resume 15 jurnal kuantitatif .docx

NAMA
NIM
MATA KULIAH
SEMESTER
JURUSAN
KONSENTRASI
Journal List

: TANIA DWIKA PUTRI
: 1510248307
: ISU-ISU KOMUNIKASI
: GENAP (II)
: MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
: KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAHAN

:

1. Representational style : The Central Role of Communication in Representation.
A dissertation by Justin Ryan Grimmer, Harvard University, 2010.

2. BEING WOMAN IN THE LAND OF SHARI‘A Politics of the Female Body, Piety

and Resistance in Langsa, Aceh.
Muhammad Ansor State College for Islamic Studies (STAIN) Zawiyah Cot Kala,
Langsa, Indonesia. Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies Vol. 52, no. 1 (2014), pp.
59-83, doi: 10.14421/ajis.2014.521.59-83

3. Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Ditinjau
dari Prinsip Keadilan, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi)
Disertasi Doktor, RR.Cahyowati, SH, MH, UNIVERSITAS BRAWIJAYA,
November 2011.

4. Politik Representasi Perempuan: Advokasi Kebijakan Perlindungan Perempuan. Dwi
Windyastuti Budi Hendrati, 2013.
SK Akreditasi (B) No. 81/DIKTI/Kep/2011, Tanggal 15 November 2011.

5. Perempuan dan Politik: Studi Komunikasi Politik tentang Keterwakilan Perempuan di
Legislatif.
Zaenal Mukarom, Mediator, 2008. Terakreditasi Dirjen Dikti SK. No.
56/DIKTI/Kep/2005.

6. Perempuan Dalam Parlemen Studi Analisis Kebijakan Kuota Perempuan Dalam

Pemilu Legislatif 2009 Di Kota Yogyakarta, Mukhamad Murdiono, 2009, Universitas
Negeri Yogyakarta.

7. Perempuan Di Legislatif: Advokasi Perempuan Legislatif Bagi Kepentingan Dapil Di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Anis Maryuni Ardi, Jurnal Politik
Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014,303-318.

8. Women representation politics: Women’protection policy advocacy, Dwi Windyastuti
Budi Hendrarti Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Airlangga.

9. Keterwakilan Perempuan Dalam Lembaga Legislatif Kabupaten Malinau (Studi Pada
Anggota DPRD Kabupaten Malinau), 2013, Mari Resiana, e-Journal Politik
Intergratif.

10. Female Politicians in Political Parties of 2014 Election: Descriptive Representation
vs. Substantive Representation, Nuri Soeseno, 2014, University of Indonesia.

11. Partisipasi Politik Perempuan (Perspektif Tradisi Islam Lokal Kudus), M. ZAINURI,
2007.


12. The Islamic-Political Genealogy of Fatayat in Soekarno and Soehato Era: A Feminist
Perspective on the History of Organization, Nihayatul Wafiroh, Indonesian
Consortium for Religious Studies (ICRS), Yogyakarta, 2014.

13. Konstruksi Pemberitaan Politik Ber-Isu Gender, Diah Wulandari, 2010, Universitas
Diponegoro.

14. Feminisme dan Pelecehan Seksual dalam Birokrasi Kekuasaan Pemerintahan, Gitadi
Tegas Supramudyo, 2010.

15. Feminisasi dan Pelecehan Profesi Berjender Feminin: Sebuah Tantangan Praktisi
Public Relations, Kamaratih Puspa, 2010.

RESUME
Menurut Mary O'Brien (Phillips 1991:2) dengan konsep malestream, posisi
perempuan telah dikeluarkan atau diabaikan atau diletakkan pada posisi yang subordinasi.
Perempuan sebagai anggota kelompok sosial kurang terepresentasi dan mengalami
ketidaksamaan struktural sosial yang berimplikasi pada ketidaksamaan politik dan eksklusi
bagi perempuan dari diskusi politik yang berpengaruh. Sebagai jawaban atas problem di atas
adalah membuat desain bagaimana mempromosikan inklusi perempuan ke dalam institusi

politik. Tak pelak perjuangan representasi perempuan pada akhirnya lebih banyak diarahkan
dan menggunakan pertimbangan pada upaya meningkatkan representasi perempuan yang
berorientasi pada kehadiran fisik daripada yang substantif. Bagi para aktivis perempuan,
politik presence dianggap sebagai alternatif atas eksklusi perempuan selama ini di ranah
politik. Semakin banyak jumlah wakil perempuan maka akan lebih banyak preferensi
perempuan terakomodasi, sehingga kebijakan yang dihasilkan akan menjadi lebih absah.
Selain itu semakin banyak jumlah wakil perempuan maka perempuan sebagai “kelompok
minoritas” semakin bisa mengafirmasikan diri kepada kelompok dominan bahwa perempuan
juga memiliki perspektif atau insight. Ketika ada perbedaan pengalaman, komitmen dan
pandangan maka yang diwakili akan dibawa kepada arus kepentingan wakil yang notabene

kebanyakan laki-laki (Kymlicka & Norman 1999:104) daripada kepentingan perempuan.
Akan tetapi desain ini menjadi terlalu naif bila pencarian akar persoalan tidak
terepresentasinya perempuan lebih dipusatkan pada aspek “politik jumlah”, yang bermuara
pada tuntutan pada proporsionalitas perempuan.
Berangkat dari ketidakmemadaian dan ketidakefektifan konsepsi representasi yang
berorientasi pada politik “presence” atau representasi formalistik (terpampang dalam
kebijakan) maka mengkonsepsikan representasi perempuan dari aspek yang lebih substantif
menjadi salah satu parameter mengukur representasi perempuan. Wakil perempuan tidak
selalu melihat dirinya sebagai ”acting for” perempuan, sehingga representasi oleh gender

perempuan tidak selalu memiliki relasi yang dapat diprediksi mendukung kepentingan
substantif perempuan (Kymlicka & Norman 2005:102). Mekanisme metafisika kehadiran
(presence) perempuan yang lebih menggambarkan situasi pembuatan keputusan sangat
diperlukan guna membangun kembali kerangka (reframing) perjuangan representasi
perempuan. Fungsi advokasi feminis paling efektif ketika fungsi ini terkait dengan proses
pembuatan kebijakan.
Dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, 6,5 persen dari anggota parlemen
adalah perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia di parlemen mengalami
pasang surut, dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0 persen pada tahun 1987. Saat ini,
jumlah perempuan mencapai 8,8 persen dari seluruh anggota perwakilan terpilih. Kurangnya
keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi
kemajuan mereka. Oleh karena itu, berbagai strategi harus dipelajari secara simultan untuk
mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di
parlemen bisa diwujudkan. Studi kasus ini menyajikan tingkat representasi politik perempuan
di Indonesia, dan mengkaji beberapa dari hambatan yang menghalangi wanita untuk menjadi
anggota parlemen. Selain itu, ditawarkan berbagai strategi yang bisa dipertimbangkan untuk
mengatasi permasalahan keterwakilan ini.
Dalam perspektif feminis, pembelahan privat dan publik melahirkan kekuasaan yang
sangat maskulin, dan berkonotasi androsentris ketika kekuasaan ekuivalen dengan kekuatan,
kompetisi, agresi, paksaan. Kekuasaan nampak menjadi domain laki-laki dan konsekuensinya

laki-laki dan perempuan tidak memiliki akses yang sama terhadap sumber-sumber daya yang
ada dan laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan (Squires 1999, Makara 1998). Sebagai
ilustrasi, betapa kekuasaan masih menjadi domain laki-laki. Memasukkan perempuan ke
dalam lembaga politik dan pemerintahan bertitik tolak dari praktek politik yang malestream,
sebuah perjuangan yang dilandasi oleh arus pemikiran yang berpusat pada laki-laki dan

maskulinitas. Perjuangan untuk melawannya adalah dengan cara yang bersifat adversarial
yaitu femalestream.
Berangkat dari ketidakmemadaian dan ketidakefektifan konsepsi representasi yang
berorientasi pada politik “presence” atau representasi formalistik (terpampang dalam
kebijakan) maka mengkonsepsikan representasi perempuan dari aspek yang lebih substantif
menjadi salah satu parameter mengukur representasi perempuan. Wakil perempuan tidak
selalu melihat dirinya sebagai ”acting for” perempuan, sehingga representasi oleh gender
perempuan tidak selalu memiliki relasi yang dapat diprediksi mendukung kepentingan
substantif perempuan (Kymlicka & Norman 2005:102). Mekanisme metafisika kehadiran
(presence) perempuan yang lebih menggambarkan situasi pembuatan keputusan sangat
diperlukan guna membangun kembali kerangka (reframing) perjuangan representasi
perempuan. Fungsi advokasi feminis paling efektif ketika fungsi ini terkait dengan proses
pembuatan kebijakan.


KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA & POLITIK
Konsep keluarga dalam pembangunan menghadirkan gambaran yang subordinat
terhadap perempuan dengan hadirnya jabatan konkret lelaki (suami) sebagai kepala keluarga.
Penyebutan status jabatan suami dalam keluarga sebagai kepala keluarga bukan hanya
sekadar cara untuk memudahkan pencacahan, melainkan mengandung makna keterwakilan.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan antara kaum perempuan itu sendiri, tentang apa yang
diinginkan dan diperjuangkan, Karena kedudukan perempuan masih berada di bawah. Hanya
kaum perempuan sendiri yang dapat mengukur sudah merdeka atau belum dalam arti yang
sesungguhnya, Oleh sebab itu banyak wanita ingin terjun kedunia politik sebagai pelarian
atas tidak dapat terwakilinya aspirasi-aspirasi wanita.
Pendapat itu pasti tidak melihat bahwa dunia politik juga harus membutuhkan
sentuhan-sentuhan feminisme, mengingat dunia politik sangat dominan dalam menentukan
kehidupan, padahal perempuanlah yang mempunyai hak dan wewenang memelihara hidup
(kodrat alam), maka sudah seharusnya perempuan diberi dan harus diambil dalam bidang
politik. Keterwakilan harus mencerminkan keadilan dari komposisi penduduk, dimana jumlah
peduduk perempuan hampir setengah dari penduduk Indonesia. Berbagai perangkat hukum
telah melegitimasi partisipasi politik bagi perempuan, diantaranya UUD Negara Repulik
Indonesia Tahun 1945, ratifikasi konvensi internasional yang berkaitan dengan keterwakilan
perempuan, Undang-undang Politik, dan Undang-undang Pemilu yang telah mengakomodir


keterwakilan perempuan minimal 30 % , kenyataannya perempuan masih jauh tertinggal
dengan laki- laki, khususnya di bidang politik. Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
sejak pemilu tahun 1955 sampai dengan pemilu tahun 2009, masih di bawah 20%. Implikasi
minimnya keterwakilan perempuan di DPR RI, berdampak pada kehidupan politik karena
kita akan kehilangan pengalaman, perspektif, dan nilai yang dibawa oleh wakil perempuan
yang akan memperkaya proses politik menjadi lebih berempati, punya kepedulian dan belas
kasih. Meminggirkan perempuan dalam politik sama saja artinya dengan mengabaikan
perempuan dalam proses politik. Demokrasi tanpa keikutsertaan perempuan bukanlah
demokrasi yang sesungguhnya. Kebijakan afirmatif dalam Undang-undang Pemilu, dalam
pencalonan, dan penempatan perempuan dalam daftar calon, harus memberikan peluang
perempuan untuk terpilih, disertai sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
tersebut. Pemilu prefrensial dapat dijadikan alternatif pada pemilu tahun 2029, karena dapat
menjamin keterwakilan perempuan di DPR RI, prinsip pokok sistem pemilu preferensial
adalah pemilu tidak hanya sebagai instrumen untuk bersaing, melainkan juga sebagai
instrumen untuk bekerjasama, di dalam memperebutkan (kursi) kekuasaan.
Dalam Sosiologi, “perempuan sebagai suatu objek studi banyak diabaikan. Hanya di
bidang perkawinan dan keluarga dia dilihat keberadaannya. Kedudukan dalam sosiologi,
dengan kata lain bersifat tradisional sebagaimana ditegaskan kepadanya oleh masyarakat
yang lebih besar, tempat kaum wanita adalah di rumah”.(Jane C. Ollenbueger & Helen A.
Moore, 2002:1) “Peran Adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang

berkedudukan di masyarakat”.( Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 1995) “Peran
merupakan aspek dinamis kedudukan, apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran”.( Soerjono
Soekanto, 1997: 268) Peran yang melekat pada diri seseorang dapat membedakan posisinya
dalam pergaulan di masyarakat.
Perempuan adalah warga negara dari suatu bangsa yang mempunyai tugas, kewajiban
dan hak dalam berpartisipasi dalam pembangunan. Perempuan sebagai ”empu” mempunyai
kewajiban untuk berbuat sesuatu demi kesejahteraan bangsa dan menjadi inspirasi penting
bagi tumbuhnya transformasi sosial masyarakat secara lebih berbudaya dan manusiawi. (Budi
Santoso ,1996:13) Kaum perempuan telah menjadi peredam kejut bagi berbagai kebijakan
perubahan sosial dan penyesuai struktural. Mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses yang
membuat dirinya sengsara. Persoalan perempuan itu muncul setelah dibongkarnya mitosmitos kultural dan struktural yang dipandang menyudutkan posisi kaum perempuan, ternyata
tidak selesai bahkan makin bertambah kompleks. Sekalipun perempuan telah mempunyai

peluang untuk berkiprah dalam pembangunan dan dalam dunia kancah politik secara lebih
luas, namun pada dimensi-dimensi tertentu masih ditemukan batas-batas dan problemproblem baru termasuk bahwa idiom-idiom pembangunan dan kiprah di dunia politik masih
diwarnai kekuasaan laki-laki tampaknya pemberian kesempatan kepada perempuan masih
“setengah hati”.
Inilah yang menyebabkan ketidakberdayaan (powerless) kaum perempuan dalam
menghadapi rekayasa sosial. Perempuan banyak yang menjadi korban sosial dan peralihan

industri dalam pembangunan kita. Dengan posisi domestik, mitos dan budaya tidak
menempatkan perempuan digaris depan. Dengan bahasa lain sektor domestik dianggap tidak
lebih penting daripada dimensi publik. Persepsi dan interpretasi inilah yang membuat para
aktivis perempuan melakukan gelombang pemberontakan tentang akses pribadinya dalam
sektor publik.

GENDER
Gender adalah kata kunci untuk setiap upaya mentransformasikan posisi kaum
perempuan. menurut Ann. Oakley “Gender adalah pembagian peran serta tangung jawab,
baik laki-laki maupun perempuan yang ditetapkan secara sosial maupun cultural”.( Maria
Etty, 2004:17) Pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari dua
konsep yaitu Pertama, dari jenis kelamin dan dari gender, jenis kelamin disini mengacu
kepada bentuk fisik manusia itu sendiri dan reproduksi sedangkan yang Kedua, gender itu
mengacu pada tingkatan jabatan serta kesetaraan antara wanita dan laki-laki.
GENDER EQUALITY ( KESETARAAN GENDER )
Kesetaraan dan keadilan gender yang diperjuangkan kaum perempuan Indonesia tidak
pernah menyalahi kodrat mereka sebagai hamba Allah. Bahwa hanya mereka yang
berkualitas yang berhak menduduki posisi terdepan, perlu diketahui dua konsep pembedaan
antara perempuan dengan laki-laki yaitu pembedaan peran, kedudukan, fungsi, posisi, dan
tanggung jawab berdasarkan kodratnya. Laki-laki berbeda dengan perempuan, pernyataan itu

dapat dikatakan berlaku universal. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak saja
terbatas pada perbedaan biologis. Banyak kajian tentang perbedaan antara laki-laki dan
perempuan yang dilihat dari beberapa faktor. Faktor –faktor yang membedakan antara lain
dilihat dari faktor biologis dan faktor sosial budaya.

GERAKAN PEREMPUAN
“Gerakan perempuan yang sebelumnya tidak memiliki energi kini timbul dengan
berbagai upaya, diantaranya usaha pemberdayaan hak-hak perempuan khususnya hak politik
dalam rangka mengentaskan perempuan dari kubangan destruktif. Gerakan itu bertujuan
menghilangkan apatisme dan ketidakberdayaan perempuan yang selama puluhan tahun
dijebloskan oleh sistem politik hegemonik dan represif”.(Tari Siwi Utami,2001:5) Memasuki
abad ke-20 semakin banyak kaum perempuan menduduki jabatan-jabatan yang sebelumnya
hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Hal ini dipandang perempuan lebih cocok
menempati posisi-posisi tertentu, antara lain: karena kaum perempuan dipandang secara
ilmiah mempunyai kepekaan, keluwesan, dan kebijaksanaan dalam memutuskan suatu
permasalahan. Dalam

mengambil

keputusan,

kaum

perempuan dianggap lebih

mengutamakan realitas, rasio, dan perasaan, ketimbang laki-laki yang lebih mementingkan
emosi dan harga dirinya.
FEMINISME
Saat ini tengah terjadi pembudayaan perempuan. Segala bentuk citra pembangunan
dibentuk atas dasar kebutuhan, selera, dan semangat perempuan. Konsekuensinya, segala
bentuk perilaku yang menonjolkan perempuan tidak diberi kesempatan. Masyarakat
perempuan adalah masyarakat untuk laki-laki dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang
penuh atas masyarakat perempuan. Dalam dunia politik, proposionalitas perempuan relatif
rendah. Padahal pemilih perempuan mencapai setengah dari jumlah pemilih dalam pemilihan
umum.
Operasionalisasi upaya pembebasan diri kaum perempuan dari berbagai ketimpangan
perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminis. Sesuai dengan
perkembangan zaman gerakan feminis mulai diwarnai oleh berbagai hasil studi perempuan
berperspektif gender atau studi gender atau studi tentang peran perempuan dalam
pembangunan berwawasan gender atau berwawasan kemitra sejajaran. Sebagai suatu
gerakan, titik tolak pembahasan feminisme harus mengacu pada definisi operasional dan
bukan dari definisi ideologis. Dengan demikian, feminisme hendaknya dilihat sebagai suatu
seruan beraksi atau suatu gerakan dan bukan sebagai fanatisme keyakinan. Dengan
demikian, inti gerakan feminisme lebih merupakan suatu kesadaran yang penuh dari
perempuan mengenai ketidaklayakan dan distorsi (bias) ideologi yang diciptakan oleh kaum
laki-laki. Berdasarkan hal ini, kaum perempuan mulai memikirkan cara bertindak dan

tindakan konkret yang perlu dilakukan terhadap pengabaian potensi perempuan sebagai
manusia.
Perempuan dalam konteks gender didefinisikan sebagai sifat yang melekat pada
seseorang untuk menjadi feminism (bersifat kewanitaan). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata perempuan bermakna (1) orang (manusia) yg mempunyai puki, dapat
menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; (2) istri; bini: — nya sedang
hamil; (3) betina (khusus untuk hewan), sedangkan kata wanita bermakna perempuan
dewasa: kaum — , kaum putri (dewasa). Sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, peran perempuan sudah dalam dunia politik sudah ada, karena Sejarah Indonesia
mencatat seorang tokoh bernama Gayatri Rajapatni (Ratu di atas segala Ratu) yang wafat
pada tahun 1350 yang diyakini sebagai perempuan di balik kebesaran Kerajaan Majapahit.
Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha yang di mata banyak orang tidak mungkin
memberikan ruang bagi perempuan untuk berpolitik. Tetapi hasil kajian yang dilakukan oleh
mantan Dubes Canada untuk Indonesia (Earl Dark, ia juga sebagai sejarawan) membuktikan,
bahwa puncak kejayaan Majapahit tercapai karena peran sentral Gayatri, istri Raden Widjaya,
ibunda ratu ketiga Majapahit, Tribhuwanatungga-dewi, sekaligus nenek dari Hayamwuruk,
raja terbesar di sepanjang sejarah Kerajaan Majapahit. Gayatri tidak pernah menjabat resmi
sebagai ratu, tetapi peran politiknya telah melahirkan generasi politik yang sangat luar biasa
di Nusantara kala itu.
Di era Kolonialisme Belanda kita mengenal RA Kartini, ia lahir sebagai pemimpin
perempuan yang memperjuangkan kebebasan dan peranan perempuan melalui emansipasi
dalam bidang pendidikan. Berkat pemikiran-pemikiran yang ia lahirkan, sehingga sampai saat
ini pemikirannya masih menjadi bahan kajian para Kartini masa kini. Tokoh Supeni, dikenal
sebagai politikus wanita yang menduduki berbagai jabatan penting di Indonesia. Ia pernah
menjabat sebagai anggota DPR sekaligus anggota Konstituante melalui partai PNI. Sebagai
diplomat, ia pernah menjabat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk
Amerika Serikat dan duta besar keliling di zaman Presiden Soekarno. Sebagai salahsatu
contoh lagi yakni Dra. Khofifah Indar Parawansa, ia adalah Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan pada Kabinet Persatuan Nasional.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (2)
menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” adalah bahwa rakyat
memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih
pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan

masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana
bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan,
menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua
pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing,
serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsifungsi tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu
diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga
Negara Indonesia dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan
menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.
Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan
syarat mutlak untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat
menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan Pemilu yang
baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan
keterwakilan yang makin kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Peran perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, itu juga telah diamanatkan oleh
konstitusi kita Undang-undang Dasar Tahun 1945, pada penggalan Pasal 28D ayat 1 berbunyi
“setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Itu berarti baik laki-laki
maupun perempuan pada dasarnya sama dihadapan hukum, berperan dalam politik, berpran
dalam dunia pendidikan, berperan dalam dunia kesehatan, dan berperan dalam bentuk apa
pun pemi kemajuan dan keutuhan negara tercinta yakni Negara Nesatuan Republik Indonesia.
Lebih lanjut dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua
mengamanatkan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”. Pastilah kita kenal tokoh perempuan yang pertama menjadi Presiden
Perempuan di Indonesia, ia adalah Ibu Megawati Soekarnoputri, menteri juga banyak dari
kalangan perempuan, salahsatunya Ibu Siti Fadilah Supari, pernah menjadi Mentri Kesehatan
Republik Indonesia, ditingkat Pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten, bahkan yang jadi
Walikota dari kalangan perempuan bisa dibilang banyak jumlahnya di Indonesia ini.
Mengenai persamaan yang di amanahkan Undang-undang Dasar Tahun 1945 ada juga di
Pasal 28H ayat (2) yakni berbunyi “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan”. Jadi, tidak ada yang bisa menyangkal bahwasannya permpuan juga bisa
berperan dalam berbagai bidang yang biasananya dilakukan para lelaki, karena itu semua
sudah dijamin dan di khidmad oleh konstitusi kita serta dalam kenyataannya juga telah
terbukti.
Didalam bingkai kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia secara umum
memberikan ruang yang luas dan ramah bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam politik,
termasuk menjadi pemimpin. Bahkan kesempatan ini terus diberikan, termasuk penetapan
kuota 30% perempuan di parlemen melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari perspektif historis, nampak bahwa sepanjang sejarah
Indonesia, pemimpin perempuan telah muncul silih-berganti. Rahim Ibu Indonesia telah
membuktikan diri sebagai rahim yang subur bagi lahirnya para pemimpin perempuan
terkemuka di bumi pertiwi, sungguh mulia jasamu pasa ibu, karena engan tangan lebutmu
engkau rawat anak-anak mu hingga besar dan berprestasi, karena dengan kasih sayang mu
engkau didik anak-anakmu jadi seorang pemimpin.
Adanya partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang
penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan,
kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran. Dalam artian menjunjung tinggi “kebebasan” dalam
berucap, bersikap, berbuat, bertingkah serta berpolitik. Menjunjung tinggi “kesetaraan”
dalam bentuk apapun, termasuk kesetaraan dalam mengambil bagian dan berkompetisi dalam
dunia politik. Menjunjung tinggi kebersamaan dalam membangun bangsa, agar bangsa
indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang adil, bangsa yang bermartabat serta
menjadikan bangsa yang mandiri, bagian ini tidak hanya dilakukan oleh para laki-laki, namun
para perempuan pun harus turut andil didalamnya. Menjunjung tinggi “kejujuran”, kejujuran
itu sangat-sangat tinggi nilainya di mata masyarakat, karena kalau kita telah jujur maka kita
akan dipercayai selamanya, para perempuan pasti telah mengenyam nilai-nilai kejujuran itu,
karena hati dan jiwa perempuan itu lembut dan selalu mengutamakan hati nurani dalam setiap
tingkah-lakunya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada
Pasal 8 Ayat (2) berbunyi “partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah
memenuhi persyaratan”. Pasal 8 Ayat (2) Poin e berbunyi “menyertakan sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat

pusat”. Jadi, keterwakilan perempuan dalam konstitusi itu telah dijamin. Pada Pasal 15 Poin d
berbunyi “surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “penyertaan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan” adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 20, dan Pasal 51 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lebih lanjut pada Pasal 53 Ayat (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyebutkan “di dalam
daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon
terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Lebih lanjut pada Pasal
55 menyebutkan bahwasannya “daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Dalam setiap 3
(tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan
demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.
Pada saat Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, di Pasal 58 Ayat (1) Komisi Pemilihan Umum (KPU)
melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi
bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Pasal 58 Ayat (2) menyebutkan
bahwasannya “KPU Provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran
dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi
terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan”. Pada Pasal 58 Ayat (3) “KPU Kabupaten/Kota melakukan
verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal
calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Pasal 59 Ayat (2)
berbunyi “dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon
tersebut”. Dalam bunyi Pasal 62 Ayat (6) menyatakan “KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon

sementara partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media
massa elektronik nasional”. Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar
calon sementara dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media
cetak selama 1 (satu) hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama 1 (satu) hari.
Lebih lanjut dalam Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan

Rakyat

Daerah, berbunyi

“KPU, KPU

Provinsi, dan

KPU

Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap
partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa
elektronik nasional”. Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon
tetap dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama 1
(satu) hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama 1 (satu) hari. Lebih lanjut pada Pasal
215 Ayat b menyebutkan “dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon
terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan
dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan”.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sejak Pemilu 2004, melalui Undangundang Partai Politik No. 31 tahun 2002, telah berubah beberapakali yakni Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, mengatur perihal keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai
politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%. Meski upaya penerapan
kuota telah dilakukan, namun pada Pemilu 2009 belum menunjukkan angka keberhasilan
yang signifi kan karena baru mencapai 18.04% (101 orang dari 560 orang anggota)
keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). sementara keterwakilan
perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132 orang
anggota). Untuk menopang terwujudnya kuato 30% tersebut perlu pemikiran yang matang
dan keseriusan yang penuh bagi para perempuan yang memilih dan meniti karirnya di dunia
politik tersebut. Dengan keseriusan dan semangatnya untuk mensosialisasikan sampai ke akar
rumput, maka cita-cita pencapaian 30% itu akan terpenuhi di kompetisi bulan April 2014
nanti.

Negara-negara seperti di eropa pemenuhan hak-hak politik perempuan dilakukan
secara incremental, bertahap dan melalui perjuangan yang keras. Hak memilih bagi
perempuan yang paling awal di dunia Barat dinikmati oleh perempuan New Zeland. Hanya
10 minggu setelah gubernur Lord Glasgow menandatangani the Electoral Act 1893, sebanyak
109. 461 perempuan New Zeland tercatat menggunakan hak memilihnya pada pemilu 1893.
Sudah tentu ini tidak berarti bahwa perempuan Indonesia tidak dihadapkan pada persoalanpersoalan sebagaimana banyak perempuan di dunia alami. Dalam bidang politik, persoalan
rendahnya partisipasi dan representasi kaum perempuan, terutama di lembaga-lembaga
publik, termasuk di parlemen merupakan masalah serius di Indonesia.
Perempuan juga, berdasarkan realita objektif persoalan rendahnya dan buruknya
kualitas partisipasi dan representasi merupakan bagian dari persoalan demokrasi Indonesia
yang belum selesai dan masih terus mencari bentuk, dan bukan merupakan persoalan
perempuan semata-mata. Masih banyak kelompok dalam masyarakat Indonesia dihadapkan
pada kedua persoalan ini. Kaum petani, dan nelayan, misalnya, menghadapi masalah ini sama
seriusnya dengan kaum perempuan. Demikian pula dengan kaum buruh. Karenanya,
persoalan partisipasi dan representasi yang buruk ini harus diselesaikan sebagai agenda
politik kolektif sebuah bangsa, bukan dibatasi sebagai medan pergulatan gender situasi inilah
yg terjadi di Indonesia.
Dengan adanya konstitusi yang mengatur tentang keterlibatan perempuan dalam
kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%,
harapan penulis kepada semua kaum perempuan, tidak bereforia dengan terjaminnya hak itu
oleh konstitusi, sehingga hak-hak lainnya yang juga tidak kalah penting terabaikan begitu
saja. Salah satu contohnya, bila perempuan yang sudah berkeluarga, bilamana ingin berproses
dan ingin mengambil bagian yang jamin konstitusi tersebut, harus dulu menyelesaikan
kewajibannya sebagai seorang ibu dan sebagai istri yang baik, mengurus dulu keperluan
anak-anaknya, agar anak-anaknya kelak beranjak dewasa menjadi orang terdidik dan menjadi
pemimpin yang tangguh serta mengurus dulu kewajibannya sebagai seorang istri.
PATRIAKI
Patriaki merupakan suatu sistem yang bersifat menempatkan kedudukan wanita
berada tetap ada dibawah laki-laki dengan adanya sistem ini peran perempuan dalam politik
agak berkurang sebab disamping sudah turun-menurun juga didukung oleh agama yang
menyatakan bahwa perempuan itu tidak boleh menjadi pemimpin. Keberperanan perempuan
dalam pembangunan, tidak lantas melepaskan belenggu perempuan dari mitos-mitos

patriarki. Selain mitos kultural dan struktural, kita perlu melihat keefektifan peran publik di
satu sisi dan peran domestik perempuan di sisi lain.
Perempuan seolah-olah disediakan untuk melayani keluarga sepanjang hidupnya.
Peran domestik perempuan berada di belakang layar “kebesaran” kaum lelaki sebenarnya.
Namun sayangnya, perempuan itu sendiri tidak menjadi populer dengan peran-perannya.
Keberhasilan kaum perempuan dalam posisi demikian malah makin menambah “kekuasaan
laki-laki” di sektor publik. Inilah yang membuat perempuan “cemburu” terhadap realitas
sosial. Kaum perempuan tidak menghendaki kalau fungsinya hanya dijadikan pelengkap
“keperkasaan“ kaum lelaki.
Patriaki merupakan suatu sistem yang bersifat menempatkan kedudukan wanita
berada tetap ada dibawah laki-laki dengan adanya sistem ini peran perempuan dalam politik
agak berkurang sebab disamping sudah turun-menurun juga didukung oleh agama yang
menyatakan bahwa perempuan itu tidak boleh menjadi pemimpin. Keberperanan perempuan
dalam pembangunan, tidak lantas melepaskan belenggu perempuan dari mitos-mitos
patriarki. Selain mitos kultural dan struktural, kita perlu melihat keefektifan peran publik di
satu sisi dan peran domestik perempuan di sisi lain. Perempuan seolah-olah disediakan untuk
melayani keluarga sepanjang hidupnya. Peran domestik perempuan berada di belakang layar
“kebesaran” kaum lelaki sebenarnya. Namun sayangnya, perempuan itu sendiri tidak menjadi
populer dengan peran-perannya. Keberhasilan kaum perempuan dalam posisi demikian malah
makin menambah “kekuasaan laki-laki” di sektor publik. Inilah yang membuat perempuan
“cemburu” terhadap realitas sosial. Kaum perempuan tidak menghendaki kalau fungsinya
hanya dijadikan pelengkap “keperkasaan“ kaum lelaki.
Dalam konsepsi ini seolah-olah wakil begitu patuh terhadap terwakil. Wakil melayani
dan menjalankan perintah terwakil atau wakil sebagai ”acting for” terwakil. Akan tetapi
realitasnya tidak demikian. Meskipun kebijakan

yang dihasilkan menyerupai apa yang

diekspektasi oleh terwakil namun kepatuhan wakil kepada terwakil lebih bersifat
transaksional. Ke dua, tindakan representasi itu ”dikonstruksikan” (Bevir 2007:825), artinya
dewan menjadi terikat pada keyakinan kontekstual maupun keyakinan idiologi dari kelompok
feminis. Aspek representasi yang dikonstruksikan adalah kepentingan perempuan yaitu
perlindungan perempuan korban kekerasan. Hanya politisi yang ada di legislatif atau
eksekutif yang memiliki otoritas dalam proses pembuatan kebijakan, sehingga kelompok
feminis mesti beraliansi dengan wakil di legislatif untuk pencapaian tujuannya. Politisi di
DPRD melalui tindakannya harus memenuhi ekspektasi dan melakukan interpretasi akan

peran reflektifnya sebagai yang mewakili terwakil. Ekspektasi kelompok feminis adalah
produk keputusan DPRD yaitu perda perlindungan perempuan korban kekerasan.
Sedangkan Policy Core koalisi feminis ini adalah kebutuhan perda perlindungan
perempuan korban kekerasan sebab dari segi undangundang tidak ada yang secara spesifik
melindungi perempuan korban kekerasan dan negara harus bertanggungjawab terhadap
korban kekerasan.

Ketika inti kebijakan diadvokasi pada struktur formal, apa yang

ditampilkan oleh koalisi advokasi feminis menciptakan koalisi penentang yang datang dari
beberapa anggota legislatif yang terlibat dalam pembuatan kebijakan yang lebih menyukai
status quo dan resisten terhadap pendekatan feminis. Kelompok patriarki memiliki
seperangkat nilai yang bersumber pada budaya patriarki dan nilai agama. Interpertasi
terhadap nilai agama dan budaya mengabsahkan laki-laki melakukan kekerasan dalam rumah
tangga demi membangun kepatuhan bagi perempuan sebagai isteri. Bagi kelompok patriarki,
regulasi hanya akan menduplikasi aturan yang berlaku yang dianggap menyalahi tatanan
hukum. Pemaksimalan aturan hukum yang sudah ada jauh lebih urgen daripada membuat
regulasi baru lewat perda. Kekerasan pada perempuan adalah urusan privat yang tidak perlu
ditarik ke ranah publik karena bila ditarik ke ranah publik negara bisa mengintervensi urusan
privat melalui regulasi.
Kelompok kepentingan menggunakan dan memaksimalkan strategi jejaring. Pertama,
strategi “struggle from within”, karena berkonfrontasi langsung dengan kaum patriarkal tidak
terlalu menguntungkan jika dilihat` dari konfigurasi politik di dewan, maka koalisi feminis
berjuang dengan cara menghindari politik yang berbasiskan konfrontasi dengan meletakkan
basis sosial dan kultural baru yang disandarkan pada definisi baru yakni kemitraan. Ke dua,
menerobos “the significant people”, dengan menempatkan the significant people sebagai
broker kebijakan, ketua fraksi, ketua komisi, jejaring gender, LSM Pro Perempuan dan Anak,
Pusat Studi/Kajian Wanita/Perempuan di Jawa Timur, Organisasi Perempuan yang berbasis
agama (Fatayat, Muslimat, Aisyiah, Wanita Kristen). Ke tiga, mendengar suara korban
perempuan, dengan testimoni dalam hearing dengan legislatif. Ke empat aliansi organisasi,
dengan mengikatkan dirinya ke dalam FORPA. Ke lima konsultasi dan kunjungan kerja ke
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Kementerian Hukum dan HAM dan
melakukan kunjungan kerja ke Provinsi untuk melakukan studi banding. Selama ini agenda
politik kebijakan bersifat monolitik, seragam dan institusional, sehingga pluralitas kelompok
dalam perdebatan wacana kebijakan hampir tidak pernah terjadi. Institusi legislatif dan
eksekutif jarang masuk ke dalam perdebatan politik feminis dalam pembuatan kebijakan,
sehingga dengan studi kasus ini menjadi sangat penting untuk merekonstruksi wacana dengan

berbasis pemikiran feminis. Rekonstruksi wacana ini kenyataannya muncul ketika
suprastruktur politik (legislatif) bersedia menerima draft naskah akademik, yang menandakan
bahwa legislatif bersedia masuk ke dalam perdebatan politik feminis secara terus menerus.
Pada aspek tertentu, perdebatan wacana secara terus menerus akan memungkinkan
munculnya simpati terhadap advokasi kebijakan feminis dan pada aspek lain akan menjadi
energi bagi kelompok feminis untuk mengeksploitasi simpati tersebut.

Kontestasi ide dan

argumentasi di antara dua kelompok tersebut mencerminkan telah terjadinya proses
pencerahan pada kelompok yang selama ini mungkin resisten terhadap ide dan argumentasi
feminis. Pada diskusi di antara dua koalisi, aktor yang berada pada posisi tidak konsisten
menjadi kehilangan pengaruhnya, dan terpaksa menerima kelemahan kompetitifnya.
Konsistensi nilai pada koalisi feminis mengenai sebab dan hakekat kekerasan tetap
dipertahankan. Ini terbukti sejak mulai draft naskah akademik yang dibuat koalisi feminis
sampai menjadi usul inisiatif dewan, asumsi filosofis tetap dipertahankan dan tak berubah.
Meskipun draft naskah akademik diangkat menjadi usul inisiatif dewan, namun keyakinan
akan sistem nilai dari koalisi patriarki dalam melihat relasi gender pun tetap tak berubah.
Kalaupun ada perubahan-perubahan dari usul prakrarsa legislatif (Raperda Usul Inisiatif
Dewan) hanya terbatas pada persoalan yang bersifat tehnis (sekunder) daripada perubahan
yang bersifat substantif (core belief system). Penerimaan usul prakarsa tersebut menandakan
legislatif menjadi reseptif terhadap inti kebijakan yang diusung oleh koalisi feminis, tetapi
tidak sertamerta anggota dewan reseptif terhadap normative belief (nilai-nilai) koalisi
feminis.
Dari kasus ini juga terjadi proses learning pada ke dua koalisi. Learning sangat
dipengaruhi oleh hubungan kekuasaan sebab tidak hanya hasil dari persuasi ide dan informasi
yang disajikan oleh anggota koalisi advokasi tetapi juga hasil kelompok dominan di dalam
koalisi advokasi yang mempunyai kekuasaan untuk mengintrodusir, mengontrol organisasi
ide dan sangat berpengaruh terhadap argumen-argumen legal. Oleh karena keanggotaan
koalisi sangat masif maka perubahan kebijakan lebih cepat bisa diterima oleh koalisi
penentang. Ketika naskah akademik dan legal drafting yang dibuat dan diadvokasi
pertamakali pada tahun 2004 ke legislatif mengalami hambatan yang lebih bersifat tehnis
daripada substantif. Koalisi feminis berusaha mengembangkan argumen “keperluan payung
hukum” untuk keperluan “perlindungan pada perempuan”. Akan tetapi tidak semua argumen
yang disajikan oleh koalisi advokasi diterima secara utuh oleh legislatif.

Policy Oriented-

Learning (POL) lebih dipusatkan pada aspek sekunder dari sistem keyakinan—argumenargumen yang sifatnya tehnis daripada substantif. Bagi koalisi feminis ada dua alasan utama

mengapa kebanyakan perubahan keyakinan dipusatkan pada aspek sekunder. Pertama, deep
core belief memuat item yang sangat normatif, sementara aspek sekunder memuat item yang
lebih mudah dirubah dengan dasar bukti empiris. Ke dua, deep core belief terorganisasi
secara hirarkial, yang lebih banyak memuat nilai abstrak yang dipelajari sejak lama. Nilai
abstrak yang dipelajari oleh kaum patriarki adalah bahwa kekerasan pada perempuan adalah
bagian dari cara mendidik untuk penciptaan kepatuhan pada kaum patriarkhi (suami),
sehingga menjadikan problem yang privat ke domain publik dianggap melanggar norma yang
berlaku selama ini.
Ketika perubahan hanya terjadi pada aspek sekunder bukan pada deep core belief
aktor kebijakan, maka representasi perempuan tidak mampu menjangkau perubahan mindset
pada wakil mengenai hakekat kekerasan pada perempuan. Aspek sekunder bukan bersifat
value. Kepentingan pragmatis wakil, sekedar melayani kepentingan terwakil atau ”acting for”
kepentingan perempuan lebih mengedepan daripada menerima nilai kesetaraan gender. Upaya
merepresentasi nampak sangat bersifat pragmatis dan transaksional. PKB dan PDIP, Partai
Golkar, PAN dan Partai Demokrat, PPP, PKS memperlihatkan cirinya sebagai simbol
representasi yang seolah-olah mewakili kepentingan utama kelompok feminis lewat
perjuangan untuk melahirkan Perda tentang Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan.
Fraksi dan Komisi di DPRD memiliki vested interest yang berbeda dengan kepentingan
kelompok perempuan, sehingga mereka terpaksa bersedia menghasilkan kebijakan yang
mempunyai nilai dan komitmen pada pencapaian keadilan gender. Hal ini ditunjukkan oleh
keberhasilannya meloloskan apa yang diadvokasi oleh kelompok feminis yang tertuang
dalam draft naskah akademik dan diadopsi oleh legislatif menjadi raperda.
Sesungguhnya kebijakan merupakan hasil dari proses representasi perempuan, dan
representasi perempuan menjadi representasi politik ketika perda tersebut merupakan hasil
kesepakatan yang dinegosiasikan di antara koalisi di internal legislatif (koalisi antar partai),
koalisi di civil society (koalisi jejaring perempuan), koalisi di internal birokrasi (koordinasi
antar lembaga propinsi dengan kabupaten). Dengan demikian keputusan perda No 9 Tahun
2005 merupakan hasil grand coalition antara lembaga legislatif, eksekutif dan NGO atau
yang disebut dengan hasil koalisi triangulasi, sebuah pemikiran yang terlepas dari studi ACF
Sabatier dan studi representasi.

Dalam pendalaman studi ini, perlindungan terhadap

perempuan korban kekerasan diperlakukan sebagai kepentingan perempuan dan upaya untuk
memperjuangkan kepentingan perempuan menjadi perda merupakan komponen penting
dalam

representasi

perempuan.

Perda

digunakan

sebagai

leverage

point

untuk

mengungkapkan representasi perempuan yang substantif karena perda tidak sekedar
dipandang dari isi perda tetapi mesti dilihat dari aspek prosesnya.
KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam beberapa kota religius yang sangat dipengaruhi ajaran Agama Islam.
Masyarakat sangat menjunjung tinggi para pemuka agamanya (kiai). Di seluruh sendi
kehidupan, keagamaan menjadi bagian pokok dalam keseluruhan kegiatan. Tradisi lokal yang
menempatkan agama Islam sebagai pedoman hidup itu masih berlanjut sampai sekarang.
Masyarakat masih kokoh berkeyakinan bahwa ajaran-ajaran yang dikandung dalam kitabkitab Islam klasik (salaf) tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan
relevan. Di kalangan masyarakat, kitab-kitab Islam klasik atau

salaf

(kitab kuning)

merupakan sumber pengetahuan yang memiliki signifikansi tinggi dan saling melengkapi
dengan kedudukan kiai. Kitab salaf merupakan kodifikasi tata nilai yang dianut masyarakat,
sedang kiai adalah personifikasi yang utuh (atau yang seharusnya) dari sistem tata-nilai itu.
Kedua, kondisi perempuan dalam sosial politik terhadap tradisi Islam lokal di Indonesia pun
tidak dapat dilepaspisahkan dari kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan kiai di pesantren
beberapa kota. Hanya saja, kitab kuning telah menempatkan perempuan rata-rata di bawah
kedudukan laki-laki, hal itu banyak faktornya. Pertama, ajaran al-Qur’an dan Hadits Nabi
sendiri memang tidak punya pretensi untuk menyejajarkan

perempuan dan laki-laki,

sekurang kurangnya, sebagaimana diobsesikan oleh para penganjur emansipasi kaum
perempuan masa kini. Kedua, para penulis kitab salaf hampir semuanya adalah laki-laki. Bias
kelaki-lakiannya pun menjadi sulit dihindari. Ketiga, Kitab kuning sendiri adalah produk
budaya zamannya. Zaman pertengahan Islam yang didominasi oleh cita rasa budaya Timur
Tengah, yang secara keseluruhan memang sangat laki-laki. Ketiga, ajaran-ajaran kitab kuning
secara umum boleh dikatakan tidak akomodatif terhadap perempuan walaupun posisi kitab
kuning yang sebenarnya masih interpretable sering kali dipahami secara sepihak, sehingga
sebagian besar kaum tradisionalis (masyarakat mayoritas Indonesia) bersikap apatis, sinisme
dan anomie terhadap partisipasi politik perempuan, karenanya tradisi mereka digolongkan
kedalam budaya politik parokial (parochial political culture). Keadaan yang demikian ini
menyebabkan perempuan di Negara Indonesia merasa terhambat baik secara politis, sosial
budaya, psikologis dan agama sehingga selama pemilihan umum yang diselenggarakan
sebelum masa reformasi perempuan hanya

partisipatif dalam menyalurkan suara (ikut

menggunakan hak pilih aktif saja). Keempat, terjadi proses sosial masyarakat terhadap peran
perempuan dalam politik (diperlonggar) tetapi dengan syarat tetap memegang komitmen

pada ajaran Islam untuk tetap menjaga etika Islam dalam bergaul dan berinteraksi dengan
kaum laki-laki baik dalam etika berbicara, berpakaian atau lobi-lobi ataupun dalam
melakukan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Kelima, walaupun tradisi Islam lokal
sangat membatasi perempuan terjun dalam politik namun karena adanya motif rasional
bernilai dan rasional bertujuan yakni dengan masuk menjadi anggota legislatif dapat
menyalurkan bakat berorganisasi, memperjuangkan aspirasi perempuan dalam meningkatkan
perluasan akses perempuan dalam wilayah publik melalui peraturan daerah, dan
meningkatkan status sosial dan perekonomian keluarga sehingga mendorong perempuan
terjun ke dunia politik praktis. Keenam, perempuan dalam proses menjadi anggota legislatif
mengalami hambatan antara lain adanya hambatan struktural, sosial budaya, isu agama,
idiologi dan donimasi elit partai politik oleh laki-laki. Khusus mengenai proses perekrutan
terhadap calon dan anggota DPRD Kabupaten sebagai bentuk partisipsi politik perempuan di
kabupaten sebagian besar diawali dengan menjadi pengurus underbow partai politik atau
melalui ormas yang dianggap menjadi mesin politik partai politik dan diusulkan oleh partai
politik untuk melengkapi affirmative action. Ketujuh, strategi yang dilakukan para caleg
perempuan tidak jauh berbeda satu sama lain yakni dengan memanfaatkan ormas Islam
(perempuan) yang ada misalnya yang berlatar belakang NU memanfaatkan IPPNU, Fatayat
NU, dan Muslimat NU melalui pengajian rutin yang diadakan ormas tersebut, dan yang
berlatar belakang Muhammadiyah dengan memanfaatkan Aisiyah, di samping juga
memanfaatkan organisasi perempuan yang menjadi underbow partai politik, juga
memanfaatkan kampanye massal yang diadakan oleh partai politik sesuai jadwal yang
disepakati peserta pemilu melalui koordinasi KPUD Kabupaten, memberikan selebaran yang
berisi foto, tanda gambar, nomor urut, dan visi misi masuk menjadi anggota legislatif serta
memberikan kaos, kopyah, kerudung bahkan ada juga yang memberikan tasbih.
IMPLIKASI KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Berdasarkan temuan, maka proyek demokratisasi yang bercita-cita menempatkan
manusia dengan sejajar masih memerlukan perjuangan panjang jika dihadapkan dengan
tradisi lokal. Hal ini karena ketika berbicara demokratisasi, umumnya yang dijadikan obyek
perbincangan adalah ruang publik. Padahal ada ruang lain,