Membenahi Demokrasi Indonesia Dengan Das

Membenahi Demokrasi Indonesia
Dengan Dasar Pancasila 1
Oleh : Bakhrul Amal 2

3

Setiap negara selalu memiliki satu tujuan yang sama, yaitu membangun
negara yang baik yang bisa memenuhi kebutuhannya, kini dan nanti. Naomi
Caiden, profesor ilmu politik dari Universitas California membenarkan hal itu,
dia bahkan memastikan bahwa hal itu telah lama menjadi teka-teki administrasi
politik kontemporer. Tidak jarang pula, utamanya kata Caiden, dalam beberapa
dekade terakhir ini karena ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan
rakyatnya, kita telah terbiasa dengan keadaan penggulingan satu rezim ke rezim
lainya. 4
Reformasi, sebuah kata yang mungkin tidak asing lagi di telinga masyarakat
Indonesia. tepatnya di tahun 1998, yang menjadi magnum opus, dari bagaimana
kata-kata ini mampu menyihir jutaan orang untuk bergerak mengepung gedung
DPR. Meskipun bukan sebuah produk, tetapi reformasi memiliki posisi tawar
yang cukup tinggi di tahun itu. Ide-ide kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan
1


Disampaikan dalam seminar bersama SOFI Institute, 7 Juni 2014, di Hotel Sunyaragi
Mahasiswa Magister Kenotariatan UNDIP, Santri pada Komunitas Diskusi @komunitaspayung
dan teman dekat Satjipto Rahardjo Institute Semarang.
3
Foto : Soekarno dan Mohammad Hatta
4
Naomi Caiden, Public Administration Review : To build Nation, ( Los Angeles : Univesity
California Press, 2006) hlm 291

2

muncul mengikat menjadi satu dalam selimut reformasi, sehingga hukumnya
wajib diperjuangkan.
Untuk sekedar mengembalikan ingatan kita, maka saya sajikan enam
tuntutan Reformasi kala itu, atau enam visi reformasi, yang terdiri dari:
1. Adili Soeharto,
2. Tegakkan Supremasi Hukum,
3. Cabut Dwifungsi ABRI,
4. Amandemen UUD 1945,
5. Otonomi seluas-luasnya,

6. Budayakan demokrasi yang sehat dan egaliter serta Hapus budaya KKN.
16 tahun telah berlalu. Semenjak jatuhnya Soeharto, terhitung telah ada
empat pengganti setelahnya. Diawali oleh Bj Habibie, kemudian dilanjutkan
Abdurrahman Wahid, Megawati dan yang terakhir adalah SBY. Dari keempatnya, kita telah merasakan bagaimana nilai-nilai Reformasi itu mulai
menemukan nyawanya.
Abdurahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur langsung mencabut dwi
fungsi ABRI dan memberikan kebebasan pers. Warga Tionghoa
diperbolehkannya beribadah kembali, dan tentu, para eks komunis saat ini
mendapatkan kembali hak-nya sebagai warga negara. Tongkat estafet Gus Dur
menjalar jauh menuju SBY. Di era SBY, otonomi daerah mulai digalakan. UU No
32 Tahun 2004 menjadi garda terdepan legalisasi dari kebebasan daerah
menentukan sendiri nasibnya.
Seperti pribahasa “tidak ada gading yang tak retak”, cita-cita Reformasi pun
secara nyata ada kegagalannya. Baik poin satu hingga poin enam, semua merujuk
pada satu makna yaitu kesetaraan dalam bentuknya masing-masing. Dan
kesetaraan, tidak akan mungkin tercapai apabila tidak disokong oleh satu sistem
yang kita sebut dengan demokrasi. Dari titik inilah kemudian kita tahu, bahwa,
kegagalan itu letaknya tepat berada pada poin enam yang justru sangat
fundamental.
Mengingat sebegitu pentingnya demokrasi, maka, tidak salah apabila kita

bertanya tentang, apa yang disebut dengan demokrasi? Seberapa besarkah
pengaruhnya terhadap kesetaraan, kebebasan dan persaudaraan? Demokrasi
seperti apakah yang cocok diterapkan di Indonesia? Tiga pertanyaan itu juga pergi
dan mengalir di setiap telinga para pemerhati kenegaraan. Oleh karena itu, sedikit
banyak, tulisan ini akan mencoba memberikan jawabannya mengenai prinsip
demokrasi dalam lukisan besar Indonesia.

DEMOKRASI
Ketika disuguhi kata demokrasi, maka semua sepakat bahwa arti dari pada
intinya adalah kekuasaan atas dasar kedaulatan rakyat. Kesimpulan itu didapatkan
atas dasar bahwa demokrasi terdiri dari dua suku kata, yaitu demos dan kratos.
Demos sendiri memiliki arti rakyat, sedangkan kratos adalah pemerintah.
Baru-baru ini, kenyataan akan arti itu mendapatkan sangkalan yang cukup
keras. Bahkan jika kita sekarang masih menganggap bahwa Demokrasi berasal
dari Athena, hanya karena memiliki akar kata Yunani yaitu demos dan kratos,
maka, kita mungkin telah keliru. Adalah John Keane, sang guru besar Universitas
Sidney dan pendiri The Centre for Study of Democracy yang mengutarakan hal
tersebut. Melalui tulisannya dalam The Life and Death Democracy, Keane
berpendapat bahwa “The claim put forward within most Greek plays, poems and
philosophical tracts, that fifth century Athens wins the prize for creating both the

idea and the practice of democracy, ... It continues until this day to be repeated by
most observers. But it is false.” 5
Keane kemudian menambahkan, jikalaupun ingin diselaraskan, maka katakata yang telah lama menjadi rujukan itu ditemukan pada periode Mycenaean dan
Phoenician, era itu berada sekitar tujuh hingga sepuluh abad lebih dini dari
Athena (1500-1200 SM). Dalam bahasa Mycenaean dikenal kata dámos yang
merujuk pada kelompok orang-orang lemah yang menghuni tanah yang sama. Itu
pun tidak jelas, kapan dan bagaimana awalnya Mycenaean menggunakan suku
kata tersebut (It is unclear exactly how and when the Mycenaeans learned to use
the two-syllable word dâmos). 6
Keane berargumen bahwa bisa jadi, justru demokrasi muncul dan berawal
dari timur. Kata-kata demos yang merujuk pada istilah keluarga, menurutnya lebih
dekat kepada referensi bahasa Sumeria yaitu “dumu”. Dumu sendiri memiliki arti
penghuni atau anak-anak dalam satu tempat geografis. 7(What is also unclear is
whether these words, and the family of terms we use today when speaking about
democracy, have origins further east, for instance in the ancient Sumerian
references to the dumu, the 'inhabitants' or 'sons' or 'children' of a geographic
place)

5


John Keane, The Life and Death Democracy Intro, http://www.thelifeanddeathofdemocracy.org,
hlm 2
6
Ibid hlm 2
7
Ibid hlm 2, Keane berargumen bahwasanya kata-kata yang memiliki arti kekeluargaan itu, yang
dimana kita menyebut itu dengan demokrasi, nyatanya lebih memiliki kemiripan dengan bahasa
Sumeria yaitu dumu.

Apa yang menjadi dalih Keane dalam tulisannya bukanlah hal yang
sembarangan. Sejalan dengan Keane, para arkeolog kontemporer pun (menurut
Keane) menemukan fakta bahwa inovasi demokrasi tidak berawal dari Yunani.
Lampu atau pijar-pijar demokrasi justru pertama kali dinyalakan dari Timur,
secara geografis tepatnya adalah negara Suriah kontemporer, Iran dan Irak.
Yang menarik dari buku The Life and Death Democracy adalah bagian
dimana ketika Keane menerangkan bahwa, setiap pergantian frase, setiap adat dan
setiap lembaga demokrasi adalah terikat dengan waktu. Artinya, bagaimanapun
kita memahami demokrasi, demokrasi haruslah ditetapkan dan disesuaikan
dengan kondisi dan situasi dimana ia akan ditegakan. Secara garis besar Keane
ingin memberikan pehaman bahwa demokrasi yang hidup di Amerika dan Eropa

tidak bisa serta merta diterapkan langsung di Indonesia.
DEMOKRASI DI INDONESIA
Berangkat dari penelitian Keane, kita masuk menuju gerbong demokrasi
Indonesia. Diawali oleh chaos, seperti apa yang diungkapkan oleh Brenda Dervin
dan Sandra Braman, sistem demokrasi kemudian dipertimbangkan oleh Indonesia
sebagai pengganti rezim represif orba (....chaos theory to be a fruitful starting
point for reconsidering the information/democracy relationship). 8 Tujuannya
adalah untuk mampu memberikan kebebasan yang bertujuan keadilan bagi semua,
mengingat begitu banyak golongan yang terlibat dalam reformasi. Tidak salah
pula artinya apabila Robert Dahl, seorang pakar demokrasi Amerika mengatakan
bahwa demkorasi, seringkali dikatakan, bersandar pada kompromi (Democracy, it
is frequently said, rests upon compromise) 9.
Seperti sudah menjadi suatu hukum, dimana pemula selalu mencontoh apa
yang telah dilakukan seniornya. Era Reformasi di Indonesia yang memunculkan
demokrasi, diiringi pula dengan konsep dari bagaimana demokrasi itu sendiri.
8

Leah A. Lievrouw, Special Topic Issue: Information Resources and Democracy, (Alabama :
Journal of The American Society For Information Science, 1994) Lievrouw menemukan dua
artikel menarik yang ditulis oleh Brenda Dervin dan Sandra Braman. Dervin menganggap

informasi sebagai dasar dari demokrasi yang kemudian memberdayakan individu. Sementara
Sandra Braman mengusulkan akses informasi dan penggunaan komunikasi antar masyarakat
sebagai sarana evolusi negara autopoiesis (negara ciptaan sendiri), sebagai pengganti negara
bangsa dan negara korporatis di era modern. Yang menjadi ketertarikan Lievrouw akan kedua
artikel tersebut adalah, kedua artikel itu menemukan bahwasanya kondisi chaos adalah titik awal
yang bermanfaat untuk mempertimbangkan kembali informasi atau demokrasi.
9
Robert Dahl, A Preface to Democratic Theory, ( Chicago : The University of Chicago, 2006), hlm
45 perlu digaris bawahi, bahwasanya Dahl juga mengatakan bahwa prinsip demokrasi yang
seperti itu pun, tidak lepas dari tarik menarik atau bentrok antra kompromi sendiri dan prinsipprinsip antagonis (...But democratic theory itself is full of compromises-compromises of clashing
and antagonistic principles.)

Indonesia, yang saat itu sedang mencoba resep demokrasi, mencoba mengadopsi
demokrasi yang telah lebih dulu berkembang di barat, seperti di Amerika maupun
Eropa.
Sudah barang tentu, demokrasi yang coba disuguhkan dalam kenyataan
politik kita, baik era-era awal Reformasi hingga kini, adalah demokrasi liberal ala
Amerika. Hal itu terlihat seperti apa yang Henry B. Mayo katakan dimana sistem
demokrasi tak ubahnya di mana kebijakan umum ditentukan atas dasar suara
mayoritas (A democratic political system is one in which public policies are made

on a majoritu basis,..). 10Demokrasi di Indonesia dimaknai sebagai suara
terbanyak bukan sebagai kebebasan berpendapat yang dilihat dari kualitas
argumennya. Bukan pula sebagai suatu sistem khidmat permusyaratan dan
perwakilan, sebagaimana disebutkan dalam sila ke empat Pancasila.
Sangatlah benar, bahwa demokrasi memang mengacu pada satu sistem
politik dimana rakyat atau wakilnya memimpin secara sah. Keane pun mengakui
bahwa tidak ada campur tangan kediktatoran militer, partai totaliter ataupun raja
dalam demokrasi, semua dijalankan untuk perintah sendiri. Hal itu pula yang
menjadi klaim para pakar untuk mengatakan bahwa demokrasi adalah kebaikan
universal. Tetapi kenyataan ini tidak cukup dijadikan alasan demokrasi di suatu
negara dijadikan contoh mutlak untuk diterapkan dinegara lainya (seperti
Indonesia yang meniru Amerika).
Pada waktu itu, mungkin juga hingga kini, pemahaman masyarakat
Indonesia akan demokrasi adalah pemahaman terhadap sistem tentang semua
manusia dianggap sama. Oleh karenannya, siapapun memiliki hak dan
kesempatan untuk menjadi wakil rakyat. Dalam negara modern demokrasi
semacam itu dikenal dengan, demokrasi berdasarkan perwakilan (reprentative
democracy). 11 Tidak perduli tukang becak, buruh cuci, pengusaha, pak haji,
pelacur ataupun orang kaya raya semua diberi hak untuk dipilih dan memilih.
Mengambil sedikit kalimat Félix Guattari, “setiap orang ingin menjadi

fasis” (everybody wants to be a fascist). Melalui sarana partai politik, semua orang
saling berebut untuk menjadi legislatif. Satu-persatu wajah haus kekuasan muncul
dan memenuhi surat suara. Dengan logika suara terbanyak, maka tentu, hal
termudah untuk membuat orang memilih mereka adalah dengan iming-iming.
Baik itu berupa janji ataupun uang, yang terpenting setiap calon memenuhi syarat
dipilih oleh banyak suara. Keadaan itu (yang kita anggap sebagai demokrasi yang
benar) justru memuncukan apa yang disebut John Rawls dengan “kesetaraan yang
10

Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory ( New York : Oxford University Press,
1960), hlm 170
11
Prof. Miriam Buhardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008), hlm 109

kemudian memunculkan ketidaksetaraan yang lebih besar”. (bagaimana mungkin,
seorang calon yang basic awalnya tukang becak, dalam persaingan kapital ini,
mampu menyaingi kekuatan ekonomi calon lain yang berangkat dari latar
belakang pengusaha).
Disinilah awal mula demokrasi transaksional dimulai. Di tengah zaman
yang semakin pragmatis, para kapital mulai memainkan perannya. Demokrasi

Indonesia harus puas hanya menjadi mantel dari sistem lama yang kita kenal
dengan oligarki. Perbedaannya, jika oligarki orde baru lebih condong kepada
kaum militier, di masa Reformasi ini, oligarki berpindah tangan kepada kuasa
kapital. Namun lebih parahnya, dalam oligarki orde baru prinsip meritokrasi
masih dijunjung tinggi, sedangkan oligarki kapital mengabaikan meritokrasi.
Kita sepertinya tidak sempat menyadari hal itu karena yang kita pikirkan
saat-saat ini hanya bagaimana pemilu dapat berjalan lancar, agar syarat demokrasi
terpenuhi. Kita pun kemudian lebih fokus kepada pelanggaran pemilu daripada
memilih untuk teliti mencermati keadaan yang lebih parah. Keadaan yang lebih
parah itu adalah mulai tumbuhnya (secara unconscious) oligarki baru dalam
cengkraman kapital. Mereka mengumpat dibalik kekeliruan penerapan demokrasi,
yang justru jarang kita tengok lebih dalam. Sebagai contohnya dimana seorang
kepala daerah yang telah menjabat dua periode, bisa memindahkan kekuasaan
pada istri atau anaknya dengan kekuatan kapital.
TITIK KEBERANGKATAN DAN PERBEDAAN ANTARA DEMOKRASI
AMERIKA DAN INDONESIA
Sebenarnya tidak bisa juga secara serampangan kita menyalahkan
demokrasi ala Amerika. Karena pada dasarnya, di dalam demokrasi yang
diterapkan Amerika mensyaratkan harus terpenuhi setidaknya tiga hal. Syarat
yang seimbang antara kesetaraan dan kebebasan itu terdiri :

1. Pendidikan yang merata.
2. Ekonomi yang merata. (lahan tanah yang sama)
3. Kesamaan latar belakang (White Anglo-saxon Protestant)
Demokrasi Amerika sampai hari ini bisa berjalan baik karena terpenuhinya
ketiga syarat tersebut. Sementara Indonesia, setelah belasan tahun demokrasi
digemborkan nyatanya belum mampu mencapai target ketiganya.
Demokrasi Amerika pun sesuai dengan prinsip Rawls dimana demokrasi,
untuk mencapai distribusi keadilan yang merata dan demi kemaslahatan atau
keuntungan bersama (an equal distribution,...., will work to everyone’s
advantage). Yang kedua, ditambahkan oleh Rawls, setelah tercapainya

penjaminan kesejahteraan, maka kebebasan dasar, kebebasan politik, kebebasan
berbicara, berkumpul, berhati nurani dan menjalankan pikirin serta pengakuan
akan kekayaan pribadi baru bisa dihargai. (Second, once a certain level of
material well-being is secured, we will value our basic liberties – political liberty,
the freedoms of speech, assembly, conscience, thought, personal property –more
than other goods) 12
Kedua ide tersebut mengarah pada dua prinsip keadilan. Dimana prinsip
yang pertama melalui keadilan politik selalu menjadi prioritas dari prinsip
keadilan sosial :
1. each person is to have an equal right to the most extensive total system of
equal basic liberties compatible with a similar system of liberty for all;
and (Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memanfaatkan penuh
sistem secara luas atas dasar yang sama yang kompatibel dengan
kesamaan sistem untuk kebebasan semua; dan)
2. social and economic inequalities are to be arranged so that they are both
(Kesenjangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga
keduanya)
a. to the greatest benefit of the least advantaged…and (dipergunakan
untuk sebuah manfaat yang besar dari hal yang paling
menguntungkan....dan)
b. attached to offices and positions open to all under conditions of fair
equality of opportunity ( menyediakan jabatan dan posisi yang terbuka
untuk semua di bawah kondisi yang adil setara dengan melihat dari
sisi kesempatan) 13
Dari penjelasan singkat di atas setidaknya kita bisa menyimpulkan, bahwa
titik keberangkatan demokrasi Indonesia dan Amerika memiliki perbedaan yang
jauh. Hal itu pula yang menjadi indikasi mengapa sampai saat ini demokrasi
(lebih tepatnya ala Amerika) sulit diterapkan di Indonesia. Kedua syarat, baik
yang diputuskan menurut Amerika ataupun Rawls, sampai saat ini belum mampu
dipenuhi oleh Indonesia.
Dasar sejarah itulah yang menjadi senjata untuk secepat mungkin
mengambil langkah dan memodifikasi kembali demokrasi yang selama ini
berjalan. Karena, apabila terus dilangsungkan, pemahaman demokrasi yang

12
13

Michael Lacewing, Rawls and Nozick on Justice, Routledge Taylor and Francis Group, hlm 1
Ibid, hlm 2

prematur ini justru akan memunculkan kekejaman baru yang jauh dari cita-cita
reformasi 14.
DEMOKRASI PEMUSYWARATAN ALA INDONESIA

15

Jika kita mau menengok ke belakang, sesungguhnya Indonesia telah
memiliki konsep demokrasinya sendiri. Konsep demokrasi Indonesia berdasarkan
Kapal-Persatuan, atau, kapal yang telah membawa kita merdeka. Soekarno
sebagai salah satu penggagas demokrasi Indonesia menilai, bahwa “demokrasi
politik sahaja, belum menyelamatkan rakyat... dimana demokrasi dijalankan tetapi
justeru kapitalisme merajalela dan kaum Marhaen-nya...sengsara!”. Oleh sebab
itu, “Kaum Nasionalis Indonesia tidak boleh mengeramatkan ‘demokrasi’ yang
demikian” 16(seperti yang disebutkan sebelumnya). Dalam buku Negara Paripurna,
Yudi Latif mengutip ungkapan Soekarno yang berpihak pada sosio demokrasi
dengan mengatakan bahwa :
“.....sosio demokrasi bukanlah demokrasi ala Revolusi Prancis, bukan
demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala Nederland, ala Jerman dll.tetapi ia adalah demokrasi jang mencari keberasan politik DAN

14

Contohnya adalah seperti yang telah disebutkan, oligarki minus meritokrasi akan merajalela
dalam kontrol kapital. Merujuk pada tata cara bagaimana kapital bekerja, Marx merumuskan satu
konsep yang formulasinya adalah M-C-M (money is used to buy a commodity which is resold to
obtain a larger sum of money). Calon legislatif yang mencapai tujuannya dengan uang akan
berpikir bahwa uang itu adalah modal. Kemudian, setelah memperoleh jabatannya, mereka
memanfaatkan jabatan itu sebagai komoditas yang disalahgunakan untuk memperoleh
keuntungan melebihi modal awalnya. (Karl Marx, Capital Volume One, Part II : The
Transformation of Money and Capital, Chapter Four:The General Formula for Capital)
15
Foto : Suasana sidang BPUPKI
16
Yudi Latif, Negara Paripurna, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 2011), hlm 409-410

ekonomi......sosio demokrasi
demokrasi-ekonomi” 17

adalah

demokrasi-politik

DAN

Penggabungan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi Indonesia
nyatanya tercermin dalam penempatan pasal pancasila. Pasal empat yang menjadi
ciri dari demokrasi Indonesia, dihimpit oleh dua pasal yaitu pasal tiga dan lima
yang berisi persatuan dan keadilan. Disitu dapat terlihat jelas bahwa tanpa didasari
persatuan dan keadilan, maka rakyat tidak akan bisa tumbuh dan dipimpin dalam
permusyawaratan dengan khidmat yang penuh kebijaksaan.
Pandangan para founding father dan mothers Indonesia juga begitu cermat
dan sistematis. Kepemilihan bentuk negara republik ternyata saat ini baru disadari
bukanlah tanpa alasan. Jurgen Habermas, pada tahun 1994 pernah menulis
makalah Three Normative Models of Democracy, disitu dia katakan bahwa model
republik lebih menguntungkan dalam menjaga kemurnian demokrasi
dibandingkan dengan model liberal. Habermas menyambung ungkapan itu dengan
argumen, sistem republik mampu mengaktifkan peran komunikasi yang
memberikan legitimasi terhadap politik, dan juga menghasilkan keputusan yang
pas. Sementara sistem liberal, sistem yang dibangun lewat persaingan pasar,
hanya akan dipimpin oleh rasio optimal yang konsekuensinya adalah politik
kehilangan inti normatifnya dari alasan kepentingan umum. 18
Meski awal kata demokrasi bukan dari Indonesia, akan tetapi nilai-nilai
yang terkandung dalam demokrasi telah hidup dalam budaya masyarakat
Indonesia. Bentuknya memang sedikit berbeda, budaya demokrasi Indonesia
dibangun oleh apa yang Soekarno sebut dengan semangat kekeluargaan (gotongroyong). Tradisi musyawarah atau rembug desa untuk menemukan kecocokan
pandangan adalah contohnya.
Keniscayaan sejarah dan kebiasaan ber-demokrasi yang sudah ada di
Indonesia itu membuat Hatta menilai bahwa :

17

Ibid, hlm 411
Jurgen Habermas, Three Normative Models of Democracy, (USA : Blackwell Publishers, 1994)
hlm 3-4, Habermas membandingkan bahwa konsep republik sangat berlawanan dengan liberal,
konsep republik lebih memungkinkan untuk seseorang dapat membahas orientasi nilai dan
interpretasi dari kebutuhan dan keinginan, yang pada akhirnya kemudian mengubah itu dengan
cara yang berwawasan. Tetapi Habermas cenderung kecewa terhadap sistem republik kekinian
yang mulai memberikan komunikasi publik pada komutarian. Hal ini justru menyempitkan
wacana politik ke ranah etis. Pandangan inilah yang kemudian digunakan Rousseau untuk
membagi warga negara yang mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan
pribadinya, yang oleh karena itu tidak membebaninya secara etis. Habermas beranggapan bahwa
justru kedua hal tersebut seharusnya dikomunikasikan dalam bentuk musyawarah.
18

“Jadinya, kita tiada membuang apa yang baik pada asas-asas lama,
tidak mengganti demokrasi asli Indonesia dengan barang impor.
Demokrasi itu kita hidupkan kembali, akan tetapi tidak pada tempat
yang kuno, melainkan pada tingkat yang lebih tinggi, menurut
kehendak pergaulan hidup sekarang” 19
Demokrasi Indonesia yang berbentuk musyawarah menurut Agus Salim,
hasil keputusannya tidak ditentukan oleh suara mayoritas. Tidak ada dikte
mayoritas dalam demokrasi Indonesia. Soekarno bahkan secara tegas memagari
demokrasi Indonesia untuk jangan mengikuti model “mayorokrasi” ataupun
“minorokrasi”. Bilamana diperhatikan dengan seksama, demokrasi ala Indonesia
ini sedikit mirip dengan demokrasi deliberatif yang mengutamakan argumentasi
berdasarkan daya-daya konsensus, diatas keputusan voting. 20
Demokrasi di Indonesia pun “tidak cukup hanya sampai pada keterpilihan
eksekutif, yudikatif dan legislatif saja” kata Bung Hatta, tetapi partisipasi
masyarakat pun tidak kalah penting. Seperti partisapi dalam ekonomi, politik
keterbukaan interaksi, access to justice, dan layanan publik. Demokrasi Indonesia
juga tidak hanya dicirikan dengan berjalannya prosedur pengambilan keputusan,
melainkan juga upaya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan kesejahteraan. 21
PENUTUP
Menggali dan menerawang kembali prinsip demokrasi yang cocok
diterapkan di Indonesia sangatlah menarik. Apalagi, kenyataan politik kita hari ini
menunjukan grafik yang menurun tajam. Perayaan gagasan, ide dan konsepsi
sudah tidak lagi terdengar. Kekuasaan modal, uang dan jual beli suara justru
marak bahkan dianggap sebagai hal yang biasa. Isu ini telah cukup bagi Ernest
Laclau untuk menasbihkan kita, agar bergerak merepresentasikan pembaharuan
revolusi demokrasi elektoral menuju seri baru isu-isu hubungan sosial. 22
Demokrasi liberal pasca tegaknya reformasi adalah demokrasi yang justru
membawa kita kembali pada lembah kelam. Mimpi-mimpi indah yang
ditawarkannya pun tak ubahnya hanya ilusi belaka. Oligarki yang kita runtuhkan
bersama justru tumbuh dan menjulang semakin besar. Derasnya bahkan tak
19

Yudi Latif, op cit 414 ; tulisan Hatta yang dirangkum dalam Karya Lengkap Bung Hatta;
Kebangsaan dan Kerakyatan. (Jakarta, LP3ES, 1998)
20
Yudi Latif, op cit 456 ; disitu dijelaskan pula mengenai awal kemunculan istilah Demokrasi
Deliberatif yang pertama kali diperkenalkan oleh Joseph M. Bessette.
21
Yudi Latif, op cit, hlm 484
22
Nancy Caro Hollander, Jurnal : Trauma, Ideology, and the Future of Democracy, Wiley
InterScience : 2006, hlm 165

terbendung lagi. Kita saat ini justru dibawa pada satu titik perasaan dimana, kata
Slavoj Zizek, kita seolah merasa dengan menekan tombol lift, maka pintu lift itu
akan tertutup dengan cepat, padahal hal itu tak berguna. 23
Hari ini, dimana kita kemudian secara bersama-sama menyadari betapa
kejamnya demokrasi liberal, hal yang harus kita lakukan adalah membaca kembali
gagasan pendahulu kita. Demokrasi Permusyawaratan yang berangkat dari nilainilai luhur kearifan lokal bangasa Indonesia, kita hidupkan kembali. Fokus kita
menghapus politik uang kita cerahkan kembali “dari mempertanyakan akibat
dengan mencari sebab”. Menyadari bahwa kematian adalah hal yang menakutkan,
maka menunggu fasis yang baik adalah fasis yang mati akan memakan waktu
yang lama. Cara terbaik, untuk setidaknya melemahkan hegemoni nilai tukar
berupa uang itu, adalah dengan membangkitkan kembali perang gagasan dan ide
dengan demokrasi ala Indonesia sebagai pijakannya.

23

Lihat paper Bakhrul Amal, Kuasa Bahasa (Suatu Kajian Awal Dalam Psikoanalisis Jacques Lacan
dan Slavoj Zizek)

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157