STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA

STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : WAHYU AGUS KURNIAWATI AS

E 0006288

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi pengaruh yang besar terhadap masalah Hak Kekayaan Intelektual. Seiring perjalanan waktu, ternyata pelanggaran-pelanggaran di bidang hak cipta semakin marak saja. Beberapa kebudayaan Bangsa Indonesia bahkan diklaim oleh negara lain misalnya Reog Ponorogo, Tari Pendet Bali dan lainnya. Hal ini memberikan suatu pukulan yang keras bagi Indonesia untuk lebih memberikan perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual, yang sebenarnya sejalan dengan Misi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) yaitu memberikan perlindungan hukum bagi karya-karya intelektual dan menggalakkan peningkatan karya kreatif dengan menyelenggarakan sistem Hak Kekayaan Intelektual. Penegakan hukum adalah faktor utama kesuksesan Hak Kekayaan Intelektual.

Banyak sekali produk-produk hukum mengenai Hak Kekayaan Intelektual yang bermunculan seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah guna Banyak sekali produk-produk hukum mengenai Hak Kekayaan Intelektual yang bermunculan seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah guna

Masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan konsep Hak Kekayaan Intelektual yang ada sekarang ini, dikarenakan masyarakat Indonesia justru lebih senang apabila kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual mereka digunakan oleh orang lain. Menurut mereka, orang-orang yang menggunakan tersebut menyukai hasil karyanya sehingga ada suatu kepuasan tersendiri di dalam diri akan hal tersebut. Hal ini tanpa mempertimbangkan pembayaran sebuah royalti atas penggunaan barang tersebut. Apabila dibayangkan seseorang yang harus berjuang dengan daya upaya menciptakan suatu barang dan setelah jadi ternyata penciptanya tidak dapat menikmati hasil karyanya sebagai akibat adanya pembajakan maka tentu saja hal itu sangat merugikannya.

Masyarakat kurang mengetahui konsep Hak Kekayaan Intelektual ini, seperti yang dinyatakan Muhamad Djumhana bahwa pada umumnya masyarakat kurang mengetahui benar mengenai Hak Kekayaan Intelektual. Bahkan, kalangan pencipta seperti seniman, desainer, dan juga penemu serta pemilik merek itu sendiri pun kurang mengetahui, apalagi mengenai kapan dan bagaimana harus menegakkan atau mempertahankan hak tersebut. Bila pun masyarakat telah sedikit memahaminya namun pemahamannya masih rancu (Muhamad Djumhana, 2003:1).

Undang-undang mengenai hak cipta telah ada sejak tahun 1912, yaitu berlakunya Auteurswet 1912, Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 pada tanggal 23 September 1912. Kemudian pada tahun 1913 pemerintah Belanda menandatangani Konvensi Bern (Perjanjian Internasional tentang Hak Cipta), sehingga Indonesia dapat turut serta memberlakukan ketentuan-ketentuan dari Konvensi Bern tersebut. Sumber hukum utama Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia dalam bidang hak cipta adalah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 yang diundangkan tanggal 17 Mei 1997, dan akhirnya yang terbaru ialah Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku tanggal 27 Juli 2003.

Hampir di seluruh daerah Indonesia memiliki kebudayaan batik yang beragam dan memiliki khas sendiri-sendiri. Beragam suku bangsa kaya akan hasil seni tradisional dengan nilai estetika yang tinggi seperti batik tradisional Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Jambi, dll. Batik tulis Kota Surakarta atau juga yang lebih dikenal dengan batik tulis Kota Solo merupakan karya seni tradisional yang harus memperoleh perlindungan Hak Kekayaan Intelektual khususnya hak cipta. Batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai budaya dan filosofi yang sangat tinggi sehingga jangan sampai karya seni tradisional ini juga menjadi sasaran empuk pembajakan yang secara dapat menimbulkan suatu kerugian bagi penciptanya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka Pasal 12 Ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menetapkan bahwa dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang di dalamnya mencakup seni batik.

Perkembangan bentuk dan fungsi batik tidak semata-mata untuk kepentingan busana saja, tetapi dapat juga dipergunakan untuk elemen interior, produk cinderamata, media ekspresi, bahkan merambah ke barang-barang mebel. ciptaan batik pada awalnya merupakan suatu ciptaan khas bangsa Indonesia yang dibuat secara konvensional. Batik mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif maupun gambarnya yang menjadi alasan karya-karya seperti ini memperoleh perlindungan. Termasuk pula di dalamnya pengertian seni batik yaitu karya tradisional yang ada di berbagai daerah, misalnya saja seni songket, tenun ikat, dan lain-lain yang terus dikembangkan.

Upaya melestarikan budaya batik ini sebenarnya oleh pemerintah telah digalakan melalui berbagai cara untuk menempuhnya, antara lain dengan mengharuskan pemakaian seragam bermotif batik bagi anak-anak sekolah maupun Pegawai Negeri pada hari-hari tertentu. Usaha yang dilakukan pemerintah Upaya melestarikan budaya batik ini sebenarnya oleh pemerintah telah digalakan melalui berbagai cara untuk menempuhnya, antara lain dengan mengharuskan pemakaian seragam bermotif batik bagi anak-anak sekolah maupun Pegawai Negeri pada hari-hari tertentu. Usaha yang dilakukan pemerintah

Kota Solo sebagai salah satu barometer perbatikan di Indonesia, ternyata memiliki kewajiban moral terhadap pelestarian dan pengembangan batik sebagai seni sekaligus asset ekonomi bangsa apalagi setelah Organisasi Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tanggal 2 Oktober 2009 melegetimasikan batik sebagai warisan seni dan budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Wali Kota Surakarta ini mensosialisasikan penggalakan pelestarian dan pengembangan batik. Dari hal ini Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga kota Solo akan memasukkan batik ke dalam Kurikulum Muatan Lokal Batik yang diajarkan mulai jenjang SD sampai SMA/SMK di kota Solo (Kuswilo, 2009: 39). Upaya untuk melestarikan seni batik tidak cukup hanya demikian. Hal yang paling mendasar adalah upaya memberikan penghargaan berupa perlindungan atas hasil karya intelektualnya melalui melalui hak cipta. Hal ini penting karena dalam proses menghasilkan suatu karya seni batik diperlukan sejumlah pengorbanan baik pikiran, tenaga, biaya, dan waktu (Afrillyanna Purba, 2005:7).

Kota Surakarta yang dikenal dengan Solo Kota Budaya, salah satu kebudayaan yang paling berkembang adalah dalam industri batik. Di Kota Surakarta sendiri ada suatu daerah-daerah (kampung) yang sebagian besar masyarakatnya merupakan perajin industri batik sampai akhirnya daerah tersebut dijadikan sebagai kampung wisata batik yang sekarang dikenal dengan sebutan Kampoeng Wisata Batik Koeman dan Kampoeng Wisata Batik Laweyan. Selain kampung-kampung industri batik, Kota Surakarta juga mempunyai beberapa perusahaan terkemuka yang bergerak dibidang produksi batik yang sudah dikenal banyak kalangan.

Banyaknya industri batik yang berkembang di Kota Surakarta, pastinya seimbang pula dengan berkembangnya ciptaan batik di Kota Surakarta. Apabila Banyaknya industri batik yang berkembang di Kota Surakarta, pastinya seimbang pula dengan berkembangnya ciptaan batik di Kota Surakarta. Apabila

CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA’’.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian merupakan suatu hal yang penting karena diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta?

2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian harus memiliki tujuan yang jelas agar tepat mengenai sasaran yang dikehendaki dan dapat pula memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.

b. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data dan informasi secara jelas dan lengkap sebagai bahan penyusunan skripsi sebagai prasyarat guna menyelesaikan studi dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dibidang Hukum Perdata terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta pada khususnya.

c. Memberikan manfaat bagi penulis dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis Penulis berharap dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Perdata pada masalah Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait dengan masalah penelitian ini pada umumnya dan para pencipta seni batik agar semakin berkembang.

b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.

c. Agar dapat meningkatkan pengetahuan tentang masalah-masalah dan lingkup yang dikaji dalam penelitian ini.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang sangat penting bagi pengembangan ilmu dan bagi pemecahan suatu masalah. Metodologi penelitian merupakan cara utama untuk memperoleh data secara lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga tujuan dari penelitian dapat tercapai. Metodologi penelitian juga merupakan cara atau langkah sebagai pedoman untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu gejala atau merupakan suatu cara untuk memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”; namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan- kemungkinan, sebagai berikut:

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.

2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur (Soerjono Soekanto, 2007 : 5). Sesuai dengan tujuan penelitian sebagai suatu prasarat menyelesaikan studi dalam meraih gelar Sarjana Hukum, maka penelitiannya merupakan penelitian hukum. Penelitian hukum adalah suatu kegiatan, yang didasarklan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala tertentu, dengan jalan menganalisanya dengan mengadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum untuk kemudian mengusahakan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa metedologi penelitian memanglah penting. Beberapa hal yang menyangkut metode penelitian dalam penelitian ini diuraikan penulis sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian Hukum Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk dalam jenis metode penelitian hukum empiris atau sosiologis. “Pada penelitian hukum empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian dilanjutkan pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat” (Soerjono Soekanto, 2007:52). Dalam hal ini, peneliti 1. Jenis Penelitian Hukum Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk dalam jenis metode penelitian hukum empiris atau sosiologis. “Pada penelitian hukum empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian dilanjutkan pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat” (Soerjono Soekanto, 2007:52). Dalam hal ini, peneliti

2. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2007 : 10).

3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data-data yang dinyatakan oleh resonden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2007 : 250).

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian Data adalah hasil dari penelitian, baik berupa fakta-fakta atau angka- angka yang dapat dijadikan bahan untuk dijadikan suatu sumber informasi, sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan. Jenis dan sumber data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer. Data primer adalah data atau fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama, atau melalui penelitian di lapangan, yaitu berupa wawancara (interview). Dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Perindustrian Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Kaoeman, Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Laweyan, dan beberapa orang perwakilan pengusaha batik yang ada di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman dan Kampoeng Wisata Batik Laweyan. Wawancara ini dilakukan oleh peneliti guna menunjang penyajian dan analisis data.

b. Data Sekunder Data sekunder adalah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dari lapangan. Data ini diperoleh dari peraturan perundang-undangan, dokumen atau arsip, bahan pustaka, laporan, internet, jurnal, makalah dan sebagainya yang terkait dengan penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan teknik untuk mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan untuk memperoleh data-data primer dan sekunder yang lengkap dan relevan. Teknik pengumpulan data tersebut adalah meliputi hal berikut :

a. Data Primer

1) Wawancara (interview) Penulis terjun langsung ke lokasi penelitian dengan tujuan memperoleh data yang valid dan lengkap dengan cara mengadakan wawancara. Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab. Untuk mempermudah perolehan informasi, penulis membuat panduan wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan tersusun dalam bentuk interview guide. Adapun dalam penentuan responden, dapat diperoleh dengan cara pengambilan sampel dengan cara purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informant yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya 1) Wawancara (interview) Penulis terjun langsung ke lokasi penelitian dengan tujuan memperoleh data yang valid dan lengkap dengan cara mengadakan wawancara. Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab. Untuk mempermudah perolehan informasi, penulis membuat panduan wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan tersusun dalam bentuk interview guide. Adapun dalam penentuan responden, dapat diperoleh dengan cara pengambilan sampel dengan cara purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informant yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya

2) Observasi Observasi merupakan pengamatan terhadap obyek yang diteliti. Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan. Jenis Observasi yang dipakai pada penelitian ini observasi non partisipan dimana peneliti tidak berpartisipasi terhadap segala kegiatan yang terdapat di tempat penelitian.

b. Data Sekunder Teknik pengumpulan data sekunder dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian terdahulu, dan bahan kepustakaan lain yang digunakan sebagai acuan penulis yang tentunya berkaitan dengan masalah yang diteliti.

6. Teknik Analisis Data dan Model Analisis Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis data tersebut. Analisis data mempunyai kedudukan penting dalam penelitian guna mencapai tujuan penelitian. Data yang diperoleh tersebut akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga didapat suatu kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian.

Adapun model analisis yang digunakan penulis adalah analisa kualitatif model interaktif (interactive model of analysis) yaitu dilakukan dengan cara interaksi, baik antara komponennya, maupun dengan proses Adapun model analisis yang digunakan penulis adalah analisa kualitatif model interaktif (interactive model of analysis) yaitu dilakukan dengan cara interaksi, baik antara komponennya, maupun dengan proses

Untuk lebih jelasnya, tehnik analisa data kualitatif dengan model interaktif dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Pengumpulan Data

Reduksi Data Sajian Data

Penarikan Kesimpulan

Bagan I : Interactive Model Of Analysis

Keterangan :

a. Reduksi Data Dalam reduksi data peneliti diharuskan memeriksa semua data yang diperoleh, apakah sudah lengkap, runtun atau masih diperlukan informasi tambahan sebagai pelengkap dalam penyususnan nantinya. Setelah semua data atau informsi sudah terkumpul lengkap, kemudian penulis melakukan proses pemilihan/seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan dari data-data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir penelitian dapat dilakukan.

b. Penyajian Data Dengan penyajian data, peneliti akan mudah memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisa atau mengambil tindakan yang berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut dalam bentuk narasi yang memungkinkan b. Penyajian Data Dengan penyajian data, peneliti akan mudah memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisa atau mengambil tindakan yang berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut dalam bentuk narasi yang memungkinkan

c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Dalam pengumpulan data peneliti harus sudah memahami arti berbagai hal yang ditemui, dengan melakukan pencatatan-pencatatan, peraturan- peraturan, pola-pola, pertanyaan-pertanyaan, atau konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat dan berbagai proposisi kesimpulan yang diverifikasi.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika Penulisan Hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam Penulisan Hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam Penulisan Hukum ini. Adapun sistematika Penulisan Hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika Penulisan Hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab pertama ini, diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini, dimulai dari kerangka teori yang akan menguraikan tentang teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Kerangka teori terdiri atas tinjauan tentang hak kekayaan intelektual yang meliputi uraian pengertian hak kekayaan intelektual, dasar teoritik pembenar atas perlindungan hak kekayaan intelektual, prinsip hak kekayaan intelektual, hak kekayaan

intelektual sebagai bagian dari hukum benda, pemanfaatan hak kekayaan intelektual, kemudian tinjauan tentang Hak Cipta yang meliputi ketentuan hak cipta dalam sejarah dan ruang lingkup hak cipta, yang terdiri dari : 1). istilah, hak-hak terkait, dan prinsip- prinsip hak cipta, 2). obyek hak cipta, 3). sifat-sifat hak cipta, 4). pendaftaran dan pembatalan hak cipta, 5). pengalihan hak cipta, kemudian tinjauan tentang pengetahuan tradisional yang terdiri dari pengertian dan ruang lingkup pengetahuan tradisional, perlindungan hukum hak cipta atas folklore dan pengetahuan tradisional, pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional di indonesia dan permasalahannya, tujuan perlindungan pengetahuan tradisional, tinjauan tentang penegakan hukum hak cipta yang meliputi penegakan hukum pada umumnya, dan penegakan hukum hak cipta, dan kemudian tinjauan tentang batik yang meliputi pengertian, perkembangan batik di Indonesia, macam batik dan proses singkat pembuatan batik, serta batik tradisional di Kota Surakarta. Setelah kerangka teori dilanjutkan dengan kerangka pemikiran.

BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai hasil penelitian yang diperoleh di lapangan dan pembahasannya yang dihubungkan dengan fakta dan data dari kepustakaan mengenai pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta dan kendala dalam pelaksanaan perlindungan terhadap seni batik di Kota Surakarta.

BAB IV : Penutup

Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai simpulan dan saran terkait hasil penelitian yang telah dilakukan penulis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1 Tinjauan tentang Hak Kekayaan Intelektual

a. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right yang dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Istilah Hak Kekayaan Intelektual bukanlah satu-satunya terjemahan dari kata Intellectual Property Right . Beberapa terjemahan lainnya adalah Hak Atas Kepemilikan Intelektual (HAKI), Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). “Dalam literatur hukum Anglo Saxon, istilah hukum tersebut terbagi menjadi dua yakni: Hak Milik Intelektual dan Hak Kekayaan Intelektual. Kata tersebut memang dapat diartikan sebagai kekayaan, dapat juga sebagai milik” (Abulkadir Muhammad, 2001:1).

Perbedaan-perbedaan istilah tersebut sebenarnya hanya berbeda dalam kata namun mempunyai makna yang sama, untuk memudahkan dalam pengambilan istilah, maka penulis mengambil istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di mana pengambilan istilah ini sejalah dengan ketentuan yang berlaku dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual.

Pendapat Dicky R. Munaf dalam buku Budi Agus Riswandi menyatakan bahwa HKI merupakan hak yang berasal dari karya, karsa, cipta manusia karena lahir dari kemampuan intelektualitas manusia dan merupakan hasil kegiataan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia juga mempunyai nilai ekonomis (Budi Agus Riswandi, 2009: 3).

“Secara substansi, pengertian Hak Kekayaan Intelektual dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan intelektual yang timbul dan lahir karena kemampuan intelektual manusia” (Afrillyanna Purba, 2005:13). HKI tersebut dapat dikatakan sebagai hak eksklusif, yakni hak yang

semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Hak hukum di mana dengan hak hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hasil kresi dan karya intelektual manusia dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mempunyai manfaat ekonomi.

b. Dasar Teoritik Pembenaran atas Perlindungan Hak Kekayayaan Intelektual Perlindungan HKI itu sangat penting, hal ini juga dibenarkan oleh pendapat Soejono Dirjosisworo yang menyatakan penciptaan HKI membutuhkan banyak waktu di samping bakat, pekerjaan, dan juga uang untuk membiayainya. Di bidang kesusastraan, paten, merek dagang, juga dalam teknologi baru seperti perangkat lunak untuk komputer, bioteknologi, dan chips sudah jelas bahwa perlindungan tertentu sangat dibutuhkan. Apabila tidak ada perlindungan atas kreativitas intelektual yang berlaku di bidang seni, industri, dan pengetahuan ini, maka tiap orang dapat meniru dan membuat copy secara bebas serta memproduksi tanpa batas (Soejono Dirjosisworo, 2000:3).

“Perlindungan HKI pada dasarnya didasarkan kepada beberapa alasan pembenar. Alasan pembenar ini didasarkan pada suatu pendekatan teoritik. Adapun beberapa alasan pembenar terhadap perlindungan Hak Kekayaan Intelektual adalah”:

1) Bahwa kepada pencipta di bidang ilmu pengetahuan seni dan sastra, atau pun penemu di bidang teknologi baru baik berupa rahasia dagang, hak cipta maupun paten, harus diberikan suatu penghargaan dan pengakuan serta perlindungan hukum atas keberhasilan upayanya dalam melahirkan karya baru itu.

2) Berbeda dalam rahasia dagang pada bidang HKI lain seperti halnya paten pada dasarnya bersifat terbuka, artinya penemuannya harus menguraikan atau membeberkan penemuannya dengan jelas dan terinci sebagai salah satu syarat pendaftaran paten. Keadaan ini potensial menimbulkan resiko karena orang lain dapat belajar atau melaksanakan penemuan tersebut secara tanpa hak, oleh karena itu sebagai imbalannya kepada penemu diberikan hak khusus (ekslusif) untuk dalam jangka waktu tertentu melakukan ekspoitasi atas penemuannya, sehingga setiap pelanggaran atas hal itu dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.

3) Bahwa HKI yang merupakan hasil ciptaan atau penemuan bersifat permulaan yang belum didaftarakan sebagai paten misalnya, membuka kemungkinan kepada pihak lain untuk dapat mengetahui atau mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh penemu tadi secara diam-diam. Oleh karenanya, penemuan-penemuan mendasar yang belum terdaftar atau dipublikasikan itu pun harus dilindungi, meskipun belum dapat memperoleh perlindungan di bawah hukum paten, hak cipta dan desain, tetapi dapat dikategorikan sebagai rahasia dagang

(Budi Agus Riwandi, 2009: 4-5). Dasar pembenar seperti yang telah diuraikan di atas semakin mempertegas akan arti penting terhadap perlindungna HKI. Dengan adanya perlindungan terhadap HKI, maka ada jaminan kepada masyarakat untuk menghargai hak inisiatif dan reaksi serta memberikan perlindungan akan hasil karya ciptanya. Semakin tinggi penghargaan negara terhadap HKI, maka masa depan suatu bangsa juga akan lebih baik (Dewi Sulistyaningsih, 2008: 3-4).

c. Prinsip Hak Kekayaan Intelektual “Prinsip utama HKI, yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang c. Prinsip Hak Kekayaan Intelektual “Prinsip utama HKI, yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang

1) Prinsip Keadilan (the principle of natural justice) Wajar apabila para pencipta suatu karya cipta, atau orang yang dapat membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya dapat memperoleh imbalan. Imbalan disini dapat berupa imbalan materi maupun bukan materi.

2) Prinsip Ekonomi (the economic argument) Prinsip ini berkait erat dengan prinsip keadilan, setelah seseorang tadi mendapatkan imbalan sangatlah wajar apabila hal tersebut digunakan sebagai menunjang kehidupannya di dalam masyarakat sesuai dengan sifat ekonomis manusia.

3) Prinsip Kebudayaan (the culture argument) Karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup, selanjutnya dari karya itu akan timbul pula suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan karya manusia sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradapan, dan martabat manusia.

4) Prinsip Sosial (the social argument) Pemberian perlindungan hukum dari negara tidak boleh semata-mata digunakan untuk memenuhi kepentingan perseorangan, akan tetapi harus memenuhi kepentingan seluruh masyarakat

(Afrillyanna Purba, 2005: 14).

d. Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Bagian dari Hukum benda

Apabila HKI kita telusuri sebenarnya merupakan salah satu bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (immateriil). Perlu kita ketahui benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan benda berwujud yang telah ditentukan dalam Pasal 503 KUH Perdata dan benda tidak berwujud yang telah ditentukan dalam Pasal 499 KUH Perdata yang disebut hak. HKI ini merupakan suatu hak. Untuk itu perlu kita lihat batasan benda yang ditemukan oleh Pasal 499 KUH Perdata (Abdulkadir Muhammad, 2007; 3). “Apabila hak kebendaan tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 dengan Pasal 73 UUHC 2002, tampak sekali kalau hak cipta itu bagian daripada hak kebendaan, yang merupakan hak mutlak serta bersifat mengikuti ciptaannya, walaupun tidak mendapatkan perlindungan hukum di negara lain” (Rahmadi Usman, 2003:81).

Pembenaran penggolongan hak tersebut ke dalam hukum harta benda dapat dilihat dari hak kepemilikan hasil intelektual. Hak kepemilikan ini sangat abstrak dibandingkan dengan hak kepemilikan benda yang terlihat, tetapi hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, dan juga kedua hak tersebut bersifat hak mutlak. Selanjutnya dapat dianalogikan bahwa setelah benda yang tidak berwujud itu keluar dari pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hasil tersebut dapat dimanfaatkan dan di reproduksi yang nantinya menjadi sumber keuntungan.

Pada dasarnya HKI dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu:

1) Hak Cipta, yang terdiri dari hak cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta.

2) Hak Kekayaan Perindustrian yang terdiri dari : (a) Paten (patent) (b) Merek Dagang (trade mark) (c) Desain Industri (Industrial Design).

Bidang-bidang HKI yang telah diatur dalam hukum Indonesia meliputi: Hak Cipta, Merek, Paten, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit

Terpadu, Desain Produk Industri, dan Perlindungan Varietas Tanaman (Alfriyanna Purba, 2005: 16).

“According to the World Intellectual Property Organization (WIPO),intellectual property (IP) is a term that refers to“creations of the mind:inventions,literary and artistic works, and symbols, names, images, and designs used in commerce. WIPO divides IP into two categories:industrial property (patents, trademarks, and industrial designs) and copyright (literary,artistic,creative,and aesthetic works)” yang artinya menurut World Intellectual Property Organization (WIPO), HKI adalah istilah yang mengacu pada “Kreasi pikiran: penemuan, sastra dan karya artistik, dan simbol, nama, gambar, dan desain yang digunakan dalam perdagangan. WIPO membagi HKI menjadi dua kategori: kekayaan industri (paten, merek dagang, dan industri desain) dan hak cipta (Sastra, seni, kreatif, dan estetika bekerja)” (Matthew Dames. 2009: 18).

e. Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual Pasal 570 KUH Perdata disebutkan Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaaan sesuatu benda dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan Undang-undang, atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

Ketentuan Pasal 570 KUH Perdata tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa setiap hak milik mempunyai unsur:

1) Kemampuan untuk menikmati atas benda atau hak yang menjadi objek hak milik tersebut.

2) Kemampuan untuk mengawasinya atau menguasai benda yang menjadi objek hak milik itu, yaitu misalnya untuk mengalihkan hak milik itu kepada orang lain atau memusnahkannya.

Walaupun demikian, pengaturan hukum di sini memberikan pembatasan kepada pemiliknya untuk menikmati maupun menguasai atas benda, atau hak yang merupakan miliknya tersebut. Setiap pengaturan Hak Kekayaan Intelektual selalu memuat pembatasan terhadap penguasaan atau penggunaan tersebut, baik secara:

1) Batas-batas yang diadakan oleh peraturan perundang-undangan Misalnya dalam perundang-undangan hak cipta; hak cipta hanya berlaku terhadap ciptaan-ciptaan yang telah ditentukan dalam Undang- undang dan tidak berlaku terhadap ciptaan diluar tersebut; hak cipta dibatasi oleh masa berlakunya.

2) Batas-batas tata kesusilaan dan ketertiban umum Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa HKI tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum termasuk pula penggunaan tanda yang bertentangan dengan agama atau menyerupai nama Allah dan Rasul-nya.

3) Pencabutan hak milik untuk kepentingan masyarakat, asal saja pencabutan hak milik itu dilakukan berdasarkan Undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi yang layak.

Perlindungan HKI yang kuat selain memberikan kepastian hukum, juga memberikan manfaat yang dapat dirasakan dari segi politis, ekonomi, sosial budaya, bahkan segi pertahanan keamanan pun bisa meraih manfaat dari adanya perlindungan HKI ini. Secara garis besarnya kita dapat melihat beberapa keuntungan dan manfaat yang dapat diharapkan dengan adanya perlindungan HKI secara ekonomi, yaitu antara lain:

1) Perlindungan HKI yang kuat dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan landasan teknologi nasional guna memungkinkan pengembangan teknologi yang lebih cepat lagi.

2) Pemberian perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta atau menemukan sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

3) Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap hasil karya dan karsa manusia, melainkan juga merupakan penciptaan suasana yang sehat untuk menarik penanaman modal asing, serta memperlancar perdagangan internasional.

2. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Hak Cipta

a. Ketentuan Hak Cipta di Indonesia dalam Sejarah Indonesia pertama kali mengenal hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada masa Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 131 dan 163 I.S., hukum yang berlaku di Negeri Belanda yang juga diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Undang-undang Hak Cipta saat itu adalah Auterswet 1912, yang pada saat itu istilah yang digunakan adalah hak pengarang/hak pencipta (author right) yang hanya menggambarkan hak untuk menggandakan atau memperbanyak suatu karya cipta (Afrillyanna Purba, 2005: 16).

“Auterwet 1912 ini sangat ketinggalan zaman, sehingga di dalam praktik akibatnya mengalami kejanggalan-kejanggalan, dirasakan merugikan kepentingan pihak-pihak yang hidupnya bergantung di bidang hak cipta. Boleh dikata Autesswet 1912 ini tidak sesuai dengan keadaan masyarakat kita. Sehingga dibutuhkan sekali untuk penggantian Undang- undang hak cipta yang baru” (Rahmadi Usman, 2003: 57). Sejak Negeri Belanda menandatangani naskah Konvensi Bern pada tanggal 1 April 1913, maka sebagai negara jajahannya, Indonesia diikutsertakan dalam Konvensi tersebut sebagaimana disebutkan dalam Staatblad Tahun 1914 Nomor 797. Konvensi inilah yang kemudian berlaku di Negara Indonesia “Auterwet 1912 ini sangat ketinggalan zaman, sehingga di dalam praktik akibatnya mengalami kejanggalan-kejanggalan, dirasakan merugikan kepentingan pihak-pihak yang hidupnya bergantung di bidang hak cipta. Boleh dikata Autesswet 1912 ini tidak sesuai dengan keadaan masyarakat kita. Sehingga dibutuhkan sekali untuk penggantian Undang- undang hak cipta yang baru” (Rahmadi Usman, 2003: 57). Sejak Negeri Belanda menandatangani naskah Konvensi Bern pada tanggal 1 April 1913, maka sebagai negara jajahannya, Indonesia diikutsertakan dalam Konvensi tersebut sebagaimana disebutkan dalam Staatblad Tahun 1914 Nomor 797. Konvensi inilah yang kemudian berlaku di Negara Indonesia

Guna mempertegas perlindungan hak cipta dan menyempurnakan hukum yang berlaku, maka telah beberapa kali diajukan Rancangan Undang-undang baru tentang hak cipta yaitu pada tahun 1958, 1966, dan 1971, tetapi tidak berhasil menjadi Undang-undang Hak Cipta sendiri. Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 1982). Undang-undang ini sekaligus mencabut Auterswet 1912 yang dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, menyebarluaskan hasil kebudayaan di bidang ilmu, seni, dan sastra, serta mempercepat pertumbuhan pencerdasan bangsa.

Undang-undang perlindungan atas pencipta ini dianggap kurang memadai dibandingkan dengan negara lain. Selanjutnya pada tahun 1987, UUHC 1882 yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 1987). Penyempurnaan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

Penyempurnaan berikutnya adalah pada tahun 1997 dengan berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 1997). Penyempurnaan ini diperlukan sehubungan perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama di bidang perekonomian tingkat nasional dan internasional yang menuntut pemberian perlindungan yang lebih efektif terhadap hak cipta. Selain itu juga karena penerimaan dan keikutsertaan Indonesia di dalam Persetujuan TRIPs yang merupakan bagian dari Agreement establishing the World Trade Organizatoin.

Akhirnya pada tahun 2002, Undang-undang Hak Cipta yang baru telah diundangkan dengan mencabut dan menggantikan UUHC 1997.

Undang-undang ini memuat perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan TRIPs dan penyempurnaan beberapa hal yang perlu untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tradisional Indonesia (Afrillyanna Purba, 2005: 18). Undang-undang ini berlaku sampai sekarang yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang untuk selanjutnya Undang-undang ini dikenal dengan singkatan UUHC 2002.

“Throughout its history, copyrightlaw and policy have been created by and have served commercial interests. But this should be neither surprising nor particularly controversial. Copyright began as a privilege for publishers to protect their works from being copied without proper authorization” yang artinya: Sepanjang sejarahnya, hukum hak cipta dan kebijakannya telah dibuat oleh dan telah melayani komersial kepentingan. Tapi ini harus tidak mengherankan atau menjadi kontroversial. Hak Cipta dimulai sebagai suatu kehormatan bagi penerbit untuk melindungi karya mereka dari penjiplakan tanpa otorisasi yang tepat (Matthew Dames. 2010: 18).

b. Ruang Lingkup Hak Cipta

1) Istilah, Hak-Hak Terkait, dan Prinsip-Prinsip Hak Cipta Sumber utama untuk mengetahui tentang hak cipta itu merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif hak cipta) yakni UUHC 2002 sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya. Dalam Undang-undang ini ditemukan pengertian dari hak cipta itu sendiri, yakni dalam Pasal 1 ayat (1) “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku“.

Unsur-unsur hak cipta dari definisi tersebut adalah sebagai berikut:

a) Hak esklusif Hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.

b) Pencipta, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUHC 2002 Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama- sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

c) Pengumuman, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (5) UUHC 2002: Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.

d) Perbanyakan, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) UUHC 2002: Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.

Berdasarkan pengertian di atas, maka hak cipta dapat didefinisikan sebagai sebagai suatu hak monopoli untuk Berdasarkan pengertian di atas, maka hak cipta dapat didefinisikan sebagai sebagai suatu hak monopoli untuk

Bila ditelusuri secara mendalam hak cipta ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta. Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu Prancis. Menurut konsep hukum kontinental; hak pengarang yang terbagi menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang, dan moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi si pencipta (Budi Agus Riswandi, 2004:3).

Hak ekonomi itu sendiri masih bersifat umum, sehingga hak ekonomi tersebut meliputi:

a) Hak Reproduksi atau Penggandaan Hak pencipta untuk menggandakan ciptaannya, dilakukan secara tradisional maupun melalui peralatan modern. Hak reproduksi ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan suatu ke ciptaan lainnya, misalnya rekaman musik, pertunjukan drama, juga pembuatan duplikasi dalam rekaman suara dan film. UUHC menggunakan istilah hak perbanyakan.

b) Hak Adaptasi Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa yang lainnya, aransemen musik, dramatisasi dari nondramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan nonfiksi, atau sebaliknya. Hak ini diatur dalam Konvensi Berne maupun Konvensi Universal (Universal Copyright Convension)

c) Hak Distribusi Hak distribusi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaanya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal c) Hak Distribusi Hak distribusi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaanya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal

menggunakan istilah hak mengumumkan.

UUHC

d) Hak Penampilan atau Performance Right Hak untuk menyajikan kuliah, pidato, khotbah, baik melalui visual atau apresiasi suara, dan tampilan lain tersebut. Setiap orang atau badan yang menampilkan, atau mempertunjukan sesuatu karya cipta, harus meminta izin dari si pemilik hak permorfing tersebut.

e) Hak Penyiaran atau Brodcasting Right Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh peralatan kabel. Hak penyiaran ini contohnya penyiaran ulang.

f) Hak Program Kabel Hak ini hampir sama dengan penyiaran hanya saja menstrasmisikan melalui kabel. Badan penyiaran televisi mempunyai suatu studio tertentu, dari sana disiarkan program- program melalui kabel kepada pesawat pelanggan.

g) Droit de Suite Droit de Suite adalah hak penciptaan, hak penciptaan ini bukanlah penciptaan bisa, namun penciptaan yang mempunyai sifat hak kebendaan.

h) Hak Pinjam Masyarakat Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.

(Budi Agus Riswandi, 2005: 5-7). Berdasar hal tersebut hak ekonomi dapat dimiliki oleh pencipta satu atau lebih dari hak ekonomi tersebut. Hak-hak tersebut juga dapat dimiliki oleh seseorang ataupun oleh badan hukum. Hal ini seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 6 UUHC 2002: