Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

(1)

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH

TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON

TARIFFS AND TRADE (GATT)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

110200555 DEVID JUHENDRI

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH

TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON

TARIFFS AND TRADE (GATT)

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DEVID JUHENDRI 110200555

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP : 197501122005012002 Windha, S.H., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum

NIP : 195905111986011001 NIP : 197302202002121001 Dr.Mahmul Siregar, S.H., M.Hum

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

i

ABSTRAK

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH

TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON

TARIFFS AND TRADE (GATT)

DevidJuhendri* Budiman Ginting**

MahmulSiregar***

Hasil penelitian menujukkan bahwa Pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia tidak tercantum dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan pelarangan ekspor mineral mentah hanya dapat diketahui melalui penafsiran terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan kewajiban peningkatan nilai tambah. Namun Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya atas perkara nomor 10/PUU-XII/2014, menyatakan pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor mineral mentah adalah wajar karena hal tersebut dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya kebijakan peningkatan nilai tambah. Selanjutnya dalam menyelesaikan sengketa

Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Dalam rangka mengoptimalkan pengendalian dan pemanfaatan mineral, pemerintah menyusun kebijakan peningkatan nilai tambah terhadap mineral. Kebijakan tersebut mengharuskan mineral mentah diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri sampai batasan tertentu sebelum diekspor. Konsekuensi logis dari kebijakan tersebut adalah terhadap mineral yang belum diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri dilarang untuk diekspor. Pelarangan ekspor mineral mentah ini bertujuan menjaga cadangan mineral mentah dalam negeri. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah menimbulkan berbagai masalah serta berindikasi melanggar prinsip penghapusan hambatan kuantitatif dalam GATT.Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah pertama, bagaimana pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia; kedua, bagaimana penyelesaian sengketa dalam lingkup pertambangan yang terjadi akibat dijalankannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah; dan ketiga, bagaimana kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terhadap prinsip-prinsip GATT

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersifat penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan dengan teknik analisis data kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan.

*

Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**

Dosen Pembimbing I

***


(4)

ii

pertambangan yang ditimbulkan oleh kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah selalu mengedepankan negosiasi dengan tujuan menjaga hubungan baik antara kedua belah pihak. Prinsip-Prinsip GATT seharusnya berkedudukan sebagai rujukan terhadap pengaturan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, tetapi pada kenyataannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah tersebut melanggar prinsip penghapusan hambatan kuantitatif, dimana larangan atau hambatan ekspor selain dalam bentuk tarif dilarang untuk dilaksanakan. Sementara itu dalam kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah,larangan tersebut berbentuk izin ekspor (export licences), kuota ekspor (export quota), bea keluar (export taxes), kewajiban peningkatan nilai tambah (other measures). Walaupun terdapat peluang untuk menjalankan kebijakan ini di bawah Pasal XI angka 2 dan Pasal XX GATT, namun kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah tersebut tidak dapat memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal XI angka 2 dan Pasal XX GATT tersebut.

Kata Kunci : Pelarangan Ekspor, Mineral Mentah, Penyelesaian Sengketa, GATT.


(5)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan harapan, semangat, kekuatan, kesabaran, dan bimbingan selama proses penulisan skripsi ini sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.

Penulisan skripsi yang berjudul "ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP

GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT)" ini ditujukan

untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari ketidaksempurnaan sehingga besar harapan kepada para pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca skripsi ini agar dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik dan sempurna lagi.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, M. Lubis dan Omega A. Deliana, S.Sos. Terlebih khusus kepada Ibunda atas semua perjuangannya dalam mendidik, membimbing, mendukung, serta harapan dan doa-doanya yang senantiasa mengiringi kehidupan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini serta memperoleh pendidikan formal sampai pada tingkat Strata Satu. Terima kasih juga kepada abang dan adik tercinta, dr.Riadi Vinsensius dan Agnes Aurelia. Skripsi ini penulis persembahkan sepenuhnya untuk keluarga tercinta.


(6)

iv

Dengan ini izinkanlah penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu dalam membimbing penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

4. Bapak Dr.O.K Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum, selaku sekretaris jurusan Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan. 7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya karena telah bersedia meluangkan waktu dan membimbing penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.


(7)

v

8. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum. selaku Dosen Penasihat Akademik. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

9. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman seperjuangan yang merupakan teman dekat, teman satu grup, dan tim klinis, yaitu Michael, Richard TGS, Masmur Purba, Juantha Barus, Fadillah Mahraini, Syafitri Ditami, Yuliana Siregar.

11.Teman-teman seperjuangan "GASTER" yang merupakan teman-teman yang di luar akal sehat, tidak rasional, dan gila, banyak pengalaman senang, sedih, jengkel, pembelajaran hidup, yang penulis dapatkan dari mereka. Kumpulan orang tidak waras tersebut yaitu; apara Asido Malau, apara Philip Damanik, Juanda Tampubolon, Timoty, Vincent Nadeak, Tirta Silalahi, Danny Sinaga, Rio Silalahi, Arius Lumbanbatu, Ivan Halawa, Nio Romario, Lambok, Putra, Bruno Saragih, Chocky, Guntur Gultom, Ady, Roboy, Togar, Jhon.

12.Kepada Saudara-saudariku di Keluarga Mahasiswa Katolik St. Fidelis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu, Nova Sagala, Maruli Simalango, Ruba Silaen, Richard Sitio, Eni sipayung, Kristina Simbolon, Kak Anggi Sinaga, Kak Agnes, Bang Rio, Bang Jigo, Bang Leo.

13.Kepada seluruh pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

vi

Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bukan hanya kepada penulis, tetapi juga kepada masyarakat.

Medan, April 2015 Penulis

Devid Juhendri NIM. 110200555


(9)

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

D. Keaslian Penulisan ... 15

E. Tinjauan Pustaka ... 16

F. Metode Penelitian ... 29

G. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia ... 34

1. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia ... 34

2. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara ... 39

3. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan PP No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan kedua PP No.23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara ... 43

4. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Permen EDSM No.1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri ... 46


(10)

viii

5. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 / M-DAG / PER / 1 / 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan

Pemurnian. ... 50

6. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Permenkeu No.6/PMK.011.2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar ... 53

B. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah di Indonesia ... 55

1. Pengertian Pelarangan Ekspor Mineral Mentah ... 55

2. Konsep Kedaulatan Negara Atas Bahan Tambang ... 58

3. Pengertian dan Dasar Hukum Penguasaan Hak Penguasaan Negara ... 61

C. Permasalahan yang timbul akibat diterapkannya kebijakan Pelarangan ekspor mineral mentah ... 66

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG PERTAMBANGAN TERKAIT DENGAN PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH A. Bentuk Penyelesaian Sengketa di Indonesia ... 71

1. Arbitrase ... 71

2. Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 74

B. Bentuk Penyelesaian Sengketa Lingkup Internasional ... 76

1. Arbitrase Internasional ... 76

2. WTO ... 80

C. Penyelesaian Sengketa Bidang Pertambangan Terkait Pelarangan Ekspor Mineral Mentah ... 83


(11)

ix

BAB IV KEDUDUKAN LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH

TERHADAP PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREMENT ON

TARIFFS AND TRADE (GATT)

A. Tinjauan Umum Mengenai GATT ... 90

1. Sejarah Terbentuknya GATT ... 91

2. Tujuan dan Fungsi GATT ... 94

3. Sekilas mengenai Prinsip-Prinsip GATT ... 95

B. Indonesia dalam GATT dan WTO ... 99

1. Keterlibatan Indonesia dalam GATT ... 99

2. Indonesia dalam Putaran Uruguay ... 101

3. Keterlibatan Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan ... 105

4. Indonesia dan WTO ... 106

C. Analisis Mengenai Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait dengan Prinsip-prisip GATT ... 109

1. Prinsip-prinsip GATT yang Berkaitan dengan Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah ... 110

2. Pengecualian Terhadap Prinsip-prinsip GATT ... 110

3. Analisis Kedudukan Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terhadap Prinsip-prinsip GATT ... 120

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 132

B. Saran ... 134 DAFTAR PUSTAKA


(12)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)


(13)

i

ABSTRAK

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH

TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON

TARIFFS AND TRADE (GATT)

DevidJuhendri* Budiman Ginting**

MahmulSiregar***

Hasil penelitian menujukkan bahwa Pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia tidak tercantum dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan pelarangan ekspor mineral mentah hanya dapat diketahui melalui penafsiran terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan kewajiban peningkatan nilai tambah. Namun Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya atas perkara nomor 10/PUU-XII/2014, menyatakan pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor mineral mentah adalah wajar karena hal tersebut dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya kebijakan peningkatan nilai tambah. Selanjutnya dalam menyelesaikan sengketa

Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Dalam rangka mengoptimalkan pengendalian dan pemanfaatan mineral, pemerintah menyusun kebijakan peningkatan nilai tambah terhadap mineral. Kebijakan tersebut mengharuskan mineral mentah diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri sampai batasan tertentu sebelum diekspor. Konsekuensi logis dari kebijakan tersebut adalah terhadap mineral yang belum diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri dilarang untuk diekspor. Pelarangan ekspor mineral mentah ini bertujuan menjaga cadangan mineral mentah dalam negeri. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah menimbulkan berbagai masalah serta berindikasi melanggar prinsip penghapusan hambatan kuantitatif dalam GATT.Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah pertama, bagaimana pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia; kedua, bagaimana penyelesaian sengketa dalam lingkup pertambangan yang terjadi akibat dijalankannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah; dan ketiga, bagaimana kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terhadap prinsip-prinsip GATT

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersifat penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan dengan teknik analisis data kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan.

*

Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**

Dosen Pembimbing I

***


(14)

ii

pertambangan yang ditimbulkan oleh kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah selalu mengedepankan negosiasi dengan tujuan menjaga hubungan baik antara kedua belah pihak. Prinsip-Prinsip GATT seharusnya berkedudukan sebagai rujukan terhadap pengaturan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, tetapi pada kenyataannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah tersebut melanggar prinsip penghapusan hambatan kuantitatif, dimana larangan atau hambatan ekspor selain dalam bentuk tarif dilarang untuk dilaksanakan. Sementara itu dalam kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah,larangan tersebut berbentuk izin ekspor (export licences), kuota ekspor (export quota), bea keluar (export taxes), kewajiban peningkatan nilai tambah (other measures). Walaupun terdapat peluang untuk menjalankan kebijakan ini di bawah Pasal XI angka 2 dan Pasal XX GATT, namun kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah tersebut tidak dapat memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal XI angka 2 dan Pasal XX GATT tersebut.

Kata Kunci : Pelarangan Ekspor, Mineral Mentah, Penyelesaian Sengketa, GATT.


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah yang dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan batubara (Minerba). Mengingat bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomian nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan serta mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan maka pengelolaan dan pemanfaatan Minerba harus dilakukan dengan optimal dan semaksimal mungkin.1

Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannnya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.2 Sedangkan, batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.3

Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai negara yang kaya akan sumber daya tambang. Selain itu, dari potensi bahan galiannya untuk batubara, Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk ekspor batubara, peringkat ke-2 untuk produksi timah, peringkat ke-2 untuk produksi tembaga, peringkat ke-6 untuk produksi emas. Berbagai macam bahan

1

Indonesia (a), Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, konsideran. Selanjutnya disebut UU Minerba.

2

Ibid., Pasal 1 angka 2.

3


(16)

tambang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, dari sabang sampai merauke, mulai dari emas, timah, tembaga, perak, intan, batubara, minyak, bauksit, dan lain-lain. Berdasarkan data USGS, cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia menduduki peringkat ke-7, sedangkan produksinya sekitar 6,7% dari produksi emas dunia dan menduduki peringkat ke-6. Sementara itu, posisi cadangan timah Indonesia menduduki peringkat ke-5, yakni sebesar 8,1% dari cadangan timah dunia. Cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1% dari cadangan tembaga dunia, dan merupakan peringkat ke-7 sedangkan dari sisi produksi adalah 10,4% dari produksi dunia dan merupakan peringkat ke-2. Potensi nikel Indonesia juga luar biasa. Cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 2,9% dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat ke-8, sedangkan produksinya 8,6% dan merupakan peringkat ke-4 dunia.4 Namun ketiadaan pengetahuan, modal, dan teknologi yang memadai untuk menggali dan mengolahnya, membuat sumber daya mineral dan batubara belum memilki manfaat yang berarti. Padahal, kekayaan bahan tambang, khususnya mineral, apabila diproses lebih lanjut dapat menghasilkan bahan baru yang lebih bermanfaat dan bernilai jual tinggi.5 Kondisi tersebut dapat dilihat dari masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia yakni sebesar 27,73 juta per September 2014.6 Selain itu Indonesia juga memiliki Utang Luar Negeri yang terbilang cukup besar sampai dengan November 2014 yaitu sebesar US$ 294,4 miliar atau sekitar Rp 3.512 triliun.7

4

Investor Daily, Edisi 19 Mei 2014, Jakarta: PT. Koran Media Investor Indonesia

5

Sukandarrumidi, Memahami Pengelolaan Bahan Tambang di Indonesia: Referensi Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010), hlm.25.

6

Berita Resmi Statistik No. 06/01/Th. XVIII, 2 Januari 2015

7


(17)

Masih rendahnya manfaat ekonomi yang diperoleh negara selama ini antara lain dapat dilihat dari nilai penerimaan negara bukan panjak (PNBP) mineral. Pada tahun 2007 dari total PNBP sektor ESDM yang mencapai Rp143,2 triliun, subsektor pertambangan umum hanya menghasilkan PNBP sebesar Rp 8,7 triliun atau hanya 6%- nya, sedangkan sebagian besar (94%) perolehan PNBP disumbangkan oleh subsektor minyak dan gas (migas). Empat tahun berikutnya, yaitu tahun 2011, perolehan PNBP sektor ESDM menjadi Rp 217,3 triliun, namun sumbangan dari subsektor pertambangan umum hanya sebesar Rp 24,2 triliun atau sekitar 11%-nya. Subsektor migas masih mendominasi peroleh PNBP ESDM dengan nilai Rp 193,1 triliun atau sekitar 89%-nya. Kalau perolehan PNBP pertambangan umum dirinci lebih jauh, maka pada tahun 2007 sumbangan PNBP mineral hanya sebesar Rp 2,94 triliun (34%) sedangkan selebihnya Rp 5,75 triliun (66%) disumbangkan oleh batubara. Empat tahun kemudian, (tahun 2011) dari total perolehan PNBP subsektor pertambangan umum sebesar Rp 24,2 triliun, mineral hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 3,42 triliun (14%), sedangkan batubara memberikan kontribusi sebesar Rp 20,8 triliun (86%). Jika perolehan PNBP mineral dirinci lebih lanjut ke dalam kontribusi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK), maka dari total perolehan PNBP mineral sebesar Rp 2,94 triliun pada tahun 2007, kontribusi pemegang IUP sebesar Rp 840 miliar (29%), sedangkan pemegang KK sebesar Rp 2,10 triliun. Empat tahun berikutnya (tahun 2011), dari total perolehan PNBP mineral sebesar Rp 3,42 triliun, kontribusi pemegang IUP sebesar Rp 1,40 triliun (41%), sedangkan pemegang KK sebesar Rp 2,02 triliun (59%). Dari angka tersebut


(18)

terlihat jelas bahwa kontribusi pemegang IUP maupun KK terhadap PNBP masih relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai ekspor mineralnya selama ini.8

NO

Tabel 1

Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

TAHUN

PERTAMBANGAN UMUM

MIGAS TOTAL

MINERAL BATU BARA

1 2007 Rp. 2.94 triliun Rp. 5.75 triliun Rp. 134.5 triliun Rp. 143.2 triliun 2 2011 Rp. 3.42 triliun Rp. 20.8 triliun Rp. 193.1 triliun Rp. 217.3 triliun

Sumber :Telah diolah kembali berdasarkan data diatas

Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.9

8

Hilirisasi Industri Tambang, http : // www.majalahglobalreview.com / industri / pertambangan /13-pertambangan /105-tataniaga-ekspor-untuk-hilirisasi-minerba.html (diakses pada tanggal 9 Desember 2014)

9

Indonesia (a), Loc.Cit., Penjelasan Umum

Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap klausul “dikuasai negara” dimana mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan negara rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang


(19)

terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichtoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.10

Kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral di Indonesia saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan mentah, tanpa dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu. Di sisi lain, beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber daya mineral sebagai bahan baku utama ataupun penunjang masih merupakan produk impor. Kondisi tersebut mengakibatkan sumber daya mineral tidak menghasilkan nilai tambah (value-added) secara langsung sebagaimana yang diharapkan.11

Peningkatan nilai tambah adalah usaha untuk meningkatkan nilai keekonomian suatu hasil tambang melalui teknologi pengolahan dan pemurnian sehingga menghasilkan dampak pada kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang dihasilkan dan memberikan multiplier-effect pada pengembangan industri hilir terkait.12

10

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan

11

Suryartono, dkk.,Good Mining Practice: Konsep Tentang Pengelolaan Pertambangan Yang Baik dan Benar (Semarang: Studi Nusa,2003), hlm.191.

12

Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, “Pemerintah Siapkan InpresHilirisasi Pertambangan, http://www.kemenperin.go.id/artikel/3812/Pemerintah-Siapkan-Inpres-Hilirisasi-Pertambangan (diakses pada tanggal 25 Februari 2015)

multiplier-effect yang dimaksud terdiri dari meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,


(20)

meningkatkan surplus usaha untuk menarik minat investor menanamkan modalnya, meningkatkan pendapatan pajak untuk menaikkan kemampuan dan kemandirian fiskal bagi pemerintah pusat dan daerah, memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekaligus mengurangi pengangguran, dan adanya nilai tambah total untuk memacu pertumbuhan ekonomi.13

Kebijakan peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral di dalam negeri melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sebenarnya telah dikenal pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, meskipun memang tidak dituangkan secara tegas tentang bagaimana mekanisme dan tatacaranya. Ketentuan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 misalnya telah dikemukakan definisi pengolahan dan pemurnian sebagai“pekerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian itu”.

Dasar filosofis peningkatan nilai tambah pada produk akhir dari usaha pertambangan adalah untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang, menyediakan bahan baku industri, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan penerimaan negara.

14

Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 juga menyatakan bahwa: “Pengolahan dan pemurnian sejauh mungkin harus diusahakan untuk dilakukan di dalam negeri”.15

Praktik dan pengaturan lebih lanjut terkait dengan kewajiban tersebut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 diarahkan kepada perusahaan-perusahaan pemegang Kontrak Karya. Investor Asing yang ingin berinvestasi di

13

Ibid.

14

Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Pasal 2 huruf f.

15


(21)

sektor mineral melaksanakan usahanya dalam bentuk Kontrak Karya yang di dalamnya tertuang ketentuan yang mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri dalam rangka mendukung pembangunan sektor hilir pertambangan. Sedangkan bagi perusahaan nasional dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP) belum diatur kewajiban untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral lewat kegiatan pengolahan dan pemurnian.16

Seiring dengan berkembangnya kegiatan pertambangan di Indonesia, banyak permasalahan dan tantangan yang tidak dapat ditanggulangi oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sehingga diperlukan perubahan peraturan perundangan-undangan bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengolah dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan dalam pengaturan pertambangan di Indonesia.17

Lahirnya UU Minerba pada tanggal 12 Januari 2009 membawa pengaruh besar terhadap kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang di Indonesia. Dalam UU Minerba kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang diberlakukan untuk seluruh perusahaan pertambangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa

Untuk menjawab persoalan tersebut maka lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut sebagai UU Minerba).

16

Sony HeruPrasetyo, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Kewajiban Penyesuaian Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mieral dan Batubara Terkait Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah Hasil Penambangan Mineral di Dalam Negeri; Studi Kasus Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara,” (Tesis Magister, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013), hlm.48.

17


(22)

membedakan status penanaman modal perusahaan pemegang IUP atau IUPK tersebut. Hal tersebut dapat dilihat di ketentuan Pasal 102 UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Sedangkan Pasal 103 ayat (1) UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”.Pasal 170 menyatakan bahwa: “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa semua penambang yang menambang hasil tambang di Indonesia baik yang berbentuk IUP, IUPK, dan kontrak karya (KK) wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan/atau batubara di dalam negeri, tetapi terdapat perbedaan waktu dalam melakukan peningkatan nilai tambah tersebut dimana ketentuan Pasal 170 UU Minerba diatas memberikan pengertian bahwa setiap Pemegang Kontrak Karya, khususnya yang telah berproduksi untuk segera merencanakan dan membangun fasilitas pemurnian (smelter) dalam negeri. Mengingat waktu yang dibutuhkan untuk membangun smelter tidak seketika dan membutuhkan dukungan dari berbagai faktor seperti, investasi, ketersediaan infrastruktur, sumber daya energi yang mencukupi. Pemerintah memberikan jangka waktu selama 5 (lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba ini, dengan kata lain fasilitas pemurnian tersebut sudah harus beroperasi paling lambat sampai dengan 12


(23)

Januari 2014. Tetapi jangka waktu tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi karena kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku seketika sejak diberlakukannya UU Minerba.18

Selama tiga tahun terakhir setelah UU Minerba diterbitkan, secara nasional ada beberapa jenis bijih tambang dan mineral yang realisasinya mengalami peningkatan secara besar-besaran, diantaranya ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%.

Mengabaikan kewajiban Pasal 102, 103, dan 170 UU Minerba, para pengusaha penambang lebih memilih meningkatkan ekspor bijih (raw material atau ore) daripada membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang menyebabkan terjadinya peningkatan yang sangat tajam terhadap volume ekspor bijih (raw material atau ore).

19

Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak ada artinya.20

“peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut:

18

Sony Keraf, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 22 September 2014, hlm.6.

19

Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw Material Tambang dan Mineral (Jakarta, Oktober, 2013).

20

YusrilIhzaMahendra, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PUU-XII/2014 tanggal 1 September 2014, hlm.7.


(24)

pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.”21

Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini menegaskan bahwa untuk dapat melakukan penjualan mineral logam ke luar negeri harus memenuhi syarat tertentu. Bagi pemegang kontrak karya harus Dengan demikian pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan penjualan bijih (raw material

atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih (raw material

atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor.Guna memperkuat kebijakan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) pemerintah mengeluarkan berbagai perangkat peraturan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pada 11 Januari 2014 Pemerintah mengeluarkan 4 (empat) peraturan terkait pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore).

21

Putusan Mahkamah Konstitusi, perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014, hlm.175.


(25)

melakukan pemurnian terlebih dahulu sampai dengan batasan minimum pemurnian sedangkan bagi Pemegang IUP operasi produksi harus melakukan kegiatan pengolahan sampai batasan minimum tertentu. Pengaturan lebih lanjut mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.22

Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Peraturan ini berisikan mengenai tatacara ekspor mineral olahan atau konsentrat .Terdapat juga daftar produk pertambangan yang dilarang untuk diekspor.

Kedua, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri. Peraturan ini berisikan mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian bijih (raw material atau ore) sebelum dapat dijual ke luar negeri. Selain itu pemegang kontrak karya dan IUP operasi produksi dapat melakukan ekspor mineral olahan atau konsentrat selama 3 (tiga) tahun ke depan yakni sampai dengan tahun 2017.

23

Serta batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian produk pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore.24

Keempat,adalah Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan

22

Indonesia (c), Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 112C.

23

Indonesia (d), Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Pasal 2 ayat (4). Selanjutnya disebut Permendag Nomor 4 Tahun 2014.

24


(26)

Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar. Peraturan ini berisikan mengenai besaran tarif bea keluar yang harus dibayarkan kepada pemerintah sebelum mineral hasil olahan dan/atau pemurnian di ekspor ke luar negeri. Besaran tarif bea keluar yang dikenakan terbagi menjadi dua jenis. Besaran tarif jenis pertama adalah tarif bea keluar yang dikenakan terhadap mineral olahan dan/atau pemurnian untuk eksportir yang tidak membangun fasilitas pemurnian atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas pemurnian. Besaran tarif bea keluar ini dilakukan secara progresif dari 20% s/d 60%, kenaikan tarif tersebut dilakukan secara pertahap dari sejak diberlakukannya peraturan tersebut sampai dengan 12 Januari 2017. Sedangkan Besaran tarif jenis kedua adalah tarif bea keluar yang dikenakan terhadap mineral olahan dan/atau pemurnian untuk eksportir yang membangun fasilitas pemurnian atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas pemurnian. Besaran tarif bea keluar yang dikenakan ditentukan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter.

Penerapan kebijakan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) ternyata menimbulkan berbagai permasalahan yang diantaranya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hal ini dikarenakan beberapa perusahaan tambang tidak sanggup membangun smelter.25

25

Hilirisasi Berbuntut PHK Massal,

http://arsip.tambang.co.id/print.php?category=18&newsnr=8652 (diakses pada tanggal 25 Februari 2015).

Sebagai akibat tidak adanya smelter, terjadi penumpukan hasil tambang di berbagai wilayah pertambangan karena tidak dapat di ekspor ke luar negeri, yang menyebabkan pendapatan perusahaan berkurang dan untuk mengurangi beban pengeluaran, perusahaan memberhentikan sejumlah pegawainya untuk dapat tetap beroperasi.


(27)

Terkait dengan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore ) PT Newmont Nusa Tenggara mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap pemerintah Indonesia. Menurut Newmont, pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017, yang diterapkan kepada Newmont oleh pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) serta perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda.26

Tidak berhenti sampai disitu Pembatasan ekspor mineral mentah diindikasikan melanggar ketentuan dalam Pasal XI:1 GATT yang mengatur mengenai penghapusan hambatan kuantitatif. Dalam Pasal tersebut, setiap negara diharuskan melakukan penghapusan peraturan yang membatasi jumlah dari barang yang akan diimpor atau diekspor. Hambatan ini dapat juga berbentuk larangan impor atau ekspor secara umum.27

1. Tujuan kebijakan yang ingin dicapai haruslah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui;

Pembatasan ekspor sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, dalam hal ini mineral, dapat dilakukan oleh Negara anggota GATT apabila sesuai pengecualian umum yang diatur di dalam Pasal XX huruf g GATT. Dalam Pasal tersebut terdapat 3 (tiga) prasyarat, yaitu:

2. Tindakan tersebut haruslah berhubungan dengan tujuan kebijakan tersebut; dan

26

Newmont gugat Repubik Indonesia, http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/517791-dilarang-ekspor-minerba-mentah--newmont-gugat-ri-ke-arbitrase (diakses pada tanggal 26 Februari 2015).

27

Agi Gilang Pratama, “Analysis of Juridical Concerning Non-Tariff Barriers Indications Against Ministerial Energy and Mineral Resources Decree No.7 year 2012 about the Increase in Mineral Added Value Through the Mineral Processing and Refining Activity,” (e-Journal, Diponegoro Law Review, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013), hlm.7.


(28)

3. Tindakan tersebut haruslah diberlakukan secara bersama-sama dengan larangan terhadap produksi atau konsumsi domestik.28

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul: “Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade

(GATT)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikemukakan pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif

Indonesia?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah?

3. Bagaimana kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk memahami pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif Indonesia.

2. Untuk memahami penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.

28


(29)

3. Untuk memahami kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).

Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan sebagai pemenuhan tugas akhir dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Secara teoritis, pembahasan terhadap pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement On Tariffs and Trade (GATT)

ini akan memberikan pemahaman dan pengetahuan baru bagi para pembaca mengenai pelarangan ekspor mineral mentah, penyelesaian sengketa yang terjadi akibat dari kebijakan tersebut, serta kedudukan kebijakan tersebut terhadap prinsip-prinsip GATT.

2. Secara praktis

Penulisan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca terutama bagi para pihak yang berkecimpung di dunia pertambangan Indonesia, juga sebagai bahan bagi para akademisi dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Karya ilmiah penulis, Skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik (Sarjana) baik di Universitas Sumatera Utara maupun di Perguruan Tinggi lainnya.Judul Karya Ilmiah Penulis ini telah


(30)

diperiksa oleh Perpustakaan Universitas Cabang FH USU/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum FH USU dan tidak ada judul yang sama dan tidak terlihat adanya keterkaitan.

Dengan demikian, dilihat dari permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai dengan penulisan skripsi ini, maka dapat disimpulkan semua yang tertuang di dalam skripsi ini adalah asli dari karya penulis sendiri dan bukan hasil jiplakan dari skripsi yang telah ada, dan diperoleh melalui hasil pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, buku-buku, makalah-makalah dari bahan-bahan seminar, serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan pada asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka. Semua ini adalah merupakan implikasi dari proses penemuan kebenaran ilmiah, maka dari itu penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah maupun secara akademik.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah

Article angka 1 Japanese Mining Law No.289, 20 December, 1950 Latest Amedement In 1962 telah ditemukan pengertian mineral:

Mineralin this Article and articles hereinafter shall mean:“The ores of gold, silver, copper, lead, bismuth, tin, antimony, mercury, zinc, iron, sulfide, chromite, manganese, tungsten, molybdenum, arsenic, nickel, cobalt, uranium, thorium, phosphate, graphite, coal, lingnite, petroleum, asphalt, natural gas, sulfur, gypsum, barite, alunite, fluorspar, asbestos, limestone, dolomite, silicastone, feldspar, pyrophyllite, talc, fire clay and alluvial ores (alluvial gold, iron sand, stream tin and other metal ores which result in alluvial deposits; hereinafter the same)”.29

Mineral adalah bijih-bijih dari emas, perak, tembaga, timah, bismut, kaleng, logam putih, seng, besi, sulpida, khrom, mangan, tangstan, molybdenum,

29

Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014), hlm.38.


(31)

arsen, nikel, kobal, uranium, pospate, grafit, batubara, batubara mudah, minyak mentah, aspal, gas alam, sulfur, batubahu, barit, alunit, flor, asbes, batu gamping, dolomit, silicon, peldpar, piropilet, talk, batu lempung, dan bijih tanah ( bijih emas, bijih besi, timah di sungai, dan berbagai metal lainnya).30Sedangkan UU Minerba Pasal 1 angka 2 menyatakan “Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.”31 Senyawa anorganik adalah semua elemen-elemen atau unsur yang sudah bersatu padu di dalam alam.32

Definisi Mentah adalah belum diolah, belum jadi.33Bijih adalah kumpulan mineral yang mengandung 1 (satu) logam atau lebih yang dapat diolah secara menguntungkan.34 Dalam bahasa Inggris Bijih diartikan juga sebagai

Ore.35

Mineral terbagi atas 4 (empat) golongan, yaitu:36 1. Mineral Radioaktif;

2. Mineral Logam;

3. Mineral Bukan Logam; dan 4. Batuan.

30

Ibid.

31

Indonesia (a), Loc.Cit., Pasal 1 angka 2.

32

Salim Hs, Op.Cit., hlm.39.

33

Budiono, MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Karya Agung, 2005), hlm.339.

34

Indonesia (e), Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pasal 1 Angka 6. Selanjutnya disebut Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014.

35

Jhon M; Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.408.

36


(32)

Mineral golongan radioaktif tidak termasuk dalam golongan komoditas tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya.37 Nilai Tambah adalah pertambahan nilai mineral sebagai hasil dari proses pengolahan dan/atau pemurnian mineral.38 Peningkatan Nilai Tambah adalah peningkatan nilai mineral melalui kegiatan pengolahan dan / atau pemurnian sehingga menghasilkan manfaat ekonomi, sosial dan budaya.39 Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.40

Mineral Logam adalah mineral yang unsur utamanya mengandung logam, memiliki kilap logam, dan umumnya bersifat sebagai penghantar panas dan listrik yang baik.41 Beberapa contoh mineral yang tergolong mineral logam adalah emas, bauksit, litium, tembaga, perak, timbal.42

Mineral Bukan Logam adalah mineral yang unsur utamanya terdiri atas bukan logam, misalnya bentonit, kalsit (batu kapur/ gamping), pasir kuarsa, dan lain-lain.43 Beberapa mineral yang tergolong mineral bukan logam adalah intan, grafit, belerang, batu kuarsa.44

Batuan adalah massa padat yang terdiri atas satu jenis mineral atau lebih yang membentuk kerak bumi, baik dalam keadaan terikat (massive) maupun lepas

37

Indonesia (e), Loc.Cit.,Pasal 2 angka 1.

38

Ibid., Pasal 1 angka 12.

39

Ibid., Pasal 1 Angka 13.

40

Indonesia (a),Loc.Cit.,Pasal 1 Angka 20.

41

Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 1 angka 2.

42

Indonesia (c), Loc.Cit.,Pasal 2 angka 2 huruf b.

43

Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 1 angka 3.

44


(33)

(loose).45 Beberapa contoh mineral yang tergolong batuan adalah pumice, tras, obsidiam, marmer, granit.46

Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.47 Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.48

Produk Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum pengolahan dan / atau pemurnian dilarang diekspor.49

Pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) bertujuan untuk menjamin ketersediaan bijih (raw material atau ore) di dalam negeri sehingga dapat dilakukan pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu terhadap bijih (raw material atau ore) tersebut untuk meningkatkan nilai tambahnya sebelum diekspor.

Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan terhadap ekspor mineral yang belum diolah atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri.

50

45

Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 1 angka 4.

46

Indonesia (c), Loc.Cit.,Pasal 2 angka 2 huruf d.

47

Indonesia (d), Loc.Cit.,Pasal 1 angka 1.

48

Pengertian Daerah Pabean,

http://www.beacukai.go.id/index.html?page=faq/pengertian-daerah-pabean.html (diakses pada tanggal 28 Februari 2015)

49

Indonesia (d), Loc.Cit.,Pasal 2 angka 3.

50

Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit.,hlm.175.

Terkait dengan kebijakan pengendalian penjualan bijih (raw material

atau ore) Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri, perlu mengatur mengenai bea keluar terhadap barang ekspor berupa bijih (raw material atau ore) mineral. Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan


(34)

yang dikenakan terhadap barang ekspor.51

2. Penyelesaian Sengketa Bidang Pertambangan.

Barang ekspor yang dimaksud dalam hal ini adalah mineral yang telah diolah atau dimurnikan terlebih dahulu.

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.52Pengertian tambang juga ditemukan dalam Undang-Undang Guatamela. Mining is comprises all reconnaissance activity, exploration and exploitation of mining products.53 Artinya pertambangan meliputi semua kegiatan untuk melakukan penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang.54

“Pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (inconsistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai” (dalam Friedman,2001).

Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) adalah sebagai berikut;

55

Dari paparan diatas, dapat dikemukakan pengertian sengketa tambang. Sengketa tambang adalahSengketa atau konflik atau pertentangan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan.56

51

Indonesia (l), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar, Pasal 1 angka 2.

52

Indonesia (a), Loc.Cit,. Pasal 1 angka 1.

53

Article 6 huruf b Mining Law Decree Number 48-97 Guatemala., seperti dikutip oleh HS Salim, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014), hlm.210.

54

Salim HS, Op.Cit., hlm.210

55

Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.301.

56

Salim HS,Op.Cit., hlm.210.


(35)

bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing.57 Kasus-kasus atau sengketa di bidang Penanaman Modal pada dasarnya dapat dibagi atas tiga bentuk sengketa, yaitu: sengketa antar Negara (“government to government”); sengketa antar Negara tuan rumah (host country) dengan investor asing; dan sengketa antara investor asing dengan mitra lokalnya. Terhadap bentuk-bentuk kasus di atas, terdapat aspek-aspek hukum yang bersifat transnasional di dalamnya.58

Sengketa antar Negara di Penanaman modal khususnya di bidang pertambangan, lazimnya terjadi antara home-country dengan host country.

Sengketa dapat muncul karena perbedaan interpretasi dan implementasi perjanjian bilateral di bidang investasi.59Sengketa Host Country dengan Investor dapat timbul sebagai akibat dilanggarnya kewajiban-kewajiban kontraktual maupun kewajiban hukum lainnya. Bentuk pelanggaran dimaksud dapat disebabkan oleh:60

a. Pelanggaran kewajiban oleh Host Country; b. Pelanggaran kewajiban oleh Investor.

Jenis-jenis sengketa di bidang pertambangan terdiri atas 6 (enam) jenis, yaitu:

a. Sengketa Kewenangan (vertikal dan horizontal)

Sengketa Vertikal adalah sengketa yang terjadi karena adanya silang kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal ini berhubungan dengan ketentuan tentang Otonomi Daerah, Sengketa ini

57

Indonesia (f), Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha yang terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, Pasal 3.

58

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Penyelesaian Sengketa-Sengketa di Bidang Pertambangan(Jakarta, September 2009), hlm.3.

59

Ibid.,hlm.16.

60


(36)

berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, biasanya menyangkut Perizinan, Pengelolaan atau Kepemilikan usaha di bidang Pertambangan.61

Bentuk sengketa kewenangan lainnya adalah Sengketa Horizontal, yakni sengketa kewenangan yang terjadi antar Instansi Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen yang membawahi bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Kehutanan dan Lingkungan Hidup.62

b. Sengketa Administrasi/TUN

Dalam bidang pertambangan, sengketa ini timbul disebabkan oleh adanya kepentingan baik pelaku usaha, masyarakat, atau pihak-pihak lainnya yang dirugikan oleh karena diterbitkannya suatu keputusan TUN. Pada umumnya sengketa TUN yang terjadi dalam dunia pertambangan menyangkut penerbitan Izin Kuasa Pertambangan oleh Bupati atau Kontrak Karya/PKP2B yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.63

c. Sengketa Kontraktual

Penanaman modal di bidang pertambangan adalah kegiatan yang padat modal, oleh karena itu biasanya dilakukan dalam suatu kerjasama antara dua pihak yakni antara investor dengan Pemerintah maupun dengan mitra lokalnya. Dalam konteks tersebut maka ditandatangani berbagai perjanjian/kontrak di antara mereka.64

61

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Op.Cit.,hlm.11.

62

Ibid.

63

Ibid.,hlm.12.

64

Ibid.,hlm.13.


(37)

transnasional maupun nasional, ada beberapa ketentuan-ketentuan pokok yang dapat memunculkan masalah, antara lain:65

1) Hukum yang berlaku (“governing law”);

2) Forum penyelesaian sengketa, baik melalui proses litigasi, arbitrase dan/atau Alternative Dispute Resolution (ADR);

3) Wanprestasi(“event of default”);

4) HAKI(“property rights in inventions”); 5) Force Majeur;

6) Jaminan (“Warranty and guarantee”); 7) dan lain-lain.

d. Sengketa lingkungan.

Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.66 Sengketa Lingkungan biasanya timbul oleh karena adanya pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan terhadap lingkungan.67

e. Sengketa dengan Masyarakat Setempat

Berdasarkan praktik atas beberapa kasus pertambangan, sengketa yang timbul antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan disebabkan oleh kurangnya tanggung jawab sosial pengusaha terhadap kehidupan social masyarakat setempat.68

65

Ibid., hlm.14.

66

Indonesia (g), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 angka 25.

67

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Op.Cit., hlm.14

68


(38)

f. Sengketa Kewilayahan (Untuk Pemegang KP)

Sengketa kewilayahan biasanya timbul disebabkan oleh

dikeluarkannya izin Kuasa Pertambangan yang menyebabkan kerugian terhadap pemilik Kuasa Pertambangan lainnya.69

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) ketentuan mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal asing diatur dalam Pasal 32 ayat 1,2 dan 4 yaitu:

Ayat 1, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.

Ayat 2, dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat 4, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

70

69

Ibid.

70

Indonesia (h), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 1.

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang


(39)

disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.71

Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.72Negosiasi adalah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif.73

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.74Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga yang mengajukan usulan jalan keluar sebagai penyelesaian, proses ini disebut dengan konsiliasi.75

Penilaian Ahli adalah pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.76

1. Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs and Trade (GATT)

Sedangkan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dalam UU Minerba diatur dalam Pasal 154, yaitu: Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

71

Ibid., Pasal 1 angka 10.

72

FransHendraWinarta, Hukum Penyelesaian Sengketa(Jakarta: Sinar Grafika), 2012, hlm.7.

73

Ibid.

74

Ibid.

75

Garry Goodpaster, Arbitrase di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hlm.11.

76


(40)

Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada lima prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination Principle)

Prinsip ini meliputi: Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle), dan

Prinsip National Treatment (NT Principle).77

1) Prinsip Most Favoured Nation (MFN)

Prinsip ini diatur dalam Article 1 section (1) GATT 1947, yang berjudul

General Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.78 Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya.79

2) Prinsip National Treatment (NT)

Prinsip ini diatur dalam Article III GATT 1947, berjudul “National Treatment on International Taxation and Regulation”, yang menyatakan bahwa,”this standard provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and foreigners”.80 Berdasarkan ketentuan diatas, bahwa prinsip ini tidak menghendaki adanya diskriminasi antar produk serupa dari luar negeri.81

77

Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm.41.

78

Ibid.

79

Ibid.,hlm.42.

80

Ibid.,hlm.43.

81


(41)

b. Prinsip Resiprositas (Reciprocity Principle)

Prinsip Resiprositas (Reciprocity Principle) yang diatur dalam Article II GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional.82

c. Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif (Prohibition of Quantitative Restriction)

Prinsip ini telah diatur dalam Article IX GATT 1947, menghendaki transparasi dan penghapusan hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional. Hambatan kuantitatif dalam persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tariff atau bea masuk.83

Ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apa pun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor), pada umumnya dilarang(Pasal IX).84

82

Ibid.,hlm.45.

83

Ibid., hlm.46.

84

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.113.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi Pasal dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga; untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya


(42)

impor yang berlebihan(increase of imports) di dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri; keempat,

untuk melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII).85 d. Prinsip Perdagangan yang Adil (Fairness Principle)

Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang

Dumping (Article VI) dan Subsidi (Article XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya.86

e. Prinsip Tarif Mengikat (Binding Tarif Principle)

Prinsip ini diatur dalam Article II section (2) GATT-WTO 1995, bahwa setiap negara anggota WTO harus memenuhi berapapun besarnya tariff yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tariff mengikat.87Walaupun prinsip-prinsip diatas berisikan kewajiban-kewajiban yang wajib untuk dilaksanakan bagi anggota-anggotanya, tetapi pada Pasal XX GATT terdapat pengecualian umum (general exceptions), yakni pengecualian-pengecualian yang dimungkinkan untuk menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban suatu negara terhadap GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan yang diperlakukan untuk:88

1) Melindungi moral masyarakat;

2) Melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tanaman; 3) Impor atau ekspor emas atau perak;

85

Ibid.

86

Muhammad Sood, Op.Cit.,hlm.47.

87

Ibid.,hlm.48.

88


(43)

4) Perlindungan terhadap ha katas kekayaan intelektual;

5) Produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana; 6) Perlindungan kekayaan nasional, kesenian, sejarah atau purbakala; 7) Konservasi kekayaan alam yang dapat habis;

8) Dalam kaitannya dengan adanya kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian komoditi antar pemerintah; dan lain-lain.

F. Metode Penelitian

Setiap penulisan haruslah menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan bidang yang diteliti. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang dibahas di dalamnya yaitu penelitian penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.89

2. Data Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif dalam skripsi ini karena sumber penulisan yang didasarkan pada data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan , peraturan perundang-undangan, dan data penelitian yang dilakukan oleh lembaga resmi atau pihak lain.

Data yang dipergunakan berupa data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

89

SoerjonoSoekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ketujuh, Ed. Pertama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.


(44)

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Perjanjian Internasional. Adapun bahan hukum primer ini terdiri dari Undang-Undang yang berkaitan langsung dengan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan kedua Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Peraturan Menteri Keuangan No.6/PMK.011.2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Perjanjian Perdagangan Multilateral atau

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku hukum, karya tulis ilmiah ataupun buku lain yang terkait dengan tulisan ini. Seperti seminar hukum, majalah-majalah, jurnal, pidato, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.


(45)

c. Bahan hukum tersier merupakan semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan data

Dalam memperoleh bahan-bahan guna menyusun skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dipertanggungjawabkan, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yang mempelajari dan menganalisis secara sistematis seperti: peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana, karya tulis ilmiah dan berbagai bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini.

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan penulis termasuk jenis penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada dasarnya merupakan kegiatan untuk mengolah atau menganalisis data-data sekunder terhadap permasalahan yang akan dikaji. Metode yang dipergunakan untuk menganalisis yaitu:

a. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan penelitian;

b. Mengelompokkan peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang ada;

c. Melakukan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait; d. Menguraikan bahan-bahan hukum sesuai dengan masalah yang

dirumuskan;


(46)

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus disusun secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya penguraian dalam bab per bab secara teratur dan berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas hal-hal yang umum dalam sebuah tulisan ilmiah, antara lain : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Bab inimembahas mengenai pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia, kemudian latar belakang lahirnya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, dan permasalahan yang timbul akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral.

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG PERTAMBANGAN

TERKAIT DENGAN PELARANG EKSPOR MINERAL MENTAH

Bab inimembahas tentang bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di bidang pertambangan baik dalam lingkup nasional maupun internasional serta penyelesaian sengketa yang terjadi akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.


(47)

BAB IV KEDUDUKAN LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH

TERHADAP PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREMENT ON

TARIFFS AND TRADE(GATT)

Bab inimembahas tentang tinjauan umum mengenai GATT, selanjutnya mengenai indonesia dalam GATT dan WTO, serta Analisis mengenai kedudukan larangan ekspor mineral mentah terhadap prinsip-prinsip yang terdapat dalam GATT.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Berisikan bagian penutup yang sekaligus merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini dimana dikemukakan kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan pembahasan sebelumnya dalam skripsi ini.


(48)

34

BAB II

LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia 1. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia

Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan nusantara, berawal pada tahun 1619. Dalam tahun itu, pasukan

VereenigdeOostInischeCompagnie (VOC) di bawah pimpinan Jan PieterzoonCoen berhasil merebut jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia.90

“ Dalam hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar, cukup banyak yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda. Hal ini tidak mengherankan, karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuan-ilmuan besar di berbagai bidang. Dalam bidang pertambangan sebaliknya, ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda menjadi suatu wilayah pertambangan terkemuka, meskipun potensi mineral wilayah ini, sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu mengherankan, karena negeri Belanda bukan negara pertambangan. Sebelum memasuki era industry pada dasarnya rakyat Belanda hidup dari pertanian dan perdagangan.”

Selama lebih dari tiga abad penjajahan Belanda di Hindia Belanda, SoetaryoSigit seorang pakar pertambangan terkemuka Indonesia, menyimpulkan bahwa;

91

Pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen”

(Jawatan Pertambangan). Tugas Jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia-Belanda.

90

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Jogjakarta : UII Press, 2004), hlm.61.

91


(49)

Hasil penemuannya antara lain; endapan batubara Ombilin Sumatera Barat (1866), namun baru berhasil ditambang oleh Pemerintah pada tahun 1891.92

Baru pada tahun 1899, pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan IndischeMijnwet (Staatblad 1899-214). IndischeMijnwet hanya mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan.93Oleh karena IndischeMijnwethanya mengatur pokok-pokok persoalan saja, sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan pelaksanaan berupa Mijnorodnnantieyang diberlakukan mulai 1 Mei 1907. Mijnordonnantie

mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja (tercantum dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 612). Kemudian pada tahun 1930 Mijnordonnantie 1907

dicabut dan diperbaharui dengan MijnOrdonannatie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1930. Dalam MijnOrdonnantie 1930, tidka lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselatmatan Kerja Pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam

MijnPolitieReglement (Staatblad 1930 1930 No.341) yang hingga kini masih berlaku.94

Menyerahnya tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL kepada balatentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia. Selama pendudukan Jepang IndischeMinjwet 1899

praktis tidak jalan, sebab semua kebijakan mengenai pertambangan termasuk operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan dengan situasi perang.95

92

Ibid.,hlm.63.

93

Ibid., hlm.64

94

Ibid.

95

Ibid.,hlm.66-67.

Pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan


(50)

pada tanggal 17 Agustus1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia.96

Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, masalah pengawasan atas usaha pertambangan timah dan minyak bumi yang masih dikuasai modal Belanda dan modal asing lainnya merupakan isu politik yang sangat peka. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), TeukuMr.Moh. Hassan mengambil langkah guna membenahi pengaturan dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia.97

Usul mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan “Mosi TeukuMoh.Hassan dkk” yang memuat beberapa hal yang diantaranya yang terpenting ialah yang mendesak pemerintah supaya:98

a. Membentuk suatu Komisi Negara Urusan Pertambangan dalam jangka waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut:

1) Menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara, tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di Indonesia.

2) Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa ini.

3) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah untuk

menyelesaikan/mengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya dan sumber-sumber minyak di tempat lain.

4) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status Pertambangan di Indonesia.

96

Ibid., hlm.67.

97

Ibid., hlm.68.

98


(51)

5) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan pajak dan penetapan harga minyak.

6) Membuat usul-usul lain mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan Negara.

b. Menunda segala pemberian izin, konsesi, eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan.

Pada tahun 1960 pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No.37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pertambangan 1960. Undang-Undang ini mengakhiri berlakunya IndischeMijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan nasional dan merupakan Undang-undang pertambangan nasional yang pertama.99

Pada tahun 1966 pemerintah menerbitkan Ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal yang terkait dengan sector pertambangan, antara lain sebagai berikut:100

a. Kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi rill (Bab II Pasal 8);

b. Potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan Indonesia (Bab II, Pasal 10);

99

Ibid., hlm.70.

100


(52)

c. Dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestic (Bab VIII, Pasal 62).

Berdasarkan ketetapan MPRS di atas, disusunlah rancangan undang-udang tentang Penanaman Modal Asing, kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Untuk menyesuaikan kebijaksanaan baru dalam perekonomian, khususnya mengenai usaha pertambangan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang pertambangan 1960. Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan ini, Departemen Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusun Rencana Undang-undang Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang pertengahan tahun 1967. Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP 1967.101

Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang telah mengatur kegiatan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia selama lebih kurang 42 tahun dianggap sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Pertimbangan tersebut dijadikan

101


(1)

HS. Salim. Hukum Pertambangan Mineral & Batubara. Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014.

HS. Salim. Hukum Pertambangan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Notonagoro. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1984.

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi. Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization). Jakarta: Yayasan Obor, 2010

Saleng. Abrar. Hukum Pertambangan. Jogjakarta: UII Press, 2004.

Siregar. Mahmul.Perdagangan Internasional Dan Penanaman Modal. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005.

Soekanto. Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Cet. Ketujuh, Ed. Pertama. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003.

Sood. Muhammad. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Sudiarto, Zeni Asyhadie. Mengenal Arbitrase salah satu alternative penyelesaian sengketa bisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Sukandarrumidi. Memahami Pengelolaan Bahan Tambang di Indonesia: Referensi Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010.

Suryartono. dkk. Good Mining Practice: Konsep Tentang Pengelolaan Pertambangan Yang Baik dan Benar. Semarang: Studi Nusa, 2003.

Utama. Meria. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: FikahatiAneska, 2012 Winarta, FransHendra. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika,

2012.

B.PERATURAN

The General Agreement on Tariffs and Trade

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.


(2)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Republik Indonesia, Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha yang terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13 / M-DAG / PER / 3 / 2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar

C.TESIS

Sony HeruPrasetyo, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Kewajiban Penyesuaian Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terkait Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah Hasil Penambangan Mineral di Dalam Negeri; Studi Kasus Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara,” Tesis Magister, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013.


(3)

D.JURNAL

Agi Gilang Pratama, “Analysis of Juridical Concerning Non-Tariff Barriers Indications Against Ministerial Energy and Mineral Resources Decree No.7 year 2012 about the Increase in Mineral Added Value Through the Mineral Processing and Refining Activity,” e-Journal, Diponegoro Law Review, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013.

E. KAMUS

Jhon M; Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

MA, Budiono.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung, 2005.

F. KORAN

Investor Daily, Edisi 19 Mei 2014, Jakarta: PT. Koran Media Investor Indonesia

G.DOKUMEN

Appellate Body Report, Korea – Various Measures on Beef Appellate Body Report, US – Gasoline

Berita Resmi Statistik No. 06/01/Th. XVIII, 2 Januari 2015

GATT Analytical Index – Guide to GATT Law and Practice, Sixth Edition, World Trade Organization

Jane Korinek, Jeonghoi Kim, “Export Restrictions on Strategic Raw Materials and Their Impact On Trade And Global Supply”, 2010.

Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw Material Tambang dan Mineral. Jakarta, Oktober, 2013.

Panel Report, China-Raw Materials

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 22 September 2014

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PUU-XII/2014 tanggal 1 September 2014


(4)

Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, Vol. VI Januari 2015

H.PUTUSAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Putusan Mahkamah Konstitusi, perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

I. WEBSITE

Hilirisasi Industri Tambang,

http://www.majalahglobalreview.com/industri/pertambangan/13-pertambangan/105-tataniaga-ekspor-untuk-hilirisasi-minerba.html (tanggal akses 9 Desember 2014).

Akhirnya Pemerintah dan Newmont Sepakati Renegosiasi Kontrak, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54084c3a7ee29/akhirnya--pemerintah-dan-newmont-sepakati-renegosiasi-kontrak (tanggal akses 14 Maret 2015).

Arbitrase Diajukan Terkait Larangan Ekspor di Indonesia, http://www.ptnnt.co.id/id/arbitrase-diajukan-terkait-larangan-ekspor-di-indonesia.aspx (tanggal akses 10 Maret 2015).

Agustinus Beo Da Costa, “Pengusaha Tambang: Puluhan Ribu Karyawan Sudah Dipecat”,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/19/1105299/P engusaha.Tambang.Puluhan.Ribu.Karyawan.Sudah.Dipecat (tanggal akses 10 Maret 2015).

Andrian, “Kembali Peroleh Izin Ekspor, Newmont Normalisasi Usaha Selama 6-8 Pekan” http://www.jakpro.id/kembali-peroleh-izin-ekspor-newmont-normalisasi-usaha-selama-6-8-pekan/ (tanggal akses 14 Maret 2015). Australia — Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications

and Other Plain Packaging Requirements Applicable to Tobacco

Products and Packaging, https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm

(tanggal akses 17 Maret 2015).

Dispute cases involving Indonesia, https://www.wto.org/english /thewto_e/countries_e/indonesia_e.htm (tanggal akses 17 Maret 2015).


(5)

Hilirisasi Berbuntut PHK Massal, http://arsip.tambang.co.id/print.php?category=18&newsnr=8652 (tanggal

akses 25 Februari 2015).

https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact4_e.htm.

IndaMarlina, “Ekspor Produk Pemurnian Bijih Mineral Tidak Dibatasi,”

http://industri.bisnis.com/read/20140213/44/203123/ekspor-produk-pemurnian-bijih-mineral-tidak-dibatasi. (tanggal akses 9 Maret 2015). Ilyas IstianurPraditya, “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Timur Kena Imbas UU

Minerba,“ http://m.liputan6.com/bisnis/read/830723/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-timur-kena-imbas-uu-minerba. (tanggal akses 10 Maret 2015).

Junaiding, “Objek Ekspor,” http://www.eximlaws.com/2015/02/obek-ekspor.html. (tanggal akses 9 Maret 2015).

Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, “Pemerintah Siapkan

InpresHilirisasi Pertambangan,

www.kemenperin.go.Id/artikel/3812/Pemerintah-Siapkan-Inpres-Hilirisasi-Pertambangan. (tanggal akses 25 Februari 2015).

Lukas HendraTM , “Ini Dia Isi MoU Newmont Nusa Tenggara Yang Kandas,” http://industri.bisnis.com/read/20150303/44/408428/ini-dia-isi-mou-newmont-nusa-tenggara-yang-kandas (tanggal akses 14 Maret 2015).

Newmont gugat Republik Indonesia,

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/517791-dilarang-ekspor-minerba-mentah--newmont-gugat-ri-ke-arbitrase (tanggal akses 26 Februari 2015).

Pengertian Daerah Pabean,

http://www.beacukai.go.id/index.html?page=faq/pengertian-daerah-pabean.html (tanggal akses 28 Februari 2015).

PTNNT Menghentikan Operasi Tambang Batu Hijau, http://ptnnt.co.id/id/ptnnt-menghentikan-operasi-tambang-batu-hijau.aspx (tanggal akses 14 Maret 2015).

PTNNT Menghentikan dan Mencabut Gugatan Arbitrase,

http://ptnnt.co.id/id/ptnnt-menghentikan-dan-mencabut-gugatan-arbitrase.aspx (tanggal akses 14 Maret 2015).

Suci SedyaUtami , “Perlambatan Ekonomi akibat Larangan Ekspor Mineral Mentah,”


(6)

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/05/05/238469/perlambatan-ekonomi-akibat-larangan-ekspor-mineral-mentah (tanggal akses 10 Maret 2015).

Siti Nuraisyah Dewi, Arie Dwi Budiawati, “Alasan Newmont Gugat Indonesia ke Arbitrase Versi Pemerintah” http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/518483-alasan-newmont-gugat-indonesia-ke-arbitrase-versi-pemerintah (tanggal akses 14 Maret 2015).

World Trade Organization (WTO), http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCoop


Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

7 60 147

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

10 128 151

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 9

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 2

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 1 28

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 38

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 2 4

BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

0 0 33

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

0 0 12