BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Penggelembungan Dan Penciutan Makna Pada Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 2−3 Tahun: Analisis Psikolinguistik

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

  Konsep dipandang sebagai definisi operasional untuk menegaskan pengertian sesuai dengan pijakan teori yang dianut dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini konsep dasar yang dijadikan acuan, yakni

2.1.1 Pengertian Pemerolehan Bahasa

  Pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara alami pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language) dalam (Dardjowidjojo, 2005: 225).

  Ada dua proses yang terjadi ketika seorang anak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performasi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara alami dan proses performansi adalah proses pemahaman dan proses menghasilkan kalimat-kalimat (Chaer, 2003: 167).

  Pemerolehan bahasa biasanya dibagi menjadi empat bagian, yaitu pemerolehan sintaksis, pemerolehan semantik, pemerolehan fonologi, dan pemerolehan pragmatik, yaitu cara anak memeroleh kelayakan dalam berujar. Keempat komponen ini diperoleh anak secara serentak (Dardjowidjojo, 2005: 244).

  2.1.2 Penggelembungan Makna

  Penggelembungan makna merupakan konsep penggunaan sebuah butir leksikal oleh anak untuk mengacu kepada sebuah rentangan makna yang lebih luas daripada rentangan yang digunakan orang dewasa dalam (Dardjowidjojo, 2000: 245).

  Penggelembungan makna terjadi disebabkan kemampuan anak belum sempurna dalam menangkap fitur-fitur semantis yang melekat. Penggelembungan makna terjadi apabila karena entitas, perbuatan, peristiwa, atau keadaan yang diterima melalui masukan yang sudah ada pada anak, tetapi ternyata tidak tepat (Clark, 1973 dalam Dardjowidjojo, 2000: 248). Anak sulit untuk membedakan dua objek yang sama sehingga menggelembungkannya.

  Penggelembungan terjadi ketika anak menyebutkan kata burung menjadi ayam, bebek menjadi angksa, pulpen menjadi pensil, nyamuk menjadi semut, bola menjadi balon.

  2.1.3 Penciutan Makna

  Penciutan makna merupakan konsep yang digunakan untuk membatasi makna hanya pada referen yang telah dirujuk dan dikonsep dalam pikiran anak sebelumnya. Konsep pertama yang diperkenalkan pada anak adalah konsep yang selalu melekat dalam pemikiran anak dalam Dardjowijojo (2000: 245). Penciutan makna terjadi apabila anak hanya menangkap satu fitur semantik yang selalu melekat pada pikirannya dan sulit membedakan fitur-fitur semantik yang telah diketahuinya.

  Penggelembungan terjadi ketika anak menyebutkan buah apel menjadi tomat, komput er menjadi televisi, kamera menjadi potret, semua warna disebutkan dengan pink.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Psikolinguistik

  Psikolinguistik adalah satu cabang linguistik yang bekerjasama dengan ilmu lain, yaitu ilmu psikologi dalam menganalisis bahasa dan berbahasa (bertutur) dengan cara mengkaji proses-proses yang berlaku pada waktu seorang bertutur dan memahami kalimat-kalimat yang didengar. Psikolinguistik mempelajari cara seorang anak memeroleh bahasa ibunya dan hubungan di antara bahasa yang diperoleh itu dengan proses berpikir (Simanjuntak, 2009: 8). Menurut Dardjowidjojo (2003:7) psikolinguistik adalah ilmu yang memelajari proses- proses mental yang dilalui oleh manusia dalam berbahasa.

  Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah gabungan antara ilmu linguistik dan psikologi yang membahas tentang proses berbahasa yang berkaitan dengan proses berpikir.

  Pada pemerolehan bahasa, anak perempuan lebih aktif dalam menghasilkan tuturan daripada anak laki-laki. Otak anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki. Otak anak perempuan lebih kaya akan neuron dibandingkan dengan otak anak laki-laki. Hal ini menyebabkan anak perempuan lebih banyak menghasilkan kosakata dan lebih interaktif dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Menurut Steinberg (2001: 319) dalam Dardjowidjojo

  (2005: 221) mengatakan bahwa perbedaan dalam pemerosesan bahasa antara pria dan wanita dapat juga terjadi karena pengaruh budaya.

  2.2.2 Psikolinguistik Behaviorisme

  Seorang penganjur pandangan Behaviorisme dalam pemerolehan bahasa yang terkemuka adalah ahli psikologi B.F. Skinner (1957). Behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguistik hanya terdiri dari rantaian hubungan- hubungan dan hubungan ini dibentuk dengan cara-cara pembelajaran Stimulus-

  Respon (S-R) dalam (Simanjuntak, 2009: 112).

  Teori Behaviorisme melihat aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dari hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respon).

  Perilaku bahasa yang efektif adalah memuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan (Novelia, 2010: 5). Contohnya, seorang anak mengucapkan duduk yang menyatakan sebuah kursi, maka orang dewasa yang mendengarnya akan mengajari anak tersebut mengucapkan kursi dengan benar.

  2.2.3 Pemerolehan Bahasa

  Pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yakni, proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language) dalam (Dardjowidjojo, 2005: 225). Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses-proses yang berlaku di pusat bahasa dalam otak seorang anak (bayi) pada waktu dia sedang memeroleh bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa terjadi secara alamiah tanpa disadari yang melibatkan bahasa pertama (bahasa ibu) dalam (Simanjuntak, 2009: 104-105).

  Pemerolehan bahasa biasanya dibagi menjadi empat bagian, yaitu bagian pemerolehan sintaksis, semantik, fonologi, dan pragmatik. Setiap bagian pemerolehan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena diperoleh secara bersamaan (Dardjowidjojo, 2005: 244).

2.2.4 Pemerolehan Semantik

  Pemerolehan semantik menegaskan bahwa arti dapat diterangkan berdasarkan pada fitur-fitur (penanda-penanda) semantik. Arti suatu kata merupakan gabungan dari fitur-fitur semantik. Menurut Dardjowidjojo (2000: 262) mengatakan bahwa anak meguasai makna kata secara sembarangan.

  (Golinkoff dkk, 1994 dalam Dardjowidjojo, 2000: 247) mengatakan bahwa anak memiliki strategi referensi dengan menganggap bahwa kata pastilah merujuk pada benda, perbuatan, proses, atau atribut. Dengan strategi ini, anak yang baru mendengar suatu kata baru akan menempelkan makna kata itu pada salah satu dari referensi.

  Pemerolehan semantik memerlukan pemahaman yang sempurna mengenai makna sebuah bahasa. Dalam hal menentukan suatu makna, anak mengutip prinsip-prinsip universal, salah satu diantaranya adalah yang dinamakan

  overextension yang telah diterjemahkan sebagai penggelembungan makna dan underextension yang diterjemahkan sebagai penciutan makna (Dardjowidjojo,

  2003: 260).

  Penggelembungan makna terjadi saat anak diperkenalkan dengan suatu konsep baru dan anak cenderung mengambil salah satu fitur dari konsep tersebut lalu menerapkannya pada konsep lain yang memiliki konsep tersebut. Contohnya adalah konsep bulan, pada waktu anak diperkenalkan pada kata bulan, dia mengambil fitur bentuk fisiknya, yakni bulan itu bundar. Fitur itu kemudian diterapkan pada segala macam benda yang bundar. Disamping bentuk ukuran juga bisa menjadi fitur yang diambil anak (Dardjowidjojo, 2003: 262).

  Penciutan makna terjadi pada saat anak membatasi makna hanya pada referen yang telah dirujuk sebelumnya. Contohnya adalah konsep bebek yang diperkenalkan pada waktu anak melihat bebek di kolam, maka gambar bebek yang ada di buku beberapa hari kemudian bukanlah bebek. Bebek yang dipahami anak adalah bebek yang berada di kolam atau air, sedangkan yang berada di lokasi yang berbeda seperti rumput bukanlah bebek tapi burung (Dardjowidjojo, 2003: 263).

2.2.5 Komponen Makna

  Komponen makna menganalisis setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Analisis ini mengandaikan setiap unsur leksikal memiliki atau tidak memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur lain (Pateda, 2008:273).

  Pikiran pokok yang mendasari analisis ini adalah pengidentifikasian komponen makna butir-butir leksikal di dalam sebuah medan dengan oposisi atau kontras fungsional. Di dalam analisis ini diasumsikan bahwa butir-butir leksikal di dalam leksikon setiap bahasa dapat dianalisis sedemikian rupa sehingga menghasilkan seperangkat komponen makna primer terbatas yang bersifat universal. Maksudnya komponen primer terbatas itu dapat dipergunakan untuk mendeskripsikan butir-butir leksikal di dalam leksikon semua bahasa (Wedhawati, 2002: 40).

  (Eve Clark, 1973 dalam Dardjowijojo, 2000:247) menjelaskan bahwa tiap kata memiliki seberkas fitur semantik. Untuk kata kambing misalnya, memiliki fitur semantik [+objek], [+hewan], [+berkaki empat], [+berbulu], [+bertanduk], [+berekor] dan beberapa fitur yang lain. Dalam awal pemerolehan makna, anak hanya dapat memungut sebagian dari seluruh fitur semantik tersebut. Andaikan fitur yang diambil hanyalah [+objek], [+hewan], dan [+berkaki empat] maka kambing akan tergelembungkan menjadi lembu, dan kuda. Berdasarkan masukan- masukan berikutnya anak merevisi konsep semula sampai akhirnya datang pada makna yang sama dengan makna orang dewasa.

  (Lyson, 1977:323-335 dalam Pateda, 2008: 261-269) menjelaskan bahwa dalam analisis komponen, ada empat unsur yang harus diperhatikan, yaitu komponen (makna), fitur, pemarkah, dan ciri pembeda. Komponen makna adalah kumpulan fitur makna. Fitur adalah variabel makna yang dinilai (dalam komponen makna mengandung sejumlah variabel makna yang dapat dinilai). Permarkah adalah penanda nilai suatu fitur. Ciri pembeda adalah ciri khas nilai fitur suatu leksem atau satuan leksikal pada saat leksem itu dibandingkan dengan leksem yang lain. Penerapan konsep komponen (makna), fitur, pemarkah, dan ciri pembeda dapat dilihat dalam contoh analisis komponen makna kerbau, sapi, dan kuda.

LEKSEM KOMPONEN MAKNA SAPI KERBAU KUDA

  • Binatang
  • Berkaki empat + + + Pemakan rumput + + + Berkuku lebah dua + + +
    • Untuk menarik pedati + +
    • Untuk pembajak +

  • Sebagai tunggangan
    • Suka berkubang - Dengan melihat matriks seperti ini, peneliti dapat membuat pembatasan acuan. Misalnya, sapi ialah binatang pemakan rumput, berkaki empat, berkuku lebah dua, bisa menarik pedati, membajak, tidak sebagai tunggangan, dan tidak suka berkubang. Kerbau adalah binatang pemakan rumput, berkaki empat, berkuku lebah dua, untuk menarik pedati, untuk membajak, suka berkubang, dan tidak sebagai tunggangan. Kuda adalah binatang pemakan, berkaki empat, berkuku lebah dua, sebagai tunggangan, tidak menarik pedati, tidak untuk membajak, dan tidak suka berkubang.

2.3 Tinjauan Pustaka

  Penelitian yang berhubungan tentang Penggelembungan makna dan Penciutan Makna Kosakata Bahasa Indonesia pada Anak Usia 2

  −3 Tahun: Analisis Psikolinguistik sebelumnya pernah diteliti oleh

  Dardjowidjojo (2000) dalam penelitian penel longitudinalnya, Echa

  Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Penelitian ini yang menggunakan

  waktu lima tahun terhadap cucunya Echa yang mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa itu terdiri atas pemerolehan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikon, dan pragmatik. Pemerolehan bahasa juga mengatakan bahwa pemerolehan bahasa tidak dapat terjadi hanya karena adanya bekal kodrati (innate

  properties) belaka. Pemerolehan bahasa juga tidak mungkin terjadi hanya karena

  adanya faktor lingkungan saja, kedua-duanya diperlukan sebagai proses penguasaan bahasa.

  Penelitian ini menggunakan rekaman video audio. Ada dua aspek dalam menganalisis data. Pertama data dianalisis untuk mencari tahu elemen-elemen fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik yang muncul pada kurun waktu tertentu. Untuk menentukan kemungkinana munculnya suatu elemen merupakan cerminan dari kompetensi si anak atau baru tiruan belaka. Kedua, setelah dianalisis dan disajikan secara deskriptif, hasilnya disorot dari segi teoritis untuk diketahui alasan terjadi hal demikian.

  Fauzi (2000) dalam skripsinya, Pemerolehan Bahasa Anak-Anak Usia 0-5

  Tahun: Analisis Psikolinguistik . Penelitian ini membahas tentang tahap-tahap

  pemerolehan bahasa yang terdiri dari tahap perkembangan prasekolah dan tahap perkembangan kombinatori. Tahap perkembangan prasekolah meliputi, tahap meraba, tahap holofrastik, tahap kalimat dua kata, tahap pengembangan tata bahasa, dan tahap kombinasi penuh. Tahap perkembangan kombinatori meliputi perkembangan negatif, perkembangan introgatif, dan perkembangan sistem bunyi.

  Fauzi juga membahas tentang perkembangan bahasa dan perkembangan kognitif.

  Wedhawati (2002) dalam jurnal Linguistik Indonesia, Medan Leksikal dan

  Analisis Komponensial. Penelitian ini membahas tentang komponen makna yang membentuk satuan makna sebuah butir leksikal atau sebuah medan leksikal.

  Penelitian ini juga membahas tentang penelitian Wedhawati (1998) yang menggunakan lima macam reaksi semantis untuk menentukan nilai semantis komponen temuan dalam hubungannya dengan butir leksikal pembentuk medan leksikal verba yang berkomponen makna (+ SUARA +INSAN). Pertama reaksi semantis positif (+) untuk menandai komponen makna yang relevan atau berfungsi membentuk satuan makna butir leksikal. Misalnya, komponen (+ MUSIKAL) dalam “senandung”. Kedua, reaksi semantis negatif (-) untuk menandai penegasian komponen di dalam definisi satuan makna butir leksikal, sebagai lawan reaksi semantis (+). Misalnya, komponen (-SUARA) di dalam bungkam. Ketiga, reaksi semantis netral (o) untuk menandai komponen yang tidak relevan atau tidak berfungsi pada tataran sistem, tetapi berfungsi pada tataran ujaran. Misalnya komponen (oLIRIH) dalam nyanyi (Dia bernyanyi dengan Lirih). Keempat reaksi semantis positif/ negatif (+/-) untuk menandai kemungkinan kehadiran komponen tertentu atau kemungkinan penegasian kehadiran komponen tertentu. Misalnya, (+/-TUTUR) dalam nyanyi karena definisi satuan makna nyanyi adalah ‘mengeluarkan suara bernada’. Kelima reaksi tak bernilai(*) untuk menandai penolakan kehadiran komponen tertentu baik pada tataran sistem, maupun tataran ujaran, dalam arti komponen itu tidak berfungsi baik pada tataran sistem maupun pada tataran ujaran. Misalnya, komponen (*TUTUR) dalam kaitannya dengan tawa.

  Gustianingsih (2002) dalam tesisnya, Pemerolehan Kalimat Majemuk

  Bahasa Indonesia pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak . Penelitian ini membahas

  kemampuan anak usia taman kanak-kanak akan kalimat majemuk merupakan parameter untuk mengukur keberhasilan dan sekaligus dasar pengajaran di sekolah dasar. Usia 4-5 tahun adalah masa peralihan dan kehidupan seorang anak dilingkungan rumah tangga ke dalam lingkungan sekolah. Memahami bahasa KAMABIA memerlukan daya asosiasi yang tinggi serta memerlukan dukungan konteks situasi dan objek dalam peristiwa tutur mengingat sifat-sifat kejiwaan yang dimiliki anak, potensi alat ucap, dan pengetahuan serta pengalaman yang dimilikinya.

  Jenis konjungsi kalimat koordinatif KAMABIA berjumlah 12 dan satu jenis fungtuasi. Dari 13 jenis tersebut yang paling banyak muncul adalah jenis kalimat dengan variasi KD + dan + KD, diikuti KD + tetapi + KD. Jenis kalimat koordinatif KAMABIA benar-benar dikuasai adalah penjumlahan (aditif) dengan variasi konjungsi KD + dan + KD, perlawanan dengan variasi konjungsi KD + tetapi + KD dan kalimat majemuk koordinatif urutan.

  Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukakan secara cross sectional selama tiga bulan. Cross sectional (rancangan silang) dimaksudkan sebagai cara menemukan pemerolehan bahasa dengan menggunakan subjek penelitian dalam jumlah yang cukup banyak dan dalam waktu yang singkat. Penelitian ini dibantu dengan teknik observasi, rekaman, wawancara, teknik gambar dan bercerita.

  Susanti (2005) dalam skripsinya, Pemerolehan Bahasa Jawa Anak Usia

  3 −4 Tahun. Penelitian ini membahas tahap-tahap pemerolehan bahasa yang terdiri

  dari tahap perkembangan tata bahasa dan tahap tata bahasa menjelang dewasa. Susanti juga membahas kalimat sederhana yang dihasilkan oleh anak usia 3

  − 5 tahun dalam bahasa Jawa. Penelitian ini mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah perkembangan dan pertumbuhan bahasa anak yang diperoleh dari ucapan- ucapan orang tua secara mendadak keluar begitu saja dari mulut anak tersebut.

  Penelitian ini juga membahas kalimat sederhana yang dihasilkan oleh anak usia

  3 −5 tahun dalam bahasa Jawa, yaitu kalimat S-P, S-P-K, K-S-P.

  Novelina Lumbanraja (2010), Pemerolehan Leksikal Nomina Bahasa

  Angkola Anak Usia 3-4 Tahun , Dari data yang diperoleh, hasil penelitian ini

  menyimpulkan bahwa pemerolehan leksikal nomina bahasa Angkola pada anak usia 3 − 4 tahun itu sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Masukan yang diterima anak dari lingkungan sekitarnya mempengaruhi jumlah kosa kata yang dapat dikuasai anak-anak usia 3

  − 4 tahun tersebut. Urutan pemerolehan leksikal nomina bahasa Angkola pada anak usia 3 −4 tahun adalah nomina orang, nomina makanan, nomina hewan, nomina buah-buahan, nomina alat dapur, nomina sayur- sayuran, nomina elektronik, nomina minuman.

  Teknik yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik pancing. Teknik pancing dilakukan untuk memancing anak-anak agar mau berbicara dengan peneliti. Selanjutnya teknik rekam dan teknik gambar. Teknik rekam, yaitu merekam semua bahasa yang dipakai anak-anak 3-4 tahun, teknik gambar (tebak gambar), hal ini dilakukan untuk meluaskan perhatian anak tentang kata benda yang ada disekitarnya (Gustianingsih, 2009: 72). Setelah itu, dilanjutkan dengan teknik catat, yaitu dengan cara mencatat data yang telah dikumpul. Data yang telah dikumpul itu akan diklasifikasikan sesuai tahap-tahap perkembangan pemerolehan bahasa anak.

Dokumen yang terkait

Studi Tentang Penerbitan Akta Catatan Sipil Oleh Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Medan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Studi Tentang Penerbitan Akta Catatan Sipil Oleh Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Medan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

0 0 17

Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kanker Serviks terhadap Motivasi Wanita Usia Subur dalam Melakukan Pemeriksaan Pap Smear di Wilayah Kerja Puskesmas Labuhan Deli

0 0 50

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kanker Serviks terhadap Motivasi Wanita Usia Subur dalam Melakukan Pemeriksaan Pap Smear di Wilayah Kerja Puskesmas Labuhan Deli

0 0 20

BAB 1 PENDAHULUAN - Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kanker Serviks terhadap Motivasi Wanita Usia Subur dalam Melakukan Pemeriksaan Pap Smear di Wilayah Kerja Puskesmas Labuhan Deli

0 0 7

Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kanker Servik terhadap Motivasi Wanita Usia Subur dalam Melakukan Pemeriksaan Pap Smear di Wilayah Kerja Puskesmas Labuhan Deli

1 0 13

I. Identitas Responden Nama : Umur : Jenis Kelamin : Masa Kerja: - Pengaruh Komunikasi dan Motivasi terhadapat Kinerja Organisasi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Cabang Simpang Pos Medan

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi dalam Organisasi - Pengaruh Komunikasi dan Motivasi terhadapat Kinerja Organisasi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Cabang Simpang Pos Medan

0 0 15

Pengaruh Komunikasi dan Motivasi terhadapat Kinerja Organisasi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Cabang Simpang Pos Medan

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Pramenstruasi 1.1. Pengertian pramenstruasi - Hubungan Gejala Pramenstruasi dengan Gejala Awal Kehamilan di Klinik Bersalin Sumi Medan

0 1 16