Ketika Konflik dan Kekerasan di Indonesi

Ketika Konflik dan Kekerasan di Indonesia Dimanipulasi oleh
Kekuasaan Negara

oleh: Kenia Aninditya Pintoko
(Bachelor of Arts in Cultural Anthropology,
Gadjah Mada University)
(tulisan ini pernah diajukan sebagai syarat ujian
akhir mata kuliah kajian konflik dan kekerasan
di Jurusan Antropologi Budaya
Universitas Gadjah Mada
2014)

Pengantar
Sering kali kita melihat, mendengar, dan membaca mengenai berbagai macam
konflik ataupun kekerasan yang ada di Indonesia, mulai dari yang kecil kasusnya
pencurian buah atau hasil panen hingga kasus yang paling besar dan saya anggap
merupakan kasus kekerasan utama negeri ini yaitu korupsi, secara tidak langsung
korupsi bisa dikatakan kekerasan. Jika pada masa Anglo-Saxon yang dikatakan
sebagai kekerasan adalah tindakan yang memiliki kontak fisik atau kasat mata, tapi
sekarang dimasa post-modern ini , kekerasan bukan hanya yang kasat mata saja
namun juga yang tidak kasat mata. Bisa dikatakan kekerasan jika tindakan yang

dilakukan oleh pihak pelaku memiliki tujuan instrumental atau memiliki tujuan
tertentu, dan tujuan simbolik atau ekspresif. Dan saat ini, terutama di Indonesia
sebuah peristiwa bisa disebut sebagai kekerasan atau bukan di pengaruhi oleh
kompetisi politik (permainan politik). Saya menyebut korupsi sebagai sebuah tindak
kekerasan karena didalamnya ada legitimate dan illegitimate, serta saksi mata.
Legitimate atau bisa disebut pihak pelaku adalah sebagian orang yang berperan di
pemerintahan Indonesia (pejabat, ketua umum parta, mentri, anggota DPR/MPR,
dsb.), kemudian illegitimate atau bisa disebut pihak korban adalah masyarakat
Indonesia yang mendapat ketidak meratanya segala aspek kehidupan (hukum, hak,
pendidikan, tempat tinggal, keamanan, dsb.), dan terakhir saksi mata adalah semua
pihak yang melihat , mengenal, ataupun hanya menonton , kemudian memberikan

pernyataan hubungan antara pelaku, korban , dan relasi fakta yang ada, namun hal
tersebut tergantung pada legitimasi masing-masing saksi. Rieke Diah Pitaloka dalam
bukunya yang berjudul Kekerasan Negara Menular Kepada Masyarakat, menjelaskan
kekerasan adalah semua tindakan, intensional dan ataupun karena pembiaran dan
kemasabodohan , yang menyebabkan manusia (lain) mengalami luka, penekanan dan
kekerasan menyebabkan ketidakberdayaan.
Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas serta menghubungkan relasi
dari kekerasan atau konflik yang terjadi di Indonesia , terutama beberapa daerah yang

rawan terjadi konflik, dan beberapa kekerasan yang muncul di Indonesia, dengan
peran negara (dalam hal ini negara yang saya maksud adalah pemerintah Indonesia
beserta aparat dan badan-badan negara) dalam kekerasan atau konflik tersebut,
dimana biasanya negara memiliki peran memberi keputusan legitimasi dan justicia
(hukum) dari tindakan atau perilaku yang berhubungan dengan konflik dan kekerasan
yang terjadi di kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mempermudah, saya akan
memberikan beberapa contoh kasus, yang pertama adalah konflik Gerakan Papua
Merdeka, yang kedua adalah kasus kekerasan di Lembaga Permasyarakat Cebongan
Yogyakarta, dan yang ketiga adalah kasus korupsi di Indonesia.

Isi
Yang pertama adalah kasus konflik Gerakan Papua Merdeka yang biasa
dikenal dengan OPM (Operasi Papua Merdeka). Dalam sebuah artikel berjudul The
Papua Conflict from Jakarta Perception, dijelaskan konflik yang terjadi di tahun
2003 di Papua adalah perang adat yang akhirnya dicampur tangani oleh kebijakan
pemerintah Indonesia dengan menugaskan BIN (Badan Intelegen Negara) , Kopassus
,dan FBI untuk menangani masalah yang terjadi di tanah papua tersebut. Konflik
perang adat ini berujung pada kematian , dimana menewaskan banyak orang baik dari
kelompok warga lokal, imigran, dan anggota kopassus sendiri. Konflik yang terjadi di
papua ini sendiri adalah sebuah kontruksi dari sejarah negara Indonesia, dimana

bermula ketika Papua (dulu bernama Irian Jaya) menjadi bagian dari Indonesia di
tahun 1963, muncul kebijakan dari pemerintah Indonesia yang bertentangan dengan
kemauan masyarakat papua, yaitu pembubaran dewan Papua dan melarang
pengibaran bendera papua dan melarang pengumandangan lagu papua. Perjalanan
konflik papua yang dikenal OPM berjalan seiring berkembangnya sejarah negara
Indonesia, seperti yang sudah dituliskan pada kalimat sebelumnya bahwa ini adalah

sebuah konstruksi sejarah negara ini, berjalan mulai dari negara Indonesia merdeka
yaitu masa pemerintahan Soekarno hingga Megawati (2003). Perang adat atau
perlawanan masyarakat lokal berubah menjadi sebuah perlawanan terhadap negara
karena ketidak puasan akan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk
masyarakat. Sentralisasi yang berubah menjadi desentralisasi juga tidak memecahkan
masalah konflik yang terjadi di Papua. Sebuah manipulasi kekuasaan dari kaum elite
lokal dan pemerintah yang ada, ada sebuah permainan bahwa konflik perang antar
suku bangsa yang terjadi bukan diselesaikan melainkan kaum elite lokal
memanfaatkan pemerintah untuk memasang ‘wajah seram’ agar masyarakat menjadi
takut, namun kenyataannya masyarakat dan pihak keamanan yang ditugaskan oleh
pemerintah malah bertindak agresif sehingga tidak akan mereka konflik tersebut, hal
tersebutlah yang dimanfaatkan oleh kaum elite lokal serta pemerintah daerah untuk
mendapatkan ‘kucuran’ dana dari pemerintah pusat yang nantinya akan dimanfaatkan

sendiri oleh pihak tersebut dengan kata lain kaum elite dan pemerintah meng-korupsi
dana tersebut. Jika negara tidak mengeluarkan dana dari sentral ke daerah maka kaum
elite lokal akan membiarkan terjadinya perang antar suku bangsa di Papua atau
perang adat tersebut sehingga masyarakat di luar suku bangsa tersebut memandang
negara atau dalam hal ini negara adalah pemerintah pusat Indonesia tidak mampu
mengelola konflik yang terjadi. Negara sendiri seakan-akan menjadi dikuasi oleh
kaum elite lokal ataupun pihak-pihak lain yang mempunyai kekuasaan lebih kuat
dibandingkan negara itu sendiri.
Yang kedua adalah kasus kekerasan di Lapas Cebongan Yogyakarta, yang
lebih dikenal dengan kasus penembakan Lapas Cebongan. Kasus kekerasan ini
sempat menghebohkan tanah air dan membuat negara turun tangan. Penembakan
Cebongan adalah peristiwa penembakan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan
Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 23 Maret 2013. Penembakan
yang awalnya dilakukan oleh beberapa orang tak dikenal namun akhirnya terkuak
siapa pelaku yang menyebabkan empat orang tewas. Empat korban tewas merupakan
pelaku pengeroyokan seorang anggota Kopassus bernama Heru Santosa hingga tewas
di Hugo’s Café beberapa hari sebelumnya. Pada Koran Tribun , 5 April 2013,
menuliskan bahwa belakangan diketahui, eksekutor empat preman di Lapas
Cebongan, Sleman, adalah anggota Grup II Kopassus Kartosuro berinisial U.
Penyerangan bersama rekannya ini reaksi atas pembunugan Serka Heru, yang tak lain

bekas atasan U.

Saya melihat kasus kekerasan di Cebongan sebagai sebuah ketimpangan
dimana negara menjadikan secara langsung dan nyata Jawa sebagai sentralistik, yang
membangun Indonesia sehingga terjadi sebuah ketimpangan, maka muncul banyak
transmigran sehingga terkadang muncul kecemburuan baik antara penduduk lokal
maupun penduduk migran dan pula sebaliknya. Agar tidak mengalami ketimpangan ,
baiknya negara memberi lima kesetaraan bagi seluruh masyarakat di negara tanpa
kecuali, yaitu aspek politik, legitimasi dan justicia, aspek central, struktur, dan
kekuatan (tekanan dan pemaksaan), sehingga ketika kelima hal tersebut setara maka
negara sudah memulai usaha agar warga negara menjadi patuh akan apa yang dibuat
oleh negara. Sayangnya, seperti kasus Cebongan mengalami sebuah ketimpangan
terutama dalam penanganan kasus legitimasi dan justicia, dimana karena pelaku
penembakan adalah dari pihak negara (bagian dari negara) yaitu kopassus maka
penanganan hukum lebih tertutup dibandingkan penangan kasus empat korban
penembakan yang tadinya pelaku. Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau yang lebih dikenal dengan KONTRAS,
pada surat kabar elektronik Tempo, mengatakan bahwa penyerangan ini dilakukan
secara terencana karena berlangsung dengan "rapi dan cepat." Haris juga
menyamakan cara para pelaku, yang mengurangi jumlah ketika semakin mendekati

sasaran, dengan operasi buntut kuda. Pernyataan diatas menunjukan karena pihak
kopassus memiliki kuasa lebih besar di negara ini dibandingkan dengan korban maka
mereka berhak melakukan hal tersebut, dan penanganan kasus ini hingga sekarang
(Juni 2013) belum menemui titik pasti berapa lama anggota kopassus tersebut
dihukum. Saya melihat hal tersebut seperti kata salah satu seniman Indonesia , Sujiwo
Tedjo ,”Hukum Rimba di Negara Adi Kuasa.”
Yang terakhir adalah kasus korupsi. Saya tidak akan membahas kasus korupsi
dari pelaku dan apa yang dikorupsi oleh pelaku korupsi, saya lebih berkaca mengenai
kesadaran pelaku ketika mereka sudah mendapatkan hukuman dan tindakan serta
kesadaran pelaku didalam jeruji besi. Melihat tayangan disalah satu televisi swasta,
sebut saja acara Mata Najwa di Metro TV (22 Mei 2013) yang menayangkan sidak ke
lembaga permasyarakatan khusus korupsi yaitu Sukamiskin dan Cipinang. Dalam
tayangan ini saya dapat melihat bahwa mereka sang pelaku korupsi tidak merasa
bersalah, dan ketika mereka sudah didalam penjara, karena mereka merasa punya
kuasa besar maka mereka merubah kondisi penjara tersebut sesuka hati mereka, tidak

sesuai dengan standard yang telah dibuat oleh arsitektur penjara awalnya. Para pelaku
korupsi merasa tidak bersalah maka kegiatan korupsi tersebut akan ada terus menerus
ada lagi korupsi selanjut-selanjutnya, seperti sudah mendarah daging. Akar masalah
ketika korupsi itu muncul adalah ketika negara dalam hal ini adalah pemerintah tidak

seimbang dengan masyarakat sehingga ketika negara menjadi kaya tetapi masyarakat
miskin maka timbul kejahatan, karena ketika orang lapar maka kejahatan bertambah
dan ketika orang kenyang maka kejahatan berkurang. Namun konflik dan kekerasan
Indonesia sering dimanipulasi sebagai kegagalan pemerintah atau masyarakat yang
bersalah, namun dibalik semua itu korupsi adalah kunci penting penyebabnya.
Mengapa negara melakukan manipulasi melalui korupsi? Negara didalamnya berisi
pemerintah baik individu maupun kelompok, pemerintah memiliki susunan tertinggi
mulai dari Presiden hingga ke kelurahan/ desa, dan di Indonesia setiap tahun memiliki
acuan dana untuk masing-masing daerah, namun sayangnya pihak negara tersebut
adalah pihak yang memiliki kekuasaan, kepintaran, kekayaan , dan lebih dari pada
masyarakat Indonesia lainnya sehingga mereka bisa mendapatkan apa yang mereka
mau dan kemakmuran baik untuk individu ataupun pihak kelompoknya tanpa
mempedulikan nasib konflik dan kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Penutup
Dalam buku berjudul Konflik Kekerasan Internal, tulisan Dewi Fortuna dkk.,
dikatakan bahwa pentingan mendalami makna sejarah adalah untuk mengetahui
hubungan akar kekerasan dan konflik yang terjadi di negara ini. Gaborieau
menyimpulkan bahwa akar dari kekerasan komunal adalah politik. Kesimpulan pada
bagian penutup ini saya ringkas dan saya simpulkan dari tiga kasus konflik dan
kekerasan yang sudah saya jabarkan diatas dan menyimpulkan peran negara dalam

konflik dan kekerasan tersebut.
Kasus yang pertama yaitu Papua, kita dapat melihat hubungan negara dan
konflik adalah ada pada proyek nasionalisme. Negara memiliki peran sebagai
pencetus proyek nasionalisme yaitu proyek pluralism kebudayaan, namun sayangnya
negara lebih sering mengalami kegagalan daripada mencapai tujuannya, sehingga
perbedaan antar suku bangsa tersebut semakin mendalam. Memang saat ini kebijakan
sudah desentralisasi (kebijakan lokal) namun pada kenyataannya tetap saja kebijakan
tersebut sentralisasi atau diatur oleh negara.

Kasus yang kedua yaitu Cebongan, kita dapat melihat bahwa peran negara
harusnya adalah memberikan kesetaraan hukum bagi setiap masyarakatnya terutama
dalam menangani konflik dan kekerasan yang terjadi dalam masyarakat, namun
sayang hal tersebut tidak seperti itu.
Kasus yang terakhir adalah korupsi, dimana kita bisa melihat bahwa ini adalah
akar penyebab memanasnya dan menjadi minimnya keberhasilan negara menangani
kasus kekerasan dan konflik yang ada di Indonesia. negara yang tadinya seharusnya
memilliki peran agar meredam konflik dan kekerasan agar tidak terjadi “hukum
rimba” namun negara gagal.
Menarik kesimpulan dari tiga kasus diatas ada beberapa point penting
hubungan konflik kekerasan dengan negara. Pertama , kekerasan dalam negara diatur

oleh kekuasaan, dimana sejauh kekerasan yang oleh pemerintah melampaui apa yang
dinilai ‘perlu’ berdasarkan pandangan pemerintah itu sendiri bukan berdasarkan
legitimasi hukum yang telah dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia, maka
kekerasan tersebut diperbolehkan, kekerasan yang melampaui batas dikatakan
disebabkan terutama oleh kesombongan dan kekebalan kekuasaan dari hukum.
Kedua, konflik yang terjadi di Indonesia banyak terjadi akibat kesenjangan sosial.
Individu atau kelompok yang memiliki power atau kuasa berhak mengatur semua
tindakan atau hal yang berhubungan dalam konflik atau kekerasan yang terjadi, dalam
hal ini pemerintah selaku negara yang mempunyai power. Negara menggaris bawahi
bahwa betapa pentingnya rekayasa atau manipulasi untuk mepertahankan dan
memperoleh kekuasaan dan kekuatan. Seperti yang dikatakan oleh Cribb, nahwa
negara adalah sebuah masyarakat manusia yang mengaku berhak memonopoli
penggunaan sah kekuatan fisik didalam sebuah wilayah tertentu, hak menggunakan
kekuatan fisik itu diberikan kepada lembaga-lembaga lain atau perseorangan hanya
bila negara mengijinkan, berarti negara dipandang sebagai satu sumber ‘hak’
menggunakan kekerasan. Dan terakhir, ketika melihat kembali kebelakang atau
sejarah, pluralism juga di pengaruhi oleh masa lampau, dan ketika memasuki
globalisasi maka tata hukum, ketertiban, dan monopoli kekerasan diatur oleh negara.
Namun sayangnya pengaruh sejarah dahulu adanya hukum balas dendam dan
kepentingan pribadi kalau sekarang kita lebih mengenalnya dengan korupsi, masih

menjadi akar dan bayang-bayang dari berbagai kekerasan atau konflik yang terjadi
dan kemudian di manipulasi oleh negara Indonesia ini.

Daftar Pustaka Buku
Anwar, Dewi Fortuna ,dkk. 2005. Konflik Kekerasan Internal. Jakarta: Buku Obor.
From, Erich. 2000. Akar Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pitaloka, Rieke Dyah. 2004. Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat. Yogyakarta:
Galang Press.
Riches, David. 1986. The Anthropology of Violence. Oxford: Basil Blackwell.
Steward, Pamela J. dan Andrew Strathern. 2002. Violence: Theory and Ethnography.
London: Continuum.

Daftar Pustaka Online
http://www.tribunnews.com/2013/04/05/pelaku-penyerangan-lapas-cebonganberpangkat-tamtama-dan-bintara diakses 10 Juni 2013 pukul 16:30
Anada Badudu; Rosalina. "Operasi Buntut Kuda Penjara Cebongan Sleman". Tempo.
Diakses 28-03-2013.
Ita Lismawati F. Malau; Daru Waskita. "4 Tersangka Pengeroyok Kopassus Ditembak
Hingga Tewas". VIVAnews. Diakses 28-03-2013.

 


Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24