BAB II SEJARAH DAN ASAL-USUL SI RAJA LONTUNG - Analisis Tekstual dan Musikal Ende Tarombo Si Raja Lontung yang Disajikan oleh Marsius Sitohang dan Trio Lasidos: Studi Komparatif Musikal

BAB II SEJARAH DAN ASAL-USUL SI RAJA LONTUNG Pada bab ini akan dibahas tentang sejarah asal-usul Si Raja Lontung, untuk

  itu perlu dilakukan peninjauan sejarah darinya. Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah dengan pendekatan penelitian historis. Menurut Suryabrata dalam Metode Penelitian (1994:16) tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensintesiskan bukti- bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Semua upaya tersebut harus melalui proses pengumpulan data. Maka dengan demikian data-data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berbentuk keterangan-keterangan, kalimat-kalimat dari studi pustaka, foto-foto, serta informasi yang berkaitan dengan bagaimana sejarah asal-usul Si Raja Lontung.

  Mengingat bahwa data-data yang dikumpulkan tersebut berupa dokumen- dokumen tertulis, informasi, kejadian-kejadian, dan foto-foto yang akan dianalisis dalam tinjauan sejarah, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku atau sekelompok individu atau sekelompok orang (Moleong, 2007:6) Dilain pihak Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan atas tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang dijumpai di lapangan. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala lain dalam suatu masyarakat. Jadi dalam hal ini penulis akan melakukan wawancara terbuka terhadap informan untuk mendeskripsikan bagaimana sejarah dari Si Raja Lontung. Penelitian ini berpusat

  12

  pada pendapat informan kunci dalam konteks studi emik. Namun penulis tetap melakukan penafsiran-penafsiran sesuai dengan kaidah ilmiah dalam konteks studi etik, yaitu identifikasi menurut peneliti yang mengacu pada konsep-konsep sebelumnya sehingga didapatkan data yang objektif (Kaplan dan Manners 1999:256-8).

  Membincangkan sejarah asal-usul Si Raja Lontung dan turunannya penulis menggunakan metode sejarah dari Kuntowijoyo, yaitu; model sinkronis: untuk mengetahui gambaran lingkungan sosial, historis, fungsi dan latar belakang dan model diakronis: untuk menggambarkan bagaimana pertumbuhan tersebut dari waktu-kewaktu, bagaimana ia tumbuh dari awal sebagai suatu gejala (1994:38).

2.1 Model Sinkronis

  Menurut Vergouwen (1986:9) Desa Sabulan merupakan tempat Si Raja Lontung dilahirkan dan tinggal selama hidupnya. Sabulan adalah salah satu nama perladangan desa yang berada di wilayah Kecamatan Sitiotio di kaki gunung

  13 Pusuk Buhit , Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

  12 Emik (native point of view) mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. 13 Samosir dibuat menjadi suatu pulau dengan menggali sebuah terusan yang memotong punggung bukit yang menyatukannya dengan Gunung Pusuk Buhit.

  Gambar-1. Peta Desa Sabulan Dokumentasi Blessta Hutagaol, 2015.

  Konon menurut cerita rakyat atau turi-turian bahwa daerah Sabulan adalah tempat tinggal Sariburaja bersama Siboru Pareme setelah mereka diusir dari

  14 kampungnya kemudian melahirkan Si Raja Lontung.

  Menurut James Danandjaja (1984:4) Cerita rakyat adalah suatu karya sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap, atau dalam bentuk baku disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang lama. Dalam hal ini kisah tentang Si Raja Lontung merupakan sebuah cerita rakyat dalam masyarakat Batak Toba. Namun dalam penggolongannya, penulis memperhatikan jenis cerita prosa rakyat yang terbagi atas tiga golongan utama yaitu: 14 Akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

  1. Mite (myth), adalah cerita prosa rakyat yang benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa, peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan kita kenal sekarang, dan terjadi di masa lampau.

  2. Legenda (legend), adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci, legenda ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan sering kali dibantu oleh makhluk- makhluk gaib.

  3. Dongeng (folktale) berupa cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar- benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat (James Danandjaja, 1984:50) Berdasarkan penggolongan cerita rakyat diatas maka kisah tentang Si Raja

  Lontung termasuk dalam jenis Legenda. Karena dalam alur kisahnya peristiwa tentang Si Raja Lontung adalah terjadi di bumi dan masih terdapak jejak peninggalan sejarahnya atau artefak yaitu di Desa Sabulan, Kecamatan Sitiotio, Kabupaten Samosir dan dalam perjalanan hidupnya acapkali Si Raja Lontung beserta keturunannya melakukan permohonan kepada Debata Mulajadi Na Bolon untuk meminta kekuatan dan kesaktian.

  2.1.1 Gambaran lingkungan sosial

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara, maka yang merupakan wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Samosir sebanyak sembilan kecamatan, yaitu: Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo, Kecamatan Ronggur Ni Huta, Kecamatan Palipi, Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Onan Runggu, Kecamatan Sitiotio, Kecamatan Sianjur Mulamula, dan Kecamatan Harian. Jadi Kecamatan Sititotio merupakan salah satu wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Samosir. Kecamatan Sititotio terdiri atas beberapa desa sebagai berikut: Desa Tamba Dolok, Desa Cinta Maju, Desa Buntu Mauli, Desa Sabulan, Desa Holbung, Desa Janji Raja, Desa Janji Maria, dan Desa Parsaoran.

  Desa Sabulan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sitiotio Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan turi-turian pada masyarakat Batak Toba disertai dengan peninggalan sejarahnya, bahwa pada zaman dahulu kala, di desa inilah Siboru Pareme dan Si Raja Lontung berjanji (Marbulan ). Sehingga desa ini dinamakan Desa Sabulan.

  Berdasarkan profil desa pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Sabulan tahun 2008-2013, Desa Sabulan adalah desa yang sangat bersejarah bagi seluruh orang Batak secara khusus bagi keturunan (pomparan) Siboru Pareme dan Si Raja Lontung yaitu yang terdiri dari tujuh orang putera dan satu orang puteri. Masing-masing puteranya bernama:Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar. Sedangkan puterinya bernama Si Boru Anak Pandan. Ia menikah dua kali dengan marga Sihombing kemudian

15 Simamora.

  15 Akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

  2.1.2 Letak astronomis dan geografis

  4. Ketinggian Diatas Permukaan Laut

  dan di garis bujur yang dinyatakan dalam angka. Sedangkan Letak Geografis adalah letak suatu tempat dilihat dari keadaan sebenarnya di permukaan bumi.

  Pembagian wilayah Desa Sabulan dibagi menjadi 3 (tiga) dusun yaitu sebagai berikut:

  2.1.3 Luas wilayah

  22 KM Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011

  5. Jarak Kantor Camat Ke Kantor Bupati Samosir

  904-2.157 Meter

  3 Batas Wilayah:  Utara  Selatan  Barat  Timur  Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir  Kecamatan Pollung Kabupaten Humbahas  Kecamatan Harian Kabupaten Samosir  Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbahas

  Wilayah Kecamatan Sitiotio mempunyai letak astronomis dan geografis

  2. Luas Wilayah Daratan 50, 76 Km² atau 3,51% dari total luas daratan Kabupaten Samosir.

  1. Letak Astronomis 2º30´-2º45´LU dan 98º30´-98º45´BT

  Statistik

  No. Letak Astronomis dan Geografis Kecamatan Sitiotio

  sebagai berikut: Tabel-1. Letak Astronomis dan Geografis Kecamatan Sitiotio

  16

16 Letak astronomis adalah adalah letak suatu tempat dilihat dari posisinya di garis lintang

  Tabel-2 Luas Wilayah Desa Sabulan per Dusun No. Dusun Jumlah kampung Luas wilayah Persentase (%)

  (huta) (Km²) Luas 1.

  I 10 3,8 31, 54 2.

  II 10 4,10 34, 02 3.

  III 17 4,15 34,44 Sumber: Rencana Pembangunan Jangka menengah Desa (RPJMDes) Desa Sabulan tahun 2008-2013.

2.1.4 Jumlah penduduk

  Kecamatan Sitiotio merupakan kecamatan dengan persentase penduduk terkecil dari total penduduk Kabupaten Samosir yakni hanya 5.95% penduduk Kabupaten Samosir berdomisili di Kecamatan Sitiotio, hal ini disebabkan karena Kecamatan Sitiotio merupakan kecamatan terjauh di Kabupaten Samosir dan akses untuk menjangkau setiap wilayah desa di Kecamatan Sitiotio sangat terbatas karena hampir seluruh wilayah berbatasan langsung dengan Danau Toba. Berdasarkan desa di Kecamatan Sitiotio, Desa Sabulan merupakan desa dengan persentase penduduk terbanyak dari total penduduk Kecamatan Sitiotio yakni 16.09%. Hal ini dikarenakan Desa Sabulan merupakan ibukota Kecamatan sekaligus merupakan desa yang paling mudah diakses dari ibukota kabupaten.

  Desa Sabulan sebagai Ibukota Kecamatan Sitiotio didiami sekitar 16.09% dari total penduduk Kecamatan Sitiotio dengan kepadatan penduduk yaitu mencapai 135.45 jiwa/km². Yang berarti setiap 1 km² wilayah Desa Sabulan didiami oleh sekitar 135 jiwa penduduk. Sedangkan Desa Janji Maria merupakan desa dengan distribusi persentase terkecil dari total penduduk Kecamatan Sitiotio. Hanya 8.97% penduduk Kecamatan Sitiotio tinggal di wilayah Desa Janji Maria, hal ini disebabkan karena Desa Janji Maria merupakan desa yang paling jauh dari ibukota Kecamatan Sitiotio yakni sekitar 17 km dari ibukota Kecamatan Sitiotio.

  Tingkat kepadatan penduduk selama periode tahun 2010-2011 meningkat dari yang sebelumnya 140 jiwa/km² menjadi 142 jiwa/km². Artinya bahwa setiap km² wilayah daratan Kecamatan Sitiotio ditempati oleh penduduk rata-rata sekitar 142 orang. Penduduk Kecamatan Sitiotio hingga tahun 2011 diperkirakan mencapai 7.191 jiwa dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga per rumah tangga sebesar 4 jiwa/ rumah tangga.

  Tabel-3 Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, dan Anggota Rumah Tangga menurut Desa di Kecamatan Sitiotio

  No. Desa Penduduk Kepadatan RT Rata-rata ART (jiwa) (Jiwa/km) / RTnya.

  1. Tamba Dolok 908 134,72 236 3, 85

  2. Cinta Maju 1010 148, 08 251 4, 03

  3. Buntu Mauli 669 121, 58 180 3, 72

4. Sabulan 1157 135, 45 297 3, 89

  5. Holbung 891 150, 98 226 3, 94

  6. Janji Raja 1043 165, 29 250 4, 18

  7. Janji Maria 645 108, 40 145 4, 44

  8. Parsaoran 868 173, 61 191 4, 54

  Jumlah 7191 113.811 1776 4, 05

  • Keterangan: RT = Rumah tangga . ART = Anggota rumah Tangga Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011

  Dari keseluruhan penduduk Kecamatan Sitiotio berdasarkan status kependudukannya adalah bervariasi. Menurut Vergouwen (1986:136-137) penghuni kampung (isi ni huta) terdiri atas si pendiri kampung (sipungka huta) dan anggota marga penumpang (parripe). Lebih lanjut Vergouwen menjelaskan bahwa parripe tidak banyak ikut campur dalam urusan kampung tersebut. Karena mereka belum lama berada di kampung tersebut. Mereka hanya orang yang bergantung kepada tempat isterinya berasal. Namun seiring bergantinya satu generasi, maka marga parripe tadi dapat berubah menjadi marga boru.

  Khusus Desa Sabulan sebagai tempat penelitian penulis, hasil wawancara dengan Rammes Situmorang yang merupakan salah satu aparat Desa Sabulan mengatakan bahwa saat ini marga-marga yang menjadi penduduk di desa tersebut adalah Marga Situmorang, Pandiangan dan Sinaga sebagai marga asal/ si pendiri kampung (sipungka huta), dan marga yang paling banyak adalah Situmorang. Hal ini dikarenakan pernah suatu ketika terjadilah banjir yang sangat besar melanda Desa Sabulan. Banjir tersebut menyebabkan Desa Sabulan hancur luluh lantah beserta isinya sehingga penduduknya bermigrasi keluar Desa Sabulan.

  Penduduknya kala itu adalah marga keturunan Raja Lontung yaitu Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar dan marga Situmorang.

  Selang beberapa lama setelah banjir tersebut berlalu, Situmorang kembali lagi ke Desa Sabulan dan berketurunan disitu. Hal ini didukung dengan tulisan W. M Hutagalung (1991:64) yang mengatakan bahwa:

  “Ianggo Situmorang, mulak do jolo tu luat Sabulan jala marpinompari disi”

  Artinya: Bahwa marga Situmorang kembali ke Sabulan dan berketurunan disitu. Marga lainnya membentuk pemukiman baru diluar Sabulan. Namun marga

  Situmorang kembali ke Desa Sabulan, sehingga beberapa marga lain yang sudah sempat bermukim ditempat lain ikut kembali pulang ke Desa Sabulan. Yaitu marga Pandiangan dan Sinaga. Sedangkan yang merupakan marga pendatang

  

(parripe) adalah: Nainggolan, Siregar, Sihombing, Tamba, Manalu, Sitinjak,

Sihite dan Ambarita.

2.1.5 Sistem religi

  Masyarakat Batak Toba, baik secara pribadi maupun berkelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia. Dalam menghormati kuasa tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan kesanggupan memahami makna kuasa tersebut. Motif setiap penghormatan ditujukan untuk mendapat perlindungan agar terhindar dari bahaya, baik bahaya alam, penyakit maupun serangan binatang buas. Demikian pula untuk maksud mendapat restu, baik dalam perkawinan maupun usaha mencari rezeki dilaksanakan melalui pemujaan. Dalam setiap pelaksanaannya, Injil dan adat berjalan berdampingan.

  Pada mulanya Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh dengan adat kebudayaan serta berhadapan dengan adat kebudayaan suatu masyarakat atau suku-suku. Dalam pertemuan Injil dan adat tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsur adat kebudayaan, yang terdiri dari: sistem Religius dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi masyarakat, sistem bahasa, sistem kesenian, dsb.

  Adat merupakan hal yang sangat penting dalam suatu masyarakat, apalagi di dalam masyarakat Batak. Sebelum Kekristenan memasuki tanah Batak, adatlah yang menjadi hukum sekaligus aturan paling tinggi diakui. Adat batak adalah aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan masyarakat Batak yang tumbuh dari usaha orang di dalam masyarakat tersebut, sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya. Jadi di dalamnya termuat pula peraturan-peraturan hukum yang melingkupi dan mengatur hidup

  17 bersama daripada masyarakat Batak.

  Hanya saja tata-tata adat masyarakat Batak sebelum masuknya Kristen, mengandung sisi lain yang berhubungan erat dengan bidang lain dari tradisi, khususnya yang mitis-agamawi dan yang berkaitan dengan pemujaan nenek moyang. Hal ini sependapat dengan Lothar Schreiner dalam bukunya yang mendasar Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Lothar

18 Schreiner berpendapat, adat sebagai tata tertib yang diciptakan oleh nenek

  moyang dan mempunyai dasar agamawi, yakni pemujaan-pemujaan yang biasa dilakukan oleh nenek moyang (dalam agama suku).

  Melalui perjumpaannya dengan Injil, harus dapat membebaskan adat tersebut dari sifat agamawinya yang berkaitan dengan pemujaan-pemujaan nenek moyang, misalnya, penyembahan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Apabila demikian, adat dapat diterima dan tidak bertentangan dengan Injil. Dengan demikian adat dapat dipraktekkan oleh orang-orang Kristen sebagai tata tertib sosial yang bebas dari dasar agamawinya. Adat itu tidak dapat memperbaharui hati.

  Dengan bertitik tolak pada pandangan dan pernyataaan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa adat yang memiliki dan membuahkan nilai-nilai positif 17 18 R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Vorkink-Van Hoeve, Bandung:hlm. 6.

  Lothar Schreiner, Adat dan Injil:Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK-GM, Jakarta 2003:hlm. 226 dalam tata kehidupan masyarakat Batak dapat atau bahkan perlu tetap dipertahankan. Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam mempertahankan itu adalah bahwa adat itu harus dilepaskan dari sifat agamawinya. Supaya hubungan antara Injil dan dan adat dapat berjalan berdampingan

  Pada masa kini, umumnya masyarakat Batak Toba menganut agama Kristen Protestan dan Katolik. Penyebaran agama Kristen, awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824. Kedua pendeta ini mencoba memperkenalkan Injil di kawasan Silindung (sekitar Tarutung sekarang). Kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba. Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat, mengirimkan dua orang pendeta, yaitu Munson dan Lymann. Kedua misionaris ini dibunuh oleh penduduk di bawah pimpinan Raja Panggalamei, di Lobupining, sekitar Tarutung, pada bulan Juli 1834. Tahun 1849, Kongsi Bibel Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N. van der Tuuk untuk menyelidiki budaya Batak. Ia menyusun Kamus Batak-Belanda, dan menyalin sebagian isi Alkitab ke bahasa Batak. Tujuan utama Kongsi Bibel Nederland ini adalah merintis penginjilan ke Tanah Batak melalui budaya. Tahun 1859, Jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen mengirim pendeta muda G. Van Asselt ke Tapanuli Selatan. Ia tinggal di Sipirok sambil bekerja di perkebunan Belanda. Kemudian disusul oleh para pendeta dari

  Rheinische Mission Gesellschaft (RMG), pada masa sekarang menjadi Verenigte Evangelische Mission (VEM), dipimpin Dr. Fabri. Penginjilan sampai saat ini

  berjalan lambat. Kemudian tahun 1862 datanglah pendeta RMG, yang kemudian diterima oleh masyarakat Batak Toba, yaitu Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Di bawah pimpinannya misi penginjilan terjadi dengan pesat. Sampai dekade-dekade awal abad kedua puluh, sebagian besar etnik Batak Toba telah menganut agama

19 Kristen Protestan.

  Begitulah proses penyebaran agama Kristen di Tanah Batak yang awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824 yang mencoba memperkenalkan Injil di kawasan Silindung (sekitar Tarutung sekarang) hingga tersebar ke berbagai daerah sekitarnya termasuk di wilayah Kecamatan Sitiotio dimana merupakan tempat lahir dan besarnya Si Raja Lontung adalah sebagai berikut. Menurut Buku Statistik Kecamatan Sitiotio 2011, sebagian besar penduduk di Kecamatan Sitiotio menganut agama Kristen Protestan yaitu 63,23% dari total penduduk Kecamatan Sitiotio. Sedangkan sisanya menganut agama Katolik.

2.1.6 Tingkat pendidikan

  Tingkat pendidikan di Desa Sabulan masih tergolong sangat minim dan memprihatinkan. Karena masih didapati adanya penduduk yang putus sekolah, masih buta huruf dan melek huruf. Hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan tabel sebagai berikut.

19 Buku Masyarakat Kesenian Indonesia oleh Muhammad Takari dkk Tahun 2008 hlm.

  112-113.

  Tabel-4 Indikator Pendidikan Tahun di Desa Sabulan 2011 (%) Indikator Pendidikan Jumlah

  Laki-laki Perempuan Total

1. Partisipasi Pendidikan

  a. Penduduk 10 tahun ke atas Menurut Status pendidikan

  1) Tidak/ belum pernah Sekolah

  76 60 136 2) Masih Sekolah

  a. SD

  68 70 138

  b. SMTP

  80 75 155

  c. SMTA

  75 76 151

  d. Diploma/ Sarjana

  70 60 130 3) Tidak Sekolah lagi

  35

  40

  75

  b. Penduduk 10 tahun ke atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

  1) Tidak/ Belum pernah

  30

  30

  60 Sekolah 2) Tidak/ Belum Tamat SD

  28

  20

  48

  a. SD

  20

  15

  35

  b. SMTP

  15

  20

  35

  c. SMTA

  25

  18

  43

  d. Diploma/ Sarjana

  35

  19

  54

  2. Angka Buta Huruf 2011

  4

  5

  9

  3. Angka Melek Huruf 2011

  6

  3

  9 Sumber: Pendataan KPMD/ Tim Perumus RPJM-Desa.

2.1.7 Curah hujan

  Kecamatan Sitiotio diguyur hujan sebanyak 144 hari selama tahun 2011 Berikut adalah tabel banyaknya curah hujan dan hari hujan di Kecamatan Sitiotio menurut bulan. Tabel-5 Banyaknya Curah Hujan (Ch) dan Hari Hujan (Hh) di Kecamatan Sitiotio menurut bulan No. Nama Bulan Curah Hujan (Ch) Hari Hujan (Hh)

  1. Januari 179 mm

  8. Agustus 203 mm

  Selama periode tahun 2008-2011, jumlah perusahaan/ usaha berdasarkan surat izin usaha perdagangan (SIUP) yang diterbitkan di Kecamatan Sitiotio menunjukkan perubahan yang signifikan dan sebagian besar peningkatan tersebut dikarenakan peningkatan jumlah perusahaan/ usaha kecil. Berikut ini adalah tabel Jumlah perusahaan/ usaha di Kecamatan Sitiotio tahun 2011.

  15 Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011

  12. Desember 192 mm

  17

  11. November 241 mm

  20

  10. Oktober 167 mm

  11

  9. September 114 mm

  15

  2

  12

  7. July 5 mm

  6

  6. Juni 73 mm

  9

  5. Mei 113 mm

  13

  4. April 205 mm

  15

  3. Maret 240 mm

  9

  2. Februari 211 mm

2.1.8 Jumlah perusahaan

  Tabel-6 Jumlah perusahaan/ usaha di Kecamatan Sitiotio Uraian Tahun 2008 2009 2010 2011

  • Menurut golongan

  1

  1 perusahaan/ usaha besar Perusahaan/ Usaha

  1

  3

  4

  4 Menengah

  • Perusahaan/ Usaha Kecil

  12

  8

  8

  3

  3 Koperasi 2 - Perorangan -

  1 1 - Badan Usaha Lainnya - - 1 -

  Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011

2.1.9 Hasil-hasil bumi Masyarakat di tanah Batak umumnya hidup dari hasil pertanian.

  Kesuburan tanah dan faktor alam mendukung usaha pertanian di daerah itu khususnya di Kecamatan Sitiotio. Hasil-hasil Bumi di Kecamatan Sitiotio terdiri atas produksi tanaman pangan yaitu: padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar. Dan produktivitas sektor pertaniannya yaitu: kelapa, kopi, coklat, dan kemiri.

  Tabel-7 Statistik Tanaman Pangan Kecamatan Sitiotio Jenis tanaman Tahun 2010 2011

  Padi Luas Panen (ha) 532 837 Produksi (ton) 3032 4784

  Jagung Luas Panen (ha) 28 224 Produksi (ton) 121 941

  Kacang Luas Panen (ha)

  24

  2 Tanah Produksi (ton)

  27

  2 Ubi Kayu Luas Panen (ha)

  31

  9 Produksi (ton) 465 135 Ubi Jalar Luas Panen (ha)

  10

  10 Produksi (ton) 140 140 Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011

  Tabel-8 Produktivitas Sektor Pertanian di Kecamatan Sitiotio Jenis Tanaman Luas lahan (Ha) Produksi (ton)

  Kelapa 1, 52 4, 22 Kopi 215, 55 24, 34

  Cokelat 18, 7 36, 25 Kemiri 13, 00 171, 80

  Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011

2.10 Keadaan Alam

  Topografi wilayah Kecamatan Sitiotio adalah daerah pegunungan dan perbukitan yang terjal dengan dikelilingi sebagian Danau Toba. Ketinggiannya berada di antara 904 - 2.157 meter di atas permukaan laut. Struktur tanahnya labil dan berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik.

  Tabel-9 Kondisi Topografi Kecamatan Sitiotio No. Kemiringan Persentase

  1. Datar ± 5%

  2. Landai ± 7 %

  3. Miring ± 20%

  4. Terjal ± 68% Sumber: Kantor camat Desa Sabulan 2015.

2.11 Sarana Kesehatan Umum

  Kecamatan Sitiotio masih minim akan sarana kesehatan umum. Berikut adalah tabel banyaknya sarana kesehatan umum menurut jenis dan desa yang ada di Kecamatan Sitiotio pada tahun 2011.

  Tabel-10 Banyaknya sarana kesehatan umum menurut jenis dan desa di Kecamatan Sitiotio

  No. Desa Puskesmas Puskesmas Polindes Posyandu Pembantu

  1. Tamba Dolok - 1 -

  1

  2. Cinta Maju

  • 1

  1

  2

  3. Buntu Mauli - -

  1

  1

4. Sabulan

  1 1 -

  2

  5. Holbung

  1 - 1 -

  • 6. Janji Raja

  1 3 -

  • 7. Janji Maria -

  1

  1 8. 1 - Parsaoran

  1 -

  Jumlah

  1

  4

  5

  12 Sumber: Statistik Kecamatan Sitiotio 2011

2.12 Seni

2.12.1 Seni sastra

  Sebelum sastra tertulis ditemukan di tanah Batak, cerita-cerita yang cukup tinggi nilainya untuk diteladani telah dikenal seperti: cerita tentang binatang, cerita untuk pelipur lara, cerita tentang kebodohan seseorang (si bisuk na oto) dalam masyarakat, dan cerita mitos lainnya.

  Cerita kepercayaan orang Batak Toba tentang dewa-dewa dilukiskan dalam mitos, sesuai dengan alam pikiran orang-orang primitif seperti cerita tentang terjadinya bumi dan segala isinya. Adapun jenis sastra Batak Toba, seperti:

  1. Tonggo-tonggo yaitu semacam doa yang diucapkan oleh datu atau iman agama Batak.

  2. Andung-andung yaitu sejenis sastra berupa curahan perasaan sewaktu meratapi jenazah orang yang dikasihi. Biasanya menggunakan ungkapan- ungkapan tertentu yang tidak lazim dalam kehidupan sehari-hari (bahasa halus).

  3. Huling-hulingan atau hutinsa disebut juga teka-teki. Kalau teka-teki itu memerlukan jawaban berupa cerita dinamakan torhan-torhanan.

  4. Turi-turian yaitu semacam sastra yang mengandung arti historis atau mitologis, seperti cerita dongeng tentang binatang, cerita-cerita leluhur yang sering dikisahkan berupa mitos, seperti mitos terjadinya manusia Batak, Danau Toba, dan lain-lain.

  5. Umpama yaitu suatu bentuk penyajian sastra yang bermakna sebagai teladan kebijaksanaan, hukum-hukum lisan, dialog-dialog resmi dalam upacara adat.

  6. Umpasa yaitu suatu bentuk penyajian sastra yang dari bentuknya agak sulit dibedakan dengan umpama, tetapi dari isinya, umpasa lebih berkesan religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan sebagainya.

  7. Tudoson yaitu suatu bentuk penyajian sastra yang berupa perbandingan.Berbagai pemisahan dalam alam dijadikan suatu bandingan terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati atau keadaan

  20 sesuatu.

  Berdasarkan jenis sastra Batak Toba diatas maka sejarah tentang Si Raja Lontung tergolong ke dalam jenis Turi-turian, karena mengandung arti historis atau mitologis, yaitu berupa cerita dongeng tentang binatang, dan cerita-cerita leluhur yang sering dikisahkan dalam bentuk berupa mitos.

2.12.2 Seni musik

  Seni musik pada masyarakat Batak Toba dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu musik vokal dan musik instrumen.

2.12.2.1 Musik vokal

  Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat Batak Toba disebut dengan ende. Dalam musik vokal tradisional, pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat berdasarkan liriknya. Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu :

  1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara- acara namarhadodoan (resmi)

  2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak Toba dalam kegiatan sehari-hari.

  3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita. 20 Lihat Skripsi Sarjana Tiolina Sinambela Tarombo dalam Gaya Nyanyian Pada Kebudayaan Etnis Batak Toba:Suatu Kajian Musikologis dan Tekstual. Hlm. 42-43.

  Berdasarkan klasifikasi jenis ende diatas, maka ende tarombo Si Raja Lontung bukanlah merupakan salah satu jenis ende dalam Batak Toba.

  Ende Tarombo merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk mengkaji tarombo yang disampaikan dengan bentuk gaya nyanyian. Masyarakat

  Batak Toba biasanya menyebutnya dengan ende tarombo karena sering mendengar sehingga mereka menggunakan istilah tersebut.

2.12.2.2 Musik instrumental

  Musik instrumental masyarakat Batak Toba terbagi atas dua bagian berdasarkan bentuk penyajiannya, yakni ada yang lazim digunakan dalam bentuk ensambel, dan ada yang disajikan dalam bentuk permainan tunggal baik dalam kaitannya dengan upacara adat, religi/kepercayaan, maupun sebagai hiburan.

  Secara umum, pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ensambel musik tradisional, yakni : gondang hasapi dan gondang sabangunan.

  Yang merupakan instrumen pada Ensambel gondang hasapi terdiri dari :

  1. Hasapi ende (plucked lute) yaitu sejenis sebuah lute berleher pendek yang dimainkan dengan cara dipetik dan memiliki dua buah senar. Instrumen ini sebagai pembawa melodi dan dianggap sebagai instrumen utama dalam ensambel gondang hasapi.

  2. Hasapi doal (plucked lute) yaitu instrumen ini bentuknya sama saja dengan

  hasapi ende, bedanya terletak pada peranan musikalnya yakni hasapi doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan.

  3. Sarune etek (shawn) yaitu alat tiup berlidah tunggal (single reed).

  Fungsinya sebagai pembawa melodi. Instrumen ini masuk dalam klasifikasi

  aerophone yang memiliki lima lubang nada (empat di atas dan satu di

  bawah), Cara memainkan instrumen ini adalah dengan cara mangombus

  marsiulak hosa (meniup secara sirkular tanpa berhenti) atau disebut juga dengan circular breathing.

  4. Garantung (xylophone), yaitu alat musik pembawa melodi dan bisa juga sebagai pembawa ritem pada lagu-lagu tertentu. Bentuknya berupa bilahan kayu dan umumnya memiliki lima buah bilah. Cara memainkannya adalah dengan cara dipukul menggunakan tongkat atau stik.

5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi yang terbuat dari plat besi atau botol kaca yang berperan sebagai pembawa tempo atau ketukan dasar.

  Gondang hasapi dianggap sebagai bentuk ensambel musik yang kecil.

  Penggunaannya terbatas pada ruang yang lebih kecil dan tertutup, dimainkan oleh lima orang walaupun jumlah pemusik ini dapat juga bervariasi. Jika mengacu pada praktek pertunjukan gondang hasapi di komunitas parmalim

  21 , sarune etek

  kadangkala bisa terdiri dari dua alat yang masing-masing dimainkan oleh satu orang pemain. Begitu juga dengan jumlah orang yang memainkan hasapi ende atau pun hasapi doal. Dengan kata lain, jumlah pemusik keseluruhan dalam

  gondang hasapi yang terdapat pada kelompok parmalim bisa mencapai enam hingga delapan orang.

  22

  21 Sebuah aliran kepercayaan tradisional atau perpaduan antara agama Islam dan Kristen pada masyarakat Batak Toba yang berkembang di Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara. 22 Dikutip dari Buku yang berjudul “Gondang Batak Toba” oleh Ritha Ony dan Irwansyah Harahap.

  Sedangkan ensambel gondang sabangunan mempunyai beberapa istilah yang sering digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangunan atau gondang bolon. Komposisi alatnya terdiri dari : 1.

  Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double

  

reed ) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara

mangombus marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok

aerophone .

  2. Taganing (single headed drum), yaitu seperangkat gendang bernada bermuka satu yang tersusun atas lima buah gendang, yang berfungsi sebagai pembawa melodi dan juga pembawa ritem variabel untuk lagu atau repertoar tertentu. Kelima gendang tersebut dibedakan sesuai dengan namanya masing-masing, yakni odap-odap, paiduani odap, painonga, paiduani ting-ting, dan ting-ting.

  Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok membranophone.

  3. Gordang bolon (single headed drum), yakni sebuah gendang-bas bermuka satu yang ukurannya lebih besar dari taganing, yang berperan sebagai pembawa ritem konstan dan ritem variabel. Insrumen juga sering disebut sebagai bass dari ensambel gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kepada kelompok membranophone.

  4. Ogung (gong), yaitu seperangkat gong yang terdiri dari empat buah dengan ukuran yang berbeda-beda. Keempat buah gong tersebut diberi nama oloan,

  

ihutan , doal, dan panggora. Masing-masing ogung sudah memiliki ritem

tertentu dan dimainkan terus menerus secara konstan/tidak berubah-ubah.

  Instrumen ini tergolong kepada kelompok idiophone.

  5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi berupa plat besi, botol, atau benda lainnya yang dapat menghasilkan bunyi tajam untuk dijadikan sebagai pembawa tempo. Instrumen ini tergolong kepada idiophone.

6. Odap (double headed drum), yakni sejenis gendang kecil bermuka dua (dua sisi selaput gendang) yang berperan sebagai pembawa ritem variabel.

  Instrumen ini biasanya hanya dimainkan pada lagu atau repertoar tertentu. Instrumen ini tergolong kepada kelompok membranophone. sabangunan pada zaman dahulu digunakan untuk setiap upacara

  Gondang

  yang berhubungan dengan adat ataupun religius. Gondang sabangunan berperan sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya (secara

  23 vertikal) dan menghubungkan manusia dengan sesama (secara horizontal) .

2.13 Sistem Kemasyarakatan

  Ciri khas masyarakat Batak Toba adalah selalu mengikutsertakan marga nya dibelakang nama diri. Dalam kaitan ini maksudnya marga adalah nama garis keturunan yang diambil dari Bapak atau bersifat patrilineal. Orang-orang yang mempunyai satu marga dianggap keturunan satu kakek. Berkaitan dengan hal tersebut Napitupulu (1964:8) juga menulis bahwa turunan dari sesuatu leluhur menurut garis Bapak, selagi masih kompak dan berdiam diri di suatu tempat akan membentuk suatu ikatan bernama marga. Mereka saling mengenal satu sama lain dan erat bergaul, yang satu memperlakukan yang lain sebagai saudara kandung.

  Peranan marga pada masyarakat Batak Toba sangat penting. Sedemikian pentingnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari terutama pada saat perkenalan 23 Lihat, Martogi Sitohang, 1998 hal 23. terlebih dahulu menyebutkan marga. Dewasa ini tidak ada orang Batak Toba tanpa marga. Melalui marga orang-orang Batak Toba dapat mengadakan

  partuturan (mencari hubungan kekerabatan) yang merupakan salah satu aspek

  mendasar dalam dalihan na tolu. Secara etimologis dalihan na tolu selalu diterjemahkan sebagai tungku nan tiga, yaitu sebuah ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba. Secara harfiah

  Dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri dari tiga buah batu, yang digunakan

  untuk memasak. Konsep tersebut diterapkan pada sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) dongan sabutuha (teman semarga); (2) hula-hula (keluarga dari pihak istri); (3) boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki).

  Menurut Sihombing (1986:103-106) pedoman bersikap dalam ketiga kelompok kekerabatan itu tergambar dalam konsep yang berupa nasehat seperti berikut:

  1. Molo naeng ho sangap, manat mardongan tubu, artinya jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan

  dongan sabutuha (teman semarga). Dongan sabutuha dipandang oleh

  orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam pergaulan antar mereka sehari-hari tidak dihiraukan segi basa-basi, sehingga adik acapkali tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap pak tua dan pakciknya, hal mana acapkali menimbulkan perasaan kurang senang di pihak yang merasa dirugikan. Untuk itu perlu diperhatikan lagi bagaimana kedudukan dongan sabutuha dalam tarombo.

  2. Molo naeng ho gabe, somba ma ho marhula-hula, artinya jika ingin berketurunan banyak hormatilah hula-hula. Hula-hula dipandang oleh orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat berkuasa untuk mendoakan hagabeon dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah mendarah daging dalam diri orang Batak berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Itulah hal yang membuat penghormatan tinggi dan menonjol diberikan kepada Hula-hula.

  3. Molo naeng namora, elek ma ho marboru, artinya kalau ingin kaya, baik- baiklah kepada boru. Menurut Adat Batak boru itu dalam kekeluargaan berada dibawah kita sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu tetapi tidak boleh bersifat memerintah tetapi harus bersifat membujuk (Sihombing, 1986:103-106).

2.14 Marga

2.14.1 Asal muasal marga

  Menurut cerita tentang asal-usul orang Batak, nenek moyang mereka adalah Siboru Deak Parujar. Ia adalah seorang putri surga yang dijodohkan oleh Debata Mulajadi Nabolon kepada Raja Odap-odap yang juga dari surga. Melalui perkawinan mereka memiliki keturunan yaitu sepasang anak kembar yang diberi nama Raja Ihat Manisia dan Siboru Ihat Manisia. Kemudian mereka menikah

  (marsumbang, incest) dan memiliki tiga orang anak, yaitu Raja Miok-miok,

  Patundal na begu, dan Siaji lapas-lapas. Raja Miok-miok memiliki anak yang bernama Eng Banua. Kedua saudara Raja Miok-miok tidak diketahui kabarnya oleh orang Batak karena pergi mengembara ke sebuah tempat yang jauh. Eng

  Banua mempunyai tiga anak bernama Raja Aceh, Raja Bonang-bonang dan Raja Jau. Raja Bonang-bonang memiliki seorang anak yang bernama Raja Tantandebata, dari Tantan Debata lahirlah Si Raja Batak.

  Jadi Si Raja Batak adalah nama kolektif sebagaimana disebutkan oleh Sitor Situmorang: “Si Raja Batak: nama kolektif semua leluhur marga; adat yang mempribadi, pewaris kolektif tugas pengayoman adat dan kebudayaan dari Tuan Putri Deak Parujar, Bunda Utama, Si Raja Batak, dan tercantum di setiap silsilah sebagai manusia pertama.” (Situmorang, 2009:524).

  Bagan-1: Silsilah keturunan asal Si Raja Batak MULA JADI NA BOLON SI BORU DEAK PARUJAR

  DEWA ODAP-ODAP

  

INCEST

  SI RAJA IHAT MANISIA SI BORU IHAT MANISIA RAJA MIOKMIOK PATUNDAL NI BEGU AJILAMPASLAMPAS ENG BANUA RAJA ACEH RAJA BONANG-BONANG RAJA JAU

  RAJA TANTANDEBATA Sumber: W.M Hutagalung (1991:31)

  RAJA BATAK Asal-usul manusia Batak berawal dari garis Si Raja Batak. Kemudian menjadi tarombo atau silsilah. W. M Hutagalung (1991:32) menuliskan keturunan dari si Raja Batak yaitu sebagai berikut:

  Ianggo anak ni ompunta Raja Batak dua do, i ma: Guru Tatea Bulan na margoar huhut si Mangarata dohot Raja Isumbaon.

  Artinya: Anak dari leluhur kita Si Raja Batak ada dua yaitu Guru Tatea Bulan yang juga disebut Mangarata dan Raja Isumbaon.

  Bagan-2: Anak Si Raja Batak GURU TATEA BULAN SI RAJA BATAK RAJA ISUMBAON

  Kepada kedua anaknya tersebut, Si Raja Batak mewariskan kesaktian atau keahlian terhadap Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Dimana Guru Tatea Bulan terkenal dengan maha karyanya yang bernama Pustaha Agung yang menjadi pedoman adat Batak sampai sekarang. Kitab ini membahas cakupan antara lain; Ilmu hadatuon (perdukunan/ pengobatan), habeguon (kesaktian),

  

parmonsahan (Ilmu bela diri) dohot pangliluon (menghilang). Untuk Raja

  Isumbaon diberikan keahlian dalam hal adat Batak. Ajaran Raja Isumbaon terdapat dalam Kitab Pustaha Tumbaga Holing yaitu mencakup: Harajaon (pemerintahan), Paruhumon (hukum), Parumaon, Partigatigaon (berdagang) dan

  Paningaon (bercocok tanam). Hal ini sesuai dengan yang dituliskan oleh W.M

  Hutagalung (1991:33) yaitu:

  Ia dung songon i, ditongos Mulajadi nabolon ma dua balunbalun surat Batak. Di balunan parjolo, surat agong; i ma bagian ni Guru Tatea Bulan, jala tarsurat disi: hadatuon, habeguon, parmonsahan dohot pangliluon.

  Di balunan paduahon, surat tombaga holing i ma bagian ni Raja Isumbaon tarsurat do disi; harajaon, paruhumon, parumaon, partiga- tigaon dohot paningaon.

  Artinya: Setelah itu dikirimkan Tuhan Penciptalah dua buah gulungan surat Batak. Pada gulungan pertama surat agung adalah bagian Guru Tatea Bulan, tertulis disitu: Perdukunan/ Pengobatan, Kesaktian, Ilmu bela diri dan Ilmu menghilang. Pada gulungan kedua surat Tombaga Holing berisi tentang ilmu: Pemerintahan, hukum, bercocok tanam dan dagang. Dari keturunan merekalah asal muasal semua marga-marga Batak muncul dan menyebar ke seluruh penjuru. Setelah kedua putra Si Raja Batak tumbuh dewasa, mereka memiliki keturunannya masing-masing. Namun tidak diketahui siapakah isteri mereka. Hal tersebut dituliskan oleh W. M Hutagalung (1991:33) sebagai berikut:

  Ndang tangkas binoto manang ise do nioli ni Guru Tateabulan dohot Raja Isumbaon, alai adong do ianakonnasida be. Sian i ma dapot botoon, adong do niolinasida be.

  Artinya: Tidak diketahui secara jelas entah siapa yang dinikahi oleh Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon. Namun mereka memiliki keturunan. Dari situ dapat diketahui ternyata ada yang mereka nikahi masing-masing.

  Berikut ini adalah keturunan dari Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon.

  Bagan-3: Keturunan dari Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon.

  RAJA UTI/BIAKBIAK SARIBU RAJA GURU TATEA BULAN LIMBONG MULANA SAGALA RAJA MALAU RAJA SIBORU PAREME SI RAJA BATAK

  SIBORU ANTING SABUNGAN SI BORU BIDING LAUT NAN TINJO RAJA ISUMBAON TUAN SORIMANGARAJA RAJA ASIASI SANGKARSOMALINDANG Sumber: W.M Hutagalung (1991:34)

  Untuk lebih jelas tentang keturunan Guru Tatea Bulan, berikut adalah dokumentasi foto keturunan dari Guru Tatea Bulan. Diambil dari sopo atau rumah Guru Tatea Bulan yang terdapat di Dusun Arsam Kecamatan Sianjur Mula-mula Kabupaten Samosir. Di tempat sopo terdapat patung-patung Si Raja Batak beserta keturunannya. Selain patung keturunan Si Raja Batak juga terdapat patung-patung penjaga rumah seperti gajah, macan dan kuda. Bentuk Rumah ini pun didesain dengan ciri khas rumah Batak. Rumah-rumah ini telah diresmikan oleh Dewan Pengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tatea Bulan tahun 1995.

  Gambar-2: Sopo Guru Tatea Bulan Dokumentasi Blessta C. Hutagaol 2015. Berhubung karena bahasan Penulis adalah tentang sejarah dan asal-usul Si

Dokumen yang terkait

Studi Perbandingan Faktor-faktor (Leverage, Likuiditas, dan Profitabilitas) Pada Perusahaan yang Menerima Opini Audit Wajar Tanpa Pengecualian dan Perusahaan yang Menerima Opini Audit Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Bahasa Penjelas, Studi Empiris pada Per

0 0 12

c. Upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga dan masyarakat untuk dapat mengatasi masalahnya sendiri. 2. Apakah komponen-komponen dari PHBS? a. Kebiasaan mencuci tangan, pola makan, sikap anti-merok

0 1 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Konsep Perilaku - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Mahasiswi Akademi Kesehatan Pemerintah Kabupaten Langkat Tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tahun 2015

0 1 28

Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Mahasiswi Akademi Kesehatan Pemerintah Kabupaten Langkat Tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tahun 2015

0 0 13

BAB II PROFIL PT . PLN (PERSERO) A. SEJARAH RINGKAS Listrik Sebelum Kemerdekaan dan di Awal kemerdekaan sampai 1965 - Fungsi Anggaran Sebagai Alat Perencanaan dan Pengawasan Biaya Operasional Pada Yayasan Kesehatan Telkom Area I Sumatera

2 4 12

BAB II PROFIL INSTANSI 2.1 Sejarah Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara 2.1.1 Sejarah Berdirinya Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara - Efektivitas Penggunaan Fasilitas pada Biro Umum Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara

0 1 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nugget - Pemeriksaan Bakteri Salmonella Pada Makanan Padat (Nugget Ayam)

1 4 15

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KELURAHAN JATI MAKMUR KECAMATAN BINJAI UTARA KOTA BINJAI 2.1 Identifikasi Masyarakat Jawa - Studi Deskriptif Ketoprak Dor oleh Sanggar Langen Setio Budi Lestari pada Upacara Adat Perkawinan Jawa di Kelurahan Jati Ma

0 0 18

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 - Studi Deskriptif Ketoprak Dor oleh Sanggar Langen Setio Budi Lestari pada Upacara Adat Perkawinan Jawa di Kelurahan Jati Makmur Kecamatan Binjai Utara Kota Binjai

0 2 16

Studi Deskriptif Ketoprak Dor oleh Sanggar Langen Setio Budi Lestari pada Upacara Adat Perkawinan Jawa di Kelurahan Jati Makmur Kecamatan Binjai Utara Kota Binjai

0 0 14