Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

(1)

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON

TARIFFS AND TRADE (GATT)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DEVID JUHENDRI 110200555

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON

TARIFFS AND TRADE (GATT)

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DEVID JUHENDRI 110200555

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, S.H., M.Hum NIP : 197501122005012002

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Dr.Mahmul Siregar, S.H., M.Hum NIP : 195905111986011001 NIP : 197302202002121001

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

i

ABSTRAK

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON

TARIFFS AND TRADE (GATT) Devid Juhendri*

Budiman Ginting** Mahmul Siregar***

Pemerintah menyusun kebijakan peningkatan nilai tambah terhadap mineral melalui pelarangan ekspor terhadap mineral yang belum diolah/dimurnikan sampai batasan tertentu. Namun dalam pelaksanaannya menimbulkan berbagai masalah, permasalahan tersebut akan dibahas dalam skripsi ini yaitu pertama, bagaimanakah pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia; kedua, bagaimanakah penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah; ketiga, bagaimanakah kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terhadap prinsip-prinsip GATT

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersifat penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan dengan teknik analisis data kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan.

Kesimpulan yang dicapai dalam penulisan ini adalah pertama, pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif Indonesia tidak tercantum dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan pelarangan ekspor mineral mentah hanya dapat diketahui melalui penafsiran terhadap Pasal-Pasal yang terdapat dalam peraturan kewajiban peningkatan nilai tambah; kedua, penyelesaian sengketa antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah selalu mengedepankan penyelesaian sengketa alternatif; ketiga, kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah berkedudukan dibawah prinsip-prinsip General

Agreement on Tariffs and Trade (GATT) hal tersebut dikarenakan Indonesia telah

meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) yang merupakan satu kesatuan dengan GATT, dengan demikian seluruh peraturan yang dibuat semestinya selaras dengan ketentuan GATT, namun kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah melanggar prinsip penghapusan hambatan kuantitatif yang terdapat di dalam GATT.

Kata Kunci : Pelarangan Ekspor, Mineral Mentah, Penyelesaian Sengketa,

GATT.

*

) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

)Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(4)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan harapan, semangat, kekuatan, kesabaran, dan bimbingan selama proses penulisan skripsi ini sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.

Penulisan skripsi yang berjudul "ASPEK HUKUM PELARANGAN

EKSPOR MINERAL MENTAH TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT)" ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari ketidaksempurnaan sehingga besar harapan kepada para pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca skripsi ini agar dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik dan sempurna lagi.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, M. Lubis dan Omega A. Deliana, S.Sos. Terlebih khusus kepada Ibunda atas semua perjuangannya dalam mendidik, membimbing, mendukung, serta harapan dan doa-doanya yang senantiasa mengiringi kehidupan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini serta memperoleh pendidikan formal sampai pada tingkat Strata Satu. Terima kasih juga kepada abang dan adik tercinta, dr. Riadi Vinsensius dan Agnes Aurelia. Skripsi ini penulis persembahkan sepenuhnya untuk keluarga tercinta.


(5)

iii

Dengan ini izinkanlah penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu dalam membimbing penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

4. Bapak Dr.O.K Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum, selaku sekretaris jurusan Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan. 7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya karena telah bersedia meluangkan waktu dan membimbing penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.


(6)

iv

8. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum. selaku Dosen Penasihat Akademik. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

9. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman seperjuangan yang merupakan teman dekat, teman satu grup, dan tim klinis, yaitu Michael, Richard TGS, Masmur Purba, Juantha Barus, Fadillah Mahraini, Syafitri Ditami, Yuliana Siregar.

11.Teman-teman seperjuangan "GASTER" yang merupakan teman-teman yang di luar akal sehat, tidak rasional, dan gila, banyak pengalaman senang, sedih, jengkel, pembelajaran hidup, yang penulis dapatkan dari mereka. Kumpulan orang tidak waras tersebut yaitu; apara Asido Malau, apara Philip Damanik, Juanda Tampubolon, Timoty, Vincent Nadeak, Tirta Silalahi, Danny Sinaga, Rio Silalahi, Arius Lumbanbatu, Ivan Halawa, Nio Romario, Lambok, Putra, Bruno Saragih, Chocky, Guntur Gultom, Ady, Roboy, Togar, Jhon.

12.Kepada Saudara-saudariku di Keluarga Mahasiswa Katolik St. Fidelis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu, Nova Sagala, Maruli Simalango, Ruba Silaen, Richard Sitio, Eni sipayung, Kristina Simbolon, Kak Anggi Sinaga, Kak Agnes, Bang Rio, Bang Jigo, Bang Leo, serta adik-adik yang terkasih.

13.Kepada seluruh pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(7)

v

Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bukan hanya kepada penulis, tetapi juga kepada masyarakat.

Medan, April 2015 Penulis

Devid Juhendri NIM. 110200555


(8)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Pustaka ... 13

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia ... 24

1. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia ... 24

2. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan UU Minerba ... 29

3. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara ... 33

4. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri ... 36


(9)

vii

5. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 / M-DAG / PER / 1 / 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan

Pemurnian. ... 41

6. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.6/PMK.011.2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar ... 43

B. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah di Indonesia ... 46

1. Pengertian Pelarangan Ekspor Mineral Mentah ... 46

2. Konsep Kedaulatan Negara Atas Bahan Tambang ... 49

3. Pengertian dan Dasar Hukum Penguasaan Hak Penguasaan Negara ... 51

C. Permasalahan yang timbul akibat diterapkannya kebijakan Pelarangan ekspor mineral mentah ... 57

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG PERTAMBANGAN TERKAIT DENGAN PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH A. Bentuk Penyelesaian Sengketa di Indonesia ... 61

1. Arbitrase ... 61

2. Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 64

B. Bentuk Penyelesaian Sengketa Lingkup Internasional ... 66

1. Arbitrase Internasional ... 66

2. WTO ... 70

C. Penyelesaian Sengketa Antara Pengusaha Pertambangan Dengan Pemerintah Akibat Diterapkannya Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah ... 73


(10)

viii

BAB IV KEDUDUKAN LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERHADAP PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT)

A. Tinjauan Umum Mengenai GATT ... 84

1. Sejarah Terbentuknya GATT ... 85

2. Tujuan dan Fungsi GATT ... 88

3. Sekilas mengenai Prinsip-Prinsip GATT ... 89

B. Indonesia dalam GATT dan WTO ... 93

1. Keterlibatan Indonesia dalam GATT ... 93

2. Indonesia dalam Putaran Uruguay ... 94

3. Keterlibatan Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan ... 98

4. Indonesia dan WTO ... 100

C. Analisis Mengenai Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait dengan Prinsip-prinsip GATT ... 103

1. Prinsip-prinsip GATT yang Berkaitan dengan Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah ... 104

2. Pengecualian Terhadap Prinsip-prinsip GATT ... 104

3. Analisis Kedudukan Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terhadap Prinsip-prinsip GATT ... 113

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 125

B. Saran ... 127


(11)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)


(12)

i

ABSTRAK

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON

TARIFFS AND TRADE (GATT) Devid Juhendri*

Budiman Ginting** Mahmul Siregar***

Pemerintah menyusun kebijakan peningkatan nilai tambah terhadap mineral melalui pelarangan ekspor terhadap mineral yang belum diolah/dimurnikan sampai batasan tertentu. Namun dalam pelaksanaannya menimbulkan berbagai masalah, permasalahan tersebut akan dibahas dalam skripsi ini yaitu pertama, bagaimanakah pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia; kedua, bagaimanakah penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah; ketiga, bagaimanakah kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terhadap prinsip-prinsip GATT

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersifat penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan dengan teknik analisis data kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan.

Kesimpulan yang dicapai dalam penulisan ini adalah pertama, pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif Indonesia tidak tercantum dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan pelarangan ekspor mineral mentah hanya dapat diketahui melalui penafsiran terhadap Pasal-Pasal yang terdapat dalam peraturan kewajiban peningkatan nilai tambah; kedua, penyelesaian sengketa antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah selalu mengedepankan penyelesaian sengketa alternatif; ketiga, kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah berkedudukan dibawah prinsip-prinsip General

Agreement on Tariffs and Trade (GATT) hal tersebut dikarenakan Indonesia telah

meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) yang merupakan satu kesatuan dengan GATT, dengan demikian seluruh peraturan yang dibuat semestinya selaras dengan ketentuan GATT, namun kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah melanggar prinsip penghapusan hambatan kuantitatif yang terdapat di dalam GATT.

Kata Kunci : Pelarangan Ekspor, Mineral Mentah, Penyelesaian Sengketa,

GATT.

*

) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

)Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah yang dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan batubara (Minerba). Mengingat bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomian nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan serta mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan maka pengelolaan dan pemanfaatan Minerba harus dilakukan dengan optimal dan semaksimal mungkin.2

Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai negara yang kaya akan sumber daya tambang. Selain itu, dari potensi bahan galiannya untuk batubara, Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk ekspor batubara, peringkat ke-2 untuk produksi timah, peringkat ke-2 untuk produksi tembaga, peringkat ke-6 untuk produksi emas. Berbagai macam bahan tambang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, dari sabang sampai merauke, mulai dari emas, timah, tembaga, perak, intan, batubara, minyak, bauksit, dan lain-lain. Berdasarkan data USGS, cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia menduduki peringkat ke-7, sedangkan produksinya sekitar 6,7% dari produksi emas dunia dan menduduki peringkat ke-6. Sementara itu, posisi cadangan timah Indonesia

2

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, konsideran.


(14)

menduduki peringkat ke-5, yakni sebesar 8,1% dari cadangan timah dunia. Cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1% dari cadangan tembaga dunia, dan merupakan peringkat ke-7 sedangkan dari sisi produksi adalah 10,4% dari produksi dunia dan merupakan peringkat ke-2. Potensi nikel Indonesia juga luar biasa. Cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 2,9% dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat ke-8, sedangkan produksinya 8,6% dan merupakan peringkat ke-4 dunia.3

Ketiadaan pengetahuan, modal, dan teknologi yang memadai untuk menggali dan mengolahnya, membuat sumber daya mineral dan batubara belum memilki manfaat yang berarti. Padahal, kekayaan bahan tambang, khususnya mineral, apabila diproses lebih lanjut dapat menghasilkan bahan baru yang lebih bermanfaat dan bernilai jual tinggi.

4

Masih rendahnya manfaat ekonomi yang diperoleh negara selama ini antara lain dapat dilihat dari nilai penerimaan negara bukan panjak (PNBP) mineral.

Tabel 1

Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

Sumber : http://www.majalahglobalreview.com/industri/pertambangan/13-pertambangan /105-tataniaga-ekspor-untuk-hilirisasi-minerba.html

3

http: / / w w w . i m a - a p i . c o m / i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _ c o n t e n t & v i e w = article&id=1937:potensi-dan-tantangan-pertambangan-di-indonesia&catid=47:media-news&Itemid=98&lang=id (diakses tanggal 9 Desember 2014)

4

Sukandarrumidi, Memahami Pengelolaan Bahan Tambang di Indonesia: Referensi

Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010),

hlm.25.

NO TAHUN PERTAMBANGAN UMUM MIGAS TOTAL

MINERAL BATU BARA

1 2007 Rp. 2.94 triliun Rp. 5.75 triliun Rp. 134.5 triliun Rp. 143.2 triliun 2 2011 Rp. 3.42 triliun Rp. 20.8 triliun Rp. 193.1 triliun Rp. 217.3 triliun


(15)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.5 Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap klausul “dikuasai negara” dimana mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan negara rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichtoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.6

Kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral di Indonesia saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan mentah, tanpa dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu. Di sisi lain,

5

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Penjelasan Umum

6

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan


(16)

beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber daya mineral sebagai bahan baku utama ataupun penunjang masih merupakan produk impor. Kondisi tersebut mengakibatkan sumber daya mineral tidak menghasilkan nilai tambah (value-added) secara langsung sebagaimana yang diharapkan.7

Peningkatan nilai tambah adalah usaha untuk meningkatkan nilai keekonomian suatu hasil tambang melalui teknologi pengolahan dan pemurnian sehingga menghasilkan dampak pada kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang dihasilkan dan memberikan multiplier-effect pada pengembangan industri hilir terkait.8 Multiplier-effect yang dimaksud terdiri dari meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan surplus usaha untuk menarik minat investor menanamkan modalnya, meningkatkan pendapatan pajak untuk menaikkan kemampuan dan kemandirian fiskal bagi pemerintah pusat dan daerah, memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekaligus mengurangi pengangguran, dan adanya nilai tambah total untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dasar filosofis peningkatan nilai tambah pada produk akhir dari usaha pertambangan adalah untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang, menyediakan bahan baku industri, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan penerimaan negara.9

Kebijakan peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral di dalam negeri melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sebenarnya telah dikenal pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

7

Suryartono, dkk., Good Mining Practice: Konsep Tentang Pengelolaan Pertambangan

Yang Baik dan Benar (Semarang: Studi Nusa,2003), hlm.191.

8

Juwita, Catherine, "Perbedaan Pengaturan Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Dampaknya Terhadap Investasi Pertambangan Tembaga di Indonesia (Studi Kasus: Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Company)," (Skripsi Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, 2013), hlm.66.

9


(17)

Ketentuan Pokok Pertambangan, meskipun memang tidak dituangkan secara tegas tentang bagaimana mekanisme dan tatacaranya. Ketentuan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 misalnya telah dikemukakan definisi pengolahan dan pemurnian sebagai “pekerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian itu”.10 Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 juga menyatakan bahwa: “Pengolahan dan pemurnian sejauh mungkin harus diusahakan untuk dilakukan di dalam negeri”.11

Praktik dan pengaturan lebih lanjut terkait dengan kewajiban tersebut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 diarahkan kepada perusahaan-perusahaan pemegang Kontrak Karya. Investor Asing yang ingin berinvestasi di sektor mineral melaksanakan usahanya dalam bentuk Kontrak Karya yang di dalamnya tertuang ketentuan yang mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri dalam rangka mendukung pembangunan sektor hilir pertambangan. Sedangkan bagi perusahaan nasional dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP) belum diatur kewajiban untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral lewat kegiatan pengolahan dan pemurnian.12

Seiring dengan berkembangnya kegiatan pertambangan di Indonesia, banyak permasalahan dan tantangan yang tidak dapat ditanggulangi oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan

10

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Pasal 2 huruf f.

11

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Penjelasan Pasal 15. 12

Prasetyo, Sony Heru, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Kewajiban Penyesuaian Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terkait Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah Hasil Penambangan Mineral di Dalam Negeri; Studi Kasus Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara,” (Tesis Magister Ilmu Hukum ,Universitas Indonesia, 2013), hlm.48.


(18)

sehingga diperlukan perubahan peraturan perundangan-undangan bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengolah dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan dalam pengaturan pertambangan di Indonesia.13

Lahirnya UU Minerba pada tanggal 12 Januari 2009 membawa pengaruh besar terhadap kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang di Indonesia. Dalam UU Minerba kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang diberlakukan untuk seluruh perusahaan pertambangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa membedakan status penanaman modal perusahaan pemegang IUP atau IUPK tersebut. Hal tersebut dapat dilihat di ketentuan Pasal 102 UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Sedangkan Pasal 103 ayat (1) UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”. Pasal 170 menyatakan bahwa: “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

Untuk menjawab persoalan tersebut maka lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut sebagai UU Minerba).

13

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, konsideran bagian c.


(19)

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa semua penambang yang menambang hasil tambang di Indonesia baik yang berbentuk IUP, IUPK, dan kontrak karya (KK) wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan/atau batubara di dalam negeri, tetapi terdapat perbedaan waktu dalam melakukan peningkatan nilai tambah tersebut dimana ketentuan Pasal 170 UU Minerba diatas memberikan pengertian bahwa setiap Pemegang Kontrak Karya, khususnya yang telah berproduksi untuk segera merencanakan dan membangun fasilitas pemurnian (smelter) dalam negeri. Mengingat waktu yang dibutuhkan untuk membangun smelter tidak seketika dan membutuhkan dukungan dari berbagai faktor seperti, investasi, ketersediaan infrastruktur, sumber daya energi yang mencukupi. Pemerintah memberikan jangka waktu selama 5 (lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba ini, dengan kata lain fasilitas pemurnian tersebut sudah harus beroperasi paling lambat sampai dengan 12 Januari 2014. Tetapi jangka waktu tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi karena kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku seketika sejak diberlakukannya UU Minerba.14

Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan Mengabaikan kewajiban Pasal 102, 103, dan 170 UU Minerba, para pengusaha penambang lebih memilih meningkatkan ekspor bijih (raw material atau ore) daripada membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang menyebabkan terjadinya peningkatan yang sangat tajam terhadap volume ekspor bijih (raw material atau ore).

14

Sony Keraf, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 22 September 2014, hlm.6.


(20)

nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak ada artinya.15

“peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw

material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat

dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.”

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut:

16

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan penjualan bijih (raw material atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih (raw material atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor. Guna memperkuat kebijakan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore)

15

Yusril Ihza Mahendra, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PUU-XII/2014 tanggal 1 September 2014, hlm.7.

16

Putusan Mahkamah Konstitusi, perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014, hlm.175.


(21)

pemerintah mengeluarkan berbagai perangkat peraturan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pada 11 Januari 2014 Pemerintah mengeluarkan 4 (empat) peraturan terkait pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore).

Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batuba; kedua, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri;

ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang

Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian;

keempat, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar.

Penerapan kebijakan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) ternyata menimbulkan berbagai permasalahan yang diantaranya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hal ini dikarenakan beberapa perusahaan tambang tidak sanggup membangun smelter.17

17

Hilirisasi Berbuntut PHK Massal,

Sebagai akibat tidak adanya smelter, terjadi penumpukan hasil tambang di berbagai wilayah pertambangan karena tidak dapat di ekspor ke luar negeri, yang menyebabkan pendapatan perusahaan berkurang dan untuk mengurangi beban pengeluaran, perusahaan memberhentikan sejumlah pegawainya untuk dapat tetap beroperasi.

http://arsip.tambang.co.id/print.php?category=18&newsnr=8652 (diakses tanggal 25 Februari 2015).


(22)

Terkait dengan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore ) PT Newmont Nusa Tenggara mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap pemerintah Indonesia. Menurut Newmont, pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017, yang diterapkan kepada Newmont oleh pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) serta perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda.18

Tidak berhenti sampai disitu pembatasan ekspor mineral mentah diindikasikan melanggar ketentuan dalam Pasal XI:1 GATT yang mengatur mengenai penghapusan hambatan kuantitatif. Dalam Pasal tersebut, setiap negara diharuskan melakukan penghapusan peraturan yang membatasi jumlah dari barang yang akan diimpor atau diekspor. Hambatan ini dapat juga berbentuk larangan impor atau ekspor secara umum.19

Pembatasan ekspor sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, dalam hal ini mineral, dapat dilakukan oleh Negara anggota GATT apabila sesuai pengecualian umum yang diatur di dalam Pasal XX huruf g GATT. Dalam Pasal tersebut terdapat 3 (tiga) prasyarat, yaitu:

1. Tujuan kebijakan yang ingin dicapai haruslah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui;

2. Tindakan tersebut haruslah berhubungan dengan tujuan kebijakan tersebut; dan

18

Newmont gugat Repubik Indonesia, http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/517791-dilarang-ekspor-minerba-mentah--newmont-gugat-ri-ke-arbitrase (diakses tanggal 26 Februari 2015).

19

Pratama, Agi Gilang, “Analysis of Juridical Concerning Non-Tariff Barriers

Indications Against Ministerial Energy and Mineral Resources Decree No.7 year 2012 about the Increase in Mineral Added Value Through the Mineral Processing and Refining Activity,” Diponegoro Law Review, Volume 1, No.2, 2013, hlm.7.


(23)

3. Tindakan tersebut haruslah diberlakukan secara bersama-sama dengan larangan terhadap produksi atau konsumsi domestik.20

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tulisan skripsi ini diberi judul: “Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan

Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (GATT)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikemukakan pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif

Indonesia?

2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah?

3. Bagaimanakah kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk memahami pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif Indonesia.

2. Untuk memahami penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.

20


(24)

3. Untuk memahami kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade

(GATT).

Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan sebagai pemenuhan tugas akhir dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Secara teoritis, pembahasan terhadap pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement On Tariffs and Trade (GATT) ini akan memberikan pemahaman dan pengetahuan baru bagi para pembaca mengenai pelarangan ekspor mineral mentah, penyelesaian sengketa yang terjadi akibat dari kebijakan tersebut, serta kedudukan kebijakan tersebut terhadap prinsip-prinsip GATT.

2. Secara praktis

Penulisan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca terutama bagi para pihak yang berkecimpung di dunia pertambangan Indonesia, juga sebagai bahan bagi para akademisi dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Karya ilmiah penulis, skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik (Sarjana) baik di Universitas Sumatera Utara maupun di Perguruan Tinggi lainnya. Judul karya ilmiah Penulis ini telah


(25)

diperiksa oleh Perpustakaan Universitas Cabang FH USU/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum FH USU dan tidak ada judul yang sama dan tidak terlihat adanya keterkaitan.

Dilihat dari permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai dengan penulisan skripsi ini, maka dapat diketahui semua yang tertuang di dalam skripsi ini adalah asli dan bukan hasil jiplakan dari skripsi yang telah ada, dan diperoleh melalui hasil pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, buku-buku, makalah-makalah dari bahan-bahan seminar, serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan pada asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka. Semua ini adalah merupakan implikasi dari proses penemuan kebenaran ilmiah, maka dari itu penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah maupun secara akademik.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pelarangan ekspor mineral mentah

Pasal 1 angka 2 UU Minerba menyatakan “Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.”21 Senyawa anorganik adalah semua elemen-elemen atau unsur yang sudah bersatu padu di dalam alam.22 Definisi Mentah adalah belum diolah, belum jadi.23

21

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 angka 2.

Bijih adalah kumpulan mineral yang

22

Salim Hs, Op.Cit., hlm.39. 23

Budiono, MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Karya Agung, 2005), hlm.339.


(26)

mengandung 1 (satu) logam atau lebih yang dapat diolah secara menguntungkan.24 Dalam bahasa Inggris Bijih diartikan juga sebagai Ore.25

Mineral terbagi atas 4 (empat) golongan, yaitu: 1. mineral radioaktif;

2. mineral logam;

3. mineral bukan logam; dan 4. batuan. 26

Mineral golongan radioaktif tidak termasuk dalam golongan komoditas tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya.27 Nilai Tambah adalah pertambahan nilai mineral sebagai hasil dari proses pengolahan dan/atau pemurnian mineral.28 Peningkatan Nilai Tambah adalah peningkatan nilai mineral melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian sehingga menghasilkan manfaat ekonomi, sosial dan budaya.29 Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.30

24

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pasal 1 Angka 6.

25

Jhon M; Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.408.

26

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 2.

27

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pasal 2 angka 1.

28

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pasal 1 angka 12.

29

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pasal 1 Angka 13.

30

Republik Indonesia, Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 Angka 20.


(27)

Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.31 Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.32

Produk Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum pengolahan dan / atau pemurnian dilarang diekspor.33

Pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) bertujuan untuk menjamin ketersediaan bijih (raw material atau ore) di dalam negeri sehingga dapat dilakukan pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu terhadap bijih (raw

material atau ore) tersebut untuk meningkatkan nilai tambahnya sebelum

diekspor.

Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan terhadap ekspor mineral yang belum diolah atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri.

34

31

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Pasal 1 angka 1.

Terkait dengan kebijakan pengendalian penjualan bijih (raw material atau ore) Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri, perlu mengatur mengenai bea keluar terhadap barang ekspor berupa bijih (raw material atau ore) mineral. Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan

32

Pengertian Daerah Pabean,

http://www.beacukai.go.id/index.html?page=faq/pengertian-daerah-pabean.html (diakses tanggal 28 Februari 2015).

33

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Pasal 2 angka 3.

34


(28)

yang dikenakan terhadap barang ekspor.35

2. Penyelesaian sengketa bidang pertambangan

Barang ekspor yang dimaksud dalam hal ini adalah mineral yang telah diolah atau dimurnikan terlebih dahulu.

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.36

Sengketa tambang adalah Sengketa atau konflik atau pertentangan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan.

37

Ayat 1, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ketentuan mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal asing diatur dalam Pasal 32 ayat 1,2 dan 4 yaitu:

Ayat 2, dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat 4, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

35

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar, Pasal 1 angka 2.

36

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 angka 1.

37


(29)

tertulis oleh para pihak yang bersengketa.38 Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.39

3. Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs and Trade (GATT)

Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada lima prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination Principle)

Prinsip ini meliputi: Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle), dan

Prinsip National Treatment (NT Principle).40

1) Prinsip Most Favoured Nation (MFN)

Prinsip ini diatur dalam Article 1 section (1) GATT 1947, yang berjudul

General Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip Non

Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.41 Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya.42

2) Prinsip National Treatment (NT)

Prinsip ini diatur dalam Article III GATT 1947, berjudul “National

Treatment on International Taxation and Regulation”, yang menyatakan

bahwa, ”this standard provides for inland parity that is say equality for

38

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 1.

39

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 10. 40

Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm.41.

41

Ibid.

42


(30)

treatment between nation and foreigners”.43 Berdasarkan ketentuan diatas, bahwa prinsip ini tidak menghendaki adanya diskriminasi antar produk serupa dari luar negeri.44

b. Prinsip resiprositas (Reciprocity Principle)

Prinsip resiprositas (Reciprocity Principle) yang diatur dalam Article II

GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama

negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional.45

c. Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif (Prohibition of Quantitative

Restriction)

Prinsip ini telah diatur dalam Article IX GATT 1947, menghendaki transparasi dan penghapusan hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional. Hambatan kuantitatif dalam persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk.46

Ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apa pun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX).47

43

Ibid.,hlm.43.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi pasar dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga;

44

Ibid.

45

Ibid., hlm.45.

46

Ibid., hlm.46.

47

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.113.


(31)

untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya impor yang berlebihan(increase of imports) di dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri; keempat, untuk melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII).48

d. Prinsip perdagangan yang adil (Fairness Principle)

Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang

Dumping (Article VI) dan Subsidi (Article XVI), dimaksudkan agar jangan

sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya.49

e. Prinsip tarif mengikat (Binding Tarif Principle)

Prinsip ini diatur dalam Article II section (2) GATT-WTO 1995, bahwa setiap negara anggota WTO harus memenuhi berapapun besarnya tarif yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tarif mengikat.50

F. Metode Penelitian

Setiap penulisan haruslah menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan bidang yang diteliti. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang dibahas di dalamnya yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan

48

Ibid.

49

Muhammad Sood, Op.Cit.,hlm.47. 50


(32)

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.51

2. Data penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian normatif karena sumber penulisan yang didasarkan pada data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan , peraturan perundang-undangan, dan data penelitian yang dilakukan oleh lembaga resmi atau pihak lain.

Data yang dipergunakan berupa data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Perjanjian Internasional. Adapun bahan hukum primer ini terdiri dari Undang-Undang yang berkaitan langsung dengan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan kedua Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Peraturan Menteri Keuangan No.6/PMK.011.2014 tentang

51

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan


(33)

Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Perjanjian Perdagangan Multilateral atau

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku hukum, karya tulis ilmiah ataupun buku lain yang terkait dengan tulisan ini. Seperti seminar hukum, majalah-majalah, jurnal, pidato, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan hukum tersier merupakan semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus dan ensiklopedia.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam memperoleh bahan-bahan guna menyusun skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dipertanggungjawabkan, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yang mempelajari dan menganalisis secara sistematis seperti: peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana, karya tulis ilmiah dan berbagai bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini.

4. Analisis data

Penelitian yang dilakukan penulis termasuk jenis penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada dasarnya merupakan kegiatan untuk mengolah atau menganalisis data-data sekunder terhadap permasalahan yang akan dikaji. Metode yang dipergunakan untuk menganalisis yaitu:


(34)

a. mengumpulkan peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan penelitian;

b. mengelompokkan peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang ada;

c. melakukan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait; d. menguraikan bahan-bahan hukum sesuai dengan masalah yang

dirumuskan;

e. menarik kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus disusun secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya penguraian dalam bab per bab secara teratur dan berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas hal-hal yang umum dalam sebuah tulisan ilmiah, antara lain : latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Bab ini membahas mengenai pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia, kemudian latar belakang lahirnya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, dan permasalahan yang timbul akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral.


(35)

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG PERTAMBANGAN TERKAIT DENGAN PELARANG EKSPOR MINERAL MENTAH

Bab ini membahas tentang bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di bidang pertambangan baik dalam lingkup nasional maupun internasional serta penyelesaian sengketa yang terjadi akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.

BAB IV KEDUDUKAN LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH

TERHADAP PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREMENT ON

TARIFFS AND TRADE(GATT)

Bab ini membahas tentang tinjauan umum mengenai GATT, selanjutnya mengenai indonesia dalam GATT dan WTO, serta Analisis mengenai kedudukan larangan ekspor mineral mentah terhadap prinsip-prinsip yang terdapat dalam GATT.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Berisikan bagian penutup yang sekaligus merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini dimana dikemukakan kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan pembahasan sebelumnya dalam skripsi ini.


(36)

24

BAB II

LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia

1. Sejarah pengaturan pertambangan di Indonesia

Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan nusantara, berawal pada tahun 1619. Dalam tahun itu, pasukan Vereenigde

OostInische Compagnie (VOC) di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen berhasil

merebut Jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia.52

“ Dalam hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar, cukup banyak yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda. Hal ini tidak mengherankan, karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuan-ilmuan besar di berbagai bidang. Dalam bidang pertambangan sebaliknya, ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda menjadi suatu wilayah pertambangan terkemuka, meskipun potensi mineral wilayah ini, sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu mengherankan, karena negeri Belanda bukan negara pertambangan. Sebelum memasuki era industry pada dasarnya rakyat Belanda hidup dari pertanian dan perdagangan.”

Selama lebih dari tiga abad penjajahan Belanda di Hindia Belanda, Soetaryo Sigit seorang pakar pertambangan terkemuka Indonesia, menyimpulkan bahwa;

53

Pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen” (Jawatan Pertambangan). Tugas Jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan Pemerintah Hindia-Belanda.

52

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Jogjakarta : UII Press, 2004), hlm.61. 53


(37)

Hasil penemuannya antara lain; endapan batubara Ombilin Sumatera Barat (1866), namun baru berhasil ditambang oleh pemerintah pada tahun 1891.54

Baru pada tahun 1899, Pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan Indische Mijnwet (Staatblad 1899-214). Indische Mijnwet hanya mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan.55 Oleh karena Indische Mijnwet hanya mengatur pokok-pokok persoalan saja, sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan pelaksanaan berupa Mijnorodnnantie yang diberlakukan mulai 1 Mei 1907. Mijnordonnantie mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja (tercantum dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 612). Kemudian pada tahun 1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan Mijn Ordonannatie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1930. Dalam Mijn Ordonnantie 1930, tidak lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja Pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam Mijn

Politie Reglement (Staatblad 1930 No.341) yang hingga kini masih berlaku.56

Menyerahnya tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL kepada balatentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia. Selama pendudukan Jepang Indische Minjwet

1899 praktis tidak jalan, sebab semua kebijakan mengenai pertambangan

termasuk operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan dengan situasi perang.57

54

Ibid., hlm.63.

Pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda kepada Republik

55

Ibid., hlm.64.

56

Ibid.

57


(38)

Indonesia Serikat dan pada tanggal 17 Agustus1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia.58

Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, masalah pengawasan atas usaha pertambangan timah dan minyak bumi yang masih dikuasai modal Belanda dan modal asing lainnya merupakan isu politik yang sangat peka. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Teuku Mr.Moh. Hassan mengambil langkah guna membenahi pengaturan dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia.59

Usul mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan “Mosi Teuku Moh.Hassan dkk” yang memuat beberapa hal yang diantaranya yang terpenting ialah yang mendesak pemerintah supaya:60

a. Membentuk suatu Komisi Negara Urusan Pertambangan dalam jangka waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut:

1) Menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara, tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di Indonesia.

2) Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa ini.

3) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah untuk menyelesaikan/mengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya dan sumber-sumber minyak di tempat lain.

4) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status Pertambangan di Indonesia.

58

Ibid., hlm.67.

59

Ibid., hlm.68.

60


(39)

5) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan pajak dan penetapan harga minyak.

6) Membuat usul-usul lain mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan Negara.

b. Menunda segala pemberian izin, konsesi, eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan.

Pada tahun 1960 pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pertambangan 1960. Undang-undang ini mengakhiri berlakunya Indische Mijnwet

1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan nasional dan merupakan

Undang-undang pertambangan nasional yang pertama.61

Pada tahun 1966 pemerintah menerbitkan Ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal yang terkait dengan sector pertambangan, antara lain sebagai berikut:62

a. kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi rill (Bab II Pasal 8);

b. potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan Indonesia (Bab II, Pasal 10);

61

Ibid., hlm.70.

62


(40)

c. dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestik (Bab VIII, Pasal 62).

Berdasarkan ketetapan MPRS di atas, disusunlah rancangan undang-udang tentang penanaman modal asing, kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Untuk menyesuaikan kebijaksanaan baru dalam perekonomian, khususnya mengenai usaha pertambangan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang pertambangan 1960. Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan ini, Departemen Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusun Rencana Undang-undang Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang pertengahan tahun 1967. Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP 1967.63

Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang telah mengatur kegiatan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia selama lebih kurang 42 tahun dianggap sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin

63


(41)

pembangunan nasional secara berkelanjutan. Pertimbangan tersebut dijadikan dasar untuk pembentukan UU Minerba.

2. Pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan UU Minerba

UU Minerba dibentuk untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi perkembangan nasional maupun internasional yang terkait dengan Pertambangan.

Undang-undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:64 a. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai

oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.

b. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. c. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,

pengolahan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eskternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.

d. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

64

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, penjelasan umum.


(42)

e. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

f. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Salah satu perubahan yang sangat mendasar dalam UU Minerba adalah perubahan sistem pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, maka sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara adalah menggunakan kontrak, baik kontrak karya maupun perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), sedangkan UU Minerba menggunakan izin. Izin yang diberikan kepada pemohon, meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP), IPR dan IUPK. Izin usaha pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Walaupun dalam undang-undang ini telah ditetapkan sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral, yaitu IUP, namun dalam Pasal 169 UU Minerba tetap mengakui keberadaan kontrak karya yang telah ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak karya.65 Tetapi kontrak karya tersebut tetap harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Minerba selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan.66

Selain itu UU Minerba juga mengatur tentang peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral dan batubara di dalam negeri. Pasal 102 UU Minerba

65

Salim HS, Op.Cit., hlm.3. 66

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 169 huruf b.


(43)

menyatakan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan.67

Kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tidak hanya berlaku bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tetapi juga berlaku bagi pemegang kontrak karya.

Selanjutnya pada Pasal 103 ayat (1) UU Minerba diatur tentang kewajiban bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Dengan melihat penjelasan Pasal 103 ayat (1) dapat diketahui tujuan dari melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yaitu untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.

68

Namun terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Bagi pemegang kontrak karya kewajiban tersebut harus dilaksanakan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan .69 Namun bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku mengikat seketika sejak diundangkannya UU Minerba.70

Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan

67

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Penjelasan Pasal 102.

68

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 170.

69

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara, Pasal 170. 70


(44)

nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak ada artinya.71

“peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.”

Mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan sebagai berikut:

72

Berdasarkan keterangan tersebut dapat dimengerti bahwa pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan penjualan bijih (raw material atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih (raw material atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor.

71

Yusril Ihza Mahendra, Loc.Cit., hlm.7. 72


(45)

Memperhatikan kembali ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba, maka dapat diketahui bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tidak boleh mengekspor mineral mentah terhitung sejak berlakunya UU Minerba. Sedangkan bagi pemegang kontrak karya berdasarkan ketentuan Pasal 170 UU Minerba terhitung 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU Minerba tidak dapat lagi mengekspor mineral mentah. Bentuk pelarangan ekspor yang diterapkan oleh peraturan ini adalah kewajiban peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Apabila dikaitkan dengan bentuk larangan atau hambatan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT maka bentuk larangan ekspor ini tergolong kepada “other measures” (kebijakan/peraturan lainnya).73

3. Pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan peraturan pemerintah nomor 1tahun 2014 tentang perubahan kedua peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2010 tentang kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Tanggal 1 Februari 2010 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diamanatkan dalam UU Minerba yang diantaranya adalah mengenai peningkatan nilai tambah hasil penambangan di dalam negeri melalui pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) UU Minerba.

73

Lihat Pasal XI angka 1 GATT, yang menyatakan : No prohibitions or restrictions

other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licencesor other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.


(46)

Sebelum diterbitkannya UU Minerba, terdapat berbagai jenis izin dalam melakukan usaha pertambangan, beberapa diantaranya adalah Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 112 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 surat izin tersebut tetap dinyatakan berlaku namun harus disesuaikan menjadi IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Surat izin tersebut juga dikenai kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian antara IUP yang diterbitkan pada saat UU Minerba berlaku dengan IUP yang terbit dari hasil penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Dimana IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku diwajibkan langsung melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam kegiatan pertambangannya namun bagi IUP yang terbit dari hasil penyesuaian diberikan jangka waktu selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya UU Minerba. Berkaitan dengan pelarangan ekspor mineral mentah, bagi pemegang IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku, tidak diperkenankan untuk melakukan ekspor mineral mentah tanpa pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu pada saat mereka melakukan kegiatan pertambangan namun hal tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP hasil penyesuaian, mereka dilarang melakukan ekspor mineral mentah setelah UU Minerba berlaku selama 5 (lima) tahun.


(47)

Tanggal 21 Februari 2012 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012. Perubahan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa dalam rangka menunjang pembangunan industri dalam negeri perlu penataan kembali pemberian izin usaha pertambangan untuk mineral bukan logam dan batuan, pengaturan lebih lanjut mengenai kewajiban divestasi saham modal asing serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara yang bermaksud melakukan perpanjangan dalam bentuk izin usaha pertambangan.74

Pasal 112C angka 3 PP Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa bagi pemegang kontrak karya yang telah melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Jika dicermati lebih lanjut maka Pasal ini secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi pemegang kontrak karya dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) terhadap mineral logam yang belum dilakukan pemurnian (raw material). Sedangkan Pasal 112C angka 4 PP Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi Pada tanggal 1 Januari 2014 pemerintah mengubah untuk yang kedua kalinya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan kedua peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2010 tentang kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (selanjutnya disebut sebagai PP Nomor 1 Tahun 2014).

75

74

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Konsideran.

75

Pemegang IUP Operasi Produksi yang dimaksud adalah IUP yang berasal dari penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat menjadi IUP, lihat Pasal 112 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014.


(48)

yang telah melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Sama seperti Pasal 112C angka 3 di atas, Pasal 112C angka 4 secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) terhadap mineral logam yang belum dilakukan pengolahan (raw material).

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara implisit mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri. Mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri.76

4. Pelarangan ekspor mineral berdasarkan peraturan menteri energi dan sumber daya mineral nomor 1 tahun 2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.

Selain itu Pasal 84 ayat 3 juga melarang penjualan mineral ke luar negeri sebelum terpenuhinya kebutuhan mineral dalam negeri. Bentuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini sama seperti yang diatur dalam UU Minerba yaitu tergolong dalam “other

measures” sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT.

Guna melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 112C angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Penambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan PP Nomor 1 Tahun 2014, Pemerintah Pada tanggal 1 Januari 2014 mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1

76

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 112C angka 5.


(1)

HS. Salim. Hukum Pertambangan Mineral & Batubara. Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014.

HS. Salim. Hukum Pertambangan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Notonagoro. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1984.

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi. Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization). Jakarta: Yayasan Obor, 2010. Saleng, Abrar. Hukum Pertambangan. Jogjakarta: UII Press, 2004.

Siregar, Mahmul. Perdagangan Internasional Dan Penanaman Modal. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Cet. Ketujuh, Ed. Pertama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Sood, Muhammad. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Sudiarto, Zeni Asyhadie. Mengenal Arbitrase salah satu alternative penyelesaian sengketa bisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Sukandarrumidi. Memahami Pengelolaan Bahan Tambang di Indonesia: Referensi Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010.

Suryartono, dkk. Good Mining Practice: Konsep Tentang Pengelolaan Pertambangan Yang Baik dan Benar. Semarang: Studi Nusa, 2003.

Utama, Meria. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: Fikahati Aneska, 2012. Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika,

2012.

B. PERATURAN

The General Agreement on Tariffs and Trade.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.


(2)

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Republik Indonesia. Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha yang terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Republik Indonesia. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13 / M-DAG / PER / 3 / 2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.

Republik Indonesia. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

Republik Indonesia. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar.

C.TESIS

Prasetyo, Sony Heru. “Analisis Terhadap Pelaksanaan Kewajiban Penyesuaian Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terkait Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah Hasil Penambangan Mineral di Dalam Negeri; Studi Kasus Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara.” Tesis, Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2013.


(3)

D.SKRIPSI

Juwita, Catherine. "Perbedaan Pengaturan Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Dampaknya Terhadap Investasi Pertambangan Tembaga di Indonesia (Studi Kasus: Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Company)." Skripsi, Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2013.

E. JURNAL

Pratama, Agi Gilang. “Analysis of Juridical Concerning Non-Tariff Barriers Indications Against Ministerial Energy and Mineral Resources Decree No.7 year 2012 about the Increase in Mineral Added Value Through the Mineral Processing and Refining Activity.” Diponegoro Law Review, Volume 1, No.2, 2013.

F. KAMUS

Jhon M; Echols. Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

MA, Budiono. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung, 2005.

G.DOKUMEN

Appellate Body Report. Korea – Various Measures on Beef. Appellate Body Report. US – Gasoline.

Profil Kemiskinan di Indonesia September 2014, Berita Resmi Statistik No. 06/01/Th. XVIII, 2 Januari 2015.

GATT Analytical Index – Guide to GATT Law and Practice, Sixth Edition, World Trade Organization.

Jane Korinek, Jeonghoi Kim. “Export Restrictions on Strategic Raw Materials and Their Impact On Trade And Global Supply”, 2010.

Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw Material Tambang dan Mineral. Jakarta, Oktober, 2013.


(4)

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 22 September 2014.

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PUU-XII/2014 tanggal 1 September 2014.

H.PUTUSAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Putusan Mahkamah Konstitusi, perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

I. WEBSITE

Hilirisasi Industri Tambang.

http://www.majalahglobalreview.com/industri/pertambangan/13-pertambangan/105-tataniaga-ekspor-untuk-hilirisasi-minerba.html (diakses tanggal 9 Desember 2014).

http: / / w w w . i m a - a p i . c o m / i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _ c o n t e n t & v i e w = article&id=1937:potensi-dan-tantangan-pertambangan-di-indonesia&catid=47:media-news&Itemid=98&lang=id (diakses tanggal 9 Desember 2014).

Akhirnya Pemerintah dan Newmont Sepakati Renegosiasi Kontrak. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54084c3a7ee29/akhirnya--pemerintah-dan-newmont-sepakati-renegosiasi-kontrak (diakses tanggal 14 Maret 2015).

Arbitrase Diajukan Terkait Larangan Ekspor di Indonesia. http://www.ptnnt.co.id/id/arbitrase-diajukan-terkait-larangan-ekspor-di-indonesia.aspx (diakses tanggal 10 Maret 2015).

Agustinus Beo Da Costa. “Pengusaha Tambang: Puluhan Ribu Karyawan Sudah Dipecat.”

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/19/1105299/Pengusaha. Tambang.Puluhan.Ribu.Karyawan.Sudah.Dipecat (diakses tanggal 10 Maret 2015).

Andrian. “Kembali Peroleh Izin Ekspor, Newmont Normalisasi Usaha Selama 6-8 Pekan.” http://www.jakpro.id/kembali-peroleh-izin-ekspor-newmont-normalisasi-usaha-selama-6-8-pekan/ (diakses tanggal 14 Maret 2015). Australia — Certain Measures Concerning Trademarks, Geographical Indications


(5)

Products and Packaging. https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds467_e.htm (diakses tanggal 17 Maret 2015).

Dispute cases involving Indonesia. https://www.wto.org/english /thewto_e/countries_e/indonesia_e.htm (diakses tanggal 17 Maret 2015). Hilirisasi Berbuntut PHK Massal.

http://arsip.tambang.co.id/print.php?category=18&newsnr=8652 (diakses tanggal 25 Februari 2015).

https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact4_e.htm.

Inda Marlina. “Ekspor Produk Pemurnian Bijih Mineral Tidak Dibatasi.” http://industri.bisnis.com/read/20140213/44/203123/ekspor-produk-pemurnian-bijih-mineral-tidak-dibatasi (diakses tanggal 9 Maret 2015). Ilyas Istianur Praditya. “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Timur Kena Imbas UU

Minerba.“ http://m.liputan6.com/bisnis/read/830723/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-timur-kena-imbas-uu-minerba (diakses tanggal 10 Maret 2015).

Junaiding. “Objek Ekspor.” http://www.eximlaws.com/2015/02/obek-ekspor.html (diakses tanggal 9 Maret 2015).

Lukas Hendra TM . “Ini Dia Isi MoU Newmont Nusa Tenggara Yang Kandas.” http://industri.bisnis.com/read/20150303/44/408428/ini-dia-isi-mou-newmont-nusa-tenggara-yang-kandas (diakses tanggal Maret 2015). Newmont gugat Republik Indonesia.

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/517791-dilarang-ekspor-minerba-mentah--newmont-gugat-ri-ke-arbitrase (diakses tanggal 26 Februari 2015).

Pengertian Daerah Pabean. http://www.beacukai.go.id/index.html?page=faq/pengertian-daerah-pabean.html (diakses tanggal 28 Februari 2015).

PTNNT Menghentikan Operasi Tambang Batu Hijau. http://ptnnt.co.id/id/ptnnt-menghentikan-operasi-tambang-batu-hijau.aspx (diakses tanggal 14 Maret 2015).

PTNNT Menghentikan dan Mencabut Gugatan Arbitrase.


(6)

Suci Sedya Utami. “Perlambatan Ekonomi akibat Larangan Ekspor Mineral Mentah.”

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/05/05/238469/perlambatan-ekonomi-akibat-larangan-ekspor-mineral-mentah (diakses tanggal 10 Maret 2015).

Siti Nuraisyah Dewi, Arie Dwi Budiawati.“Alasan Newmont Gugat Indonesia ke Arbitrase Versi Pemerintah.” http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/518483-alasan-newmont-gugat-indonesia-ke-arbitrase-versi-pemerintah (diakses tanggal 14 Maret 2015). World Trade Organization (WTO). http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCoop eration&IDP=13&P=Multilateral&l=id (diakses tanggal 11 Maret 2015).


Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

2 86 156

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

10 128 151

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 9

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 2

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 1 28

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 38

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 2 4

BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

0 0 33

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

0 0 12