Buletin Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi
Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Konstribusi dan Tantangan
Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki
Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada Peningkatan Kiprah BKPRN Dr. Ir. Max H. Pohan, CES
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013
buletin tata ruang & pertanahan 5
6 buletin tata ruang & pertanahan
Harmonisasi peraturan yang disusun oleh berbagai lembaga pengguna ruang telah selesai dikupas dalam Buletin Tata Ruang & Pertanahan Edisi I/2013. Berbagai langkah maju telah dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), salah satunya dengan menginisiasi berbagai pertemuan koordinasi antarsektor yang kegiatan maupun aturannya saling terkait. Sampai dengan saat ini BKPRN sebagai badan yang awalnya dibentuk untuk menyelesaikan berbagai konflik antarsektor masih berjalan cukup baik dalam mengkoordinasikan berbagai kepentingan sektoral dan daerah.
Tidak terasa, sudah hampir 25 tahun BKPRN berkiprah di Indonesia. Awalnya dibentuk pada Tahun 1989 dengan nama Tim Tata Ruang, Tim ini kemudian bertransformasi menjadi BKTRN dan kemudian BKPRN. Sampai dengan saat ini, peran dan tujuan pembentukan Tim Tata Ruang tetap konsisten. Koordinasi dan resolusi konflik masih menjadi area utama Tim Tata Ruang di masa lalu dan BKPRN di masa kini. Namun, bagaimana dengan efektivitasnya? Meningkat ataukah justru berkurang?
Selain BKPRN yang berkiprah di Pemerintah Pusat yang mengkoordinasikan berbagai kementerian dan lembaga, pemerintah daerah dituntut pula membentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) untuk menjalankan fungsi yang sama di daerah. Bedanya adalah, BKPRD bertugas mengkoordinasikan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk menyelesaikan masalah koordinasi lokal dan juga konflik antarsektor yang menjadi urusan pemerintah daerah. Baik BKPRN maupun BKPRD adalah badan pemerintah yang bersifat ad-hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan pimpinan tertinggi pemerintahan. Bentuk yang bersifat ad-hoc serta jalur komunikasi yang tidak formal dan hirarkis antara BKPRN dan BKPRD dapat menjadi kekuatan maupun juga kekurangan kedua lembaga koordinasi ini. Bagaimana tanggapan para pelaku di masa lalu dan saat ini tentang kondisi tersebut?
Menyambut 25 tahun BKPRN, Buletin Tata Ruang & Pertanahan mengangkat tema Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan yang Telah dan Perlu Dilakukan. Fokus diskusi utama adalah koordinasi penataan ruang di Indonesia sejak Tahun 1989 sampai dengan Tahun 2013 dengan narasumber Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Ir. Herry Darwanto dan Dr. Ir. Abdul Kamarzuki. Diskusi diantara ketiga narasumber tersebut menarik untuk disimak karena mewakili tiga periode yang berbeda dalam koordinasi penataan ruang nasional. Selanjutnya, untuk mewakili perdebatan hangat pembagian peran BKPRN dan BKPRD, wawancara kali ini menghadirkan Dr. Muh Marwan (Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri) dengan topik Sinergikah BKPRN dan BKPRD?. Selain itu, topik penting
lainnya yang diangkat dalam edisi kali ini adalah Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang menjadi langkah strategis berikutnya setelah penyusunan rencana tata ruang berhasil ditetapkan. Materi ini diulas secara komprehensif oleh Dr. Basoeki Hadimoeljono (Dirjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum).
Seperti halnya pada edisi-edisi sebelumnya, keseimbangan isi antara Bidang Tata Ruang dan Bidang Pertanahan selalu dipertahankan. Untuk edisi kali ini, Rubrik Ringkas Buku, Koordinasi dan Kajian akan diisi oleh Bidang Pertanahan dengan materi Bank Tanah, Kegiatan Reforma Agraria Nasional, dan Arah Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019. Tidak lupa berbagai kegiatan penting yang telah dilakukan sejak pertengahan Tahun 2013 sampai dengan akhir Tahun 2013 tetap kami hadirkan, termasuk juga perkenalan perdana dari Direktur Tata Ruang dan Pertanahan yang baru. Selamat datang Pak Oswar ke dalam Keluarga Besar Tata Ruang dan Pertanahan.
Selamat membaca kepada seluruh penerima Buletin ini, saran untuk perbaikan tetap kami tunggu! [ma].
susunan redaksi
pelindung
penanggung jawab pemimpin redaksi dewan redaksi
editor
redaksi
desain & tata letak distribusi & administrasi
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Mia Amalia Dwi Hariyawan S
Uke M. Hussein Nana Apriyana Rinella Tambunan
Khairul Rizal
Hernydawati Santi Yulianti Aswicaksana Agung Dorodjatoen Raffli Noor Gina Puspitasari Indra Ade Saputra Idham Khalik
Dodi Rahadian Sylvia Krisnawati
Redha Sofiya
Cindie Ranotra Riani Nurjanah Octavia Rahma Mahdi Chandrawulan Padmasari Gita Nurrahmi Hadian Idhar Yasaditama Dea Chintantya
alamat redaksi Direktorat Tata Ruang dan
Pertanahan, Kementerian PPN/ Bappenas Jl. Taman Suropati No. 2 Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 021 - 392 66 01 [email protected] http://www.trp.or.id
dari redaksi
edisi II tahun 2013
Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: daftar isi Upaya Pengembangan
Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan Akan Dilakukan
2 BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah?
Ir. Muh. Marwan, M.Si Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri
4 Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Kontribusi dan Tantangan
Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki
12 Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc.
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
14 Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada Peningkatan Kiprah BKPRN Dr. Ir. Max H. Pohan, CES
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013
25 Sosialisasi Peraturan Pemerintah Permen PU No.1 Tahun 2013
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Substansi dalam Penetapan Raperda tentang RTR Kab/Kota Inpres No.8 Tahun 2013
Penyelesaian Penyusunan RTRWP & Kab/Kota
1 daftar isi
16 melihat dari dekat
18 dalam berita
20 ringkas buku
22 kajian
27 koordinasi trp
buletin tata ruang & pertanahan 1
2 buletin tata ruang & pertanahan
Kelembagaan dalam penataan ruang menjadi elemen penting dalam penyelenggaraan penataan ruang. Koordinasi menjadi kata kunci penting untuk mengatasi berbagai kendala kelembagaan. Sebagai Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Dr. Muh. Marwan, M.Sc. menjelaskan kepada Redaksi Buletin TRP bagaimana upaya sinergis Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) dalam penyelenggaraan penataan ruang, termasuk tantangan dan kendala yang dihadapi. Berikut hasil wawancara Redaksi:
Koordinasi antar lembaga menjadi sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas sektor. Sebenarnya, apa urgensi dibentuknya BKPRN dan BKPRD?
Penataan ruang merupakan kegiatan strategis dan bersifat multidimensional, multifungsional dan multisektoral sehingga dalam penyelenggaraannya harus ditangani secara terpadu oleh berbagai instansi di pusat maupun di daerah yang memiliki tugas dan fungsi koordinatif. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah mendesentralisasikan 26 urusan wajib yang salah satu diantaranya adalah Urusan Penataan Ruang, dan delapan urusan pilihan kepada daerah. Sesuai UU No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, pemerintah provinsi berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang kabupaten/kota.
Dalam implementasi kebijakan penataan ruang, peran antar
pemerintahan yang dilakukan secara bersama dengan prinsip kongruen diperlukan untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah. Atas dasar tersebut, Pemerintah telah membentuk BKPRN melalui Keppres No. 4/2009 tentang BKPRN. Di daerah dibentuk BKPRD sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 50/2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah, seperti terlihat pada Gambar1.
Dengan dibentuknya BKPRD, Menteri Dalam Negeri bertugas untuk melakukan pembinaan dan fasilitasi pelaksanaan penataan ruang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kelembagaan penataan ruang dan penyelenggaraan penataan ruang di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. BKPRD ini sangat penting, karena mempunyai peran strategis untuk mengawal proses penyusunan hingga penetapan Perda RTRW serta mengawal implementasi pelaksanaan pemanfaatan dan pengendalian ruang pasca penetapan Perda RTRW.
Perda RTRW adalah dokumen perencanaan yang menjadi acuan kegiatan pembangunan di daerah bersangkutan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh berbagai sektor secara konsisten. Setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. BKPRN maupun BKPRD mempunyai tugas dan peran yang sangat penting dalam mengawal dan memberikan rekomendasi alternatif penyelesaian apabila ada permasalahan pemanfaatan ruang yang timbul di lapangan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.
Dengan perannya yang cukup strategis, sejauh ini bagaimana efektivitas kinerja BKPRN dan BKPRD?
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sampai awal November 2013, seluruh provinsi pada prinsipnya sudah membentuk BKPRD. Dari 33 provinsi, 30 provinsi sudah merevitalisasi BKPRD sesuai dengan amanat Permendagri No. 50/2009, dan tiga provinsi yang belum merevitalisasi BKPRD-nya yaitu Sulawesi Barat, NTT, dan Papua Barat.
Walaupun sudah hampir seluruh provinsi membentuk BKPRD, BKPRD belum berhasil mendorong penetapan Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kab/Kota tepat pada waktunya. Sampai awal Bulan November 2013, dari 33 Provinsi di Indonesia, baru 18 Provinsi yang telah menetapkan perdanya, dan dari 491 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, 322 kabupaten/kota yang telah menetapkan perdanya. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang telah
wawancara
BKPRN dan BKPRD:
Sudah Sinergikah?
Ir. Muh. Marwan, M.Si Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri
Saat ini, upaya penguatan kelembagaan penataan ruang, baik di nasional maupun di daerah terus dilakukan untuk menjamin keberlanjutan implementasi produk-produk penataan ruang. Kelembagaan penataan ruang yang kuat dipercaya untuk mendukung penyelenggaraan penataan ruang yang baik, dengan didukung kuantitas dan kualitas aparat yang kompeten. Peningkatan kapasitas kelembagaan penataan ruang perlu dilakukan secara terus menerus mengingat dinamika perubahan sosial, politik dan ekonomi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan ruang.
BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG
Implikasi dan Pemendagri tersebut adalah penetapan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota di masing-masing daerah
BKPRN
BKPRD
PUSAT
DAERAH
Keputusan Presiden No. 4 Tahun 20009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional.
Pemendagri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
Gambar 1 Dasar Pembentukan BKPRN dan BKPRD
buletin tata ruang & pertanahan 3
dilakukan oleh Ditjen Bina Pembangunan Daerah, keterlambatan penyusunan dan penetapan Raperda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Lamanya proses penetapan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan;
2. Masih terbatasnya sumberdaya manusia pemerintah daerah yang kompeten dalam penyusunan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota;
3. Kurang optimalnya peran BKPRD dalam proses penyusunan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan
4. Lamanya pembahasan dengan DPRD yang sering memakan waktu cukup lama.
BKPRN dan BKPRD, keduanya merupakan badan ad-hoc yang memiliki fungsi koordinasi, tapi dalam pelaksanaan fungsinya BKPRN jauh lebih aktif dibandingkan BKPRD. Bagaimana sebenarnya pola hubungan kelembagaan, baik secara struktural maupun fungsional antara BKPRN dan BKPRD?
Dalam rangka menggali isu strategis di Bidang Penataan Ruang, secara hirarkis dijaring melalui pendekatan bottom-up yaitu dimulai dari forum pertemuan yang diselenggarakan oleh BKPRD Kabupaten/Kota yang dilaporkan ke BKPRD Provinsi untuk selanjutnya dibahas dalam forum Rakernas BKPRD.
Beberapa isu strategis yang telah diformulasikan dalam Rakernas BKPRD kemudian dipertajam dalam Raker Regional yang dibagi menjadi Raker Regional Barat dan Raker Regional Timur. Hasil pelaksanaan Raker ini akan menjadi isu strategis yang harus dicari solusi penyelesaiannya dalam Rakernas BKPRN untuk kemudian menjadi agenda dan program kerja kementerian terkait BKPRN.
Tindak lanjut dari BKPRN akan menjadi embrio program dan agenda kerja kegiatan dua tahun kedepan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah baik oleh Pemerintah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota. Mekanisme konsolidasi isu-isu strategis penataan ruang dapat dilihat pada Gambar 2.
Dalam perjalanannya, tantangan krusial yang masih dihadapi BKPRN dan BKPRD, antara lain adalah kurang sinerginya langkah kerja antar kementerian/lembaga anggota BKPRN dan SKPD anggota BKPRD. Penyebab utamanya adalah belum ditetapkannya mekanisme dan tata kerja internal BKPRN serta hubungan kerja antara BKPRN dengan BKPRD, sehinggapenyelenggaraan penataan ruang belum dapat terselenggara secara optimal.
Dalam hal penyelenggaraan penataan ruang daerah, hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan Ditjen Bina Pembangunan
Daerah menunjukkan bahwa kinerja BKPRD sebagai badan ad-hoc yang berfungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/ Walikota dalam koordinasi penataan ruang di daerah belum optimal. Penyebab utama BKPRD belum optimal adalah:
1. Masih tumpang tindihnya peraturan perundangan dan fungsi
antar institusi;
2. Belum rincinya pedoman dan tata kerja organisasi,
3. Belum ada dukungan pendanaan yang signifikan,
4. Masih banyaknya pihak yang tidak memandang penting BKPRD;
5. Belum adanya mekanisme reward and punishment sehingga daerah tidak terpacu untuk mengefektifkan peran BKPRD; dan
6. Masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia daerah khususnya terkait dengan penguasaan materi Bidang Penataan Ruang.
Bagaimana upaya perbaikan yang perlu dilakukan, khususnya untuk meningkatkan kapasitas BKPRD?
Dalam konteks hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD, perlu disusun mekanisme hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD dalam upaya mensinergikan program kerja kedua lembaga tersebut agar peran dan fungsinya optimal dalam melakukan koordinasi penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah khususnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan penataan ruang lintas sektor, lintas daerah dan lintas wilayah.
Dalam penyelesaian konflik permasalahan pemanfaatan ruang yang memerlukan rekomendasi dari BKPRD, diperlukan peningkatan peran BKPRD agar BKPRD dapat melaksanakan tugasnya secara lebih efektif. Upaya ini dilakukan agar setiap konflik pemanfaatan ruang yang terjadi di daerah tidak harus dibawa sampai pada tingkat BKPRN karena penyelesaian permasalahan pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya.
Dalam rangka mengoptimalkan peran BKPRD untuk percepatan penyelesaian Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota dan penyelesaian permasalahan penyelenggaraan penataan ruang, telah dilakukan langkah-langkah strategis sebagai upaya memantapkan kelembagaan penataan ruang daerah. Beberapa diantaranya adalah menyusun mekanisme dan tata kerja (SOP) BKPRD, pengembangan data dan informasi, peningkatan kualitas aparatur pemerintah daerah, dan pemberian reward and punishment di Bidang Penataan Ruang. Saat ini, Kemdagri melalui Ditjen Bina Pembangunan Daerah sedang menyusun Pedoman Tata Kerja BKPRD tersebut.
Selain itu, dilakukan upaya revitalisasi dan pembentukan BKPRD sesuai amanat Permendagri No. 50/2009 serta memberdayakan BKPRD yang diarahkan tidak hanya untuk keperluan pemecahan berbagai Masalah Penataan Ruang tetapi juga untuk pengembangan kelembagaan penataan ruang yang lebih utuh di daerah, dan yang mempunyai agenda kerja yang baik. Kelembagaan yang telah dibentuk, perlu didukung dengan upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia daerah khususnya di Bidang Penataan Ruang, dan penyediaan sarana, prasarana, serta data dan informasi penataan ruang secara komprehensif.
Hal krusial untuk menjamin efektivitas BKPRD adalah komitmen Kepala Daerah untuk mengalokasikan anggaran APBD-nya masing-masing untuk operasionalisasi pelaksanaan tugas BKPRD. Dalam hal ini Sekretariat BKPRD mempunyai peran penting untuk menyusun program kerja BKPRD dan kebutuhan anggarannya untuk selanjutnya diintegrasikan dengan rencana pembangunan daerah baik untuk rencana pembangunan jangka pendek (tahunan) maupun rencana pembangunan jangka menengah.
Gambar 2 Mekanisme Konsolidasi Isu-Isu Strategis Penataan Ruang
MEKANISME KONSOLIDASI ISU-ISU STRATEGIS PENATAAN RUANG
MEKANISME KONSOLIDASI ISU-ISU STRATEGIS PENATAAN RUANG
BUPATI / WALIKOTA
RekomendasiR ekomendasi
Input/masukan
Input/masukan
GUBERNUR
Agenda BKPRN
Provinsi
Raker BKPRN
Isu Strategis
Program
Kerja
Raker Regional
Tindak Lanjut Kementerian/
Lembaga
Agenda BKPRN
Kab/Kota
Raker Regional
BKPRN
4 buletin tata ruang & pertanahan
Lembaga Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) merupakan
forum koordinasi penataan ruang yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 2/2009 sebagai pengembangan dari forum sebelumnya yang bernama Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional yang dikenal dengan sebutan Tim Tata Ruang pada
Tahun 1989 1 yang kemudian diubah menjadi Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional (BKTRN) pada Tahun 1993 2 yang kemudian diubah keanggotaannya pada Tahun 2000 3 . Komposisi keanggotaan BKPRN ini bertahan sampai dengan Tahun 2009 4 (Abdul Kamarzuki
(AK)). Tujuan utama Tim Tata Ruang, BKTRN dan BKPRN adalah untuk
melaksanakan pembangunan nasional secara terkoordinasi dan menangani masalah pemanfaatan ruang bagi keperluan pembangunan. Dampak akhir yang diharapkan adalah sinerginya penggunaan ruang oleh berbagai sektor (Herry Darwanto (HD)). Pada saat yang sama, di pusat, BKTRN berfungsi untuk koordinasi lintas sektor dalam penggunaan ruang, di daerah, BKPRD melaksanakan fungsi yang sama untuk mengkoordinasikan pemanfaatan ruang lintas SKPD (Herman Haeruman (HH)).
Anggota Tim Tata Ruang,yang ditetapkan pada Tahun 1989, beranggotakan
Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri/Sekretaris Negara, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan Menteri Dalam Negeri/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Seluruh anggota Tim Tata Ruang memiliki akses untuk merencanakan penggunaan ruang, namun tidak secara langsung menggunakan ruang. Resolusi konflik diantara pengguna ruang dapat dilakukan dengan mudah karena independensi Tim Tata Ruang ini sehingga penyelesaiannya adil dan tidak memihak. Pada saat itu pembangunan wilayah dilaksanakan antarsektor berdasarkan fungsi ruang (HH).
Pada Tahun 1993, keanggotaan Tim Tata Ruang ditambah oleh Menteri Pertahanan dan Menteri Pekerjaan Umum. Namanya diubah
menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Pada masa 1993-1997, penataan ruang dimulai dengan pembangunan infrastruktur sampai dengan selesainya PP No. 47/1997 tentang RTRWN. Setelah itu, penataan ruang kembali menjadi acuan utama pengembangan wilayah (HH).
Pada Tahun 2000, BKTRN dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri. Anggota BKTRN pada saat itu adalah Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian, Menteri Negara Pekerjaan Umum, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Otonomi Daerah, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional selaku Sekretaris BKTRN. Pada masa tersebut penataan ruang dan pembangunan infrastruktur kembali bergabung pelaksanaannya di Kementerian Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Namun demikian perizinan dan pembangunan di lapangan harus dikoordinasikan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena hanya BPN yang memiliki hubungan langsung dengan pelaksana kegiatan. Pada saat itu, dana yang cukup besar untuk penataan ruang dialokasikan ke BPN untuk penyusunan peta dasar, kemudian pada Bakosurtanal (saat ini BIG) berperan dalam pembuatan informasi spasial (peta). Kedua badan ini, BPN dan Bakosurtanal, yang menjadi motor informasi dalam penyelenggaraan tata ruang (HH).
Pada Tahun 2007, UU No. 26/2007 ditetapkan untuk mengganti UU No. 24/1992. Seiring dengan perubahan UUPR, BKTRN berubah
menjadi BKPRN 5 dan menambah anggotanya dengan menteri pengguna ruang: Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan (AK).
Peran Peran penting yang dilaksanakan oleh BKPRN adalah menetapkan strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu
artikel
Menjelang 25 tahun BKPRN (1989-2013):
kontribusi dan tantangan
Prof. Dr. Herman Haeruman, pernah menjabat Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Kementerian PPN/ Bappenas Dr. Herry Darwanto, pernah menjabat Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan Ruang, Kementerian PPN/
Bappenas Dr. Abdul Kamarzuki, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Perjalanan BKPRN selama 25 tahun ini telah menemui berbagai tantangan dan kendala. Banyak permasalahan yang berhasil ditangani, banyak pula pihak yang tidak dapat menerima penyelesaian masalah yang direkomendasikan.
Untuk mendapatkan gambaran peran optimal BKPRN, kami melakukan wawancara dengan tiga tokoh penting yang selama ini berperan aktif di BKPRN, baik di era sentralisasi, dalam peralihan dari sentralisasi ke desentralisasi dan di masa otonomi daerah sudah berjalan. Ketiga tokoh tersebut adalah Prof Dr Herman Haeruman (pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Bappenas/Sekretaris BKTRN), Dr Ir Herry Darwanto, MSc (pernah menjabat sebagai Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan Ruang, Direktur Penataan Ruang, Pertanahan dan Lingkungan Hidup, Bappenas) dan Dr Ir Abdul Kamarzuki, MPM (sekarang menjabat sebagai Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal, Menko Perekonomian/Sekretaris Pokja 4 BKPRN).
1 Keppres 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 2 Keppres 75/1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 3 Keppres 62/2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional. 4 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional.
5 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
buletin tata ruang & pertanahan 5
dengan pendekatan kewilayahan. Selain itu, BKPRN berperan penting untuk untuk koordinasi perumusan kebijakan dan pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola ruang serta untuk melaksanakan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang (HD).
Di awal pembentukannya, Tim Tata Ruang berperan penting untuk membatasi penggunaan kawasan lindung. Kawasan lindung adalah kawasan yang memiliki fungsi perlindungan daerah diluarnya, se- perti hulu sungai, sempadan sungai, sempadan danau dan pantai. Kawasan ini tidak harus dijadikan milik negara, tapi dibutuhkan etika membangun. Kawasan lindung yang di dalamnya terdapat kampung adat seharusnya memiliki perlindungan terhadap lereng gunung. Masyarakat yang hidup di dalamnya menjadi bagian penting pengelolaan kawasan lindung. Kebijakan tersebut dipegang teguh oleh pemerintah pusat dan diacu oleh pemerintah daerah (HH). Perubahan fungsi kawasan lindung menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Pendekatan yang berbeda dilakukan untuk pengembangan kawasan budidaya. Kawasan budidaya adalah kawasan yang menguntungkan banyak orang secara ekonomi. Namun demikian, pengguaan dan manfaat langsungnya ‘tidak boleh dipertandingkan dengan kawasan lindung’. Target penting yang harus dihasilkan dari kawasan ini adalah output regionalnya. Perubahan fungsi kawasan budidaya boleh dilakukan, tapi dilakukan pengawasan oleh daerah (HH).
BKTRN dulu begitu kuatnya, seperti contoh kasus di Sumatera Barat. Gubernur mengajukan pembangunan jalan dari pantai menuju gunung menembus taman nasional dengan tujuan untuk membuka akses bagi masyarakat pengunungan. Namun setelah dikaji, biayanya terlalu besar, kemudian BKTRN dan daerah berdiskusi, akhirnya diputuskan bahwa jika ingin tetap membangun, jalan dibuat melingkar dan agar tidak terlihat jauh orang dibuat berkeliling tempat-tempat yang berkembang disepanjang jalan tersebut, bisa tempat makan, wisata, dan lainnya sehingga memunculkan regional outputnya. Hal yang sama terjadi juga untuk pembangunan Jalan Ladiagalaska yang direncanakan melintas TN Leuser (HH).
Perbedaan signifikan atas peran BKPRN sangat terasa setelah perubahan UUPR dari UU No. 24/1992 menjadi UU No. 26/2007. Beberapa contoh diantaranya seperti menurunnya konsep perlindungan kawasan lindung dan konsep dana kompensasi kawasan lindung. Daerah dengan kawasan lindung mendapatkan dana kompensasi sehingga tidak perlu mencari pendapatan dengan mengkonversi kawasan hutannya. Seperti kasus di kabupaten sebelah barat Aceh yang memiliki 60 persen lebih kawasan lindung, artinya daerah mendapat dana kompensasi untuk perannya memelihara kawasan hutan tersebut (HH).
Kinerja Kesepakatan dalam forum BKTRN bermuara pada penetapan peraturan perundangan. Dengan mengandalkan Tim Pelaksana, BKPRN telah menyelesaikan PP dan Perpres yang diamanatkan oleh UU No. 26/2007 kecuali RPP tentang Penataan Ruang Kawasan Pertahanan dan Keamanan. Selain itu, BKPRN, melalui Tim Pelaksana, telah mengkoordinasikan berbagai kementerian/ lembaga anggotanya, untuk mempercepat proses pembahasan
Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota berikut mendorong penetapannya oleh pemerintah daerah.
Kelembagaan Sampai dengan saat ini, BKPRN adalah lembaga ad-hoc. Seluruh rekomendasi dan persetujuan teknis yang dihasilkan BKPRN bersifat saran ataupun arahan bagi pemangku kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Saran atau arahan tersebut akan memiliki legitimasi jika telah diakomodir dalam bentuk produk hukum (PP, Perpres, dan Perda) (AK).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa, bentuk ad-hoc ini tidak efektif untuk melaksanakan penataan ruang dan dibutuhkan kementerian/lembaga khusus yang dapat mengkoordinasikan seluruh proses penataan ruang yang dilakukan oleh berbagai sektor dan pemerintahan pada saat yang sama. Pendapat ini menjadi salah satu pemikiran yang mendorong forum BKPRN menjadi lembaga yang lebih permanen. Kekurangan yang sangat menonjol adalah lembaga permanen ini kemungkinan besar tidak dapat menangani konflik pemanfaatan ruang apabila berdiri sebagai bagian yang terpisah sama sekali dari kementerian atau lembaga pengguna ruang lainnya, menjadi sektor tata ruang, menghilangkan sifat koordinasi. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah upaya reformasi birokasi,yang sedang dijalankan saa ini, mengarah pada perampingan dan efisiensi birokrasi, sehingga pembentukan badan baru menjadi langkah yang tidak strategis (AK).
Tim Pelaksana BKPRN diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum. Secara teknis, melalui Tim Pelaksana, forum BKTRN berfungsi untuk memberikan pendapat (rekomendasi) yang merupakan kesepakatan serta persetujuan teknis bagi dalam proses penyiapan produk- produk tata ruang baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), maupun Peraturan Daerah (Perda Kab/Kota) (AK). Rekomendasi dari forum BKPRN ini merupakan acuan atau terjemahan lebih detail dari substansi Peraturan Perundang-undangan yang ada agar dapat mendukung kebijakan pemanfaatan ruang.
Sejak BKPRN memiliki Tim Pelaksana 6 , rapat koordinasi tingkat menteri tidak sepenuhnya efektif digunakan untuk pengambilan keputusan dan resolusi konflik antarsektor. Padahal, konflik- konflik utama muncul karena kewenangan beberapa kementerian yang sangat tinggi untuk mengatur penggunaan ruang nasional. Konflik tersebut hanya dapat diselesaikan melalui Sidang BKPRN, mekanisme pengambilan keputusan tertinggi yang berada di tangan para menteri.
Konsep Konsep penataan ruang yang pertama kali disusun saat Tim Tata Ruang dibentuk adalah, rencana tata ruang (RTR) secara makro harus melalui persetujuan BKTRN dan sektoral/daerah boleh mengajukan usulan, tapi perlu dilengkapi dengan kajian khusus dampak lingkungannya. Setelah disetujui BKTRN, daerah hanya melakukan pengawasan. Kewenangan BKTRN sangat kuat, terlihat dari kemampuan BKTRN menghentikan pembangunan yang dilakukan oleh pejabat daerah di berbagai kawasan penting. Kewenangan ini diperkuat karena masa pemerintahan masih bersifat sentral sehingga Bupati tunduk pada aturan. Kewenangan ini menjadi penting karena memudahkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang (HH). Peran Pemerintah yang
6 Keppres No 4 Tahun 2009 tentang BKPRN Pasal 6 menyebutkan bahwa: “(1) dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Tim Pelaksana dapat dibentuk Kelompok Kerja untuk menangani tugas-tugas yang bersifat khusus; (2) Pembentukan, tugas, susunan keanggotaan, dan tata kerja Kelompok Kerja diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPRN.” 6 Keppres No 4 Tahun 2009 tentang BKPRN Pasal 6 menyebutkan bahwa: “(1) dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Tim Pelaksana dapat dibentuk Kelompok Kerja untuk menangani tugas-tugas yang bersifat khusus; (2) Pembentukan, tugas, susunan keanggotaan, dan tata kerja Kelompok Kerja diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPRN.”
sektor-sektor yang lebih luas sehingga peningkatan perekonomian Pada saat yang sama, koordinasi bukan masalah besar dalam
wilayah dapat terwujud (HH).
penyelenggaraan penataan ruang karena sejak awal, pengalokasian
Permasalahan
fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan Cukup banyak permasalahan yang dihadapi BKPRN di masa Sistem Informasi Geospasial. Namun memang yang menjadi
desentralisasi ini, masalah utama yang diangkat para narasumber kendala adalah skala peta yang digunakan masih terlalu kecil.
adalah: (1) kurangnya koordinasi yang berakibat pada perbedaan Untuk mengatasinya, Kementerian Kehutanan dibawah koordinasi
persepsi antara pemangku kepentingan, banyaknya aturan sektoral BKTRN memiliki badan planologi kehutanan (UPT) antar kabupaten.
yang tidak serasi, selain itu, SOP koordinasi di dalam BKPRN belum Mereka melakukan koordinasi dengan BPN, BPN berperan
didefinisikan dengan baik; (2) rendahnya kualitas rencana yang memetakan tata guna tanah. BPN dan kehutanan bekerja sama
salah satunya disebabkan oleh belum memadainya sistem informasi ketika sebagian kawasan hutan akan diubah untuk mengakomodasi
spasial yang memadai; dan (3) pemanfaatan ruang yang belum pembangunan, hutan dilepas dan BPN mengambil alih proses tata
optimal (HH, HD, AK).
guna lahan.
Koordinasi
Saat itu BKTRN fokus pada menjaga fungsi utama ruang: kawasan Kelemahan koordinasi antar sektor dimulai dengan perbedaan lindung dan kawasan budidaya. Selain itu, secara desain, fokus
pemahanan atas sektor lain yang bermuara pada tidak serasinya antara RTRWN, RTRWP dan RTRWK dibuat berbeda. RTRWN yang
peraturan sektoral. Dalam peraturan sektoral, kepentingan setiap bersifat makro bertujuan untuk mempertahankan fungsi kawasan
sektor dituangkan ke dalam berbagai peraturan dalam berbagai agar tidak berubah dalam jangka waktu 25 tahun. Sementara itu,
bentuk, UU, PP, Perpres dan Keppres (AK). Perbedaan pemahaman RTRWK yang bersifat lebih dinamis dengan skala peta yang lebih
antarpemangku kepentingan semakin memperlemah koordinasi besar berfungsi dalam proses pemberian izin penggunaan ruang.
yang belum tercipta dengan baik. Baik koordinasi antarsektor dan Karena itu, jangka waktu RTRWK didesain lebih pendek, hanya 10
antarlevel pemerintahan (AK). Selain itu, prosedur harmonisasi tahun untuk mengatasi dinamika penggunaan ruang di lapangan.
peraturan dan koordinasi pelaksanaan penataan ruang belum Logika yang sama digunakan dalam penyusunan RPJPN dan
dilakukan dengan baik (AK), BKPRN tidak dapat memaksa instansi RPJMN. RPJMN menjabarkan RPJPN namun juga harus dapat
terkait untuk mengimplementasikan tata ruang (HD).Koordinasi mengatasi dinamika tahunan. Dengan menggunakan logika yang
antar sektor menyebabkan beberapa RTRW Provinsi/Kabupaten/ sama, RTRWN pada saat itu berupa visi yang dijabarkan dalam
Kota yang telah selesai disusun tidak dapat segera ditetapkan. progam dan kegiatan di dalam RTRWK. Saat ini, perlu didorong
Prosedur resolusi konflik yang ada di dalam BKPRN tidak mampu agar RTRW didesain untuk memberikan masukan kebijakan spasial
mengubah keputusan salah satu sektor yang menjadi anggota bagi rencana pembangunan yang bersifat deskriptif. Apabila
BKPRN (HH).
dipergunakan, maka RTRW dapat memberikan kepastian lokasi Lemahnya koordinasi ini berakibat cukup besar dalam pemanfaatan berjangka panjang bagi para pelaku pembangunan. Kepastian ini dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kecenderungan yang dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. muncul adalah terlalu banyak kewenangan di satu daerah atau
Fungsi RTRW yang tetap harus dipertahankan adalah perlindungan tidak ada yang berwenang sama sekali di daerah lainnya. Kondisi kepada fungsi ekosistem dan memberikan kesempatan kepada
tersebut menimbulkan konflik antarpelaku pembangunan. pertumbuhan ekonomi regional dan nasional yang bersifat jangka
Contohnya adalah kurangnya informasi di lapangan bahwa suatu panjang serta melindungi tujuan pembangunan nasional dari
kawasan ditetapkan sebagai kawasan lindung. Masyarakat yang kepentingan jangka pendek sektoral dan daerah. RTRW harus dapat
seumur hidupnya berada di kawasan tersebut akhirnya membangun cukup fleksibel memberi kesempatan pada perkembangan teknologi
rumah, atau mendirikan bangunan sesuai dengan keperluannya. modern untuk pemanfaatan fungsi ruang untuk mengakomodasi
Contoh lainnya adalah informasi tersedia yang menunjukkan pembangunan yang tidak terbatas.
bahwa suatu kawasan tidak boleh ada pembangunan karena Dalam konsep ini, daerah boleh melakukan perencanaan, tapi
statusnya sebagai kawasan lindung, namun tidak ada upaya yang hanya di kawasan budidaya, sedangkan kawasan lindung bersifat
serius untuk menegakkan peraturan itu. Pengendalian yang tidak given karena ada di RTRWN. Indonesia harus belajar dari Amerika,
efektif karena tidak ada yang merasa berwenang menyebabkan dimana mereka memiliki daerah khusus yang dipertahankan
tumbuhnya permukiman di sepanjang sempadan sungai di kota- kawasan lindungnya yang juga memberikan pendapatan daerah
kota besar (HD).
terbesar (HH). Setelah konsep ecoregion diperkenalkan untuk
Kualitas rencana
menghubungan konsep penataan ruang dengan pelestarian fungsi Rendahnya kualitas rencana tata ruang sebagian besar disebabkan dan daya dukung lingkungan, Pemda dituntut lebih cakap untuk
oleh informasi geospasial yang tersedia belum memadai untuk mengenali karakter wilayahnya (ekologi & ekonomi). Setelah seluruh
menyusun rencana yang paripurna. Sejak awal, pengalokasian isunya ditemukenali, Pemda menyusun interaksi antara kawasan
fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan dan melakukan KLHS untuk rencana yang sedang disusun (HH).
GIS. Namun skala peta yang digunakan masih terlalu kecil. Saat itu teknologi satelit belum ada sehingga untuk peta skala besar sangat
Hubungan antara berbagai bidang ilmu harus benar-benar terjaga mahal, tapi sekarang sudah ada teknologinya jadi seharusnya dalam penataan ruang karena pada dasarnya penataan ruang tata ruang dilengkapi peta skala 1:10.000, bukan hanya untuk adalah bagian dari landscape architecture yang mengkombinasikan implementasi rencana, tapi juga pengendalian. Rencana yang baik tiga keilmuan, yakni lingkungan (ecogeografi), planologi, dan design hanya bisa terwujud apabila kita mampu mengejar ketertinggalan engineering, yang membentuk keterpaduan wilayah. Saat ini, dalam penyediaan informasi geospasial ini (HH). ketidakpaduan terletak pada masalah pemahaman dan ego sektoral
yang kuat sehingga aturan yang ditetapkan setelah era desentraliasi Belum lagi pengertian ‘rencana hirarkis’ yang belum cukup baik
6 buletin tata ruang & pertanahan 6 buletin tata ruang & pertanahan
Perencanaan
RTR yang dibuat pemerintah lebih tinggi. Pemerintah daerah Untuk mengatasi masalah perencanaan, pemerintah pusat perlu gamang untuk membuat RTR yang berbeda, karena khawatir
mengubah paradigma dari menyusun rencana tata ruang dari skala tidak mendapatkan persetujuan substansi dari pemerintah pusat.
nasional hingga skala rinci tingkat lokal secara hirarkis, menjadi Permasalahan yang timbul di kemudian hari adalah kemiripan
mengamankan kawasan strategis untuk kepentingan nasional rencana tata ruang yang disahkan oleh berbagai daerah (HD).
saat ini dan untuk pembangunan berkelanjutan, dan mendukung, Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang
persisnya memberikan bantuan dana kepada daerah, untuk Setelah rencana selesai disusun, langkah berikutnya yang perlu
mengerjakan penataan ruang sesuai konsep yang disusun daerah. dilakukan adalah pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan
Pemerintah daerah perlu mewujudkan tata ruang yang nyaman, ruang. Masalah yang paling banyak timbul adalah pemanfaatan
memberi penekanan pada pembuatan taman-taman dan RTH, kawasan lindung dan budidaya. Pemanfaatan ruang di kawasan
pembuangan sampah, perbaikan gorong-gorong, pembenahan lindung dan terutama daerah resapan air yang akan berpengaruh
kampung padat, pembuatan paving,penyediaan air bersih.Orientasi pada kawasan di bawahnya perlu dikendalikan dengan baik
penataan ruang yang semula menekankan konsep atau rencana karena dampaknya sangat luas. Namun demikian, pengendalian
dan berskala makro, diubah menjadi bersifat konkrit dan mikro, pemanfaatan ruang tidak dilaksanakan dengan baik. Contohnya
tentu dengan perspektif jangka panjang(HD) sesuai dengan yang adalah pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan puncak yang
telah tercantum secara makro di dalam RTRWN (HH). terlihat tidak serius dan tidak berhasil secara signifikan. Perpres
Pembagian peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur telah ditetapkan
dalam penataan ruang perlu dikaji lebih detail lagi. Contoh kawasan begitu pula Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang berada di
yang perlu diatur pusat adalah kawasan cagar budaya, hutan Jabodetabekjur, namun outcome dari peraturan itu tidak terlihat,
lindung, suaka margasatwa; kemudian kawasan untuk keperluan dengan kata yang lugas, tidak ada pengaruhnya apa-apa (HD).
pertahanan negara, seperti kawasan peluncuran roket, kawasan Di tingkat nasional dan daerah, sudah cukup banyak kegiatan
latihan perang. Kawasan-kawasan ini harus ditetapkan batas- yang dilakukan dan telah didukung alokasi dana yang cukup besar
batasnya dan kemudian dikelola oleh lembaga pusat tertentu. seperti: undang-undang dan peraturan pelaksanaannya; lembaga
Dengan mengingat tragedy of the commons, yaitu kalau suatu BKPRN dan BKPRD yang mengkoordinasikan kebijakan dan
kawasan menjadi milik bersama atau tidak jelas siapa yang pelaksanaan penataan ruang; rencana tata ruang mulai dari skala
memilikinya, maka setiap orang akan mengeksploitasi kawasan nasional, pulau, provinsi hingga kabupaten/kota. Namun, berbagai
itu sehabis-habisnya. Pemda menata kawasan di luar kawasan- permasalahan muncul justru setelah rencana ditetapkan, semakin
kawasan strategis nasional ini. Kemudian beri kepercayaan kepada terlihat bahwa pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang
daerah untuk mengatur sendiri penggunaan ruang wilayah itu. harus dilakukan dengan konsisten (HH).
Daerah-daerah pada mulanya mungkin kesulitan membuat rencana tata ruangnya, namun lama kelamaan akan mampu membuat
Alternatif penyelesaian masalah RTR sendiri. Banyak contoh dari dalam dan luar negeri mengenai rencana tata ruang yang baik dan dapat dicontoh.Tidak perlu ada Koordinasi
pedoman penyusunan RTR yang harus ditaati secara ketat oleh Untuk mengatasi ketiga permasalahan di atas, alternatif
daerah (HD).
penyelesaian masalah yang dapat dilakukan untuk mengatasi Perencanaan tetap perlu, tetapi jangan menunggu harus masalah kurangnya koordinasi adalah penyamaan persepsi di semua selesai. Misalnya jangan menunggu sampai rencana dalam forum BKPRN sebelum menyelesaian masalah koordinasi rinci ditetapkan DPRD dan disahkan Provinsi, baru kemudian di daerah (AK). Prakondisi yang dibutuhkan adalah menyepakati melakukan implementasinya. Itu akan memakan waktu lama. prinsip penataan ruang di dalam BKPRN, caranya adalah dengan Kerjakan saja dulu yang dapat dilakukan dan jelas bermanfaat. membangun idealisme dari masing-masing bidang keilmuan Masyarakat sudah menunggu hasil konkrit, hulu penundaan yang membentuk BKPRN dan konsensus yang telah dibangun, biasanya adalah pemikiran birokratis dan penyusunan konsep dengan tetap memperhatikan kondisi saat ini (HH). Harapan di rencana yang sulit diimplementasikan. Misalnya, untuk bisa masa yang akan datang, keteraturan, kepastian penggunaan ruang menghasilkan rencana detil tata ruang diperlukan peta dasar perlu menjadi prioritas utama yang dikoordinasikan oleh BKPRN yang berskala besar. Menghasikan peta ini untuk seluruh wilayah dengan pertimbangan bahwa jumlah ruang tetap sementara jumlah kota bisa memakan waktu bebeberapa tahun. Jadi gunakan saja penduduk akan terus bertambah (HH). informasi yang ada untuk membuat kebijakan, mana daerah yang
Untuk koordinasi di daerah, Bappeda perlu menjadi ujung tombak tidak boleh digunakan sebagai kawasan permukiman, dan mana penggerak BKPRD. Koordinasi tidak dapat diserahkan kepada
yang boleh. Jadi rencana penataan ruang tetap perlu ada, namun sektor karena pengambilan keputusan terutama untuk penyelesaian
jangan terganggu oleh prosedur yang birokratis.Bila masyarakat konflik tidak akan berimbang (HH). Catatan penting untuk kondisi
melihat hasil yang nyata, pasti akan diapresiasi dan di-bela jika lembaga saat ini adalah bentuk BKTRN/D yang menyatukan
dimejahijaukan karena menabrak peraturan perundangan. Di kelompok independen yg tak terikat dengan pembangunan ruang
sini diperlukan kebijakan seorang kepala daerah. Juga jangan dengan kelompok pemakai ruang, maka kesepakatan ad-hoc itu
kuatir kebijakan itu akan diubah oleh kepala daerah berikutnya. banyak masalah perbedaan kepentingan, maka diperlukan suatu
Masyarakat akan mengawasi dan mencegah kebijakan yang tidak independen group di luar BKTRN/D untuk membantu mencapai
didasarkan pada pertimbangan yang benar (HD). keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan
Kemudian dari sisi substansi, RTR yang dibutuhkan untuk daerah, antara kepentingan sektoral dengan kepentingan nasional/ pengendalian ruang kabupaten/kota adalah rencana tata ruang regional, dan kepentingan pemeliharaan cadangan ruang yang yang rinci, dengan skala peta yang besar.Jika belum ada peta harus dipelihara untuk masa depan ketika iptek dan social dasarnya, perlu dibuat ketentuan yang jelas, sehingga tidak perception mampu menanggapi berbagai konflik (HH).
buletin tata ruang & pertanahan 7
8 buletin tata ruang & pertanahan
disalahtafsirkan. Ingat, bangsa kita punya kemampuan menyusun rencana tata kota sejak berabad-abad yang lalu dengan bukti adanya candi Borobudur, kota Trowulan yang menjadi ibukota kerajaan Majapahit. Kalau saat ini kita belum melihat banyak RTR yang kualitasnya baik, penyebab utamanya adalah belum ada kesungguhan untuk mengusahakannya (HD).
Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang Untuk pemanfaatan ruang, BKPRN perlu mengubah orientasinya dari perencanaan menjadi pelaksanaan, dari “merencanakan” menjadi “mewujudkan”. BKPRN perlu menggunakan kapasitas yang dimilikinya untuk membantu pemerintah kabupaten/kota untuk mewujudkan tata ruang yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Kementerian Kehutanan dapat mencontoh Jarum Foundation menanam pohon trembesi di sepanjang jalan Pantura, misalnya dengan melakukan hal sama di jalur Jawa Selatan serta di pulau- pulau lain. Kementerian Pekerjaan Umum membantu pemerintah kota membangun RTH. Kementerian Lingkungan Hidup membantu pemda mendaur ulang sampah. Kementerian Perumahan Rakyat membantu pemerintah kabupaten/kota membangun prasarana lingkungan permukiman. Begitu pula halnya dengan kementerian/ lembaga lainnya terutama anggota BKPRN, melakukan hal yang sama sesuai kewenangan masing-masing, tetapi dengan tujuan yang jelas dan sesuai kebutuhan daerah. Daerah jangan lagi didorong untuk menyelesaikan perda RTRWnya saja, tetapi dibantu langsung untuk mewujudkan tata ruang seperti yang diharapkan oleh masyarakat. BKPRN juga perlu melibatkan swasta untuk mengerjakan hal yang sama secara terkoordinasi. Lembaga- lembaga internasional pasti akan bersedia jika diajak menata kota secara konkrit, karena dampak ekonomi dan sosialnya yang besar (HD).
Apabila kemudian muncul pertanyaan tentang masalah kewenangan yang dilangkahi karena skema tersebut di atas, jawabannya adalah bahwa sistem pemerintahan yang ada membuat
pemda tidak mempunyai cukup anggaran untuk melakukan semua urusan yang menjadi tanggungjawabnya secara memadai. Jadi pemerintah pusat perlu ikut terjun membantu pemda. Lebih baik lagi bila kenaikan penerimaan pemerintah pusat setiap tahun ditransfer kepada pemda melalui mekanisme DAK untuk mengisi tata ruang yang direncanakan pemda. Namun, langkah ini memerlukan persetujuan DPR yang mungkin sulit diwujudkan dalam waktu dekat.Yang dapat dilakukan saat ini adalah kerjasama antara kementerian/lembaga anggota BKPRN menggunakan anggaran yang ada untuk membantu kota-kota besar dan kecil mewujudkan tata ruang yang lebih berkualitas (HD).
Contoh-contoh pelaksanaan dapat diambil dari yang telah dikerjakan oleh pemerintah daerah yang visioner dan telah terbukti berhasil dalam penataan ruang. Salah satunya adalah Pemerintah Kota Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya telah berhasil menghadirkan tata ruang yang nyaman, indah, bersih, lancar, teratur dan inklusif, serta atribut lain yang seperti itu, yang saya yakin juga sama dengan yang diamanatkan oleh UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang yang efektif di Kota Surabaya dapat dinikmati oleh masyarakat warga kota dan diapresiasi oleh pengunjung dari luar. Yang ditata di Kota Surabaya bukan hanya kawasan di pusat kota seperti umumnya di banyak kota lain, namun hingga ke kampung-kampung. Terasa ada tangan- tangan pemerintah kota yang mengatur lingkungan permukiman penduduk, termasuk sarana MCK, saluran pembuangan, sarana pedestrian dan taman lingkungan. Hasil akhir yang bisa dinikmati oleh warga dan pengunjung adalah kebersihan, keindahan dan kelancaran lalulintas di pusat Kota Surabaya tidak kalah dengan kota-kota lain di negara maju. Ini adalah wujud penataan ruang yang kita harapkan ada di kota-kota seluruh Indonesia. Sekali lagi kinerja upaya penataan ruang tidak dilihat dari peraturan dan rencana tata ruang yang dihasilkan, namun dari wujud tata ruang yang dapat dinikmati oleh penduduk (HD) [ma/gp].
Status Penyelesaian Peraturan Daerah RTRW Provinsi
Status Penyelesaian RTRW yang Belum Perda
NAD Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Kep. Riau Kep. Bangka Belitung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara
Papua Jumlah
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat
Proses Revisi Proses Persetujuan Substansi
B1 : Proses Persetujuan Substansi Teknis PU B2 : Proses Persetujuan Substansi Kehutanan
Memperoleh Persetujuan Substansi C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri PU C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri Kehutanan
Pembahasan DPRD Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri
AB
DE
Profil Direktur TRP
Oswar Mungkasa
profil
Senin, 16 September 2013, Bapak Oswar Mungkasa yang sering disapa ‘Pak Os’ dilantik oleh Menteri PPN/ Bappenas, sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan-Kementerian PPN/Bappenas menggantikan Bapak Deddy Koespramoedyo (Alm). Lahir di Makassar, 26 Juli 1963, dengan nama Oswar Muadzin Mungkasa adalah doktor lulusan ekonomi publik (Universitas Indonesia); master perencanaan wilayah dan kota (Univesitas Pittsburgh); serta insinyur (Institut Teknologi Bandung. Ayah dari Fachriey Fadhlullah Mungkasa ini, dikenal sebagai pribadi yang cerdas, energik, dan supel.
Sudah lebih dari 20 tahun beliau berkecimpung di dunia Saat ini, selain menjadi Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, beliau pemerintahan menjadi pegawai negeri sipil. Karirnya dimulai pada
juga aktif sebagai anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Penyehatan 1992 sebagai staf perencana di Biro Pengembangan Regional I,
Lingkungan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI) periode Bappenas. Dan sejak 2002, selama delapan tahun, beliau menjadi
2010-2014. Hobi menulis, beliau realisasikan melalui tulisan- Kepala Sub Direktorat di Direktorat Permukiman dan Perumahan,
tulisan yang dibuat di berbagai media, seperti majalah, koran, dan Bappenas. Pengalaman dan lamanya karir yang digeluti di Bidang
lainnya. Sudah banyak media tulisan yang beliau ciptakan, seperti Perumahan dan Permukiman mengantarkan beliau sebagai Kepala
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan untuk Anak Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat.
‘Percik Yunior’ dan Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman ‘Inforum’. Hingga saat ini, beliau masih menjadi Pemimpin Redaksi