Kapitalisasi Dan Konglomerasi Media Mass

”KONGLOMERASI MEDIA MASSA DI INDONESIA”
Media massa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban masyarakat kontemporer ini.
Di era sekarang ini, media menempati salah satu posisi yang paling strategis dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan akan informasi, hiburan, ekonomi, edukasi, maupun
kebutuhan lainya. Kita akan kaya akan wawasan dan mengetahui fenomena atau berita yang up
to date ketika kita “melek media” atau dalam kata lain kita mengikuti pemberitaan yang
dilakukan oleh media masa, baik media elektronik, media cetak, maupun media online. Media
juga menyediakan berbagai macam hiburan yang dapat memberikan sarana rekreasi bagi kita,
seperti acara-acara hiburan dalam berbagai macam di televisi, game online, film, video di
internet, dan berbagai bentuk hiburan yang disediakan media massa lainya. Begitupun dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi, media massa memeberikan peluang yang luarbiasa seperti
penjualan media cetak, penjualan teknologi media, pelayanan jasa iklan, dan berbagai peluang
ekonomi yang disediakan oleh media. Media benar-benar menjadi bagian yang vital dalam
kehidupan manusia sekarangini, tak terkecuali di Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang mengalami proses perkembangan juga tidak
kalah pesat dengan negara lain dalam pertumbuhan media massa, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Seperti yang dinyatakan dalam film dokumenter tentang realitas media massa di
Indonesia yang berbasis riset panjang dimulai 15 Desember 2011 lalu, “Di Balik Frekuensi”,
sebuah film yang disutradarai oleh Ucu Agustin. Film tersebut menyajikan data bahwa sampai
tahun 2012, Indonesia tercatat telah memiliki sekitar 1248 stasiun radio, 1706 media cetak, 76
stasiun televisi, 176 stasiun televisi yang telah mengajukan izin penyiaran, serta ratusan media

online yang mulai tumbuh menjamur di Indonesia. Apalagi jika kita melihat sekarang ini, yang
mana teknologi media terus mengalami kemajuan, sudah menjadi konsekuensi logis jika jumlah
media massa dalam berbagai bentuk juga terus bertambah.
Berbicara mengenai pertumbuhan jumlah media massa di Indonesia, ada suatu permasalahan
yang banyak dari kita tidak pernah menyadari permaslahan tersebut. Film “Di Balik Frekuensi”
mencoba memberitahu kita permasalahan yang kita tidak pernah menyadarinya, atau
menganggap bahwa permasalahan tersebut bukanlah suatu masalah. Permasalahan tersebut
yaitu mengenai kepemilikan atas media massa. Fakta di Indonesia menyatakan jika kepemilikan
atas media massa di Indonesia yang dikonsumsi oleh kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia
hanya dimiliki oleh 12 pihak saja. 12 grup media dengan pemilik yang memiliki kepentingannya
sendiri-sendiri, membanjiri publik dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik
mereka yang memanisfestasikan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik.
12 grup media itu mengendalikan ribuan media dengan aneka format. Untuk seluruh televisi di
negeri ini, baik dalam tingkatan nasional maupun lokal, sebagian besar sahamnya hanya dimiliki
oleh 5 orang saja. Seperti Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar), Aburizal Bakrie memiliki
TVOne dan ANTV. Ketua Umum Partai Nasional Demokrasi (Nasdem), Surya Paloh, memiliki

MetroTV. Politisi partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Hary Tanoesodibjo, memiliki RCTI, GlobalTV
dan MNCTV. Chairul Tanjung memiliki TransTV dan Trans7. Eddy Kurnadi Sariaatmadja memiliki
SCTV dan Indosiar. Begitupun dengan media massa berupa stasiun radio dan berbagai macam

media online yang juga hanya dimiliki oleh beberapa pihak saja. Selain itu, pemberitaan yang
dilakukan oleh ribuan media massa di Indonesia yang dikuasai oleh beberapa pihak tersebut
juga pada dasarnya tidak pernah menyangkut kepentingan masyarakat, namun bertolak dari
kepentingan orang-orang dibalik media massa tersebut. Hal inilah yang biasa disebut dengan
oligopoli media massa, yang mana media massa hanya dikuasai oleh beberapa pihak saja, dan
pemberitaan yang dilakukan hanyalah untuk kepentingan ekonomi maupun politik pihak yang
ada dibalik media massa tersebut.
Dalam konstitusi yang berlaku di negara Indonesia, telah diatur mengenai penggunaan kekayaan
negara, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33. UUD 1945 pasal 33 tersebut berbunyi
sebagai berikut;
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan, kesatuan ekonomi
nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Pasal tersebut menerangkan dengan jelas bahwa kekayaan alam Indonesia yang menyangkut
hajat hidup dan memiliki fungsi vital bagi kehidupan masyarakat, baik yang ada didalam bumi,
perairan, maupun udara Indonesia adalah kekayaan publik dan harus digunakan untuk
kepentingan bersama. Begitupun dengan kekayaan negara yang berupa spektrum frekuensi
yang pada umumnya digunakan oleh stasiun televisi dan stasiun radio. Udara bukanlah ruang
hampa yang hanya memiliki manfaat untuk bernafas saja tanpa mengandung potensi
didalamnya. Didalam ruang udara kita memiliki “spektrum frekuensi” , yang dapat digunakan
dalam penyiaran media massa seperti televisi, radio, dan lainya.
Jika kita mengacu pada konstitusi diatas, seharusnya media massa, khusunya dunia pertelevisian
kita, wajib berbicara mengenai kepentingan umum. Kekayaan publik yang digunakan dalam
dunia pertelevisian harusnya bertujuan untuk kepentingan masyarakat Indonesia, bukan hanya
kepentingan para pihak pengelola media massa. Namun pada kenyataanya, konglomerasi pada
dunia penyiaran di Indonesia hanyalah untuk kepentingan ekonomi dan politik pihak-pihak
dibalik media. Konglomerasi media itu sendiri adalah penggabungan-penggabungan perusahaan
media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media lainya.
Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang

dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan
saham, joint venture/merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar. Akibatnya
kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contohnya saja dalam hal ini Trans7

dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul
Tanjung. Global TV, RCTI dan MNC TV bergabung dalam MNC Group dan bertindak selaku
pemilik di Indonesia adalah Hary Tanoesoedibyo. TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera
Bakrie Group dengan Bos utama Abu Rizal bakrie. SCTV yang sebagian besar sahamnya dimiliki
oleh Eddy Sariatmadja berada pada lingkaran Surya Citra Media. Serta yang terakhir Metro TV
dengan Surya Paloh sebagai pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan
oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita
media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan orang
nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk
mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa
berbahaya bagi masyarakat. Konglomerasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan satu orang
dapat menguasai banyak media muncul, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan
berbagai media dalam satu waktu, kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di
publikasikan, nilai-nilai yang harus dianut dan sebagainya. Selain itu, berita yang disampaikan
hanya berita yang dianggap menguntungkan secara ekonomi maupun politik bagi pihak dibalik
media. Akhirnya pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa
banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Contoh ANTV karena
saham terbesarnya milik keluarga Bakrie, maka bagaimana pun tidak akan pernah ada berita
yang akan mengangkat lumpur Lapindo dan penderitaan masyarakat yang ada di Sidoarjo sana.

Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional
Demokrat, padahal kalau diperhatikan nilai dan urgensi berita mungkin tidak terlalu urgen.
Tetapi karena kepentingan pemiliknya, maka berita tersebut sering muncul.
Apalagi jika kita mengacu pada undang-undang yang lebih spesifik berbicara tentang penyiaran
di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Undang-undang
Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah
publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal
maupun kepentingan kekuasaan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah sebuah lembaga
independen di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang
berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Apabila ditelaah secara
mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memiliki semangat utama,
yaitu pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran
merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Hal
tersebut dapat dilihat dari pasal satu ayat 8 pada UU tersebut, yang menyatakan jika “Spektrum
frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan
merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah

publik dan sumber daya alam terbatas”. Kemudian disusul dengan pasal 6 ayat 2 yang berbunyi,
“Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), negara menguasai

spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian disusul lagi dengan pasal 8 ayat 3a yang berbunyi,
“(KPI) menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan
hak asasi manusia”. Jadi ada dua poin utama dari beberapa pasal yang disebutkan diatas.
Pertama bahwa spektrum frekuensi yang digunakan oleh televisi dan radio adalah milik publik,
sehingga media massa harus memihak pada kepentingan publik. Yang kedua yaitu hak untuk
mendapatkan informasi yang layak dan benar adalah hak asasi manusia, sehingga media tidak
boleh sembarangan dalam menyiarkan informasi kepada khalayak.
Pada kenyataanya, UU no. 32 tentang penyiaran tersebut tidak terimplementasi sama sekali.
Media massa tetaplah menjadi milik segelintir pengusaha dan digunakan atas kepentingan
komersil dan politik para pemilik media. Negara gagal dalam mengintervensi fungsi dan
kepemilikan media untuk kepentingan bangsa. Yang terjadi justru sebaliknya, penguasa dan
pengusaha malah bersama-sama menggunakan media untuk kepentingan mereka masingmasing. Regulasi penyiaran sebagai landasan tata kelola penyiaran indonesia yang berwujud UU
tidak relevan sama sekali. Para elit politik kita tidak tanggung-tanggung lagi dalam konglomerasi
media massa demi kepentingan politik dan ekonomi mereka dan partainya. Oligopoli media kita
membuat media hanya dipegang segelintir kecil pihak. Rakyat benar-benar dirampas haknya
oleh konglomerasi media, bahkan hak yang paling mendasar; mendapatkan informasi yang layak
dan benar.