BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt

  nusantara, berawal pada tahun 1619. Dalam tahun itu, pasukan

  VereenigdeOostInischeCompagnie (VOC) di bawah pimpinan Jan PieterzoonCoen berhasil merebut jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru

  

  yang diberi nama Batavia. Selama lebih dari tiga abad penjajahan Belanda di Hindia Belanda, SoetaryoSigit seorang pakar pertambangan terkemuka Indonesia, menyimpulkan bahwa;

  “ Dalam hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar, cukup banyak yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda. Hal ini tidak mengherankan, karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuan-ilmuan besar di berbagai bidang. Dalam bidang pertambangan sebaliknya, ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda menjadi suatu wilayah pertambangan terkemuka, meskipun potensi mineral wilayah ini, sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu mengherankan, karena negeri Belanda bukan negara pertambangan. Sebelum memasuki era industry pada

  

  dasarnya rakyat Belanda hidup dari pertanian dan perdagangan.” Pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen”

  (Jawatan Pertambangan). Tugas Jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi- pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia-Belanda.

  90 91 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Jogjakarta : UII Press, 2004), hlm.61. Hasil penemuannya antara lain; endapan batubara Ombilin Sumatera Barat

   (1866), namun baru berhasil ditambang oleh Pemerintah pada tahun 1891.

  Baru pada tahun 1899, pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan IndischeMijnwet (Staatblad 1899-214). IndischeMijnwet hanya mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan

  

  pertambangan. Oleh karena IndischeMijnwethanya mengatur pokok-pokok persoalan saja, sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan pelaksanaan berupa Mijnorodnnantieyang diberlakukan mulai 1 Mei 1907. Mijnordonnantie mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja (tercantum dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 612). Kemudian pada tahun 1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan MijnOrdonannatie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1930. Dalam MijnOrdonnantie 1930, tidka lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselatmatan Kerja Pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam

  

MijnPolitieReglement (Staatblad 1930 1930 No.341) yang hingga kini masih

   berlaku.

  Menyerahnya tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL kepada balatentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia. Selama pendudukan Jepang IndischeMinjwet 1899 praktis tidak jalan, sebab semua kebijakan mengenai pertambangan termasuk operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan

  

  dengan situasi perang. Pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan 92 93 Ibid., hlm.63. 94 Ibid., hlm.64 95 Ibid. pada tanggal 17 Agustus1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik

  Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, masalah pengawasan atas usaha pertambangan timah dan minyak bumi yang masih dikuasai modal Belanda dan modal asing lainnya merupakan isu politik yang sangat peka. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), TeukuMr.Moh. Hassan mengambil langkah guna

   membenahi pengaturan dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia.

  Usul mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan “Mosi TeukuMoh.Hassan dkk” yang memuat beberapa hal yang diantaranya yang

  

  terpenting ialah yang mendesak pemerintah supaya: a.

  Membentuk suatu Komisi Negara Urusan Pertambangan dalam jangka waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut: 1)

  Menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara, tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di Indonesia.

  2) Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa ini.

  3) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah untuk menyelesaikan/mengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya dan sumber-sumber minyak di tempat lain.

  4) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status 96 Pertambangan di Indonesia. 97 Ibid., hlm.67. 98 Ibid., hlm.68.

  5) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan pajak dan penetapan harga minyak.

  6) Membuat usul-usul lain mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan Negara.

  b.

  Menunda segala pemberian izin, konsesi, eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan.

  Pada tahun 1960 pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No.37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pertambangan 1960. Undang-Undang ini mengakhiri berlakunya IndischeMijnwet

  

1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan nasional dan merupakan

   Undang-undang pertambangan nasional yang pertama.

  Pada tahun 1966 pemerintah menerbitkan Ketetapan MPRS No.

  XXII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal

  

  yang terkait dengan sector pertambangan, antara lain sebagai berikut: a.

  Kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi rill (Bab II Pasal 8); b.

  Potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan Indonesia (Bab II, Pasal 10); 99 100 Ibid., hlm.70. c.

Dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestic (Bab

  VIII, Pasal 62).

  Berdasarkan ketetapan MPRS di atas, disusunlah rancangan undang- udang tentang Penanaman Modal Asing, kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Untuk menyesuaikan kebijaksanaan baru dalam perekonomian, khususnya mengenai usaha pertambangan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang pertambangan 1960. Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan ini, Departemen Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusun Rencana Undang-undang Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang pertengahan tahun 1967. Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967

   tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP 1967.

  Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan yang telah mengatur kegiatan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia selama lebih kurang 42 tahun dianggap sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Pertimbangan tersebut dijadikan 101 dasar untuk pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

  2. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dibentuk untuk menggantikan Undang-Undang

  Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi perkembangan nasional maupun internasional yang terkait dengan Pertambangan.

  

  Undang-undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut: a. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh

  Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.

  b.

  Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

  c.

  Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengolahan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eskternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.

  102 d.

  Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

  e.

  Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

  f.

Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip

  lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

  Salah satu perubahan yang sangat mendasar dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah perubahan sistem pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, maka sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara adalah menggunakan kontrak, baik kontrak karya maupun perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), sedangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menggunakan izin. Izin yang diberikan kepada pemohon, meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP), IPR dan IUPK. Izin usaha pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Walaupun dalam undang-undang ini telah ditetapkan sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral, yaitu IUP, namun dalam Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tetap mengakui keberadaan kontrak karya yang telah ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini sampai dengan

  

  jangka waktu berakhirnya kontrak karya. Tetapi kontrak karya tersebut tetap

  103 harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Minerba

   selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan.

  Selain itu UU Minerba juga mengatur tentang peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral dan batubara di dalam negeri. Pasal 102 UU Minerba menyatakan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari

  

  usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan. Selanjutnya pada Pasal 103 ayat (1) UU Minerba diatur tentang kewajiban bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Dengan melihat penjelasan Pasal 103 ayat (1) dapat diketahui tujuan dari melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yaitu untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.

  Kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tidak hanya berlaku bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi

  

  tetapi juga berlaku bagi pemegang kontrak karya. Namun terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Bagi pemegang kontrak karya kewajiban tersebut harus dilaksanakan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak

  104 105 Indonesia (a), Loc.Cit., Pasal 169 huruf b. 106 Indonesia (a), Loc.Cit., Penjelasan Pasal 102. UU Minerbadiundangkan .

  

  Namun bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku mengikat seketika sejak diundangkannya UU Minerba.

  

  Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak ada artinya.

  

  “peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.”

  engenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan sebagai berikut:

  

  Berdasarkan keterangan tersebut dapat dimengerti bahwa pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah 107 Ibid. 108 Sony Keraf, Loc.Cit,. hlm.6. 109 YusrilIhzaMahendra, Loc.Cit.,hlm.7. 110 larangan penjualan bijih (raw material atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih (raw material atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor.

  Memperhatikan kembali ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba, maka dapat diketahui bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tidak boleh mengekspor mineral mentah terhitung sejak berlakunya UU Minerba. Sedangkan bagi pemegang kontrak karya berdasarkan ketentuan Pasal 170 UU Minerba terhitung 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU Minerba tidak dapat lagi mengekspor mineral mentah.Bentuk pelarangan ekspor yang diterapkan oleh peraturan ini adalah kewajiban peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Apabila dikaitkan dengan bentuk larangan atau hambatan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT maka bentuk larangan ekspor ini tergolong kepada “other measures”

   (kebijakan/peraturan lainnya).

  Perubahan Kedua PP No.23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

  111 Lihat Pasal XI angka 1 GATT, yang menyatakan : No prohibitions or restrictions

other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export

licencesor other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the

importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or

sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.

  Tanggal 1 Februari 2010 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan.Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diamanatkan dalam UU Minerba yang diantaranya adalah mengenai peningkatan nilai tambah hasil penambangan di dalam negeri melalui pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) UU Minerba.

  Sebelum diterbitkannya UU Minerba, terdapat berbagai jenis izin dalam melakukan usaha pertambangan, beberapa diantaranya adalah Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 112 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 surat izin tersebut tetap dinyatakan berlaku namun harus disesuaikan menjadi IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Surat izin tersebut juga dikenai kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian antara IUP yang diterbitkan pada saat UU Minerba berlaku dengan IUP yang terbit dari hasil penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Dimana IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku diwajibkan langsung melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam kegiatan pertambangannya namun bagi IUP yang terbit dari hasil penyesuaian diberikan jangka waktu selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya UU Minerba. Berkaitan dengan pelarangan ekspor mineral mentah, bagi pemegang IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku, tidak diperkenankan untuk melakukan ekspor mineral mentah tanpa pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu pada saat mereka melakukan kegiatan pertambangan namun hal tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP hasil penyesuaian, mereka dilarang melakukan ekspor mineral mentah setelah UU Minerba berlaku selama 5 (lima) tahun.

  Tanggal 21 Februari 2012 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012. Perubahan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa dalam rangka menunjang pembangunan industri dalam negeri perlu penataan kembali pemberian izin usaha pertambangan untuk mineral bukan logam dan batuan, pengaturan lebih lanjut mengenai kewajiban divestasi saham modal asing serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara yang

   bermaksud melakukan perpanjangan dalam bentuk izin usaha pertambangan.

  Pada tanggal 1 Januari 2014 pemerintah kembali merubah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 yang sebelumnya telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014.

  Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa bagi pemegang kontrak karya yang telah melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Jika dicermati lebih lanjut maka Pasal ini secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi 112

  Indonesia (i), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha pemegang kontrak karya dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) terhadap mineral logam yang belum dilakukan pemurnian (raw

  

material ).Sedangkan Pasal 112C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun

  2014 menegaskan bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi yang telah melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Sama seperti Pasal 112C angka 3 di atas, Pasal 112C angka 4 secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) terhadap mineral logam yang belum dilakukan pengolahan (raw material).

  Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara implisit mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri. Mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian tersebut

  

  diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Selain itu Pasal 84 ayat 3 juga melarang penjualan mineral ke luar negeri sebelum terpenuhinya kebutuhan mineral dalam negeri.Bentuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini sama seperti yang diatur dalam UU Minerba yaitu tergolong dalam “other

  measures ” sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT.

  4. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri 113

  Pemegang IUP Operasi Produksi yang dimaksud adalah IUP yang berasal dari

penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat menjadi IUP, lihat Pasal 112 angka 4 PP Nomor 1 Tahun 2014. 114 Guna melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 112C angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Penambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, Pemerintah Pada tanggal 1 Januari 2014 mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri.

  Komoditas tambang mineral yang wajib ditingkatkan nilai tambahnya

  

  adalah Mineral Logam, Mineral Bukan Logam, dan Batuan. Terdapat perbedaan kegiatan peningkatan nilai tambah terhadap masing-masing komoditas tambang mineral. Peningkatan nilai tambah terhadap mineral logam dilakukan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian, sedangkan bagi komoditas tambang

  

  mineral bukan logam dan batuan dilakukan melalui pengolahan. Pengolahan merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral atau batuan yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat mineral logam dan batuan yang

  

  dipoles. Sedangkan pemurnian merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari

   mineral asal, antara lain berupa logam dan logam paduan.

  Terhadap komoditas tambang mineral (termasuk produk samping / sisa hasil pemurnian dan/atau pengolahan / mineral ikutan) yang akan dijual keluar 115 116 Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 2 angka 1. 117 Ibid., Pasal 2 angka 2. 118 Ibid., Pasal 2 angka 3. negeri oleh pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian serta IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, terlebih dahulu harus dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian sampai batas minimum pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun

   2014.

  Ketentuan tentang batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian komoditas tambang mineral diatas berkaitan dengan larangan ekspor mineral mentah, dimana terhadap komoditas tambang mineral (termasuk produk samping / sisa hasil pemurnian dan/atau pengolahan / mineral ikutan) hanya dapat dijual ke luar negeri (ekspor) jika komoditas tambang tersebut telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014.

  Sebelumnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara implisit hanya mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri. Sedangkan untuk komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan diatur dalam Pasal 11 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014.

  Pada Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 pemegang kontrak karya hanya diperbolehkan untuk menjual ke luar negeri mineral logam hasil kegiatan pemurnian dalam jumlah tertentu setelah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian, hak ini kemudian diperluas pada 119 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 dimana pemegang kontrak karya juga diperbolehkan untuk menjual keluar negeri dalam jumlah tertentu hasil

  

  pengolahan mineral logam. Berlaku juga terhadap Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, dimana pemegang IUP Operasi Produksi tidak hanya diperbolehkan menjual ke luar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan tetapi juga hasil pemurnian setelah terpenuhinya batas minimum pengolahan dan pemurnian.

  Jumlah tertentu yang dimaksud sama dengan pembatasan volume. Pembatasan volume tersebut hanya berlaku bagi produk konsentrat dan

  

  pembatasan tersebut bertujuan untuk mengatur sumber daya alam. Besaran jumlah tertentu tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan terhadap kinerja pengelolaan lingkungan, cadangan (ketersediaan mineral logam untuk pengolahan dan pemurnian di dalam negeri), kapasitas fasilitas pemurnian, dan kemajuan

  

  pembangunan fasilitas pemurnian. Berdasarkan ketentuan ini pemerintah membuka pintu ekspor bagi pemegang kontrak karya dan IUP Operasi Produksi untuk dapat melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) mineral logam yang telah melewati batas minimum pengolahan dan pemurnian walau jumlahnya dibatasi. Walau demikian penjualan ke luar negeri mineral logam tanpa pengolahan dan/atau pemurnian tetap dilarang.

  Tetapi terdapat komoditas tambang mineral logam yang dilarang untuk dijual ke luar negeri walaupun telah dilakukan kegiatan pengolahan. Komoditas 120 121 Ibid., Pasal 12 angka 1.

  IndaMarlina, “Ekspor Produk Pemurnian Bijih Mineral Tidak Dibatasi,” http://industri.bisnis.com/read/20140213/44/203123/ekspor-produk-pemurnian-bijih-mineral- tidak-dibatasi ( 9 Maret 2015) 122 tambang mineral logam itu terdiri dari nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan

  

  kromium. Untuk dapat melakukan ekspor terhadap komoditas tambang tersebut harus terlebih dahulu melakukan kegiatan pemurnian sampai dengan batas minimum pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014.

  Namun ekspor terhadap mineral logam hasil pengolahan hanya berlaku 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Terhitung

  12 Januari 2017 baik pemegang Kontrak Karya maupun pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat melakukan penjualan ke luar negeri mineral logam hasil

  

  pemurnian yang telah mencapai batas minimum pemurnian. Disamping itu baik pemegang Kontrak Karya maupun IUP Operasi Produksi hanya dapat melakukan penjualan ke luar negeri apabila telah mendapatkan rekomendasi Direktur Jenderal atas nama Menteri. Surat rekomendasi tersebut nantinya akan digunakan

  

  untuk mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri Perdagangan. entuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada kuota ekspor (export

quota ), izin ekspor (export licences), kebijakan/peraturan lainnya (other measure).

  Nomor 04 / M-DAG / PER / 1 / 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian

  Tanggal 1 Januari 2014 guna mendukung kebijakan peningkatan nilai tambah produk pertambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan kebijakan tersebut, 123 124 Ibid., Pasal 12 angka 4. 125 Ibid., Pasal 12 angka 15. salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 / M-DAG / PER / 1 / Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian (Permendag Nomor 4 Tahun 2014).Peraturan ini dikeluarkan dengan tujuan untuk mendukung upaya tertib usaha di bidang pertambangan, hasil pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta menciptakan kepastian usaha dan kepastian hukum sehubungan dengan kebijakan hilirisasi yang dilaksanakan melalui peningkatan nilai tambah produk pertambangan dengan melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian di

   dalam negeri.

  Berbeda dengan peraturan-peraturan terkait pelarangan ekspor mineral mentah yang telah dibahas di atas. Peraturan-peraturan tersebut melarang ekspor mineral mentah dengan memberikan pengertian secara implisit dari pasal-pasal bersangkutan.Permendag Nomor 4 Tahun 2014 secara tegas menyatakan Produk Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum pengolahan dan/atau

  

  pemurnian dilarang untuk dieksporProduk pertambangan yang dilarang ekspornya tersebut terdiri dari 17 (tujuh belas) produk pertambangan dalam bentuk Ore (bijih)/ Raw Material, 10 (sepuluh) produk pertambangan dalam bentuk konsentrat yang belum memenuhi batasan minimum pengolahan, 165 (seratus enam puluh lima) produk pertambangan dalam bentuk mineral logam dan bukan logam serta 9 (sembilan) produk pertambangan dalam bentuk batuan yang

   belum memenuhi batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian. 126 127 Indonesia (d), Loc.Cit.,Konsideran 128 Ibid., Pasal 2 angka 3. Permendag Nomor 4 Tahun 2014 tidak hanya mengatur mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tetapi juga pembatasan ekspor terhadap produk pertambangan yang berasal dari mineral logam yang sudah mencapai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian, mineral bukan logam, dan batuan yang sudah mencapai batasan minimum pengolahan. Produk pertambangan yang

   dimaksud tercantum dalam lampiran I dan lampiran II peraturan ini.

  Barang dibatasi ekspornya adalah barang yang dibatasi eksportir, jenis

  

  dan/atau jumlah yang diekspor. Artinya pembatasan terhadap barang ekspor

  

  dapat dilakukan dengan tiga indikator yakni: a.

  Eksportirnya dibatasi; Artinya hanya eksportir tertentu yang dapat melakukan ekspor terhadap produk pertambangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 angka 2 Permendag

  Nomor 4 Tahun 2014, dalam hal ini yang dapat melakukan hal tersebut adalah perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan sebagai ET-Produk Pertambangan

   Hasil Pengolahan dan Pemurnian dari Menteri.

  b.

  Jenis barangnya dibatasi; dan/atau Artinya bahwa untuk jenis-jenis barang tertentu maka ekspornya dibatasi.

  Barang-barang tersebut adalah produk pertambangan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 2 angka 2 Permendag Nomor 4 Tahun 2014 dimana barang tersebut hanya bisa diekspor apabila telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian. 129 130 Ibid., Pasal 2 angka 1 dan 2.

  Indonesia (j), Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13 / M-DAG / PER / 3 / 2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor, 131 Pasal 1 angka 6.

  Junaiding, “Objek Ekspor,” http://www.eximlaws.com/2015/02/obek-ekspor.html (diakses 9 Maret 2015) 132 c.

  Jumlah barangnya yang dibatasi.

  Artinya untuk jenis barang tertentu hanya boleh diekspor dalam jumlah tertentu saja. Jumlah tertentu ini sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yaitu produk konsentrat.

  Bentuk pelarangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini jika dikaitkan dengan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada izin ekspor (export

  licences ).

  6. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar.

  Guna menunjang kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan-peraturan yang telah dijelaskan diatas maka pemerintah melalui kementerian keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar (selanjutnya disebut dengan Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014).

  Tarif bea keluar ekspor mineral hasil olahan dan/atau pemurnian ini diterapkan dalam rangka kebijakan pengendalian penjualan bijih (Raw Material atau Ore) Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri.Peraturan ini mengatur tentang besaran bea keluar yang harus dibayarkan oleh eksportir jika melakukan ekspor mineral hasil olahan dan/atau pemurnian. Jenis bea keluar yang diatur peraturan ini terbagi atas dua jenis yaitu: a.

  Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang tidak membangun fasilitas smelter atau tidak melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter.

  b.

  Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang membangun fasilitas smelter atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter.

  Untuk yang jenis pertama bea keluar diterapkan secara progresif dimulai dari 20% s/d 60%. Kenaikan bea keluar tersebut dilakukan secara bertahap per enam bulan sekali dimulai dari sejak diberlakukannya peraturan ini sampai

   dengan tanggal 12 Januari 2017.

  Untuk yang jenis kedua bea keluar diterapkan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter. Tingkat kemajuan pembangunan tersebut dibagi

  

  menjadi tiga 3 tahap yaitu : a.

  Tahap I : untuk tingkat kemajuan pembangunan sampai dengan 7,5%

  

  termasuk di dalamnya penempatan jaminan kesungguhan ; b. Tahap II : untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 7,5% sampai dengan 30%; c.

  Tahap III : untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 30% Untuk tahap I dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5 %, tahap II sebesar 5%, dan tahap III sebesar 0% atau dapat dikatakan tidak dikenai bea keluar. 133 134 Lihat Lampiran I Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014. 135 Indonesia (l), Pasal 4A angka 3 Penempatan jaminan kesungguhan adalah uang jaminan yang disetorkan kepada

  

pemerintah sebagai tanda keseriusan dalam pembangunan smelter yaitu sebesar 5% dari nilai

investasi baru atau dari sisa hasil investasi yang belum terealisasi bagi pembangunan fasilitas

pemurnian yang sudah berjalan., Lihat Pasal 8 angka 2 Peraturan Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi

  Berbeda dengan tarif bea keluar jenis pertama yang besaran tarif bea keluarnya dikenakan secara progresif sejalan dengan berlalunya waktu, untuk tarif jenis kedua ini dikenakan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter dan tidak dipengaruhi berlalunya waktu. Sebagai contoh, apabila suatu eksportir tergolong pada Tahap I yang dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5% maka dari sejak berlakunya peraturan ini sampai dengan tanggal 12 Januari 2017 eksportir tersebut tetap dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5% apabila dia ingin mengurangi tarif bea keluarnya sampai dengan 5% maka dia harus meningkatkan tingkat kemajuan pembangunan smelternya di rentang 7,5% s/d 30%, dan apabila dia tidak ingin dikenai tarif bea keluar maka dia harus meningkatkan tingkat

  

  kemajuan pembangunan smelternya sampai dengan lebih dari 30%. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka bentuk pelarangan ekspor yang terdapat dalam peraturan ini tergolong dalam pajak ekspor (export

  

taxes ) yang berbentuk ad valorem tax. Ad valorem tax adalah pajak yang

  dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang yang

  

  diekspor. Sebagai contoh jika seorang eksportir mengekspor konsentrat tembaga dengan kadar ≥ 15% Cu maka dia akan dikenakan tarif bea keluar sebesar 25%.

  B.

  

Latar Belakang Lahirnya Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah

di Indonesia.

  Baik dalam UU Minerba maupun peraturan-peraturan pelaksananya tidak terdapat definisi mengenai pelarangan ekspor mineral mentah. Pelarangan terdiri 136 137 Lihat Lampiran II Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014.

  Jane Korinek, Jeonghoi Kim, “Export Restrictions on Strategic Raw Materials and dari kata dasar “larang” yang ditambahkan imbuhan pe-an. Imbuhan pe-an dapat diartikan sebagai “perihal”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelarangan diartikan sebagai “perihal melarang”, “ perbuatan melarang,” sedangkan ekspor adalah “pengiriman barang dagangan ke luar negeri” dan mentah didefinisikan sebagai “belum diolah”. Pasal 1 angka 2 UU Minerba mendefinisikan mineral sebagai senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

  Dengan demikian secara harfiah pelarangan ekspor mineral mentah dapat diartikan sebagai perintah atau aturan yang melarang suatu perbuatan yakni pengiriman mineral yang belum diolah ke luar negeri. Dalam konteks kebijakan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang diatur dalam Pasal 102 dan 103 UU Minerba serta peraturan-peraturan pelaksananya. Dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan terhadap ekspor mineral yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri sampai dengan batasan minimum pengolahan dan pemurnian.

  Guna memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat

  

  secara berkelanjutan. Pemerintah mengeluarkan UU Minerba. Salah satu kebijakan yang terdapat dalam UU Minerba adalah peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 102 dan 103.Kebijakan peningkatan nilai tambah tersebut bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan lapangan pekerjaan, mendorong kebijakan hilirisasi pertambangan, menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta menjaga kelestarian sumber daya alam.

  Untuk mendukung kebijakan peningkatan nilai tambah, pemerintah dalam regulasinya baik secara implisit maupun eksplisit seperti yang telah dijelaskan diatas melarang ekspor mineral mentah. Larangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kebijakan peningkatan nilai tambah terhadap produk pertambangan, sebab apabila ekspor terhadap mineral mentah tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan

  

  pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak artinya. Jika pemerintah tidak melarang ekspor mineral mentah maka akan terjadi eksploitasi terhadap sumber daya alam, yang nantinya akan mengancam kelestarian lingkungan hidup dan ketersediaan mineral mentah untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.Jika mineral mentah di dalam negeri tidak tersedia lagi, maka kebijakan peningkatan nilai tambah tidak dapat dilaksanakan.

  Untuk mencegah hal tersebut pemerintah dalam peraturan-peraturan pelaksananya baik secara implisit maupun eksplisit seperti yang telah dijelaskan diatas melarang ekspor mineral mentah. 138 139 Indonesia (a), Loc.Cit., Penjelasan Umum.

  Mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut:

  “peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.”

   2.

  Konsep Kedaulatan Negara Atas Bahan Tambang Dalam kepustakaan ilmu negara asal-usul kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souvereniteit), sebab dikaitkan dengan soal siapa yang berdaulat atau memegang kekuasaan dalam suatu negara.

  

  Karena kajian ini tidak akan mempersoalkan siapa yang memegang kekuasaan dalam negara, sehingga kurang tepat menggunakan teori- teori kedaulatan negara sebagai sumber kekuasaan negara atas sumber daya alam. Dasar teoritis sumber kekuasaan negara yang demikian, menurut van vollenhoven sebagaimana ditulis oleh Notonagoro ialah negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk membuat peraturan hukum

   140 Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit., hlm.175. 141 Abrar Saleng, Op.Cit.,hlm.7. 142

  Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia (Bina Aksara, Dalam kepustakaan lain, J.J Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat yang bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (Contract Social) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu. Dalam perjanjian masyarakat itu, pada hakikatnya yang dilepas oleh setiap individu dan diserahkan kepada kesatuannya hanya sebagian kekuasaan bukan kedaulatannya. Namun kekuasaan negara itu, bukanlah kekuasaan tanpa batas (postetaslegibus omnibus soluta), sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan (legesnaturaeetdevinae) serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan legesimperii. Pengertian legesimperii menurut Yudha B. Ardiwisastra ialah undang-undang dasar negara yang memuat ketentuan-ketentuan kepada

   siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya.

  Sejalan dengan kedua teori atau konsep diatas, secara teoritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal sebagai hak bangsa. Negara di sini, dipandang sebagai territorialepubliekerechtsgeenschap

  

van overhead en onderdanen , yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga

  masyarakat hukum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh

   potensi sumber daya dalam wilayahnya secara intern.

  Sejalan dengan teori tersebut melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 143 144 Abrar Saleng, Op.Cit.,hlm.8. UUD 1945 memberikan hak kepada negara untuk menguasai bumi dan dari dan kekayaan alam yang terkandung di dalam untuk kemakmuran rakyat. Hak tersebut selanjutnya disebut sebagai hak penguasaan negara.Apabila konsep negara

  

  kesejahteraan dan fungsi negara menurut W.Friedmann dikaitkan dengan konsepsi Hak Penguasaan Negara untuk kondisi Indonesia dan keperluan kajian

  

  ini, dapat diterima dengan beberapa kajian kritis sebagai berikut;

  Pertama , Hak Penguasaan Negara dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945

  memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus. Karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tetap dapat dikendalikan oleh negara.

  Kedua , Hak Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945,

  membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilitisdan public services atas dasar pertimbangan; filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoly yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efisiensi dan efektifitas) dan demi 145