STUDI HADIS INTEGRATIF_REVISI_PENULISAN HADIS NABAWI_KUDUNG ISNAINI_2052113023.rar

  

PENULISAN HADIS NABAWI

(Menurut Penuturan Klasik dan Penelitian Mutaakhirin)

A. PENDAHULUAN

  Sejarah penulisan hadist sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim maupun non muslim. Di satu pihak ada

  

  sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas hadis Nabi salantaran mereka berargumen bahwa tenggang waktu munculnya sunnah (masa Rasulullah saw) dengan ditemukannya buku-buku hadis pada akhir abad ke-2 H dipandang sebagai cukup lama, sehingga, peluang untuk merekayasa sebuah

  

  informasi dijadikan hadis/sunah terbuka lebaMereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisan dan pembukuan dengan benar. Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja hadis Nabi saw tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidak sahihannya.

  Penelitian (kritik) hadis penting dilakukan berdasar pertimbangan teologis, historis-dokumenter, praktis, dan pertimbangan teknis. Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, hadis menempati posisi sentral dan sekiranya hadis Nabi hanya sebagai sejarah tentang kehidupan Nabi, niscaya perhatian para ahli

  

  Kesadaran umat Islam terhadap pentingnya merujuk kepada hadis Nabi Saw dalam merumuskan solusi yang tepat untuk setiap problematika yang dihadapi merupakan fenomena kontemporer yang patut disyukuri. Namun kesadaran ini setiap saat dapat berubah menjadi euphoria destruktif jika tidak diiringi konsepsi yang benar berkenaan dengan metode penilaian riwayat dan mekanisme penyimpulan hukum dari sebuah hadis. Sayangnya, kajian-kajian hadis mutaakhirin dan kontemporer mengarah kepada terwujudnya 1 Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Saifudin Nur, M.Ag, Ulumul hadis, (Bandung: Tafakur, 2001) hlm. 48. 2 kekhawatiran tersebut dilihat dari berbagai indikasi yang menunjukkan terjadinya pendangkalan ilmu hadis, bahkan pembalikan paradigma dari yang pernah diajukan oleh ahli hadis klasik (mutaqaddimin).

  Makalah ini berusaha menampilkan sebagian dari fenomena tersebut diatas sebagai bahan diskusi dalam mata kuliah studi hadis integratif. Dari latarbelakang singkat di atas, makalah ini akan coba membahas diantaranya tentang:

  1. Bagaimana sejarah penulisan hadis nabawi menurut penuturan klasik?

  2. Bagaimana sejarah penulisan hadis nabawi menurut penelitian mutaakhirin?

B. PEMBAHASAN

1. Sejarah Penulisan Hadis Nabawi Menurut Penuturan Klasik

  Kemampuan ilmiah umat Islam telah memungkinkan mereka melakukan penulisan terhadap hadis-hadis Nabi saw. Tetapi pendapat yang dominan dikalangan para sarjana dan ilmuwan adalah bahwa hadis-hadis itu hanya

  

  Kita tidak berani mengatakan bahwa sebelum Islam bangsa Arab tidak mengerti tulis-menulis dan tidak membiasakannya, karena kelangkaan sarana yang ada dan kepercayaan mereka terhadap ingatan dalam memelihara warisan cerita serta karya sastranya. Suatu hal yang tak dapat disangsikan, bahwa bagian utara Jazirah Arab sudah mengenal baca-tulis. Mekah sebagai kota perdagangan, menjadi saksi adanya orang-orang yang dapat membaca dan menulis, lebih

  

  banyak daripada di MadinaTidak seperti kaum orentalis yang menganggap bahwa predikat ummiyyin kepada bangsa Arab, menurut mereka dikatakan

  ummi adalah lantaran kebodohan mereka terhadap syariat Tuhan. Sedangkan

  Nabi saw disebut ummi, dinisbatkan kepada orang-orang Arab yang bodoh itu, karena beliaulah yang mengajar mereka tentang syariat Allah. Jadi, beliau adalah Nabi orang-orang bodoh, atau Nabi orang-orang ummi itu. Igauan mereka dijelaskan dalam nash al-Qur’an sebagai wujud jawaban dari anggapan 4 Prof. Dr. MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka mereka. Kata ummi baik sebagai sifat orang Arab maupun sebagai sifat Nabi s.a.w. maksudnya tidak lain adalah: orang yang tidak mengerti baca-tulis. Arti inilah yang dipahami oleh sebagian besar ahli tafsir dan dipegang oleh ulama

  

a. Periode Penulisan Hadis Pada Masa Nabi Muhammad saw.

  Sejarah periodisasi penghimpunan hadis mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan dengan yang dialami oleh al-Qur’an, yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Penghimpunan dan pengkodifikasian hadis memerlukan waktu sekitar tiga

  

  abaendati terbuka peluang untuk membukukan hadis, tetapi dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada kegiatan pembukuan hadis secara resmi, diprakarsai oleh pemerintah. Umar bin al-Khattab misalnya, pernah berpikir membukukan hadis. Ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan untuk membukukannya. Tetapi, setelah Umar beristikharah sebulan lamanya, ia membatalkan rencana itu dengan berkata: “saya tadinya ingin menulis sunah-sunah, kemudian saya teringat kaum terdahulu yang menulis buku-buku, sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah

  

1) Larangan menuliskan hadis

  Pada masa Nabi Saw. hidup beliau banyak mengangkat sahabat untuk menulis al-Qur’an, tidak demikian halnya untuk hadis. Bahkan terdapat beberapa riwayat yang isinya, nabi melarang penulisan hadis. misalnya:

  

ِهْْْيَلَع ُهللا ىّلَص ِهللا َلْوُسَر ّنَا ِيِرْدُخْلا ِدْيِعَس ْوُبَا ىَوَر

َنآْرُْْقْلا َرْْْيَغ ْيِنَع َبَتَك ْنَمَو ْيِنَع اْوُبُتْكَتَل :َلاَق َمّلَسَو

اًدِمَعَتُم ّيَلَع َبَذَْْك ْنَمَو َجَرَح َلَو ْيِنَع اْوُثّدَحَو ُهُحْمَيْلَف

ِراّنلا َنِم ُهُدَعْقَم ْأّوَبَتَيْلَف 6 Artinya:

  “Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasul saw. Bersabda, “Janganlah kamu menulis dari saya selain al-Qur’an. Barang siapa menulisnya agar dihapus. Riwayatkanlah dari saya. Barang siapa sengaja berdusta atas nama saya maka tempatnya di neraka.” (H.R.

9 Muslim)

  نذأي نا معلص يبنلاب اندهج ىردخلا ديعس وبا لاقو انذأتْْسإ :لاْْق هْْنع ةْْياور ىفو ,ىبأْْف باْْتكلا ىف انل بيطخلا هاور( اْْنل نذأْْي ملف ةْْباتكلا ىف معلص يبنلا )يمرادلاو

  Artinya:

  “Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Kami telah berusaha dengan sungguh meminta izin untuk menulis hadis, namun Nabi saw enggan (member izin)”. Pada riwayat lain, dari Abu Said al-Khudri juga, dia berkata, “Kami meminta izin kepada Rasul saw untuk menulis (hadis), namun Rasul saw tidak mengizinkan kami”. (H.R. Khatib dan Darami).

  معلص هللا لوسر جرخ : لاق هنا ةريره يبا نع اْْنلق ؟باتك ىذلا اذه ام :لاقف ,ثيداحلا بتكن نحنو ,هْْللا باْْتك ريْْغ باْْتك :لاْْقف .كنم اهعمسن ثيداحأ بتكلا نم اوْْبتتكا اْْمب لإ مكلبق ممما ّلض ام نورذتأ

  )بيطخلا هاور( ىلاعت هللا باتك عم

  Artinya:

  Dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, Rasulullah saw telah keluar, sementara kami menulis hadis-hadis, Ia bertanya, “Apa yang sedang kalian tulis ini?” Kami menjawab, “Hadis-hadis yang kami dengan dari paduka”. Ia bertanya, “Tulisan selain Kitab Allah? Tahukah bahwa kesesatan ummat sebelum kamu dulu disebabkan menulis kitab bersama

   9 Kitab Allah swt.?” (H.R. Khati

  Dari ketiga riwayat di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadis-hadis beliau, dan bahkan beliau memerintahkan untuk menghapus hadis-hadis beliau yang telah sempat dituliskan oleh para sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat seperti di atas, maka muncul di kalangan para Ulama pendapat yang menyatakan bahwa menuliskan hadis Rasulullah saw adalah dilarang. Bahkan dikalangan para sahabat seperti Abu Hurairah, Abd Allah ibn Abbas, dan Abd Allah ibn Umar, dan para tabiin seperti al-Amasy, Abidah, Abu al-Aliyah, Amr ibn Dinar, al-Dhahhak, Ibrahim al-Nakhal, dan lain-lain yang juga meyakini akan larangan penulisan hadis tersebut.

2) Perintah (kebolehan) menuliskan hadis

  Diantara hadis-hadis Nabi saw yang memerintahkan atau menuliskan hadis adalah:

  

اْْنا هْْللا لوْْسراي اْْنلق :لاْْق هْْنأ ْدْْيدخ نب عْْفار نع

جرْْحلو يل اوْْبتكا :لاْْق ؟اهبتكنفأ ,ءايشأ كنم عمسن

)بطخلا هاور(

  Artinya:

  Dari Rafi ibn Khudaj bahwa dia menceritakan, Kami tertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar dari engkau banyak banyak hadis, apakah (boleh) kami menuliskannya?” Rasulullah menjawab, “Tuliskanlah oleh kamu untukku dan tidak ada

  

  

,امهنع هللا يضر صاَعْلا ُنْب وُرْمَع نب هللا دبع لاق

معلْْص هْْللا لوْْسر نم هعمْْسأ ءْي َش ّلك ُبُتْكَا تنك

ءيْْش ّلْْك ُبُتْكَت اولاْْقو ٌشْيَرُْْق ْيِنَتَهَنَف ُهَْْظِفَح دْْيرُا

بضغلا ىف ُمّلَكَتَي ٌر َشَب معلص هللا لوسر نع هَتعمس

لوْْسرِل كْْلذ ُتْرَكَذَْْف ِةَْْباَتِكْلا ِنَع ُتْكَسْمَاَف .اضرلاو

ْبُتْكُأ :لاْْقو هْْيف ىلا هعباْْصأب أْْمواف ,معلْْص هْْللا

  )دمحا هاور( ّقَح ّلِا هنم جرخام هديب ىسفن ْىِذّلاَوَف

  Artinya:

  Abdullah bin Amr bin al-‘As telah berkata, Saya pernah menulis segala sesuatu yang saya dengar dari Rasulullah saw. Agar saya menghafalnya. Maka orang Quraisy mencegah aku dan berkata. “Anda menulis segala yang anda dengar dari Rasulullah saw. sedangkan ia manusia biasa, berbicara dalam keadaan marah dan lapang. Maka saya menahan diri dari menulis. Kemudian saya melaporkan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka beliau menunjuk mulutnya dengan telunjuknya dan berkata, “Tulislah. Demi Allah, tidak ada yang keluar dari sini

   kecuali yang benar.” (H.R. Ahm

  Hadis berasal dari al-Wahid ibn Muslim dari al-Auzal dari Yahya ibn Abi Katsir dari Abu Salamah ibn Abd al-Rahman dari Abu Hurairah, dia menceritakan tentang khotbah Nabi saw di Mekkah ketika penaklukan kota Mekah. Setelah menyampaikan khotbah tersebut, berdiri Abu Syah, seorang laki-laki dari negeri Yaman, seraya berkata:

  

لوْْسر لاْْقف ,لوسراي يل هبتكا :)هاش وبا يا( لاقف

تلق دْْْيلولا لاْْْق ,هاْْْش يبل اوْْْبتكا :معلْْْص هْْْللا

ةبطخا هذه :لاق ؟هاش يبم اوبتكا هلوق ام :ىعازوول

)ىراخبلا هاور( معلص هللا لوسر نم اهعمس ىتلا

  Artinya:

  Berkata Abu Syah, “Tuliskanlah bagiku ya Rasul”. Maka Rasulullah saw bersabda, “Tuliskanlah oleh kamu untuk Abu Syah,” Walid berkata, “Aku bertanya kepada al-Auza’i, “Apakah yang dimaksudkan dengan perkataan Rasul saw tuliskanlah olehmu untuk Abu Syah”. Auza’i menjelaskan, “yang dimaksud dengannya adalah khotbah yang

   didengarnya dari Rasul saw”. (H.R. Bukhari

  Keempat hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw membolehkan bahkan tampak menganjurkan para sahabat untuk menuliskan

  

  hadis-hadis beliaIni juga sebagai bukti bahwa sejak masa Nabi saw 12 hadis sudah ditulis oleh para sahabat dengan seizin dari Rasulullah saw. At-

  Tirmidzi meriwayatkan bahwa Sa’ad bin Ubadah al-Anshari pernah

  

  Dari kedua versi hadis diatas diperoleh kesan ada pertentangan

  

  antara larangan dan izin menulis hadisHadis-hadis yang melarang

  

  penulisan hadis diriwayatkan oleh tiga orang sahabayang secara popular meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa Nabi tidak suka bila hadis-hadisnya ditulis. Mereka itu adalah Abu Said al-Khudri, Abu

18 Hurairah, dan Zaid bin Tsabit. Karena itu para ulama mengambil suatu

  pendekatan untuk mengkompromikan atau mendamaikan (al-jam'u) antara keduanya. Salah satu cara untuk mengambil jalan tengah dari versi yang berbeda tersebut adalah dengan cara tarjih, yakni mengambil salah satu

  

  1. Pendekatan pertama, seperti yang tertera dalam Kitab Ibn Hajar bahwa langkah yang harus ditempuh adalah dengan cara mengkritisi sanad/ rawinya. Sedangkan riwayat yang berkenaan dengan larangan penulisan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri merupakan salahsatu hadis yang sanadnya mauquf, yakni terhenti sampai Abu Sa'id al-Khudri. Al-A’zhami menyebutkan, semua hadis yang menyebut larangan penulisan hadis itu dlaif, kecuali hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri dari jalur Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasir, dari Abu

  2. Pendekatan kedua, Hadis riwayat Abu Sa'id al-Khudri, sebetulnya ditujukan kepada mereka yang menulis hadis dan al-Qur'an dalam satu

   15 shahifaatau dalam lembaran yang sama, karena mungkin mereka 16 Drs. Subhi ash-Shalih, Op.Cit., hlm. 39 17 Prof. Dr. Muh. Zuhri, Op.Cit. hlm. 34 18 Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Saifudin Nur, M.Ag, Op.Cit, hlm. 48 19 Prof. Dr. MM. Azami, Op.Cit., hlm. 112 Mujtahid, “Sejarah Penulisan Hadis” dalam (Senin, 26 September 2011 15:08) 20 menuliskan tawil yang diberikan Nabi saw menjadi satu dengan ayat

  

  3. Pendekatan ketiga, dalam Ushul al-Hadis dikatakan bahwa larangan penulisan hadis ditujukan kepada mereka yang mempunyai hafalan yang luar biasa, sehingga kalau dibolehkan menulis hadis, dikhawatirkan selalu bergantung pada tulisan, sehingga keringanan (rukshah) menulis

  

  hadis, hanya ditujukan kepada mereka yang lemah hafalaseperti Abu Syah.

  Dari ketiga pendekatan yang dilakukan oleh para ulama tersebut, Ajjaj al-Khatib memberikan suatu simpulan tentang perbedaan pendapat di atas, sebagai berikut: pendekatan pertama yang mengatakan bahwa hadis Abu Said al-Khudri sebagai mauquf atau ditolak, karena ternyata hadis

  

  tersebut adalah shahih, dan dengan demikian dapat dijadikan dalilAl- Khatib berpendirian bahwa larangan tersebut berlaku kepada mereka yang menulis al-Qur'an dan hadis dalam satu shahifah seperti pada pendekatan kedua. Larangan Rasulullah itu beralasan bahwa hanya dikhawatirkan para shahabat akan sibuk dengan hadis, sementara penulisan al-Qur'an ditinggalkan. Begitu pula dengan keringanan (rukhshah), itu bersifat umum

  

  Al-Zahrani dalam bukunya "Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah" menyatakan bahwa penulisan hadis sebenarnya telah di mulai sejak masa

  

  Seperti yang telah diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah saw sepulang dari Hudaibiyah beliau menulis surat kepada semua raja di muka bumi dan mengutus beberapa utusan. Beliau saw menulis surat kepada kaisar Romawi, kemudian kaisar Romawi tidak mau membacanya dikarenakan surat itu tidak distempel. Maka Rasulullah saw membuat 22 sebuah cincin dari perak dan mengukirnya dengan tiga baris tulisan, yaitu 23 Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Saifudin Nur, M.Ag, Op.Cit, hlm. 50 24 Op.Cit., Mujtahid, “Sejarah Penulisan Hadis”

  Muhammad satu baris, Rasul satu baris, dan Allah satu baris lagi. Dengan

  

b. Periode Penulisan Hadis Pada Masa Sahabat

  Yang disebut sebagai sahabat Nabi saw adalah:

  1. Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi saw dengan beriman dan mati sebagai orang Islam.

  2. Orang yang lama menemani Nabi saw dan berulang kali mengadakan perjumpaan dengan Nabi saw dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran darinya.

  

  Sahabat Nabi saw mempunyai unsur bergaul dengan Nabi saw dan beragama Islam. Sedang yang dimaksud dengan periode Rasul yaitu periode ketika Rasul masih hidup, yang lazim disebut periode wahyu dan pembentukan tata aturan Islam. Periode sahabat adalah periode sesudah Rasul wafat hingga munculnya generasi tabi’in selaku murid para sahabat. Pada masa ini lazim disebut masa pengetatan periwayatan hadis, disebabkan yang dihadapi oleh umat Islam adalah persoalan orang-orang murtad dan pertikaian politik yang merangsang munculnya hadis-hadis

  

  Pada masa ini tercatat sebanyak 50 orang yang menuliskan hadis yang mereka terima dari Rasul saw. Di antaranya: sahabat Abu Ayyub al- Anshari (w. 52 H), Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H), Abu Sa’id al-Khudri (w. 74 H), ‘Abd Allah ibn ‘Abbas (w. 68 H), Mas’ud (w. 32 H), ‘Abd Allah

  

  Adapun cara sahabat dalam meriwayatkan hadis yaitu, dengan lafadz asli (apa adanya sesuai yang diterima dari Rasul saw) dan dengan maknanya 27 saja (lafadznya berbeda akan tetapi maksud/ maknanya sama). Inilah yang

  Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zaadul Ma’ad “petunjuk Nabi saw menjadi hamba teladan dalam berbagai aspek kehidupan” (Jakarta: Robbani Press, 1998), hlm. 85 28 menimbulkan banyak hadis yang maksudnya sama tetapi lafadznya

  

  Usaha yang di lakukan oleh para sahabat dalam menjaga otentisitas riwayat tidak sama. Pada masa Abu Bakar, usaha penyaringan di seleksi dengan cara persaksian (syahadah) terhadap riwayat yang di sampaikannya. Begitu pula yang terjadi pada masa Umar ibn Khaththab yang menolak terhadap orang yang melakukan periwayatan atau orang yang ketika meriwayatkan tidak di sertai persaksian terhadapnya. Pada sahabat Usman penyaringan terhadap riwayat mengikuti apa yang telah di lakukan oleh sahabat Umar bahkan di ceritakan ia pernah melakukan khotbah dan mengatakan,”seseorang tidak di benarkan meriwayatkan suatu hadis dari Rasulullah saw yang aku tidak pernah mendengarnya pada masa Abu Bakar dan Umar.” pada masa Ali bin Abi Thalib selain melalui persaksian, ia menggunakan metode lain dalam menerima suatu riwayat, yaitu periwayat harus di sertai bersumpah bahwa ia telah mendengar riwayat dari Rasulullah

  

c. Periode Penulisan Hadis Pada Masa Tabi’in di Abad Pertama Hijriyah

  Adapun hadis pada masa tabi'in, tidak jauh berbeda dengan hadis di masa sahabat. Disana juga masih ada perbedaan mengenai hukum menulis

  

  Namun belakangan terlihat banyak di antara mereka bersikap longgar

  

  tehadap masalah ini, bahkan ada yang menganjurkannya. Diantara mereka yang menentang penulisan hadis adalah Ubaidah bin Amr as-Salmani al- Muradi (72 H), Ibrahim bin Yazid at-Taimi (93 H), Jabir bin Zaid (93 H), dan Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i (96 H). Mereka memandang belum

   31 perlunya mencatat hadiMeskipun demikian, pada masa ini lahir beberapa Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), hlm. 28 32 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-hadis:dari klasik sampai modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) hlm. 25-27 33

  ulama dengan perhatian yang sangat besar terhadap penulisan hadis. Tidak hanya itu, mereka menjaganya dengan bentuk shahifah.

  Pada masa tabi'in, kegiatan tulis-menulis semakin berkembang pesat. Azami mencatat sejumlah 49 tabi’in pada masa ini yang mencatat dan menuliskan hadis Rasul saw. Di antara mereka adalah ‘Abran ibn ‘Utsman (w. 105 H), ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abd Allah ibn Mas’ud (w. 79 H), ‘Umar

   ibn al-Aziz (w. 101 H), ‘Urwah ibn al-Zubair (w. 93), dan lain-lain.

  Mereka beramai-ramai menyerbu halaqah al-‘Ilm, bahkan di antara mereka ada yang sangat memperhatikan terhadap penulisan ilmu yang mereka terima. Dengan semangat yang tinggi, mereka menyadari bahwa menulis ilmu merupakan kebutuhan, dan kondisi demikian telah membentuk sikap mereka untuk menulis dalam setiap halaqah al-‘Ilm.

  Menyadari akan pentingnya penulisan ‘ilm (hadis) mereka berusaha untuk menjaganya. Sehingga berkembangnya penulisan ini juga atas pertimbangan banyak hal, misalnya 1) meluasnya periwayatan, disertai dengan sanad yang panjang, yang mencantumkan nama-nama perawi, julukan dan nasabnya, 2) para sahabat dan tabi'in tua yang terkenal kuat hafalannya, banyak yang telah meninggal dunia, tentu akan semakin besar kemungkinan hadis yang hilang, kalau tidak segera dibukukan, 3) kekuatan hafalan yang dimiliki oleh para ummat Islam pada waktu itu semakin lemah, karena makin banyak ilmu pengetahuan yang membutuhkan pemikiran juga, dan 4) munculnya gerakan-gerakan bid'ah, dan banyaknya orang-orang yang

  

  

d. Periode Penulisan Hadis Pada Abad Kedua Hijriyah (Masa Penulisan

dan Pembukuan Hadis Secara Resmi)

  Pada masa ini hadis Nabi saw mulai secara resmi ditulis dan dikumpulkan. Salah seorang khalifah dari dinasti Umayyah yaitu Umar ibn Abd al-Aziz pada penghujung abad pertama hijriyah mulai mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan hadis Nabi saw secara resmi, yang selama ini masih berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabi’in.

  Ada beberapa faktor yang mendorong pengumpulan dan pengkodifikasian hadis, diantaranya:

  1. Tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadis, yaitu bercampurnya hadis dengan al-Qur’an.

  2. Kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyaknya para sahabat yang meninggal dunia karena usia lanjut atau seringnya terjadi peperangan.

  3. Semakin maraknya pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab, sehingga upaya yang dilakukan dalam pembukuannya melalui seleksi yang sangat ketat.

  4. Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam yang disertai semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, hal tersebut menuntuk mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari hadis Nabi

  

  Dari beberapa faktor diatas dapat dilihat bahwa yang melatar belakangi perintah penulisan Hadis dari Umar bin Abdul Aziz adalah kekhawatirannya akan sulitnya mempelajari ilmu sepeninggal para ahlinya. Dalam suratnya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Gubernur di Madinah, ia menulis: “Perhatikanlah, apa yang bias diambil dari hadis Rasulullah saw, atau sunnah yang lampau, atau hadis Amrah, lalu tulislah. Sebab aku khawatir akan lenyapnya ilmu dan meninggalnya para ahli”. Yang dimaksud dengan Amrah di sini ialah Amrah binti Abdurrahman

  

2. Menurut Penelitian (kritik) Mutaakhirin

  Periode ini dimulai pada masa Khalifah al-Muqtadir sampai Khalifah al- Mutashim. Meskipun pada pada pertengahan abad ke-7 Hijriyah kekuasaan Islam mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan akibat serangan Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan, kegiatan para ulama hadis dalam rangka memelihara dan mengembangkan hadis tetap berlangsung sebagaimana periode sebelumnya, meskipun tidak sebanyak periode sebelumnya. Kitab-kitab hadis yang dihimpun pada periode ini adalah:

  1. Al-Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (313 H)

  2. Al-Anwa wa al-Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)

  3. Al-Musnad oleh Abu Awanah (316 H)

  4. Al-Muntaqa oleh Ibn Jarud 5. Al-Mukhtarah oleh Muhammad ibn Abd al-Wahid al-Maqdisi.

  Kegiatan ulama’ berikutnya pada umumnya adalah merujuk kepada karya- karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan seperti mempelajari, menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya. Juga menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan, dan menghimpun semua sanad dan matan yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab

  

  Tujuan awal penelitian (kritik) hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi

  

  matan adalah untuk mengetahui hadis yang ditelitengan kata lain, tujuan utama penelitian (kritik) hadis adalah untuk menilai apakah secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadis benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya

  

  berasal dari Nabi saw ataukah tidaKualitas hadis sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan hujjah. Pemenuhan syarat itu diperlukan karena hadis merupakan sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan

  

  Kegiatan penelitian (kritik) terhadap periwayat oleh kalangan sahabat,

  

tabi’in, atba’ al-tabi’in, dan seterusnya melibatkan banyak orang. Menurut

  penghimpunan al-Sakhawi, terdapat sekitar 210 orang kritikus periwayat semenjak masa sahabat hingga abad kesembilan Hijriah seperti al-Buqa’i (w. 885 H). 40 41 Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Saifudin Nur, M.Ag, Op.Cit, hlm. 69 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, cet. 1, (Jakarta : Bulan Bintang,

   Kode etik penelitian dan kritik hadis Ulama hadis telah menetapkan syarat-syarat bagi kritikus periwayat (al-

  

jarih wa al-mu’addil). Secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok,

  yaitu:

  1. Berkenaan dengan sikap pribadi:

  a. Bersifat adil, dan sifat adil itu tetap terpelihara ketika melakukan penilaian terhadap periwayat hadis; b. Tidak bersifat fanatik terhadap aliran yang dianutnya;

  c. Tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang berbeda aliran atau mazhab dengannya d. Jujur; takwa; dan wara’.

  2. Berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, yakni memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, khususnya yang berkenaan dengan: (a) ajaran Islam; (b) bahasa Arab; (c) hadis dan ilmu hadis; (d) pribadi periwayat yang dikritiknya; (e) adat istiadat yang berlaku; dan sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan periwayat.

  Disamping syarat subjektif, terdapat norma kritik yang harus dipegang oleh kritikus periwayat dengan tujuan memelihara objektivitas penilaian periwayat dan pemeliharaan akhlak mulia dalam melakukan kritik. Norma-norma itu adalah norma obyektif, diantaranya:

  1. Kritikus tidak hanya mengemukakan sifat-sifat negatif dan tercela (al-jarh) yang dimiliki periwayat hadis, tetapi juga sifat-sifat positif dan utama (al-

  ta’dil).

  2. Penjelasan tentang sifat-sifat positif dan utama (al-ta’dil) yang dikemukakan oleh kritikus hadis tidak harus terperinci satu persatu, tapi dapat berupa penjelasan global.

  3. Dalam mengemukakan sifat-sifat negatif (al-jarh) tidak dilakukan secara berlebiha

44 Kajian penelitian (kritik) hadis dalam bentuk literature baik penelitian

  (kritik) sanad maupun matan, baru dilakukan pada pertengahan abad keempat hijriyah (IV H). secara garis besar penelitian hadis ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

  1. Kajian kritik hadis bersama dengan ilmu hadis lain, pertama kali dilakukan oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khalad al- Ramahurmuzi pada abad ke empat hijriyah (w. 360 H) dengan kitabnya al-

  Muhaddits al-Fashil Bayn al-Rawi wa al-Wa’i, Al-Hakim Abu ‘Abd Allah

  Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Naysaburi (321-405 H) dengan kitabnya

  Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis mengemukakan criteria hadis-hadis yang dapat dijadikan hujjah atau tidak, periwayatan yang dapat diterima atau ditolak.

  2. Penelitian (kritik) hadis dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu ilmu al-jarh wa al-

  ta’dil, dimulai sejak abad ketiga dan memuat biografi para periwayat dan

  sebagian hadis yang mereka riwayatkan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori: a. Kategori thabaqat, yaitu para periwayat hadis yang memiliki kesamaan dalam setiap tingkatannya.

  b. Kategori periwayat secara umum berisi para periwayat dalam berbagai kitab hadis dengan kualitas beragam baik yang siqah maupun tidak.

  c. Kategori periwayat dalam kitab tertentu, dipaparkan secara ringkas seperti

  al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifah ahl al-Tsiqah wa al-Sadat oleh Abu

  Nashr Ahmad ibn Muhammad al-Kalabadzi (w. 309 H) d. Kategori periwayat tsiqah dan dha’if.

   Dilihat dari corak periwayatannya, hadis pada masa mutaqadimin dengan

  menggunakan penukilan langsung dari para penghafal, sedangkan pada masa mutaakhirin para ulama mencukupkan periwayatan dengan menukil dan mengutip dari kitab-kitab hadis yang ditadwin oleh ulama-ulama abad II dan III H. Bertolak dari hasil tadwin itulah maka ulama-ulama di abad IV H memperluas sistem dan corak tadwin, menertibkan penyusunan, penyusunan spesialisasi dan kitab-kitab komentar serta kitab-kitab gabungan, dan lain-lainnya. Aktifitas tadwin hadis abad

  IV H, dan selanjutnya disebut aktifitas tadwin ba`da tadwin. Dari keseluruhan aktifitas tersebut dapat diklasifikasikan dan disimpulkan sebagai berikut:

  1. Tadwin hadis dengan perluasan dan penyempurnaan sistem dan corak;

  a. Tadwin hadis dengan mengumpulkan hadis-hadis shahih yang tidak terdapat dalam kitab-kitab shahih.

  b. Tadwin hadis dengan mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat- syarat salah satunya yang kebetulan tidak dishahihkan oleh beliau. Kitabnya disebut Mustadrak.

  c. Tadwin istikhraj, yakni dengan mengumpulkan hadis-hadis yang diambil dari sesuatu kitab, misalnya dari al-Jami` al Shahih al-Bukhari, lalu meriwayatkan dengan sanad sendiri yang lain dari sanad yang terdapat pada kitab tersebut. Kitabnya disebut Mustakhraj.

  d. Tadwin Athraf, kata Athraf jamak dari tharf. Secara bahasa athraf berarti pangkal-pangkal atau bagian-bagian, yaitu bagian dari matan hadis yang

  

  dapat menunjukkan keseluruhannyaTadwin Athraf yaitu tadwin hadis dengan menyebut sebagian hadis, kemudian dikumpulkan segala sanad- sanadnya yang terdapat dalam beberapa kitab.

  e. Tadwin dengan usaha mengumpulkan hadis-hadis yang didapat disuatu kitab, kemudian dikumpulkan dalam satu kitab lain dengan peristiwanya, dan bagaimana nilai-nilainya. Kitab dengan tadwin cara ini disebut kitab takhrij.

  f. Tadwin dengan menambah hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya menjadi sebuah kitab tertentu. Kitab ini disebut kitab Zawaid.

  g. Tadwin hadis dengan menggabungkan hadis-hadis yang terhimpun pada kitab lain, misalnya isi kitab-kitab shahih, kitab-kitab enam. Kitab hasil tadwin dengan cara menggabungkan ini disebut kitab Jami’ dan kalau lebih luas lagi disebut Jawami’ h. Tadwin dengan komentar, penafsiran pembahasan secara luas dan mendalam dari isi kitab-kitab hadis tertentu kitabnya disebut kitab Syarah. i. Adapun tadwin dengan meringkas isi dari kitab-kitab hadis tertentu, maka hadisnya disebut kitab Syarah.

  2. Penyusunan kitab-kitab hadis secara spesialisasi maksudnya tadwin mengkhususkan kedalam diwan-diwan tersebut materi-materi hadis dalam bidang-bidang tertentu:

  a. Tadwin hadis hukuk, yakni khusus pembukukan hadis-hadis mengenai hukum b. Tadwin hadis targhib, yakni mengumpulkan hadis-hadis mengenai keutamaan alam, menggambarkan perubahan baik dan menjauhkan perbuatan terlarang.

  c. Tadwin hadis qudsi, menghimpun hadis-hadis qudsi, hadis yang disabdakan oleh Nabi saw dengan menisbahkan perkataan itu kepada Allah swt.

  

  C. PENUTUP Perjalanan periwayatan hadis dari masa Nabi saw sampai dengan saat sekarang ini ternyata penuh dengan argument yang saling bertentangan, disatu sisi menyatakan larangan dalam menulis hadis Nabi saw dan disisi lain menyatakan kebolehan menulis hadis Nabi saw. Tentunya dengan dasar-dasar yang merujuk pada hadis Nabi saw. Meskipun pada akhirnya dapat dikompromikan antara keduanya dengan melihat dari berbagai aspek, seleksi yang ketat dan melihat dari manfaatnya. Sehingga sampai sekarang kita bisa merasakan manfaat dari kerja keras para periwayat hadis tersebut.

  Ilmu mushthalah hadis idealnya adalah sebuah ilmu yang menjelaskan metode ahli hadis sebagaimana yang ditampilkan oleh ulama mutaqaddimin dalam praktek ilmiah mereka mengkaji dan menilai riwayat. Oleh karena itu, sikap yang harus ditampilkan oleh generasi pasca riwayah adalah belajar dari ahli hadis masa riwayah dengan memahami dengan benar dan mendalam setiap perkataan dan metode mereka, bukan menghakimi dan menentang, apalagi menyalahkan. Anehnya, sebagian besar tokoh-tokoh kontemporer yang sering kita jumpai menentang ulama-ulama hadis mutaqaddimin itu adalah para aktivis 47 yang sangat giat mengajak kembali ke mazhab salaf. Siapakah salaf yang dimaksud jika bukan ulama-ulama mutaqaddimin itu? Sebesar apapun upaya yang dikerahkan ulama mutaakhirin, apalagi kontemporer, untuk menilai sebuah riwayat tidak akan menyamai ketelitian metode yang diterapkan oleh ahli hadis mutaqaddimin. Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Dzahabi, seorang pakar hadis yang diakui oleh Ibn Hajar telah melakukan penelitian sempurna terhadap semua perawi hadis, ketika berkata, “Wahai syeikh, sayangi dirimu dan insyaflah. Janganlah kamu memandang para huffaz itu dengan pandangan remeh dan menghina. Dan jangan pula kamu mengira bahwa mereka sama dengan ahli-ahli hadis di masa kita ini. Tidak, tidak ada seorangpun tokoh-tokoh hadis di masa kita ini yang mencapai pengetahuan mereka (dalam hadis). Saya mengira –melihat dari besarnya hawa nafsumu- bahwa seolah kamu berkata, siapa Ahmad? Siapa Ibn Al-Madini? Siapa Abu Zur'ah dan Abu Dawud? Diamlah dengan bijak atau bicaralah

  

  dengan ilm

  48

DAFTAR PUSTAKA

  Al-Jauziyah, I.I.Q. dan Z. Ma’ad, 1998. “Petunjuk Nabi Saw Menjadi Hamba

  

Teladan Dalam Berbagai Aspek Kehidupan”. Jakarta: Robbani Press

  Ash-Shalih, S., 2009. Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus Azami, MM., 2009. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka

  Firdaus Fayyad, M.A., 1998. Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis. Bandung : Pustaka

  Setia Idri, 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Ismail, M.S., 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, cet. 1, Jakarta : Bulan

  Bintang Izzan, A., dan S. Nur, 2001. Ulumul Hadis. Bandung: Tafakur Mujtahid, “Sejarah Penulisan Hadis” dalam

   enin, 26 September 2011 15:08)

  Noor, U.M., “Membandingkan Metode Mutaqaddimin dan Mutaakhirin dalam Kritik Hadis” dalam

  (Selasa, 8 Mart 2011)

  Nuraeni, D., “Sejarah Kontroversi Penulisan Hadits” dalam

  (Minggu, 20 November 2011)

  Rudliyana, M.D., 2004. Perkembangan Pemikiran Ulum Al-hadis: dari klasik

  sampai modern. Bandung: Pustaka Setia

  Soebahar, E., 2010. Aktualisasi Hadis Nabi di Era Teknologi Informasi. Semarang: RaSAIL Media Group