Indonesia Hingga Terbentuknya Pers Nasio

Indonesia Hingga Terbentuknya Pers Nasional
Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi
persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas
komunikasi.Tatap muka sebagai medium komunikasi tingkat rendah, dirasakan tidak lagi
memadai akibat perkembangan masyarakat. Akibat perkembangan itu pula, masyarakat
berusaha menemukan instrumen lain untuk media komunikasinya dan di antara media
komunikasi itu adalah pers. Menurut Rachmadi bahwa pers lahir dari kebutuhan rohaniah
manusia, produk dari kehidupan manusia, produk kebudayaan manusia, adalah hasil dari
perkembangan manusia.Keberadaan pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hubungan
bangsa Indonesia dengan Eropa, khususnya dengan bangsa Belanda. Melalui hubungan
itulah, berbagai anasir kebudayaan Barat dapat dikenal di Indonesia termasuk pers.
Pengiriman dan penyebaran informasi dalam bentuk jurnal awalnya digunakan oleh VOC
untuk menyalurkan dan atau mendapat berita, baik dari Eropa maupun dari pos-pos
perdagangan Belanda yang tersebar di Nusantara yang menurut Von Veber telah berlangsung
sejak tahun 1615.Hal ini dipertegas oleh Muhtar Lubis dengan mengatakan bahwa pada tahun
1615, J.P. Coen menerbitkan Memorie de Nouvelles, sebuah jurnal cetak yang pertama di
Indonesia, memuat berita dan informasi tentang VOC.Sementara surat kabar pertama yang
terbit di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles tahun 1744 oleh J.E. Jordens.Perancis dan
Inggris yang pernah menyelingi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, turut
pula menerbitkan surat kabar. Perancis di bawah Daendels menerbitkanBataviasche Zoloniale

Courant. Sementara pada masa kekuasaan Inggris menerbitkan surat kabar dengan nama The
Java Government Gazette.Setelah kekuasaan Inggris berakhir (1816) di Indonesia, maka surat
kabar yang terbit menjadi organ resmi pemerintah Belanda adalah Bataviasche Courant yang
kemudian digantikan olehJavasche Courant.Sampai dengan terbitnya surat kabar ini ada
kenampakan bahwa usaha penerbitan masih didominasi oleh pemerintah yang berkuasa.
Isinya pun dapat diduga, yaitu hanya memuat berita mengenai kegiatan pemerintah.
Memasuki pertengahan abad ke-19, sudah semakin banyak surat kabar terbit di Indonesia.
Bahkan kaum Indo-Belanda sudah mengusahakan penerbitan yang diperuntukkan buat kaum
pribumi dan peranakan Tionghoa. Sehingga pada masyarakat kolonial sudah dikenal adanya
pers yang berbahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kabar pertama berbahasa daerah
adalahBromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1855. Selanjutnya surat kabar pertama
berbahasa Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe yang terbit di Surabaya pada tahun
1856.8) Di samping itu, dikenal pula surat kabar yang berbahasa Tionghoa yang
menggunakan bahasa campuran antara bahasa Melayu rendahan dengan dialek
Hokkian.Seiring dengan pemberlakuan politik kolonial liberal atau dikenal sebagai politik
pintu terbuka (open door policy) tahun 1970, maka dinamika persuratkabaran di Indonesia
juga semakin kompleks. Kaum swasta asing Eropa (pengusaha-pengusaha penanam modal di
Indonesia) semakin banyak menerbitkan surat kabar. Dalam dekade ini pula (menjelang
berakhirnya abad ke-19), terdapat kemajuan di bidang jurnalistik. Kemajuan yang dimaksud
adalah semakin banyaknya orang-orang pribumi dan orang-orang peranakan Tionghoa yang

terlibat dalam penerbitan pers. Dengan demikian sudah lahir wartawan-wartawan pribumi
(Indonesia) yang pertama. Kedudukan orang-orang ini kelak menjadi sangat penting terhadap
kelahiran pers nasional.
Sementara itu, timbulnya kesadaran kebangsaan (nasionalisme) Indonesia yang
dimanifestasikan melalui perjuangan pergerakan nasional, telah memperjelas dan
mempertegas adanya surat kabar yang mempunyai wawasan dan orientasi informasi untuk
kepentingan perjuangan pergerakan. Surat kabar-surat kabar itulah yang pada gilirannya
dikenal sebagai pers nasional atau pers pergerakan.

Didalam UU 1945 pasal 6 tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi
mendorong terwujudnya kebebasan dan hak asasi manusia serta menghormati ke bhinekaan.
2. Mengungkapkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
3. Melakukan kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal benar dengan kepentingan umum
memperjuangkan keadilan

Perkembangan PERS di Indonesia
1. Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan, surat kabar yang dikeluarkan oleh bangsa Indonesia berfungsi sebagai
alat perjuangan pers yang menyuarakan kepedihan penderitaan dan merupakan refleksi dari

isi hati bangsa yang terjajah.
a. Masa Pendudukan Belanda
Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi
Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu
penerbitan pemerintah VOC.
Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi
pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat
ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar
pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan
di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan
Ciri-Ciri pers pada masa belanda :
v Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
v Persbreidel Ordonantie
v Haatzai Artikelen
v Kontrol yang Keras Terhadap Pers
b. Masa Pendudukan Jepang
Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri
dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencanarencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan
“Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan

Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat
hanyalah pro-Jepang semata.
Ciri-Ciri Pers pada Masa Jepang :
v Penekanan Terhadap Pers Indonesia
v Bersifat fasis memanfaatkan instrumen untuk menegakan kekusaan pemerintahannya
C. Masa Revolusi Fisik
Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan
dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak
sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi.
Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan.
Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa
coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat
digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah
yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit
diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya.
Ciri-Ciri Pers Masa Revolusi:
v Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik

v Pers Harus Menjaga Kepentingan Publik
v Pembatasan Pers


2. Masa Revolusi (17 Agustus 1945-1949)
Pada masa itu pers dibagi menjadi 2 golongan yaitu pers yang diterbitkan dan di usahakan
oleh tentara pendudukan sekutu dan belanda yang selajutnya dinamakan Pers NIKA. Pers
yang diterbitkan dan diusahakan oleh bangsa Indonesia yang dinamakan Pers Republik.

3. Masa Demokrasi Liberal (1949-1959)
Pers Nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati kebebasan Pers.
Fungsi Pers pada masa ini adalah sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.
Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik
Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan
terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.
Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang
pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan
kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas
kesopanan.
Ciri-Ciiri per Masa Demokrasi Liberal
v Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak
v Pembatasan Terhadap Pers
v Adanya Tindakan Antipers


4. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pada masa ini, pers menganut konsep Otoriter Pers di beri tugas menggerakkan aksi-aksi
masa yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan membangkitkan jiwa dan
kehendak masa agar mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainya.
Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman
Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga
meletusnya Gerakan 30 September 1965.
Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin
v Tidak Adanya Kebebasan Pers
v Adanya Ketegasan Terhadap Pers
v Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers

5. Orde Baru (1966-21 Mei 1998)
Pers masa orde baru di kenal dengan istilah Pers Pancasila dan di tandai dengan di
keluarkannya undang-undang pokok Pers no 11 tahun 1966. Ketika alam Orde Baru ditandai
dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami
perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan
masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi

merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan.
Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang
sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masamasa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan

hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ciri-Ciri Pers Masa Orde Baru
v Kebebasan Terhadap Pers
v Pers Masa itu Sangat Buram
v Berkembangnya Dunia Pers

6. Masa Reformasi (21 Mei 1998-sekarang)
Di Era Reformasi, pemerintah mengeluarkan berbagai undang-undang yang benar-benar
menjamin kebebasan Pers. Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang
harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil
besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan
posisinya sebagai presiden.
Ciri-Ciri Pers Masa Reformasi
v Kebebasan Mengeluarkan Pendapat (Pers adalah Hak Asasi Manusia)
v Wartawan Mempunyai Hak Tolak
v Penerbit Wajib Memiliki SIUPP

v Perusahaan Pers Tidak Lagi Melibatkan Diri ke Departemen Penerangan untuk Mendapat
SIUPP

Kesimpulan:

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi
persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas komunikasi.
Akibat perkembangan itu pula, masyarakat berusaha menemukan instrumen lain untuk media
komunikasinya dan di antara media komunikasi itu adalah pers. Dan perkembangan pers di
Indonesia dibagi dalam 6 Masa, yaitu:
Masa penjajahan
Masa Revolusi

Masa Demokrasi Liberal
Masa Demokrasi Terpimpin
Masa Orde Baru
Masa reformasi
Dan dalam pelaksanaanya memiliki beberapa perbedaan yang disesuaikan dengan ketekntuan
dan peraturan yang berlaku.
Negara penganut system pers demokrasi. Sebelum menganut system pers ini, Negara kita
mengalami beberapa revolusi dalam bidang pers. Tidak bisa dipungkiri pengaruh pers di
Negara kita sangat besar. Perkembangannya pun juga termasuk sangat kompleks, dalam arti
pers Indonesia terbagi menjadi beberapa periode dimana satu periode mewakili satu era/masa
dimulai dari pers di masa kolonial hingga pers di era reformasi. Berikut ialah perkembangan
Pers di Indonesia :
1. Pers di masa kolonial ( tahun 1744 sampai awal abad 19)
Pada masa kolonial pers Indonesia diduduki oleh Pers Belanda. Pers Belanda
menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda yang selanjutnya bangsa Indo raya dan Cina
menerbitkan surat kabar sendiri yang

berbahasa Belanda, Cina, dan bahasa daerah. Namun, diketahui tahun 1776 surat kabar
pertama Indonesia telah dibredel oleh pemerintah Belanda. Sampai pada pertengahan abad
19, terdapat 30 surat kabar Belanda, dan 27 surat kabar bahasa Indonesia dan satu surat kabar

berbahasa Jawa.
2. Pers di masa pergerakan (1908 - 1942)
Ketika awal berdirinya Boedi Oetomo, pers Indonesia bisa dibilang sebagai alat
perjuangan bagi rakyat indonesia. Pers di Indonesia berfungsi untuk perjuangan dan alat
penentu nasib (memperbaiki kedudukan dan nasib) anak bangsa. Hingga akhir masa
colonial , terdapat 33 surat kabar berbahasa Indonesia (47.000 eksemplar) dan 27 surat kabar
yang dibredel. Beberapa surat kabar yang beredar saat itu ialah :
 Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta didirikan
bulan Juni 1920.
 Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
 Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
 Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
 Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.
 Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
3. Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)
Pers Indonesia pada pemerintah jepang mengalami perkembangan, dengan belajar tentang
kemampuan media massa dalam mobilisasi massa untuk tujuan tertentu berarti telah
memperluas wawasan rakyat Indonesia. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan
dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers. Dalam masa ini
surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru diterbitkan

meskipun dikontrol ketat oleh Jepang. Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai
dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di
Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu:
 Asia Raya di Jakarta
 Sinar Baru di Semarang
 Suara Asia di Surabaya
 Tjahaya di Bandung
Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan pengekangan lebih dari
zaman Belanda. Namun begitu, hal ini justru memberikan banyak keuntungan bagi pers
Indonesia, diantaranay adalah Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah. Adanya
pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber resmi
Jepang, serta meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.
4. Pers di masa revolusi fisik (1945 - 1949)
Periode ini antara tahun 1945 sampai 1949 saat itu bangsa Indonesia berjuang
mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin
kembali menduduki sehingga terjadi perang mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers
terbagi menjadi dua golongan yaitu:
 Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda yang dinamakan Pers
Nica (Belanda).
 Pers yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers Republik.

5. Era pers partisan
Era ini berlangsung dari 1945-1957. Setelah terkena euphoria kemerdekaan terjadilah
persaingan keras antara kekuatan politik sehingga pers Indonesia mengalami perubahan sifat
dari pers perjuangan menjadi pers partisan. Pers pada era ini sekedar menjadi corong partai
politik.
Ada tiga jenis suratkabar dalam era ini yakni, surat kabar republikein yang mengobarkan aksi
kemerdekaan dan semangat anti Jepang, surat kabar belanda, dan surat kabar Cina.
6. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan
tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar
Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT
Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan
hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir,
menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus
ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda
Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah,
dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha
menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksisanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan
mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya
mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan
sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
7. Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama
Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik
demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua
tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila.
Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers
Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai
pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas
dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar
dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya UndangUndang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan
pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan
pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya
berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa

Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde
Lama).
8. Pers di masa Transisi (sebelum Reformasi)
Era ini terjadi pada akhir tahun 1980 an dimana situasi politik mulai berubah. Faktor yang
melatarblekangi perubahan ini antara lain adalah kaenyataan bahwa Soeharto akan mencapai
usia 70 tahun dalam 1991 sehingga muncul perkiraan bahwa perubahan di rezim orde baru
hanya soal waktu. Namun tak ada yang berubah dalam kebijakan pers karean lembaga SIUPP
yang mengontrol pers dengan ketat tidak dihapus.
Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan
sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn tegas kebebasan
pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan
pers dan PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam keredaksian.
Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang digunakan
wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni
eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat.
Penggunaan kata-kata ini adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu pemberitaan.
Fakta dalam sebuah berita berbahaya senantiasa ditup oleh pers dengan ungkapan yang
sopan.
Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk mentranskrip setepat-tepatnya apa yang
dikatakan sumber berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu saja membuat
wartwan Indonesia semakin malas.
Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita.
Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja
terjadi.
Pada masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga para
pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir sama dan sangat
berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham.
Pada awal tahun 1990-an pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan pers
meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan pengaruh dari perubahan
situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas menengah yang jumlahnya
semkain banyak di Indonesia.
Pada 21 Juni 1994 pemerintah Indonesia membredel tiga mingguan terkemuka yaitu Tempo,
Editor dan Detik. Ada tiga teori tentang pembredelan tersebut yakni teori permusuhan
Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo memberitakan rencana produksi pesawat terbang
dan pembelian bekas kapal perang yang mengkritik habibie, teori intrik politik yang
berspekulasi bahwa ketiga penerbitan itu bekerjasama dengan Benni Moerani dan
pengikutnya di ABRI untuk menjatuhkan dan menyingkirkan Habibie dan teori Intimiasi
yang berspekulasi bahwa kepemimpinan nasional ingin memperlambat laju perubahan
masyarakat dan media yang semkain bergerak menuju kebebasan yang lebih lebar.
Pembredelan ini mengakibatkan terjadinya protes dan demo di kalangan wartawan

Indonesia.Sebagai penyelesaian kasus pembredelan ini menteri penerangan mengeluarkan
dua izin penerbitan baru untuk menampung wartawan yang kehilangan pekerjaannya.
9. Pers di masa pasca Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan
reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama
rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia
tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin
terbit. Di awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau
tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.
Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting
dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982
tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi
warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat
ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan
pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
 Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
 Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi
manusia, serta menghormati kebhinekaan.
 Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
 Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
 Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan
cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan
dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Perkembangan Pers di Indonesia | Tak dapat dipungkiri, bahwa pers sangat berpengaruh
terhadap bangsa ini, mulai dari kemerdekaan, pengakuan kedaulatan, sampai kini msa
reformasi, semuanya dipengaruhi ole pers. maka tak heran jika dunia Pers memegang peranan
penting dalam perjalanan bangsa ini.
Perkembangan Pers di indonesia pun bisa dibilang sebagai salah satu perkembangan pers
paling kompleks, kenapa? karena perkembangan Pers di Indonesia terbagi menjadi beberapa
periode, dimana setiap periodenya mewakili satu masa atau era.
1. Pers di Era Kolonial (tahun 1744 sampai awal abad 19)
Era kolonial memiliki batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya pemerintahan kolonial
Belanda menerbitkan surat kabar berbahsa belanda kemudian masyarakat Indo Raya dan Cian
juga menerbitkan suratkabar dalam bahasa Belanda, Cina dan bahasa daerah.

Dalam era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en politique Raisonnementen
yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) merupakan surat kabar pertama di
Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini dibredel. Sampai pertengahan abad 19,
setidaknya ada 30 surat kabar yang dterbitkan dalam bahasa Belanda, 27 suratkabar
berbahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.
2. Pers di masa pergerakan (1908 - 1942)
Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang
dikeluarkan orang Indonesia lebih berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itu merupakan
“terompet” dari organisasi pergerakan orang Indonesia. Pers menjadi pendorong bangsa
Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Contoh harian yang
terbit pada masa pergerakan, antara lain:
 Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta
didirikan bulan Juni 1920.
 Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
 Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
 Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
 Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.
 Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
Hingga menjelang berakhirnya masa kekuasaan kolonial, terdapat 33 suratkabar dan majalah
berbahasa Indonesia dengan tiras keseluruhan sekitar 47.000 eksemplar.
Dalam era ini juga tercatat bahwa 27 surat kabar kaum nasionalis dibreidel pemerintah pada
tahun 1936 karena adanya ordonansi pers untuk membatasi kebangkitan gerakan nasionalis.
3. Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)
Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945, yakni selama penjajahan Jepang. Selam periode
ini situasi politik Indonesia mengalami perubahan yang radikal. Dalam era ini juga pers
Indonesia belajar tentang kemapuan media massa sebagi alat mobilisasi massa untuk tujuan
tertentu. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai
diberlakukannya izin penerbitan pers.
Dalam masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru
diterbitkan meskipun dikontrol ketata oleh Jepang. Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa
Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang
ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu:





Asia Raya di Jakarta
Sinar Baru di Semarang
Suara Asia di Surabaya
Tjahaya di Bandung

Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan pengekangan lebih dari
zaman Belanda, Namun begitu, hal ini justru memberikan banyak keuntungan bagi pers

Indonesia, diantaranay adalah Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah, Adanya
pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber resmi
Jepang, serta meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.
4. Pers di masa revolusi fisik (1945 - 1949)
Periode ini antara tahun 1945 sampai 1949 saat itu bangsa Indonesia berjuang
mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin
kembali menduduki sehingga terjadi perang mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers
terbagi menjadi dua golongan yaitu:
 Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda yang
dinamakan Pers Nica (Belanda).
 Pers yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers Republik.
Kedua golongan pers ini sangat berlawanan. Pers Republik yang disuarakan kaum Republik
berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan sekutu.
Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat agar menerima kembali Belanda.
5. Era pers partisan
Era ini berlangsung dari 1945-1957. Setelah terkena euphoria kemerdekaan terjadilah
persaingan keras antara kekuatan politik sehingga pers Indonesia mengalami perubahan sifat
dari pers perjuangan menjadi pers partisan. Pers pada era ini sekedar menjadi corong partai
politik.
Ada tiga jenis suratkabar dalam era ini yakni, surat kabar republikein yang mengobarkan aksi
kemerdekaan dan semangat anti Jepang, surat kabar belanda, dan surat kabar Cina.
5. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan
tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar
Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT
Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan
hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir,
menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus
ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda
Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah,
dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha
menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksisanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan
mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya
mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan
sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
6. Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama

Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik
demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua
tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila.
Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers
Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai
pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas
dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar
dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya UndangUndang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan
pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan
pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya
berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa
Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde
Lama).
7. Pers di masa Transisi (sebelum Reformasi)
Era ini terjadi pada akhir tahun 1980 an dimana situasi politik mulai berubah. Faktor yang
melatarblekangi perubahan ini antara lain adalah kaenyataan bahwa Soeharto akan mencapai
usia 70 tahun dalam 1991 sehingga muncul perkiraan bahwa perubahan di rezim orde baru
hanya soal waktu. Namun tak ada yang berubah dalam kebijakan pers karean lembaga SIUPP
yang mengontrol pers dengan ketat tidak dihapus.
Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan
sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn tegas kebebasan
pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan
pers dan PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam keredaksian.
Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang digunakan
wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni
eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat.
Penggunaan kata-kata ini adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu pemberitaan..
Fakta dalam sebuah berita berbahaya senantiasa ditup oleh pers dengan ungkapan yang
sopan.
Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk mentranskrip setepat-tepatnya apa yang
dikatakan sumber berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu saja membuat
wartwan Indonesia semakin malas.
Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita.
Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja
terjadi.
Pada masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga para
pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir sama dan sangat

berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham.
Pada awal tahun 1990-an pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan pers
meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan pengaruh dari perubahan
situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas menengah yang jumlahnya
semkain banyak di Indonesia.
Pada 21 Juni 1994 pemerintah Indonesia membredel tiga mingguan terkemuka yaitu Tempo,
Ediotr dan Detik. Ada tiga teori tentang pembreidelan tersebut yakni teori permusuhan
Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo memberitakan rencana produksi pesawat terbang
dan pembelian bekas kapal perang yang mengkritik habibie, teori intrik politik yang
berspekulasi bahwa ketiga penerbitan itu bekerjasam dengan Benni Moerani dan pengikutnya
di ABRI untuk menjatuhkan dan menyingkirkan Habibie dan teori Intimiasi yang
berspekulasi bahwa kepemimpinan nasional ingin memperlambat laju perubahan masayrakat
dan media yang semkain bergerak menuju kebebasan yang lebih lebar. Pembreidelan ini
mengakibatkan terjadinya protes dan demo di kalangan wartawan Indonesia.
Sebagai penyelesaian kasus pembreidelan ini menteri penerangan mengelurakan dua izin
penrbitan baru untuk menmpung wartawan yang kehilangan pekerjaannya yakni mingguan
Gtra untuk ex-Tempo dan Tiras untuk wartawan eks Editor.
Pasca pembreidelan inilah yang merupakan titik balik kondisi pers Indonesia karena
wartawan-wartawannya mulai cenderung memberontak pada pemerintah meskipun dengan
cara yang berbeda-beda. Meski demikian SIUPP tetap merupakan ganjalan terbesar dalam
kehidupan pers Indonesia saat itu.
8. Pers di masa pasca Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi
bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde
lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya
karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini
sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat
Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran,
majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa
kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi
warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat
ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan
pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
 Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.

 Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan
hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
 Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
 Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum.
 Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai
keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157