BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Teori Agensi - Pengaruh Kualitas Audit dan Auditor Tenure terhadap Earnings Management pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Teori Agensi

  Jensen dan Meckling (1976: 308) menggambarkan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak antara satu orang atau lebih (prinsipal) yang melibatkan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Prinsipal merupakan pihak yang memiliki saham pada suatu perusahaan atau pemilik perusahaan. Agen merupakan pihak yang diberi wewenang oleh prinsipal untuk mengelola aset perusahaan.

  Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami earnings management. Dalam hubungan prinsipal dan agen akan menimbulkan apa yang dinamakan agency cost yakni risiko yang terjadi ketika prinsipal membayar agen untuk menjalankan sebuah tugas padahal kepentingan agen bertentangan atau tidak selaras dengan kepentingan prinsipal. Kemudian juga akan menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan prinsipal dan kepentingan agen. Pihak prinsipal termotivasi untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Agen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman maupun kontrak kompensasi dan bonus. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena prinsipal tidak dapat memonitor aktivitas agen sehari-hari untuk memastikan bahwa agen bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham.

  Pada kenyataannya prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen sedangkan agen mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen. Informasi yang lebih sedikit yang dimiliki oleh pemegang saham dapat memicu manajer menggunakan posisinya dalam perusahaan untuk mengelola laba yang dilaporkan (Lobo dan Zhou, 2001 dalam Rusmin, 2010: 620).

  Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agen. Hal ini memacu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan agen tersebut adalah yang disebut sebagai manajemen laba.

  Auditor eksternal merupakan pihak yang dianggap mampu menjembatani kepentingan pihak prinsipal dan pihak agen dalam mengelola keuangan perusahaan. Auditor akan mengesahkan laporan pertanggungjawaban pihak agen terhadap pihak prinsipal dengan memberikan penilaian secara independen dan profesional atas kehandalan dan kewajaran laporan keuangan perusahaan. Oleh karena itu dalam hal ini kualitas audit dan auditor tenure memengaruhi auditor eksternal dalam melaksanakan tugasnya sebagai pihak yang mampu menjembatani kepentingan pihak prinsipal dan pihak agen. Terdapat dua proksi yang dapat digunakan untuk menggambarkan variabel kualitas audit yaitu ukuran KAP dan auditor spesialisasi industri.

  Ukuran KAP akan berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan. KAP Big Four menghasilkan kualitas audit yang lebih tinggi dibandingkan dengan KAP Non Big Four (DeAngelo, 1981: 184, Becker et al., 1998: 6).

  Auditor Big Four memiliki keahlian dan reputasi yang tinggi dibandingkan dengan auditor Non Big Four. Sedangkan auditor spesialisasi industri yakni auditor yang memiliki keahlian dalam suatu industri tertentu dimungkinkan akan lebih dapat mendeteksi kesalahan-kesalahan dan manipulasi yang dilakukan oleh manajemen daripada auditor tanpa keahlian khusus.

   Auditor tenure dalam hal ini juga menjadi sebuah indikasi bahwa sikap

  independen auditor yang sesungguhnya menjadi sangat sulit untuk diterapkan, karena adanya kepentingan manajemen klien. Oleh karena itu lamanya hubungan antara perusahaan dan auditor dapat memengaruhi terjadinya manajemen laba.

2.1.2 Teori Stewardship

  Sekitar tahhun 1957, pendekatan stewardship telah dipakai sebagai suatu pendekatan untuk menentukan titik berat utama dari suatu laporan keuangan. Hal ini didasarkan pada suatu konsep bahwa manajemen dari suatu perusahaan dianggap bertanggungjawab kepada pemilik perusahaan (Susanto, 1994 dalam Ikhsan dan Suprasto, 2008: 84). Selanjutnya Ijiri (1975, dalam Ikhsan dan Suprasto, 2008: 84) memperjelas konsep tersebut dengan mengidentifikasi tiga partisan dalam hubungan akuntabilitas (pertanggungjawaban finansial perusahaan) yaitu keberadaan Accountant, Accountee, dan Accountor. Ketiga partisan tersebut saling berinteraksi dalam suatu jaringan akuntabilitas.

  Accountant adalah pihak yang mengukur kinerja ekonomi, Accountee (Steward)

  yaitu pihak yang bertanggungjawab dan kepada Accountor (prinsipal) pertanggungjawaban diberikan atas apa yang telah dikerjakan.

  Teori stewardship berkembang atas dasar model perilaku pro-organisasi. Dalam teori stewardship dapat diasumsikan bahwa “manajer adalah pelayan perusahaan yang baik dan rajin bekerja untuk mencapai tingkat laba dan tingkat pengembalian modal yang tinggi bagi pemegang saham”. Sehingga manajer dapat termotivasi oleh prestasi dan kebutuhan akan tanggungjawab serta bekerja dengan inisiatif sendiri. Manajer akan bertindak sesuai dengan apa yang ingin dicapai oleh perusahaan (perilaku pro-organisasi). Untuk mempraktikkan pendekatan ini, kunci utama terletak pada prinsipal, apakah prinsipal benar-benar dapat meyakini dan mempercayai steward yang dipilihnya dalam membangun kemitraan organisasi tersebut.

  Dalam hal ini prinsipal akan membutuhkan jasa audit dari pihak yang independen (auditor eksternal) untuk memastikan kinerja dari steward. Artinya bahwa auditor akan mengukur kinerja dari steward apakah bebas dari manipulasi laporan keuangan yang dikenal dengan manajemen laba. Pemilihan auditor eksternal oleh manajemen untuk melakukan proses audit atas kinerja keuangan perusahaannya menjadikan awal dari hubungan stewardship. Auditor eksternal akan bekerja secara profesional untuk menghasilkan kinerja yang baik dalam menjaga reputasinya, sedangkan manajemen ingin mendapatkan tingkat akuntabilitas yang tinggi atas kinerja keuangannya dari hasil audit yang berkualitas. Oleh karena itu kualitas audit dan auditor tenure akan memengaruhi hubungan stewardship untuk menjamin akuntabilitas kinerja keuangan perusahaan yang akan dipertanggungjawabkan kepada prinsipal.

2.1.3 Manajemen Laba (Earnings Management)

2.1.3.1 Definisi Manajemen Laba

  Istilah earnings management atau manajemen laba mungkin tidak terlalu asing bagi para pemerhati manajemen dan akuntansi, baik praktisi maupun akademisi. Istilah tersebut mulai menarik perhatian para peneliti, khususnya peneliti akuntansi karena sering dihubungkan dengan perilaku manajer atau para pembuat laporan keuangan (prepares of financial statements), (Gumanti, 2000: 105). Sekilas tampak bahwa manajemen laba berhubungan erat dengan tingkat perolehan laba (earnings) atau prestasi usaha suatu organisasi. Hal ini tidaklah aneh karena tingkat keuntungan atau laba yang diperoleh sering dikaitkan dengan prestasi manajemen disamping memang adalah suatu yang lazim bahwa besar kecilnya bounus yang akan diterima oleh manajer tergantung dari besar kecilnya laba yang diperoleh. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila manajer sering berusaha menonjolkan prestasinya melalui tingkat keuntungan atau laba yang dicapai.

  Definisi laba menurut Verawati (2012: 18) adalah salah satu indikator utama untuk mengukur kinerja dan pertanggungjawaban manajemen. Informasi laba juga dapat dijadikan panduan dalam melakukan investasi yang membantu investor ataupun pihak lain dalam menilai kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dimasa yang akan datang. Selain itu, laba pada umumnya dipandang sebagai dasar untuk perpajakan, pembayaran dividen dan pengambilan keputusan. Adanya kecenderungan untuk memerhatikan laba ini disadari oleh manajemen, khususnya manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi laba tersebut, sehingga mendorong munculnya manajemen laba (earnings management ).

  Ada perbedaan mendasar antara praktisi dan akademisi dalam memandang manajemen laba. Secara umum para praktisi, yaitu investor, pemerintah, asosiasi profesi, dan pelaku ekonomi lainnya menganggap manajemen laba sebagai kecurangan manajerial. Alasannya adalah aktivitas rekayasa manajerial ini dilakukan untuk menyesatkan dan merugikan pihak lain yang menggunakan laporan keuangan sebagai sumber informasi untuk mengetahui segala sesuatu mengenai perusahaan. Sementara akademisi, termasuk para peneliti menilai manajemen laba bukan sebagai kecuarangan, sebab aktivitas rekayasa manajerial ini pada dasarnya merupakan dampak dari luasnya prinsip yang berterima umum, sehingga bisa dikatakan bahwa perbedaan pemahaman terhadap manajemen laba disebabkan perbedaan sudut pandang antara satu pihak dengan pihak lain (Sulistyanto, 2008 dalam Verawati, 2012: 18).

  Gumanti (2000) dalam Luhgiatno (2010: 19) berpendapat bahwa manajemen laba dapat memberikan gambaran akan manajer dalam melaporkan kegiatan usahanya pada suatu periode tertentu, yaitu adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk mengatur data keuangan yang dilaporkan. Manajemen laba tidak harus dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi untuk mengatur keuangan yang dapat dilakukan karena memang diperkenankan menurut peraturan akuntansi. Hal ini sejalan dengan definisi manajemen laba menurut Belkaoui (2011: 74) yakni: “Suatu kemampuan untuk memanipulasi pilihan-pilihan yang tersedia dan mengambil pilihan yang tepat untuk dapat mencapai tingkat laba yang diharapkan.”

  Definisi yang berbeda menurut Healy dan Wahlen dalam Belkaoui (2011: 75) yakni: “Manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan pertimbangan mereka dalam pelaporan keuangan dan struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan menyesatkan beberapa pemangku kepentingan mengenai kondisi kinerja ekonomi perusahaan atau untuk memengaruhi hasil-hasil kontraktual yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.” Definisi yang dikemukakan oleh Healy dan Wahlen di atas berfokus pada penerapan pertimbangan dalam laporan keuangan (1) untuk menyesatkan para pemangku kepentingan yang tidak ataupun tidak bisa melakukan manajemen laba dan (2) untuk membuat laporan keuangan menjadi lebih informatif bagi para penggunanya. Oleh karenanya, terdapat sisi baik maupun buruk dari manajemen laba: (1) sisi buruknya adalah biaya yang diciptakan oleh kesalahan alokasi dari sumber-sumber daya dan (2) sisi baiknya adalah potensi peningkatan kredibilitas manajemen dalam mengkomunikasikan informasi pribadi kepada pemangku kepentingan eksternal dan memperbaiki keputusan dalam alokasi sumber-sumber daya.

  Dari beberapa pengertian manajemen laba di atas, peneliti menyimpulkan bahwa manajemen laba berkaitan dengan cara manajemen dalam menyajikan laporan keuangan dalam pengambilan keputusan, artinya manajemen punya wewenang untuk menyajikan laporan keuangan baik secara legal maupun ilegal.

  Kriteria manajemen laba secara legal yakni apabila tidak menyimpang dari Standar Akuntansi Keuangan, misalnya dalam pemilihan metode penyusutan baik melalui metode garis lurus atau saldo menurun. Pemilihan dari salah satu metode tersebut tentu akan berpengaruh terhadap laporan keuangan khususnya laba yang dihasilkan oleh perusahaan atau lebih banyak berkaitan dengan pengambilan keputusan manajemen terkait laporan keuangan perusahaan. Sedangkan kriteria manajemen laba secara ilegal yakni apabila telah menyimpang dari Standar

  Akuntansi Keuangan, misalnya penyajian akun akumulasi penyusutan dalam laporan posisi keuangan seharusnya di sisi kredit namun manajemen menyajikannya si sisi debet.

2.1.3.2 Manajemen Laba Riil

  Manajemen laba riil merupakan manipulasi yang dilakukan oleh manajemen melalui aktivitas perusahaan sehari-hari selama periode akuntansi.

  Motivasi utama atas manipulasi aktivitas riil adalah waktu (timing) manajemen laba. Manajemen laba riil dapat dilakukan kapan saja sepanjang periode akuntansi dengan tujuan spesifik, yaitu memenuhi target laba tertentu, menghindari kerugian, dan mencapai target ramalan analis. Selain itu menajemen laba riil sulit untuk dideteksi oleh auditor.

  Menurut Healy and Wahlen, (1999) dalam Roychowdhury (2006: 337) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut “Earnings management accurs

  

when managers use judgment in financial reporting and in structuring

transactions to alter financial reports to either mislead some stakeholders about

the underlying economic performance of the company or to influence contractual

outcomes that depend on reported accounting practices”. Dengan kata lain bahwa

  campur tangan manajer dalam proses pelaporan keuangan tidak hanya melalui metode-metode atau estimasi-estimasi akuntansi saja tetapi juga dapat dilakukan melalui keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kegiatan operasional. Lebih lanjut, manajer juga memiliki insentif untuk memanipulasi aktivitas- aktivitas riil selama tahun berjalan untuk memenuhi target laba. Manipulasi aktivitas-aktivitas riil tersebut disebut manajemen laba riil.

  Menurut Roychowdhury (2006); Cohen et al. (2008); Cohen dan Zarowin (2010) dalam Ratmono (2010: 5), terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam manipulasi aktivitas riil, yaitu:

  1. Manipulasi penjualan Manipulasi penjualan merupakan usaha untuk meningkatkan penjualan secara temporer dalam periode tertentu dengan menawarkan diskon harga produk secara berlebihan atau memberikan persyaratan kredit yang lebih lunak. Strategi ini dapat meningkatkan volume penjualan dan laba periode saat ini, dengan mengasumsikan marginnya positif. Namun pemberian diskon harga dan syarat kredit yang lebih lunak akan menurunkan aliran kas periode saat ini.

  2. Penurunan beban-beban diskresionari (dicretionary expenditure) Perusahaan dapat menurunkan discretionary expenditure seperti beban penelitian dan pengembangan, iklan dan penjualan, administrasi dan umum terutama dalam periode dimana pengeluaran tidak langsung menyebabkan pendapatan dan laba. Strategi ini dapat meningkatkan laba dan arus kas periode saat ini namun dengan risiko menurunkan arus kas periode mendatang.

  3. Produksi yang berlebihan (overproduction) Untuk meningkatkan laba, manajer perusahaan dapat memproduksi lebih banyak daripada yang diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang lebih tinggi akan menyebakan biaya tetap per unit produk lebih rendah. Strategi ini dapat menurunkan harga pokok penjualan (cost of

  good sold ) dan meningkatkan laba operasi.

  Ketiga cara manipulasi aktivitas riil di atas biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan kinerja yang buruk sehingga tidak banyak memiliki akrual untuk dimanipulasi. Satu-satunya cara adalah dengan manipulasi aktivitas riil tersebut terutama untuk mencapai laba sedikit di atas nol. Dengan ketiga cara di atas perusahaan-perusahaan yang diduga (suspect) melakukan manipulasi aktivitas riil akan mempunyai abnormal cash flow operations (CFO) dan abnormal discretionary expense yang lebih kecil serta abnormal production

  cost yang lebih besar dibandingkan perusahaan-perusahaan lain.

  Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Roychowdhury (2006: 338) menunjukkan para eksekutif keuangan lebih memilih untuk memanipulasi laba malalui aktivitas-aktivitas riil daripada aktivitas akrual. Hal ini disebabkan oleh:

  1. Manipulasi akrual cenderung membuat para auditor atau regulator melakukan pemeriksaan dengan cepat daripada jika keputusan-keputusan tentang aktivitas riil atau produksi yang dibuat. Hal ini menunjukkan bahwa baik auditor ataupun regulator kurang memberikan perhatian terhadap aktivitas-aktivitas riil yang dimanipulasi oleh manajemen, sehingga manajemen memiliki kesempatan untuk memanfaatkan peluang ini dalam mencapai target laba.

  2. Hanya bersandar pada manipulasi akrual saja akan membawa risiko karena pengelolaan laba dengan mengandalkan akrual diskresioner hanya dapat dilakukan pada akhir tahun. Akan tetapi, strategi ini menimbulkan risiko yaitu jika jumlah laba yang perlu dimanipulasi lebih besar daripada akrual diskresioner yang dapat digunakan manager, maka kemampuan manajer dalam memanipulasi laba terbatas, akibatnya target laba tidak dapat dicapai jika hanya menggunakan akrual diskresioner pada akhir tahun.

  Berdasarkan Roychowdhury (2006: 34) dalam Subekti, Kee dan Ahmad (2010: 13) pengukuran manajemen laba riil menggunakan 3 cara yakni:

  1. Abnormal cash flow operations (CFO). Arus kas operasi abnormal adalah manipulasi laba yang dilakukan perusahaan melalui aliran operasi kas yang akan memiliki aliran kas lebih rendah daripada level normalnya. Estimasi nilai residu arus kas operasi merupakan nilai abnormal arus kas operasi.

  2. Abnormal production cost (PO). Biaya kegiatan produksi abnormal adalah manajemen laba riil yang dilakukan melalui manipulasi biaya produksi, dimana perusahaan akan memiliki biaya produksi lebih tinggi daripada level normalnya. Estimasi nilai residu dari biaya produksi merupakan nilai abnormal biaya produksi.

  3. Abnormal discretionary expense (DE). Biaya diskresioner abnormal adalah manajemen laba riil yang dilakukan dengan menurunkan discretionary

  

expenditure seperti biaya penelitian dan pengembangan, biaya iklan, biaya penjualan, administrasi dan umum. Estimasi nilai residu dari biaya diskresioner merupakan nilai abnormal biaya diskresioner.

2.1.4 Kualitas Audit

  Secara umum auditing adalah “suatu proses sistematis untuk secara objektif mendapatkan dan mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan- kegiatan dan kejadian-kejadian ekonomi untuk menyakinkan tingkat keterkaitan antara asersi tersebut dan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan” (Konranth, 2002: 5). Sukrisno Agoes (2012: 4) mendefinisikan auditing sebagai “suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”.

  Laporan keuangan suatu perusahaan dapat dikatakan berkualitas baik jika mendapatkan pendapat wajar tanpa pengecualian. Pendapat ini dikeluarkan oleh kantor akuntan publik yang telah melakukan tugasnya mengaudit perusahaan yang bersangkutan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor. Oleh karena itu, auditor sebagai pihak yang independen diharapkan dapat membatasi besarnya besarnya manajemen laba serta membantu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat umum terhadap laporan keuangan. Jensen dan Meckling (1976: 309) menyatakan bahwa audit merupakan bentuk monitoring yang digunakan oleh perusahaan untuk menurunkan biaya keagenan.

  De Angelo (1981) dalam Rusmin (2010: 621) mendefinisikan kualitas audit sebagai sebuah kemungkinan bahwa auditor akan mendeteksi dan melaporkan salah saji material. Proses pelaporan yang dilakukan oleh auditor untuk mengungkapkan pelanggaran tersebut. Kualitas auditor dipandang sebagai kemampuan untuk mempertinggi kualitas suatu laporan keuangan bagi perusahaan. Oleh karena itu, auditor yang berkualitas tinggi diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan investor. Akuntan publik sebagai auditor eksternal yang relatif independen daripada auditor internal diharapkan mampu meminimalkan prakatek manajemen laba dan meningkatkan kredibilitas informasi akuntansi dalam laporan keuangan.

  Bartov et al. (dalam Rusmin, 2010: 621) menunjukkan bahwa auditor yang berkualitas tinggi lebih menyukai untuk melaporkan kesalahan dan penyimpangan, serta tidak bersedia untuk menerima praktik akuntansi yang dipertanyakan. Auditor yang berkualitas tinggi diharapkan mampu mendeteksi praktik manajemen laba. Menurut Zhou dan Elder (2004: 95), kualitas audit dapat diukur dari ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP) dan spesialisasi industri oleh auditor. Kualitas audit tidak dapat diobservasi secara langsung. Persepsi mengenai kualitas audit biasanya berkaitan dengan nama auditor, termasuk dalam hal ini adalah pengalaman auditor dalam suatu industri dan kemampuan untuk mengungkap kesalahan yang dilakukan manajemen (Zhou dan Elder, 2004: 96).

  Oleh karena itu pada penelitian ini proksi yang digunakan untuk mengukur kualitas audit adalah ukuran KAP dan auditor spesialisasi auditor.

2.1.4.1 Ukuran KAP

  Dalam teori agensi dan teori stewardship dijelaskan bahwa adanya pihak prinsipal dengan pihak agen yang digambarkan dengan hubungan auditee dan auditor dalam proses audit. Seorang prinsipal akan cenderung menunjuk auditor yang memiliki independensi untuk memperoleh audit yang berkualitas. Auditor yang memiliki independensi tinggi diasumsikan oleh auditor yang berada dalam KAP yang besar. Dalam hal ini ukuran KAP dijadikan sebagai patokan dalam menentukan hasil audit yang diperlukan dalam pengambilan keputusan. Pihak prinsipal dianggap akan lebih mempercayai laporan dari auditor dengan nama besar dengan integritas dan independensi yang tinggi yang dimiliki auditor besar.

  Kantor akuntan publik (KAP) adalah suatu bentuk organisasi akuntan publik yang memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berusaha di bidang pemberian jasa professional dalam praktik akuntan publik. Menurut Arens et al. (2008: 32), terdapat empat kategori ukuran kantor akuntan publik (KAP), antara lain KAP internasional, KAP lokal dan regional, KAP nasional, dan KAP kecil. Kantor akuntan publik (KAP) internasional dikenal dengan julukan “The Big Four” dimana masing-masing kantor akuntan publik (KAP) internasional memiliki kantor di setiap kota besar di Amerika Serikat dan di banyak kota besar di seluruh dunia, termasuk Indonesa.

  Tabel berikut menunjukkan mitra KAP internasional Big Four dengan KAP di Indonesia.

  Tabel 2.1

Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP)

The Big Four Mitra Indonesia

  Deloitte Touche Tohmatsu Osman Bing Satrio dan rekan Ernst and Young Purwantono, Sarwoko dan Sandjaja Kingsfield, Peat, Marwick, Goerdeller Siddharta dan Widjaja (KPMG) Price Waterhouse Coopers (PWC) Haryanto, Sahari dan rekan

  Sumber: Tuanakkotta, Theodorus M., Berfikir Kritis dalam Auditing (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hlm. 299.

  Ukuran KAP menunjukkan kemampuan auditor untuk bersikap independen dan melaksanakan audit secara professional. KAP Big Four merupakan auditor yang memiliki keahlian dan reputasi yang tinggi dibanding dengan auditor KAP Non Big Four (Nurina, 2010 dalam Kono, 2013: 3). Auditor

  

Big Four diharapkan lebih bisa mengungkap salah saji material antara pihak

  manajemen dan pemegang saham, selain itu KAP Big Four cenderung memiliki auditor yang lebih berpengalaman yang akhirnya mampu membatasi besarnya manajemen laba pada suatu perusahaan (Kono, 2013: 3). Dahlan (2009: 9) menambahkan bahwa KAP Big Four memiliki dorongan yang lebih besar untuk mengetahui kesalahan dalam sistem akuntansi klien, selain itu perusahaan yang diaudit oleh auditor KAP Big Four cenderung akan membatasi praktik manajemen laba.

2.1.4.2 Auditor Spesialisasi Industri

  Dalam Zhou dan Elder (2004: 96) membuktikan bahwa kualitas audit berhubungan dengan auditor spesialis industri. Auditor yang melakukan spesialisasi pada industri tertentu memiliki lebih banyak pengetahuan mengenai informasi industri tersebut dibandingkan auditor non-spesialis. Auditor spesialisasi industri menggambarkan keahlian dan pengalaman audit seorang auditor pada bidang industri tertentu yang diproksi dengan jasa audit pada bidang industri tertentu. Dengan demikian, auditor spesialisasi industri diharapkan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan auditor lainnya dalam meminimalisir adanya praktik manajemen laba (Solomon et al., Owhoso et al. dalam Rusmin, 2010: 621).

  Auditor spesialisasi industri diproksi dengan konsentrasi jasa auditor pada bidang tertentu (Rahmadika, 2013: 36). Auditor yang memiliki spesialisasi industri yakni auditor yang memiliki keahlian dalam suatu industri tertentu, auditor spesialisasi industri dimungkinkan akan lebih dapat mendeteksi kesalahan- kesalahan dan manipulasi yang dilakukan oleh manajemen daripada auditor tanpa keahlian khusus.

  Chi et al. (2011) dalam Inaam dan Khmoussi (2012: 21) menemukan bahwa keahlian industri auditor berhubungan dengan manajemen laba berbasi riil yang lebih besar. Dengan meningkatnya keahlian auditor dimungkinkan bahwa manajemen akan menggunakan berbagai caranya untuk memanipulasi aktivitasnya terkait dengan tingkat laba yang dihasilkan perusahaan. Manajemen memiliki kapasitas untuk mengatur setiap kegiatan di dalam perusahaan sehingga dapat mendorong memenuhi target laba. Oleh karena itu dengan adanya auditor dengan keahlian pada spesialisasi industri, manajemen laba riil akan meningkat terkait manipulasi aktivitas perusahaan.

  Dalam teori agensi dan teori stewardship dimana pihak agen sebagai pihak yang diberi tanggungjawab oleh pihak prinsipal akan terdorong untuk melakukan berbagai hal untuk memberikan hasil pertanggungjawaban yang sebaik mungkin walaupun terkadang tidak sesuai dengan realita misalnya dengan melakukan perubahan pada laba. Oleh karena itu, auditor dituntut untuk menguasai keahlian di bidang industri perusahan. Dengan demikian auditor yang memiliki keahlian dalam spesialisasi industri maka akan dapat menurunkan praktek manajemen laba.

2.1.5. Auditor Tenure

  Auditor tenure adalah masa perikatan (keterlibatan) antara KAP dan klien

  terkait jasa audit yang disepakati atau dapat juga diartikan sebagai jangka waktu hubungan auditor dan klien. Auditor tenure telah ditentukan secara mandatory oleh peraturan pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar indenpendensi seorang auditor dapat lebih terjaga dengan membatasi hubungan antara auditor dan manajemen. Auditor memiliki tugas untuk mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara agen dan prinsipal sehingga auditor harus memiliki tingkat independensi yang tinggi untuk mencegah terjadinya asimetri infomasi.

  Di Indonesia, peraturan yang mengatur auditor tenure adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/KMK.01/2008 tentang “Jasa Akuntan Publik” pasal 3. Peraturan ini mengatur tentang pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dilakukan oleh KAP paling lama untuk 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. Akuntan publik dan kantor akuntan boleh menerima kembali penugasan audit umum untuk klien setelah satu tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan klien tersebut.

  Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi.

  Reichelt and Wang (2010) dalam Inaam dan Khmoussi (2012: 22) meneliti adanya hubungan negatif antara auditor tenure dengan manajemen laba. Dengan adanya audit tenure yang lebih pendek maka manajemen laba yang dilakukan oleh agen akan lebih besar namun semakin lama audit tenure akan memperkecil praktik manajemen laba. Namun Johnson et al. (2002) dalam Inaam dan Khmoussi (2012: 22) menemukan bahwa klien dengan masa auditor yang lebih pendek memiliki kualitas akrual yang lebih rendah dibandingkan dengan masa kerja lebih panjang.

  Penelitian tersebut menyebutkan bahwa masa kerja yang lebih lama pada auditor akan meningkatkan aktivitas manajemen laba di dalam perusahaan baik secara akrual maupun riil. Hal ini dikarenakan auditor yang memiliki masa kerja lebih pendek cenderung akan memiliki independensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang telah memiliki masa kerja audit yang lebih panjang.

  Dalam teori agensi dan teori stewardship dijelaskan bahwa dapat terjadi keadaan dimana salah satu pihak memiliki lebih banyak informasi sehingga menimbulkan kondisi asimetri informasi. Hal ini terjadi dalam praktik manajemen laba yaitu agen memiliki lebih banyak informasi daripada prinsipal yang memiliki hubungan kerja sama dengan agen dikhawatirkan akan mengurangi independensi yang dimiliki auditor sehingga auditor akan cenderung berpihak kepada agen.

  Hubungan ini yang akan meningkatkan praktik manajemen laba sehingga dapat menimbulkan asimetri informasi antara pihak prinsipal dan agen. Semakin lama auditor berhubungan dengan agen maka independensi yang dimilikinya akan semakin menurun dan aktivitas manajemen laba akan meningkat.

2.2 Review Penelitian Terdahulu

  Penelitian tentang pengaruh kualitas audit (diproksikan dengan ukuran KAP), kualitas audit (diproksikan dengan auditor spesialisasi industri) dan auditor terhadap manajemen laba riil telah beberapa kali dilakukan sebelumya oleh

  tenure

  peneliti yang berbeda. Hasil penelitiannya juga menunjukkan hasil yang berbeda- beda atau tidak konsisten. Berikut ini tabel 2.2 menunjukkan hasil penelitian terdahulu yang nantinya akan digunakan sebagai pembanding hasil penelitian.

Tabel 2.2 Ringkasan Review Penelitian Terdahulu No Peneliti (Tahun) Variabel Indikator Hasil Penelitian

  audit tenure Discretionary accruals

  Akrual: auditor tenure berpengaruh negatif dan ukuran KAP serta auditor spesialisasi industri berpengaruh positif namun ketiganya secara simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Riil: ukuran KAP berpengaruh negatif dan signifikan, auditor spesialisasi industri berpengaruh positif dan signifikan, auditor tenure tidak berpengaruh terhadap manajemen laba

  flow operation abnormal

  dan cash

  Discretionary accruals

  Auditor tenure, ukuran KAP, auditor spesialisasi industri

  Variabel dependen: Earnings Management Variabel independen:

  3 Nihlati (2014)

  Akrual: ukuran KAP dan spesilisasi industri berpengaruh negatif sedangkan audit tenure tidak berpengaruh terhadap manajemen laba Riil: auditor spesialisasi industri dan audit tenure tidak berpengaruh sedangkan ukuran KAP berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba

  flow operation abnormal, diskretionary expense abnormal, production cost abnormal

  dan cash

  Ukuran KAP, auditor spesialisasi industri,

  1 Ratmono (2010)

  Variabel independen:

  Manajemen laba

  Variabel dependen:

  2 Inaam dan Khmouss i (2012)

  Auditor lebih dapat mendeteksi adanya praktik manajemen laba akrual daripada manajemen laba riil

  Discretionary accruals dan cash flow operation abnormal, diskretionary expense abnormal, production cost abnormal

  Kualitas Auditor

  Variabel independen:

  Manajemen Laba

  Variabel dependen:

  Sumber: Diolah Peneliti dari data sekunder, 2014

  Penelitian terdahulu yang pertama adalah penelitian Ratmono (2010) yang melakukan penelitian manajemen laba riil dan berbasis akrual, dengan variabel independennya kualitas auditor. Pada penelitian ini menggunakan discretionary

  

accrual untuk mengukur manajemen laba akrual sedangkan abnormal cash flow

operation , abnormal discretionary expense, abnormal production costs digunakan

  untuk mengukur manajemen laba riil. Proksi kualitas auditor pada penelitian ini adalah spesialisasi keahlian industri auditor. Penelitian ini menyimpulkan bahwa auditor lebih dapat mendeteksi adanya praktik manajemen laba akrual daripada manajemen laba riil.

  Penelitian terdahulu yang kedua adalah penelitian yang dilakukan Inaam dan Khmoussi (2012) dimana menggunakan proksi manajemen laba akrual dan manajemen laba riil untuk mengukur manajemen laba. Pada penelitian ini ukuran KAP, auditor spesialisasi industri dan audit tenure digunakan sebagai variabel independen. Manajemen laba akrual diukur dengan menggunakan discretionary

  

accruals sedangkan manajemen laba akrual diukur dengan menggunakan

abnormal cash flow operation , abnormal discretionary expense, abnormal

production cost dengan menggunakan model regresi linier berganda. Penelitian ini

  menggunakan sampel data perusahaan-perusahan di Tunisia. Berdasarkan penelitian ini dengan proksi manajemen laba akrual dibuktikan bahwa ukuran KAP dan auditor spesialisasi industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba sedangkan audit tenure tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Pada proksi manajemen laba riil dibuktikan bahwa auditor spesialisasi industri dan audit tenure tidak berpengaruh terhadap manajemen laba sedangkan ukuran KAP berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba.

  Penelitian terdahulu yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Nihlati (2014). Penelitian ini menggunakan variabel dependen dan independen yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Inaam dan Khmoussi (2012), namun manajemen laba riil hanya diukur berdasarkan abnormal cash flow

  

operation . Pada penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda untuk

  menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yakni perusahaan publik sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil penelitiannya berdasarkan proksi manajemen laba akrual menyimpulkan bahwa auditor tenure berpengaruh negatif, ukuran KAP dan auditor spesialisasi industri berpengaruh positif namun

  auditor tenure , ukuran KAP dan auditor spesialisasi industri secara simultan tidak

  berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Sedangkan berdasarkan proksi manajemen laba riil menyimpulkan bahwa ukuran KAP berpengaruh negatif dan signifikan, auditor spesialisasi industri berpengaruh positif dan signifikan sedangkan auditor tenure tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

2.3 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual merupakan suatu model yang menjelasakan hubungan suatu teori dengan faktor-faktor yang telah diketahui dalam suatu masalah. Adapun yang menjadi variabel independen (X) dalam penelitian ini adalah kualitas audit (diproksikan dengan ukuran KAP dan auditor spesialisasi industri) serta auditor tenure. Sedangkan variabel dependennya (Y) adalah manajemen laba riil. Hubungan antara kualitas audit (diproksikan dengan ukuran KAP dan auditor spesialisasi industri) serta auditor tenure terhadap manajemen laba riil dapat digambarkan dalam kerangka konseptual penelitian pada gambar

  2.2. Variabel Independen Variabel Dependen KUALITAS AUDIT

  Ukuran KAP

  2 H1 (X1)

  MANAJEMEN Auditor Spesialisasi

  Industri LABA RIIL H2

  (X2) (Y)

  Auditor Tenure

  H3 (X3)

  H4

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Penelitian Dalam teori agensi dan teori stewardship dijelaskan bahwa adanya pihak prinsipal dengan pihak agen yang digambarkan dengan hubungan manajemen dan auditor dalam proses audit. Seorang prinsipal akan cenderung menunjuk auditor yang memiliki independensi untuk memperoleh audit yang berkualitas. Auditor yang memiliki independensi tinggi diasumsikan oleh auditor yang berada dalam KAP yang besar. Dalam hal ini ukuran KAP dijadikan sebagai patokan dalam menentukan hasil audit yang diperlukan dalam pengambilan keputusan.

  KAP Big Four merupakan auditor yang memiliki keahlian dan reputasi yang tinggi dibanding dengan auditor KAP Non Big Four (Nurina, 2010 dalam Kono, 2013: 3). Auditor Big Four diharapkan lebih bisa mengungkap salah saji material dalam laporan keuangan atau lebih mampu mendeteksi adanya manipulasi dalam laporan keuangan, selain itu KAP Big Four cenderung memiliki auditor yang lebih berpengalaman yang akhirnya mampu membatasi besarnya manajemen laba pada suatu perusahaan (Kono, 2013: 3). Dahlan (2009: 9) menambahkan bahwa KAP Big Four memiliki dorongan yang lebih besar untuk mengetahui kesalahan dalam sistem akuntansi klien, selain itu perusahaan yang diaudit oleh auditor KAP Big Four cenderung akan membatasi praktik manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Nihlati (2014:9) menyimpulkan bahwa ukuran KAP berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba riil sedangkan Inaam dan Khmoussi (2012: 31) menyimpulkan bahwa ukuran KAP berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba riil. Dalam hubungan keagenan pihak agen sebagai pihak yang diberi tanggungjawab oleh pihak prinsipal akan terdorong untuk melakukan berbagai hal untuk memberikan hasil pertanggungjawaban yang sebaik mungkin walaupun terkadang tidak sesuai dengan realita misalnya dengan melakukan perubahan pada laba. Oleh karena itu, auditor dituntut untuk menguasai keahlian di bidang industri perusahan auditee. Chi et al. (2011) dalam Inaam dan Khmoussi (2012: 21) menemukan bahwa keahlian industri auditor berhubungan dengan manajemen laba berbasi riil yang lebih besar. Dengan meningkatnya keahlian auditor dimungkinkan bahwa manajemen akan menggunakan berbagai caranya untuk memanipulasi aktivitasnya terkait dengan tingkat laba yang dihasilkan perusahaan. Manajemen memiliki kapasitas untuk mengatur setiap kegiatan di dalam perusahaan sehingga dapat mendorong memenuhi target laba. Oleh karena itu dengan adanya auditor dengan keahlian pada spesialisasi industri, manajemen laba riil akan meningkat terkait manipulasi aktivitas perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Nihlati (2014:9) menyimpulkan bahwa auditor spesialisasi industri berpengaruh positif terhadap manajemen laba riil sedangkan Inaam dan Khmoussi (2012: 31) menyimpulkan bahwa auditor spesialisasi industri tidak berpengaruh terhadap manajemen laba riil.

  Di sisi lain dimana salah satu pihak memiliki lebih banyak informasi sehingga menimbulkan kondisi asimetri informasi, yakni pihak agen memiliki lebih banyak informasi daripada prinsipal. Hal ini akan memungkinkan pihak agen untuk memanipulasi laporan keuangan dengan pengetahuan yang lebih daripada pihak prinsipal dengan cara menjalin hubungan dengan auditor. Auditor secara teori merupakan pihak yang independen, namun pada kenyataannya independensi auditor tersebut dapat rusak dengan adanya hubungan yang lama antara pihak agen dan auditor. Lamanya hubungan antara agen dan auditor menjadi sebuah indikasi bahwa sikap independen auditor yang sesungguhnya menjadi sangat sulit untuk diterapkan karena adanya kepentingan terhadap klien.

  

Auditor tenure dalam jangka waktu yang lama, juga dapat menyebabkan auditor

  mengembangkan “hubungan yang lebih nyaman” dan kesetiaan yang kuat atau hubungan emosional dengan klien mereka, sehingga dapat menyebakan independensi auditor menjadi terancam.

  Hubungan ini yang akan meningkatkan praktik manajemen laba sehingga dapat menimbulkan asimetri informasi antara pihak prinsipal dan agen. Semakin lama auditor berhubungan dengan agen maka independensi yang dimilikinya akan semakin menurun dan aktivitas manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Nihlati (2014: 9) menyimpulkan bahwa auditor tenure tidak berpengaruh terhadap manajemen laba riil. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Inaam dan Khmoussi (2012: 31) yang menyimpulkan bahwa auditor tenure tidak berpengaruh terhadap manajemen laba riil.

2.4 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis adalah penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi (Erlina, 2011: 30).

  Berdasarkan tinjauan teoritis, rumusan masalah dan kerangka konseptual yang dijelaskan di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  

H1 : Kualitas audit (diproksikan dengan ukuran KAP) berpengaruh positif dan

  signifikan terhadap manajemen laba riil pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2013.

  H2 : Kualitas audit (diproksikan dengan auditor spesialisasi industri) berpengaruh

  positif dan signifikan terhadap manajemen laba riil pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2013.

  

H3 : Auditor tenure berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba

  riil pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2013.

  H4 : Kualitas audit (diproksikan dengan ukuran KAP), kualitas audit (diproksikan

  dengan auditor spesialisasi industri) dan auditor tenure secara simultan berpengaruh postitif dan signifikan terhadap manajemen laba riil pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010- 2013.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan - Analisis Laporan Keuangan dengan Model Springate dalam Memprediksi Potensi Kebangkrutan Perusahaan Pertambangan Sub Sektor Batu Bara yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 24

Pengaruh Implementasi International Pasient safety Goals (IPSG) terhadap kinerja perawat di ruang rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan

0 1 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Akreditasi Joint Commission International (JCI) - Pengaruh Implementasi International Pasient safety Goals (IPSG) terhadap kinerja perawat di ruang rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 33

Pengaruh Implementasi International Pasient safety Goals (IPSG) terhadap kinerja perawat di ruang rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 21

Pengaruh Peranan Audit Internal Dan Budaya Organisasi Terhadap Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Medan

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Audit Internal 2.1.1.1. Definisi Audit Internal - Pengaruh Peranan Audit Internal Dan Budaya Organisasi Terhadap Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, M

0 0 41

Pengaruh Peranan Audit Internal Dan Budaya Organisasi Terhadap Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Medan

0 1 13

Analisis Rasio Keuangan Untuk Memprediksi Financial Distress Pada Perusahaan Garmen Dan Tekstil Yang Terdaftar Di Bei Dengan Menggunakan Metode Altman’s Z-Score

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Analisis Laporan Keuangan - Analisis Rasio Keuangan Untuk Memprediksi Financial Distress Pada Perusahaan Garmen Dan Tekstil Yang Terdaftar Di Bei Dengan Menggunakan Metode Altman’s Z-Score

0 0 19

B. Industri Keramik, Porselen dan Kaca - Pengaruh Kualitas Audit dan Auditor Tenure terhadap Earnings Management pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 1 27