Mengembangkan Indonesia Dari Segregasi k

Mengembangkan Indonesia:
Dari Segregasi ke Integrasi
Dari Kekerasan ke Komitmen Konstruktifi
Oleh: Bagus Takwin
Latar Belakang Masalah: Rusaknya Integrasi Sosial
Sebagai salah satu dari anggota kelompok negara yang secara ‘tak hormat’
disebut ‘negara berkembang’ atau ‘negara dunia ketiga’, Indonesia mengalami
keadaan yang digambarkan oleh Ac. Krtashivananda Avt, “...besides suffering
economic crisis, cary the psychological burdens of passive psychology, inferiority
complex, religious dogma and other group sentiments” sehingga integrasi sosialnya
rusak. Persoalan integrasi sosial menjadi penting dalam konteks Indonesia saat ini,
juga dalam proyeksi pertumbuhan dan perkembangannya ke masa depan. Indonesia
sebagai negara bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh
warganya, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta dalam perdamaian dunia
membutuhkan integritas sosial yang kohesif.
Dengan dasar bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan hak setiap
individu manusia, serta persamaan antar manusia, termasuk juga persamaan di
hadapan hukum, Indonesia dibangun, didirikan, dan ditumbuh-kembangkan. Secara
generik, Indonesia adalah sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang bebas
sebagai anggotanya. Dalam komunitas itu tercakup pula komunitas-komunitas yang
lebih kecil, katakanlah komunitas-komunitas lokal. Di dalam Indonesia, diharapkan

setiap komunitas lokal dan individu-individu anggotanya berhimpun, berinteraksi,
saling memahami, bergaul secara tulus dengan segala perbedaan. Di sana diharapkan
setiap kelompok, bahkan setiap orang, mau saling memahami, menerima keragaman
dan menjadikan keberbedaan mereka sebagai aset untuk membangun, menumbuhkan
dan mengembangkan Indonesia. Singkatnya, integrasi sosial diharapkan terjadi di
sana, persatuan dari beragam kelompok dan orang bisa berlangsung secara dinamis,
harmonis dan produktif. Ketika, saat ini kita melihat integrasi sosial di Indonesia
mengalami kerusakan di beberapa ranahnya, ini jadi persoalan penting dan genting
karena ini berhubungan langsung dengan terhambatnya pencapaian tujuannya.

Indikasi dari kerusakan integritas sosial dapat dideteksi dari berbagai
kenyataan yang terjadi di Indonesia. Di antara kenyataan itu adalah (1)
bermunculannya kecenderungan sektarianisme yang tampil dalam bentuk kelompokkelompok yang secara intensif mengutamakan keyakinan (belief) sektarian dan etnik,
serta (2) mendominasinya kinerja kekuasaan modal. Meluasnya aksi kekerasan dan
agenda kelompok sektarian yang menentang pluralisme serta kecenderungan perilaku
ekonomi yang didasari keserakahan dan tidak mengindahkan rasa keadilan mulai
tampak di berbagai bidang kehidupan.
Beberapa bentuk regulasi yang mengutamakan nilai moral kelompok tertentu
baik dalam skala nasional maupun lokal, tindakan kekerasan mengatasnamakan nilainilai agama, konflik horisontal antar kelompok yang berlabel agama, serta pertikaian
antar kelompok berlabel suku merupakan indikasi kecenderuangan sektarianisme dan

etnosentrisme. Eksploitasi lingkungan, perusakan hutan, pencemaran tanah dan air
oleh limbah-limbah penambangan, penjerumusan negara untuk terjerat dalam hutang
oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, serta penguasaan lembaga legislatif
oleh kelompok pemodal besar yang mendorong deregulasi ekonomi yang lebih
menguntungkan mereka sendiri merupakan indikasi dari kecenderungan dominannya
kekuasaan sekelompok pemilik modal yang digerakkan oleh naluri ekonomi semata.
Dua kecenderungan itu merupakan dua gaya dengan arah yang berlawanan.
Upaya menghadapi keduanya dalam upaya menjaga integritas sosial bangsa Indonesia
dapat menimbulkan situasi dilematis. Di satu sisi, kecenderungan sektarianisme
menekankan (bahkan memaksakan) penerapan ‘moral tunggal’ dari ruang privat
hingga ke ruang publik yang sangat plural dengan implikasinya berupa pengendalian
perilaku di ruang privat dan publik oleh aturan-aturan sangat mengekang dan
intoleran. Penekanan ini berpotensi mengusik dan merobek jalinan sosial dalam
masyarakat Indonesia. Di sisi lain, kecenderungan perilaku ekonomi yang didasari
keserakahan dan tidak mengindahkan rasa keadilan dengan dasar ekonomi pasar
bebas mendorong mekanisme pasar mendominasi kehidupan ekonomi lepas dari etika
kepedulian dan mengabaikan rasa keadilan. Kecenderungan ini menempatkan
masyarakat dalam ajang persaingan yang tidak fair, memaksa yang lemah berhadapan
dengan yang kuat, serta memperlebar jurang kesenjangan antara yang kaya dan yang
miskin. Akibatnya, ketegangan dan konflik sosial pun semakin menajam, integrasi

sosial semakin rusak.

Menghindari situasi dilematis yang mungkin muncul menyertai upaya-upaya
menghadapi keduanya, perlu dicermati kesamaan antara keduanya. Meski tampil
dengan wajah yang berbeda dan tampak bertentangan satu sama lain, keduanya samasama memiliki daya robek yang sama terhadap integrasi sosial. Dampak dari
berlangsungnya dua kecenderungan ini di Indonesia adalah: (1) Kecenderungan
sektarian menyedot dan merampas hak-hak privat dari kehidupan sosial, sedangkan
kecenderungan perilaku ekonomi yang didasari keserakahan dan tidak mengindahkan
rasa keadilan mengabaikan hak-hak publik dalam bidang ekonomi dengan
melemparkan urusan kesejahteraan individu kepada individu masing-masing; (2)
kecenderungan sektarian menekankan dan memaksakan satu sistem nilai moral yang
tak dapat ditawar bahkan oleh mereka yang tidak menganutnya, sedang
kecenderungan perilaku ekonomi tersebut seolah mengabaikan nilai-nilai moral
apapun; (3) kecenderungan sektarian bersifat sentralistis sehingga mengabaikan
perbedaan dan memaksakan keseragaman, sedangkan kecenderungan perilaku
ekonomi itu membebaskan siapa saja menampilkan perilaku yang didasari
keuntungan ekonomi semata; keduanya mengakibatkan kerusakan integrasi sosial,
yang pertama memicu konflik antar kelompok, yang kedua membuyarkan ikatan
sosial yang merekatkan berbagai kelompok.
Untuk dapat menangani keduanya diperlukan cara pandang yang melampaui

dikotomi itu. Inilah masalah yang dihadapi Indonesia: Bagaimana melampaui dan
mengatasi kecenderungan-kecenderungan yang merusak integrasi sosial dan kembali
menumbuh-kembangkan Indonesia sebagai bangsa?
Pemetaan Masalah
Mencermati situasi Indonesia saat ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia
sebagai bangsa dan negara sedang mengalami pelemahan. Fungsinya makin
berkurang dan perannya melemah dalam penyelenggaraan dan pengaturan kehidupan
masyarakat. Pengurangan fungsi dan pelemahan peran negara itu dianggap menjadi
faktor utama dari kerusakan sosial di Indonesia. Untuk mengatasi situasi ini, kita perlu
memetakan masalah secara komprehensif.
Bangsa idealnya merupakan komunitas kepercayaan (trust community). Setiap
individu dan kelompok bergabung dengan bangsa karena adanya rasa saling percaya
di antara mereka. Percaya (trust) di sini diartikan sebagai kesediaan seseorang
membiarkan atau mengijinkan pihak lain (orang atau atau lembaga) untuk mengurus

dan merawat sesuatu yang dianggap berharga olehnya, di dalamnya mencakup juga
pemberian keleluasaan dan kekuasaan untuk mengambil tindakan-tindakan tak
tertentu. Rasa saling percaya itu yang mengikat mereka, menjalin integrasi sosial.
Komitmen untuk berada dan hidup bersama-sama dengan tujuan yang sama dalam
satu bangsa dibangun oleh kepercayaan. Dengan demikian, integrasi sosial dari

sebuah bangsa merupakan jalinan kepercayaan yang dibina dan dikembangkan oleh
warga-warganya. Ketika rasa percaya itu hilang, maka robeklah jalinan itu, rusaklah
integrasi sosial.
Mengambil pengertian dari Charles Tilly (2005:12), komunitas kepercayaan
atau jaring-jaring kepercayaan (trust networks) mencakup “...ramified interpersonal
connections, consisting mainly of strong ties, within which people set valued,
consequential, long-term resources and enterprises at risk to the malfeasance,
mistakes, or failures of others.” Dalam komunitas kepercayaan orang-orang disatukan
oleh ikatan yang kuat yang didasari oleh nilai (belief yang menyarankan penganutnya
untuk melakukan sesuatu) yang dianut bersama dalam waktu lama dan kesiapan untuk
menerima konsekuensi-konsekuensinya. Di dalamnya, sumberdaya dan serangkaian
usaha dikelola oleh para anggotanya dengan risiko terjadinya penyimpangan perilaku
dan penyalah-gunaan wewenang para anggotanya, kesalahan-kesalahan menjalankan
aturan, serta kegagalan anggota lain. Tilly menekankan risiko sebagai dasar untuk
mendefinisikan jaring-jaring kepercayaan ini. Orang-orang yang tergabung di
dalamnya siap menanggung risiko dari kebersamaannya. Tetapi, pada prakteknya,
orang tidak sepakat untuk masuk dalam komunitas kepercayaan karena mereka suka
menjalani hubungan yang penuh risiko, sebaliknya mereka justru mengandalkan
komunitas ini untuk mendapatkan dukungan dalam mengatasi berbagai risiko. Di sini,
ada jaminan risiko individual akan ditanggung bersama. Pengendalian terhadap

konsekuensi-konsekuensi dari kesalahan dan kegagalan menjadi perhatian penting
dalam komunitas kepercayaan.
Pencapaian bangsa sebagai komunitas kepercayaan yang saat ini sedang
sangat melemah dan diabaikan di Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai kumpulan dari
berbagai kelompok justru menampilkan maraknya gejala segregasi. Kelompokkelompok yang membentuk bangsa pada dasarnya adalah juga sebuah komunitas
kepercayaan dengan nilai-nilai yang lebih khusus ruang lingkupnya sebagai pengikat.
Komunitas kepercayaan itu bisa berbasiskan kesamaan suku, agama, ideologi,
keahlian, minat dan sebagainya. Dalam konteks permasalahan yang dialami

Indonesia, kita temukan komunitas-komunitas kepercayaan berbasis agama, suku,
ideologi serta minat dan kepentingan ekonomi. Komunitas-komunitas itu dapat
disebut sebagai komunitas kepercayaan lokal yang berbeda dari bangsa sebagai
komunitas kepercayaan nasional dalam hal keluasan ruang-lingkup nilai-nilai yang
dianut.
Nilai yang dianut komunitas kepercayaan lokal lebih khusus dari nilai dan
belief yang dianut bangsa sebagai komunitas kepercayaan nasional. Dalam bangsa,
nilai-nilai yang dianut mencakup juga nilai komunitas kepercayaan lokal tetapi tidak
hanya itu. Di dalam bangsa dianut juga nilai-nilai yang dibagi bersama (shared
values). Nilai-nilai inilah yang mempertemukan dan mempersatukan komunitaskomunitas kepercayaan lokal dalam komunitas kepercayaan nasional.
Persoalan yang sekarang dialami Indonesia sebagai bangsa adalah vakumnya

nilai-nilai yang dibagi bersama di antara komunitas kepercayaan lokal. Akibatnya,
setiap komunitas kepercayaan lokal hanya mengandalkan nilai-nilai eksklusif mereka.
Berbagai kelompok lokal membangun tembok yang tebal dan tinggi sehingga tertutup
bagi kelompok lokal yang lain. Dari waktu ke waktu komunikasi antar komunitas
kepercayaan lokal semakin sedikit. Dialog antar kelompok lokal tidak dapat
berlangsung sehingga saling-pemahaman sulit terjadi. Karena kekhususan dan
eksklusivitas nilai-nilai lokal itu, satu komunitas kepercayaan lokal sulit untuk
bertemu dan bersepakat komunitas lainnya. Dalam proses-proses penyelenggaraan
hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan, perbenturan nilai terjadi sehingga
memicu konflik antara komunitas. Akibatnya, segregasi antara kelompok lokal dan
kecenderungan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah mendominasi.
Indonesia tampak seperti kumpulan kelompok-kelompok yang asing satu sama lain
dan saling bertikai mengandalkan kekerasan fisik dan mental untuk saling
menjatuhkan.
Memudarnya nilai yang dibagi bersama terjadi disebabkan oleh berbagai
faktor. Praktek totalitarianisme dan sentralisasi kaku di masa Orde Baru merupakan
satu faktor penting. Pergerakan dunia yang begitu cepat sehingga menghasilkan
kebingungan dan kehilangan pegangan pada diri banyak orang serta meluasnnya
kebijakan pasar bebas juga berperan penting di sini. Pertemuan secara langsung dan
tak langsung berbagai kelompok dalam berbagai ruang publik yang bergerak cepat

juga besar pengaruhnya terhadap pudarnya nilai-nilai yang dibagi bersama. Iklim
persaingan yang terus meningkat meningkatkan semangat sekaligus menekan orang-

orang untuk menempatkan dirinya di posisi pertama dalam daftar prioritas sehingga
diri atau kelompok sendiri cenderung dipentingkan dan orang atau kelompok lain
cenderung diabaikan. Faktor-faktor lain mencakup masalah rasa keadilan yang
dilanggar, penafian hak-hak minoritas, pemaksaan nilai-nilai untuk dianut tanpa
syarat, dan kesenjangan sosial.
Dengan pemahaman tentang nilai khusus dan nilai yang dibagi bersama
tersebut, masalah yang dihadapi Indonesia dapat dirumuskan secara singkat:
Bagaimana bangsa Indonesia bisa menemukan nilai yang dibagi bersama dan
menjadikannya perekat integrasi sosial?
Bagaimana Komunitas Kepercayaan Terbentuk?
Untuk memahami bagaimana komunitas kepercayaan terbentuk, terlebih
dahulu kita pahami dulu karakteristiknya. Tilly (2005:4) memaparkannya dalam
bukunya Trust and Rule. Karakteristik pertama, adanya sejumlah orang yang saling
terkait, secara langsung atau tidak langsung, oleh ikatan-ikatan yang sama; mereka
membentuk jaringan. Kedua, keberadaan ikatan tertentu yang seakan-akan diterima
begitu saja memberi setiap anggota kewenangan untuk mengklaim perhatian atau
bantuan dari anggota yang lain. Jaringan mengandung ikatan-ikatan yang kuat.

Ketiga, anggota-anggota jaringan secara kolektif menjalani serangkaian usaha utama
dalam waktu lama, seperti prokreasi, perdagangan jarak-jauh, saling membantu dalam
praktek kehidupan sehari-hari dan kerja, serta menganut dan mempertahankan agama
tertentu. Terakhir, konfigurasi ikatan-ikatan dalam jaringan menata usaha-usaha
kolektif untuk menghadapi risiko dari kecurangan, kesalahan dan kegagalan individu
yang menjadi anggotanya.
Bagaimana komunitas kepercayaan terbentuk dapat dijelaskan dengan
mencermati karakteristik-karakteristiknya. Dari karakteristik pertama komunitas
kepercayaan, kita pahami bahwa ada ikatan yang sama yang mengubungkan dan
menyatukan sekumpulan orang. Ikatan itu bisa berupa keyakinan tentang sesuatu,
agama, kesukuan, latar belakang, kepentingan ekonomi, kerangka pikir dalam
memahami dunia, pengalaman hidup bersama dalam waktu yang lama, atau perasaan
senasib-sepenanggungan. Dengan dasar kesamaan ikatan itu, sekumpulan orang itu
membentuk jaringan.
Karakteristik kedua membawa kita kepada pemahaman bahwa ikatan yang
menyatukan orang-orang dalam jaringan kepercayaan adalah ikatan yang cenderung

dianggap alamiah atau sudah ada ‘dari sananya’, sesuatu yang terberi; pada
kenyataannya adalah sesuatu yang bersifat ‘history turn into nature’; sesuatu yang
tadinya produk sejarah kemudian dipersepsikan sebagai kodrat atau takdir karena

durasi keberlangsungannya sangat panjang atau intensitasnya sangat tinggi, atau bisa
juga kedua-duanya. Ikatan ini bersifat ideologis, sesuatu yang diterima begitu saja
tanpa dicermati secara kritis terlebih dahulu. Dengan ikatan itu, setiap anggota
merasakan perasaan senasib-sepenanggungan dengan anggota lain. Mereka saling
peduli dan menuntut satu sama lain untuk saling-memperhatikan dan salingmembantu.
Anggota-anggota jaringan terlibat satu sama lain dalam dunia kehidupan
bersama secara lama dan intensif. Di dalam jaringan itu, proses mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan dilakukan bersama-sama berdasarkan ikatan ideologis
yang mereka anut. Interaksi mereka terjadi sampai ke persoalan personal dan rutinitas
sehari-hari meliputi aspek psikologis, sosial, budaya, ekonomi, politik, religius, seni
dan lain-lain. Singkatnya, interaksi ini terjadi di seluruh aspek kehidupan mereka
sebagai manusia. Ini kita pahami dari karakteristik ketiga komunitas kepercayaan.
Terakhir, dari karakteristik keempat, kita pahami adanya regulasi yang menata
usaha-usaha kolektif untuk menghadapi risiko dari kecurangan, kesalahan dan
kegagalan individu yang menjadi anggotanya. Dengan kata lain, komunitas
kepercayaan menjaga dan menjamin jalannya kehidupan setiap anggotanya dengan
mekanisme penghargaan-hukuman (reward-punishment) yang jelas dan tegas, salingpengertian, saling-mengingatkan, dan saling-menjaga. Ikatan dalam jaringan
kepercayaan ini dioperasionalkan dalam bentuk norma dan aturan yang berorientasi
mempetahankan kesatuan dan kesejahteraan kolektifnya.
Menguatnya komunitas kepercayaan lokal di Indonesia dewasa ini dapat

dijelaskan dengan kerangka pikir tersebut di atas. Kita saksikan bahwa komunitas
kepercayaan lokal yang diikat oleh kesamaan keyakinan, agama, suku, kepentingan
ekonomi, dan perasaan senasib-sepenanggungan semakin marak. Ini menjadi
persoalan penting dan genting saat ini karena komunitas kepercayaan lokal masingmasing tampak terfokus dan bertahan dengan ikatan ideologis dan kepentingannya
sendiri-sendiri. Kepentingan Indonesia sebagai bangsa, mencakup juga kepentingan
orang-orang yang tidak tergabung dalam komunitas lokal, cenderung diabaikan
bahkan terancam terbuang. Persoalan Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana
mempertemukan dan mempersatukan komunitas-komunitas lokal itu menjadi

komunitas kepecayaan nasional tanpa menghilangkan identitas dan karekteristik
komutitas kepercayaan lokal. Ini merupakan persoalan politik, bagaimana proses
politik di Indonesia dapat menata jaringan-jaringan kepercayaan lokal yang ada
menjadi jaringan nasional yang bersama-sama mengembangkan Indonesia sebagai
bangsa, sebagai jaringan kepercayaan nasional.
Strategi Integrasi: Komitmen di antara Pihak-pihak yang Setara
Integrasi komunitas kepercayaan lokal ke dalam kehidupan politik nasional,
atau kehidupan politik publik membutuhkan strategi khusus. Pengalaman
menunjukkan pendekatan kekerasan, baik fisik, simbolik maupun psikologis seperti
yang dikembangkan Orde Baru, tidak dapat menghasilkan komunitas kepercayaan
nasional yang solid dan langgeng. Pendekatan ekonomi pasar yang memberi
kesempatan dan kebebasan kepada setiap orang untuk bersaing dalam bidang ekonomi
pun diidentifikasi mulai menghasilkan kesejangan sosial-ekonomi yang besar
kemungkinannya membawa Indonesia kepada segregasi sosial.
Tilly (2005) menunjukkan berbagai bentuk kehidupan negara dengan
karakteristik kehidupan politik publiknya. Setiap bentuk kehidupan itu menggunakan
strategi yang berbeda. Ia juga menjelaskan bagaimana berbagai strategi digunakan
untuk mengintegrasikan komunitas kepercayaan lokal ke dalam kehidupan politik
publik untuk membentuk komunitas kepercayaan nasional. Apa aturan dan bagaimana
mengatur negara dapat dipahami dari bagaimana hubungan kepercayaan dan aturan
berlangsung dalam kehidupan politik publik. Penyelesaian persoalan ini terletak
dalam strategi apa yang dipakai untuk mengintegrasikan komunitas kepercayaan lokal
ke dalam kehidupan politik publik.
Langsung ke kehidupan politik di Indonesia, kita temukan dewasa ini negara
kita terpecah antara berbagai bentuk hubungan antara komunitas kepercayaan lokal
dan negara. Di satu sisi berkembang bentuk evasive conformity yang ditandai oleh
konformitas yang sangat tinggi dari beberapa kelompok lokal terhadap apa yang
dilakukan negara dan kelompok lain; di sini integrasi sangat rendah dan cara-cara
kekerasan dominan. Di sisi lain, beberapa wilayah masih mengalami bentuk
totalitarianisme, negara menguasai sepenuhnya komunitas kepercayaan lokal dengan
koersi. Kita temukan juga bentuk particularistic ties to rulers dengan ciri utama
pembentukan kelompok-kelompok dengan ikatan khusus seperti agama, suku,
kepentingan dan sebagainya yang langsung terhubungan dengan aturan yang

dikeluarkan negara; bentuk ini menampilkan komitmen yang tinggi namun integrasi
dengan negara sangat lemah. Yang terakhir, kita temukan juga bentuk brokered
autonomy yang ditandai dengan pengandalan produk-produk ekonomi sebagai perekat
komunitas kepercayaan lokal dengan negara; setiap komunitas lokal merupakan
pelaku ekonomi yang harus memberikan pemasukan bagi negara; di sini pelibatan
modal sangat dominan dan hubungan yang berlangsung adalah negosiasi. Sementara
bentuk demokrasi yang diharapkan oleh Indonesia masih belum tampak jelas dan
tegas. Demokrasi merupakan bentuk hubungan yang ditandai oleh integrasi dan
komitmen yang tinggi meski tidak total antara komunitas kepercayaan lokal dan
negara; bisa dipahami sekumpulan Kami dalam Kita.
Strategi apa yang perlu dikembangkan untuk menegakkan dan memantapkan
bentuk hubungan demokratis di Indonesia? Ini persoalan kita yang lebih khusus.
Secara prinsipil yang perlu dilakukan adalah membangun dan meningkatkan
komitmen bersama untuk mengintegrasikan Indonesia di antara komunitas
kepercayaan lokal yang ada. Pendekatan kekerasan atau koersif (termasuk pemaksaan
dan penguasaan totaliter), konformitas, negosiasi untung-rugi, penyerahan diri kepada
pihak-pihak yang lebih berkuasa, pengandalan modal ekonomi, dan menggantungkan
diri kepada kekuasaan global atau multinasional bukan cara yang efektif untuk
mempersatukan Indonesia. Kita perlu melampaui itu semua, mempertemukan
berbagai ragam perbedaan untuk membina, membangun dan mengembangkan
integrasi sosial di Indonesia. Saat ini, terkesan Indonesia memandang dirinya
berhadapan dengan situasi dilematis: memilih unsur lokal atau global, mengikuti yang
partikular atau universal, religius atau non-religius, sentralisasi ekonomi atau pasar
bebas, totaliter atau permisif total. Terjebak dalam situasi dilematis semacam itu akan
membawa Indonesia kepada keadaan yang tak diinginkan, totaliterianisme atau
hilangnya kendali negara sama sekali.
Lalu apa yang perlu dilakukan?
Kembali kepada kepercayaan: kita perlu membangun dan mengembangkan
kepercayaan bersama. Setiap kepercayaan didasari oleh nilai yang dianut bersama.
Membangun kepercayaan dalam negara Indonesia adalah menemukan nilai bersama.
Namun, proses pembinaan kepercayaan berdasarkan nilai ini bukan proses linear.
Penemuan nilai bersama membutuhkan rasa saling-percaya di antara orang-orang
yang terlibat di sana. Proses sirkular ini yang membingungkan, jebakan yang
cenderung membikin kita mati langkah, ‘maju kena, mundur pun kena’. Dalam

sosiologi dan psikologi, situasi semacam ini dikenal dengan sebutan ‘jebakan sosial’
(social trap). Bagaimana kita mengatasinya?
Kita perlu melampaui situasi yang mengandung jebakan sosial itu. Kita perlu
menemukan kerangka orientasi baru yang mengatasi situasi dilematis itu. Rasionalitas
instrumental yang menekankan hasil sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecilkecilnya tak dapat digunakan. Kita memerlukan apa yang oleh Habermas disebut rasio
komunikasi sebagai kerangka pikir untuk membangun kembali komunitas nasional
Indonesia yang saling-percaya. Dengan rasio komunikasi, komunikasi yang
menghasilkan konsensus bersama dapat dicapai. Tetapi komunikasi ala Habermas
mensyaratkan kesetaraan antara pihak yang terlibat di dalamnya. Persoalannya, kita
temukan di Indonesia berbagai pihak yang mengklaim dirinya lebih benar dan lebih
baik, juga pihak-pihak yang mengklaim pihak lain lebih buruk, lebih salah dan lebih
tidak mampu. Jelas persepsi kesetaraan sedang tidak dialami oleh banyak pihak di
Indonesia. Bagaimana komunikasi intersubjektif jadi mungkin? Jika pihak-pihak yang
akan terlibat dalam komunikasi tidak memposisikan diri mereka setara dengan yang
lain, mustahil komunikasi ala Habermas berlangsung secara efektif. Bagaimana
mengatasi keadaan seperti itu? Bagaimana menyetarakan pihak-pihak yang tercakup
dalam Indonesia?
Belajar dari hubungan ibu dan anak, juga dari proses pembentukan komunitas
kepercayaan lokal, kita temukan di sana adanya sikap dan rasa saling-peduli. Kita
selami lebih dalam lagi, dasar saling-peduli itu adalah kesiapan untuk berkorban,
kesediaan untuk dirawat dan diurusi, persepsi bahwa orang lain selalu memperhatikan
dan selalu siap membantu. Lebih dasar lagi, ada totalitas kehendak untuk menerima
dan menyerahkan diri dalam berbagai aspek kehidupan di sana, totalitas emosional
yang mengesampingkan pertimbangan untung-rugi, menang-kalah, sukses-gagal,
maju-mundur dan sebagainya. Ada kesiapan menanggung risiko baik dan buruk, benar
dan salah. Itu semua didasari oleh gairah untuk hidup bersama di sana. Itu semua
tercakup dalam gairah.
Gairah (passion) inilah yang terutama mempersatukan komunitas kepercayaan
lokal, mempersatukan ibu dan anaknya, mempersatukan orang-orang yang saling
percaya. Dalam gairah itu ada courage atau kesatriaan, kemampuan untuk mengambil
keputusan dalam situasi tak menentu dengan pertimbangan matang disertai oleh
kesiapan menanggung risiko salah pilih. Gairah inilah yang perlu dikembangkan oleh
Indonesia.

Gairah memang berwajah dua, bisa positif, bisa negatif. Gairah positif
mempersatukan dan mengembangkan, seperti kepedulian, perhatian, kerelaan
merawat dan mengembangkan, serta kesediaan berkorban. Sedangkan gairah negatif
memecah-belah dan menghancurkan, seperti kebencian, keserakahan, kemarahan, dan
iri-hati. Orang-orang dalam komunitas kepercayaan lokal punya gairah positif
terhadap kelompoknya sendiri, di sisi lain tak jarang menunjukkan gairah negatif yang
destruktif terhadap pihak-pihak di luar kelompoknya. Persoalannya lalu: Bagaimana
menjaga agar gairah positif terbuka bagi siapa saja dan gairah negatif redup atau
tersalurkan tanpa destruksi?
Di sini kita lalu bicara tentang negara dan aparatnya dari pusat sampai daerah.
Bisa kita tambahkan juga dalam negara peran pemimpin-pemimpin lokal informal,
kelompok swadaya masyarakat, pemimpin adat dan sebagainya. Bagaimana agar
negara dengan aparatnya dan para pemimpin lokal-informal bisa mengelola gairah,
memanajemi gairah untuk menghasilkan pemanfaatan rasio komunikatif yang
membawa kepada integrasi sosial di Indonesia?
Mencari Metafor Lain: Negara sebagai Pawang
Kita bisa mengambil metafor negara sebagai pawang untuk membantu
penyelesaian masalah-masalah di Indonesia. Apa yang dilakukan pawang terhadap
apa yang dipawanginya menurut saya analog dengan apa yang mestinya dilakukan
negara terhadap rakyatnya. Pawang memahami objek yang dipawanginya. Ia tidak
menempatkan diri di atas atau di bawah mereka. Dengan kata lain, pawang
menempatkan mereka yang dipawanginya setara dengan dirinya. Ia menggunakan
dialog sebagai strategi untuk memahami mereka yang dipawanginya. Pawang bukan
hanya menjinakkan, melainkan juga mengoptimalkan kemampuan, mengembangkan
potensi dan memfasilitasi aktualisasi potensi mereka yang dipawanginya.
Sebagai pawang, negara memahami rakyat termasuk kebutuhan-kebutuhan
mereka dan berbagai karakteristiknya. Negara harus bisa berkomunikasi dengan
rakyatnya secara efektif dan afektif, serta harus mampu merawat mereka, bisa
menenangkan, juga mengoptimalkan dan mengaktualisasi potensi-potensi individu
yang menjadi rakyatnya. Negara harus bisa membawa mereka ke pencapaian
kesejahteraan prestasi yang tinggi.
Metafor negara sebagai pawang ini merupakan strategi yang belum dijajaki.
Pandangan ini berkontradiksi dengan pandangan umum yang memandang manusia

sebagai makhluk yang buas. Pada dasarnya, pawang memandang alam bukan sebagai
hal yang liar dan buas. Alam dipandang sebagai kumpulan dari berbagai potensi, baik
yang negatif maupun positif. Alam bisa menampilkan wajah dan tindakan yang
beringas, bisa juga tampil ramah, bersahabat dan memberi kehidupan yang memadai
bagi makhluk hidup. Alam dapat menampilkan sisi destruktifnya yang bernilai negatif
bagi makhluk hidup, bisa juga menampilkan sisi konstruktif yang bernilai positif.
Makhluk hidup sebagai bagian dari alam pun demikian. Hewan-hewan bisa
menampilkan sisi positif-konstruktif, bisa juga menampilkan sisi negatif-destruktif.
Sifat positif dan negatif sama-sama mungkin untuk ditampilkan, begitu juga
kecenderungan konstruktif dan destruktif. Persoalannya adalah bagaimana
memfasilitasi yang positif dan konstruktif serta memperkecil bahkan menghilangkan
yang negatif dan destruktif.
Memandang negara sebagai pawang berarti memandang manusia sebagai
makhluk yang memiliki potensi-potensi baik, positif dan konstruktif. Metafor ini
bertentangan dengan metafor negara sebagai leviathan yang dikemukakankan Thomas
Hobbes. Diktum homo homini lupus tidak tepat dipakai sebab cenderung membawa
kita kepada kecurigaan dan penilaian negatif terhadap manusia. Negara yang
menganut faham ini cenderung memfokuskan kebijakannya untuk mencegah
rakyatnya bertindak buas dan liar; peraturan yang dibuat kebanyakan bersifat
preventif. Sementara kebijakan yang mengembangkan rakyat tidak banyak
dicanangkan dan program promosi hal-hal yang baik terabaikan.
Di sisi lain, pandangan romantik ala J.J. Rousseau yang pukul rata bahwa alam
adalah baik cenderung membawa kita mengabaikan kemungkinan-kemungkinan
buruk yang didapat sebagai akibat dari potensi negatif dan destruktif manusia.
Memahami negara sebagai pawang adalah memahami dua jenis potensi, negatif dan
positif, destruktif dan konstruktif. Metafor negara sebagai pawang mengandung
pemahaman bahwa potensi harmoni dan konflik sekaligus terkandung dalam
kehidupan bersama yang dijalani manusia. Bagaimana potensi harmoni dapat
diaktualisasi dan potensi konflik dicegah perwujudannya, itulah persoalan yang harus
dijawab negara. Tugas negara sebagai pawang adalah fasilitasi hal-hal positif dan pola
hidup yang konstruktif demi tercapainya kesejahteraan bersama.
Dari pencermatan kita terhadap para pawang dan bagaimana mereka bekerja,
negara bisa belajar bagaimana menjalankan kehidupan politik yang egaliter, salingmemahami, saling-mengembangkan dan sejahtera. Cara pandang negara terhadap

rakyat perlu diubah. Negara bukan pengarah dan penentu apa yang harus dilakukan
rakyat melainkan sebagai fasilitator yang menyimak apa kemauan rakyat. Tugas
negara adalah membantu memberi alternatif, menanggapi kemauan rakyat secara
kritis dan hangat, membangun dan menyediakan fasilitas fisik dan psikis, membangun
atmosfer yang kondusif bagi perkembangan individu dan kelompok, mengembangkan
budaya yang meleluasakan perolehan hak dan pencapaian kesejahteraan bersama,
membantu kesulitan-kesulitan rakyat, bersama-sama mencari jalan keluar bagi
masalah-masalah yang dihadapi rakyat, serta bersama-sama merancang visi dan misi
masa depan negara.
Semua tugas negara itu perlu dijalankan dengan gairah positif berlimpah,
dengan kecintaan yang besar terhadap rakyat dan kehendak untuk mengembangkan
dunia bersama. Seperti ibu merawat dan mengembangkan anaknya, begitulah negara
semestinya mengurus rakyat. Gairah positif dan kehendak untuk mengembangkan
yang tampil kongkret dan intensif akan melahirkan rasa percaya, membina solidaritas
rakyat Indonesia. Dengan kepercayaan dan solidaritas, komitmen untuk membangun
dan mengembangkan Indonesia dapat ditegakkan dan diwujudkan dalam tindakan
kongkret. Dengan komitmen konstruktif, integrasi bisa dijalin kembali sehingga
Indonesia sebagai negara kesatuan dapat dipertahankan dan dikembangkan terusmenerus.***

i

Makalah ini ditulis berdasarkan diskusi intensif yang dilakukan bersama Eric Santosa, Herdis Herdiansyah dan Chris
Sahat Panggabean untuk keperluan diskusi di Lingkar Muda Indonesia yang diselenggarakan harian Kompas
pertengahan April 2006. Makalah ini dimodifikasi tanggal 13 Desember 2006.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Dominating Set Dan Total Dominating Set Dari Graf-Graf Khusus

5 80 24

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157