KATA FRASA YANG TIDAK BISA INDAH

KATA/FRASA YANG TIDAK (BISA) INDAH
Oleh Aprinus Salam
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, ada kata atau frasa yang tidak bisa
dipaksa untuk menjadi (dirasakan) indah, katakanlah jika frasa tersebut dipakai
dalam puisi. Frasa tersebut antara lain; orde lama, orde baru, reformasi, kolusi,
nepotisme, undang-undang, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan sebagainya.
Tulisan ini menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi.
Terdapat sejumlah aras bagaimana kata/frasa dipakai untuk dikomunikasikan,
dipahami, dimaknai, dan tidak kalah pentingnya dirasakan. Aras tersebut adalah
aras denotatif, konotatif, dan yang jarang dibicarakan adarah aras rasa/perasaan,
atau hal-hal yang bersifat emosional. Secara umum kita bisa menganggap tidak ada
masalah pada aras denotatif. Hal itu berkaitan dengan konvensi pengertian
kata/frasa dalam pengertian pertamanya. Hal yang secara umum disepakati oleh
pengguna bahasa dalam satu wilayah politik, sosial, dan kultural tertentu.
Akan tetapi, setiap kata/frasa bisa juga berdimensi konotatif. Sebagai sesuatu yang
arbitrer dimensi konotatif bergantung pada konvensi simbolik penggunanya.
Konvensi simbolik itu bergantung sejarah pengalaman masyarakat pengguna
kata/frasa tersebut. Dalam sejarah pengalaman inilah konvensi simbolik tersebut
menciptakan ruang-ruang tersendiri untuk dimaknai lebih lanjut. Ruang-ruang
tersebut bisa ruang politik, ekonomi, atau sosial, dsb. Pemaknaan terhadap warna
merah atau meja hijau bisa berbeda-beda untuk wilayah politik dan kultural yang

berbeda.
Dalam konotasi penciptaan ruang tersebutlah kata/frasa berhubungan dengan
persoalan rasa, rasa berbahasa. Ada rasa berbahasa yang bisa membuat marah,
sedih, terharu, gembira, atau mendatangkan suasana atau rasa keindahan tertentu.
Kata kucing garong, misalnya, memenuhi syarat untuk dimensi itu, baik dalam aras
denotasi, konotasi, atau secara simbolik. Untuk hal-hal emosional, tergantung
bagaimana ungkapan tersebut digunakan.
Kembali ke persoalan, terdapat kata/frasa yang tidak bisa (dirasakan) indah. Hal
tersebut dimungkinkan karena kata/frasa memiliki sejarah perjalanannya sendirisendiri. Frasa orde baru, jika kata tersebut berdiri sendiri-sendiri, mungkin memiliki
potensi nuansa rasa tersendiri. Gerimis baru, kata lama memberikan suasana. Orde
tabung, juga memberikan kesan tersendiri. Akan tetapi, gerimis orde baru, bukan
saja memberikan suasana yang tidak puitis, tetapi justru kesan tidak menyenangkan
pada gerimisnya.
Artinya, dapat dikatakan bahwa kata/frasa tertentu dalam sejarah perjalanannya
tidak pernah masuk ke ruang puitik. Banyak kata/frase hanya bermain di ruang

politik atau kritik sosial, sehingga kata tersebut tidak mampu menembus rasa indah
berbahasa penggunanya. Inilah yang sering terjadi mengapa banyak puisi rasa
keindahan puitiknya begitu lemah karena penyair tidak mampu menyiasati pilihan
diksi/frasa karena memberdayakan puisinya untuk melakukan kritik, bahkan secara

verbal.
Persoalannya, mengapa ruang-ruang politik atau kritik sosial tidak mampu
membangun imaji puitik yang secara langsung berhubungan dengan nuansa
keindahan? Hal ini disebabkan bahhwa perjalanan politik kita memang tidak pernah
memberikan pengalaman keindahan. Bisa jadi bahwa imaji politik memang
bertentangan atau tidak pernah cocok dengan imaji dan perasaan keindahan.
Memang menjadi persoalan tersendiri apa itu yang disebut dengan (perasaan)
indah atau merasa sesuatu ada keindahan di dalamnya. Sebetulnya, keindahan juga
terkait dengan objek yang diwakili oleh keindahan itu sendiri. Ketika seseorang
mengatakan matahari terbenam di ujung danau. Kemudian, kita membayangkan
suatu pemandangan matahari di kala sore menjelang dia terbenam, dan sebuah
danau yang berwarna kemerah-merahan yang siap menyembunyikan sang matahari
di balik jubirnya. Jika banyak orang sepakat hal itu sebagai sesuatu yang indah,
maka hal itu memang indah.
Hal tersebut akan berbeda jika kita mengatakan rezim orde baru/ melahirkan para
koruptor rakus/ pelanggar undang-undang. Sebagai bahasa kritik dalam ruang dan
imajinasi politik frasa tersebut bisa diterima, tetapi tetap tidak ada keindahan di
dalamnya. Inilah yang saya sebut hilangnya perasaan indah ketika kata atau frasa
tertentu membawa kita pada satu imajinasi sejarah tertentu yang di dalamnya tidak
menyimpan memori (atau semacam postmemory), yang ketika coba dikenang

sekarang, tidak ada hal-hal yang indah dan menyenangkan di dalamnya. Bahkan
yang ada hanya semacam trauma.
Maksud lain dari tulisan ini ingin menjelaskan bahwa sastrawan atau penyair perlu
bersiasat untuk mengatasi imaji-imaji puitik tertentu, menyiasati postmemory
tertentu agar karyanya sebagai satu representasi makna yang penuh dengan hal-hal
konotatif tidak terjebak pada hal-hal yang semata-mata kognitif, tetapi hal-hal
(perasaan) indah tetap terjaga di dalamnya. Paling tidak perlu ada upaya, taktik,
strategi, siasat bagaimana kemudian menempatkan kemungkinan kata atau frasa
yang dalam sejarahnya tidak memiliki imaji keindahan, dapak dikalahkah oleh
kekuatan puitik, baik pada tataran sintaksis maupun pada tataran yang lebih besar
daripada sintaksis.
Demikianlah, bahwa menulis karya sastra bukan sekadar menyampai suatu hal
secara verbal. Sintaksis dan komposisi kata, juga sejarah kata, perlu mendapat
pertimbangan utama. Persoalan lain dalam sejarah kata yang berkaitan dengan
kemungkinan “tahap keindahan” adalah adanya semacam konstruksi periodik

(periodisasi selera). Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika masih ditemukan
karya sastra yang ditulis oleh sastrawan atau penyair hari-hari ini bergaya Balai
Pustaka atau Pujangga Baru. Sekali lagi, ini memang soal pilihan dan selera. Akan
tetapi, jelas karya sastra seperti ini dari segi estetika dan perasaan keindahan sudah

sangat tertinggal. Bahasa yang lebih umum, sudah tidak musimnya.
Akhirnya, bagaimanapun juga menulis karya sastra itu adalah suatu perjuangan
menguasaikan kata-kata, menaklukan bahasa. Jika penulis sastra tidak mampu
menaklukan kata-kata dan bahasa, maka dia hanya sekadar bisa menulis dan
pengekor. Ketika dia mampu menaklukan kata-kata dan bahasa, maka ia akan
menjadi dirinya. Dirinya itu adalah ciri khas bagaimana dia menaklukan kata-kata
atau bahasa itu. Karena setiap orang punya cara sendiri-sendiri dalam menaklukan
kata-kata atau bahasa.
Aprinus Salam, penggemar sastra, pengajar Pascasarjana FIB UGM.