skripsi arisno bab 1 2 3 4 5

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan
cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
ditangani, karena indikasi sejumlah penyakit, trauma, atau alasan lain.
Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat
sayatan, sehingga diperlukan penghilang nyeri yang kita kenal sebagai
anestesi (Sjamsuhidajat dan Jong, 2004).
Anestesi digolongkan menjadi anestesi umum, anestesi lokal, dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah membuat sebuah keadaan tidak
sadar yang terkontrol selama keadaan di mana pasien tidak merasakan
apapun dan bisa digambarkan sebagai terbius. Anestesi lokal merupakan
hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil
daerah tubuh). Anestesi regional adalah hilangnya rasa pada bagian yang
lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf
yang berhubungan dengannya (Zunilda, 2007).
Fungsi anestesi adalah menghilangkan rasa nyeri, menidurkan, dan

relaksasi otot. Setiap tindakan anestesi harus memperhatikan kondisi
pasien karena tindakan anestesi ini bisa menimbulkan efek terhadap semua
sistem pada tubuh, seperti sistem susunan saraf pusat, sistem pernafasan,
sistem gastrointestinal, dan sistem kardiovaskuler. Secara umum efek yang

1

2

sering terjadi adalah depresi pernapasan dan sirkulasi darah, bradikardi,
aritmia, suhu badan menurun, mual muntah, pusing, kebingungan, dan
pasien ingin segera makan dan minum (Gunawan, 2007).
Masa pulih sadar dimulai sejak pasien keluar dari ruang operasi,
dibawa dalam keadaan tidak sadar atau setengah sadar ke ruang
pemulihan. Pada saat seperti ini, ada sebagian organ atau sistem organ
yang belum berfungsi kembali, seperti pencernaan dan perkemihan
(Zunilda, 2007).
Dalam masa pemulihan, peristaltik usus pasien post operasi belum
aktif kembali secara normal. Karena keadaan tersebut, pasien dianjurkan
untuk tidak makan dan minum terlebih dahulu selama beberapa waktu

hingga aktifasi usus kembali seperti semula. Hal tersebut sering
dikeluhkan oleh pasien post operasi. Keadaan seperti itu juga dialami di
Ruang Pulih Sadar RSUD Dr Moewardi Surakarta. Dimana pasien post
operasi yang menggunakan anestesi umum maupun spinal dipindah ke
ruangan dengan kondisi bising usus yang sudah aktif dan ada juga yang
belum aktif.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
perbedaan aktivasi bising usus pada pasien post operasi dengan anestesi
umum dan anestesi spinal di Ruang Pulih Sadar RSUD Dr Moewardi
Surakarta.

3

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “adakah perbedaan
aktifasi bising usus pada pasien post operasi dengan anestesi umum dan
anestesi spinal di Ruang Pulih Sadar RSUD Dr. Moewardi Surakarta?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan aktifasi bising usus pada pasien post
operasi dengan anestesi umum dan anestesi spinal di Ruang Pulih
Sadar RSUD Dr Moewardi Surakarta.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :
a) mendiskripsikan berapa lama usus aktif kembali pada pasien post
operasi dengan menggunakan anestesi umum di Ruang Pulih Sadar
RSUD Dr. Moewardi Surakarta,
b) mendiskripsikan berapa lama usus aktif kembali pada pasien post
operasi dengan menggunakan anestesi spinal di Ruang Pulih Sadar
RSUD Dr. Moewardi Surakarta,
c) menganalisis manakah yang lebih cepat aktif, anatara bising usus
pada pasien post operasi dengan menggunakan anestesi umum dan
anestesi spinal di Ruang Pulih Sadar RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.

4

D. Manfaat Penelitian
1. Teoretis

a. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah wacana keilmuan terutama di
bidang keperawatan dalam kaitannya antara aktivasi bising usus pada
pasien post operasi dengan menggunakan anestesi umum dan anestesi
spinal. Sehingga dalam memberikan perawatan terhadap pasien dapat
membedakan pasien mana yang akan lebih cepat diperbolehkan untuk
makan dan minum.
b. Bagi Peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian
dan pengembangan lebih lanjut mengenai aktifasi bising usus pada
pasien post operasi dengan menggunakan anestesi umum dan anestesi
spinal. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan
penelitian selanjutnya.
c. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana keilmuan
terutama

dalam

penatalaksanaan


pasien

post

operasi

dengan

menggunakan anestesi umum dan anestesi spinal.
2. Praktis
a. Bagi Perawat
Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam
memberikan perawatan dan penatalaksanaan terhadap pasien post

5

operasi dengan menggunakan anestesi umum dan anestesi spinal.
Sehingga dalam memberikan perawatan terhadap pasien dapat
membedakan pasien mana yang akan lebih cepat diperbolehkan untuk

makan dan minum.
b. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pilihan terapi dan
perawatan terhadap pasien post operasi dengan menggunakan anestesi
umum dan anestesi spinal. Sehingga penatalaksanaan yang dilakukan
tepat sesuai dengan yang diharapkan.

E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran melelui search engine/internet, didapatkan
hasil penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan diteliti
oleh peneliti dan sebagai bahan acuan adalah :
1. Wiyono dan Arifah (2008) melakukan penelitian dengan judul
Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap Pemulihan Peristaltik Usus Pasien
Pasca

Operasi Fraktur Femur Dengan Anestesi Umum Di RSUI

Kustati Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah ada pengaruh ambulasi dini terhadap peristaltik usus dengan
responden pasien murni fraktur femur dengan kriteria yaitu jumlah

responden 20, usia 20 – 40 tahun, jenis kelamin laki-laki, tidak ada
penyakit penyerta lain, mampu berkomunikasi dengan baik yang
dinilai sebelum operasi, bersedia menjadi responden (ijin dari keluarga

6

atau persetujuan dengan pasien sebelum operasi), tidak ada kecacatan
fisik seperti cacat bawaan yang memungkinkan kesalahan dalam
penilaian gerakan.
Hasil penelitian ini adalah ambulasi dini memberikan pengaruh
terhadap rata-rata pemulihan peristaltik usus, yaitu lebih cepat 18
menit dibandingkan dengan yang tidak diambulasi. Nilai median
sebesar 30 menit pada kelompok eksperimen dan 45 menit pada
kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa ambulasi dini
menyebabkan range waktu pemulihan peristaltik usus semakin pendek,
yaitu jarak pemulihan peristaltik usus pada kelompok eksperimen
cenderung seragam. Nilai modus atau yang sering muncul pada
kelompok eksperimen sebesar 30 menit dan pada kelompok kontrol
sebesar 45 menit. Artinya ambulasi dini mempengaruhi modus waktu
pemulihan peristaltik usus dengan selisih 15 menit lebih cepat

dibandingkan pasien yang tidak melakukan ambulasi dini.
Kesimpulan penelitian ini adalah menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh antara ambulasi dini dengan kecepatan pemulihan peristaltik
usus pada pasien paska operasi patah tulang paha (fraktur femur).
2. Windiarto (2008) melakukan penelitian tentang Differences of
Recovery time of Intestinal Peristaltic on Surgical Patients with
General Anesthesia Taken with Early Ambulation of Active and
Passive ROM in Wira Bhakti Tamtama Hospital Semarang. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh ROM secara

7

dini terhadap kemampuan ADL pasien post operasi fraktur femur di
RSUI Kustati Surakarta.
Penelitian ini dilakukan di RS Wira Bhakti Tamtama Semarang.
Sampel adalah pasien pasca operasi abdomen dengan anestisi umum.
Jumlah sampel sebanyak 20 pasien dimana 10 pasien dilakukan
ambulasi dini ROM aktif dan 10 pasien dilakukan ambulasi dini ROM
pasif.
Hasil penelitian ini adalah Dari 10 sampel penelitian yang

dilakukan ambulasi dini ROM aktif pasca operasi abdomen, waktu
terendah tercapainya pemulihan peristaltik usus yang ditandai dengan
terdengarnya bunyi usus terjadi pada menit ke 15, dan paling lama
menit ke 50. Sedangkan dari 10 pasien yang dilakukan tindakan
ambulasi dini ROM pasif, waktu terendah tercapainya pemulihan
peristaltic usus terjadi pada menit ke 25 dan terlama terjadi pada menit
ke 60.
Lama waktu tercepat terjadinya pemulihan peristaltik usus pada
responden yang melakukan ambulasi dini ROM aktif terjadi pada
menit 15 dan terlama terjadi pada menit 50, dengan rata-rata lama
waktu terjadinya pemulihan peristaltic usus terjadi pada menit 28.50.
Lama waktu tercepat terjadinya pemulihan peristaltik usus pada
responden yang melakukan ambulasi dini ROM pasif terjadi pada
menit 25 dan terlama terjadi pada menit 60, dengan rata-rata lama
waktu terjadinya pemulihan peristaltic usus terjadi pada menit 42.50.

8

Kesimpulan penelitian ini adalah terbukti adanya perbedaan lama
waktu terjadinya pemulihan peristaltik usus antara pasien yang

melakukan ambulasi dini ROM aktif dan ROM pasif, dengan nilai p
value < 0,05.
Kedua penelitian di atas, mempunyai persamaan dan perbedaan
dengan peneliti. Persamaannya yaitu variabel independen sama, mengukur
waktu pemulihan aktivasi bising usus. Sedangkan perbedaannya adalah
pada penelitian ini tidak melakukan intervensi, variabel dependen,
kerangka teori, kerangka konsep, dan tempat penelitian.

9

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Anestesi
1. Pengertian Anestesi
Kata anstesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
pemberian obat dengan tujuan menghilangkan nyeri pembedahan.
Analgesia adalah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran pasien (Gunawan, 2007). Anestesiologi

adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan
nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan.
2. Jenis Anestesi
a. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah membuat sebuah keadaan tidak sadar
yang terkontrol selama keadaan di mana pasien tidak merasakan
apapun dan bisa digambarkan sebagai terbius (Zunilda, 2007).
Anestesi umum bekerja di susunan saraf pusat (SSP), yang dapat
memberikan efek menghilangkan rasa nyeri/analgesia yang disertai
hilangnya kesadaran (Gunawan, 2007).
Anesthesia terjadi karena adanya perubahan neurotransmisi di
berbagai bagian SSP. Kerja neurotransmitter di pascasinaps akan
diikuti pembentukkan second messenger yang selanjutnya mengubah

9

10

transmisi di neuron. Hal ini terjadi akibat gangguan anestetik pada
situs molekuler yang identik walaupun letak situ situ berbeda-beda.
1) Jenis anestesi umum (Gunawan, 2007)
a) Anestesi inhalasi
(1) Farmakokinetik
Dalamnya anestesi bergantung pada kadar anestetik di SSP,
dan kadar ini ditentukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi
transfer anestetik dari alveoli paru ke darah dan dari darah ke
jaringan otak. Kecepatan induksi bergantung pada kecepatan
dicapainya kadar efektif zat anestetik di otak, begitu pula masa
pemulihan setelah pemberiannya dihentikan. Membran alveoli
dengan mudah dilewati zat anestetik secara difusi dari alveoli ke
aliran darah dan sebaliknya.
Faktor yang menentukan kecepatan transfer anestetik di
jaringan otak ditentukan oleh kelarutan zat anestetik, kadar anestetik
dalam udara yang dihirup pasien atau disebut tekanan parsial
anestetik, ventilasi paru, aliran darah paru, dan perbedaan antara
tekanan parsial anestetik di darah arteri dan di darah vena.
(2) Efek samping
Delirium dapat timbul selama induksi dan pada masa
pemulihan dengan anestesi inhalasi walaupun talah diberi medikasi
pra-anestetik. Muntah dapat menyebabkan aspirasi bila terjadi
sewaktu induksi atau sesudah operasi.

11

Enfluran dan halotan menyebabkan depresi miokard yang
dose-related, sedangkan isofluran dan desfluran tidak. Isofluran dan
N2O dapat menyebabkan takikardi, sedangkan enfluran tidak
banyak

mempengaruhi

menyebabkan

bradikardi

frekuensi

jantung.

Halotan

melalui

stimulasi

vagal.

dapat
Aritmia

supraventrikel biasanya dapat diatasi kecuali bila curah jantung dan
tekanan arteri menurun. Aritmia ventrikel jarang terjadi, kecuali bila
timbul hipoksia atau hiperkapnia. Halotan menimbulkan sensitisasi
jantung terhadap katekolamin, sehingga penggunaan adrenalin,
noradrenalin,

atau

isoproteronol

bersama

halotan

akan

menyebabkan aritmia ventrikel. Halotan berbahaya diberikan pada
pasien yang merasa khawatir berlebihan, karena keadaan tersebut
disertai kadar katekolamin yang tinggi.
Depresi napas dapat terjadi pada semua stadium selama
anestesi inhalasi. Maka keadaan pasien perlu diperhatikan selama
pemberian anestetik inhalasi. Anestetik inhalasi juga menekan
fungsi mukosilier saluran napas, sehingga anestesi yang lama-lama
dapat menimbulkan penumpukan lender. Namun, anestetik inhalasi
bersifat bronkodilator.
(3) Penggunaan
(a) Nitrogen monoksida (N2O = gas gelak)
Merupakan gas yang tidak berwarnatidak berbau, tidak
berasa, dan lebih berat dari pada udara. Tidak mudah terbakar,

12

tapi jika dikombinasi dengan zat anestetik yang mudah terbakar,
akan memudahkan terjadinya ledakan. Misalnya campuran eter
dan N2O.
Nitrogen monoksida sukar larut dalam darah, dan
merupakan anestetik yang kurang kuat sehingga kini hanya
digunakan sebagai adjuvan untuk atau sebagai pembawa anestetik
inhalasi

lainnya.

Pada

anestesi

yang

lama,

N2O

dapat

menyebabkan mual, muntah, dan lambat sadar.
(b) Siklopropan
Merupakan anestetik inhalasi yang kuat, berbentuk gas,
berbau spesifik, tidak berwarna, dan disimpan dalam bentuk
cairan bertekanan tinggi. Siklopropan relatif tidak larut dalam
darah sehingga dalam 2-3 menit induksi dilalui. Pemberian
dengan kadar 1% volume dapat menimbulkan analgesia tanpa
menghilangkan kesadaran.
Siklopropan tidak menghambat kontraktilitas otot jantung.
Tapi, dapat menimbulkan fibrilasi atrium, bradikadi sinus,
ekstrasistul atrium, aritmia atrioventrikuler, ekstrasistol ventrikel,
dan ritme bigemini.
(c) Eter (dietil eter)
Merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap,
berbau tidak enak, mengiitasi saluran napas, mudah terbakar, dan
mudah meledak. Eter merupakan anestetik yang sangat kuat. Sifat

13

analgesiknya kuat sekali, dengan kadar dalam darah arteri 10-15
mg% sudah terjadi analgesia tetapi pasien masih sadar. Eter
menyebabkan iritasi saluran napas dan merangsang sekresi
kelenjar bronkus. Pada induksi dan waktu pemulihan, eter
menimbulkan salivasi, akan dihambat dan terjadi depresi napas.
Pada anestesi ringan, eter menyebabkan dilatasi pembuluh
darah kulit sehingga menimbulkan kemerahan terutama didaerah
muka. Pada anestesi yang lebih dalam, kulit menjadi lembek,
pucat, dingin, dan basah. Terhadap pembuluh darah ginjal, eter
menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan laju
filtrasi glomerolus dan produksi urin menurun, secara reversibel,
dan di otak menyebabkan vasodilatasi.
(d) Halotan
Merupakan

anestesi

golongan

hidrokarbon

yang

berhalogen. Halotan berbentuk cairan tidak berwarna, berbau
enak, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak meskipun
dicampur dengan oksigen.
Penggunaan halotan berulangkali dapat menyebabkan
nekrosis hati sentrolobular yang bersifat alergi. Gejalanya berupa
anoreksia, mual, muntah, kadang terjadi kemerahan pada kulit
dengan eosinofilia.

14

(e) Enfloran
Enfloran adalah anestetik eter berhalogen yang tidak
mudah terbakar. Enfluran menyebabkan fase induksi anestesi
yang relatif lambat. Sekresi kelenjar salifa dan bronkus hanya
sedikit meningkat sehingga tidak perlu menggunakan atropin
sebagai medikasi pra-anestesi.
Efek samping enfloran berupa menggigil karena hipotermi,
gelisah, delirium, mual, muntah, dan depresi napas dengan
kecepatan ventilasi tetap atau meningkat. Kadar enfluran yang
tinggi menimbulkan hipokardia, sehingga muncul pola EEG
frekuensi tinggi dan dapat terjadi kejang.
(f) Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar dan
berbau tajam. Kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
membuat pasien menahan napas dan terbatuk.
(g) Desfloran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tetapi tidak mudah
meledak, bersifat absorben, dan tidak korosif untuk logam.
Berbeda dengan kelompoknya, desfluran relatif lebih sukar
menguap

sehingga

dibutuhkan

vaporizer

khusus

dalam

penggunaannya. Gugus klorin dalam isofluran diganti dengan
flourin pada desfluran, dan ini membuat kelarutannya menjadi

15

lebih rendah, sehingga induksi dan pemulihan yang cepat
dibandingkan dengan isofluran.
(h) Sevofluran
Merupakan anestesi inhalasi baru, yang memberikan
induksi

dan

pemulihan

lebih

cepat

dari

pendahulunya.

Metabolisme di hati menghasilkan ion flour yang dapat merusak
ginjal. Oleh sebab itu, anestetik ini kedudukannya belum jelas.
(i) Fluroksen
Merupakan eter berhalogen, bersifat seperti eter, mudah
terbakar, tetapi tidak mudah meledak.
(j) Xenon
Merupakan gas anestetik yang ideal untuk kondisi kritis
karena mempunyai efek samping yang minimal. Xenon sangat
tidak larut dalam darah dan jaringan, sehingga induksi dan masa
pemulihannya sangat cepat, dan biasanya diberikan bersama O2
30%.
b) Anestesi Intravena
Anestetik intravena lebih banyak digunakan dalam tahun
terakhir ini sebagai adjuvan bagi anestetik inhalasi maupun sebagai
anestetik tunggal karena tidak diperlukan peralatan yang rumit
dalam penggunaannya. Tujuan pemberiannya adalah untuk induksi
anestetik, induksi dan pemeliharaan anestesi pada tindak bedah

16

singkat, menambah efek hipnosis pada anestesi atau analgesia
lokal, dan menimbulkan sedasi pada tindak medik.
Anestesia intravena adalah anestesi yang cepat menghasilkan
hipnosis, mempunyai efek analgesia, menimbulkan amnesia pada
pasca-anestesi,

dampak

buruk

mudah

dihilangkan

oleh

antagonisnya, cepat dieliminasi oleh tubuh, tidak atau sedikit
mendepresi

fungsi

respirasi

dan

kardiovaskuler,

pengaruh

farmakokinetiknya tidak tergantung pada disfungsi organ.
(1) Barbiturat
Barbiturat

menghilangkan

kesadaran

dengan

cara

memfasilitasi peningkatan GABA pada reseptor GABAA di
membran neuron SSP. Bersifat GABA-mimetik dengan
langsung merangsang kanal klorida. Barbiturat juga menekan
neurotransmiter sistem stimulasi (perangsang). Kerjanya pada
berbagai sistem ini membuat barbiturat lebih kuat sebagai
anestetik, tetapi lebih tidak aman karena sangat kuat menekan
SSP.
Barbiturat yang digunakan untuk anestetik ialah termasuk
barbiturat kerja sangat singkat, yaitu tiopental, metoheksital, dan
tiamilal yang diberikan secara infus.
(2) Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah
diazepam, lorazepam, dan midazolam. Dengan dosis untuk

17

induksi anestesia, kelompok obat ini menyeabkan tidur,
mengurangi cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd,
tetapi tidak berefek analgesik. Efek pada SSP dapat diatasi
dengan antagonisnya, flumazenil.
Benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi untuk
tindakan yang tidak memerlukan analgesia seperti endoskopi,
kateterisasi,

kardioversi

atau

tindakan

radiodiagnostik.

Benzodiazepin juga digunakan untuk medikasi praanestetik dan
untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal
dalam anestetik regional.
(3) Opioid
Fentanil, sulfentanil, alfentanil, dan remifentanil adalah
opoid yang lebih banyak digunakan dibanding morfin karena
menimbulkan analgesia anestesia yang lebih kuat dengan
depresi napas yang lebih ringan. Walaupun dosis besar,
kesadaran tidak sepenuhnya hilang dan amnesia pasca bedahnya
tidak lengkap. Biasanya digunakan dalam bedah jantung atau
pada pasien yang cadangan sirkulasinya terbatas.
Fentanil yang lama kerjanya sekitar 30 menit segera
didistribusi, tetapi pada pemberian berulang atau dosis besar,
akan

terjadi

akumulasi.

Dengan

dosis

besar,

fentanil

menimbulkan analgesia dan hilang kesadaran yang lebih kuat

18

dari pada morfin, tetapi amnesianya tidak lengkap, instabilitas
tekanan darah, dan depresi napas lebih singkat.
2) Stadium anestesi umum (Gunawan, 2007)
a) Stadium I (analgesia)
Stadium analgesia dimulai sejak pemberian anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan
nyeri (analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti
perintah. Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan pembedahan
ringan seperti mencabut gigi dan biopsi kelenjar.
b) Stadium II (eksitasi)
Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai
munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda
dimulainya stadium pembedahan. Pada stadium ini pasien tampak
mengalami delirium den eksitasi dengan gerakan-gerakan di luar
kehendak. Pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan
hiperpnea, tonus otot rangka meninggi, pasien meronta-ronta,
kadang sampai mengalami inkontinensia, dan muntah. Ini terjadi
karena hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini dapat
terjadi kematian, maka stadium ini harus cepat dilalui.
c) Stadium III (pembedahan)
Stadium III dimulai dengan timbulnya kembali pernapasan
yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang.
Keempat tingkat dalam stadium pembedahan ini dibedakan dari

19

perubahan pada gerakan bola mata, reflek bulu mata dan
konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil yang menggambarkan
dalamnya tingkat pembiusan.
(1) Tingkat 1
Pernapasan teratur, napas spontan, seimbang antara
pernapasan dada dan perut, gerakan mata terjadi di luar
kehendak, miosis, sedangkan tonus otot rangka masih ada.
(2) Tingkat 2
Pernapasan teratur tapi frekuensinya lebih kecil, bola
mata tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai
melemas, dan reflek laring hilang sehingga pada tingkat ini
dapat dilakukan intubasi.
(3) Tingkat 3
Pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada
karena otot interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka
sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal.
(4) Tingkat 4
Pernapasan perut sempurna karena otot interkostal
lumpuh total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar
dan refleks cahaya hilang. Pembiusan hendaknya jangan
sampai ke tingkat 4 ini sebab pasien akan mudah sekali masuk
dalam stadium IV, yaitu ketika pernapasan spontan melemah.
Untuk mencegah ini, harus diperhatikan benar sifat dan

20

dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan
keadaan normal, dan turunnya tekanan darah.
d) Stadium IV (depresi medula oblongata)
Stadium IV ini dimulai dengan melemahnya prnapasan
perut, disbanding stadium III tingkat 4, tekanan darah tidak dapat
diukur karena pembuluh darah kolaps, dan jantung berhenti
berdenyut. Keadaan ini dapat disusul kematian, kelumpuhan napas
disini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan, bila tidak
didukung oleh alat bantu napas dan sirkulasi.
b. Anestesi Lokal
Anestesi lokal bekerja langsung pada serabut saraf perifer yang
hanya dapat memberikan efek analgesia atau hilangnya rasa pada
daerah tertentu yang diinginkan (Gunawan, 2007). Anestetik lokal
mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya
terutama di membran sel, efeknya pada eksoplasma hanya sedikit saja.
Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat
(sekilas) permeabilitas membran terhadap ion Na+ akibat depolarisasi
ringan pada membran. Proses fundamental inilah yang dihambat oleh
anestetik lokal. Hal ini terjadi akibat interaksi langsung antara zat
anestetik lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap adanya
perubahan voltase muatan listrik. Dengan semakin bertambahnya efek
anestetik lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan
meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi

21

menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman konduksi
saraf juga berkurang.
Pemberian anestetik lokal dapat dilakukan dengan teknik
berikut ini (Mansjoer, 2000).
1) Anestetik Permukaan
Anestetik permukaan, yaitu pengolesan atau penyemprotan
analgetik lokal di atas selaput mukosa seperti mata, hidung, atau
faring.
2) Anestetik Infiltrasi
Anestetik infiltrasi, yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal
langsung diarahkan di sekitar tempat lesi, luka, atau insisi. Cara
infiltrasi yang sering digunakan adalah blockade lingkar dan obat
disuntikkan intradermal atau subkutan.
3) Anentetik Blok
Anastetik blok, yaitu penyuntikan analgetik lokal langsung ke
saraf utama atau pleksusaraf. Hal ini bervariasi dari blokade pada
saraf tunggal, misalnya saraf oksipital dan pleksus brakialis,
anestesi spinal, anestesi epidural, dan anestesi kaudal.
c.

Anestesi Regional
Anestesi regional adalah hilangnya rasa pada bagian yang lebih
luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf
yang berhubungan dengannya (Zunilda, 2007).

22

B. Sistem Pencernaan (Syaifudin, 2006)
Sistem pencernaan manusia terdiri atas beberapa organ, berturutturut dimulai dari rongga mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, usus
besar, rektum, dan anus.
1. Rongga Mulut
Mulut merupakan saluran pertama yang dilalui makanan. Pada
rongga mulut, dilengkapi alat pencernaan dan kelenjar pencernaan
untuk membantu pencernaan makanan. Pada mulut terdapat :
a. Gigi
Memiliki fungsi memotong, mengoyak dan menggiling
makanan menjadi partikel yang kecil-kecil.
b. Lidah
Memiliki peran mengatur letak makanan di dalam mulut serta
mengecap rasa makanan.
c. Kelenjar Ludah
Ada 3 kelenjar ludah pada rongga mulut. Ketiga kelenjar
ludah tersebut menghasilkan ludah setiap harinya sekitar 1 sampai
2,5 liter ludah. Kandungan ludah pada manusia adalah : air, mucus,
enzim amilase, zat antibakteri, dll. Fungsi ludah adalah melumasi
rongga mulut serta mencerna karbohidrat menjadi disakarida.
2. Kerongkongan
Merupakan saluran yang menghubungkan antara rongga mulut
dengan lambung. Pada ujung saluran esophagus setelah mulut terdapat

23

daerah yang disebut faring. Pada faring terdapat klep, yaitu epiglotis
yang mengatur makanan agar tidak masuk ke trakea (tenggorokan).
Fungsi esophagus adalah menyalurkan makanan ke lambung. Agar
makanan dapat berjalan sepanjang esophagus, terdapat gerakan
peristaltik sehingga makanan dapat berjalan menuju lambung.
3. Lambung
Lambung adalah kelanjutan dari esophagus, berbentuk seperti
kantung. Lambung dapat menampung makanan 1 liter hingga
mencapai 2 liter. Dinding lambung disusun oleh otot-otot polos yang
berfungsi menggerus makanan secara mekanik melalui kontraksi otototot tersebut. Ada 3 jenis otot polos yang menyusun lambung, yaitu
otot memanjang, otot melingkar, dan otot menyerong. Selain
pencernaan mekanik, pada lambung terjadi pencernaan kimiawi
dengan bantuan senyawa kimia yang dihasilkan lambung.
4. Usus Halus
Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung. Usus halus
memiliki panjang sekitar 6-8 meter. Usus halus terbagi menjadi 3
bagian yaitu duodenum (± 25 cm), jejunum (± 2,5 m), serta ileum (±
3,6 m). Pada usus halus hanya terjadi pencernaan secara kimiawi saja,
dengan bantuan senyawa kimia yang dihasilkan oleh usus halus serta
senyawa kimia dari kelenjar pankreas yang dilepaskan ke usus halus.

24

5. Usus Besar
Setelah melewati usus halus, sisa makanan masuk ke usus
besar. Usus besar terbagi atas usus besar naik, usus besar melintang,
dan usus besar turun.
Di dalam usus besar, sisa makanan mengalami pembusukan
yang dibantu oleh bakteri Escherichia coli. Air dan garam mineral dari
sisa makanan tersebut, akan diserap oleh usus kembali. Setelah itu, sisa
makanan dikeluarkan melalui anus dalam bentuk tinja (feses).
6. Rektum dan Anus
Merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh.
Sebelum dibuang lewat anus, feses ditampung terlebih dahulu pada
bagian rektum. Apabila feses sudah siap dibuang maka otot spinkter
rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus. Otot spinkter yang
menyusun rektum ada 2, yaitu otot polos dan otot lurik.

C. Peristaltik usus
Peristaltik usus merupakan gerakan mendorong makanan agar
dapat berjalan menuju bagian pencernaan selanjutnya. Suara peristaltik
usus terjadi akibat adanya gerakan cairan dan udara dalam usus. Frekuensi
normal berkisar 5-34 kali/menit suaranya tidak teratur seperti orang
berkumur (Syaifudin, 2006). Bila terdapat obstruksi usus, peristaltik
meningkat disertai rasa sakit (borborigmi). Bila obstruksi makin berat,
abdomen tampak membesar dan tegang, peristaltik lebih tinggi seperti

25

dentingan keping uang logam (metallic-sound). Bila terjadi peritonitis,
peristaltik usus akan melemah, frekuensinya lambat, bahkan sampai hilang
(Price, 1995).
Pada pasien yang dilakukan tindakan operasi atau pembedahan,
diberikan anestesi tertentu yang menyebabkan usus dapat berhenti
beraktivitas. Usus akan kembali beraktivitas dan berfungsi secara normal
setelah pengaruh obat anestesi hilang (Gunawan, 2007).

26

D. Kerangka Teori

Pembedahan/
operasi

Anestesi

Anestesi umum

-

menidurkan
relaksasi otot
depresi sistem pernafasan
relaksasi sistem gastrointestinal
relaksasi sistem kardiovaskuler
efek analgesia

Anestesi regional
(anestesi spinal)

- relaksasi sistem
gastrointestinal
- efek analgesia

Peristaltik usus terhenti

Gambar 1. Kerangka Teori

Anestesi lokal

Menimbulkan efek analgesia
atau hilangnya rasa pada
daerah
tertentu
yang
diinginkan

27

E. Kerangka Konsep

Variabel Bebas

Variabel Terikat

Anestesi
umum
Aktifasi
bising usus
Anestesi
spinal

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Hipotesa Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara tentang rumusan masalah
penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada
perbedaan aktifasi bising usus pada pasien post operasi dengan anestesi
umum dan anestesi spinal di Ruang Pulih Sadar RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.

28

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi beberapa lingkup, yaitu:
1. Masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada perbedaan aktivasi bising
usus pasien post operasi dengan anestesi umum dan anestesi spinal.
2. Keilmuan
Penelitian ini merupakan ruang lingkup ilmu keperawatan perioperatif.
3. Sasaran
Sasaran penelitian ini adalah pasien post operasi dengan anestesi umum
dan anestesi spinal.
4. Lokasi
Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Pulih Sadar RSUD Dr Moewardi
Surakarta.
5. Waktu
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari 2011

B.

Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian noneksperimental, yakni
berdasar pada ada tidaknya perlakuan, penelitian ini tidak memberikan
perlakuan atau intervensi kepada objek dan hanya mengamati kejadian yang

28

29

sudah ada (Hidayat, 2008). Dalam penelitian ini, peneliti hanya mengamati
aktivasi bising usus pada pasien post operasi dengan anestesi umum dan
anestesi spinal di Ruang Pulih Sadar RSUD Dr Moewardi Surakarta.
Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional, yang menekankan pada
waktu pengukuran atau observasi data variabel independent dan dependen
hanya satu kali, pada satu saat (Nursalam, 2003). Data yang diperoleh dari
penelitian ini berupa data kuantitatif yang akan dikomparasikan.

C.

Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi

adalah

keseluruhan

subjek

penelititan.

Apabila

seseorang ingin meneliti semua eleven yang ada dalam wilayah
penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Studi atau
penelitianya disebut studi populasi atau studi sensus (Arikunto, 2006).
Populasi dalam penelitian ini 140 orang pasien post operasi
dengan anestesi umum dan anestesi spinal yang merupakan jumlah ratarata satu minggu di Ruang Pulih Sadar RSUD Dr Moewardi Surakarta.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Jika
kita hanya akan meneliti sebagian dari populasi, maka penelitian tersebut
disebut penelitian sampel (Arikunto, 2006).

30

Pada penelitian ini sampel diambil dari sebagian pasien post
operasi di Ruang Pulih Sadar RSUD Dr Moewardi Surakarta yang sesuai
dengan kriteria inklusi dan kriteria eklusi.
a. Besar Sampel
Karena jumlah sampel kecil atau kurang dari 1000, maka
penentuan besar sampel menggunakan rumus (Nursalam, 2008).
n


1  d 2

 

dimana :
n :Besar Sampel
N :Jumlah Populasi
d :Tingkat kepercayaan atau ketepatan yang di gunakan
yaitu sebesar 95 % atau 0,05.
n

140
1  140 0,12

n

140
1  1,4

n

140
2,4

 

n = 58,33
Jadi, sampel dalam penelitian ini adalah 58 orang yang
terbagi menjadi dua kelompok, 29 pasien dengan anestesi umum dan
29 pasien dengan anestesi spinal.

31

b. Teknik Sampling
Berdasarkan pertimbangan keterbatasan tenaga dan dana,
maka pengambilan sampel digunakan dengan teknik nonprobability
sampling method yaitu dengan cara purposive

sampling atau

judgement sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan
cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga
sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah
dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008).
c. Kriteria Sampel
1) Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek
penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan
diteliti/karakteristik sample yang layak diteliti (Nursalam, 2008).
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
a) Responden post operasi sedang sampai besar
b) Responden menggunakan anestesi umum maupun anestesi
spinal
c) Obat anestesi sama
d) Responden berusia lebih dari 17 tahun
e) Responden laki-laki maupun perempuan

32

2)

Kriteria Eklusi
Kriteria

eklusi

adalah

menghilangkan

atau

mengeluarkan subyek peneliti yang tidak memenuhi kriteria
inklusi karena berbagai sebab (Nursalam, 2008).
Kriteria eklusi pada penelitian ini adalah:
a) Sampel pindah ke ruangan
b) Sampel menderita penyakit lain yang memperparah
kesehatan responden
c) Operasi pada sistem pencernaan

D.

Variabel Penelitian
Variabel merupakan suatu konsep atau properti yang mempunyai
variabilitas/variasi nilai. Variabel yang dikaji pada penelitian ini adalah
variabel dependen dan variabel independen yaitu:
1. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang kondisi atau nilainya
dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel dependen pada penelitian ini
adalah aktifasi bising usus.
2. Variabel Independent
Variabel independen adalah variabel yang akan menentukan
dan

akan

berpengaruh

terhadap

variabel

dependen.

Variabel

33

independen pada penelitian ini adalah anestesi umum dan anestesi
spinal.

E.

Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variable yang di
rumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang di
amati (Nursalam, 2008).

Tabel 1. Definisi Operasional
No

Variabel

Definisi

1.

Aktivasi
bising usus

3.

Anestesi

F.

Cara Pengumpulan Data

Cara ukur

merupakan
Observasi
gerakan
mendorong
makanan
agar dapat
berjalan
menuju
bagian
pencernaan
selanjutnya
pemberian
Studi
obat dengan dokumen
tujuan
menghilang
kan
nyeri
pembedahan

Alat ukur
Stetoskop

Hasil ukur
Waktu mulai
bising usus

Dokumen1 = umum
tasi medis
2 = spinal
dan perawat

Skala
Nominal

Nominal

1. Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan mengobservasi
secara langsung kepada responden dengan cara auskultasi pada
abdomen dengan menggunakan stetoskop. Setelah pasien ditentukan,

34

peneliti dibantu 2 orang asisten penelitian melakukan observasi dengan
teknik auskultasi pada abdomen dengan menggunakan stetoskop setiap
5 menit secara terus menerus hingga terdengar adanya bising usus.
Selanjutnya dilakukan pencatatan waktu terdengarnya bising usus pada
lembar observasi.
2. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi dokumen,
yaitu melihat pada catatan rekam medik pasien. Pengumpulan data
dilakukan di Ruang Pulih Sadar, cara pengumpulan data, yaitu dengan
memilih 29 pasien post operasi anestesi umum dan 29 pasien anestesi
spinal. Pemilihan tersebut dilakukan secara acak baik yang
menggunakan anestesi umum maupun anestesi spinal.

G.

Instrumen Penelitian
1. Lembar Observasi
Instrumen ini digunakan selama proses pengambilan data untuk
mencatat hasil observasi terhadap aktivasi bising usus. Penggunaan
lembar

observasi

ini

akan

memudahkan

pengamat

dalam

mendokumentasikan data.
2. Stetoskop
Stetoskop berfungsi menyalurkan suara dari tubuh pasien melalui
tabung kosong berisi udara ke telinga pendengar. Bagian chestpiece
biasanya terdiri dari dua sisi yang dapat diletakaan di badan pasien untuk

35

memperjelas suara yaitu sebuah diapragma dan bell. Bila diapragma
diletakkan di pasien, suara tubuh menggetarkan diaphgram, menciptakan
tekanan gelombang akustik yang berjalan sampai ke tube ke telinga
pendengar. Bila bell diletakkan di tubuh pasien getarakn kulit secara
langsung memproduksi gelombang tekanan akustik yang berjalan ke
telinga pendengar. Bell menyalurkan suara frekuensi rendah, sedangkan
diaphgram menyalurkan frekuensi suara yang lebih tinggi.

H.

Validitas dan Realibilitas
a) Uji Validitas
Uji Validitas merupakan tingkat kemampuan suatu instrumen
untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok
pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tersebut. Instrument
harus dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Misalnya bila
kita akan mengukur tinggi badan balita maka tidak mungkin kita
mengukurnya dengan mengukurnya dengan timbangan dacin. Jadi
validitas disini lebih menekankan pada alat pengukur atau
pengamatan (Nursalam, 2008).
b) Uji Reliabilitas
Reliabilitas

adalah

kesamaan

hasil

pengukuran

atau

pengamatan bila fakta atau diukur atau diamati berkali-kali dalam
waktu yang berlainan. Alat dan cara mengukur atau mengamati
sama-sama memegang

peranan

penting dalam

waktu

yang

36

bersamaan. Perlu diperhatikan bahwa reliabel belum tentu akurat.
Dalam suatu penelitian nonsosial, reliabilitas suatu pengukuran atau
pengamatan

lebih

mudah

dikendalikan

daripada

penelitian

keperawatan, terutama dalam aspek psikososial (Nursalam, 2008).

I.

Prosedur Penelitian
Pengumpulan data merupakan langkah awal dalam mendapatkan
data penelitian. Pengumpulan data penelitian ini akan dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan penyusunan
proposal, mengurus perijinan penelitian, penjajagan dan sosialisasi di
RSUD Dr Moewardi Surakarta.
2. Uji Coba Instrumen
Uji coba instrument ini bertujuan untuk menguji kesepahaman
2 orang asisten yang membantu peneliti agar sesuai dengan yang
diharapkan. Uji coba akan dilaksanakan di Ruang Pulih Sadar RSUD
Dr Moewardi Surakarta oleh peneliti dan 2 orang asisten dengan
mengunakan panduan tool dan lembar observasi. Cara pengumpulan
data, yaitu dengan memilih 29 pasien post operasi anestesi umum dan
29 pasien anestesi spinal dengan melihat di catatan rekam medik.
Pemilihan tersebut dilakukan secara acak baik yang menggunakan
anestesi umum maupun anestesi spinal. Setelah pasien ditentukan,

37

peneliti dibantu 2 orang asisten penelitian melakukan observasi dengan
teknik auskultasi pada abdomen dengan menggunakan stetoskop
hingga terdengar adanya bising usus. Selanjutnya dilakukan pencatatan
waktu terdengarnya bising usus pada lembar observasi.
3. Pelaksanaan Penelitian
a. Memilih kelompok responden yaitu 29 pasien post operasi dengan
anestesi umum dan 29 pasien anestesi spinal dengan melihat pada
catatan rekam medik.
b. Melakukan observasi dengan teknik auskultasi pada abdomen
dengan menggunakan stetoskop hingga terdengar adanya bising
usus.
c. Mencatat waktu terdengarnya bising usus pada lembar observasi.
d. Jika dalam satu hari jumlah responden belum terpenuhi, maka akan
dilanjutkan di hari lain.
4. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian
Pada tahap ini dilakukan penyusunan dan pelaporan hasil
penelitian yang dilakukan dari pengkajian data dan pembahasan.

J.

Analisis Data
Pengolahan data pada penelitian ini akan dilakukan dengan tahaptahap sebagai berikut :

38

1. Editing
Editing dilakukan untuk meneliti kembali apakah isian dalam lembar
observasi sudah lengkap. Editing dilakukan ditempat pengumpulan data,
sehingga jika ada data yang kurang dapat segera dilengkapi.
2.

Coding
Teknik koding dilakukan dengan memberikan tanda pada masingmasing jawaban dengan kode berupa angka. Selanjutnya dimasukan ke
dalam lembaran tabel kerja.

3. Tabulating
Adalah kegiatan memasukkan data hasil penelitian dalam klasifikasi ke
dalam tabel sesuai dengan data yang ditemukan dari responden.
4. Analisis
Analisis data pada penelitian ini menggunakan Uji-t (t-Tes) pada
taraf signifikan 5%. Untuk mengnalisis digunakan rumus Uji-t sebagai
berikut (Sugiyono, 2010).
t=

Di mana :
1

: Mean kelompok I (Anestesi Umum)

1

: Mean kelompok II (Anestesi Spinal)

S2

: Varian populasi

N1, N2 : Jumlah subjek kelompok sampel ke-1 dan ke-2

39

Proses perhitungan data dilakukan dengan bantuan komputer
program SPSS 17.
Analisis data dengan Uji-t harus memperhatikan normalitas
sebaran data dan homogenitas varian. Berikut ini pengkajian mengenai
persyaratan tersebut.
a. Uji Normalitas Sebaran
Uji normalitas sebaran berfungsi untuk mengkaji normal atau tidak
sebaran data penelitian. Pengujian normalitas sebaran data dilakukan
dengan menggunakan rumus Chi Kuadrat berikut.

Di mana:
= koefisien chi kuadrat
fo = frekuensi observasi
fh = frekuensi harapan
Hasil perhitungan kemudian di konsultasikan dengan tabel Chi
Kuadrat dengan kaidah P. Jika X2 observasi < X2 tabel, berarti Ho
yang menyatakan bahwa populasi yang di selidiki tersebut tidak
menyimpang dari distribusi normal, diterima. Dimana X2 observasi
adalah nilai chi kuadrat yang di peroleh dari perhitungan, dan X2
tabel adalah nilai chi kuadrat yang di peroleh dari tabel. Taraf
signifikasi yang di kehendaki sebesar 5% dengan Db (Drajat
Kebebasan) = n-1. Perhitungan dilakukan dengan bantuan komputer
program SPSS 17, dapat dilihat apabila p>0,05; disimpulkan normal.

40

b. Uji Homogenitas Varian
Uji homogenitas varian berfungsi untuk mengetahui seragam atau
tidak variasi sampel-sampel dari populasi yang sama. Untuk
mengkaji homogenitas varian perlu dilakukan uji statistik dengan
rumus uji F berikut.

F=
Hasil perhitungan kemudian dikonsultasikan dengan tabel nilai F,
jika Fo0,05; disimpulkan
homogen.

K. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin
kepada Direktur RSUD Dr Moewardi Surakarta untuk mendapatkan
persetujuan. Melakukan pendekatan kepada pasien untuk mendapatkan
persetujuan dari pasien sebagai subyek penelitian. Data dikumpulkan dengan
melakukan observasi pada pasien pasien post operasi di Ruang Pulih Sadar
RS Dr. Moewardi Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi.

41

1. Lembar Persetujuan Penelitian
Lembar persetujuan penelitian diberikan pada responden.
Tujuannya adalah subyek mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta
dampak yang diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan.
Jika subyek menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa
dan tetap menghormati haknya.
2. Anonimity (Tanpa Nama)
Untuk

menjaga

identitas

pasien,

peneliti

tidak

akan

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, hanya memberi
nomor kode.
3. Confidentially (Kerahasiaan)
Kerahasiaan Informasi dari pasien dijamin oleh peneliti.
4. Bebas dari penderitaan
Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan
kepada responden, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.
5. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)
Responden harus dilakukan secara adil, baik sebelum, selama,
dan sesudah keikutsertaanya dalam penelitian tanpa adanya sangsi
apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.

42

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Lokasi
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi (RSDM) Surakarta
merupakan rumah sakit milik Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah
yang

berdasarkan

SKB

3

Menteri,

Menteri

Kesehatan

No.

554/Menkes/SKB/X/1981, Menteri P dan K No. 0430/V/1981, dan
Menteri Dalam Negeri No. 3241A/1981, tentang Penetapan Rumah Sakit
Surakarta ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan. Yang selanjutnya
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan tanggal 6 September
2007 Nomor: 1011/MENKES/SK/IX/2007 tentang Peningkatan Kelas
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta milik Provinsi Jawa
Tengah ditetapkan dari kelas B pendidikan menjadi kelas A. Selain
sebagai Rumah Sakit Pendidikan, RSDM juga berfungsi sebagai Rumah
Sakit Pusat Rujukan daerah Jawa Tengah bagian tenggara dan Jawa Timur
bagian Barat.
RSDM Surakarta yang terletak di Kota Surakarta, tepatnya di Jl.
Kol. Soetarto 132, Surakarta mempunyai ketenagaan dengan jumlah
tenaga sebanyak 1.612 orang yang terrdiri dari tenaga medis sebanyak 165
orang, PPDS 162 orang, paramedik perawatan 597 orang, paramedik non
perawatan 196 orang, dan non medik 492 orang, dengan kapasitas 704 TT
dan luas lahan 39.915 m2.

42

43

Kegiatan pelayanan di RSDM meliputi pelayanan medis dan
keperawatan, yang salah satunya dilaksanakan di Ruang Pulih Sadar
(recovery room). Ruang Pulih Sadar merupakan bagian dari ruang
Instalasi Bedah Sentral ( IBS ). Lokasinya berada di tengah-tengah IBS
sehingga mudah dijangkau dari semua kamar operasi. Jumlah tenaganya
terdiri dari 17 perawat, yang terdiri dari 4 perawat umum dan 13 perawat
anestesi. Ruang Pulih Sadar tidak memakai bed atau tempat tidur pasien
seperti di ruangan lain, tetapi berupa troli pasien. Troli pasien yaitu
tempat membawa pasien mulai dari menerima pasien sampai dipindah ke
meja operasi serta dipakai saat memindahkan dari ruang operasi ke Ruang
Pulih Sadar untuk diobservasi hingga dipindahkan lagi ke tempet tidur
ruangan pasien dikirim.

B. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
Data aktivasi bising usus pada pasien post operasi dengan anestesi
umum dan anestesi spinal masing-masing diperoleh dari 58 responden di
Ruang Pulih Sadar RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Berikut ini data yang
diperoleh dari hasil observasi peneliti.
a. Jenis Kelamin
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin
L
P

Frekuensi
24
34

Persentase
41.4
58.6

Total

58

100.0

44

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jenis kelamin
laki-laki lebih sedikit yaitu 24 responden (41,4 %) dibandingkan
dengan perempuan 34 responden (58,6 %).
b. Umur
Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan umur
Waktu
16-25
26-35
36-45
46-55
56-65
66-75
Total

Frekuensi
15
11
10
11
10
1
58

Persentase
25.9
19.0
17.2
19.0
17.2
1.7
100.0

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah
responden terbanyak yaitu berusia 16-25 tahun (25,9 %) dan jumlah
responden paling sedikit yaitu berusia 66-75 tahun (1,7 %).
2. Analisis Univariat
a. Aktivasi Bising Usus Pasien Post Operasi dengan Anestesi Umum
Tabel 4. Aktivasi Bising Usus Pasien Post Operasi dengan Anestesi
Umum
Nomor
Responden
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Inisial Responden
Bp. W
Bp. R
Bp. B
Ny. W
Ny. M
Sdr. R
Bp. H
Nn. Y

Waktu
(menit)
45
32
65
40
48
54
45
68

45

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.

Ny. B
Nn. L
Bp. S
BP. Z
Sdr. A
Sdr. K
Sdr. O
Nn. A
Ny. S
Bp. D
Sdr. H
Ny. W
Nn. T
Sdr. J
Bp. A
Ny. P
Ny. D
Ny. Y
Ny. I
Ny. P
Ny. S
Rata-rata

68
25
38
50
50
52
36
27
62
47
60
65
65
26
41
64
56
52
65
36
68
50,07

Dari tabel di atas diketahui rata-rata aktivasi bising usus pada
pasien post operasi dengan anestesi umum adalah 50,07.
b. Aktivasi Bising Usus Pasien Post Operasi dengan Anestesi Spinal
Tabel 5. Aktivasi Bising Usus Pasien Post Operasi dengan Anestesi
Spinal
Nomor
Responden
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Inisial
Responden
Ny. P
Ny. W
Ny. W
Ny. M
Ny. S
Ny. B
Ny. D
Ny. L

Waktu
(menit)
17
29
31
30
8
36
35
40

46

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.

Sdr. A
Sdr. R
Bp. I
Ny. R
Ny. H
Nn. K
Sdr. H
Ny. M
Bp. B
Ny. R
Ny. S
Bp. R
Bp. W
Bp. M
Ny. M
Ny. A
Sdr. N
Ny. P
Ny. T
Bp. D
Ny. U
Rata-rata

51
34
33
36
42
30
32
45
44
37
22
11
23
52
17
32
12
54
56
39
47
33,83

Dari tabel di atas diketahui rata-rata aktivasi bising usus pada
pasien post operasi dengan anestesi spinal adalah 33,83.
c. Perbandingan Aktivasi Bising Usus Pasien Post Operasi dengan
Anestesi Umum dan Anestesi Spinal
Tabel 6. Perbandingan Aktivasi Bising Usus Pasien Post Operasi
dengan Anestesi Umum dan Anestesi Spinal
Data

N

Anestesi Umum
Anestesi Spinal

29
29

Waktu
Tercepat
20
8

Terlama
68
56

Rata-rata
50,07
33,83

Tabel perbandingan di atas menunjukkan bahwa waktu tercepat
aktivasi bising usus pada pasien post operasi dengan anestesi umum

47

adalah pada menit ke 20 dan pada pasien post operasi dengan anestesi
spinal pada menit ke 8. Waktu telama pada pasien post operasi dengan
anestesi umum adalah pada menit ke 68 sedangkan pada pasien post
operasi dengan anestesi spinal pada menit ke 56.

C. Pembahasan
Setelah dilakukan observasi pada pasien post operasi dengan anestesi
umum dan anestesi spinal, diperoleh data mengenai waktu aktivasi bising
usus. Data tersebut diperoleh dari 29 pasien post operasi anestesi umum
dan 29 pasien dengan anestesi spinal.
Masa pulih sadar dimulai sejak pasien keluar dari ruang operasi,
dibawa dalam keadaan tidak sadar atau setengah sadar ke ruang
pemulihan. Pada saat seperti ini, ada sebagian organ atau sistem organ
yang belum berfungsi kembali, seperti pencernaan dan perkemihan
(Zunilda, 2007). Pada pasien post operasi dengan anestesi umum dan
anestesi spinal tidak terdengar adanya peristaltik usus selang beberapa
waktu kemudian diobservasi hingga terdengar adanya suara bising usus.
Windiarto (2008) melakukan penelitian tentang perbedaan aktifasi
peristaltik usus pada pasien post operasi dengan anestesi umum yang
ROM aktif dan pasien ROM pasif. Hasilnya adalah bahwa lama waktu
tercepat terjadinya pemulihan peristaltik usus pada responden yang
melakukan ambulasi dini ROM pasif terjadi pada menit 25 dan terlama
terjadi pada menit 60, dengan rata-rata lama waktu terjadinya pemulihan

48

peristaltic usus terjadi pada menit 42.50. pada penelitian ini didapatkan
data bahwa waktu tercepat aktivasi bising usus pada pasien post operasi
dengan anestesi umum adalah pada menit ke 20 dan pada pasien post
operasi dengan anestesi spinal pada menit ke 8. Waktu telama pada pasien
post operasi dengan anestesi umum adalah pada menit ke 68 sedangkan
pada pasien post operasi denga