memeriksa tuntutan ganti kerugian
Pengajuan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan, dapat dilakukan oleh pihak yang berhak sesuai dengan
Pasal 95 KUHAP dengan alasan karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah, atau penggeledahan atau
penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang
yang ditangkap, ditahan dan atau diperiksa.
d. Pemeriksaan tuntutan rehabilitasi
Rehabilitasi adalah hak sesorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan kedudukan dan harkat
serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 23 KUHAP).

Sedangkan kewenangan hakim dalam melaksanakan Praperadilan pada Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP yang
juga menyatakan antara lain:
1.

Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Praperadilan

Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan, menurut Pasal 79 KUHAP, permintaan tentang sah
atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua

Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alsannya.
2. Acara Pemeriksaan Praperadilan

Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) KUHAP Ketua Pengadilan Negeri menunjuk seorang hakim untuk memimpin
sidang praperadilan dengan dibantu oleh seorang panitera. Dalam waktu tiga (3) hari setelah diterimanya
permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang (Pasal 82 ayat (1) huruf (a) KUHAP) dan para pihak
dipanggil untuk menghadap pada sidang praperadilan yang telah ditentukan itu. Kemudian dilanjutkan dengan
agenda Hakim mendengarkan alasan permohonan praperadilan oleh Pemohon, dilanjutkan dengan pengajuan
jawaban oleh Termohon, balasan jawaban Pemohon terhadap Termohon (Replik), pemeriksaan saksi-saksi
beserta barang bukti yang diajukan oleh Pemohon dan Termohon dan masuklah pada agenda terakhir yakni
agenda putusan sidang praperadilan.
Sifat pemeriksaan praperadilan tercantum dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP menyebutkan bahwa acara
praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh (7) hari hakim sudah harus menjatuhkan
putusannya. Selanjutnya Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyebutkan bahwa dalam hal suatu perkara sudah
dimulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan
belum selesai maka permintaan tersebut gugur.
Setelah mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan pada tingkat penyidikan, dapat diajukan pada tingkat
penuntutan. Karena dalam Pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP disebutkan bahwa putusan praperadilan pada
tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat


3. Isi Putusan Praperadilan
Bahwa didalam Pasal 82 ayat (2) KUHAP disebutkan putusan adalah acara pemeriksaan
praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, amar putusan
penetapan praperadilan dapat berupa pernyataan yang berisi:
a. Sah atau tidaknya Penangkapan atau Penahanan
b. Sah atau tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penuntutan
c. Diterima atau ditolaknya Permintaan Ganti Kerugian Atau Rehabilitasi
d. Perintah Pembebasan dari Tahanan
e. Perintah Melanjutkan Penyidikan atau Penuntutan
f. Besarnya Ganti Kerugian
g. Berisi Pernyataan Pemulihan Nama Baik Tersangka
h. Memerintahkan Segera Mengembalikan Sitaan

C. Penetapan Status Tersangka Sebagai Alasan Pengajuan Praperadilan Berdasarkan
KUHAP Dan Peraturan MK
Dari ketentuan Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP tersebut, jelas bahwa dalam Praperadilan ini,
pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa tentang apakah penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sah atau tidak, memeriksa dan atau
memutuskan tentang perkara tuntutan ganti kerugian. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang KUHAP, perihal sah tidaknya penetapan status tersangka tidak diatur didalamnya.

Hingga pada akhirnya pada tanggal 17 Februari Bachtiar Abdul Fatah mengajukan permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar
ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, menambahkan tentang
objek praperadilan, yakni:
1. Penetapan Tersangka
2. Penggeledahan
3. Penyitaan
Walaupun permohonan pemohon dikabulkan hanya sebagian, namun telah terjadi perubahan yang
fundamental terhadap objek praperadilan. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP yang diajukan oleh seorang terpidana kasus
korupsi biormediasi fiktif PT. Chevron Pasific Indonesia atas nama Bachtiar Abdul Fatah.

BAB III
MEKANISME PENETAPAN STATUS TERSANGKA DIDALAM
TINDAK PIDANA OLEH POLISI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
A. Tugas Dan Wewenang Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI)
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. Tugas pokok Polri dalam Pasal 13 dimaksud diklasifikasikan
menjadi tiga yakni: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan
memberikan perlindungan pengayoman kepada masyarakat. Didalam menjalankan tugas pokok

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri memiliki tanggung jawab terciptanya
dan terbinanya suatu kondisi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat.
Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri
maka asas legalitas menjadi prinsip utama dalam menjalankan tugas dan wewenang kepolisian,
karena undang-undang yang memberi legitimasi atas kewenangan kepolisian dalam
menjalankan fungsi pemerintahan, terutama dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

B. Mekanisme POLRI Didalam Melakukan Penetapan Status Tersangka Pada Tindak Pidana
Suatu peristiwa meliputi soal apakah benar telah terjadi peristiwa pidana dan siapa pelakunya (deder) maksud pemeriksaan itu pertama-tama
supaya penyidik dapat mempertimbangkan benar tidaknya terjadi tindak pidana tersebut. Dalam hal ini di dunia ilmu pengetahuan hukum
memiliki beberapa sistem penyidikan yaitu:
a. Sistem penyidikan inquisitor (arti kata penyidikan)
Sistem ini menganggap si terdakwa itu sebagai suatu objek.
b. Sistem penyidikan accusatoir (arti kata : menuduh)
Sistem ini menganggap seorang tersangka/terdakwa sebagai suatu subjek.
Berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana mekanisme dalam Proses
Penyidikan sampai dengan Penahanan Oleh Polisi Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 1-10, yaitu:
1. Menerima Laporan/Pengaduan
2. Mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dimana berdasarkan laporan hasil penyelidikan (LHK)

3. Surat Perintah Penyidikan berdasarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)
4. Membuat Berita Acara Pemeriksaan Saksi
5. Membuat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka
6. Mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan
7. Mengeluarkan Surat Perintah Penahanan
8. Mengeluarkan Surat Perintah Penyitaan
9. Mengeluarkan Surat Permintaan Persetujuan Penyitaan Barang Bukti
10. Mengeluarkan Surat Permintaan Perpanjangan Penahanan Terhadap Tersangka
11. Mengeluarkan Surat Perintah Titip Rawat Barang Bukti

BAB IV
ANALISIS YURIDIS PENETAPAN STATUS TERSANGKA SEBAGAI
ALASAN PENGAJUAN PRAPERADILAN
(Putusan Nomor: 14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn Praperadilan-Siwajiraja)
Pemohon:
SIWAJIRAJA, S.T
Termohon:
KAPOLRESTABES MEDAN Cq. KASAT RESKRIM POLRESTABES MEDAN
C.q PENYIDIK RESKRIM POLRESTABES MEDAN


Alasan Pemohon Mengajukan Praperadilan berdasarkan fakta-fakta hukum:
• Termohon langsung menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, padahal belum memiliki 2 (dua) alat bukti yang sah sebagai alat bukti permulaan yang
cukup untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
• Pemohon melihat dalam perkara ini Termohon mencoba membuat seolah-olah ada 2 (dua) alat bukti yang sah sebagai alat bukti permulaan untuk
membuktikan keterlibatan Pemohon dalam kasus penembakan perkara aquo.
• Pemohon banyak merasakan kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan Termohon terhadap pemohon pada perkara aquo.
Putusan:
Dalam Eksepsi:
Menolak Eksepsi Termohon untuk seluruhnya.
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan Permohonan Praperadilan Pemohon Sebagian
2. Menyatakan Penetapan Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik/190/l/2017/Reskrim Tanggal 18 Januari 2017 dan Surat
Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik/199/l/2017/Reskrim Tanggal 21 Januari 2017 dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/23/l/2017/Reskrim
Tanggal 24 Januari 2017 TIDAK SAH dan tidak benar berdasar atas hukum dan oleh karenanya Penetapan, Penangkapan dan Penahanan Aquo tidak
mempunyai kekuatan mengikat
3. Menyatakan Penetapan Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik/190/l/2017/Reskrim Tanggal 18 Januari 2017 dan Surat
Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik/199/l/2017/Reskrim Tanggal 21 Januari 2017 dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/23/l/2017/Reskrim
Tanggal 24 Januari 2017 adalah BATAL DAN ATAU TIDAK SAH dan oleh karenanya Penetapan, Penangkapan dan Penahanan Aquo tidak mempunyai
kekuatan mengikat
4. Memerintahkan TERMOHON untuk segera mengeluarkan PEMOHON dari Ruang Tahanan Polrestabes Medan segera setelah Putusan ini diucapkan
5. Menghukum TERMOHON membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
6. Memerintahkan TERMOHON untuk merehabilitasi nama baik PEMOHON dalam 1 (satu) Media Cetak Nasional dan 1 (satu) Media Televisi Swasta
Nasional
7. Menolah permohonan Praperadilan Pemohon untuk selebihnya
8. Membebankan biaya perkara kepada TERMOHON sebesar NIHIL

Analisis Kasus
Siwajiraja):

(Putusan

Praperadilan

Nomor:

14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn

Praperadilan-

1. Alasan Pengajuan Praperadilan
Putusan Praperadilan bernomor 14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn atau yang dikenal dengan Praperadilan
Siwajiraja, dijatuhkan pada hari Senin, tanggal 13 Maret 2017 oleh hakim tunggal Erintuah
Damanik,SH.,MH. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh Hakim
tersebut dengan dibantu oleh Nikson Hutasoit,SH.,MH selaku panitera pengganti.
Termohon langsung menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, padahal belum memiliki 2 (dua) alat bukti
yang sah sebagai alat bukti permulaan yang cukup dan mencoba membuat seolah-olah ada 2 (dua) alat
bukti yang sah sebagai alat bukti permulaan sebagai kejanggalan dan kejanggalan-kejanggalan lainnya.
Dalam Persidangan perkara praperadilan penamaan para pihak yang berperkara oleh KUHAP tidak
diberikan secara jelas, bahkan dari beberapa pasal KUHAP yang mengatur tentang praperadilan, untuk
pihak yang mengajukan pemeriksaan digunakan atau dicantumkan istilah secara tidak konsisten ,
misalnya dalam KUHAP Pasal 79 sampai 82 ayat (1) huruf a sampai e kecuali b dan c tercantum istilah
permintaan yang berarti pihak yang mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan dinamakan
sebagai “peminta”. Sedangkan dalam Pasal 82 KUHAP ayat (1) huruf b tercantum istilah “pemohon”
dan dalam Pasal 95 digunakan istilah “menuntut” dan “tuntutan”. Akan tetapi dalam praktik istilah yang
lazim pada umumnya digunakan adalah istilah permohonan, pemohon dan termohon.

2. Jawaban Termohon
Termohon didalam jawabannya tentang penangkapan terhadap Pemohon menyatakan telah menemukan bukti yang cukup
yang dimaknai minimal 2 (dua) alat bukti sesuai putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 sebelum dilakukannya penangkapan
terhadap Pemohon, berdasarkan kutipan pendapat Yahya Harahap yang menyatakan Hakim tidak memiliki wewenang untuk
menguji pembuktian dari alat bukti. Hal ini tidak dapat diuji di Praperadilan lantaran sudah masuk kepada arah substansial,
Hakim Praperadilan hanya menguji persyaratan mengenai alat bukti dimana persyaratan yang dimaksud yakni mengenai
syarat formil dan materil karena merupakan kewenangan hakim pada acara biasa.
3. Putusan Praperadilan
Menurut Pasal 82 ayat (1) huruf (c) KUHAP ditegaskan bahwa pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat (acara
pemeriksaan cepat) dan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari hakim yang memeriksa perkara praperadilan harus sudah
menjatuhkan putusannya.
Dalam Putusan Nomor: 14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn dengan kasus Siwajiraja, Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri
Medan tentang penunjukan Hakim tertanggal 14 Februari 2017, sementara putusan dijatuhkan pada hari Senin, tanggal 13
Maret 2017. Maka dapat diketahui bahwa pada kasus ini, acara pemeriksaan cepat tidak terwujud, karena putusan dijatuhkan
lebih dari 7 (tujuh) hari atau 27 hari lamanya. Pemeriksaan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Negeri dibantu oleh seorang panitera.
Bahwa putusan tersebut sudah sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman, yakni: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Bahwa terhadap putusan/penetapan praperadilan Aquo tidak dapat dimintakan banding. Menurut ketentuan Pasal 83
KUHAP pada prinsipnya terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali terhadap putusan
praperadilan yang menetapkan mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian penuntutan,
yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Lihat Dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
1. Praperadilan adalah lembaga baru yang lahir bersamaan dengan kelahiran KUHAP
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Praperadilan bukan lembaga peradilan yang
mandiri atau berdiri sendiri selepas pengadilan negeri, karena dari perumusan Pasal 1 butir
10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa praperadilan hanyalah wewenang
tambahan yang diberikan kepada pengadilan negeri. Praperadilan merupakan salah satu
lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan hukum.
Menurut Pasal 77 KUHAP, pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan.

2. Mekanisme POLRI didalam penetapan status tersangka pada tindak
Pidana mempunyai
2 (dua) sistem penyidikan yakni; sistem penyidikan inquisitor dan sistem penyidikan
accusatoir. penyelidikan atau penyidikan
proses pidana oleh pihak kepolisian diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) Undang- Undang No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian, Peraturan Kapolri
(Perkap)
Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Dan
KUHAP.
3. Analisis yuridis penetapan status tersangka yang diajukan sebagai alasan Praperadilan
ditinjau dari hukum acara pidana di
Indonesia terhadap Putusan Nomor:14/Pid.Pra/2017.
Putusan tersebut sudah sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang
Nomor 48 Tahun
2009 tentang
kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, telah terjadi perubahan yang fundamental
terhadap objek praperadilan.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian pengujian
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang KUHAP yang diajukan oleh seorang
terpidana kasus korupsi biormediasi fiktif PT. Chevron Pasific Indonesia atas nama Bachtiar
Abdul Fatah. Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- II/2014
menambahkan penetapan status tersangka sebagai objek praperadilan.

Saran
1. Pemerintah Pusat maupun daerah khususnya pihak Kepolisian didalam melaksanakan suatu rangkaian
proses penyidikan terutama dalam hal mekanisme penetapan status tersangka oleh pihak penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia hendaklah menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian agar lebih
teliti dan jeli dalam proses penyelidikan. Dimana didalam menetapkan seseorang sebagai tersangka pada
perbuatan tindak pidana penyidik seharusnya mengumpulkan alat bukti terlebih dahulu secara tepat dan
akurat bukan malah sebaliknya tangkap dulu baru mencari alat bukti. Kesalahan pelaksanaan wewenang
yang diberikan oleh Undang-Undang akan memberi dampak negatif dan kerugian bagi orang yang
ditetapkan sebagai tersangka sementara tidak disertai dengan alat bukti yang kuat oleh pihak Kepolisian.
2. Kepolisian Republik Indonesia didalam penetapan tersangka melalui proses penyidikan pada
pemeriksaan seseorang yang diduga melakakukan perbuatan sebuah tindak pidana hendaklah
menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana tersangka diperiksa tanpa adanya tekanan yang membuat
tersangka menjadi takut dan memberikan keterangan diluar apa yang dilakukan dan sebenarnya terjadi.
Penyidik harus lebih koperatif dan baik, pada saat tersangka diperiksa hendaknya penyidik juga
menghadirkan kuasa hukum sebagaimana mana yang diatur didalam hukum acara pidana tersebut.
3. Pemerintah Republik Indonesia kedepannya dalam proses praperadilan harus lebih dikuatkan dan
meningkatkan efektifitasnya secara fungsional dan maksimal sebagai alat kontrol dalam penegakan
hukum dan keadilan, serta demi tujuan dari Praperadilan itu sendiri. Dan yang paling penting demi
kepentingan masyarakat dan Negara.

Terima Kasih Kepada:
Bapak Prof. Syafruddin Kallo, S. H., M. Hum.
Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S. H., M. Hum.
Selaku Dosen Pembimbing.
Ibu Liza Erwina, S. H., M. Hum.
Bapak Dr. Edi Yunara, S. H., M. Hum.
Selaku Dosen Penguji.

TERIMA KASIH

Dokumen yang terkait

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

ANALISIS HUBUNGAN STATUS EKONOMI DENGAN KEJADIAN GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN PADA PEKERJA TAMBANG BELERANG DI KAWAH IJEN, BANYUWANGI

9 160 23

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

PENYESUAIAN DIRI LANSIA ( PADA SUBYEK DENGAN STATUS SOSIAL EKONOMI RENDAH )

0 27 2

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 61.K/TUN/2015 TENTANG PENETAPAN KOMISIONER KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN KABUPATEN NAGAN RAYA

0 24 1

ANALISIS TENTANG STATUS HUKUM MACAM- MACAM HARTA PERKAWINAN DALAM KAITANNYA DENGAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ADAT JAWA

3 28 18

HUBUNGAN TINGKAT KEMAMPUAN KELUARGA MELAKUKAN MANAJEMEN NUTRISI DENGAN STATUS NUTRISI IBU HAMIL TRIMESTER II DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUMBULSARI KABUPATEN JEMBER

0 38 19

TINJAUAN PENETAPAN BIAYA REKENING PASANG BARU PRABAYAR KATEGORI RUMAH TANGGA PT PLN (PERSERO) AREA TANJUNG KARANG

2 56 70

HUBUNGAN STATUS GIZI, MENARCHE DINI, DAN PERILAKU MENGONSUMSI MAKANAN CEPAT SAJI (FAST FOOD) DENGAN KEJADIAN DISMENORE PRIMER PADA SISWI SMAN 13 BANDAR LAMPUNG

40 171 70