Studi Konservasi dengan Konsep Pendekata
• S S p p e e c c t t r r a a merupakan Jurnal Ilmiah
Populer Fakultas Teknik Sipil
dan Perencanaan ITN Malang memuat karangan asli dari para
penyumbang, baik dari dalam
maupun dari luar lingkungan
fakultas.
• Karangan dapat ditulis bahasa Indonesia maupun dalam bahasa
Inggris. • Semua grafik, peta, dan gambar lain
Pembina yang diperlukan dalam karangan
Dekan FTSP ITN Malang disebut gambar dan diberi nomor
dengan simbol angka Arab diikuti Pemimpin Umum / Penanggungjawab Dr. Ir. Kustamar, MT.
dengan judul.
• Semua tabel dan daftar yang Redaktur Pelaksana diperlukan dalam karangan disebut
Ir. Y. Setyo Pramono, MT. tabel dan diberi nomor dengan
simbol angka Arab diikuti dengan Staf Redaksi Dr. Ir. Lalu Mulyadi, MT. judul yang ditulis di atas setiap tabel.
Dr. Ir. Ibnu Sasongko, MT. • Semua foto dalam karangan tetap
Dr. Ir. Hery Setyobudiarso, MSc. disebut foto dan diberi nomor dengan
Ir. Ibnu Hidajat P.J., MT. simbol angka Arab diikuti dengan
Ir. J. Pradono de Deo, MT.
judul yang ditulis di bawah setiap foto. Alamat Redaksi Gedung FTSP Lt. II ITN Malang
Jl. Bend. Sigura-gura No. 2 Malang Telepon: (0341) 551431 Pes. 212 • Dewan Redaksi berhak menolak
HAK DEWAN REDAKSI
Facsimile: (0341) 553015 E-mail: [email protected]
suatu karangan yang kurang memenuhi syarat setelah meminta
pertimbangan Dewan Redaksi
dan/atau Tenaga Ahli.
S S p p e e c c t t r r a a tetap senantiasa mengupas
• Dewan Redaksi dapat menyesuaikan
keilmuan bidang teknik sipil dan
bahasa dan/atau istilah tanpa
perencanaan. Dengan keinginan
mengubah isi dan pengertiannya
untuk terbit rutin secara berkala
dengan tidak memberi tahu kepada
setiap tengah warsa, maka
Penulis, apabila dipandang perlu untuk mengubah isi karangan.
pengembangan wacana ilmiah
• Karangan yang dimuat dalam jurnal
ini akan tetap kami jaga. Semoga
ini menjadi hak Fakultas Teknik Sipil
penampilan S S p p e e c c t t r r a a senantiasa
dan Perencanaan ITN Malang,
memuaskan para Pembaca semua.
sehingga penerbitan kembali oleh siapapun harus meminta ijin Dewan
S S p p e e c c t t r r a a
Redaksi.
Nom or 19 Volum e X Januar i 2012
Studi Konservasi dengan Konsep Pendekatan Vegetatif Guna Mengatasi Kekritisan Lahan pada Sub DAS Brantas Hulu di Wilayah Kota Batu
Endro Yuwono
Nilai-nilai Vernakular pada Arsitektur Masyarakat Wanukaka, Sumba Barat
Suryo Tri Harjanto
Pemberdayaan SDM dalam Pemanfaatan Sampah Basah sebagai Pupuk Cair di RW 08 Kelurahan Sukun Kecamatan Sukun Kota Malang
Harimbi Setyawati ; Dwi Ana Anggorowati ; Mochtar Asroni ; Sanny Anjarsari
Evaluasi Penentuan Titik Konjugasi pada Foto Stereo dengan Menggunakan Metode Area-Based Image Matching
Leo Pantimena
Analisis Pemilihan Konstruksi Kuda-Kuda Baja Bentang Besar
Munasih
Daur Ulang Kertas Pembungkus Rokok sebagai Bahan Bakar Briket dalam Menjaga Kesehatan
Candra Dwiratna Wulandari ; Erni Junita Sinaga
Pemanfaatan Citra NOAA-AVHRR untuk Penentuan Suhu Permukaan Laut Guna Prediksi Daerah Potensi Penangkapan Ikan
Agus Darpono
Studi Konservasi Vegetatif Endro Yuwono
STUDI KONSERVASI DENGAN KONSEP PENDEKATAN VEGETATIF GUNA MENGATASI KEKRITISAN LAHAN PADA SUB DAS BRANTAS HULU DI WILAYAH KOTA BATU
Endro Yuwono
Dosen Teknik Sipil FTSP ITN Malang
ABSTRAKSI
Wilayah Kota Batu merupakan salah satu daerah tangkapan hujan dari Sub DAS Brantas Hulu dengan luas wilayah sekitar 17.192,84 ha. Meningkatnya kerusakan fisik terjadi akibat adanya perubahan tata guna lahan yang berdampak pada menurunnya fungsi hidrologis, sehingga apabila terjadi hujan secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya erosi. Berdasarkan kondisi tersebut, studi ini menganalisis seberapa besar laju erosi, besaran erosi, dan tingkat bahaya erosi yang terjadi pada daerah tersebut. Metode yang digunakan dalam menganalisis besarnya laju erosi adalah metode USLE. Pengolahan data menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) karena dapat memudahkan dalam analisis sebaran dan pengelompokan data. Dari hasil analisis akan didapatkan Peta Tingkat Bahaya Erosi. Studi ini juga menganalisis tingkat kekritisan lahan dengan pendekatan metode infiltrasi yang berpedoman pada ketentuan yang ada, khususnya pedoman dari Departemen Kehutanan tahun 1998. Dari hasil analisis tersebut akan didapatkan Peta Kekritisan Lahan yang terjadi di daerah studi. Setelah dilaksanakannya analisis laju erosi dan kekritisan lahan, selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk melaksanakan konservasi vegetatif pada daerah studi. Usaha pendekatan konservasi vegetatif dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) contoh tanaman yang ditinjau dari segi ekonomis, hidrologis, dan sosial budaya, yaitu: tanaman apel, durian, rambutan, dan mangga. Hasil analisis tersebut merupakan rekomendasi untuk konservasi vegetatif, sehingga diharapkan dapat mengatasi kekritisan lahan yang terjadi dan dapat mengurangi nilai laju erosi yang terlalu besar.
Kata Kunci: Erosi, Kekritisan Lahan, Konservasi Vegetatif.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sub DAS Brantas Hulu merupakan sebagian kecil daerah tangkapan hujan dari DAS Brantas yang terletak di wilayah Kota Batu dan sekitarnya dengan luas sekitar 17.192,84 Ha. Perkembangan dan pertumbuhan
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 1-16
penduduk yang semakin meningkat berdampak pada menyusutnya areal hutan di Sub DAS Brantas Hulu. Perubahan sistem yang semula tertutup (hutan dengan penutupan kanopi yang tinggi) sebagai daerah tangkapan hujan menjadi sistem terbuka (pemukiman dan penggunaan lahan pertanian hortikultura) mengakibatkan perubahan sifat fisik tanah yang berdampak pada menurunnya fungsi hidrologi dari sistem tersebut. Apabila terjadi hujan secara terus-menerus pada kondisi tersebut, maka akan timbul bencana alam baik banjir, tanah longsor, erosi, dan kekeringan di musim kemarau.
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka perlu dilakukan upaya konservasi/pemulihan lahan di wilayah Sub DAS Brantas Hulu untuk mencegah penurunan fungsi DAS secara drastis dengan cara vegetatif. Cara vegetatif didasarkan pada peranan tanaman, dimana tanaman- tanaman tersebut mempunyai peranan penting untuk mengurangi erosi.
Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari studi ini adalah menetapkan besar laju erosi yang terjadi dan menyusun konsep konservasi lahan guna mengurangi daerah lahan kritis yang terjadi di daerah studi.
Batasan Masalah
Dalam studi ini untuk mencapai kesempurnaan penyelesaian masalah perlu diadakan pembatasan masalah, yaitu sebagai berikut:
a. Menghitung tinggi curah hujan rata-rata daerah.
b. Melakukan analisis perkiraan erosi lahan untuk penetapan indeks erosi.
c. Menentukan arahan konservasi vegetasi di Sub DAS Brantas Hulu di wilayah Kota Batu.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan batasan masalah yang ada tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah studi, yaitu: berapa besar laju erosi, variasi kekritisan lahan, dan arahan konservasi di wilayah studi?
KEADAAN DAERAH STUDI
Secara geografis Sub DAS Brantas Hulu terletak di 115 o 17’0’’ -
118 o 19’0’’ BT dan 7 55’30’’ - 7 57’30’’LS, dengan luas 17.343,77 ha dan mempunyai luasan DAS (Catchment Area) seluas 17.192,84 ha.
Secara administratif di Kota Batu terdapat 3 wilayah kecamatan dan
24 desa/kelurahan dengan batas-batas administratif sebagai berikut: • Sebelah Utara : Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan
Studi Konservasi Vegetatif Endro Yuwono
• Sebelah Timur : Kecamatan Karangploso dan Singosari
Kabupaten Malang
• Sebelah Selatan : Kecamatan Dau dan Wagir Kabupaten Malang • Sebelah Barat : Kecamatan Pujon Kabupaten Malang
METODOLOGI STUDI Analisis Hidrologi
Analisa curah hujan rerata daerah menggunakan metode Poligon Thiessen, yaitu:
Dimana: R
= Curah hujan daerah (mm) R 1 ,R 2 ,…R n = Curah hujan ditiap titik pengamatan dan n adalah jumlah titik
pengamatan (mm) A 2
1 ,A 2 ,…A n = Bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan (km )
Analisis Erosi Erosivitas Hujan (R)
Indeks erosivitas hujan dihitung dengan persamaan berikut:
E.I = E.I . 10 30 -2 30
E 1,075 = 14,347 . R I 30 =
Dimana: E.I 30 = Indeks erosivitas hujan (ton cm/ha jam) E = Energi kinetic curah hujan (ton m/ha cm)
R = Curah hujan bulanan (mm/bln) I 30 = Intensitas hujan maksimum selama 30 menit
(R /24)*(24/Durasi Hujan) 2/3 max
Faktor Kemiringan Lereng (LS)
Dari penelitian-penelitian yang ada, diketahui bahwa proses erosi dapat terjadi pada lahan dengan kemiringan lebih besar dari 2%. Faktor LS dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
Dalam satuan metrik LS = Untuk kemiringan lereng lebih besar dari 20%:
LS = (L/22,10) 0,6 . (S/9) 1/4 Dimana:
L = Panjang lereng (m) S
= Kemiringan lereng (%)
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 1-16
Tabel 1 Nilai Faktor Kemiringan Lereng (LS)
nilai S
Faktor Konservasi Tanah dan Pengelolaan Tanaman (CP)
1. Faktor Indeks Konservasi Tanah (Faktor P) Nilai indeks konservasi tanah dapat diperoleh dengan membagi kehilangan tanah dari lahan yang diberi perlakuan pengawetan terhadap tanah tanpa pengawetan.
2. Faktor Indeks Pengelolaan Tanaman (Faktor C) Merupakan angka perbandingan antara erosi dari lahan yang ditanami sesuatu jenis tanaman dan pengelolaan tertentu dengan lahan serupa dalam kondisi dibajak tetapi tidak ditanami.
Tingkat Erosi Tanah
Metode pendugaan tingkat erosi tanah mengacu pada perhitungan dengan metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Rumus utama perhitungan laju erosi adalah :
A = R x K x LS x CP Dimana :
A -1 = Jumlah tanah yang hilang (ton ha tahun ) R
= erosivitas hujan bulanan K
= Faktor erodibilitas tanah (Nomograph) LS = Faktor lereng CP = Faktor tanaman dan pengelolaan lahan
Pendugaan Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Tabel 2 Kriteria Erosi
Kriteria Erosi
Erosi (ton/ha/tahun)
Sangat Ringan
Sangat Berat
Studi Konservasi Vegetatif Endro Yuwono
Tabel 3 Pedoman penetapan nilai TSL untuk tanah-tanah di Indonesia
Metode Identifikasi Lahan Kritis
Metode identifikasi lahan kritis telah dikembangkan sesuai dengan permasalahan dan tujuan rencana rehabilitasi lahan yang akan dilakukan, antara lain meliputi: perhitungan tingkat bahaya erosi, penilaian lahan kritis, penilaian kemampuan penggunaan lahan, dan penilaian aspek ekonomi.
Topografi
Dari peta topografi diubah menjadi peta kemiringan lereng dan dapat ditransformasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat infiltrasi dengan pedoman sebagai berikut:
Tabel 4. Klasifikasi Kemiringan Lereng dan Tingkat Infiltrasi
Klas
Kemiringan
Transformasi Nilai Faktor
Deskripsi lerengan
Sangat Curam
Sumber : Dep.Kehutanan (1998)
Tanah
Dari pengujian tanah dan geohidrologi selanjutnya dilakukan transformasi berdasarkan hubungannya dengan infiltrasi dan diklasifikasikan pada tabel 5.
Tabel 5 Nilai Permeabilitas dan Infiltrasi
Klas Deskripsi Permebilitas Transformasi Nilai Faktor (cm/jam) Infiltrasi Notasi
I Cepat
II Agak Cepat
IV Agak Lambat
0,5 - 2,0
V Lambat
Sumber : Dep.Kehutanan (1998)
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 1-16
Jika informasi jenis tanah pada suatu daerah tertentu sulit didapat, maka dapat dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisa tekstur tanahnya.
Tabel 6 Nilai Kapasitas Infiltrasi
Laju Infiltrasi
Klas Tekstur Tanah
(mm/jam)
21.01 (mm/hari) 505
Pasir (Sand)
Pasir berlempung (Loamy sand)
Lempung berpasir (Sandy loam)
Lempung (Loam)
Lempung berdebu (Silt loam)
Lempung liat berpasir (Sandy clay loam)
Lempung berliat (Clay loam)
Lempung liat berdebu (Silty clay loam)
Liat berpasir (Sandy clay)
Liat berdebu (Silty clay)
Liat (Clay)
Sumber: (Rawls et al, 1982, dalam Kustamar, 2010)
Curah Hujan
Nilai RD (hujan infiltrasi) dalam kaitannya dengan potensi infiltrasi dapat diklasifikasikan pada tabel berikut.
Tabel 7 Klasifikasi Nilai RD dari Hujan
Klas
Deskripsi
“Nilai hujan infiltrasi” RD
Notasi
(Hujan Tahunan x Jumlah hari Hujan/100)
I Rendah
II Sedang
III
Agak Besar
IV Besar
V Sangat Besar
Sumber : Dep.Kehutanan (1998)
Tipe Penggunaan Lahan
Tabel 8 Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Tingkat Infiltrasi Aktual
Tipe Penggunaan Lahan
A Hutan Lebat
I Besar
B Hutan Produksi, Perkebunan Infiltrasi
II Agak besar
C Semak, Padang Rumput
III
Sedang
IV Agak Kecil
D Hortikultura (landai)
E Pemukiman, Sawah
V Kecil
Klasifikasi Kondisi Daerah Resapan
Kriteria yang dipakai untuk mengklasifikasi kondisi daerah resapan adalah sebagai berikut (Departemen Kehutanan, 1998): • Kondisi Baik, jika: nilai “infiltrasi aktual” lebih besar dari nilai “infiltrasi potensial”.
Studi Konservasi Vegetatif Endro Yuwono
• Kondisi Normal Alami, jika: nilai “infiltrasi aktual” sama dengan nilai “infiltrasi potensial”-nya. • Kondisi Mulai Kritis, jika: nilai “infiltrasi aktual” turun setingkat dari nilai “infiltrasi potensial”-nya. • Kondisi Agak Kritis, jika: nilai “infiltrasi aktual” turun dua tingkat dari nilai “infiltrasi potensial”-nya. • Kondisi Kritis, jika: nilai “infiltrasi aktual” turun tiga tingkat dari nilai “infiltrasi potensial”-nya. • Kondisi Sangat Kritis, jika: nilai “infiltrasi” berubah dari sangat besar menjadi sangat kecil.
Secara grafis, Model Identifikasi Lahan Kritis versi RLKT tersebut diilustrasikan pada Gambar 1.
Sumber: Departemen Kehutanan (1998).
Gambar 1 Skema Identifikasi Lahan Kritis Model RLKT
Konservasi Lahan Metode Vegetatif
Dalam konservasi metode vegetatif, terdapat 2 (dua) mekanisme yang dimanfaatkan yaitu melalui proses intersepsi dan proses infiltrasi.
1. Metode Kesesuaian Lahan Penilaian kesesuaian lahan dibedakan menurut tingkatan kelas, yaitu: S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal) dan N (tidak sesuai).
2. Padanan Kesesuaian Lahan Padanan kesesuaian lahan digunakan jika tidak tersedia data/ karakteristik lahan.karena kriteria kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman, dihubungkan dengan data kualitas/karakterristik
lahan dari suatu wilayah yang bersangkutan.
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 1-16
3. Persyaratan Tumbuh Tanaman Persyaratan tumbuh tanaman lainnya adalah yang tergolong sebagai kualitas lahan media perakaran. Media perakaran ditentukan oleh drainase, tekstur, struktur dan konsistensi tanah serta kedalaman efektif
Gambar 2 Diagram Alir Studi Evaluasi Lahan
Kualitas Lahan dan Karakteristik Lahan
Menurut FAO (1976;1983) dan PCAARD (1986) beberapa kualitas lahan yang berhubungan dan/atau berpengaruh terhadap hasil atau produksi tanaman, antara lain terdiri dari:
• Kondisi untuk pertumbuhan (tanah, iklim). • Kondisi sifat fisik tanah untuk diolah. • Resistensi terhadap erosi.
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur dan diestimasi. Beberapa karateristik lahan, antara lain: kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, dan temperatur.
Dalam metodologi ini dijelaskan mengenai urutan-urutan pengerjaan penelitian yang dimulai dari pengumpulan data, kemudian dihitung besarnya curah hujan rata-rata daerah untuk menghitung indeks erosivitas. Setelah didapatkan nilai indeks erosivitas, dilanjutkan perhitungan laju erosi dengan menggunakan metode USLE melalui proses overlay Peta Tata Guna Lahan, Peta Jenis Tanah, Peta Kemiringan Lereng, dan Peta Administratif pada program Arcview GIS. Keluaran data dari proses overlay metode USLE adalah Peta Tingkat Bahaya Erosi yang sudah dikelaskan berdasarkan nilai laju erosinya.
Analisis kekritisan lahan dilakukan melalui proses overlay antara Peta Kemiringan Lereng, Peta Tata Guna Lahan, Peta Jenis Tanah, dan Data Curah Hujan yang sudah diberi notasi-notasi tertentu berdasarkan pedoman dan ketentuan yang ada. Keluaran data dari proses overlay dengan menggunakan metode infiltrasi adalah Peta Kekritisan Lahan.
Studi Konservasi Vegetatif Endro Yuwono
Setelah diadakan perhitungan tyersebut di atas, selanjutnya adalah melakukan analisis kesesuaian lahan untuk melakukan usaha konservasi vegetatif pada daerah studi. Dalam proses overlay ini data yang digunakan antara lain Data Curah Hujan, Syarat Tumbuh Tanaman, Peta Jenis Tanah, Tata Guna Lahan, Kemiringan Lereng, dan Tingkat Bahaya Erosi. Setelah melalui proses overlay, akan didapatkan Peta Kesesuaian Lahan pada tanaman-tanaman tertentu, dimana dalam studi ini digunakan contoh tanaman apel, durian, rambutan, dan manga.
Berdasarkan dari hasil analisis perhitungan tingkat bahaya erosi, kekritisan lahan, serta kesesuaian lahan akan didapatkan rekomendasi hasil untuk dapat melaksanakan konservasi vegetatif pada daerah studi, sehingga dengan harapan dapat mengatasi kekritisan lahan yang terjadi dan dapat mengurangi nilai laju erosi yang terlalu besar.
HASIL DAN PEMBAHASAN Curah hujan Rerata Daerah
Dalam studi ini digunakan data curah hujan dari 7 stasiun pengamatan hujan dengan rentang waktu 15 tahun, yaitu antara tahun 1993 – 2008. Besarnya curah hujan rerata daerah dihitung dengan menggunakan cara Poligon Thiessen.
Tabel 9 Luas Catchment Area untuk Masing-masing Stasiun Hujan
No
Areal
Nama Stasiun
Luas Catchment (km 2 )
1 A1 Sta. Pacet
2 A2 Sta. Trawas
3 A3 Sta. Batu
4 A4 Sta. Pujon
5 A5 Sta. Kedungrejo
6 A6 Sta. Wagir
7 A7 Sta. Kayutangan
Tabel 10 Hasil Perhitungan Hujan Rerata Daerah Metode Thiessen
Rata-rata Tahun
Stasiun Hujan
Pacet Trawas Batu Pujon Kedungrejo Wagir Kayutangan (R mm)
Sumber: Hasil Perhitungan
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 1-16
Kondisi Lahan Data Tata Guna Lahan
Tabel 11 Tata Guna Lahan Wilayah Sub DAS Brantas Hulu Wilayah Kota Batu
No
Tata Guna Lahan
Area (ha) Nilai C
Nilai P
Nilai CP
3 Padang Rumput/Tanah kosong
5 Sawah Irigasi
6 Sawah Tadah Hujan
7 Semak Belukar
8 Tanah Ladang
Gambar 4. Tata Guna Lahan di Daerah Studi
Gambar 3 Tata Guna Lahan di Daerah Studi
Data Jenis Tanah
Tabel 12 Jenis Tanah Sub DAS Brantas Hulu di Wilayah Kota Batu
Legenda Tanah
Kode
Jenis
Luas (ha)
Tekstur Tanah K
1 Andic dystrudepts (AD)
0.170 2 Aquic humic dystrudepts (AHD)
Inceptisol
1804.87 Lempung berliat
2629.34 Lempung berpasir 0.290 4 Aquic Hapludolls (AH)
Inceptisol
4294.54 debu kasar berlempung 0.060 5 Aquic dystrudepts (AD2)
mollisol
0.170 7 Typic hapludands (TH)
Inceptisol
1709.04 lempung berliat
2493.64 lempung liat berpasir 0.165 8 Typic hydrudands (TH1)
Andisol
0.165 10 Ruptic alfic dystrudepts (RAD)
Andisol
3084.48 pasir berlempung
0.175 11 Humic psammentic dystrudepts (HPD) Inceptisol
Inceptisol
97.29 Lempung berliat
0.175 12 Andic hapludolls (AH2)
493.67 Lempung berliat
mollisol
579.98 debu halus berliat 0.060
Sumber: IPKP Wilayah Sungai Kali Brantas
Studi Konservasi Vegetatif Endro Yuwono
Gambar 4 Data Jenis Tanah pada Sub Das Brantas Hulu Wilayah Kota Batu
Kemiringan Lereng
Dari hasil analisa pada wilayah studi Sub Das Brantas Hulu di Wilayah Kota Batu didapatkan 3 kelas untuk kemiringan lereng, yaitu: >8 – 15%, >15 – 40%, >40 – 80%. Gambar 6 menunjukkan kemiringan lereng yang terjadi pada wilayah studi.
Gambar 5 Kemiringan lereng pada wilayah studi
Analisis Laju Erosi Analisa Indeks Erosivitas (R)
Hasil perhitungan Indeks Erosivitas (R), terdapat pada tabel di bawah ini:
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 1-16
Tabel 13 Indeks Erosivitas Hujan Wilayah Sub DAS Brantas Hulu di wilayah Kota Batu
BULAN 1.075 R Rmax R
Durasi Hujan
ton. M/ha.Cm
(mm/jam)
ton. M/ha.Jam
18.71 Total Tahunan 1916.07 4107.48 2889.10
Sumber: Hasil perhitungan
Perhitungan Laju Erosi
Dengan menggunakan metode USLE, didapatkan hasil perhitungan pada tabel di bawah ini:
Tabel 14 Contoh Perhitungan Metode USLE
FAKTOR_C FAKTOR_P FAKTOR_CP K R AREA_HA A EROSI JNIS
ID LERENG PJG_M
LS
LAND
1 >(40-60) 142.083 57.326 18.544 1 >(15-40) 75.189 25.345 9.386 Tanah Ladang Hutan
5.071 402.161 berat 4.294 244.268 berat 1 >(40-60) 87.967 57.326 18.544
5.152 213.118 berat 9.056 203.525 berat 4 >(15-40) 68.319 17.745 6.528 1 >(40-60) 28.068 57.326 18.544 Tanah Ladang Pemukiman
1 >(40-60) 25.580 57.326 18.544 Semak Belukar 1 >(40-60) 60.212 57.326 18.544 Semak Belukar
10.018 214.425 berat 3.719 236.528 berat 6 >(15-40) 43.752 25.935 8.495 6 >(15-40) 87.857 25.935 8.495
4.729 255.432 berat 6 >(8-15)% 62.342 11.485 5.475
4.589 325.204 berat 3.048 206.664 berat 7 >(15-40) 28.602 18.783 6.953 6 >(8-15)% 76.196 11.485 5.475
Tanah Ladang
Tanah Ladang Tanah Ladang
6.602 182.770 berat 2.958 312.548 berat 7 >(40-60) 108.626 45.273 12.050 7 >(15-40) 55.185 18.783 6.953 Tanah Ladang Hutan
Tanah Ladang Tanah Ladang
3.870 228.791 berat 1.015 334.511 berat 8 >(40-60) 29.817 41.775 9.906 9 >(8-15)% 92.759 8.236 4.866
8.135 333.966 berat 2.629 208.795 berat 10 >(15-40) 72.986 25.836 8.567 10 >(40-60) 44.718 47.486 12.314 Tanah Ladang Hutan
9.406 231.783 berat 10 >(15-40) 31.434 25.836 8.567
Tanah Ladang
Tanah Ladang Tanah Ladang
4.628 387.674 berat 2.851 218.372 berat 11 >(15-40) 92.759 33.674 9.037 10 >(8-15)% 80.373 12.548 6.050
5.030 421.967 berat 3.269 239.134 berat 13 >(15-40) 111.083 20.985 10.561 Semak Belukar 11 >(8-15)% 59.264 12.367 7.061 Tanah Ladang
Tanah Ladang Tanah Ladang
5.878 385.479 berat 3.023 322.515 berat 3.815 377.239 berat 13 >(15-40) 60.058 20.985 10.561 Tanah Ladang 13 >(15-40) 63.553 20.985 10.561 Tanah Ladang
13 >(15-40) 68.582 20.985 10.561 Tanah Ladang
5.706 472.622 berat 2.075 212.158 berat 13 >(40-60) 80.762 41.477 13.297 13 >(15-40) 75.033 20.985 10.561 Tanah Ladang Hutan
10.028 423.553 berat 3.172 339.496 berat 13 >(40-60) 250.393 41.477 13.297
Sumber : Hasil Perhitungan
Hutan
1.120 457.535 berat
Studi Konservasi Vegetatif Endro Yuwono
Tabel 15 Rekapitulasi Perhitungan Laju Erosi di Daerah Studi
ID NAMA_DESA
Luas Lahan (Ha)
SR
Tingkat Bahaya Erosi (ha) R S B SB
1 Tulungrejo
765.41 283.46 1,014.63 1,580.80 2,094.89 2 Torongrejo 3 Beji
- 95.24 - 65.64 - 63.60 - -
4 Kel.Sisir
6 Bumiaji 5 Sidomulyo
8 Punten 9 Kel.Temas
171.10 40.89 240.81 15.34 83.89 24.64 - 55.52 10 Giripurno
- 11 Pandanrejo 12 Mojorejo
13 Tlekung 14 Sumberejo
16 Kel.Songgokerto
18 Pesanggrahan 17 PERHUTANI
21 Kel.Ngaglik 20 Oro-oro Ombo
23 Gunungsari 24 Dadaprejo
Ket : SR : Sangat Ringan. R : Ringan, S : Sedang, B : Berat, SB : Sangat Berat
Tabel 16 Prosentase Tingkat Bahaya Erosi di wilayah Kota Batu
Tingkat
Luas Lahan Prosentase
Bahaya Erosi
(ha)
Sangat Berat
Sangat Ringan
Tulungrejo Sumbergondo
Bulukerto
Bumiaji
Giripurno Sumberejo Sidomulyo Pandanrejo Kel.Songgokerto Kel.Sisir
Kel. Temas Kel.Ngaglik
Torongrejo
PERHUTANI
Oro-oro Ombo Junrejo Beji Mojorejo
Tlekung Dadaprejo
PETA TINGKAT BAHAYA EROSI
Batas Administrasi ringan berat
sangat berat sangat ringan sedang
VEGETATIF GUNA MENGATASI KEKRITISAN LAHAN PADA STUDI KONSERVASI DENGAN KONSEP PENDEKATAN
SUB DAS BRANTAS HULU DI WILAYAH KOTA BATU
Gambar 6 Peta Kelas Erosi pada Wilayah Studi
Analisa Kekritisan Lahan
Berdasarkan hasil analisa kekritisan lahan, beberapa kondisi lahan yang mulai mengalami kerusakan dimana kondisi tersebut sangat mungkin untuk dilakukan usaha konservasi.
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 1-16
Tabel 17 Besaran Lahan Kritis pada Daerah Studi
ID NAMA_DESA
Luas Lahan (Ha)
Lahan Kritis (ha)
NA 1 Tulungrejo
46.12 22.63 4 Kel.Sisir
28.67 74.14 134.39 7.60 9 Kel.Temas
17.79 - 72.14 4.02 14 Sumberejo
3.87 1,071.86 66.27 243.95 16 Kel.Songgokerto
63.20 2.91 7.49 8.49 20 Oro-oro Ombo
97.70 92.58 103.14 77.46 21 Kel.Ngaglik
Ket : AK : Agak Kritis, B : Baik, MK : Mulai Kritis, NA : Normal Alami
Tabel 18 Prosentase Luas Lahan Kritis
Lahan Kritis
Luas Lahan
Agak Kritis
Mulai Kritis
Normal Alami
Agak Kritis Mulai Kritis
Normal Alami Baik
1:2000 SKALA
Gambar 7 Peta Kekritisan Lahan di wilayah Kota Batu
Studi Konservasi Vegetatif Endro Yuwono
KESIMPULAN DAN SARAN Rekomendasi Hasil Studi Untuk Usaha Konservasi Vegetatif
Dari hasil analisis kesesuaian lahan, upaya untuk mengatasi kekritisan lahan yang terjadi, dilakukan dengan pendekatan konservasi vegetatif, yaitu menggunakan 4 jenis contoh tanaman yang didasarkan pada syarat-syarat tumbuh tanaman yang cocok. Tanaman yang dipakai dalam studi ini adalah tanaman apel, durian, rambutan, dan mangga. Pada gambar 9, 10, 11, dan
12 disajikan peta kesesuaian lahan untuk 4 (empat) tanaman tersebut. Hasil studi kesesuaian lahan ini merupakan rekomendasi untuk bisa mengatasi kekritisan lahan yang terjadi pada lokasi studi dan dapat mengurangi laju erosi yang terlalu besar, dimana laju erosi sangat berat terjadi di Desa Tulungrejo dengan variasi kekritisan AK.
WN
PETA KESESUAIAN LAHAN S2 (Cukup Sesuai) S1 (Sangat Sesuai) N (Tidak Sesuai)
S3 (Sesuai Marginal)
PETA KESESUAIAN LAHAN
TANAMAN APEL SKALA 1:2000
S1 (Sangat Sesuai)
S2 (Cukup Sesuai)
S3 (Sesuai Marginal) N (Tidak Sesuai) TANAMAN DURIAN SKALA 1:2000
Gambar 8 Gambar 9 Kesesuaian Lahan Tanaman Apel
Kesesuaian Lahan Tanaman Durian
Tulungrejo
Sumbergondo Tulungrejo Sumbergondo
Bulukerto
Bulukerto
Gunungsari Punten
Bumiaji
Gunungsari Punten
Bumiaji
Sumberejo Sidomulyo
Pandanrejo
Giripurno
Sumberejo Sidomulyo Pandanrejo Giripurno
Kel.Songgokerto Kel.Sisir Kel.Songgokerto Kel.Sisir Pesanggrahan
Pesanggrahan Kel.Ngaglik Kel. Temas PERHUTANI
Kel. Temas Kel.Ngaglik
Junrejo Oro-oro Ombo Beji Mojorejo PERHUTANI Mojorejo
Oro-oro Ombo Tlekung Junrejo Dadaprejo
PETA KESESUAIAN LAHAN MANGGA
PETA KESESUAIAN LAHAN RAMBUTAN Cukup Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Batas Administratif
STUDI KONSERVASI DENGAN KONSEP PENDEKATAN
Tidak Sesuai Sangat Sesuai Cukup Sesuai Batas Administratif
VEGETATIF GUNA MENGATASI KEKRITISAN LAHAN PADA STUDI KONSERVASI DENGAN KONSEP PENDEKATAN SUB DAS BRANTAS HULU DI WILAYAH KOTA BATU Sesuai Marginal
VEGETATIF GUNA MENGATASI KEKRITISAN LAHAN PADA SUB DAS BRANTAS HULU DI WILAYAH KOTA BATU
Sesuai Marginal
Gambar 10 Gambar 11 Kesesuaian Lahan Tanaman Rambutan
Kesesuaian Lahan Tanaman Mangga
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 1-16
Saran
Apabila masyarakat setempat mempunyai masukan untuk mengganti tanaman yang sesuai atau cocok dari hasil analisis kesesuaian lahan pada daerah studi, hendaknya tetap mengacu pada syarat-syarat tumbuh tanaman serta dapat memenuhi unsur-unsur konservasinya.
Beberapa rekomendasi untuk tanaman pengganti yang dapat ditanam antara lain: Duku, Kakao, Anggur, Belimbing, Cempedak, Jambu Biji, Kesemek, Klengkeng, Salak, Sawo, Sirsak, dan Sukun.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan RI. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik
Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta.
Departemen Pertanian, BBSDLP Litbang. (tanpa tahun). Daftar Nama Komoditas. Entry from: http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id/tamp_komoditas.php. 12 Pebruari 2011.
Harto, S. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: CV. Akademika. Kustamar. 2010. Konservasi Sumber Daya Air di Kota Batu. Jogjakarta: Jejak Kata
Kita. Lordi. 2008. Pembuatan Kelas Lereng (Arcview). Entry from: http://www.banata.net/2011/03/10/pembuatan-kelas-lereng-arcview. 12 April 2011
Nitiharjo, Ismu Galih. 2009. Kajian Daerah Rawan Erosi pada Sub Daerah Aliran Sungai Lesti. Skripsi. Malang: Tidak Diterbitkan Prahasta, Eddy. 2002. Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView. Bandung: CV.Informatika. Syarief, Roestam. 2002. Konservasi Lahan. Bandung: Tidak diterbitkan. Soemarto, CD. 1987. Hidrologi Teknik. Jakarta: Erlangga. Sosrodarsono, S. 2003. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Utomo, WH. 1994. Erosi dan Konservasi Lahan. Malang: IKIP Malang.
Nilai Vernakular Arsitektur Wanukaka Suryo Tri Harjanto
NILAI-NILAI VERNAKULAR PADA ARSITEKTUR MASYARAKAT WANUKAKA, SUMBA BARAT
Suryo Tri Harjanto
Dosen Arsitektur FTSP ITN Malang
ABSTRAKSI
Indonesia dikenal dengan negara banyak pulau. Masing-masing pulau memiliki bermacam suku. Masing-masing suku tersebut menempati suatu lokasi yang berbeda. Ada yang di pinggir sungai, di pegunungan, maupun di tepi pantai, dan sebagainya. Masing-masing suku tersebut juga memiliki adat-istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup yang berbeda yang sangat mempengaruhi arsitektur yang dihadirkannya. Dengan demikian, masing-masing daerah tersebut memiliki arsitektur yang unik dan memiliki ciri tersendiri. Arsitektur masyarakat Wanukaka di Sumba Barat merupakan salah satu khasanah warisan arsitektur yang ada di Indonesia. Sebagaimana arsitektur yang ada di Indonesia (nusantara) lainnya, arsitektur masyarakat Wanukaka memiliki tipologi dan pola tata massa berupa perkampungan yang mirip dengan arsitektur wilayah lain di Indonesia. Namun demikian, mirip bukan berarti sama. Untuk itu, tulisan ini membahas beberapa pendapat tentang arsitektur vernakular beserta aspek-aspeknya yang kemudian digunakan untuk mengkaji arsitektur masyarakat Wanukaka Sumba Barat, sehingga akan didapat sebuah simpulan aspek-aspek vernakular apa yang sangat berpengaruh terhadap hadirnya arsitektur masyarakat Wanukaka tersebut.
Kata Kunci: Vernakular, Arsitektur, Pandangan Hidup.
PENDAHULUAN
Istilah vernakular menurut Jakson (1984) berasal dari kata verna dan native. Verna berarti budak yang lahir di rumah tuannya, sedangkan native berarti penduduk asli yang kehidupannya terbatas pada suatu tempat tertentu. Dari sini kemudian muncul istilah vernakular di bidang arsitektur, yaitu vernacular architecture yang diartikan sebagai arsitektur kedaerahan.
Menurut Rudolvsky (1964), arsitektur vernakular adalah suatu cara yang lahir begitu saja dan kemudian membentuk suatu pola yang dianut bersama menjadi suatu tradisi, sedangkan menurut Paul Oliver’s (1997), nilai-nilai vernakular tidak saja ramah lingkungan dan ekonomis, tetapi juga sesuai dengan sosial dan budaya.
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 17-25
Dalam bukunya ‘House Form and Culture’, Rapoport menyebutkan bahwa bentuk bangunan primitif dan venakular adalah hasil dari keinginan individu maupun kelompok untuk mencapai lingkungan ideal. Karena itu, bentuk tersebut memiliki nilai simbolik dan simbol menjadi sebuah budaya yang berkaitan dengan ide dan perasaan. Pada saat yang sama, bentuk juga dipengaruhi oleh tekanan iklim, pemilihan tempat, bahan yang tersedia, dan teknologi.
Berkaitan dengan tempat tinggal, menurut Waterson (1993), arsitektur tidak sekedar sebagai tempat berlindung, tetapi juga merupakan ruang sosial dan simbolis, dimana keduanya merupakan sebuah pandangan dunia dari penghuni dan penciptanya.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang berpengaruh pada arsitektur vernakular, meliputi: aspek iklim, aspek sosial, aspek ekonomi, aspek budaya, aspek kosmologi, aspek bahan, dan aspek teknologi. Selanjutnya, aspek-aspek tersebut digunakan untuk mengkaji arsitektur tradisional Wanukaka di Sumba Barat.
ARSITEKTUR WANUKAKA SUMBA BARAT
Secara geografis perkampungan masyarakat Wanukaka terletak di pesisir Selatan bagian Barat Pulau Sumba dengan kondisi topografi dataran berbukit dan lembah yang dialiri sungai. Daerah ini memiliki suhu udara yang kering dengan kondisi tanah tergolong subur mengandung lapisan lumpur dan batu kapur.
Masyarakat Wanukaka Sumba Barat memiliki pandangan hidup bahwa kehidupan tidak dapat lepas dari pengaruh roh leluhur, sehingga hal tersebut sangat mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari maupun arsitekturnya.
Pola Tata Massa
Perkampungan masyarakat Wanukaka ditata dengan konsep memusat, yaitu rumah-rumah mengelilingi ruang terbuka yang disebut ‘talora’ (halaman) dan ‘kangatar’ (areal pemakaman). Talora merupakan ruang terbuka yang difungsikan sebagai tempat interaksi sosial, kegiatan budaya, dan ritual keagamaan; sedangkan kangantar merupakan area pemakaman yang di dalamnya terdapat dolmen, pemakaman, monumen tempat penyimpanan mayat, dan beberapa altar. Kangantar ini berupa permukaan tanah yang ditinggikan dan ditopang dengan dinding batu.
Konsep tata massa tersebut merupakan konsep tatanan massa yang terjadi akibat adanya pandangan hidup bagi masyarakat Wanukaka yang menganggap bahwa kehidupan tidak dapat terlepas dari pengaruh roh leluhur. Ruang terbuka tidak sekedar sebagai ruang pengikat massa saja, namun ruang yang berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan komunikasi horisontal antar sesama dan vertikal yaitu manusia yang hidup dengan roh
Nilai Vernakular Arsitektur Wanukaka Suryo Tri Harjanto
leluhur. Tatanan dengan mengelilingi halaman merupakan tatanan yang merespon kondisi iklim setempat. Dengan adanya halaman berarti ada jarak yang cukup antar rumah, sehingga membuat angin dapat leluasa berhembus. Inilah sebuah konsep pendinginan pasif.
Zoning
Secara makro perkampungan Wanukaka dibagi menjadi 2 (dua) daerah. Pertama adalah daerah pusat, yaitu daerah yang digunakan untuk kegiatan bersama (komunal) baik sosial, budaya, dan ritual keagamaan berupa ruang terbuka ( talora) dan area makam (kangantar ) serta kedua daerah tepi, yaitu daerah yang digunakan untuk kegiatan individual dari masing-masing keluarga.
Pembagian ruang ini merupakan cerminan dari pandangan hidup masyarakat Wanukaka yang tidak dapat lepas serta selalu diawasi oleh roh leluhur, sehingga keberadan makam sangatlah penting. Makam merupakan simbol dari masa depan, sedangkan rumah merupakan cerminan dari masa lampau. Makam merupakan simbol kegiatan spiritual dan rumah merupakan simbol kegiatan temporal.
Rumah di Wanukaka dibagi dalam beberapa golongan, yaitu: golongan maramba (kelas atas, pimpinan, atau penguasa), anatoe (kelas menengah), dan humba (pelayan dan pekerja). Perletakan rumah-rumah tersebut ditata dengan konsep hirarkhi yang menunjukkan status sosial penghuninya, yaitu rumah untuk kelas atas posisinya diletakkan di tengah dan pada daerah yang lebih tinggi dekat dengan makam, sedangkan rumah- rumah lainnya mengikuti.
Orientasi
Rumah masyarakat Wanukaka dikelilingi oleh adanya beranda, dimana bagian depan diperuntukkan bagi kaum pria. Beranda depan menghadap ke makam. Menurut kepercayaan mereka kaum pria sebagai kepala rumah tangga ketika keluar rumah dan berada di beranda depan langsung akan menghadap makam yang diyakini sebagai sumber kehidupan.
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 17-25
Sumber: Mross, J. Settlements Of The Cockatoo: From Substance To Style
Gambar 1 Siteplan Perkampungan Prai Goli, Wei Wuli, dan Waikawolu di Wanukaka
Tipologi Rumah
Rumah atau uma di perkampungan Wanukaka dibagi menjadi 2 (dua) tipe, yaitu: Uma Marapu dan Uma Kabalolu.
Umpa Marapu
Uma Marapu adalah rumah bagi golongan kelas atas. Sesuai dengan jenis dan tingkatannya, Uma Marapu dibagi lagi menjadi: (1) Uma Bakul, yaitu rumah leluhur atau rumah pusaka besar; (2) Uma Rato, yaitu rumah pemuka agama; dan (3) Uma Hara, rumah pengadilan tradisional.
Uma atau rumah ini ditopang oleh 4 (empat) tiang utama yang berada di tengah ruang, sehingga memberikan pengaruh dan karakter pada bentuk atap, maupun bentuk dari rumah itu sendiri. Bentuk atap yang menonjol tersebut merupakan cerminan dari status penghuninya.
Uma Kabalolu
Uma Kabalolu berfungsi sebagai rumah keluarga (rumah masyarakat), dimana jika pada Uma Marapu mempunyai 4 (empat) tiang utama sebagai penopang rumah roh, maka pada Uma Kabalolu hanya mempunyai 2 (dua) tiang utama.
Nilai Vernakular Arsitektur Wanukaka Suryo Tri Harjanto
Sumber: Mross, J. Settlements Of The Cockatoo: From Substance To Style
Gambar 2 Jenis Uma Marapu dan Uma Kabalolu
Kedua uma tersebut merupakan tipe rumah panggung yang secara vertikal memiliki hirarkhi makin ke atas makin suci/sakral. Hal ini ditandai dengan pembagian fungsi ruang yang ada, yaitu bagian atas difungsikan sebagai tempat roh, tempat menyimpat pusaka leluhur, dan tempat menyimpan bahan makanan; bagian tengah difungsikan sebagai tempat kegiatan manusia sehari-hari, baik kegiatan temporal maupun spiritual; sedangkan bagian bawah yang berupa kolong dari rumah, difungsikan sebagai tempat hewan piaraan, yang menyimbulkan bagian profan dari rumah.
Rumah panggung dengan pemisahan lantai rumah dari permukaan tanah juga memberikan keuntungan, yaitu rumah terbebas dari panas yang tersimpan di dalam tanah. Disamping itu, angin dapat leluasa berhembus melewati kolong rumah dan memasuki sela-sela lantai, sehingga dapat mengurangi hawa panas dalam bangunan.
Sumber: Mross, J. Settlements Of The Cockatoo: From Substance To Style
Gambar 3 Zoning Vertikal pada Bangunan Rumah (Uma Marapu)
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 17-25
Tata Ruang Dalam
Pola tata ruang dalam, baik pada Uma Marapu maupun Uma Kabalolu menggunakan konsep terbuka tanpa banyak penyekat. Walau terbuka, ruang dibagi dengan sangat tegas, yaitu: bagian kiri dan kanan, bagian depan dan belakang serta bagian tengah. Bagian kiri untuk wanita dan untuk kegiatan sehari-hari; bagian kanan untuk pria dan kegiatan spiritual; bagian depan untuk kegiatan yang bersifat formal; sedangkan bagian belakang untuk kegiatan informal.
Ruang-ruang tersebut mengelilingi ruang tengah (heart) yang berupa ruang perapian dan tempat untuk berdoa, sehingga seperti dalam zoning dan pola tata massa, pola tata ruang dalam juga memiliki pola yang sama, yaitu tepi mengelilingi pusat, ruang dalam seolah-olah merupakan miniatur dari pola perkampungan. Dengan demikian, terjadi keajegan (konsistensi) pada pola tata ruang. Keajegan ini tentunya didasari oleh adanya pandangan hidup yang dianut. Tatanan ruang dalam yang tanpa banyak penyekat juga merupakan upaya dalam merespon iklim, yaitu angin yang masuk ke dalam bangunaan dapat leluasa berhembus tanpa banyak penghalang, dan berkonsep ventilasi silang.
belakang
kanan
tengah kiri depan
Sumber: Mross, J. Settlements Of The Cockatoo: From Substance To Style
Gambar 4 Denah Rumah (Uma Marapu)
Struktur Konstruksi
Sistem struktur konstruksi yang digunakan pada rumah di Wanukaka adalah 4 tiang utama yang menyangga atap bagian atas, sehingga atap dapat mejulang dengan kemiringan yang curam; sedangkan atap bagian bawah menumpu pada balok yang ditopang oleh kolom. Ruang dibagi dengan pola grid, namum kolom yang ada tidak mengikuti pola tersebut.
Nilai Vernakular Arsitektur Wanukaka Suryo Tri Harjanto
Dengan demikian, sistem struktur rumah Wanukaka - walau menggunakan hubungan kolom dan balok, namun bukan sistem rangka. Hal inilah yang menjadikan unik dari arsitektur rumah masyarakat Wanukaka. Konstruksi rumahnya menggunakan ikatan tali yang didasarkan pada proses tradisional yang disebut pingi kapuka (sumber yang mengalir)
Tiang utama yang berjumlah 4 (empat) masing-masing mempunyai nama, simbol, dan fungsi, yaitu:
• Kabaringu urat (tiang saji dan doa), yaitu tiang penghubung roh. • Kabaringu immongwalla (tiang pengorbanan), yaitu tiang untuk
tempat binatang yang disembelih. • Kabaringu kelimata (tiang pelindung keluarga), yaitu tiang yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga. • Kabaringu ngadu api (tiang penjaga api).
Sumber: Mross, J. Settlements Of The Cockatoo: From Substance To Style
Gambar 5 Tiang Utama Rumah (Uma Marapu)
Keberadaan kolom atau tiang, disamping berfungsi sebagai penyangga, juga berfungsi sebagai simbol kegiatan spiritual.
Bahan/Material
Bahan/material yang digunakan pada rumah tradisional di Wanukaka merupakan bahan lokal, yaitu bahan yang ada di sekitar perkampungan. Bahan tersebut digunakan pada:
• Struktur : menggunakan bahan sejenis kayu besi yang keras. • Dinding : terbuat dari bambu • Lantai : terbuat dari galah bambu • Atap
: terbuat dari jerami
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 17-25
Penggunaan bahan kayu, bambu, dan jerami merupakaan bahan yang respon terhadap iklim setempat. Karena bahan bambu pada dinding dan jerami pada atap bersifat permeable (berpori), sehingga memungkinkan angin dapat masuk ke ruang dalam bangunan. Disamping itu, bahan/ material tersebut dapat meredam panas. Hal ini merupakan sebuah upaya dalam pencapaian kenyamanan bangunan.
Ragam Hias
Ragam hias terdapat pada tiang utama dan pada batu nisan. Lukisan pada tiang bermotif kuda, ayam, dan alat-alat perhiasan. Warna lukisan adalah hitam, biru, merah, kuning, dan putih; sedangkan pada batu nisan lebih banyak bermotif roh leluhur.
Ragam hias tersebut seolah menggambarkan alam sekarang dan alam yang akan datang sesuai dengan pandangan hidup mereka.
Sumber: Mross, J. Settlements Of The Cockatoo: From Substance To Style
Gambar 6 Ragam Hias Rumah
KESIMPULAN
Dari hasil kajian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertama, bahwa banyak aspek yang menjadi pertimbangan dalam menghadirkan arsitektur masyarakat Wanukaka Sumba Barat, namun yang menonjol adalah aspek yang berkaitan dengan pandangan hidup, yaitu kosmologi. Disamping itu, secara tidak langsung aspek tersebut hadir bersamaan dengan aspek iklim.
2. Kedua, adalah adanya keajegan pada arsitektur masyarakat Wanukaka, yaitu pada tata ruang, baik secara makro maupun mikro.
Nilai Vernakular Arsitektur Wanukaka Suryo Tri Harjanto
Dengan demikian, benarlah adanya bahwasanya arsitektur tradisional sangat kaya akan nilai-nilai yang tidak ada salahnya untuk terus digali.
PUSTAKA ACUAN
Mross, J. 1994. Settlements Of The Cockatoo: From Substance To Style. Published in the TRADITIONAL DWELLINGS AND SETTLEMENTS WORKING PAPERS. Vol 58. Berkeley: University of California.
Rapoport, A. 1994. House Form and Culture. Foundations and Culture Geography Series. London: Prentice-Hall, Inc. Tuan, YF. 1995. Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis London: University of Minnesota Press. Unwin, S. 1997. Analysing Architecture. Rouledge. 11 New Fetter Lane. London: EC4P4EE.
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 26-33
PEMBERDAYAAN SDM DALAM PEMANFAATAN SAMPAH BASAH SEBAGAI PUPUK CAIR DI RW 08 KELURAHAN SUKUN KECAMATAN SUKUN KOTA MALANG
Harimbi Setyawati Dwi Ana Anggorowati Mochtar Asroni Sanny Anjarsari
Dosen Teknik Kimia, Teknik Mesin, dan Teknik Industri FTI ITN Malang
ABSTRAKSI
Kegiatan ini dilakukan untuk memberdayakan SDM yang ada di RW 08 Kelurahan Sukun Kecamatan Sukun Kota Malang dalam mengelola lingkungan, khususnya dalam memanfaatkan sampah yang selama ini banyak menimbulkan kerugian, baik bagi manusia maupun lingkungan. Tumpukan sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia ini belum banyak ditangani dan biasanya hanya ditimbun atau dibakar. Sampah basah dari rumah tangga biasanya berupa sisa sayuran, buah-buahan busuk dan lainnya ternyata mengandung unsur-unsur yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk cair organik. Pupuk cair organik ini diharapkan dapat menggantikan ketergantungan para petani terhadap pemakaian pupuk kimia, dimana selain bisa menekan biaya pembelian pupuk cair organik juga lebih ramah lingkungan. Kegiatan ini diawali dengan penyuluhan kepada seluruh masyarakat dan dilanjutkan dengan pelatihan, pembimbingan, serta praktek langsung dalam pembuatan pupuk cair. Proses pembuatan pupuk cair diawali dengan pemilahan sampah organik dan anorganik, kemudian dilakukan perajangan dan penghancuran. Bubur sampah dimasukkan dalam wadah dan ditambahkan bakteri kemudian difermentasikan. Hasil fermentasi disaring dan filtratnya dipakai sebagai pupuk cair. Dari hasil penelitian didapatkan pupuk cair yang paling bagus adalah dengan penggunaan sumber carbon dari tetes serta lama waktu
fermentasi adalah 14 hari dengan kandungan N 3,745%, P 2 O 5 3,49%, dan K 2 O 5,97%.
Kata Kunci: Pemberdayaan, Sampah Basah Organik, Fermentasi, Pupuk Cair Organik.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pemberdayaan masyarakat dalam perkembangan suatu daerah merupakan salah satu tujuan pembangunan yang bertumpu pada
Pemberdayaan SDM dalam Pemanfaatan Sampah Harimbi | Dwi Ana A.| M. Asroni | Sanny A.
kemampuan masyarakat sendiri. Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat dalam perkembangan suatu daerah bertujuan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat, mengalihkan peran masyarakat dari obyek menjadi subyek, mencapai tujuan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan hidup, dan mewujudkan aspek pemerataan dalam pembangunan.
Pembangunan di wilayah RW 08 Kelurahan Sukun Kecamatan Sukun Kota Malang sampai saat ini secara prinsip telah dilaksanakan dengan partisipasi dan peran serta masyarakat melalui lembaga kemasyarakatan yang ada (LPMK, BKM, dan sebagainya). Namun, dalam perencanaannya sering dilakukan secara spasial (per wilayah RT atau RW) tanpa adanya keterpaduan yang terarah dalam jangka panjang. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk memahami potensi wilayah yang dapat dipakai sebagai media untuk peningkatan pembangunan wilayah tersebut.
Wilayah RW 08 Kelurahan Sukun posisinya berada di pinggir kota Malang. Daerah ini belum melakukan pemanfaatan sampah rumah tangga secara maksimal, sehingga sampah masih dianggap sebagai limbah saja. Untuk ini, diperlukan suatu pemecahan masalah, dimana salah satunya dengan mengolah sampah organik menjadi pupuk cair. Penggunaan pupuk cair organik dari sampah organik ini diharapkan dapat menggantikan peran pupuk kimia yang digunakan masyarakat selama ini, sehingga kondisi kesehatan dan keseimbangan lingkungan bisa dipertahankan.
Perumusan Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan belum seluruhnya dapat tersampaikan, khususnya untuk masyarakat yang jauh dari pusat pembangunan, seperti halnya masyarakat di daerah RW 08 Kelurahan Sukun. Hal ini menyebabkan kurangnya kreativitas dalam mengolah lingkungan sekitar, terutama permasalahan limbah rumah tangga yang dihasilkan. Dengan demikian, diperlukan adanya pembaruan informasi untuk pemerataan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan diadakannya penyuluhan dan pelatihan pemanfaatan sampah organik sebagai pupuk cair organik.
Tujuan Kegiatan
Tujuan dari kegiatan ini adalah: • Meningkatkan pemberdayaan masyarakat RW 08 Kelurahan Sukun
Kecamatan Sukun Kota Malang. • Membuka lapangan kerja baru. • Menyelesaikan permasalahan sampah basah dengan iptek yang
ramah lingkungan.
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 26-33
Manfaat Kegiatan
Manfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah: • Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan
limbah rumah tangga menjadi produk yang lebih ekonomis. • Meningkatkan perekonomian masyarakat RW 08 Kelurahan Sukun Kecamatan Sukun Kota Malang. • Mewujudkan aspek pemerataan dalam pembangunan.
METODE PELAKSANAAN
Metode yang digunakan pada pelaksanaan kegiatan adalah dengan penyuluhan yang diawali dengan melakukan ujicoba proses pembuatan pupuk cair dengan menghimpun peran aktif masyarakat melalui sosialisasi dan pelatihan. Rangkaian kegiatan tersebut dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat yang tergabung dalam institusi pemerintahan kelurahan maupun non pemerintahan kelurahan.
Diagram alir pembuatan pupuk cair organik adalah sebagai berikut: Sampah Basah Penghilangan getah Memperkecil ukuran
Wadah
fermentasi
Penambah an bakteri
Pemisahan dan penyaringan
Produk Analisa pH
Analisa N,P,K
Pemberdayaan SDM dalam Pemanfaatan Sampah Harimbi | Dwi Ana A.| M. Asroni | Sanny A.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan dalam rangka pemberdayaan SDM dilingkungan RW 08 Kelurahan Sukun Kecamatan Sukun Malang ini diikuti oleh semua elemen masyarakat dari Insitusi Pemerintahan Desa yaitu perangkat RW 08 Kelurahan Sukun Kecamatan Sukun Malang, meliputi RT, RW dan Karang Taruna juga lembaga diluar institusi pemerintahan yaitu masyarakat yang tergabung dalam lembaga kemasyarakatan, kelompok kerja (pokja), remaja masjid, karang taruna dan lain-lain
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah terciptanya kelompok- kelompok kerja yang mampu mengidentifikasikan permasalahan yang dihadapi dan mampu menghimpun serta mengkoordinir anggota kerjanya untuk melaksanakan hasil penyuluhan di lapangan.
Berdasarkan data-data yang ada, didapatkan hasil bahwa kegiatan penyuluhan ini mendapatkan respon yang luar biasa dari peserta penyuluhan yang ditandai dengan terciptanya komunikasi dan pembimbingan yang baik antara para penyuluh lapangan dan peserta sehingga tujuan dari penyuluhan bisa tercapai yaitu memberikan pemahaman tentang pentingnya pengolahan sampah yang ada disekitar lingkungan RW 08 Kelurahan Sukun Kecamatan Sukun Malang dan adanya tindak lanjut untuk merealisasikan kegiatan pembuatan pupuk cair.
Data Pengamatan dan Analisis
Tabel 1 Data Hasil Pengamatan Fermentasi
No Sumber Karbon
Hari Ke
5,5 1 Gula pasir
5 6 Kuning kecoklatan
14 keruh
5,5 8 Kuning kecoklatan
5,5 2 Gula jawa
10 Kuning kecoklatan 5,5
14 Kuning
16 Kuning
6 Coklat kehitam
5,5 3 Tetes
8 Coklat kehitaman
10 Coklat tua
12 Coklat tua
14 Coklat tua
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 26-33
Tabel 2 Hasil Analisa Pupuk Cair untuk % N dari Proses Fermentasi
Waktu Fermentasi
Sumber Carbon
(Hari)
Gula
Gula Jawa
Hasil Analisa Pupuk Cair untuk % P 2 O 5 dari Proses Fermentasi
Waktu Fermentasi
Sumber Carbon
(Hari)
Gula
Gula Jawa
Tabel 4 Hasil Analisa Pupuk Cair untuk % K2O dari Proses Fermentasi
Waktu Fermentasi
Sumber Carbon
(Hari)
Gula
Gula Jawa
Gambar 1. Hubungan antara Lama Waktu Fermentasi terhadap Besarnya Kadar Nitrogen dalam Pupuk Cair
Pemberdayaan SDM dalam Pemanfaatan Sampah Harimbi | Dwi Ana A.| M. Asroni | Sanny A.
Gambar 2.
Hubungan antara Lama Waktu Fermentasi terhadap Besarnya Kadar Fosfor
dalam Pupuk Cair
Gambar 3.
Hubungan antara Lama Waktu Fermentasi terhadap Bkadar Kalium
dalam Pupuk Cair
S S p p e e c c t t r r a a Nomor 19 Volume X Januari 2012: 26-33
Hasil Analisis Pengaruh Lama Waktu Fermentasi dengan Besarnya Kadar
Nitrogen