BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah yang dapat

  digunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan batubara (Minerba). Mengingat bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomian nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan serta mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan maka pengelolaan dan pemanfaatan Minerba harus dilakukan dengan optimal dan

   semaksimal mungkin.

  Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau

   gabungannnya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

  Sedangkan, batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk

   secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

  Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai negara yang kaya akan sumber daya tambang. Selain itu, dari potensi bahan galiannya untuk batubara, Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk ekspor batubara, peringkat ke-2 untuk produksi timah, peringkat ke-2 untuk produksi tembaga, peringkat ke-6 untuk produksi emas. Berbagai macam bahan 1 Indonesia (a), Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan konsideran. Selanjutnya disebut UU Minerba.

  Batubara, 2 Ibid., Pasal 1 angka 2. tambang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, dari sabang sampai merauke, mulai dari emas, timah, tembaga, perak, intan, batubara, minyak, bauksit, dan lain-lain. Berdasarkan data USGS, cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia menduduki peringkat ke-7, sedangkan produksinya sekitar 6,7% dari produksi emas dunia dan menduduki peringkat ke-6. Sementara itu, posisi cadangan timah Indonesia menduduki peringkat ke-5, yakni sebesar 8,1% dari cadangan timah dunia. Cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1% dari cadangan tembaga dunia, dan merupakan peringkat ke-7 sedangkan dari sisi produksi adalah 10,4% dari produksi dunia dan merupakan peringkat ke-2. Potensi nikel Indonesia juga luar biasa. Cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 2,9% dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat ke-8, sedangkan produksinya 8,6% dan merupakan

  

  peringkat ke-4 dunia. Namun ketiadaan pengetahuan, modal, dan teknologi yang memadai untuk menggali dan mengolahnya, membuat sumber daya mineral dan batubara belum memilki manfaat yang berarti. Padahal, kekayaan bahan tambang, khususnya mineral, apabila diproses lebih lanjut dapat menghasilkan bahan baru

  

  yang lebih bermanfaat dan bernilai jual tinggi. Kondisi tersebut dapat dilihat dari masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia yakni sebesar 27,73 juta

  

  per September 2014. Selain itu Indonesia juga memiliki Utang Luar Negeri yang terbilang cukup besar sampai dengan November 2014 yaitu sebesar US$ 294,4

   miliar atau sekitar Rp 3.512 triliun. 4 5 Investor Daily, Edisi 19 Mei 2014, Jakarta: PT. Koran Media Investor Indonesia Sukandarrumidi, Memahami Pengelolaan Bahan Tambang di Indonesia: Referensi

Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010),

hlm.25. 6 Berita Resmi Statistik No. 06/01/Th. XVIII, 2 Januari 2015

  Masih rendahnya manfaat ekonomi yang diperoleh negara selama ini antara lain dapat dilihat dari nilai penerimaan negara bukan panjak (PNBP) mineral. Pada tahun 2007 dari total PNBP sektor ESDM yang mencapai Rp143,2 triliun, subsektor pertambangan umum hanya menghasilkan PNBP sebesar Rp 8,7 triliun atau hanya 6%- nya, sedangkan sebagian besar (94%) perolehan PNBP disumbangkan oleh subsektor minyak dan gas (migas). Empat tahun berikutnya, yaitu tahun 2011, perolehan PNBP sektor ESDM menjadi Rp 217,3 triliun, namun sumbangan dari subsektor pertambangan umum hanya sebesar Rp 24,2 triliun atau sekitar 11%-nya. Subsektor migas masih mendominasi peroleh PNBP ESDM dengan nilai Rp 193,1 triliun atau sekitar 89%-nya. Kalau perolehan PNBP pertambangan umum dirinci lebih jauh, maka pada tahun 2007 sumbangan PNBP mineral hanya sebesar Rp 2,94 triliun (34%) sedangkan selebihnya Rp 5,75 triliun (66%) disumbangkan oleh batubara. Empat tahun kemudian, (tahun 2011) dari total perolehan PNBP subsektor pertambangan umum sebesar Rp 24,2 triliun, mineral hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 3,42 triliun (14%), sedangkan batubara memberikan kontribusi sebesar Rp 20,8 triliun (86%). Jika perolehan PNBP mineral dirinci lebih lanjut ke dalam kontribusi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK), maka dari total perolehan PNBP mineral sebesar Rp 2,94 triliun pada tahun 2007, kontribusi pemegang IUP sebesar Rp 840 miliar (29%), sedangkan pemegang KK sebesar Rp 2,10 triliun. Empat tahun berikutnya (tahun 2011), dari total perolehan PNBP mineral sebesar Rp 3,42 triliun, kontribusi pemegang IUP sebesar Rp 1,40 triliun (41%), sedangkan pemegang KK sebesar Rp 2,02 triliun (59%). Dari angka tersebut terlihat jelas bahwa kontribusi pemegang IUP maupun KK terhadap PNBP masih

   relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai ekspor mineralnya selama ini.

  Tabel 1 Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Energi dan Sumber Daya

  Mineral (ESDM) PERTAMBANGAN UMUM NO TAHUN MIGAS TOTAL MINERAL BATU BARA

  1 2007 Rp. 2.94 triliun Rp. 5.75 triliun Rp. 134.5 triliun Rp. 143.2 triliun 2 2011 Rp. 3.42 triliun Rp. 20.8 triliun Rp. 193.1 triliun Rp. 217.3 triliun

  Sumber :Telah diolah kembali berdasarkan data diatas

  Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara

  

  berkelanjutan. Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap klausul “dikuasai negara” dimana mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan negara rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang 8 Hilirisasi Industri Tambang, http : // www.majalahglobalreview.com / industri /

  pertambangan /13-pertambangan /105-tataniaga-ekspor-untuk-hilirisasi-minerba.html (diakses pada tanggal 9 Desember 2014) terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang dimaksud.

  Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichtoudensdaad) untuk tujuan sebesar-

   besarnya kemakmuran rakyat.

  Kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral di Indonesia saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan mentah, tanpa dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu. Di sisi lain, beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber daya mineral sebagai bahan baku utama ataupun penunjang masih merupakan produk impor. Kondisi tersebut mengakibatkan sumber daya mineral tidak menghasilkan nilai tambah

   (value-added) secara langsung sebagaimana yang diharapkan.

  Peningkatan nilai tambah adalah usaha untuk meningkatkan nilai keekonomian suatu hasil tambang melalui teknologi pengolahan dan pemurnian sehingga menghasilkan dampak pada kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang dihasilkan dan memberikan multiplier-effect pada pengembangan industri hilir

  

  terkait. ultiplier-effect yang dimaksud terdiri dari meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian

  UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan 11 Suryartono, dkk.,Good Mining Practice: Konsep Tentang Pengelolaan Pertambangan Yang Baik dan Benar (Semarang: Studi Nusa,2003), hlm.191. 12 Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, “Pemerintah Siapkan InpresHilirisasi Pertambangan, http://www.kemenperin.go.id/artikel/3812/Pemerintah-Siapkan-Inpres-Hilirisasi- meningkatkan surplus usaha untuk menarik minat investor menanamkan modalnya, meningkatkan pendapatan pajak untuk menaikkan kemampuan dan kemandirian fiskal bagi pemerintah pusat dan daerah, memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekaligus mengurangi pengangguran, dan adanya nilai

  

  tambah total untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dasar filosofis peningkatan nilai tambah pada produk akhir dari usaha pertambangan adalah untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang, menyediakan bahan baku industri, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan penerimaan negara.

  Kebijakan peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral di dalam negeri melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sebenarnya telah dikenal pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan, meskipun memang tidak dituangkan secara tegas tentang bagaimana mekanisme dan tatacaranya. Ketentuan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 misalnya telah dikemukakan definisi pengolahan dan pemurnian sebagai“pekerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada

  

  bahan galian itu”. Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 juga menyatakan bahwa: “Pengolahan dan pemurnian sejauh mungkin harus

   diusahakan untuk dilakukan di dalam negeri”.

  Praktik dan pengaturan lebih lanjut terkait dengan kewajiban tersebut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 diarahkan kepada perusahaan- perusahaan pemegang Kontrak Karya. Investor Asing yang ingin berinvestasi di 13 14 Ibid.

  Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Pasal 2 huruf f. sektor mineral melaksanakan usahanya dalam bentuk Kontrak Karya yang di dalamnya tertuang ketentuan yang mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri dalam rangka mendukung pembangunan sektor hilir pertambangan. Sedangkan bagi perusahaan nasional dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP) belum diatur kewajiban untuk melakukan peningkatan

   nilai tambah mineral lewat kegiatan pengolahan dan pemurnian.

  Seiring dengan berkembangnya kegiatan pertambangan di Indonesia, banyak permasalahan dan tantangan yang tidak dapat ditanggulangi oleh Undang- Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sehingga diperlukan perubahan peraturan perundangan-undangan bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengolah dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara

  

  berkelanjutan dalam pengaturan pertambangan di Indonesia. Untuk menjawab persoalan tersebut maka lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut sebagai UU Minerba).

  Lahirnya UU Minerba pada tanggal 12 Januari 2009 membawa pengaruh besar terhadap kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang di Indonesia.

  Dalam UU Minerba kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang diberlakukan untuk seluruh perusahaan pertambangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa 16 Sony HeruPrasetyo, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Kewajiban Penyesuaian

  

Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mieral dan Batubara Terkait Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah Hasil

Penambangan Mineral di Dalam Negeri; Studi Kasus Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara,” (Tesis Magister, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013), hlm.48. membedakan status penanaman modal perusahaan pemegang IUP atau IUPK tersebut. Hal tersebut dapat dilihat di ketentuan Pasal 102 UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Sedangkan

  Pasal 103 ayat (1) UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”.Pasal 170 menyatakan bahwa: “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

  Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa semua penambang yang menambang hasil tambang di Indonesia baik yang berbentuk IUP, IUPK, dan kontrak karya (KK) wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan/atau batubara di dalam negeri, tetapi terdapat perbedaan waktu dalam melakukan peningkatan nilai tambah tersebut dimana ketentuan

  Pasal 170 UU Minerba diatas memberikan pengertian bahwa setiap Pemegang Kontrak Karya, khususnya yang telah berproduksi untuk segera merencanakan dan membangun fasilitas pemurnian (smelter) dalam negeri. Mengingat waktu yang dibutuhkan untuk membangun smelter tidak seketika dan membutuhkan dukungan dari berbagai faktor seperti, investasi, ketersediaan infrastruktur, sumber daya energi yang mencukupi. Pemerintah memberikan jangka waktu selama 5 (lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba ini, dengan kata lain fasilitas pemurnian tersebut sudah harus beroperasi paling lambat sampai dengan 12

  Januari 2014. Tetapi jangka waktu tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP dan

  IUPK Operasi Produksi karena kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku seketika sejak

  

  diberlakukannya UU Minerba. Mengabaikan kewajiban Pasal 102, 103, dan 170 UU Minerba, para pengusaha penambang lebih memilih meningkatkan ekspor bijih (raw material atau ore) daripada membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang menyebabkan terjadinya peningkatan yang sangat tajam terhadap volume ekspor bijih (raw material atau ore).

  Selama tiga tahun terakhir setelah UU Minerba diterbitkan, secara nasional ada beberapa jenis bijih tambang dan mineral yang realisasinya mengalami peningkatan secara besar-besaran, diantaranya ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat

  

  500%. Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri

  

  menjadi tidak ada artinya. ahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut: “peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang 18 menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan

  Sony Keraf, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 22 September 2014, hlm.6. 19 Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Analisis Dampak Kebijakan (Jakarta, Oktober, 2013).

  Pelarangan Ekspor Raw Material Tambang dan Mineral 20 YusrilIhzaMahendra, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PUU- pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat

  

  dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.” Dengan demikian pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang.

  Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan penjualan bijih (raw material atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih (raw material atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor.Guna memperkuat kebijakan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) pemerintah mengeluarkan berbagai perangkat peraturan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pada 11 Januari 2014 Pemerintah mengeluarkan 4 (empat) peraturan terkait pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore).

  Pertama , Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 1 Tahun 2014 tentang

  Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini menegaskan bahwa untuk dapat melakukan penjualan mineral logam ke luar negeri harus memenuhi syarat tertentu. Bagi pemegang kontrak karya harus 21 Putusan Mahkamah Konstitusi, perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 23 Oktober melakukan pemurnian terlebih dahulu sampai dengan batasan minimum pemurnian sedangkan bagi Pemegang IUP operasi produksi harus melakukan kegiatan pengolahan sampai batasan minimum tertentu. Pengaturan lebih lanjut mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian diatur lebih lanjut dengan

22 Peraturan Menteri.

  Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1

  Kedua,

  Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri. Peraturan ini berisikan mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian bijih (raw material atau ore) sebelum dapat dijual ke luar negeri. Selain itu pemegang kontrak karya dan IUP operasi produksi dapat melakukan ekspor mineral olahan atau konsentrat selama 3 (tiga) tahun ke depan yakni sampai dengan tahun 2017.

  , Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014

  Ketiga

  tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Peraturan ini berisikan mengenai tatacara ekspor mineral olahan atau konsentrat .Terdapat juga daftar produk pertambangan yang dilarang untuk

  

  diekspor. Serta batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian produk pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan

   dalam bentuk ore.

  adalah Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 /

  Keempat,

  PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan 22 Indonesia (c), Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua

  

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

, Pasal 112C. Pertambangan Mineral dan Batubara 23 Indonesia (d), Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014

  , Pasal 2 ayat tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian (4). Selanjutnya disebut Permendag Nomor 4 Tahun 2014. Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar. Peraturan ini berisikan mengenai besaran tarif bea keluar yang harus dibayarkan kepada pemerintah sebelum mineral hasil olahan dan/atau pemurnian di ekspor ke luar negeri. Besaran tarif bea keluar yang dikenakan terbagi menjadi dua jenis. Besaran tarif jenis pertama adalah tarif bea keluar yang dikenakan terhadap mineral olahan dan/atau pemurnian untuk eksportir yang tidak membangun fasilitas pemurnian atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas pemurnian. Besaran tarif bea keluar ini dilakukan secara progresif dari 20% s/d 60%, kenaikan tarif tersebut dilakukan secara pertahap dari sejak diberlakukannya peraturan tersebut sampai dengan 12 Januari 2017. Sedangkan Besaran tarif jenis kedua adalah tarif bea keluar yang dikenakan terhadap mineral olahan dan/atau pemurnian untuk eksportir yang membangun fasilitas pemurnian atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas pemurnian. Besaran tarif bea keluar yang dikenakan ditentukan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter.

  Penerapan kebijakan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) ternyata menimbulkan berbagai permasalahan yang diantaranya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hal ini dikarenakan beberapa

  

  perusahaan tambang tidak sanggup membangun smelter. Sebagai akibat tidak adanya smelter, terjadi penumpukan hasil tambang di berbagai wilayah pertambangan karena tidak dapat di ekspor ke luar negeri, yang menyebabkan pendapatan perusahaan berkurang dan untuk mengurangi beban pengeluaran, perusahaan memberhentikan sejumlah pegawainya untuk dapat tetap beroperasi. 25 Hilirisasi Berbuntut PHK Massal,

  

http://arsip.tambang.co.id/print.php?category=18&newsnr=8652 (diakses pada tanggal 25 Februari

  Terkait dengan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore ) PT Newmont Nusa Tenggara mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap pemerintah Indonesia. Menurut Newmont, pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017, yang diterapkan kepada Newmont oleh pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) serta perjanjian investasi bilateral antara Indonesia

   dan Belanda.

  Tidak berhenti sampai disitu Pembatasan ekspor mineral mentah diindikasikan melanggar ketentuan dalam Pasal XI:1 GATT yang mengatur mengenai penghapusan hambatan kuantitatif. Dalam Pasal tersebut, setiap negara diharuskan melakukan penghapusan peraturan yang membatasi jumlah dari barang yang akan diimpor atau diekspor. Hambatan ini dapat juga berbentuk

  

larangan impor atau ekspor secara umum.

  Pembatasan ekspor sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, dalam hal ini mineral, dapat dilakukan oleh Negara anggota GATT apabila sesuai pengecualian umum yang diatur di dalam Pasal XX huruf g GATT. Dalam Pasal tersebut terdapat 3 (tiga) prasyarat, yaitu:

  1. Tujuan kebijakan yang ingin dicapai haruslah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui;

  2. Tindakan tersebut haruslah berhubungan dengan tujuan kebijakan tersebut; dan 26 Newmont gugat Repubik Indonesia, http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/517791-

  

dilarang-ekspor-minerba-mentah--newmont-gugat-ri-ke-arbitrase (diakses pada tanggal 26

Februari 2015). 27 Agi Gilang Pratama, “Analysis of Juridical Concerning Non-Tariff Barriers

Indications Against Ministerial Energy and Mineral Resources Decree No.7 year 2012 about the

Increase in Mineral Added Value Through the Mineral Processing and Refining Activity,” (e-

  3. Tindakan tersebut haruslah diberlakukan secara bersama-sama dengan

   larangan terhadap produksi atau konsumsi domestik.

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul: “Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah

  

Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade

”.

  (GATT) B.

   Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikemukakan pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

  1. Bagaimana pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif Indonesia? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah? 3. Bagaimana kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Tujuan penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk memahami pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif Indonesia.

  2. Untuk memahami penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.

  3. Untuk memahami kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade

  (GATT).

  Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan sebagai pemenuhan tugas akhir dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

  1. Secara teoritis Secara teoritis, pembahasan terhadap pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement On Tariffs and Trade (GATT) ini akan memberikan pemahaman dan pengetahuan baru bagi para pembaca mengenai pelarangan ekspor mineral mentah, penyelesaian sengketa yang terjadi akibat dari kebijakan tersebut, serta kedudukan kebijakan tersebut terhadap prinsip-prinsip GATT.

  2. Secara praktis Penulisan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca terutama bagi para pihak yang berkecimpung di dunia pertambangan Indonesia, juga sebagai bahan bagi para akademisi dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

  Karya ilmiah penulis, Skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik (Sarjana) baik di Universitas Sumatera Utara maupun di Perguruan Tinggi lainnya.Judul Karya Ilmiah Penulis ini telah diperiksa oleh Perpustakaan Universitas Cabang FH USU/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum FH USU dan tidak ada judul yang sama dan tidak terlihat adanya keterkaitan.

  Dengan demikian, dilihat dari permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai dengan penulisan skripsi ini, maka dapat disimpulkan semua yang tertuang di dalam skripsi ini adalah asli dari karya penulis sendiri dan bukan hasil jiplakan dari skripsi yang telah ada, dan diperoleh melalui hasil pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, buku-buku, makalah-makalah dari bahan-bahan seminar, serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan pada asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka. Semua ini adalah merupakan implikasi dari proses penemuan kebenaran ilmiah, maka dari itu penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah maupun secara akademik.

E. Tinjauan Pustaka 1.

  Pelarangan Ekspor Mineral Mentah

  Article angka 1 Japanese Mining Law No.289, 20 December, 1950 Latest

  Amedement In 1962 telah ditemukan pengertian mineral: “Mineralin this Article and articles hereinafter shall mean:“The ores of

  gold, silver, copper, lead, bismuth, tin, antimony, mercury, zinc, iron, sulfide, chromite, manganese, tungsten, molybdenum, arsenic, nickel, cobalt, uranium, thorium, phosphate, graphite, coal, lingnite, petroleum, asphalt, natural gas, sulfur, gypsum, barite, alunite, fluorspar, asbestos, limestone, dolomite, silicastone, feldspar, pyrophyllite, talc, fire clay and alluvial ores (alluvial gold, iron sand, stream tin and other metal ores

   which result in alluvial deposits; hereinafter the same)”.

  Mineral adalah bijih-bijih dari emas, perak, tembaga, timah, bismut, kaleng, logam putih, seng, besi, sulpida, khrom, mangan, tangstan, molybdenum, 29 Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara (Jakarta Timur: Sinar Grafika, arsen, nikel, kobal, uranium, pospate, grafit, batubara, batubara mudah, minyak mentah, aspal, gas alam, sulfur, batubahu, barit, alunit, flor, asbes, batu gamping, dolomit, silicon, peldpar, piropilet, talk, batu lempung, dan bijih tanah ( bijih

  

  emas, bijih besi, timah di sungai, dan berbagai metal lainnya). edangkan UU Minerba Pasal 1 angka 2 menyatakan “Mineral adalah senyawa anorganik yang

  

terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan

kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk

31 Senyawa anorganik adalah semua elemen-elemen atau unsur

  lepas atau padu.”

   yang sudah bersatu padu di dalam alam.

   Definisi Mentah adalah belum diolah, belum jadi. Bijih adalah

  kumpulan mineral yang mengandung 1 (satu) logam atau lebih yang dapat diolah

  

  secara menguntungkan. Dalam bahasa Inggris Bijih diartikan juga sebagai

35 Ore.

   Mineral terbagi atas 4 (empat) golongan, yaitu: 1.

  Mineral Radioaktif; 2. Mineral Logam; 3. Mineral Bukan Logam; dan 4. Batuan.

  30 31 Ibid. 32 Indonesia (a), Loc.Cit., Pasal 1 angka 2. 33 Salim Hs, Op.Cit., hlm.39.

  Budiono, MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Karya Agung, 2005), hlm.339. 34 Indonesia (e), Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun

2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian

Pasal 1 Angka 6. Selanjutnya disebut Permen ESDM Nomor 1 Tahun Mineral di Dalam Negeri, 2014.

35 Jhon M; Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.408.

  Mineral golongan radioaktif tidak termasuk dalam golongan komoditas tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya.

   Nilai Tambah adalah

  pertambahan nilai mineral sebagai hasil dari proses pengolahan dan/atau pemurnian mineral.

38 Peningkatan Nilai Tambah adalah peningkatan nilai mineral

  melalui kegiatan pengolahan dan / atau pemurnian sehingga menghasilkan manfaat ekonomi, sosial dan budaya.

  

Pengolahan dan Pemurnian adalah

  kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.

   Mineral Logam adalah mineral yang unsur utamanya mengandung

  logam, memiliki kilap logam, dan umumnya bersifat sebagai penghantar panas dan listrik yang baik.

41 Beberapa contoh mineral yang tergolong mineral logam adalah emas, bauksit, litium, tembaga, perak, timbal.

   Mineral Bukan Logam adalah mineral yang unsur utamanya terdiri atas

  bukan logam, misalnya bentonit, kalsit (batu kapur/ gamping), pasir kuarsa, dan lain-lain.

   Beberapa mineral yang tergolong mineral bukan logam adalah intan, grafit, belerang, batu kuarsa.

   Batuan adalah massa padat yang terdiri atas satu jenis mineral atau lebih

  yang membentuk kerak bumi, baik dalam keadaan terikat (massive) maupun lepas

  37 Indonesia (e), Loc.Cit.,Pasal 2 angka 1. 38 Ibid., Pasal 1 angka 12. 39 Ibid ., Pasal 1 Angka 13. 40 Indonesia (a),Loc.Cit.,Pasal 1 Angka 20. 41 Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 1 angka 2. 42 Indonesia (c), Loc.Cit.,Pasal 2 angka 2 huruf b. 43 Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 1 angka 3.

  

  (loose). Beberapa contoh mineral yang tergolong batuan adalah pumice, tras,

   obsidiam, marmer, granit.

   Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.

  Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-

48 Undang Kepabeanan.

  Produk Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum

  

  pengolahan dan / atau pemurnian dilarang diekspor. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan terhadap ekspor mineral yang belum diolah atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri.

  Pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) bertujuan untuk menjamin ketersediaan bijih (raw material atau ore) di dalam negeri sehingga dapat dilakukan pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu terhadap bijih (raw atau ore) tersebut untuk meningkatkan nilai tambahnya sebelum

  material

  

  diekspor. Terkait dengan kebijakan pengendalian penjualan bijih (raw material atau ore) Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri, perlu mengatur mengenai bea keluar terhadap barang ekspor berupa bijih (raw material atau ore) mineral.

  Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan 45 46 Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 1 angka 4. 47 Indonesia (c), Loc.Cit.,Pasal 2 angka 2 huruf d. 48 Indonesia (d), Loc.Cit.,Pasal 1 angka 1.

  Pengertian Daerah Pabean,

http://www.beacukai.go.id/index.html?page=faq/pengertian-daerah-pabean.html (diakses pada

tanggal 28 Februari 2015) 49 Indonesia (d), Loc.Cit.,Pasal 2 angka 3.

  

  yang dikenakan terhadap barang ekspor. Barang ekspor yang dimaksud dalam hal ini adalah mineral yang telah diolah atau dimurnikan terlebih dahulu.

2. Penyelesaian Sengketa Bidang Pertambangan.

  Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta

  

  kegiatan pasca tambang. Pengertian tambang juga ditemukan dalam Undang- Undang Guatamela. Mining is comprises all reconnaissance activity, exploration

  

and exploitation of mining products. Artinya pertambangan meliputi semua

  kegiatan untuk melakukan penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi bahan

  

  tambang. Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) adalah sebagai berikut; “Pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (inconsistent

   ) terhadap sesuatu yang bernilai” (dalam Friedman,2001). claim Dari paparan diatas, dapat dikemukakan pengertian sengketa tambang.

  Sengketa tambang adalahSengketa atau konflik atau pertentangan yang terjadi

  

  dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan. Pertambangan merupakan salah satu

51 Indonesia (l), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang

  

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang

, Pasal 1 angka 2. Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar 52 53 Indonesia (a), Loc.Cit,. Pasal 1 angka 1.

  Article 6 huruf b Mining Law Decree Number 48-97 Guatemala., seperti dikutip oleh

HS Salim, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014),

hlm.210. 54 55 Salim HS, Op.Cit., hlm.210 Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

  2005), hlm.301.

  

  bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing. Kasus-kasus atau sengketa di bidang Penanaman Modal pada dasarnya dapat dibagi atas tiga bentuk sengketa, yaitu: sengketa antar Negara (“government to government”); sengketa antar Negara tuan rumah (host country) dengan investor asing; dan sengketa antara investor asing dengan mitra lokalnya. Terhadap bentuk-bentuk kasus di

   atas, terdapat aspek-aspek hukum yang bersifat transnasional di dalamnya.

  Sengketa antar Negara di Penanaman modal khususnya di bidang pertambangan, lazimnya terjadi antara home-country dengan host country.

  Sengketa dapat muncul karena perbedaan interpretasi dan implementasi perjanjian

  

  bilateral di bidang investasi. Sengketa Host Country dengan Investor dapat timbul sebagai akibat dilanggarnya kewajiban-kewajiban kontraktual maupun kewajiban hukum lainnya. Bentuk pelanggaran dimaksud dapat disebabkan

  

  oleh: a.

  Pelanggaran kewajiban oleh Host Country; b.

  Pelanggaran kewajiban oleh Investor.

  Jenis-jenis sengketa di bidang pertambangan terdiri atas 6 (enam) jenis, yaitu: a.

  Sengketa Kewenangan (vertikal dan horizontal) Sengketa Vertikal adalah sengketa yang terjadi karena adanya silang kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal ini berhubungan dengan ketentuan tentang Otonomi Daerah, Sengketa ini 57 Indonesia (f), Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Bidang Usaha Yang

  

Tertutup Dan Bidang Usaha yang terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal,

Pasal 3. 58 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Penyelesaian (Jakarta, September 2009), hlm.3.

  Sengketa-Sengketa di Bidang Pertambangan 59 Ibid., hlm.16. berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, biasanya menyangkut Perizinan, Pengelolaan atau Kepemilikan usaha di

   bidang Pertambangan.

  Bentuk sengketa kewenangan lainnya adalah Sengketa Horizontal, yakni sengketa kewenangan yang terjadi antar Instansi Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen yang membawahi bidang Energi dan Sumber

   Daya Mineral, Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

  b.

  Sengketa Administrasi/TUN Dalam bidang pertambangan, sengketa ini timbul disebabkan oleh adanya kepentingan baik pelaku usaha, masyarakat, atau pihak-pihak lainnya yang dirugikan oleh karena diterbitkannya suatu keputusan TUN. Pada umumnya sengketa TUN yang terjadi dalam dunia pertambangan menyangkut penerbitan Izin Kuasa Pertambangan oleh Bupati atau Kontrak

   Karya/PKP2B yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

  c.

  Sengketa Kontraktual Penanaman modal di bidang pertambangan adalah kegiatan yang padat modal, oleh karena itu biasanya dilakukan dalam suatu kerjasama antara dua pihak yakni antara investor dengan Pemerintah maupun dengan mitra lokalnya. Dalam konteks tersebut maka ditandatangani berbagai

  

  perjanjian/kontrak di antara mereka. Baik dalam kontrak-kontrak

  61 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Op.Cit., hlm.11. 62 63 Ibid.

   Ibid., hlm.12. transnasional maupun nasional, ada beberapa ketentuan-ketentuan pokok

  

  yang dapat memunculkan masalah, antara lain: 1)

  Hukum yang berlaku (“governing law”); 2)

  Forum penyelesaian sengketa, baik melalui proses litigasi, arbitrase dan/atau Alternative Dispute Resolution (ADR); 3)

  Wanprestasi(“event of default”); 4)

  HAKI(“property rights in inventions”); 5)

  Force Majeur; 6)

  Jaminan (“Warranty and guarantee”); 7) dan lain-lain.

  d.

  Sengketa lingkungan.

  Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah

  

  berdampak pada lingkungan hidup. Sengketa Lingkungan biasanya timbul oleh karena adanya pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan

  

pertambangan terhadap lingkungan.

  e.

  Sengketa dengan Masyarakat Setempat Berdasarkan praktik atas beberapa kasus pertambangan, sengketa yang timbul antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan disebabkan oleh kurangnya tanggung jawab sosial pengusaha terhadap

   kehidupan social masyarakat setempat. 65 66 Ibid., hlm.14.

  Indonesia (g), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 67 Pasal 1 angka 25.

  Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Op.Cit., hlm.14 f.

  Sengketa Kewilayahan (Untuk Pemegang KP) Sengketa kewilayahan biasanya timbul disebabkan oleh dikeluarkannya izin Kuasa Pertambangan yang menyebabkan kerugian

  

  terhadap pemilik Kuasa Pertambangan lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) ketentuan mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal asing diatur dalam

  Pasal 32 ayat 1,2 dan 4 yaitu: Ayat 1, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.

  Ayat 2, dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Ayat 4, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

  Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

  

  tertulis oleh para pihak yang bersengketa. lternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang 69 70 Ibid.

  Indonesia (h), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

   konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

  Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan

  

  dan kebutuhan kliennya. Negosiasi adalah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan

   bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif.

  Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

  

  untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga yang mengajukan usulan jalan keluar sebagai penyelesaian, proses ini

   disebut dengan konsiliasi.

  Penilaian Ahli adalah pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat

  

  teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya. Sedangkan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dalam UU Minerba diatur dalam Pasal 154, yaitu: Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1. Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs and Trade (GATT)

  71 Pasal 1 angka 10. 72 Ibid., FransHendraWinarta, Hukum Penyelesaian Sengketa(Jakarta: Sinar Grafika), 2012, hlm.7. 73 74 Ibid. 75 Ibid.

  Garry Goodpaster, Arbitrase di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hlm.11. Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada lima prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut: a.

  Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination Principle) Prinsip ini meliputi: Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle), dan

   Prinsip National Treatment (NT Principle).

  1) Prinsip Most Favoured Nation (MFN)

  Prinsip ini diatur dalam Article 1 section (1) GATT 1947, yang berjudul

  General Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip Non

   Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.

  Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan

   kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya.

  2) Prinsip National Treatment (NT)